Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Santri secara umum adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti

pendidikan agama Islam di pesantren dan biasanya menetap di tempat tersebut

hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa, istilah santri berasal dari

bahasa Sanskerta, shastri yang memiliki akar kata yang sama dengan kata

sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Ada pula yang

mengatakan berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan

atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan

atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di

pesantren, sebagai konsekuensinya pengasuh pesantren memberikan tunjangan

kepada santri tersebut.1

Tunjangan tersebut bukan hanya berupa segala fasilitas dan ilmu

pengetahuan, namun juga peraturan-peraturan yang memang mengharuskan

seorang santri mematuhinya. Peraturan adalah perangkat yang berisi patokan

dan ketentuan untuk dijadikan pedoman yang merupakan hasil dari keputusan

yang telah disepakati dalam suatu organisasi yang bersifat mengikat,

membatasi, mengatur dan harus ditaati serta harus dilakukan untuk

menghindari sanksi dengan tujuan menciptakan ketertiban, keteraturan, dan

kenyaman.2

1
Wikipedia, “Santri”, dalam https://id.wikipedia.org/w/index.php (18 Desember 2018).
2
Bayu Arsa Dinata, “Peraturan”, dalam https://bayuarsadinata.wordpress.com (18
Desember 2018).

1
2

Peraturan pesantren sangat berkaitan dengan moral. Moral merupakan

suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman dalam

menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang

harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam

masa transisi. Intinya moralitas adalah penyelesaian konflik antara diri dan

orang lain, antara hak dan kewajiban.3 Sedangkan masa remaja merupakan

masa stres dalam perjalanan hidup seseorang. Yang menjadi sumber stres

utama pada masa ini adalah konflik atau pertentangan antara dominasi,

peraturan atau tuntutan orang tua dengan kebutuhan remaja untuk bebas

(independence) dari peraturan tersebut.4

Kognisi sosial remaja yang diistilahkan oleh psikolog David Elkind

dengan egosentrisme yakni kecenderungan remaja untuk menerima dunia (dan

dirinya sendiri) dari prespektif mereka sendiri. Dalam hal ini, remaja mulai

mengembangkan suatu gaya pemikiran egosentris dimana mereka lebih

memikirkan tentang dirinya dan seolah-olah memandang dirinya dari atas.5

Kadang kala mereka akan secara sengaja menunjukkan diri mereka di hadapan

orang lain, memperlihatkan sikap atau perilaku tertentu untuk mengundang

perhatian ke arah mereka.6

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang

berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri

dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan

3
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 206.
4
Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung: Pustaka Bani Quraisy 2004), 95.
5
Desmita, Psikologi Perkembangan, 205.
6
Kathryn Geldard, David Geldard, Konseling Remaja (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 11.
3

harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan

sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa ini, remaja harus

membuat banyak penyesuaian baru.7Santri remaja tidak hanya menyesuikan

diri dengan lingkungan yang sangat berbau agamis tapi juga harus

menyesuikan diri dengan segala peraturan yang diberlakukan oleh pesantren.

Secara umum dalam lingkungan pesantren, santri memiliki kekuasaan

atau otoritas yang minim dan mereka yang mengajar para santri memiliki

kekuasaan dan otoritas yang jauh lebih besar. Bagi seorang anak muda,

masalah kekuasaan dan otoritas sangatlah penting. Jika mereka belajar

mengambil tanggung jawab sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa,

mereka perlu mampu untuk memiliki penguasaan atas apa yang mereka

lakukan dan bagaimana mereka melakukannya. Oleh karena itu, lingkungan

pesantren bisa menjadikan mereka stres karena mereka tidak memiliki

kekuasaan itu.8

Bagaimanapun santri merupakan manusia biasa yang suatu saat pasti

mengalami sakit dan sehat. D.S. Wright dan A. Taylor mengemukakan tanda-

tanda orang yang sehat mentalnya yaitu (1) bahagia (happiness) dan terhindar

dari ketidak bahagiaan; (2) efisien dalam menerapkan dorongannya untuk

kepuasan kebutuhannya; (3) kurang dari kecemasan; (4) kurang dari rasa

berdosa (rasa berdosa merupakan reflex dari kebutuhan self-punishment); (5)

matang yaitu sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya: (6) mampu

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya; (7) memiliki otonomi dan harga

7
Elizabet B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, t.th), 213.
8
Ibid, 59.
4

diri; (8) mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain; dan (9)

dapat melakukan kontak dengan realitas. Sedangkan Clausen berpendapat

orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak

jatuh sakit akibat stresor.9

Pengertian yang didapat oleh Syamsu Yusuf, bahwa stres adalah

perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan, baik fisik maupun psikis

sebagai respon atau reaksi individu terhadap stresor (stimulus yang berupa

peristiwa, objek, atau orang) yang mengancam, menggamggu, membebani,

atau membahayakan keselamatan, kepentingan, keinginan, atau kesejahteraan

hidupnya. Stimulus yang termasuk (a) peristiwa, seperti: ujian /tes bagi para

pelajar atau mahasiswa, kematian seseorang yang dicintai, kemacetan lalu

lintas, banjir, dan gempa bumi; (b) objek, seperti: binatang buas, peraturan

yang berat atau tuntutan pekerjaa/tugas yang di luar kemampuan; dan (c)

orang, seperti sikap dan perlakuan orang tua dan guru yang galak atau kasar,

pimpinan yang otoriter, para preman (orang-orang jahat), dan penguasa

dlalim.10

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) prevalensi kejadian

stres pada remaja meningkat dari tahun ketahun. Sebesar 6,0% masyarakat

Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental

emosional berupa stres, kecemasan, dan depresi. Prevalensi gangguan mental

emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas di DIY sebesar 8,1% di atas

prevalensi nasional yaitu 6,0%. Pada kelompok usia 15-24 tahun

9
Moeljono Notosoedirdjo, Latipun, Kesehatan Mental (Malang: UMM Press 2005), 29.
10
Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 94.
5

prevalensinya sebanyak 5,6%. Prevalensi gangguan mental emosional pada

usia 15-24 tahun di DIY mempunyai angka yang lebih tinggi dari angka

nasional yaitu 9,5%. Gangguan mental emosional di kota Yogyakarta memiliki

prevalensi lebih tinggi di atas nasional maupun Provinsi DIY yaitu 11,4%.11

Di Yogyakarta, berdasarkan hasil penelitian Trianingsih, ditemukan

banyak siswa SMPN 5 Yogyakarta kelas akselerasi mengalami stres

ditimbulkan oleh penyesuaian diri yang rendah pada lingkungan sekolah. 12

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara kepada siswi kelas X IPA SMA

Ibrahimy mengenai penyebab utama stresnya santri adalah peraturan yang

begitu ketat. Dapat disimpulkan bahwa santri remaja tersebut belum

menyesuaikan diri terhadap peraturan yang diberlakukan oleh

pesantren.13Banyaknya reaksi penyesuaian remaja yang negatif merupakan

pernyataan dari upaya-upaya untuk mencapai kebebasan tersebut. Gejala-

gejala yang sangat umum dari kesulitan penyesuaian diri remaja ini,

diantaranya membolos dari sekolah, bersikap keras kepala atau melawan, dan

berbohong.14

Untuk mengetahui orang lain mengalami stres, dapat dilihat dari

gejala-gejalanya, gejala fisik maupun psikis. Gejala fisik, diantaranya sakit

kepala, sakit lambung (mag), hypertensi (darah tinggi), sakit jantung atau

jantung berdebar-debar, insomnia (sulit tidur), mudah keluar keringat dingin,

11
Kemenkes RI dalam Khamidatul Mauliah El-Azis, "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress
Remaja pada Tahun Pertama di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta" (Skripsi--
Universitas Aisyiyah, Yogyakarta, 2017)
12
Suyono, dkk, “Keefektifan Teknik Relaksasi untuk Menurunkan Stress Akademik Siswa SMA”,
Pendidikan Humaniora, Vol. 4, No. 2 (Juni, 2016), 115.
13
Nabila Riza, Wawancara, Situbondo, 19 Desember 2018.
14
Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 95.
6

kurang selera makan, dan sering buang air kecil. Gejala psikis, diantaranya

gelisah atau cemas, kurang dapat berkonsentrasi belajar atau bekerja, sikap

apatis (masa bodoh), sikap pesimis, hilang rasa humor, bungkam seribu

bahasa, malas belajar atau bekerja, sering melamun,dan sering marah-marah

atau bersikap agresif (baik secara verbal, seperti kata-kata kasar, dan

menghina; maupun nonverbal, seperti menempeleng, menendang,

membanting pintu, dan memecahkan barang-barang).15

Lazarus & Folkman berpendapat bahwa stres dapat terjadi jika

individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan situasi

lingkungan fisik dan social. Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami

bergantung pada penilaian subjektif individu terhadap sumber stres yang

datang. Jika individu menganggap kemampuannya cukup untuk memenuhi

tuntutan lingkungan maka stres tidak akan terjadi. Minimnya pengetahuan,

pengalaman dan daya dukung lingkungan terhadap kebutuhan psikologis

remaja sering membuat remaja kehilangan kemampuan dalam mengatasi

masalah-masalah yang di hadapinya.16

Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti memutuskan untuk memilih

salah satu pendekatan dalam bimbingan dan konseling untuk menanggulangi

hal tersebut. Pengertian bimbingan dan konseling sendiri adalah suatu proses

pemberian bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis, yang

dilakukan oleh seorang ahli yang telah mendapat latihan khusus untuk itu,

dengan tujuan agar individu dapat memahami dirinya, lingkungannya, serta


15
Ibid, 96.
16
Suyono, dkk, “Keefektifan Teknik Relaksasi untuk Menurunkan Stress Akademik Siswa SMA”,
Pendidikan Humaniora, Vol. 4, No. 2 (Juni, 2016), 116.
7

dapat mengarahkan diri dengan lingkungan untuk mengembangkan potensi

dirinya secara optimal, untuk kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan

masyarakat.17

Dalam hal ini, peneliti memilih pendekatan konseling rasional emotif

untuk menanggulangi stres terhadap peraturan pesantren yang terjadi pada

santri kelas XI IPA SMA Ibrahimy. Proses konseling tersebut terdiri atas

penyembuhan irasionalitas menjadi rasionalitas. Karena individu pada

dasarnya adalah mahluk rasional dan sumber ketidakbahagiaannya adalah

irasionalitas, maka individu bisa mencapai bahagia dengan belajar berpikir

rasional. Oleh karena itu, proses terapi yang dilakukan sebagian besar adalah

proses belajar-mengajar.18

Pendekatan konseling rasional emotif (KRE) menggunakan berbagai

teknik yang bersifat kognitif dan afektif yang disesuaikan dengan kondisi

klien.19 KRE membantu individu menanggulangi problem-problem perilaku

dan emosi mereka untuk membawa mereka ke kehidupan yang lebih bahagia,

lebih sehat dan lebih terpenuhi. Hal tersebut dicapai dengan cara setiap

individu berpikir lebih rasional, berperasaan tidak terganggu, dan bertindak

dengan cara-cara yang dapat mencapai tujuan akhir. 20 Penelitian yang

dilakukan oleh Umi Heni bahwa bimbingan konseling Islam dengan terapi

rasional emotif dalam mengatasi stres cukup berhasil dengan prosentase 84%

17
Anas Sahudin, Bimbingan Konseling (Bandung: CV. Pustaka Setia 2010), 16.
18
Gerald Corey, Teori Praktek Konseling Dan Psikoterapi (Bandung: PT Refika Aditama 2005),
245.
19
Farid Mashudi, Psikologi Konseling (Jogjakarta: IRCiSoD 2013), 137.
20
Stephen Palmer (Ed.), Konseling dan Psikoterapi, terj. Haris H. Setiadjid (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 508.
8

yang mana hasil tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan pada sikap klien

yang menutup diri dengan teman-temannya menjadi mau bergaul kembali.21

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka peneliti terdorong

untuk menanggulangi stres yang dialami siswi kelas XI IPA SMA Ibrahimy

berstatus santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah dengan terapi

rasional emotif. Alasan peneliti memilih kelas XI IPA karena dalam sebuah

penelitian yang dilakukan oleh Zuni Eka Kusumawati diperoleh delapan siswa

dari kelas XI IPA 2 SMA Negeri 22 Surabaya yang teridentifikasi mengalami

kejenuhan belajar. Kejenuhan belajar siswa ini diakibatkan banyaknya tugas

yang dihadapi merasa lelah dan malas saat mengikuti kegiatan belajar

mengajar. Selain banyaknya tugas yang diberikan oleh guru, juga ditambah

dengan minat dan motivasi belajar siswa yang kurang, yang meremehkan

pelajaran dan tugas yang diberikan padanya sehingga akhirnya menjadi beban

bagi dirinya sendiri.22

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat

diidentifikasi masalah-masalah yang terjadi sebagai berikut:

a. Masa remaja adalah masa-masa stres.

b. Santri remaja menginginkan kebebasan dan kekuasaan.

21
Umi Heni H. “Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Rasional Emotif dalam
Menangani Stress Studi Kasus seorang Remaja yang Stress di Desa Kalangsemanding Kecamatan
Perak Kabupaten Jombang” (Skripsi – UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015), vii.
22
Zuni Eka Khusumawati, "Penerapan Kombinasi antara Teknik Relaksasi dan Self Instruction
untuk Mengurangi Kejenuhan Belajar Siswa Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 22 Surabaya", BK
Unesa, Vol. 05, No. 01 (2014), 06.
9

c. Tidak dapat menerima peraturan yang ada.

d. Perasaan tertekan dengan peraturan.

2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan agar penulisan karya ilmiah ini

terarah, fokus, dan tidak merambat keluar jalur yang tak di inginkan, maka

peneliti membatasi permasalahan pada “Konseling Rasional Emotif dalam

Menanggulangi Stres Santri terhadap Peraturan Pesantren”.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari pembatasan masalah di atas, maka rumusan

masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran stres santri saat proses penggunaan konseling

rasional emotif?

2. Bagaimana hasil gambaran stres santri setelah penggunaan konseling

rasional emotif?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di uraikan di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Memperoleh gambaran stres santri saat proses penggunaan konseling

rasional emotif.

2. Memperoleh hasil gambaran stres santri setelah penggunaan konseling

rasional emotif.

E. Kegunaan Penelitian
10

Beberapa kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini

diantaranya:

1. Secara teoritis

a. Penelitian ini bisa berguna bagi pengembangan keilmuan secara

ilmiah di bidang bimbingan dan konseling.

b. Memperkuat teori-teori konseling, bahwa ilmu konseling merupakan

peranan penting dalam membantu memecahkan masalah atau

persoalan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

2. Secara praktis

a. Penelitian ini di harapkan membantu para remaja untuk memperbaiki

dan mengubah sikap, persepsi, cara berpikir yang irasional dan tidak

logis menjadi pandangan yang rasional dan logis.

b. Sebagai bahan informasi dan acuan bagi penerapan bimbingan dan

konseling bagi pembaca.

c. Sebagai tambahan ilmu dan pengalaman bagi peneliti dalam

bimbingan dan konseling khususnya.

F. Kajian Penelitian Terdahulu

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Junierissa Marpaung “Counseling

Approach Behaviour Rational Emotive Therapy in Reducing Stress”

penelitian ini menunjukkan bahwa stres yang dialami individu dapat

diatasi salah satunya dengan pendekatan rational emotive behavior

therapy karena pendekatan tersebut bertujuan untuk memperbaiki dan

mengubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan, serta pandangan


11

klien yang irasional menjadi rasional, sehingga ia dapat mengembangkan

diri dan mencapai realisasi diri yang optimal. Menghilangkan gangguan

emosional yang dapat merusak diri seperti benci, takut, rasa bersalah,

cemas, was-was, marah, sebagai akibat berpikir yang irasional, dan

melatih serta mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup

secara rasional dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai, dan

kemampuan diri.23

2. Hasil penelitian jurnal yang dilakukan oleh Isop Syafe’i “Aplikasi Terapi

Rasional Emotif dalam Memperbaiki Perilaku Membolos Siswa”

penelitian ini menunjukkan bahwa teori rasional emotif terapi (RET)

merupakan salah satu teknik konseling yang dapat digunakan untuk

memperbaiki perilaku malladjusment pada diri siswa, seperti halnya

perilaku membolos dan perilaku menyimpang lainnya. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan peneliti terletak

pada permasalahan yang dipecahkan, jika penelitian yang hendak peneliti

lakukan adalah menanggulangi stres santri terhadap peraturan pesantren

penelitian yang telah dilakukan ini adalah memperbaiki perilaku

membolos siswa. Sedangkan persamaan antara penelitian ini adalah

keduanya menggunakan jenis terapi yang sama yaitu terapi rasional

emotif.24

G. Definisi Operasional

23
Junierissa Marpaung, ”Counseling Approach Behaviour Rational Emotive Therapy in Reducing
Stress”, Kopasta, Vol. 3, No. 1 (2016).
24
Isop Syafe’I, “Aplikasi Rasional Emotif Terapi dalam Memperbaiki Perilaku Membolos Siswa”,
Ilmiah Psikologi, Vol.III, No.2 (2010).
12

1. Konseling rasional emotif adalah sebuah pendekatan konseling dengan

merubah cara berpikir seseorang, yang awalnya berpikir secara tidak logis

dan irasional menjadi berpikir logis dan rasional.

2. Stres adalah tekanan-tekanan psikologis yang mengakibatkan perasaan

tidak nyaman karena presepsi yang kurang tepat terhadap rangsangan-

rangsangan dan sumber-sumber yang menurutnya menganggu atau

membahayakan keselamatan dirinya.

3. Santri remaja yaitu mereka yang memilih pesantren sebagai lingkungan

pendidikan mereka yang baru, dimana masa itu mereka harus menghadapi

pengalaman baru dan menyesuaikan segala peraturan yang di berlakukan

oleh pesantren. Berhadapan dengan situasi tersebut menimbulkan

kecemasan dan menyebabkan stres.

4. Peraturan pesantren adalah seperangkat kewajiban dan larangan yang

dijadikan pedoman untuk ditaati serta harus dilakukan untuk menghindari

sanksi dengan tujuan menciptakan ketertiban.

Peneliti (Konselor) Konseling Rasional Emotif

Pemikiran Rasional

Pemikiran Irasional Stress Santri Remaja (Konseli)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

H. Sistematika Pembahasan
13

Sistematika dari skripsi ini diatur sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan

Berisi uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

kajian penelitian terdahulu, definisi operasional (kata kunci dari

perumusan masalah), dan sistematika pembahasan.

2. Bab II Landasan Teori

Menyajikan teori-teori yang relevan dengan perumusan masalah

penelitian sebagai landasan tindakan dalam setiap siklus. Cara

penyajiannya disusun dalam sub-sub bab. Pada sub bab terakhir dibuat

hipotesis penelitian.

3. Bab III Metode Penelitian

Bagian ini mencakup jenis penelitian, subyek penelitian lokasi

penelitian, waktu tindakan, desan siklus (perencanaan, pelaksanaan

tindakan, observasi hasil, dan refleksi), dan teknik analisis data.

4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Mengolah data lapangan sesuai dengan yang dituntut oleh

penelitian tindakan sehingga terbuka kesempatan untuk menarik

pengertian dan penafsiran secara tepat dan signifikan. Hasil penelitian di

sajikan dalam bentuk siklus yang dilaksanakan dalam penelitian tindakan.

Setiap siklus dilaporkan secara lengkap, mencakup perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian dilakukan minimal dua

siklus.
14

5. Bab V Penutup

Bagian ini berisi simpulan dan saran. Simpulan merupakan

jawaban dari perumusan masalah dan bukan merupakan ikhtisar dari apa

yang ditulis terdahulu. Saran merupakan rekomendasi yang dibuat

bedasarkan pada temuan dan analisis pada bab IV yang disajikan sesuai

dengan tujuan dan kegunaan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai