Anda di halaman 1dari 17

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA

PEREMPUAN YANG MEMILIKI SAUDARA KANDUNG SKIZOFRENIA

Mohammad Adi Ganjar Priadi


Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya
mohammadadi.ganjar@gmail.com

Abstrak
Memiliki saudara kandung yang mengalami skizofrenia bukanlah hal yang
mudah. Peristiwa tersebut dapat memengaruhi seluruh anggota keluarga dan
menimbulkan beban mental maupun finansial. Penelitian ini bertujuan mengetahui
gambaran mengenai faktor-faktor yang berperan dalam penyesuaian diri remaja
perempuan terhadap saudara kandung laki-laki yang menderita skizofrenia. Metode
pengambilan dan analisis data yang dipilih dalam penelitian yakni metode kualitatif
dengan teknik in-depth interview dan observasi. Partisipan penelitian adalah remaja
perempuan berusia 12-22 tahun yang memiliki saudara kandung skizofrenia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketiga partisipan mampu menyesuaikan diri terhadap
tuntutan lingkungan berkenaan dengan memiliki saudara kandung yang mengalami
skizofrenia. Lebih lanjut, selain kondisi lingkungan dan pengalaman belajar, faktor
hubungan antar teman sebaya turut memberikan kontribusi dalam penyesuaian diri
yang mereka lakukan.

Kata kunci: penyesuaian diri, skizofrenia, remaja perempuan, saudara kandung

Abstract
Having one sibling with schizophrenia disorder is not an easy condition,
since it could affect all family members, either mentally or financially. This research
is aimed to portray how self-adjustment were developed throughout female
adolescents who have a sibling with schizophrenia. The research was completed
using qualitative method, particularly in-depth interview and observation. Research
participants were three female adolescents whose age are 12-22 years old, and have
a sibling with schizophrenia disorder. Result shows that all three participants were
able to make good adjustment in order to maintain their relationship with their
siblings who have schizophrenia disorder. Furthermore, besides environment and
learning experience, having mutual relationship with peers also contributed to their
self-adjustment.

Keywords: self-adjustment, schizophrenia, female adolescents, sibling

Skizofrenia telah hadir dalam sejarah manusia sejak zaman purba namun tetap
menjadi bahan kajian yang menarik dan tak henti-hentinya memunculkan penelitian
dari berbagai disiplin dan dari berbagai mazhab yang ada (Foucault, dalam Arif,
2006). Menurut Jones dan Hayward (2004) skizofrenia adalah salah satu dari

87
beberapa jenis gangguan kesehatan jiwa kronis yang ada. Skizofrenia adalah
gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala
positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan
persepsi; gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan),
berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar, serta
terganggunya relasi personal (Gabbard dalam Arif, 2006).
Skizofrenia menyebar secara merata kurang dari 1% dan sama-sama
mempengaruhi pria dan wanita (Neale, Davison, & Kring, 2004). Keluarga
merupakan orang-orang yang terkena langsung dampak kehadiran skizofrenia dalam
sistem mereka (Arif, 2004). Penderitanya pun sering dikucilkan, ditakuti, bahkan
dimusuhi (Wiramihardja, 2004). Selain itu, skizofrenia merupakan gangguan yang
dapat berlangsung seumur hidup penderitanya, sehingga dapat menimbulkan beban
finansial dan emosional yang berat dan berkepanjangan bagi keluarga (Arif, 2004).
Penyesuaian diri adalah modifikasi dari sikap dan perilaku untuk memenuhi
tuntutan hidup secara efektif, seperti membina relasi sosial, menerima keadaan stres
atau situasi problematis (Corsini, 2002). Tiap orang mempunyai cara-cara
penyesuaian diri yang khusus, yang tergantung dari kemampuan-kemampuan yang
dimiliki, pengaruh-pengaruh lingkungan, pendidikan, dan bagaimana ia
mengembangkan dirinya (Slamet & Markam, 2003). Ada sebagian orang
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial tempat ia dapat hidup dengan sukses,
sebagian lain tidak sanggup melakukannya, sehingga akan menghambat penyesuaian
dirinya (Sobur, 2003). Padahal orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik ialah
orang yang dapat mengatasi permasalahan dan kekecewaan-kekecewaan dalam
hidupnya tanpa stress berlebihan dan lebih bersifat progresif, yaitu menunjukkan
kemajuan positif dalam permasalahannya. Sebaliknya, salah satu kriteria yang
mendukung bahwa individu dapat dikatakan mengalami masalah dalam penyesuaian
diri, yakni mengalami ketidaknyamanan secara personal, individu tersebut secara
jelas terlihat tidak bahagia, tidak dapat bekerja, dan tidak dapat menyelesaikan hal
lainnya (Fernald, 1997). Selain itu, menurut Ali dan Asrori (2004) remaja yang
mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah remaja yang telah belajar bereaksi
terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien,
memuaskan, dan sehat, serta dapat mengatasi konflik mental, frustrasi, kesulitan
pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan
psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama, dan pekerjaan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seseorang di
antaranya keadaan fisik dan faktor keturunan, perkembangan dan kematangan, faktor
psikologis, pengalaman belajar, dan keadaan lingkungan (Gunarsa & Gunarsa, 2003).
Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip penyesuaian diri yang ditujukan kepada diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungannya maka karakteristik penyesuaian diri
menurut Sunarto dalam Ali dan Asrori (2004) yaitu: (1) Mula-mula individu, di satu
sisi, memiliki keinginan untuk memperoleh makna dan eksistensi dalam
kehidupannya dan di sisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya
sendiri. (2) Memiliki kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di

88
luar dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan
perasaan. (3) Dapat bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada
dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. (4) Mampu bertindak secara dinamis,
luwes, dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh
kecemasan atau ketakutan. (5) Dapat bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif
yang layak dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak
disingkirkan oleh lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan. (6) Memiliki
kesanggupan merespons frustrasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat, dan
profesional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh
manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam.
Berkenaan dengan penyesuaian diri dan tugas perkembangan, Papalia, Olds,
dan Feldman (2004) kemudian mengatakan bahwa tugas perkembangan remaja di
antaranya, mengalami perubahan fisik secara besar-besaran yaitu munculnya masa
pubertas, menghasilkan kedewasaan, dan bergaul dengan teman sebaya. Di samping
itu, adanya perubahan yang terjadi dalam waktu yang singkat pada remaja berpotensi
menimbulkan masalah dalam penyesuaian diri (Gunarsa, 2004). Berdasarkan uraian
di atas, seorang remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dalam menjalankan
tugas-tugas perkembangan yang dihadapinya. Kondisi tersebut dapat menjadi
kompleks ketika pada satu sisi juga mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa
mereka memiliki dan berinteraksi dengan saudara kandung yang mengalami
skizofrenia. Lebih lanjut, Ibrahim (2002) mengungkapkan bahwa remaja perempuan
akan berusaha keras untuk mampu menyesuaikan diri dan memenuhi tuntutan
lingkungan mereka, salah satunya dengan membina hubungan akrab sesama teman
sebaya sebagai penyaluran ketika mereka mengalami konflik.
Memiliki saudara kandung seorang skizofrenia bukanlah hal yang mudah.
Menurut Jones dan Hayward (2004) memiliki anggota keluarga yang menderita
skizofrenia dapat menyebabkan timbulnya stres pada seluruh anggota keluarga.
Selain itu, studi yang ada selama ini kebanyakan membahas mengenai peranan orang
tua penderita skizofrenia, padahal dukungan dari saudara kandung juga sangat
berperan penting bagi penderita skizofrenia (Stalberg, Ekerwald, & Hultman, 2004).
Terkait dengan relasi antar saudara kandung, Priatna dan Yulia (2006) mengatakan
bahwa setiap individu belajar untuk bergaul, bersosialisasi, dan menyesuaikan diri
termasuk dengan saudara-saudara sekandungnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Smith dan Greenberg (2008) membuktikan bahwa penderita skizofrenia akan
berangsur membaik jika saudara kandungnya dapat memahami penyakit tersebut
bukan sebagai sebuah keanehan, melainkan bagian dari gangguan kejiwaan yang
tidak dapat mereka kendalikan. Lindz, Fleck, dan Cornelison, (1967) sebelumnya
telah melakukan penelitian secara kuantitatif mengenai penyesuaian diri saudara
kandung dari pasien skizofrenia. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan terhadap 23
partisipan menunjukkan bahwa individu dengan saudara kandung skizofrenia akan
merasakan beban dan perasaan terganggu sewaktu-waktu. Penelitian ini bertujuan
untuk memberikan paparan mengenai gambaran faktor-faktor yang berperan dalam

89
penyesuaian diri yang dialami oleh remaja perempuan yang memiliki saudara
kandung skizofrenia.
METODE
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
menggali informasi secara mendalam dan dapat menggambarkan karakteristik
penyesuaian diri partisipan. Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu in-depth interview dan observasi. Kemudian, peneliti mencoba untuk mencari
instansi atau yayasan yang berkaitan dengan tema penelitian untuk mempermudah
dalam mencari partisipan penelitian. Dalam hal pemilihan yayasan atau instansi,
peneliti membatasi yaitu hanya yayasan maupun instansi yang berada di wilayah
Jakarta. Hal ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses
penelitian secara keseluruhan. Partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian,
kemudian akan diwawancarai secara satu per satu dengan terlebih dahulu
mengadakan pertemuan awal untuk berkenalan dan membina rapport. Lokasi
penelitian mengambil wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Karakteristik partisipan
Partisipan berjenis kelamin perempuan, berusia 12 sampai dengan 22 tahun
dan memiliki saudara kandung yang mengalami skizofrenia. Peneliti juga tidak
membatasi latar belakang pendidikan maupun pekerjaan partisipan. Hal ini bertujuan
mendapatkan hasil penelitian yang bervariasi dari para partisipan.

Pengumpulan dan Analisa Data


Peneliti kemudian mewawancarai partisipan dengan menggunakan pertanyaan
jenis terbuka (open-ended question) untuk mendapatkan jawaban yang mendalam dan
pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan tema penelitian. Dalam segi penggunaan
bahasa, peneliti menggunakan bahasa informal untuk menghindari situasi formal,
sehingga partisipan dapat menjawab pertanyaan dengan lebih leluasa. Dengan
demikian, data yang telah terkumpul dapat dianalisis dan diproses secara sistematis
untuk dapat ditarik kesimpulan agar dapat sejalan dan memberikan paparan mengenai
topik yang berusaha dijelaskan dalam penelitian ini. Dalam menganalisis data,
peneliti melakukannya sesuai dengan prosedur yang diungkapkan oleh Poerwandari
(1998), yakni membuat catatan verbatim, untuk kemudian dianalisis secara mendalam
tidak hanya masing-masing partisipan, melainkan dengan menganalisis antar
partisipan guna melihat keragaman data yang diperoleh.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tulisan ini memberikan paparan mengenai gambaran faktor-faktor yang
mendukung penyesuaian diri yang dialami oleh partisipan yakni remaja perempuan
yang memiliki saudara kandung yang mengalami skizofrenia. Berikut merupakan
paparan hasil penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan topik penelitian
utama.

90
Tabel 1: Gambaran Umum Partisipan Penelitian
Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

(S) (D) (A)


Usia 21 tahun 13 tahun 13 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan

Pekerjaan Ayah Pegawai Swasta Pegawai Swasta PNS

Pekerjaan Mahasiswa Pelajar Pelajar

Urutan 2 dari 2 bersaudara 2 dari 3 bersaudara 3 dari 3 bersaudara


Kelahiran
Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Bugis Jawa Sunda


Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
saudara yang
mengalami
gangguan
skizofrenia
Usia ketika 20 tahun 12 tahun 13 tahun
mengetahui
memiliki
saudara
kandung
skizofrenia

Partisipan 1 (S)
S adalah anak kedua dari dua bersaudara. Saat ini ia sedang menempuh
pendidikan dengan jurusan komunikasi di salah satu universitas swasta di Jakarta. S
menceritakan bahwa ia mengetahui kakaknya mengalami skizofrenia ketika berusia
20 tahun dan ketika tidak sedang bersama kakaknya AG. S mengetahui kakaknya,
yaitu AG menderita skizofrenia saat berada di Indonesia, sedangkan AG ketika itu
sedang berada di luar negeri dalam kepentingan studi. S mengetahui kondisi AG dari
bibi S yang tinggal bersama AG di luar negeri. Akan tetapi S mengetahui bahwa
kakaknya kerap kali mendengar suara dan berbicara sendiri. Sejak saat itu, S
mengetahui bahwa AG terlibat perkelahian yang berujung di kantor polisi dan telah
didiagnosis oleh dokter menderita skizofrenia paranoid ketika usianya 26 tahun. Saat
ini, AG secara rutin menjalani rawat jalan di salah satu rumah sakit jiwa di Jakarta.

91
”Pertama kali gue tau kakak gue skizo.. waktu itu jadi semua sekeluarga tuh
di Indonesia.. dia di luar negeri sendiri sama tante gue.. awalnya tuh
gejalanya dia mul.. suka denger suara ngomong sendiri gitu.. trus dia suka
tiba-tiba kayak nanya ke tante gue gitu.. kayak ”ngomong apa sih!” gitu..
cuma tante gue mikirnya e.. dia ituuu.. mabok.. gitu.. jadi gak diladenin.. tiba-
tiba aja satu hari.. ketauannya tuh dia berantem sama orang.. sampe.. ke
kantor polisi.. langsung tiba-tiba udah di rumah sakit itu taunya tuh udah
ditelpon sama dari rumah sakit di sana gitu.. trus ya udah tiba-tiba dokternya
bilang aja.. ini dia begini begini begini.. dia itu paranoid.. nama penyakitnya
tuh skizofrenia.. ya gitu taunya dari situ..”

Kondisi AG yang menderita skizofrenia, menurut S juga turut mempengaruhi


reaksi keluarganya yang cukup “shock” dalam menerima peristiwa tersebut.

”Satu keluarga panik semua.. waktu itu.. sebenernya sih tadinya gue panik ya
shock! kaget tapi... diem aja gitu mau bilang apa gitu.. tapi berhubung
nyokap gue yang terus menerus gitu cerita.. trus nyokap gue nangis ya lama-
lama gue jadi nangis juga gitu.. ya kasian kan.. gak nyangka.. kaget! Kok
kakak gue jadi kayak gini gitu.. gitu sih.. gue pikirnya udah panjang aja nih..
kayak satu gue kasian ke kakak guenya.. gitu kan.. kedua itu pasti jadi beban
keluarga.. gue gak tega liat bokap nyokap gue..”

Berkenaan dengan penyesuaian diri, S mengatakan bahwa dirinya kerap


merasa terganggu dan memiliki beban pikiran dalam menyikapi perilaku kakaknya,
AG yang menderita skizofrenia.

”Kalo di rumah sih gue merasa terganggu ya dengan keadaan kakak gue
sekarang.. di rumah gue sedikit merasa terganggu karena.... satu sisi,
misalnya dia suka ngajakin ngomong.. yang gak jelas gitu.. gue.. tapi
posisinya gak jelas gitu gue lagi sendiri.. gue lagi pengen istirahat trus
kadang-kadang suka ngajakin.. minta ditemenin ke manaaa... gitu guenya
juga lagi males.. kadang-kadang dia mau minjem mobil.. pernah sih gue
pinjemin mobil tapi gak pulang seharian.. trus pulang-pulang bensin abis..
trus dianya gak jelas gitu.. kayak gitu-gitu kan.. ganggu hehe..” (tertawa)..
ngeganggu gue aja gitu.. kadang-kadang gue lagi banyak tugas.. lagi ada
masalah tapi satu sisi gue harus mikirin dia.. gitu.. karena kan tiap hari kan
dia tiap hari gitu ada aja masalahnya tiap hari tentang dia.. entah gue harus..
harus ingetin dia minum obat atau entah bokap gue lagi susah karena dia gak
bisa ditelepon dia gak tau lagi kemana.. gitu.. atau dianya lagi gak mau
dengerin bokap.. gitu-gitu”

”Oh ya.. kondisi kakak gue bikin gue kepikiran satu sisi kalo misalkan bokap
nyokap gue udah gak ada gitu ya.. siapa lagi yang mau ngurus dia gitu kan..

92
pasti gue (sambil menunjuk dirinya) trus.. apalagi ya.. ya itu sih yang
kepikiran”

Meskipun sulit untuk menerima kondisi kakaknya yang menderita skizofrenia,


namun pada akhirnya S dapat menerima kondisi tersebut dengan pertimbangan
perasaan akan kasih sayang terhadap kakaknya.

”Gue baik-baik aja tapi kalo dia mulai aneh-aneh gue mulai sebel gitu.. dan
sebelnya gue ya..paling gue diem aja gitu atau gue menghindar gitu.. kalo
perasaan sih (terdiam sesaat) yah.. gue sih sayang karena gue kasian banget
kan.. kasian banget.. kalo gue mikirin sih gue kasian.. kadang-kadang
kayaknya pengen nangis gitu.. tapi kalo misalkan lagi kumat trus dia
berantem sama gue itu gue benci banget sama dia hehe.. (tersenyum)”

Karakteristik penyesuaian diri berikutnya yaitu memiliki kemampuan


bertindak secara dinamis, luwes, dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman
tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan. Meskipun tidak semua teman dekat
partisipan S mengetahui kondisi kakaknya, akan tetapi S menceritakan hal tersebut
kepada beberapa teman dekatnya. Tindakan ini menurut S dapat membuat dirinya
merasa lebih baik dan sedikit lega.

”Caranya yah.. gue.. gue gak bilang meyakinkan ke temen gue kalo kakak gue
itu seperti ini (mengalami skizofrenia) tapi ya gue bilangnya kayak kakak gue
tuh kadang-kadang temperamen (mudah marah).. dia ada.. ada penyakit tapi
gak selalu seperti itu.. kalo lagi kadang-kadang aja gitu.. ya gitu aja paling
gue bilangnya.. meyakinkan kalo sebenernya itu bukan masalah besar
banget..”

”Menurut gue kalo gue cerita ke temen gue soal kakak gue.. ngebantu sih
walau sedikit.. tapi ngebantu aja.. ngebantu jadi lebih.. lebih apa ya.. lebih
plong.. trus temen juga jadi bisa lebih kasih pengertian.. ya intinya sih
ngebantu..”

Pembawaan S yang mudah berteman dan ramah membantunya membuatnya


dapat menerima dan diterima lingkungan meskipun ia kerap berpindah-pindah
sekolah.

”Gue temen deket.. banyak sih temen deket gue banyak karena secara dulu
gue pindah-pindah sekolah hehe.. (tertawa).. trus.. jadi punya temen banyak,
gue juga gak milih-milih temen dan gue pun bisa ngobrol cepet sekalipun
sama orang baru..”

93
Secara keseluruhan, partisipan S mampu mengambil manfaat dari kejadian
yang menimpanya tanpa menimbulkan kesedihan mendalam. Hal tersebut sesuai
dengan salah satu karakteristik penyesuaian diri yaitu memiliki kesanggupan
merespons frustrasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat, dan profesional, dapat
mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh manfaat tanpa harus
menerima kesedihan yang mendalam.

”Oh.. hikmahnya sih ya gue jadi lebih memperhatikan orang-orang yang..


gue jadi lebih memperhatikan tentang kejiwaan kali ya gitu.. trus..
ngebebanin kalo kakak gue ngebebanin sih iya.. ya juga.. tapi ya hikmahnya
itu.. gue jadi lebih memperhatikan tentang kejiwaan.. tentang orang-orang
yang.. yang depresi yang punya masalah-masalah kayak gitu.. pasti dari
kejadian ini pasti ada.. ada suatu rahasialah.. dari yang di atas kan gak tau
apa.. paling itu aja..”

”Gue belajar biasa aja..gue belajar nanggepin dia biasa seperti orang
normal..supaya kalo misalkan nanti dia ternyata sama gue..gue yang ngurus
gitu, dia harus belajar kalo misalkan hidup tuh yang biasa aja gitu lo harus
bisa normal jangan sering diladenin yang lo denger suara-suara atau emosi
atau perasaan..intinya gue anggep bener-bener kaya dia tuh sebenernya gak
sakit”

Partisipan 2 (D)
Partisipan D adalah seorang remaja perempuan berusia 13 tahun dan
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ketika berusia 12 tahun, ia mengetahui
kakak perempuannya, SY mengalami skizofrenia. Berbeda dengan partisipan S,
partisipan D mengaku menyaksikan sendiri awal mula saudara kandungnya menderita
skizofrenia. D mengetahui bahwa kakaknya kerap terlihat gelisah saat malam hari dan
pernah memergoki kakaknya naik ke atap rumah tanpa alasan yang jelas. SY
mendapat diagnosis skizofrenia dari psikiater ketika usianya 17 tahun. Saat ini SY
menjalani kontrol teratur di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta.

”Apa ya.. pertama-tama dia sakit.. sakitnya dia gini apa namanya.. ya
pertamanya dia.. kalo malem-malem tuh sering bangun abis itu.. (D
menghela napas panjang) tau deh dia ke kamer mandi.. pokoknya.. kayaknya
dia kepanasan deh gak tau kenapa kalo malem-malem suka begitu.. abis itu
dia yang bikin herannya lagi dia waktu itu pernah.. lagi gak sadar kali yah
e... naek genteng! Naek genteng gak tau mau ngapain gak jelas.. abis naek
genteng aku panik.. aku..aku tau-tau mamah pulang.. eh gitu ini disuruh turun
sama mamah.. Apa ya.. dia tuh kaku! Kaku badannya pernah waktu itu dia
apa ya.. dia gak tau muter-muter sendiri.. jalan.. pandangannya juga kosong..
serem deh.. abis itu apalagi yah.. dia e.. apa namanya sering keluar.. sering
keluar tapi ini.. tapi pulang.. pernah waktu itu juga dia keluar sekitar pagi-

94
pagi ya.. pagi-pagi eh dia pergi abis itu dia ke daerah Fatmawati.. untung
ada yang nemuin dia.. apa ya.. kan dia kali ditanyain nomor teleponnya.. eh
ada bapak.. orang.. orang nelpon ke sini.. e.. o ya mamah pertamanya gini..
ini SY kemana yah kok gak pulang pulang ampe sore gitu.. eh ada yang
nelpon e.. ini.. ini anak ibu namanya SY yah.. ini bu ada di kawasan
Fatmawati daerah sono.. dia ngabur tau.. abis itu juga dia kan udah
ditemuin.. udah ditemuin.. dia pulang ama mamah..”

Berkenaan dengan reaksi keluarga, D menuturkan pada saat awal mula


kakaknya menderita skizofrenia, ibunda D merasakan kesedihan yang mendalam.

”Kalo mamah waktu itu pas dia sakit itu.. mamah tuh sedih banget.. mamah
sedih banget.. kalo papah malah suruh ngusulinnya ke RS “X”.. abis itu di RS
kan dia ditanganin.. apa ya sepi deh gak ada dia.. aku belum pernah sih
jenguk.. ngejenguk.. tapi diceritain papah katanya tempatnya kayak penjara
gitu.. di sel”

Partisipan D mengungkapkan bahwa dirinya kerap merasakan sulit


berkonsentrasi ketika sedang belajar dikarenakan aktivitas kakaknya yang cukup
membuatnya merasa terganggu.

”Oh ya.. sedih abis itu juga.. kok kakak saya bisa kayak gini.. malu ada.. yah
abis itu aku juga kalo pelajaran.. waktu itu pengen apa namanya.. pengen
belajar itu juga gak tenang.. soalnya dianya nyalain itu radio kegedean.. abis
itu juga sikapnya kayak gitu.. jadi gak bisa belajar waktu itu.. ya keganggu,
kakak tau T Fm (salah satu radio swasta di Jakarta) gak.. tau dia.. dia
ngefans banget ama itu.. paling pusing dia kalo nyalain radionya gede
banget.. jadi aku pusing deh..”

Meskipun kerap memikirkan mengenai peristiwa yang dialami oleh kakaknya,


partisipan D mampu menerima kondisi kakaknya dan tetap menyayanginya sebagai
seorang kakak.

”Nerima ya gimana emang udah dari sononya kali..”

“Tetep sayang.. sayang gak ngebeda-bedain.. gitu..”

Karakteristik penyesuaian diri berikutnya yaitu memiliki kemampuan


bertindak secara dinamis, luwes, dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman
tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan. Dalam berinteraksi dengan lingkungan,
meskipun partisipan D terkadang merasa tidak diterima oleh beberapa temannya dan
kerap diacuhkan, akan tetapi ia berusaha untuk membina hubungan secara akrab
dengan teman-temannya.

95
”Ya deket ama semua.. tergantung temennya gimana.. e.. temennya gimana
temen aku ada tuh yang jutek (ketus) jadi aku apa namanya.. dia ngapa-
ngapain kalo lagi temen dia kan ngedeketin temen.. abis itu dia kalo lagi
deketin temen misalnya lagi gak ada temen dimusuhin.. eh nargetnya aku..
aku diajak ngomong.. giliran dia lagi ama temen-temen eh.. gak aku dicuekin
ngomong.. malah ngomong sendiri”

Di dalam berinteraksi dengan lingkungan, partisipan D merasa perlu


membatasi pergaulan dirinya dengan teman-teman. Hal ini dikarenakan, ia pernah
memiliki pengalaman yang kurang enak berkaitan dengan kondisi kakaknya (SY)
yang mengalami skizofrenia. D tidak menceritakan kondisi kakaknya tersebut kepada
beberapa teman dekatnya. Tindakan ini menurutnya dikarenakan dirinya tidak ingin
cerita mengenai kondisi kakaknya diketahui oleh orang banyak termasuk teman-
temannya.

”Gak.. gak.. gak kebanyakan cerita nanti nyebar.. juga takutnya nanti di
ituin.. diejek.. ada temen saya yang mulutnya klemes (tidak bisa menjaga
rahasia) soalnya waktu itu pernah! Tau dia taunya dari mana yah.. dia cerita
ke semua orang..gak tau padahal dia (SY) di rumah aja ya..aku kesel gitu yah
kak! Tapi gak saya lawan takut nanti masalahnya jadi panjang dan melebar”.

Dalam mengatasi permasalahan berkenaan dengan beban pikiran yang


dihadapi mengenai kakaknya yang mengalami skizofrenia, partisipan D berusaha
untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan di lingkungan secara aktif dan melakukan
ibadah secara rutin. Sementara itu, saat ini ia nampak belum dapat menuai hikmah
dalam merespons pengalaman memiliki saudara kandung yang mengalami
skizofrenia.

”Nanggepinnya.. ngatasinnya maksudnya kita.. kita apa namanya aku..


ngatasinnya ini.. biasa-biasa aja maksudnya gak banyak kepikiran gitu..
sedangkan orang itu kan bakalan lupa kan... apa namanya.. ngatasinnya.. ya
ngejalanin aktivitas yang biasa dilakuin yah ngaji.. ngaji waktu itu aku
sering.. abis itu e.. sekolah iya itu aktif itu yang di luar rumah”

“Belum tau hikmahnya apa dari kejadian ini, pesennya harus sabar abis gitu
jangan denger kata orang lain” (mengenai kakaknya yang menderita
skizofrenia)”.

Partisipan 3 (A)
Partisipan A merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ia memiliki kakak
kandung laki-laki, yakni AR, yang mengalami skizofrenia (anak kedua dalam
keluarga A). Partisipan A menuturkan bahwa dirinya melihat secara langsung awal

96
mula AR mengalami skizofrenia paranoid. AR mendapat diagnosis tersebut dari
psikiater ketika berusia 17 tahun. AR saat ini menjalani rawat jalan di salah satu
rumah sakit pemerintah di Jakarta.

“Tadinya awalnya, AR (kakak A) kan masih sekolah di SMA kelas dua, tiba-
tiba kata ibu dia dapet telepon dari gurunya, kok anak ibu tiba-tiba begini?,
temennya lagi pada belajar, anak ibu keluar sendiri ke ruang olah raga
nendang-nendang bola gitu kejadiannya..nah gitu terus kalo cerita katanya
ada sih jadi waktu itu.. temen dekatnya tuh gantung diri dan dia ngeliat..jadi
mungkin dari situ dia udah bengong terus katanya..ketambahannya dari
situ..jadi ngelamun.. Ar ini ngelamun bengang bengong gitu kaya ada yang
lagi dipikirin gitu tuh awalnya tuh..tingkah lakunya sih awalnya suka ketawa
sendiri..suka bulak-balik suka ketawa lari sana lari sini”.

A menuturkan bahwa keluarganya pun merasakan kesedihan dalam


menghadapi kenyataan memiliki anggota keluarga yang mengalami skizofrenia.

”Ya nyokap sih heran trus sedih ya kaget kenapa AR bisa begini..waktu
dibawa ke psikiater juga gak diapa-apain cuma dikasih obat penenang aja”

Ketika berinteraksi secara sehari-hari, A mengatakan bahwa dirinya tidak


merasa terganggu akan perilaku AR yang menderita skizofrenia. Meskipun merasa
tidak terganggu dalam menjalani aktivitas sehari-hari, kondisi AR yang
membutuhkan penanganan dan perawatan khusus turut menjadi beban pikiran A
khususnya dalam menyikapi masa depan.

“Kondisi AR yang seperti ini (menderita skizofrenia) menurut saya gak gitu
berpengaruh karena aku juga udah ngerasa bahagia, maksudnya karena apa-
apa yang kita minta udah dikasih dan disediain sama orang tua”

”Mungkin kalo kecemasan ada ya..ngerinya kalo udah gak ada orang tua AR
mau ama siapa ngikut siapa sih gitu ngerinya yang kepikiran”

Secara eksplisit, partisipan A mengatakan bahwa dirinya berupaya untuk


memahami dan menerima kondisi kejiwaan AR.

“Mungkin doa aja kali ya aku ngerasa belum ngelakuin hal apa-apa…waktu
itu sempet jenguk kalau dia dirawat inap”

”Yah nerima gak nerima mungkin jalannya emang udah kaya gini yah terima
aja..bagaimana pun juga dia itu masih keluarga kita”

97
Dengan menyadari kelebihan yang dimilikinya, A mengatakan bahwa ia
cukup mampu bergaul secara aktif di lingkungannya.

“Kalau kelebihan yah mudah bergaul sama siapa aja, jadi gak membeda-
bedakan mana agama, suku, etnis, ras terus aku merasa selama ini juga
cukup diterima sama lingkungan”

Partisipan A merasa bahwa dirinya bukanlah seorang yang terbuka dalam


menceritakan permasalahan yang dimilikinya, namun demikian ia tidak berkeberatan
jika suatu saat teman-temannya mengetahui mengenai kondisi kejiwaan kakaknya.

“Aku orangnya jarang cerita segala sesuatu ke orang lain..dan itu nyaman-
nyaman aja buat aku jadi lebih ke dipendem sendiri kalo ada masalah..kalo
untuk cerita ke temen jangan dulu deh biarin pada tau sendiri aja ke
depannya..temen juga belum ada yang tau..kalo misalnya pun ada yang tau
tanggapannya yah jalanin aja..”

Di dalam mengatasi kekhawatiran dan beban pikiran A mengenai AR yang


mengalami skizofrenia, maka ia akan berupaya untuk mencari kegiatan yang dapat
membuatnya rileks maupun tenang.

“Kalo ngatasin kurang tau juga sih liat ke depannya aja nanti..jadi ya itu
maen ke rumah temen..ya terus belajar atau kumpul, trus maen PS (video
game) trus tidur dengan begitu ngerasanya pikirannya jadi tenang jadi kaya
gak ada masalah lagi kalo di sekolah ya maen aja secara wajar sebagaimana
anak sekolahan lainnya”

Tabel 2: Karakteristik Penyesuaian Diri yang Dialami oleh Partisipan


Berkenaan dengan Memiliki Saudara Kandung Skizofrenia
Karakteristik Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3
penyesuaian diri
(S) (D) (A)
Keinginan untuk Menyadari bahwa kondisi Menyadari ada Menyadari adanya
memperoleh makna AG membuat perubahan tingkah perubahan tingkah laku
dan eksistensi dalam keluarganya terpukul, ia laku yang terjadi pada yang terjadi pada AR
kehidupannya dan di kemudian berupaya untuk SY dan reaksi yang membuat
sisi lain mendapat melakukan hal-hal yang keluarga yang sedih keluarganya merasa
peluang atau mampu membuat suasana setelah SY mengalami sedih dan kaget.
tuntutan dari luar menjadi lebih kondusif, “serangan” yang
dirinya sendiri misalnya dengan berujung pada
mengingatkan AG untuk diagnosis skizofrenia.
mengonsumsi obat sehari-
harinya.

98
Kemampuan Meskipun S sesekali D menyadari bahwa A merasa bahwa
menerima dan merasa terganggu dan kondisi kejiwaan SY peristiwa yang dialami
menilai kenyataan kesal dengan tingkah laku adalah hal yang sulit oleh AR tidak
lingkungan di luar AG, namun ia berusaha untuk diubah sehingga mengurangi penerimaan
dirinya secara untuk menerima ia tetap menerima dirinya terhadap sang
objektif sesuai kenyataan bahwa AG kehadiran SY sebagai kakak. Menurut A,
dengan mengalami skizofrenia kakak kandung yang bagaimanapun AR
pertimbangan dengan disayanginya. merupakan anggota
rasional dan mempetimbangkan keluarganya yang perlu
perasaan perasaan sayang dirinya disayangi.
terhadap AG
Kemampuan S berupaya secara D merasa belum A menyadari belum
bertindak sesuai konsisten untuk banyak memberikan banyak memberikan
dengan potensi mendampingi AG, dukungan kepada SY, dukungan kepada AR,
kemampuan yang meskipun terkadang ia namun hal tersebut namun demikian ia tetap
ada pada dirinya dan merasa sebal dengan tidak mengurangi rasa mendoakan dan
kenyataan objektif di perilaku AG ketika sayang dirinya menjenguk AR ketika
luar dirinya “kambuh”. terhadap SY. dirawat inap.
Kemampuan S mampu menceritakan D tidak menceritakan A tidak menceritakan
bertindak secara kondisi kejiwaan AR kondisi kejiwaan SY kondisi kejiwaan AR
dinamis, luwes, dan kepada teman-temannya. dengan alasan kepada temannya.
tidak kaku sehingga Menurut S, dengan memiliki pengalaman Menurut A jikapun
menimbulkan rasa bercerita ia merasakan yang kurang teman-temannya
aman tidak dihantui kelegaan karena merasa menyenangkan mengetahui, ia
oleh kecemasan atau tidak menutup-nutupi dikarenakan cerita menganggap hal
ketakutan kondisi kejiwaan AR. kondisi kejiwaan SY tersebut bukan sebuah
menyebar diantara hal yang mengganggu
teman-temannya yang dirinya.
membuatnya merasa
malu.
Dapat bertindak S merasa dirinya D merasa dirinya A merasa memiliki
sesuai dengan memiliki pembawaan tidak serta merta kelebihan untuk bisa
potensi-potensi yang ramah dan mudah berteman dengan bergaul dengan siapa
positif yang layak berinteraksi sekalipun akrab di saja tanpa memandang
dikembangkan dengan orang baru yang lingkungannya. perbedaan. A juga
sehingga dapat membuatnya mudah pandangan dirinya merasa bahwa ia
menerima dan beradaptasi dengan terhadap lingkungan memiliki lingkungan
diterima lingkungan, tuntutan lingkungan. pertemanan lebih yang dapat
tidak disingkirkan bersifat negatif menerimanya saat ini.
oleh lingkungan dikarenakan
maupun menentang pengalaman
dinamika lingkungan sebelumnya.
Kesanggupan S memiliki kekhawatiran Menyebarnya cerita Meskipun A
merespons frustrasi, bahwa dirinya akan mengenai kondisi menuturkan bahwa
konflik, dan stres mengurus AG di masa kejiwaan SY kondisi kejiwaan AR
secara wajar, sehat, depan. Untuk itu, S merupakan konflik tidak mempengaruhinya
dan profesional, berusaha untuk dan stres yang dialami secara signifikan,
dapat mengontrol membiasakan diri oleh D. Dalam namun ia merasakan
dan menghadapi tingkah laku mengatasi hal kecemasan akan
mengendalikannya AG dan menyiapkan tersebut, D berusaha menjadi orang yang
sehingga dapat kemandirian AG. Di sisi menenangkan dirinya mengurus AR, ketika

99
memperoleh manfaat lain, S memaknai dengan mengikuti orang tuanya sudah
tanpa harus peristiwa yang menimpa kegiatan pengajian. tiada. Untuk mengatasi
menerima kesedihan AG justru membuatnya Dalam memandang hal tersebut A berusaha
yang mendalam lebih memahami hikmah, D mengaku mengalihkan
persoalan yang berkaitan belum tahu makna kecemasannya dengan
dengan kejiwaan. dari peristiwa yang melakukan aktivitas lain
dialami oleh seperti berkumpul
keluarganya dalam bersama teman-teman.
merawat SY yang
mengalami
skizofrenia

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan rumusan permasalahan yang ingin dijawab oleh peneliti, peneliti
menarik kesimpulan bahwa ketiga partisipan mampu menunjukkan karakteristik
penyesuaian diri dengan cukup baik, berkenaan dengan memiliki saudara kandung
yang memiliki gangguan skizofrenia. Partisipan S dan D mengatakan bahwa
kehidupan mereka cukup terpengaruh dengan memiliki saudara kandung skizofrenia.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengatakan tidak bisa secara leluasa
melakukan aktivitasnya seperti belajar dan berinteraksi bersama kakaknya di rumah.
Sementara itu, ketiga partisipan mengatakan bahwa mereka memikirkan masa depan
kakaknya yang mengalami skizofrenia. Salah satu beban yang dimiliki oleh partisipan
S dan A yakni kekhawatiran akan nasib saudara kandungnya apabila orang tua
mereka sudah tidak ada. Kondisi yang dialami oleh ketiga partisipan sejalan dengan
penelitian Lindz, Fleck, dan Cornelison (1967) yang mengungkapkan bahwa
individu dengan saudara kandung skizofrenia, akan merasakan beban dan perasaan
terganggu sewaktu-waktu. Reaksi keluarga ketiga partisipan dalam menghadapi
peristiwa ini pun termasuk beragam, pada keluarga partisipan A perasaan kaget dan
bingung cukup mendominasi sedangkan pada keluarga partisipan S dan D perasaan
sedih dan kaget nampak terlihat ketika masa-masa awal saudara kandung mereka
mengalami gejala skizofrenia. Arif (2004) mengungkapkan bahwa skizofrenia adalah
gangguan yang dapat berlangsung seumur hidup pasien, sehingga dapat menimbulkan
beban finansial dan emosional yang berat dan berkepanjangan bagi keluarga.
Ali dan Asrori (2004) mengungkapkan bahwa remaja yang mempunyai
penyesuaian diri yang baik adalah remaja yang telah belajar bereaksi terhadap dirinya
dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat,
serta dapat mengatasi konflik mental, frustrasi, kesulitan pribadi dan sosial tanpa
mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang
mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama, dan pekerjaan. Ketiga partisipan
meskipun pada awalnya memiliki rasa terganggu ketika menjalani rutinitas sehari-
hari akan kehadiran saudara kandung yang mengalami gangguan skizofrenia, namun
demikian pada akhirnya mereka belajar untuk dapat menerima dan menyesuaikan diri
terhadap tuntutan lingkungan tersebut. Partisipan S misalnya, dalam memberikan
dukungan dan merawat saudara kandung dengan skizofrenia, ia nampak terlihat siap

100
dengan membantu mengingatkan kakaknya AG agar rutin meminum obat. Hal ini
juga terlihat pada partisipan lainnya (D dan A) yang berusaha untuk tetap menjalin
keakraban dengan saudara kandung mereka yang mengalami skizofrenia meskipun
tidak seaktif S dalam merawat saudara kandung dengan skizofrenia. Di sisi lain,
sebagai remaja perempuan mereka tetap mampu untuk membina relasi interpersonal
yang dekat dengan lingkungan teman-temannya. Hal ini bermakna bahwa peristiwa
yang terjadi pada mereka tidak mengganggu keberfungsian sehari-hari khususnya
dalam menjalin interaksi sosial.
Berdasarkan karakteristik penyesuaian diri yang menuntut kemampuan untuk
bertindak secara dinamis dan luwes, dari ketiga partisipan, hanya partisipan D yang
merasa tidak nyaman dengan lingkungan pertemanannya. D juga membatasi diri
untuk bercerita mengenai kakaknya, SY yang mengalami skizofrenia. Kondisi
tersebut adalah konsekuensi perilaku dari D yang merasa cerita mengenai kakaknya
yang menderita skizofrenia pernah tersebar di lingkungan. Hal ini tidak ditemukan
pada kedua partisipan lainnya (S dan A), dimana mereka berusaha untuk tidak
menutupi kondisi kejiwaan kakaknya. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2003)
pengalaman belajar dan keadaan lingkungan dapat mempengaruhi penyesuaian diri.
Kondisi tersebut cukup menjelaskan sikap D yang tidak merasa nyaman akan
lingkungannya dikarenakan pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan.
Selain faktor keadaan lingkungan dan pengalaman belajar, peneliti juga menemukan
bahwa dukungan teman sebaya cukup berpengaruh pada ketiga partisipan dalam
menyesuaikan diri. Partisipan S mengatakan bahwa dengan menceritakan kondisi
kakaknya, yakni AG kepada teman dekatnya dapat mengurangi bebannya secara
berkala dan dirasa cukup membantu membuatnya merasa lega karena merasa
memiliki tempat berkeluh kesah. Hal tersebut juga dialami oleh partisipan A ketika
dirinya merasa perlu untuk menenangkan diri dalam menghadapi perilaku saudara
kandungnya, maka ia akan pergi ke rumah teman-temannya sekadar untuk
melepaskan penat. Pada partisipan D, meskipun ia memiliki pengalaman yang kurang
menyenangkan dalam berteman, namun ia tetap berusaha untuk membina hubungan
akrab di lingkungan sekolah. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Ibrahim (2002)
yakni remaja perempuan akan berusaha keras untuk mampu menyesuaikan diri dan
memenuhi tuntutan lingkungan mereka, salah satunya dengan membina hubungan
akrab sesama teman sebaya sebagai penyaluran ketika mereka mengalami konflik.
Ditinjau berdasarkan karakteristik penyesuaian diri dalam merespons konflik,
ketiga partisipan memiliki konflik dan kecemasan terkait dengan penanganan dan
perawatan saudara kandung mereka. Partisipan S dan A memiliki kecemasan terbesar
bahwa suatu saat akan mengurus kakaknya yang menderita skizofrenia jika orang
tuanya sudah tiada, sedangkan partisipan D memiliki konflik terbesar dalam dirinya
untuk tidak menceritakan kondisi kakaknya yang menderita skizofrenia karena
dikhawatirkan akan tersebar luas pada orang lain seperti pengalaman yang
dialaminya. Dalam menghadapi kondisi tersebut berbagai strategi penyesuaian diri
dilakukan oleh para partisipan. Partisipan S misalnya merasa mampu mengatasi
kecemasan terbesarnya dengan mempersiapkan maupun melatih kemandirian AG,

101
kakaknya, agar tidak sepenuhnya bergantung pada orang lain di masa depan. Pada
partisipan D dan A, mereka berusaha mengalihkan pikiran kekhawatirannya dengan
melakukan kegiatan-kegiatan seperti berkumpul dengan teman maupun kegiatan yang
bersifat keagamaan untuk menenangkan diri.
Dalam menyikapi keadaan stres maupun beban pikiran terkait kondisi
kejiwaan yang dialami oleh kakaknya, para partisipan nampak mampu menerima
kehadiran kakaknya dengan perjalanan gangguan skizofrenia yang dialami. Hal ini
sejalan dengan teori Corsini (2002) yang menyatakan penyesuaian diri merupakan
modifikasi dari sikap dan perilaku untuk memenuhi tuntutan hidup secara efektif,
seperti membina relasi sosial, menerima keadaan stres atau situasi problematis.
Partisipan A mengatakan bahwa bagaimanapun kakaknya yang mengalami
skizofrenia, AR tetap bagian dari anggota keluarga yang perlu disayangi. Selain itu,
Smith dan Greenberg (2008) membuktikan bahwa penderita skizofrenia akan
berangsur memulih jika saudara kandungnya dapat memahami penyakit tersebut
bukan sebagai sebuah keanehan, melainkan bagian dari gangguan kejiwaan yang
tidak dapat mereka kendalikan. Saran yang dapat dilakukan untuk penelitian
berikutnya, yakni melakukan penelitian untuk mencari tahu dukungan sosial dan
hubungannya terhadap penyesuaian diri individu yang memiliki saudara kandung
skizofrenia. Hal ini dikarenakan selain faktor keadaan lingkungan dan pengalaman
belajar, peneliti juga menemukan bahwa dukungan teman sebaya cukup berpengaruh
pada ketiga partisipan dalam menyesuaikan diri. Pada penelitian selanjutnya, juga
dapat dibahas mengenai dukungan personal yang diberikan oleh saudara kandung
terhadap tingkat ketenangan maupun kondisi yang memulih dari pasien skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. & Asrori, M. (2004). Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik. Jakarta:
Bumi Aksara.
Arif, I.S. (2004). Object relations family therapy. Dari anak sampai usia lanjut:
bunga rampai psikologi perkembangan. Disunting oleh Singgih D. Gunarsa.
Jakarta: Gunung Mulia.
Arif, I. S. (2006). Skizofrenia memahami dinamika keluarga pasien. Bandung:
Refika Aditama.
Corsini, R. J. (2002). The dictionary of psychology. New York: Brunner-Routledge.
Fernald, D. (1997). Psychology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. D. (2003). Psikologi perawatan. (Cetakan ke-4).
Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. D. (2004). Psikologi perkembangan anak dan remaja.
(Cetakan ke-11). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ibrahim, Z. (2002). Psikologi Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.
Jones, S. & Hayward, P. (2004). Coping with schizophrenia. USA:
McNaughton & Gunn.
Lindz, T., Fleck, S. & Cornelison, A. R. (1967). Schizophrenia and the family.
New York: International Universities Press.

102
Neale, J. M., Davison, G. C. & Kring, A. M. (2004). Abnormal psychology. (9th Ed.).
Toronto: John Wiley & Sons, Inc.
Papalia, D.E., Olds, S. & Feldman, R. D. (2004). Human development.
(9th Ed.). New York: McGraw-Hill.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
(Edisi ke-3). Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.
Priatna, C. & Yulia, A. (2006). Mengatasi persaingan saudara kandung pada anak-
anak. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Smith, M. J. & Greenberg, J. S. (8 Januari 2008). Factors contributing to the quality
of siblings relationships for adults with schizophrenia. Diunduh pada 16
November, 2008 dari
http://www.schizophrenia.com/sznews/archives/005898.html
Slamet, S. & Markam, S. (2003). Pengantar psikologi klinis. Jakarta: UI Press.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum dalam lintasan sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
Stalberg, G. Ekerwald, H., & Hultman, C. M. (2004). Siblings of patients with
schizophrenia: sibling bond, coping patterns, and fear of possible
schizophrenia heredity. Diunduh pada 26 November 2008 dari
http://www.schizophreniabulletin.oxfordjournals.org/cgi/content/abstract/
30/2/445
Wiramihardja, S. A. (2004). Pengantar psikologi klinis. Bandung: Refika Aditama.

103

Anda mungkin juga menyukai