Anda di halaman 1dari 14

G.

Penerapan Critical Thingking, Klinikal Judgemen, Problem Solving


dalam Asuhan Kespro dan KB

BERPIKIR TINGKAT TINGGI & PROBLEM SOLVING


KESEHATAN REPRODUKSI SISWA CERDAS ISTIMEWA

Nur Eva
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
Email: nur.eva2012@gmail.com

Abstrak: Problem kesehatan reproduksi siswa Cerdas Istimewa (CI) dalam usia remaja
tidak jauh berbeda dengan remaja yang lain. Tugas perkembangan remaja adalah
menyiapkan diri berinteraksi dengan lawan jenis untuk menjalankan peran gendernya pada
masa dewasa. Siswa CI pada usia remaja mampu berpikir abstrak yang melebihi
kemampuan remaja pada umumnya. Hal ini merupakan dasar untuk berpikir tingkat tinggi.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat digunakan untuk menyelesaikan problem
kesehatan reproduksi yang muncul masa remaja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
hubungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving kesehatan reproduksi
siswa CI. Subyek penelitian ini adalah siswa CI program akselerasi pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di kota Sidoarjo Jawa Timur dan berjumlah 30 orang. Alat ukur
yang digunakan adalah kuesioner tentang berpikir tingkat tinggi dan problem solving. Hasil
penelitian menunjukan adanya hubungan positif antara kemampuan berpikir tingkat tinggi
& problem solving kesehatan reproduksi. Dengan demikian disarankan agar siswa CI yang
mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan mampu melakukan problem solving
kesehatan reproduksi menjadi tutor sebaya bagi remaja seusianya.
Kata kunci: siswa CI, berpikir tingkat tinggi, problem solving, kesehatan reproduksi

1
Remaja adalah generasi yang akan menerima tongkat estafet kehidupan masa yang
akan datang. Berpijak dari peranan remaja yang sangat strategis ini menjadi hal yang
penting untuk menyelamatkan remaja dari berbagai problem yang akan menghancurkan
kehidupannya. Selama ini problem yang menerpa kehidupan remaja tidak dapat dianggap
sepele. Problem pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dll menjadi penghalang
remaja untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah satu problem remaja yang
perlu dicermati adalah terkait dengan problem kesehatan reproduksi. Problem kesehatan
reproduksi (kespro) pada remaja dapat dibagi menjadi dua, yaitu ringan dan berat. Problem
kespro yang ringan seperti gangguan kesehatan akibat menstruasi, keputihan, dll.
Sedangkan problem kespro yang berat seperti, aktivitas seksual sebelum menikah,
kehamilan di luar nikah, aborsi, terjangkitnya penyakit menular seksual termasuk
HIV/AIDS. Problem kespro ini akan mengganggu remaja menjalankan aktivitas pribadi dan
sosial. Bahkan, problem kespro yang berat akan menghancurkan kehidupan remaja.
Akibatnya remaja akan kehilangan kesempatan untuk menyiapkan diri menjadi generasi
yang siap menerima tongkat estafet kehidupan.

Problem kespro pada remaja dapat selesaikan dengan melibatkan remaja itu sendiri
dengan membekali remaja dengan berbagai informasi yang terkait dengan kespro dan
mengajarkan berpikir untuk menyelesaikan masalah kespro yang muncul pada diri sendiri,
teman, dan lingkungan dimana dia berada. Remaja yang belajar dalam program akselerasi
mempunyai kemampuan intelektual, krearivitas dan komitmen terhadap tugas yang tinggi
atau lebih dikenal dengan siswa cerdas istimewa (CI). Kemampuan ini dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi sehingga remaja
menemukan penyelesaian yang baik dan benar terhadap problem kespro. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat hubungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving
kesehatan reproduksi siswa CI.

2
Kesehatan Reproduksi

WHO mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai keadaan sejahtera secara fisik,


mental dan sosial yang bukan karena ketiadaan penyakit dan kecacatan, yang berkaitan
dengan sistem, fungsi dan proses-prosesnya (Sadli, dkk. 2006). Dari definisi itu nampak
bahwa masalah kesehatan reproduksi adalah masalah yang menyeluruh, luas dan saling
terkait. Kesehatan reproduksi harus dipahami dan dijabarkan sebagai siklus kehidupan (life
cycle) mulai dari konsepsi sampai mengalami menopause dan menjadi tua. Hal ini berarti
menyangkut kesehatan balita, anak, remaja, ibu usia subur, ibu hamil dan menyusui, dan
ibu yang menopause. Setiap tahap dalam siklus kehidupan itu memiliki keunikan
permasalahan masing-masing, namun juga saling terkait dengan tahap lainnya. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi dalam siklus itu, di antaranya kemiskinan,
status sosial yang rendah, diskriminasi, kurangnya pelayanan dan pemeliharaan kesehatan,
pendidikan yang rendah, dan kehamilan usia muda. Setiap faktor akan membawa dampak
bagi kesehatan reproduksi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berfikir Tingkat Tinggi

Ada beberapa definisi berfikir tingkat tinggi , Vui, 2001 (dalam Rosnawati, 2009)
menjelaskan bahwa berfikir tingkat tinggi terjadi pada saat individu mengaitkan informasi
yang baru dengan informasi yang tersimpan dalam memori, menghubung, menata ulang
dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan
masalah. Thomas dan Thorne (2005) menyatakan bahwa “Higher order thinking is
thinking on higher level that memorizing facts or telling something back to sameone exactly
the way the it was told to you. When a person memorizies and gives back the informatio
without having to think about it. That’s because it’s much like arobot; it does what it’s
programmed to do, but it doesn’t think for itself”. Thomas dan Thorne berpendapat bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.

Berbasis kepada Taksonomi Bloom, terdapat tiga aspek dalam ranah kognitif yang
menjadi bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher-order thinking. Ketiga

3
aspek itu adalah aspek analisa, aspek evaluasi dan aspek mencipta. Sedang tiga aspek lain
dalam ranah yang sama, yaitu aspek mengingat, aspek memahami, dan aspek aplikasi,
masuk dalam bagian intilektual berpikir tingkat rendah atau lower-order thinking
(Munandar, 1999). Berfikir tingkat tinggi mempunyai karakteristik (Resnick, 1987), yaitu:
non algorithmic, kompleks, self regulative, penuh makna, penuh usaha, menyediakan
banyak solusi, bernuansa penilaian (nuanced judgment), dan tidak pasti.

Berfikir tingkat tinggi adalah satu komponen dari keterampilan berfikir kreatif dan
berfikir kritis. Berfikir kreatif dapat mengembangkan individu menjadi lebih inovatif,
mempunyai kreativitas yang baik, ideal dan imajinatif. Ketika individu tahu bagaimana
menggunakan kedua keterampilan tersebut, ini artinya individu mempraktikan berfikir
tingkat tinggi . Semua individu dapat berpikir tetapi sebagian besar mereka membutuhkan
dukungan, guru, dan pendampingan untuk berproses berpikir tingkat yang lebih tinggi.
Berfikir tingkat tinggi dapat diajarkan dan dipelajari. Semua individu mempunyai hak
untuk mempelajari dan menerapkan keterampilan berpikir seperti disiplin pengetahuan
yang lain.

Rosnawati (2009) menyebutkan ada enam tahapan aktivitas yang harus dilalui agar
dapat mengembangkan berpikir tingkat tinggi yaitu: 1) menggali informasi yang
dibutuhkan; 2) mengajukan dugaan; 3) melakukan inkuiri; 4) membuat konjektur ;5)
mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan

Problem Solving

Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan
masalah dan memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat
diambil kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1994, dalam Yasin, 2009). Problem
solving yaitu suatu pendekatan dengan cara identifikasi problem untuk dilanjutkan ketahap
sintesis kemudian dianalisis dengan pemilahan seluruh masalah sehingga mencapai tahap
aplikasi selajutnya pada tahap komprehensif untuk mendapatkan solution dalam
penyelesaian masalah tersebut. Pendapat lain problem solving adalah suatu pendekatan

4
dimana langkah-langkah berikutnya sampai penyelesaian akhir lebih bersifat kuantitatif
yang umum sedangkan langkah-langkah berikutnya sampai dengan penyelesaian akhir
lebih bersifat kuantitatif dan spesifik (dalam Yasin, 2009). Sedangkan Edward (2007)
menjelaskan bahwa problem solving merupakan suatu proses kognitif yang diterapkan saat
mengatasi permasalahan untuk meraih suatu tujuan. Jadi problem solving adalah proses
kognitif yang berfungsi untuk menemukan dan memecahkan masalah melalui proses
sintesis, analisis dan bersifat komprehensif.

Berpikir memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang baru adalah kegiatan
yang kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang lain. Suatu masalah umumnya tidak
dapat dipecahkan tanpa berpikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang baru
bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan sesuatu (benda-benda,
gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup problem
solving. Ini berarti informasi fakta dan konsep-konsep itu penting. Seperti telah kita
ketahui, penguasaan informasi itu perlu untuk memperoleh konsep; keduanya itu harus
diingat dan dipertimbangkan dalam problem solving dan perbuatan kreatif. Begitu pula
perkembangan intelektual sangat penting dalam problem solving (Slameto, 1990 : 139).

Dengan demikian problem solving merupakan suatu proses taraf yang dilalui
dengan cara memahami sejumlah pengetahuan dan ketrampilan kerja dan merupakan hasil
yang dicapai individu setelah individu yang bersangkutan mengalami suatu proses belajar
problem solving yang diajarkan suatu pengetahua tertentu. Dengan problem solving suatu
masalah akan mempunyai banyak solusi dan kesimpulan yang diambil lebih realistik
(Lawson, 1991, dalam Yasin, 2009)

Yasin (2009) berpendapat bahwa ada tiga langkah untuk problem solving, yaitu:
mengidentifikasi masalah, menentukan sumber dan akar masalah, dan mencari solusi yang
efektif dan efisien. Adapun langkah-langkah lain yaitu menurut konsep Dewey (dalam
Yasin, 2009) yang menjadikan berpikir sebagai dasar untuk problem solving  adalah
sebagai berikut: 1) adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah.

5
2) masalah itu diperjelas dan dibatasi. 3) mencari informasi atau data dan kemudian data itu
diorganisasikan atau diklasifikasikan. 4) mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan
hipotesa-hipotesa kemudian hipotesa-hipotesa dinilai, diuji agar dapat ditentukan untuk
diterima atau ditolak. 5) penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus
berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai kepada
kesimpulan. Langkah-langkah dalam problem solving ini tidak selalu mengikuti urutan
yang teratur, melainkan dapat meloncat-meloncat antara macam-macam lankah tersebut,
lebih-lebih apabila orang berusaha memecahkan masalah yang kompleks.

Williams dan Carey (2003) menjelaskan ada enam langkah problem solving yaitu
identifikasi masalah, mencari informasi dan menetapkan tujuan, menemukan berbagai
akternatif solusi, memilih solusi, menyiapkan pelaksanaan solusi yang dipilih, dan
mengevalusi dan merevisi solusi. Jadi proses problem solving dimulai dari mengidentifikasi
masalah terlebih dahulu, dilanjutkan mencari penyebab munculnya masalah dan diakhiri
dengan mencari berbagai alternatif solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi problem solving, seperti: motivasi,


kepercayaan dan sikap yang salah, kebiasaan dan emosi (Rahmat (2001). Ahli yang lain
berpendapat bahwa problem solving dipengaruhi kemampuan kognitif atau kecerdasan
(Rahmat, 2001 dan Sheryl, 2012), pengasuhan orang tua dan kurikulum yang
dikembangkan guru di sekolah (Nair & Ngang, 2012)

Berfikir Tingkat Tinggi dan Problem Solving

Dalam taksonomi Bloom berfikir tingkat tinggi terjadi pada tahap sintesis, analisis,
evaluasi dan kreativitas. Proses ini terjadi pada ranah kognitif dimana individu akan
mengaitkan informasi yang baru dengan informasi yang tersimpan dalam memori,
menghubung, menata ulang dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai tujuan
atau menyelesaikan masalah. Proses dalam berfikir tingkat tinggi ini akan membantu
individu dalam memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah karena akan terjadi

6
proses mengidentifikasi masalah terlebih dahulu, dilanjutkan mencari penyebab munculnya
masalah dan diakhiri dengan mencari berbagai alternatif solusi yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Jadi ada hubungan yang positif antara kemampuan berfikir tingkat
tinggi dan kemampuan problem solving.

Remaja

Menurut Santrock (2003), remaja (adolescence) diartikan sebagai masa


perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13
tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Thornburgh (1982 dalam Pertiwi, )
membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) remaja awal antara 11-13 tahun, 2)
remaja pertengahan antara 14-16 tahun,dan 3) remaja akhir antara 17-19 tahun.

Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkaitan erat


dengan perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak dan kemandirian. Masa
transisi ini adalah hal yang sulit bagi remaja, dimana proses perubahan di dalam tubuh
sedang berlangsung. Perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk
tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual).
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas ini merupakan peristiwa yang paling
penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan bermuara dari perubahan pada
sistem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi organ reproduksi
untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh.
Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual
primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup
perkembangan organ-organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder
mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada
remaja putri ditandai dengan menarche (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut
pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio
(mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut.

7
Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan
perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan
dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan
dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Kematangan organ
reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta
arus media informasi baik elektronik maupun non elektronik akan sangat berpengaruh
terhadap perilaku seksual individu remaja tersebut. Sebagai akibat proses kematangan
sistem reproduksi ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya
sudah dapat mempunyai keturunan.

Pertumbuhan berat dan tinggi badan juga mengikuti perkembangan kematangan


seksual remaja. Anak remaja putri mengalami pacu tumbuh (penambahan TB dan BB3
dengan cepat) sebelum timbulnya tanda seks sekunder, pada usia rata-rata 8-9 tahun,
sedangkan menarche terjadi rata-rata pada usia 12 tahun. Pada anak remaja putra, pacu
tumbuh mulai terjadi sedikit lebih lambat pada usia sekitar 10-11 tahun, sedangkan
perubahan suara terjadi pada usia 13 tahun. Penyebab terjadi makin awalnya tanda-tanda
pertumbuhan ini diperkirakan karena faktor gizi yang semakin baik, rangsangan dari
lingkungan, iklim, dan faktor sosio-ekonomi.

Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas adalah akibat meningkatnya kadar
hormone kelamin (sex hormones) yang diproduksi gonad dan kelenjar adrenal. Kelenjar ini
dirangsang oleh hormone gonadotropin dari kelenjar hipofisis, yang distimulasi oleh
rangsangan hormone GNRH dari hypothalamus, yang baru dilepaskan setelah tercapai
kematangan tubuh anak. pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki,
kumis dan sebagainya.

Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian
yang merupakan pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian
anak seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa,
keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat tidak dapat

8
diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada masa remaja, seringkali
berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung dan dapat saling berbenturan nilai.

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, (suasana hati) bisa berubah
dengan sangat cepat. Hasil penelitian menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan
hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”,
sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood
(swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah
berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan
terhadap pendapat orang lain yag membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan
citra yang direfleksikan (self-image). Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan
berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata.

Adanya perubahan psikologis pada remaja dipengaruhi oleh pergaulan di


lingkungan. Perubahan-perubahan ini membuat kehidupan remaja menjadi sulit dan rawan.
Seiring perkembangan biologis, mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan so-
sial yang saling bertentangan.

Dalam kondisi yang penuh tekanan ini remaja harus menyiapkan diri agar menjadi
individu dewasa. Berbagai tugas yang harus diselesaikan pada masa remaja ini dikenal
dengan tugas perkembangan remaja.

Siswa Cerdas Istimewa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional dalam ayat 4 menjelaskan bahwa warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Layanan
pendidikan khusus bagi siswa cerdas istimewa terwujud melalui kurikulum terdiferensiasi

9
pada program kelas akselerasi. Program ini dimulai sejak tahun 2000 khususnya bagi siswa
cerdas istimewa (gifted). Siswa yang belajar pada program akselerasi disyaratkan
mempunyai IQ minimal 130 (Skala Weschler), kreativitas dan komitmen terhadap tugas di
atas rata-rata. Dengan kriteria itu diharapkan siswa cerdas istimewa yang belajar pada
program akselerasi diharapkan dapat mencapai prestasi yang optimal sesuai dengan potensi
yang dimilikinya.

Kelas akselerasi mempunyai kurikulum yang berbeda dengan kelas regular. Meier
(2002, dalam Nurbayani, 2013) menulis beberapa prinsip pokok akselerasi pembelajaran,
yaitu: 1) adanya keterlibatan total pembelajar dalam meningkatkan pembelajaran, 2) belajar
bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif, melainkan menciptakan pengetahuan
secara aktif, 3) Kerja sama diantara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil
belajar, 4) Belajar berpusat aktivitas sering lebih berhasil daripada belajar berpusat
presentasi, 5) Belajar berpusat aktivitas dapat dirancang dalam waktu yang jauh lebih
singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran dengan presentasi.
Desain kurikulum ini dikembangkan sesuai dengan potensi kognitif, afektif dan motorik
yang dimiliki siswa CI.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Proses penelitian dimulai dari fakta
dilapangan, melakukan kajian teori, menyusun instrument (kuesioner), mengambil data,
menganalis data dan menarik kesimpulan. Berdasarkan kajian terhadap teori, hipotesa
penelitian ini adalah ada hubungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving
kesehatan reproduksi siswa cerdas istimewa. Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik
korelasi product moment. Subyek penelitian ini adalah siswa CI program akselerasi pada
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Sidoarjo Jawa Timur dan berjumlah 30
orang, yaitu kelas VII dan kelas IX. Kriteria subyek penelitian adalah berumur 12-15 tahun
yang merupakan remaja awal.

10
Kuesioner yang digunakan tentang berpikir tingkat tinggi dan problem solving.
Kuesioner berfikir tingkat tinggi berupa artikel tentang HIV/AIDS pada remaja dan siswa
CI diminta untuk menganalisis, mensintesa, dan mengevaluasi artikel tersebut. Kuesioner
problem solving berupa soal-soal tentang problem kesehatan reproduksi pada remaja. Siswa
CI diminta memberikan berbagai alternatif solusi untuk problem kespro terbut.

HASIL PENELITIAN & DISKUSI

Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan positif (r = 0,245) antara


kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving kesehatan reproduksi. Nilai
korelasi antara berfikir tingkat tinggi dan problem solving kespro hanya 0,245, namun tetap
menunjukkan adanya hubungan yang positif. Jumlah subyek yang hanya 30 orang dan
tingginya homogenitas subyek kemungkinan berkontribusi terhadap nilai korelasinya.

Penelitian ini membuktikan bahwa semakin tinggi kemampuan berfikir tinggi pada
individu semakin tinggi pula kemampuan problem solvingnya. Siswa CI mempunyai
kemampuan kognitif yang tinggi menjadi dasar untuk melakukan aktifitas berfikir tingkat
tinggi dan melakukan problem solving pada berbagai hal termasuk dalam dalam problem
kesehatan reproduksi. Namun perlu diperhatikan bahwa kemampuan berfikir tingkat tinggi
dan problem solving bukan kemampuan yang bersifat alami, kemampuan ini diperoleh dari
proses belajar (Thomas dan Thorne , 2005). Pengasuhan dari orang tua dan desain
pembelajaran yang dikembangkan oleh guru juga mempengaruhi kemampuan ini.

Kurikulum kelas akselerasi merupakan kurikulum terdiferensiasi, kurikulum yang


didesain memenuhi kebutuhan kecerdasan siswa CI. Kurikulum kelas akselerasi
membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi untuk menyelesaikan materi pelajaran
yang dipadatkan dan harus diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat. Dengan demikian
siswa CI lebih sering menggunakan kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi dalam
proses belajar. Hal ini akan mendorong siswa melakukan aktivitas problem solving dalam
aktivitas belajarnya.

11
Kesehatan reproduksi adalah aktivitas yang melibatkan individu karena kespro
secara alami ada di dalam diri setiap individu. Siswa CI dengan kemampuan yang tinggi
diharapkan akan menyelesaikan problem kespro lebih baik daripada siswa lain dengan
kemampuan yang lebih rendah. Tentu dengan bimbingan orang tua dan guru (Nair &
Ngang, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara


kemampuan berfikir tingkat tinggi dan problem solving kesehatan reproduksi maka
disarankan agar siswa CI yang mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan mampu
melakukan problem solving kesehatan reproduksi menjadi tutor sebaya bagi remaja
seusianya.

12
Daftar Pustaka

Buckley , S. 2012. The Role of Computational Thinking and Critical Thinking


in Problem Solving in a Learning Environment (online) (http://e-
resources.pnri.go.id:2061)

Edward. 2007 dalam http://repository.maranatha.edu/2322/3/0710147_Chapter1.pdf


diakses 7 November 2014

Munandar, U. 1999. Kreativitas & Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif &
Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nair, S. & Ngang, T.K. 2012. Exploring Parents’ and Teachers’ Views of Primary Pupils’
Thinking Skills and Problem Solving Skills. Creative Education Vol.3, No.1, 30-36
Published Online February 2012 in SciRes http://www.Sci. RP.org/journal (online)
(http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=00001)

Nurbayani, S. 2013. Program Percepatan Kelas (Akselerasi) bagi Siswa Yang Memiliki
Kemampuan Unggul (Sebuah Inovasi dalam pelaksanaan pendidikan di
persekolahan) (online)
(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032-
SITI_NURBAYANI_K/Karya/Inovasi_dalam_pelaksanaan_pendidikan.pdf )

Pertiwi, K.R. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Permasalahannya. Yogyakarta: Jurusan


Pendidikan Biologi FMIPA UNY. Dalam (Online),
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PPM%20PEER%20KRR.pdf) diakses 30
Oktober 2014
Posamentier, A.S. 1998. Problem Solving Strategies for Efficient and Ellegant Solutions, A
Resource for Mathematics Teacher. California: Corwin Press, Inc.
Rosnawati, R. 2009. Enam Tahapan Aktivitas dalam Pembelajaran Matematika untuk
Mendayagunakan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa. Dalam (Online)
(http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:8vZU5flUkaQJ:staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/R.
%2520Rosnawati,%2520Dra.%2520 )
Sadli, S; A.Rahman; A. Habsjah. 2006. Implementasi Pasal 12 Undang-undang Nomor 7
tahun 1984, Pelayanan Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan. Yogyakarta:
Surviva Paski Kelompok Kerja Convention Watch Universitas Indonesia. Dalam
(online), (http://www.esaunggul.ac.id) diakses 30 Oktober 2014

13
Santrock, J.W. 2003. Adolescence, Perkembangan Remaja. Terjemahan Adelar, S.B. &
Saragih,S., Jakarta: Penerbit Erlangga. Dalam (online), (http://www.esaunggul.ac.id)
diakses 30 Oktober 2014
Williams, D.A. & Carey, M. 2003. Solving The Problems of A Chronic Illness: 6-step
problem solving. Dalam (online)
(http://www.med.umich.edu/painresearch/patients/Problem%20Solving.pdf) diakses
31 Oktober 2014
Yasin, S. 2009. Pengertian Problem Solving. Dalam (online)
(http://www.sarjanaku.com/2011/03/pengertian-problem-solving.html) diakses 31
Oktober 2014

14

Anda mungkin juga menyukai