Nur Eva
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
Email: nur.eva2012@gmail.com
Abstrak: Problem kesehatan reproduksi siswa Cerdas Istimewa (CI) dalam usia remaja
tidak jauh berbeda dengan remaja yang lain. Tugas perkembangan remaja adalah
menyiapkan diri berinteraksi dengan lawan jenis untuk menjalankan peran gendernya pada
masa dewasa. Siswa CI pada usia remaja mampu berpikir abstrak yang melebihi
kemampuan remaja pada umumnya. Hal ini merupakan dasar untuk berpikir tingkat tinggi.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat digunakan untuk menyelesaikan problem
kesehatan reproduksi yang muncul masa remaja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
hubungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving kesehatan reproduksi
siswa CI. Subyek penelitian ini adalah siswa CI program akselerasi pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di kota Sidoarjo Jawa Timur dan berjumlah 30 orang. Alat ukur
yang digunakan adalah kuesioner tentang berpikir tingkat tinggi dan problem solving. Hasil
penelitian menunjukan adanya hubungan positif antara kemampuan berpikir tingkat tinggi
& problem solving kesehatan reproduksi. Dengan demikian disarankan agar siswa CI yang
mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan mampu melakukan problem solving
kesehatan reproduksi menjadi tutor sebaya bagi remaja seusianya.
Kata kunci: siswa CI, berpikir tingkat tinggi, problem solving, kesehatan reproduksi
1
Remaja adalah generasi yang akan menerima tongkat estafet kehidupan masa yang
akan datang. Berpijak dari peranan remaja yang sangat strategis ini menjadi hal yang
penting untuk menyelamatkan remaja dari berbagai problem yang akan menghancurkan
kehidupannya. Selama ini problem yang menerpa kehidupan remaja tidak dapat dianggap
sepele. Problem pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dll menjadi penghalang
remaja untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah satu problem remaja yang
perlu dicermati adalah terkait dengan problem kesehatan reproduksi. Problem kesehatan
reproduksi (kespro) pada remaja dapat dibagi menjadi dua, yaitu ringan dan berat. Problem
kespro yang ringan seperti gangguan kesehatan akibat menstruasi, keputihan, dll.
Sedangkan problem kespro yang berat seperti, aktivitas seksual sebelum menikah,
kehamilan di luar nikah, aborsi, terjangkitnya penyakit menular seksual termasuk
HIV/AIDS. Problem kespro ini akan mengganggu remaja menjalankan aktivitas pribadi dan
sosial. Bahkan, problem kespro yang berat akan menghancurkan kehidupan remaja.
Akibatnya remaja akan kehilangan kesempatan untuk menyiapkan diri menjadi generasi
yang siap menerima tongkat estafet kehidupan.
Problem kespro pada remaja dapat selesaikan dengan melibatkan remaja itu sendiri
dengan membekali remaja dengan berbagai informasi yang terkait dengan kespro dan
mengajarkan berpikir untuk menyelesaikan masalah kespro yang muncul pada diri sendiri,
teman, dan lingkungan dimana dia berada. Remaja yang belajar dalam program akselerasi
mempunyai kemampuan intelektual, krearivitas dan komitmen terhadap tugas yang tinggi
atau lebih dikenal dengan siswa cerdas istimewa (CI). Kemampuan ini dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi sehingga remaja
menemukan penyelesaian yang baik dan benar terhadap problem kespro. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat hubungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving
kesehatan reproduksi siswa CI.
2
Kesehatan Reproduksi
Ada beberapa definisi berfikir tingkat tinggi , Vui, 2001 (dalam Rosnawati, 2009)
menjelaskan bahwa berfikir tingkat tinggi terjadi pada saat individu mengaitkan informasi
yang baru dengan informasi yang tersimpan dalam memori, menghubung, menata ulang
dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan
masalah. Thomas dan Thorne (2005) menyatakan bahwa “Higher order thinking is
thinking on higher level that memorizing facts or telling something back to sameone exactly
the way the it was told to you. When a person memorizies and gives back the informatio
without having to think about it. That’s because it’s much like arobot; it does what it’s
programmed to do, but it doesn’t think for itself”. Thomas dan Thorne berpendapat bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.
Berbasis kepada Taksonomi Bloom, terdapat tiga aspek dalam ranah kognitif yang
menjadi bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher-order thinking. Ketiga
3
aspek itu adalah aspek analisa, aspek evaluasi dan aspek mencipta. Sedang tiga aspek lain
dalam ranah yang sama, yaitu aspek mengingat, aspek memahami, dan aspek aplikasi,
masuk dalam bagian intilektual berpikir tingkat rendah atau lower-order thinking
(Munandar, 1999). Berfikir tingkat tinggi mempunyai karakteristik (Resnick, 1987), yaitu:
non algorithmic, kompleks, self regulative, penuh makna, penuh usaha, menyediakan
banyak solusi, bernuansa penilaian (nuanced judgment), dan tidak pasti.
Berfikir tingkat tinggi adalah satu komponen dari keterampilan berfikir kreatif dan
berfikir kritis. Berfikir kreatif dapat mengembangkan individu menjadi lebih inovatif,
mempunyai kreativitas yang baik, ideal dan imajinatif. Ketika individu tahu bagaimana
menggunakan kedua keterampilan tersebut, ini artinya individu mempraktikan berfikir
tingkat tinggi . Semua individu dapat berpikir tetapi sebagian besar mereka membutuhkan
dukungan, guru, dan pendampingan untuk berproses berpikir tingkat yang lebih tinggi.
Berfikir tingkat tinggi dapat diajarkan dan dipelajari. Semua individu mempunyai hak
untuk mempelajari dan menerapkan keterampilan berpikir seperti disiplin pengetahuan
yang lain.
Rosnawati (2009) menyebutkan ada enam tahapan aktivitas yang harus dilalui agar
dapat mengembangkan berpikir tingkat tinggi yaitu: 1) menggali informasi yang
dibutuhkan; 2) mengajukan dugaan; 3) melakukan inkuiri; 4) membuat konjektur ;5)
mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan
Problem Solving
Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan
masalah dan memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat
diambil kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1994, dalam Yasin, 2009). Problem
solving yaitu suatu pendekatan dengan cara identifikasi problem untuk dilanjutkan ketahap
sintesis kemudian dianalisis dengan pemilahan seluruh masalah sehingga mencapai tahap
aplikasi selajutnya pada tahap komprehensif untuk mendapatkan solution dalam
penyelesaian masalah tersebut. Pendapat lain problem solving adalah suatu pendekatan
4
dimana langkah-langkah berikutnya sampai penyelesaian akhir lebih bersifat kuantitatif
yang umum sedangkan langkah-langkah berikutnya sampai dengan penyelesaian akhir
lebih bersifat kuantitatif dan spesifik (dalam Yasin, 2009). Sedangkan Edward (2007)
menjelaskan bahwa problem solving merupakan suatu proses kognitif yang diterapkan saat
mengatasi permasalahan untuk meraih suatu tujuan. Jadi problem solving adalah proses
kognitif yang berfungsi untuk menemukan dan memecahkan masalah melalui proses
sintesis, analisis dan bersifat komprehensif.
Berpikir memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang baru adalah kegiatan
yang kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang lain. Suatu masalah umumnya tidak
dapat dipecahkan tanpa berpikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang baru
bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan sesuatu (benda-benda,
gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup problem
solving. Ini berarti informasi fakta dan konsep-konsep itu penting. Seperti telah kita
ketahui, penguasaan informasi itu perlu untuk memperoleh konsep; keduanya itu harus
diingat dan dipertimbangkan dalam problem solving dan perbuatan kreatif. Begitu pula
perkembangan intelektual sangat penting dalam problem solving (Slameto, 1990 : 139).
Dengan demikian problem solving merupakan suatu proses taraf yang dilalui
dengan cara memahami sejumlah pengetahuan dan ketrampilan kerja dan merupakan hasil
yang dicapai individu setelah individu yang bersangkutan mengalami suatu proses belajar
problem solving yang diajarkan suatu pengetahua tertentu. Dengan problem solving suatu
masalah akan mempunyai banyak solusi dan kesimpulan yang diambil lebih realistik
(Lawson, 1991, dalam Yasin, 2009)
Yasin (2009) berpendapat bahwa ada tiga langkah untuk problem solving, yaitu:
mengidentifikasi masalah, menentukan sumber dan akar masalah, dan mencari solusi yang
efektif dan efisien. Adapun langkah-langkah lain yaitu menurut konsep Dewey (dalam
Yasin, 2009) yang menjadikan berpikir sebagai dasar untuk problem solving adalah
sebagai berikut: 1) adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah.
5
2) masalah itu diperjelas dan dibatasi. 3) mencari informasi atau data dan kemudian data itu
diorganisasikan atau diklasifikasikan. 4) mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan
hipotesa-hipotesa kemudian hipotesa-hipotesa dinilai, diuji agar dapat ditentukan untuk
diterima atau ditolak. 5) penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus
berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai kepada
kesimpulan. Langkah-langkah dalam problem solving ini tidak selalu mengikuti urutan
yang teratur, melainkan dapat meloncat-meloncat antara macam-macam lankah tersebut,
lebih-lebih apabila orang berusaha memecahkan masalah yang kompleks.
Williams dan Carey (2003) menjelaskan ada enam langkah problem solving yaitu
identifikasi masalah, mencari informasi dan menetapkan tujuan, menemukan berbagai
akternatif solusi, memilih solusi, menyiapkan pelaksanaan solusi yang dipilih, dan
mengevalusi dan merevisi solusi. Jadi proses problem solving dimulai dari mengidentifikasi
masalah terlebih dahulu, dilanjutkan mencari penyebab munculnya masalah dan diakhiri
dengan mencari berbagai alternatif solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah.
Dalam taksonomi Bloom berfikir tingkat tinggi terjadi pada tahap sintesis, analisis,
evaluasi dan kreativitas. Proses ini terjadi pada ranah kognitif dimana individu akan
mengaitkan informasi yang baru dengan informasi yang tersimpan dalam memori,
menghubung, menata ulang dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai tujuan
atau menyelesaikan masalah. Proses dalam berfikir tingkat tinggi ini akan membantu
individu dalam memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah karena akan terjadi
6
proses mengidentifikasi masalah terlebih dahulu, dilanjutkan mencari penyebab munculnya
masalah dan diakhiri dengan mencari berbagai alternatif solusi yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Jadi ada hubungan yang positif antara kemampuan berfikir tingkat
tinggi dan kemampuan problem solving.
Remaja
7
Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan
perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan
dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan
dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Kematangan organ
reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta
arus media informasi baik elektronik maupun non elektronik akan sangat berpengaruh
terhadap perilaku seksual individu remaja tersebut. Sebagai akibat proses kematangan
sistem reproduksi ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya
sudah dapat mempunyai keturunan.
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas adalah akibat meningkatnya kadar
hormone kelamin (sex hormones) yang diproduksi gonad dan kelenjar adrenal. Kelenjar ini
dirangsang oleh hormone gonadotropin dari kelenjar hipofisis, yang distimulasi oleh
rangsangan hormone GNRH dari hypothalamus, yang baru dilepaskan setelah tercapai
kematangan tubuh anak. pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki,
kumis dan sebagainya.
Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian
yang merupakan pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian
anak seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa,
keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat tidak dapat
8
diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada masa remaja, seringkali
berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung dan dapat saling berbenturan nilai.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, (suasana hati) bisa berubah
dengan sangat cepat. Hasil penelitian menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan
hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”,
sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood
(swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah
berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan
terhadap pendapat orang lain yag membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan
citra yang direfleksikan (self-image). Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan
berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata.
Dalam kondisi yang penuh tekanan ini remaja harus menyiapkan diri agar menjadi
individu dewasa. Berbagai tugas yang harus diselesaikan pada masa remaja ini dikenal
dengan tugas perkembangan remaja.
9
pada program kelas akselerasi. Program ini dimulai sejak tahun 2000 khususnya bagi siswa
cerdas istimewa (gifted). Siswa yang belajar pada program akselerasi disyaratkan
mempunyai IQ minimal 130 (Skala Weschler), kreativitas dan komitmen terhadap tugas di
atas rata-rata. Dengan kriteria itu diharapkan siswa cerdas istimewa yang belajar pada
program akselerasi diharapkan dapat mencapai prestasi yang optimal sesuai dengan potensi
yang dimilikinya.
Kelas akselerasi mempunyai kurikulum yang berbeda dengan kelas regular. Meier
(2002, dalam Nurbayani, 2013) menulis beberapa prinsip pokok akselerasi pembelajaran,
yaitu: 1) adanya keterlibatan total pembelajar dalam meningkatkan pembelajaran, 2) belajar
bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif, melainkan menciptakan pengetahuan
secara aktif, 3) Kerja sama diantara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil
belajar, 4) Belajar berpusat aktivitas sering lebih berhasil daripada belajar berpusat
presentasi, 5) Belajar berpusat aktivitas dapat dirancang dalam waktu yang jauh lebih
singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran dengan presentasi.
Desain kurikulum ini dikembangkan sesuai dengan potensi kognitif, afektif dan motorik
yang dimiliki siswa CI.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Proses penelitian dimulai dari fakta
dilapangan, melakukan kajian teori, menyusun instrument (kuesioner), mengambil data,
menganalis data dan menarik kesimpulan. Berdasarkan kajian terhadap teori, hipotesa
penelitian ini adalah ada hubungan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan problem solving
kesehatan reproduksi siswa cerdas istimewa. Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik
korelasi product moment. Subyek penelitian ini adalah siswa CI program akselerasi pada
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Sidoarjo Jawa Timur dan berjumlah 30
orang, yaitu kelas VII dan kelas IX. Kriteria subyek penelitian adalah berumur 12-15 tahun
yang merupakan remaja awal.
10
Kuesioner yang digunakan tentang berpikir tingkat tinggi dan problem solving.
Kuesioner berfikir tingkat tinggi berupa artikel tentang HIV/AIDS pada remaja dan siswa
CI diminta untuk menganalisis, mensintesa, dan mengevaluasi artikel tersebut. Kuesioner
problem solving berupa soal-soal tentang problem kesehatan reproduksi pada remaja. Siswa
CI diminta memberikan berbagai alternatif solusi untuk problem kespro terbut.
Penelitian ini membuktikan bahwa semakin tinggi kemampuan berfikir tinggi pada
individu semakin tinggi pula kemampuan problem solvingnya. Siswa CI mempunyai
kemampuan kognitif yang tinggi menjadi dasar untuk melakukan aktifitas berfikir tingkat
tinggi dan melakukan problem solving pada berbagai hal termasuk dalam dalam problem
kesehatan reproduksi. Namun perlu diperhatikan bahwa kemampuan berfikir tingkat tinggi
dan problem solving bukan kemampuan yang bersifat alami, kemampuan ini diperoleh dari
proses belajar (Thomas dan Thorne , 2005). Pengasuhan dari orang tua dan desain
pembelajaran yang dikembangkan oleh guru juga mempengaruhi kemampuan ini.
11
Kesehatan reproduksi adalah aktivitas yang melibatkan individu karena kespro
secara alami ada di dalam diri setiap individu. Siswa CI dengan kemampuan yang tinggi
diharapkan akan menyelesaikan problem kespro lebih baik daripada siswa lain dengan
kemampuan yang lebih rendah. Tentu dengan bimbingan orang tua dan guru (Nair &
Ngang, 2012).
12
Daftar Pustaka
Munandar, U. 1999. Kreativitas & Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif &
Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nair, S. & Ngang, T.K. 2012. Exploring Parents’ and Teachers’ Views of Primary Pupils’
Thinking Skills and Problem Solving Skills. Creative Education Vol.3, No.1, 30-36
Published Online February 2012 in SciRes http://www.Sci. RP.org/journal (online)
(http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=00001)
Nurbayani, S. 2013. Program Percepatan Kelas (Akselerasi) bagi Siswa Yang Memiliki
Kemampuan Unggul (Sebuah Inovasi dalam pelaksanaan pendidikan di
persekolahan) (online)
(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032-
SITI_NURBAYANI_K/Karya/Inovasi_dalam_pelaksanaan_pendidikan.pdf )
13
Santrock, J.W. 2003. Adolescence, Perkembangan Remaja. Terjemahan Adelar, S.B. &
Saragih,S., Jakarta: Penerbit Erlangga. Dalam (online), (http://www.esaunggul.ac.id)
diakses 30 Oktober 2014
Williams, D.A. & Carey, M. 2003. Solving The Problems of A Chronic Illness: 6-step
problem solving. Dalam (online)
(http://www.med.umich.edu/painresearch/patients/Problem%20Solving.pdf) diakses
31 Oktober 2014
Yasin, S. 2009. Pengertian Problem Solving. Dalam (online)
(http://www.sarjanaku.com/2011/03/pengertian-problem-solving.html) diakses 31
Oktober 2014
14