Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN KOGNITIF REMAJA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Psikologi Perkembangan yang dibimbing
oleh Umdatul Khoirot, M. Psi

Kelas: Psikologi C
Disusun oleh:

Lina Amalia (19410081)


Elda Yunika Prianingrum (19410086)
Rosita Nur Savitri (19410091)
Yeni Purwanti (19410113)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS PSIKOLOGI
Tahun 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan peyusunan makalah yang
berjudul “Perkembangan Kognitif Remaja”. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Teori Psikologi Perkembangan semester 2 Fakultas Psikologi,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Selama proses penyelesaian makalah ini, kami banyak memperoleh bantuan serta
dorongan dari berbagai pihak. Kami menyadari bahwa tanpa adanya bantuan serta dorongan
itu, kami akan kesulitan untuk menyelesaikannya. Untuk itu, dalam sebuah karya yang
sederhana ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Umdatul Khoirot, M. Psi
selaku dosen mata kuliah Teori Psikologi Perkembangan semester 2 Fakultas Psikologi UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang dan semua pihak yang turut membantu proses makalah ini.
Semoga amal, bantuan bimbingan, dan do’a yang telah diberikan mendapat balasan
dari Allah SWT. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Kami berharap karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 25 Maret 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Dictionary of Psychology, perkembangan adalah tahapan-tahapan


perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme
lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme
tersebut. Istilah kognitif (cognitive) berasal dari kata cognition yang padanannya
knowing, berarti mengetahui, dalam arti yang luas, cognition ialah perolehan, penataan
dan penggunaan pengetahuan. Dalam Kamus Lengkap Psikologi, cognition adalah
pengenalan, kesadaran, pengertian.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan


kogintif adalah tahapan-tahapan perubahan yang terjadi dalam rentang kehidupan
manusia untuk memahami, mengolah informasi, memecahkan masalah dan mengetahui
sesuatu.

“Remaja”, kata yang mengandung berbagai macam kesan. Beberapa orang


mengatakan bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, tidak berbeda dengan
kelompok manusia yang lain. Sedangkan beberapa pihak lain menganggap bahwa remaja
adalah kelompok orang-orang yang sering menyusahkan orang tua. Selain pendapat
tersebut, terdapat juga yang berpendapat bahwa remaja adalah potensi yang harus
dimanfaatkan (Mappiare, 1982).

Berdasarkan kesan yang telah dipaparkan, kesan yang sangat penting adalah
remaja merupakan kelompok yang memiliki potensi yang harus dimanfaatkan. Hal
tersebut karena remaja merupakan kelompok yang bertanggung jawab terhadap bangsa
dan masa depan. Pada masa remaja memiliki vitalitas yang tinggi dan semangat patriotis.
Oleh karena itu, remaja merupakan harapan bagi penerus bangsa. (Mappiare, 1982)

Remaja berada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering
kali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Akan tetapi,
dalam fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa anak
potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. (Hartinah, 2008)

Perkembangan yang pesat dalam aspek intelektual dari cara berpikir remaja
memungkinkan untuk mengintegrasikan dirinya kedalam masyarakat dewasa, tetapi juga
merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan.
Perkembangan intelektual yang terus menerus, menyebabkan remaja mampu berpikir
operasional formal. Tahap tersebut memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih
abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apasaja peluang yang ada padanya
daripada sekedar melihat apa adanya. Kemampuan intelektual seperti ini yang
membedakan masa remaja dari masa-masa sebelumnya.
Selain itu, perkembangan bakat khusus atau minat pada remaja juga sudah mulai
tertata serta mulai berkurang berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi baik dari diri
sendiri maupun dari lingkungannya. Semua remaja sedikit banyak memiliki minat-minat
khusus tertentu yang terdiri dari berbagai kategori.

Perkembangan intelektual dan bakat khusus atau minat tersebut merupakan


bagian dari perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja. Perkembangan kognitif ini
mempengaruhi bagaimana cara berpikir, menganalisis sebuah permasalahan, serta
kesukaannya terhadap suatu hal tertentu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
dijelaskan sebagai berikut.

1. Bagaimana perkembangan kognitif remaja menurut teori Piaget?


2. Bagaimana kognisi sosial pada masa remaja?
3. Bagaimana pengambilan keputusan pada masa remaja?
4. Bagaimana perkembangan moral pada masa remaja?
5. Bagaimana perkembangan spiritual pada masa remaja?
6. Bagaimana perkembangan bahasa pada masa remaja?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini
dijelaskan sebagai berikut.

1. Menjelaskan perkembangan kognitif remaja menurut teori Piaget


2. Menjelaskan kognisi sosial pada masa remaja
3. Menjelaskan proses pengambilan keputusan pada masa remaja
4. Menjelaskan perkembangan moral pada masa remaja
5. Menjelaskan perkembangan spiritual pada masa remaja
6. Menjelaskan perkembangan bahasa pada masa remaja
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Piaget Mengenai Perkembangan Kognitif Remaja

Piaget menyatakan bahwa pada usia sekitar 7 tahun anak-anak memasuki tahap
operasional konkret dari perkembangan kognitif. Mereka dapat bernalar secara logis
mengenai kejadian dan objek konkret; mereka juga memperoleh kemampuan untuk
mengklasifikasikan objek-objek dan bernalar mengenai relasi di antara kelas-kelas objek.
Menurut Piaget, ketika anak sekitar 11 tahun, dimulailah tahap perkembangan kognitif
yang keempat dan final atau tahap operasional formal. 

Tahap Operasional Formal, Pemikiran operasional formal lebih bersifat abstrak


dibandingkan pemikiran operasional konkret. Pemahaman remaja tidak lagi terbatas pada
pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret. Mereka mampu merekayasa seakan-
akan benar-benar terjadi, terhadap berbagai situasi atau peristiwa yang murni masih masih
berupa kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau proporsi-proporsi abstrak dan mencoba
bernalar secara logis terhadapnya.

Selain berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga berpikir logis. Remaja
cenderung memecahkan masalah melalui trial-and-error, remaja mulai berpikir
sebagaimana seorang ilmuwan berpikir, membuat rencana untuk memecahkan masalah
dan secara sistematis menguji solusi. Tipe pemecahan masalah menurut penalaran-
hipotesis-deduktif (hypothetical-deductive reasoning), mencakup penciptaan sebuah
hipotesis dan melakukan deduksi terhadap implikasinya, yang memungkinkan untuk
menguji hipotesis. Dengan demikian, pemikir formal operasional mengembangkan
hipotesis mengenai cara memecahkan masalah dan secara sistematis melakukan deduksi
terhadap langkah terbaik yang harus diikuti untuk memecahkan masalah.

Evaluasi Terhadap Teori Piaget

Sejumlah peneliti telah mempertanyakan teori Piaget mengenai tahap operasional


formal (Brynes, 2008). Penelitian mereka menemukan bahwa terdapat lebih banyak
variasi individual dari yang telah digambarkan oleh Piaget. Pada kenyataannya hanya
terdapat sepertiga remaja awal yang mencapai pemikiran operasional formal, dan banyak
orang dewasa Amerika yang tidak pernah menjadi pemikir operasional formal, demikian
pula orang dewasa di budaya-budaya lain.

Selain itu, pendidikan dalam logika ilmu dan matematika dapat meningkatkan
perkembangan pemikiran operasional formal. Hal ini mengundang kritik terhadap teori
Piaget, Budaya dan pendidikan memberikan dampak yang lebih kuat terhadap
perkembangan kognitif dibandingkan sebagaimana yang diyakini oleh Piaget, (Holzman,
2009; Sternberg & Williams, 2010). 
Teori perkembangan kognitif Piaget juga memperoleh tantangan dalam hal lain
(Bauer, 2009). Piaget menyatakan tahapan sebagai struktur pemikiran yang menyeluruh,
yang mengandung sejumlah aspek yang muncul secara bersama-sama. Meskipun
demikian, sebagian besar para ahli perkembangan kontemporer sepakat bahwa
perkembangan kognitif itu tidak berupa tahapan seperti yang diyakini oleh Piaget (Kuhn,
2009). Di samping itu, anak-anak dapat dilatih untuk bernalar pada kognitif yang lebih
tinggi, dan sejumlah kemampuan kognitif yang muncul lebih awal dibandingkan yang
diperkirakan oleh Piaget (Aslin, 2009; Diamond, Casey, & Munakata, 2011; Spelke &
Kinzher, 2009). Beberapa pemahaman mengenai observasi angka yang telah muncul di
usia 3 tahun, dan tidak harus mencapai usia 7 tahun seperti yang diyakini oleh Piaget.
Kemampuan-kemampuan kognitif lain dapat muncul lebih lambat dari yang dikemukakan
Piaget (Brynes, 2008). Banyak remaja yang masih berpikir secara operasional konkret
atau baru saja mulai menguasai operasi formal. Bahkan banyak orang dewasa yang bukan
pemikir operasional formal.

Meskipun terdapat pertentangan terhadap ide-ide Piaget, kontribusinya tetap harus


diperhitungkan (Carpendale, Muller, & Bilbok, 2008). Piaget adalah pendiri bidang
perkembangan kognitif yang kita kenal sekarang, dan beliau membuat daftar panjang
mengenai konsep kekuatan dan daya tarik yang tahan lama: asimilasi, akomodasi,
kekekalan objek, egosentrisme, konservasi, dan lain-lain. Para psikolog pun berhutang
pada Piaget tentang memandang anak-anak sebagai pemikir aktif dan konstruktif. Piaget
telah berjasa menciptakan teori yang menghasilkan banyak penelitian terhadap
perkembangan kognitif anak.

B. Kognisi Sosial Pada Masa Remaja

Teori kognisi sosial diawali dari teori tentang belajar observasional. Ia


memandang tingkah laku manusia diakibatkan atas reaksi yang timbul dari interaksi
antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri dengan prinsip dasar
temuannya bahwa belajar adalah termasuk dasar belajar sosial dan moral. Tekanan
dasarnya adalah hasil perilaku bergantung pada pengaruh orang lain dan kondisi stimulus
dengan mekanisme perolehan moralnya adalah hasil dari proses conditioning
(pembiasaan merespons) dan proses imitation (peniruan) dari modeling (figur/tokoh)
sebagai contoh berprilaku sosial dan moral. (Muhibin Syah, 1995: 74).

Kognisi sosial adalah kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan,


motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Sigelman & Shafer (1995). Kemampuan
memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan
sosial yang baik dengan teman sebayanya mereka telah mampu melihat bahwa orang itu
sebagai individu yang unik, dengan perasaan nilai, minat dan sifat kepribadian yang
beragam. Kemampuan ini berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau
membentuk persahabatan dengan teman sebayanya. Menurut Yusuf (2001) kognisi sosial
adalah kemampuan untuk memahami orang lain sebagai individu yang unik baik
menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, perasaan, maupun nilai, pemahaman ini mendorong
remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka, terutama teman
sebaya melalui jalinan persahabatan.

Perubahan-perubahan yang mengesankan dalam kognisi sosial menjadi ciri


perkembangan remaja. Remaja mengembangkan suatu egosentrisme khusus, mulai
berpikir rentang kehidupan tidak ubahnya seperti cara para ahli teori kepribadian berpikir
tentang kepribadian, dan memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara canggih.
Pemikiran remaja bersifat egosentris. David Elkind (1976) yakin bahwa egosentrisme
remaja (adolescent egosentrism) memiliki dua bagian: penonton khayalan dan dongeng
pribadi. Penonton khayalan (imaginary audience) ialah keyakinan remaja bahwa orang
lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri.

Dongeng pribadi ialah bagian dari egosentrisme remaja yang meliputi perasaan
unik seorang anak remaja. Perasaan unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa
tidak seorangpun dapat mengerti bagaimana perasaan mereka sebenarnya. Misalnya :
seorang anak perempuan remaja menganggap bahwa ibunya tidak mungkin dapat
merasakan sakit yang dia rasakan karena pacarnya memutuskan hubungan dengannya.

C. Proses Pengambilan Keputusan Pada Masa Remaja

Berdasarkan hasil riset diketahui bahwa remaja yang lebih tua lebih kompeten
dibandingkan remaja yang lebih muda; remaja yang lebih muda juga lebih kompeten
dibanding anak-anak, karena remaja lebih muda cenderung menghasilkan berbagai
pendapat yang berbeda, menelaah sebuah situasi berdasarkan berbagai perspektif,
mengantisipasi konsekuensi dari keputusan, serta mempertimbangkan kredibilitas
sumber. Seorang remaja yang dalam kondisi tenang mampu mengambil keputusan secara
bijaksana, dapat mengambil keputusan yang tidak bijaksana ketika emosinya tinggi.

Keinginan remaja untuk melakukan tindakan berisiko sering kali terjadi dalam
konteks dimana penyalahgunaan dan godaan lainnya sudah tersedia (Reyna & Rivers,
2008). Penelitian mengungkapkan bahwa kehadiran teman sebaya dalam situasi berisiko
meningkatkan kecenderungan remaja dalam mengambil keputusan berisiko (Steinberg,
2008).

Model proses-ganda (dual-process model), menyatakan bahwa pengambilan


keputusan dipengaruhi oleh dua sistem kognitif – analitis dan pengalaman – yang saling
berkompetisi (Klacyznski, 2001; Reyna & Farley, 2006). Model ini menekankan bahwa
sistem pengalamanlah – memonitor dan mengelola pengalaman aktual – yang bermanfaat
dalam pengambilan keputusan remaja, bukan analitis. Keterlibatan remaja dalam analisis
kognitif tingkat tinggi yang reflektif dan mendetail mengenai keputusan tidak akan
bermanfaat, terutama dalam konteks dunia nyata dan berisiko tinggi. Beberapa ahli
kognisi remaja berpendapat bahwa dalam beberapa kasus remaja dapat mengambil
manfaat dari sistem analitis dan pengalaman (Kuhn, 2009).

Remaja membutuhkan lebih banyak kesempatan untuk melatih dan mendiskusikan


pengambilan keputusan yang realistis. Cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan
pengambilan keputusan remaja adalah menyediakan kesempatan kepada mereka untuk
terlibat di dalam bermain peran dan pengambilan keputusan dengan kelompok teman
sebaya.

D. Perkembangan Moral Pada Masa Remaja

Moral adalah ajaran tentang baik-buruk suatu perbuatan dan kelakuan, akhlak,
kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto: 1950: 957). Dalam moral diatur segala
perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, serta sesuatu perbuatan yang dinilai
tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral juga
mendasari dan mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku.

Pembinaan moral terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasan-kebiasaan


yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua sesuai dengan nilai-nilai moral. Dalam
pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang
datang dari agama bersifat tetap tidak berubah dimakan waktu dan tempat.

Perkembangan moral pada remaja dipengaruhi dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencari perlindungan. Mereka rajin beribadah karena rasa bersalah (dosa). Semakin besar
dosanya, semakin banyak ibadahnya dan sebaliknya, apabila rasa dosa itu berkurang
maka ibadahnya juga menurun.

Remaja seringkali mengalami kebingungan terhadap perbuatan yang


dilakukannya. Misalnya, ia merasa bersalah ketika teringat akan dosa atau perilaku
buruknya bersama teman-temannya, kemudian ia memohon ampun kepada Tuhan.
Namun ketika ia bersama teman-temannya, ia kembali melakukan dosa tersebut, lalu saat
sendirian ia merasa bersalah dan memohon ampun kembali. Remaja tersebut mengalami
kebingungan karena merasa bersalah dan mengakui yang dilakukannya adalah salah,
tetapi tidak mampu mengendalikan diri dari perbuatan salah tersebut.

Menjelang usia 13 tahun, yakni masa remaja awal, setiap tindakan dinilai dalam
pengertian mempertahankan kesan baik dalam pandangan orang lain. Menurut tahapan
moralitas Kohlberg, tingkat ini termasuk tingkat moralitas konvensional . Pada tingkat ini,
kriteria perilaku baik dan buruk berorientasi pada persetujuan orang lain atas perilaku
yang mereka lakukan. Misalnya, ketika remaja minum-minuman keras dan hal ini
menimbulkan reaksi negatif (ketidaksetujuan) dari orang-orang di sekitarnya, berarti
perilaku ini merupakan hal yang tidak baik.

E. Perkembangan Spiritual Pada Masa Remaja

Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah spirit diartikan sebagai semangat; roh, jiwa
dan suka, sedangkan spiritual berkaitan dengan kejiwaan dan berhubungan dengan
kerohanian. Dalam kamus psikologi, spirit suatu zat atau mahluk immaterial, biasanya
bersifat ketuhanan menurut aslinya, yang diberi sifat dari banyak ciri karakteristik
manusia; kekuatan, tenaga, semangat, vitalitas energi, moral atau motivasi.
Perkembangan kehidupan spiritual pada remaja tidak dapat dilepaskan oleh
pembinaaan kepribadian secara keseluruan. Karena kehidupan spiritual remaja adalah
bagaian dari kehidupan sendiri, sikap atau tindakan seorang dalam hidupnya tidak lain
dari panutan pribadinya yang bertumbuh dan berkembang sejak ia lahir, semenjak berada
dalam kandungan.
Masa remaja dalam hal ini merupakan suatu masa yang sangat kritis artinya pada
diri remaja tidak saja mengalami kestabilan psikologis akan tetapi remaja juga mengalami
kestabialan emosi dalam diri yang cukup kuat.

Gejolak emosional yang tidak terkendali akan membawahnya ke alam yang


khayal dan nyatanya tidak.

Disinilah kalau kita lihat banyak para remaja yang yang menjadi nakal karena
ingin membuktikan bahwa dirinyaa itu telah dewasa, padahal sebenarnya belum apa-apa,
karena kedewasaan itu tidak hanya pada fisik akan tetapi meliputi keseluruhan mental dan
kejiwaan yang di istilakan juga oleh penulis yaitu spiritual yang matang.

F. Perkembangan Bahasa Pada Masa Remaja

Bahasa adalah simbolisasi dari suatu ide atau suatu pemikiran yang ingin
dikomunikasikan oleh pengirim pesan dan diterima oleh penerima pesan melalui kode-
kode tertentu baik secara verbal maupun nonverbal. Bahasa digunakan anak dalam
berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar
gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara yang mengacu pada
simbol verbal.

Selain itu, bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural, dan
musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi,
gestural atau pantomim. Gestikulasi adalah ekspresi gerakan tangan dan lengan untuk
menekankan makna wicara. Pantomim adalah sebuah cara komunikasi yang mengubah
komunikasi verbal dengan aksi yang mencakup beberapa gestural (ekspresi gerakan yang
menggunakan setiap bagian tubuh) dengan makna yang berbeda beda.

Di masa remaja, perubahan bahasa mencakup penggunaan kata-kata yang lebih


efektif, peningkatan kemampuan memahami metafora dan karya-karya literatur dewasa,
serta peningkatan kemampuan menulis. Pada masa remaja, mereka sering memilih kata
yang berbeda dari orang dewasa. Individu-individu sangat mahir memvariasikan gaya
bahasanya agar pas dengan situasinya. Jadi, mereka dapat berbicara dengan teman
sebayanya dengan bahasa slang yang bagi orang dewasa terdengar tidak ada artinya.
Mereka berharap bisa menjadi yang paling “keren” dari teman-temannya. Bahkan,
mereka menganggap bahwa bahasa yang mereka gunakan merupakan bentuk kreativitas
yang harus mereka dikembangkan untuk mencapai sebuah kepuasan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Piaget, ketika anak sekitar 11 tahun, dimulailah tahap perkembangan


kognitif yang keempat dan final atau tahap operasional formal. Tahap operasional formal
lebih bersifat abstrak dibandingkan pemikiran operasional konkret. Pemahaman remaja
tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret. Mereka
mampu merekayasa seakan-akan benar-benar terjadi, terhadap berbagai situasi atau
peristiwa yang murni masih masih berupa kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau
proporsi-proporsi abstrak dan mencoba bernalar secara logis terhadapnya.

Kognisi sosial adalah kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan,


motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuan memahami orang lain,
memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan
teman sebayanya mereka telah mampu melihat bahwa orang itu sebagai individu yang
unik, dengan perasaan nilai, minat dan sifat kepribadian yang beragam. Kemampuan ini
berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau membentuk persahabatan dengan
teman sebayanya.

Model proses-ganda (dual-process model), menyatakan bahwa pengambilan


keputusan dipengaruhi oleh dua sistem kognitif – analitis dan pengalaman – yang saling
berkompetisi. Model ini menekankan bahwa sistem pengalamanlah – memonitor dan
mengelola pengalaman aktual – yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan remaja,
bukan analitis. Beberapa ahli kognisi remaja berpendapat bahwa dalam beberapa kasus
remaja dapat mengambil manfaat dari sistem analitis dan pengalaman.

Pembinaan moral terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasan-kebiasaan


yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua sesuai dengan nilai-nilai moral. Dalam
pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang
datang dari agama bersifat tetap tidak berubah dimakan waktu dan tempat.

Perkembangan kehidupan spiritual pada remaja tidak dapat dilepaskan oleh


pembinaaan kepribadian secara keseluruan. Karena kehidupan spiritual remaja adalah
bagaian dari kehidupan sendiri, sikap atau tindakan seorang dalam hidupnya tidak lain
dari panutan pribadinya yang bertumbuh dan berkembang sejak ia lahir, semenjak berada
dalam kandungan.

Di masa remaja, perubahan bahasa mencakup penggunaan kata-kata yang lebih


efektif, peningkatan kemampuan memahami metafora dan karya-karya literatur dewasa,
serta peningkatan kemampuan menulis. Pada masa remaja, mereka sering memilih kata
yang berbeda dari orang dewasa.
DAFTAR PUSTAKA

Ahyani, Latifah Nur & Rr. Dwi Astuti. Buku Ajar Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Kudus: Badan Penerbit Universitas Muria Kudus.

Budiman, Nandang. (2010). Perkembangan Kemandirian Pada Remaja. Jurnal Pendidikan,


3(1), 8.

Kurniati, Erisa. (2017). Perkembangan Bahasa Pada Anak dalam Psikologi Serta
Implikasinya dalam Pembelajaran. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi,
17(3), 56.

Santrock, J. W. (2002). Life-span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi Kelima.


Jakarta: Penerbit Erlangga

Sudjatnika, Tenny. (2016). Tinjauan Kognisi Sosial Terhadap Sosial Budaya. Jurnal Al-
Tsaqafa, 13(01), 159.

Zuldafrial. (2017). Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja. Jurnal IAIN Pontianak.

Anda mungkin juga menyukai