Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB

EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN

REPRODUKSI DAN KB

OLEH :

1. AYU SAPUTRI 1515371007


2. KARMILA SARI 1515371016
3. MAULIDA UCHTI 1515371019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TANJUNGKARANG
PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN METRO
TAHUN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Evidence Based Dalam
Kesehatan Reproduksi dan KB

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
   
    Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
   
    Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
PENDAHULUAN

Evidence based artinya berdasarkan bukti, tidak lagi berdasarkan


pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti dan bukti
inipun tidak sekedar bukti. Tapi bukti ilmiah terkini yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya
dari mewujudkan NKKBS menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga
Berkualitas tahun 2015” (Saifuddin, 2003).
Secara umum tujuan 5 tahun kedepan yang ingin dicapai dalam rangka
mewujudkan visi dan misi program KB dimuka adalah membangun kembali
dan melestarikan pondasi yang kokoh bagi pelaksanaan program KB Nasional
yang kuat di masa mendatang, sehingga visi untuk mewujudkan keluarga
berkualitas 2015 dapat tercapai.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, program keluarga berencana nasional
mempunyai kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kualitas penduduk.
Dalam kontribusi tersebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) telah mewujudkan keberhasilannya selain berhasil menurunkan
angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, juga terpenting adalah
keberhasilan mengubah sikap mental dasar perilaku masyarakat dalam upaya
membangun keluarga berkualitas.a
Menurut survey data, peserta KB nasional periode Agustus 2012 sebanyak
6.152.231 pengguna. Jika dilihat dari metode kontrasepsi yang paling banyak
digunakan adalah metode suntik sebanyak 2.949.633 (47,94%). Untuk metode
pil 1.649.256 (26,81%), implant 527.569 (8,58%), kondom 462.186 (7,51%),
IUD 459.117 (7,46%), MOW 87.079 (1,42%) dan paling sedikit adalah metode
MOP17.331(0,28%). Melihat data penggunaan KB di Indonesia, salah satu
masalah utama yang dihadapi saat ini adalah masih rendahnya penggunaan KB
Intra Uterine Device (IUD), sedangkan kecenderungan penggunaan jenis KB
sederhana seperti pil dan suntik jumlahnya terus meningkat tajam. Penelitian
terhadap kontrasepsi IUD sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang
maksimal, kurangnya dukungan dari para tokoh tentang IUD, yang seharusnya
dapat dijadikan sebagai contoh bagi sebagian masyarakat mengenai
keberhasilannya, beberapa faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi
rendahnya penggunaan KB IUD diantaranya adalah ekonomi yang relatif masih
rendah (keterjangkauan harga), pengetahuan mengenai alat kontrasepsi yang
kurang, sikap yang tertutup dan kurangnya motivasi dari keluarga serta tenaga
kesehatan.
Adanya perkembangan ilmu kedokteran dan kebidanan yang sangat pesat
membuat temuan dan hipotesis yang diajukan pada waktu yang lalu secara cepat
digantikan dengan temuan yang baru yang segera menggugurkan teori yang
sebelumnya. Sementara hipotesis yang diujikan sebelumnya bisa saja segera
ditinggalkan karena muncul pengujian – pengujian hipotesis baru yang lebih
sempurna. Misalnya saja pada dunia kebidanan adalah munculnya kontrasepsi
Intra Uterine System (IUS) yang merukan pembaharuan dari kontrasepsi Intra
Uterine Device (IUD). IUS mempunyai banyak kelebihan dibanding tembaga
IUD. IUS lebih efektif mencegah kehamilan. Siklusnya menjadi lebih ringan,
cepat dan tidak terlalu menyakitkan.
Itulah Evidence Based Midwifery atau yang lebih dikenal dengan EBM
adalah penggunaan mutakhir terbaik yang ada secara bersungguh sungguh,
eksplisit dan bijaksana untuk pengambilan keputusan dalam penanganan pasien
perseorangan (Sackett et al,1997).

Tujuan Umum

Untuk mengetahui perkembangan ilmu terbaru atau Evidence Based dalam


bidang kebidanan khususnya tentang alat kontrasepsi yaitu kontrasepsi Intra
Uterine System (IUS).

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui manajemen pelayanan kebidanan mandiri  dan


defininsi oprasional  menurut permenkes 1464 dan kongres ibi.
2. Untuk mengetahui pelayanan kesehatan reproduksi dan KB berdasarkan
evidence based
A. Pengertian Evidence Based
Evidence based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan
pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti dan
bukti inipun tidak sekedar bukti.Tapi bukti ilmiah terkini yang bisa
dipertanggungjawabkan.

Evidence Based Midwifery atau yang lebih dikenal dengan EBM adalah
penggunaan mutakhir terbaik yang ada secara bersungguh sungguh,
eksplisit dan bijaksana untuk pengambilan keputusan dalam penanganan
pasien perseorangan (Sackett et al,1997).

B. Evidence Based Dalam Kesehatan Reproduksi Dan KB


1. Penggunaan Kontrasepsi (US MEC)
Pembaruan Kriteria Penggunaan Kontrasepsi (US MEC) Berdasarkan CDC,
2010 Revisi Metode Penggunaan Kontrasepsi Selama Masa
Postpartum
Penggunaan kontrasepsi selama masa postpartum penting dilakukan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan memperpanjang interval
kelahiran, yang dapat menimbulkan masalah kesehatan ibu dan anak. Pada tahun
2010, CDC telah mempublikasikan U.S. Medical Eligibility Criteria for
Contraceptive Use (US MEC) yang merupakan pedoman penggunaan
kontrasepsi, yang dilengkapi dengan evidence-based sebagai pertimbangan
dalam pemilihan metode kontrasepsi. Dalam pemilihan metode kontrasepsi ini,
keamanan penggunaan menjadi hal utama yang harus diperhatikan khususnya
untuk wanita yang dengan karakteristik atau kondisi kesehatan tertentu, termasuk
wanita yang masih dalam masa postpartum. Baru-Baru ini, CDC telah
melakukan penilaian terhadap evidence yang memberikan informasi mengenai
keamanan penggunaan kontrasepsi hormonal pada masa postpartum.
Laporan ini merupakan ringkasan dari penilaian tersebut dan hasil dari revisi
pedoman penggunaan kontrasepsi. Revisi rekomendasi ini berisi bahwa wanita
post partum tidak boleh menggunakan kontrasepsi hormonal kombinasi selama
masa 21 hari setelah melahirkan oleh karena resiko tinggi untuk mendapatkan
tromboemboli vena (TEV) selama masa ini. Masa 21-42 hari postpartum, pada
umumnya wanita tanpa faktor resiko TEV dapat memulai penggunaan
kontrasepsi hormonal kombinasi, tetapi wanita yang memiliki resiko TEV
(riwayat TEV sebelumnya atau post melahirkan secara caesar), tidak boleh
menggunakan metode kontrasepsi ini. Nanti, setelah masa 42 hari postpartum,
barulah tidak ada pembatasan penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi
yang berdasarkan pada keadaan pasien tersebut setelah melahirkan.
 Pentingnya penggunaan kontrasepsi selama Masa postpartum
Sebagian dari kehamilan di Amerika Serikat merupakan kehamilan yang
tidak direncanakan, dan kehamilan-kehamilan tersebut biasanya diikuti dengan
perilaku kehamilan yang merugikan dan memberikan beberapa dampak negatif,
seperti terlambat melakukan prenatal care, kebiasaan merokok, meningkatkan
insidensi bayi berat rendah, dan tidak menyusui asi secara ekslusif. Selain itu,
interval kehamilan yang terlalu dekat juga dapat menghasilkan dampak negatif
seperti, kelahiran bayi berat rendah dan bayi prematur. Masa postpartum
merupakan masa yang cukup penting untuk memulai penggunaan kontrasepsi
karena sebagai salah satu cara untuk menjaga kesehatan wanita dan juga dapat
meningkatkan motivasi wanita untuk menghindari kehamilan berikutnya. Masa
ovulasi dapat terjadi secepatnya pada umur 25 hari postpartum pada wanita yang
tidak menyusui, yang menjadi alasan kuat buat wanita untuk menggunakan
kontrasepsi secepat mungkin.
Meskipun demikian, keamanan pengggunaan kontrasepsi postpartum tetap juga
harus dipertimbangkan. Perubahan hematologi secara normal akan terjadi
selama kehamilan, termasuk  peningkatan faktor koagulasi dan fibrinogen dan
penurunan bahan antikoagulan alami, yang menyebabkan peningkatan resiko
tromboemboli vena (TEV) selama masa postpartum. Selain itu, banyak wanita
postpartum memiliki faktor resiko tambahan yang meningkatkan resiko
tromboemboli, misalnya umur ≥ 35 tahun, merokok, atau melahirkan
secara caesar. Hal-hal tersebut merupakan perhatian utama yang harus
dipertimbangkan dalam penentuan penggunaan kontrasepsi oleh karena
kontrasepsi hormonal kombinasi (estrogen dan progestin) itu sendiri memiliki
efek samping yang bisa meningkatkan resiko tromboemboli pada wanita usia
produktif.
 Rasional dan Metode
Publikasi kriteria penggunaan kontrasepsi (US MEC) dilakukan pertama kali
pada tahun 2010 oleh CDC Amerika Serikat. Laporan ini diadaptasi dari
Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use yang dipublikasikan
oleh WHO, yang disebarluaskan secara global sebagai pedoman penggunaan
kontrasepsi berdasarkan evidence sejak tahun 1996. Meskipun demikian
pedoman yang dibuat oleh CDC ini mengadaptasi sejumlah kecil rekomendasi
WHO dan ditambahkan beberapa rekomendasi baru untuk tenaga medis di
Amerika Serikat. Namun, umumnya rekomendasi antara pedoman WHO dan
US MEC adalah sama. Rekomendasi yang diperoleh menggunakan kategori 1-
4. Rekomendasi ini berdasarkan pada pertimbangan keuntungan dan kerugian
signifikan dari keamanan penggunaan kontrasepsi itu sendiri bagi wanita dengan
keadaan atau karakteristik kesehatan tertentu. Kategori 1 mewakili
kelompok pasien yang bisa menggunakan kontrasepsi tanpa adanya pembatasan
sedangkan kategori 4 merupakan kelompok yang sama sekali tidak bisa
menggunakan alat kontrasepsi apapun (Tabel1). CDC merevisi pedoman
penggunaan kontrasepsi ini untuk menjamin bahwa rekomendasi tersebut
berdasarkan pada bukti scientific terbaik yang tersedia berupa indentifikasi bukti
baru atau berdasarkan pada update evidence-based yang dibuat sesuai dengan
pedoman WHO.
Tabel 1.
Up-date rekomendasi penggunaan kontrasepsi hormonal, termasuk
kombinasi kontrasepsi, oral, tempel dan cincin vagina, selama masa
post partum pada ibu yang tidak menyusui.
Kondisi Kategor Klasifikasi/ bukti
i
Post Partum
(tidak menyusui)
a.    < 21 hari 4 Bukti : Tidak terdapat bukti langsung yang
berhubungan dengan resiko tromboemboli
vena diantara ibu yang tidak menyusui yang
menggunakan KHK. Resiko tromboemboli
vena TEV meningkat selama kehamilan dan
postpartum ; resiko ini ditemukan pada
minggu pertama setelah persalinan, menurun
setelah hari ke- 42 postpartum. Penggunaan
KHK dapat meningkatkan resiko
tromboemboli vena pada wanita sehat dalam
umur reproduktif, yang menjadi resiko
tambahan pada saat ini. Resiko kehamilan
selama 21 hari postpartum cukup rendah,
namun meningkat setelahnya, ovulasi
sebelum menstruasi dapat terjadi.
b.         21-42 hari 3 Klasifikasi : pada ibu dengan faktor
i.      Dengan faktor resiko TEV lainnya, faktor resiko ini
resiko TEV lainnya kemungkinan dan akan meningkat ke
(seperti umur ≥ 35 kategori 4 contoh merokok, riwayat
tahun, riwayat trombosis vena dalam/ emboli paru
TEV sebelumnya, yang diketahui sebagai mutasi
thrombofilia, thrombogenik dan kardiomiopati
immobilitas, peripartum.
transfusi saat Bukti :
persalinan, IMT Tidak terdapat bukti langsung
≥30. Perdarahan pemeriksaan resiko TEV diantara
postpartum, post wanita postpartum menggunakan KHK.
caesar, pre- Resiko TEV meningkat selama
eklampsi, atau kehamilan dan postpartum; resiko ini
merokok). ditemukan pada minggu pertama setelah
persalinan, menurun mendekati basal
pada 42 hari postpartum. Penggunaan
KHK, meningkatkan resiko TEV untuk
wanita usia produktif yang sehat, yang
dapat menambah resiko penggunaan
pada masa ini.

ii. Tanpa Resiko


TEV lainnya
 42 har 1
Keterangan:
TEV= Tromboemboli vena ; KHK = Kontrasepsi Hormonal Kombinasi; IMT
= Indeks Massa Tubuh (Berat [Kg]/ Tinggi [m2] ; KOK = Kontrasepsi Oral
kombinasi.
*Kategori: 1= kondisi dimana tidak terdapat pembatasan terhadap penggunaan
kotrasepsi, 2 = kondisi dimana keuntungan penggunaan kontrasepsi umumnya
lebih besar dari resiko teoritis dan yang ditemukan, 3 = kondisi dimana resiko
penggunaan kontrasepsi yang ditemukan lebih besar dibandingkan
keuntungannya, 4 = kondisi dimana ibu tidak dapat menggunakan kontrasepsi
jenis apapun.
Di tahun 2010, berdasarkan bukti-bukti terbaru, WHO merevisi panduan
penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi (KHK) yang aman pada wanita
postpartum yang tidak menyusui, dimana tidak boleh menggunakan kontrasepsi
ini sampai masa 42 hari pertama postpartum, utamanya wanita-wanita yang
dengan faktor resiko TEV. Sedangkan untuk wanita yang menyusui tidak
mengalami perubahan. Oleh karena adanya revisi yang dilakukan oleh WHO ini,
CDC memulai proses penilaian apakah pedoman ini juga harus mengalami
pembaruan. Sebelum proses tersebut, US MEC merekomendasikan bahwa
wanita yang melahirkan kurang dari 21 hari umumnya tidak harus menggunakan
KHK, nanti setelah waktu tersebut, KHK dapat digunakan tanpa adanya
pembatasan.
Berdasarkan dari review sistematik yang telah dilakukan oleh WHO dan CDC
yang telah digunakan sebagai konsultasi revisi panduan WHO, didapatkan bukti
dari 13 penelitian menunjukkan resiko TEV pada wanita dalam 42 hari pertama
masa postpartum adalah sebesar 22-84 kali lebih banyak dibanding wanita usia
subur yang tidak hamil dan tidak dalam masa setelah melahirkan. Resiko ini
paling tinggi ditemukan pada masa setelah baru saja melahirkan, menurun secara
cepat setelah 21 hari pertama, namun tidak kembali ke kondisi normal sampai
masa 42 hari postpartum. Penggunaan KHK dapat meningkatkan resiko TEV
pada wanita usia subur yang secara teoritis dapat menjadi resiko tambahan untuk
wanita yang menggunakannya pada masa postpartum. Namun, tidak terdapat
bukti yang ditemukan mengenai hal tersebut. Bukti-bukti ini hanya terbatas pada
penelitian yang berkaitan dengan interval waktu postpartum yang bisa
menimbulkan TEV dan resiko TEV pada populasi tertentu yang dibandingkan
dengan resiko TEV wanita postpartum. Bukti ini juga diperiksa pada wanita
produktif yang baru melahirkan dan tidak menyusui, dimana menunjukkan
bahwa masa ovulasi tercepat dapat terjadi pada hari ke-25 postpartum, namun
ovulasi subur kemungkinan tidak akan terjadi sampai paling tidak 42 hari setelah
melahirkan.
Sebagai bagian dalam penilaian ini, CDC mengambil 13 orang dari agensi luar
untuk melayani tim reviewer khusus yang merevisi rekomendasi WHO; mereka
diseleksi berdasarkan keahlian mereka dalam penyakit tromboemboli,
hematologi, dan “family planning”. Reviewer diminta untuk berpartisipasi
dalam telekonferensi dengan CDC pada Januari 2011, selama telekonferensi
berjalan, mereka mereview semua evidence based dan menentukan apakah
revisi pedoman penggunaan kontrasepsi yang dibuat WHO cocok digunakan di
Negara Amerika Serikat. Kunci persoalan yang perlu diingat bahwa penggunaan
KHK yang terlalu cepat pada masa postpartum memiliki resiko yang cukup
tinggi untuk TEV tanpa adanya keuntungan dalam pencegahan kehamilan
karena sebagian besar wanita yang tidak menyusui tidak akan mengalami
ovulasi paling tidak setelah 42 hari setelah melahirkan. Kemudian, harus diingat
kembali bahwa wanita dengan resiko TEV yang tinggi (contohnya: wanita
dengan obesitas atau yang baru saja melahirkan secara Caesar) penggunaan
KHK secara teoritis dapat meningkatkan resiko TEV. Itulah sebabnya,
penggunaan metode kontrasepsi harus memperhatikan kategori wanita tersebut
( berdasarkan grupnya ). Meskipun demikian, tidak seperti metode lainnya yang
harus mengunjungi dokter ( implants atau IUD ), KHK dapat dimulai oleh
wanita itu sendiri sesuai dengan waktu yang direncanakan berdasarkan pada
resep obat yang telah diberikan sebelumnya (saat proses persalinan terjadi di
rumah sakit).
 Rekomendasi Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Kombinasi
Selama Masa Postpartum
CDC telah merekomendasikan revisi penggunaan kontrasepsi hormonal
kombinasi (KHK) yang aman pada wanita postpartum yang tidak menyusui
(tabel 1). Pada wanita yang melahirkan < 21 hari, tidak dibolehkan
menggunakan kontrasepsi hormonal kombinasi apapun oleh karena resiko
kesehatan pada masa ini (Kategori 4). Pada wanita yang telah melahirkan antara
21-42 hari dan memiliki resiko tambahan TEV, resiko penggunaan KHK lebih
banyak dari keuntungannya dan oleh karena itu, KHK tidak boleh digunakan
(Kategori 3) ; namun, jika tidak ada resiko TEV tambahan, keuntungan
penggunaan KHK lebih banyak dibandingkan resikonya,KHK dapat digunakan
(Kategori 2). Pada wanita yang melahirkan > 42 hari, tidak ada pembatasan
penggunaan KHK oleh karena resiko TEV yang semakin berkurang (Kategori
1). Meskipun demikian, keadaan medis lainnya dapat diambil sebagai
pertimbangan dalam menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
Rekomendasi pengunaan kontrasepsi untuk wanita menyusui tidak mengalami
perubahan. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan bukti yang mengacu pada efek
negatif yang dapat ditimbulkan dari penggunaan kontrasepsi hormonal pada ibu
menyusui, misalnya meningkatnya waktu untuk menyusui dan meningkatkan
jumlah suplemen makanan tambahan. Pada wanita yang menyusui dan
melahirkan kurang dari 1 bulan, kontrasepsi hormonal kombinasi dimasukkan
dalam kategori 3 karena perhatian terhadap efek estrogen pada masa menyusui.
Setelah 1 bulan, kontrasepsi hormonal kombinasi dimasukkan dalam kategori 2
untuk ibu menyusui. Meskipun demikian, beberapa revisi rekomendasi
berdasarkan pada resiko TEV telah menggantikan ketentuan penggunaan
kontrasepsi untuk kriteria ibu yang menyusui. Contohnya : kontrasepsi hormonal
kombinasi diklasifikasikan dalam kategori 4 untuk semua ibu postpartum,
termasuk ibu menyusui yang melahirkan < 21 hari.
Tabel 2.
Revisi rekomendasi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi,
termasukkontrasepsi oral, tempel, cincin vagina, selama masa post-
partum pada ibu yang menyusui
Kondisi Kategori Klasifikasi / Bukti
Postpartum Klasifikasi :
(Ibu Berdasarkan departemen pelayanan
Menyusui†) kesehatan dan manusia Amerika Serikat
menetapkan bahwa bayi harus
mendapatkan ASI Eksklusif selama 4-6
bulan pertama kehidupan, sebaiknya
dalam masa 6 bulan. Idealnya, ASI harus
dilanjutkan sampai bayi berumur 1 tahun.
Bukti:
Penelitian eksperimental memperlihatkan
bahwa ditemukan efek penggunaan
kontrasepsi hormonal oral terhadap
volume ASI. Namun tidak berefek negatif
pada berat badan bayi. Selain itu,
penelitian juga tidak menemukan adanya
efek merugikan dari estrogen eksogen
terhadap bayi yang terekspose dengan
KHK selama masa menyusui. Secara
umum, penelitian-penelitian ini masih
memiliki kualitas yang rendah, kurangnya
standar definisi dari menyusui itu sendiri
atau pengukuran hasil yang tidak akurat,
serta tidak memasukkan bayi prematur
atau bayi yang sakit sebagai sampel
percobaan. Secara teoritis, perhatian
terhadap efek penggunaan kontrasepsi
terhadap produksi asi lebih baik
dilakukan pada masa awal postpartum
disaat aliran asi sedang dalam masa
permulaan.
Bukti:
Tidak terdapat bukti langsung mengenai
resikoTEV pada ibu postpartum yang
menggunakan KHK. Resiko TEV
mengalami peningkatan selama
kehamilan dan postpartum; resiko ini
utamanya ditemukan pada minggu
pertama setelah persalinan, menurun ke
arah normal setelah 42 hari postpartum.
Penggunaan KHK yang dapat
meningkatkan resiko TEV pada wanita
usia produktif yang sehat, kemungkinan
dapat menjadi resiko tambahan jika
digunakan pada masa ini. Resiko
kehamilan dalam masa 21 hari setelah
persalinan sangat rendah, namun akan
meningkat setelah itu, kemudian
kemungkinan ovulasi sebelum menstruasi
pertama setelah persalinan dapat terjadi.
a.       <21 hari 4
b.      21 sampai
<30 hari
i.      Dengan 3 Klasifikasi:
faktor resiko Untuk wanita dengan faktor resiko TEV,
TEV lainnya akan meningkat menuju klasifikasi -4 ;
( seperti umur contohnya, merokok, Trombosis Vena
≥ 35 tahun, Dalam, yang diketahui sebagai mutasi
riwayat TVE thrombogenik dan kardiomiopati
sebelumnya, peripartum.
thrombofilia, Bukti:
immobilitas, Tidak terdapat bukti langsung
transfuse saat mengenai resiko TEV pada wanita
persalinan, IMT postpartum yang menggunakan KHK.
≥30. Resiko TEV meningkat selama kehamilan
Perdarahan dan masa postpartum; resiko ini
postpartum, utamanya ditemukan pada minggu
postcaesar, pre- pertama setelah persalinan, menurun ke
eklampsi, atau arah normal setelah 42 hari persalinan.
merokok) Penggunaan KHK, yang meningkatkan
resiko TEV pada wanita usia reproduksi
yang sehat dapat menimbulkan resiko
tambahan jika digunakan pada masa ini.
ii. Tanpa 3
Resiko
TEVlainnya

c. 30-42 hari
i. Dengan faktor 3 Klasifikasi:
resiko TEV Untuk wanita dengan faktor resiko TEV,
lainnya akan meningkat menuju klasifikasi ―4,
(seperti umur contohnya,
≥ 35 tahun, merokok, Trombosis Vena Dalam, yang
riwayat TVE diketahui sebagai mutasi thrombogenik
sebelumnya ,thr dan kardiomiopati peripartum.
ombofilia, Bukti:
immobilitas, Tidak terdapat bukti langsung mengenai
transfuse saat resikoTEV pada wanita postpartum yang
persalinan, IMT menggunakan KHK.Resiko TEV
≥30. meningkat selama kehamilan dan masa
Perdarahan postpartum; resiko ini utamanya
postpartum, ditemukan pada minggu pertama setelah
postcaesar, pre- persalinan, menurun ke arah normal
eklampsi, atau 2 setelah 42 hari persalinan. Penggunaan
merokok) KHK, yang meningkatkan resiko TEV
pada wanita usia reproduksi yang sehat
dapat menimbulkan resiko tambahan jika
digunakan pada masa ini.  
ii. Tanpa Resiko
TEV lainnya
c.       > 42 hari 2
Keterangan:
TEV = Tromboemboli vena; KHK = Kontrasepsi Hormonal Kombinasi; IMT
= Indeks Massa Tubuh (Berat [Kg]/ Tinggi [m2] ; KOK = Kontrasepsi Oral
kombinasi.
*Kategori: 1 = kondisi dimana tidak terdapat pembatasan terhadap penggunaan
kotrasepsi, 2 = kondisi dimanakeuntungan penggunaan kontrasepsi umumnya
lebih besar dari resiko teoritis dan yang ditemukan, 3 = kondisi dimana resiko
penggunaan kontrasepsi yang ditemukan lebih besar dibandingkan
keuntungannya, 4 = kondisi dimana ibu tidak dapat menggunakan kontrasepsi
jenis apapun.
†Rekomendasi untuk ibu menyusui dibagi sesuai bulan berdasarkan US MEC,
2010. Rekomendasi ini dibagi berdasarkan hari untuk tujuan penggabungan
dengan rekomendasi postpartum.
Dalam penilaian kesehatan resiko seorang wanita harus mempertimbangkan
karakteristik serta kondisi medis yang dimiliki wanita tersebut. Untuk wanita
postpartum, pemeriksaan ini meliputi penelusuran resiko TEV, misalnya mutasi
trombogenik (kategori 4) atau riwayat TEVdengan faktor resiko rekurensi
(kategori 4), yang keduanya merupakan resiko yang membatasi penggunaan
kontrasepsi hormonal kombinasi, baik pada wanita postpartum ataupun tidak.
 Rekomendasi Penggunaan Kontrasepsi Lainnya Selama Masa
Postpartum
Rekomendasi penggunaan kontrasepsi lainnya, termasuk kontrasepsi hormonal
progestin tunggal, tidak ada perubahan dan terdapat banyak pilihan kontrasepsi
lainnya yang baik untuk wanita postpartum (tabel 3). Metode kontrasepsi
tunggal (progestin), yang dalam bentuk pil, injeksi depot medroxy progesterone
asetat, dan implant, cukup aman untuk wanita postpartum,termasuk wanita yang
menyusui, dan dapat dimulai sesegera mungkin setelah melahirkan (kategori 1
dan 2). AKDR, yang dalam bentuk levonorgestrel dan copper-bearing, juga
dapat diinsersi selama masa postpartum, sesegera mungkin setelah persalinan
(kategori 1 dan 2) dan tidak memiliki komplikasi. Namun, laju ekspulsi AKDR
lebih tinggi ketika insersi dilakukan dalam 28 hari setelah persalinan, dimana
lajunya akan menetap sampai masa 6 bulan postpartum sehingga hal ini
mengharuskan adanya penundaan penggunaan jenis kontrasepsi ini. Kondom
dapat digunakan kapan saja (kategori 1), dan cincin vagina dapat dimulai pada
saat 6 minggu setelah persalinan (kategori 1 setelah 6 minggu). Selain itu, wanita
yang telah memiliki jumlah anak yang cukup dapat dipertimbangkan tindakan
sterilisasi. Kontrasepsi setelah persalinan cukup penting untuk menjaga
kesehatan ibu dan anak, dan edukasi yang diberikan berfokus pada pilihan
kontrasespsinya serta tingkat keamanan dalam pemakaian metode ini selama
masa postpartum.

2. Evidence Based Jenis Kontrasepsi Intra Uterine Device (IUD)


Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau yang lebih sering disebut
dengan Intra Uterine Device (IUD) merupakan alat kontrasepsi yang
disimpan dalam rahim yang berfungsi untuk menghalangi pertemuan
sel sperma dan sel telur sehingga dapat mencegah kehamilan pada
wanita. IUD ini merupakan kontrasepsi jangka panjang sehingga
dapat bertahan untuk waktu yang sangat lama yaitu 8-10 tahun.
Di Indonesia IUD cukup populer sebagai alat kontrasepsi yang aman
dan bisa dipakai untuk jangka waktu yang cukup lama. Alat
kontrasepsi ini merupakan alat kontrasepsi non hormonal. Namun
selain IUD non hormonal, dewasa ini telah ada IUD yang
mengandung hormon yang disebut IUS (Intra Uterine System). IUS
ini lebih dikenal dengan merk dagang MIRENA. IUS (Intra Uterine
System) ini berupa rangka plastik berbentuk T dengan ukuran 32 x 32
mm yang dikelilingi oleh silinder pelepas hormon yang mengandung
Levonorgestrel 52 mg. Mirena melepaskan hormon Levonorgestrel
sebanyak 20 microgram/ hari.

                           Contoh gambar IUS (Intra Uterine System)

Bila pada IUD efek kontrasepsi berasal dari lilitan tembaga dan dapat
efektif selama 8-10 tahun maka pada IUS efek kontrasepsi didapat
melalui pelepasan hormon progestogen dan efektif selama 5 tahun.
Baik IUD dan IUS mempunyai benang plastik yang menempel pada
bagian bawah alat, benang tersebut dapat teraba oleh jari didalam
vagina tetapi tidak terlihat dari luar vagina.
IUS merupakan modifikasi atau pembaharuan dari kontrasepsi
IUD,oleh karena itu IUS mempunyai banyak kelebihan dibanding
tembaga IUD. Beberapa keunggulan IUS dibandingkan dengan IUD
antara lain IUS lebih efektif mencegah kehamilan. Siklusnya menjadi
lebih ringan, cepat, dan mengurangi nyari atau tidak terlalu
menyakitkan.  Cara kerja IUS hanya pada jalur endometrial,
mengingat hormon dilepaskan dari sistem tersebut. Tambahan
mekanisme yakni tebalnya lendir serviks yang mengurangi timbulnya
infeksi pelviks.

C. Contoh-Contoh Praktik Layanan Reproduksi Dan KB


Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan
dan keluarga berencana berwenang untuk memberikan penyuluhan dan
konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dan
memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.
Bidan yang menjalankan program pemerintah berwenang melakukan
pelayanan kesehatan meliputi:
1. Pemberian alat kontrasepsi suntukan, alat kontrasepsi dalam rahim,
dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2. Asuhan antenatal terintegrasi dengan interfensi usus penyait kronis
tertentu dibawah supervise dokter
3. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang di
tetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan
ibu dan anak, anak usia sekolag dan remaja, dan penyehatan
lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah,
dan anak sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan
terhadap infeksi menular seksual (IMS) termasuk pemberian kondom
dan penyakit lainya.
8. Pencegahan NAPZA melalui edukasi dan informasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program pemerintah
D. Inform Choice Dan Consent Dalam Pelayanan Reproduksi Dan KB
1. Inform choice
a. Pengertian
Informed Choice adalah berarti membuat pilihan setelah
mendapat penjelasan tentang alternative asuhan yang dialami.
Pilihan atau choice lebih penting dari sudut pandang wanita yang
memberi gambaran pemahaman masalah yang berhubungan
dengan aspek etika dalam otonomi pribadi. Ini sejalan dengan
Kode Etik Internasional Bidan bahwa : Bidan harus menghormati
hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita
untuk menerima tanggung jawab dari pilihannya.
b. Tujuan informed choice
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.
Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen
asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk
memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan
dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM
1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah
mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima
tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
c. Perbedaan pilihan (choice) dengan persetujuan (consent)
1) Persetujuan atau consent penting dari sudut pandang bidan,
karena berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan
otoritas untuk semua prosedur yang akan dilakukan bidan.
2) Pilihan atau choice penting dari sudut pandang klien sebagai
penerima jasa asuhan kebidanan, yang memberikan gambaran
pemahaman masalah yang sesungguhnya dan merupakan aspek
otonomi pribadi menentukan pilihannya sendiri.
3) Choice berarti ada alternatif lain, ada lebih dari satu pilihan dan
klien mengerti perbedaannya sehinggga dia dapat menentukan
mana yang disukai atau sesuai dengan kebutuhannya. 
2. Informed Consent
a. Pengertian
Setelah klien menentukan pilihan alat kontrasepsi yang dipilih,
bidan berperan dalam proses pembuatan informed concent. Yang
dimaksud Informed Concent adalah persetujuan sepenuhnya yang
diberikan oleh klien/pasien atau walinya kepada bidan untuk
melakukan tindakan sesuai kebutuhan. Infomed concent adalah
suatu proses bukan suatu formolir atau selembar kertas dan juga
merupakan suatu dialog antara bidan dengan pasien/walinya yang
didasari keterbukaan akal dan pikiran yang sehat dengan suatu
birokratisasi yakni penandatanganan suatu formolir yang
merupakan jaminan atau bukti bahwa persetujuan dari pihak
pasien/walinya telah terjadi.
b. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (bidan) dengan pengguna jasa
tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”,
bertujuan :
1) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara
hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan
medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis,
serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya
tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan
tidak ada alasan medisnya;
2) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana
tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak
wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin
dihindarkan walaupun bidan telah bertindak hati-hati dan teliti
serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu
terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat
dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena
kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy)
yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman
sejawat lainnya.
c. Persetujuan pada informed consent dapat dibedakan menjadi tiga
bentuk, yaitu :
1) Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan
dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya
setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya
(telah terjadi informed consent)
2) Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko
tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
3) Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat,
misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan
darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
E. Kewenangan Bidan Dalam Asuhan Kespro Dan KB Dalam
Permenkes 1464/2010
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik
Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1. Kewenangan normal:

a. Pelayanan kesehatan ibu


b. Pelayanan kesehatan anak
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana

2. Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah


3. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter

Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki oleh seluruh


bidan. Kewenangan yang dimaksud dalam kesehatan reproduksi dan KB
Muliputi:

3. Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi


perempuan dan keluarga berencana
4. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom

Selain kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi


bidan yang menjalankan program Pemerintah mendapat kewenangan
tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang meliputi:

1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim,


dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit
kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter)
3. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang
ditetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu
dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan
anak sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan
terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom,
dan penyakit lainnya
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah

Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal


terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan
deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi
Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat
pelatihan untuk pelayanan tersebut.

Selain itu, khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum


ada dokter, bidan juga diberikan kewenangan sementara untuk
memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan normal, dengan
syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di
daerah tersebut sudah terdapat tenaga dokter.

F. Critical Thingking

Berpikir kritis adalah cara berpikir tentang subjek, konten, atau masalah
yang dilakukan oleh pemikir secara aktif dan terampil secara konseptual dan
memaksakan standar yang tinggi atas intelektualitas mereka. Dapat juga
diartikan sebagai proses berfikir secara aktif dalam menerapkan, menganalisis,
mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dan atau dihasilkan
melalui observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, sebagai
acuan dalam meyakini suatu konsep dan atau dalam melakukan tindakan.
Dalam pelaksanaannya, hal ini didasarkan pada nilai-nilai universal intelektual
yang melampaui cabang suatu ilmu yang meliputi: kejelasan, akurasi, presisi,
konsistensi, relevansi, bukti suara, alasan yang baik, kedalaman, luasnya ilmu,
dan keadilan.

Dengan adanya proses berfikir kritis diharapkan dapat:


1. Menimbulkan pertanyaan penting terkait topik/masalah yang sedang
difikirkan, kemudian dapat merumuskan masalah dengan jelas dan tepat
2. Mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan, menggunakan ide-
ide abstrak untuk menafsirkan secara efektif terkait kesimpulan yang
beralasan dan solusi pemecahan masalah, menguji alternatif pemecahan
masalah terhadap kriteria dan standar yang relevan
3. Berpikir terbuka dalam sistem pemikiran alternatif, mampu mengakui dan
menilai setiap permasalahan dengan asumsi yang beralasan, dapat
menimbulkan implikasi, dan konsekuensi praktis
4. Berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam mencari tahu
solusi untuk masalah yang kompleks.

Proses berfikir kritis memerlukan komunikasi yang efektif dan kemampuan


pemecahan masalah serta komitmen untuk mengatasi sikap egois dan tertutup,
dengan prosedur:
1. Mengenali masalah untuk menemukan cara-cara yang bisa diterapkan
guna memecahkan masalah tersebut
2. Memahami pentingnya prioritas dan urutan prioritas dalam pemecahan
masalah
3. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang terkait (relevan)
4. Mengenali asumsi yang tak tertulis dan nilai-nilai
5. Memahami dan menggunakan bahasa dengan akurat, jelas, dan tajam
6. Menafsirkan data untuk menilai bukti dan mengevaluasi argument/
pendapat
7. Menyadari keberadaan hubungan logis antara proposisi
8. Menarik kesimpulan dan generalisasi yang dibenarkan
9. Menguji kesimpulan dan generalisasi masalah
10.Merekonstruksi pola yang telah diyakini atas dasar pengalaman yang
lebih luas
11.Memberikan penilaian yang akurat tentang hal-hal tertentu dan kualitas
dalam kehidupan sehari-hari.

Singkatnya, tiga kunci utama untuk dapat berfikir kritis: RED (Recognize
assumptions, Evaluate arguments dan Draw conclusions) = mengenali
masalah, menilai beberapa pendapat, dan menarik kesimpulan. Dalam
menyimpulkan hasil pemikiran kritis, diperlukan upaya gigih untuk memeriksa
setiap keyakinan atau pemahaman akan pengetahuan berdasarkan dukungan
bukti ilmiah (evidence based) yang mendukung kecenderungan pengambilan
kesimpulan tersebut.
Proses berfikir kritis merupakan kerangka dasar bidan dalam memberikan
asuhan kebidanan, dalam bingkai manajemen kebidanan. Sehingga, apabila
bidan memberikan asuhan kebidanan kepada klien dengan menerapkan prinsip-
prinsip manajemen kebidanan dengan sistematis dan terpola, maka bidan
tersebut telah menerapkan proses berfikir kritis. Penerapan dalam asuhan
kebidanan ibu hamil adalah dengan melaksanakan antenatal care sesuai dengan
program yang telah disepakati sebagai upaya pencegahan dan penanganan
secara dini penyulit dan kegawatdaruratan yang mungkin terjadi pada saat
kehamilan, dengan menerapkan manajemen kebidanan, sehingga diharapkan
proses kehamilan dapat berjalan dengan baik, ibu dapat melahirkan bayinya
dengan sehat dan selamat.

G. Penerapan Critical Thinking, Klinikal Judgemen, Problem Solving


dalam Asuhan Kespro dan KB
1. Membuat simpulan dan solusi yang akurat, jelas, dan relevan terhadap
kondisi yang ada.
2. Berpikir terbuka dengan sistematis dan mempunyai asumsi, implikasi,
dan konsekuensi yang logis.
3. Berkomunikasi secara efektif dalam menyelesaikan suatu masalah yang
kompleks. Berpikir kritis merupakan cara untuk membuat pribadi yang
terarah, disiplin, terkontrol, dan korektif terhadap diri sendiri. Hal ini
tentu saja membutuhkan kemampuan komunikasi efektif dan metode
penyelesaian masalah serta komitmen untuk mengubah paradigm
egosentris dan sosiosentris kita.
Karakteristik yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer
secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
a. Watak

Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai


sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap
berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari
pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika
terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
b. Kriteria

Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan.


Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan
atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber
pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan
menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi,
keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias,
bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang
matang.
c. Argumen

Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data.


Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan
menyusun argumen.
d. Pertimbangan atau pemikiran

Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa


premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa
pernyataan atau data.
e. Sudut pandang (point of view)
Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang
akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan
memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
f. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria)

Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur


tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang
akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.

H. Clinical Judgment (Penilaian Klinis) dalam Asuhan Kebidanan

Kata penilaian sendiri dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk


membuat keputusan logis/ rasional dan menentukan apakah suatu tindakan yang
akan dilakukan benar atau salah. Sedangkan kata klinis, berkaitan dengan klinik
atau tempat perawatan; didasarkan pada observasi dan perawatan klien yang
sebenarnya, yang dibedakan antara konsep teori dan eksperimental dan terdiri
atas tanda-tanda klinis dari suatu masalah kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas, diuraikan bahwa penilaian klinis merupakan
penerapan informasi berdasarkan pengamatan aktual pada klien yang
dikombinasikan dengan data subjektif dan objektif yang mengarah pada
kesimpulan akhir/ analisis/ diagnosis.

Dapat diartikan juga sebagai suatu proses dimana perawat/ bidan


menetapkan data-data mengenai keadaan klien yang akan dikumpulkan,
kemudian membuat interpretasi data, dan diakhiri dengan penetapan diagnosis
keperawatan/ kebidanan, kemudian mengidentifikasi tindakan keperawatan/
kebidanan yang tepat. Hal ini termasuk proses pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, dan berfikir kritis. Maka, disimpulkan bahwa penilaian
klinis merupakan bagian dari proses berfikir kritis.
I. Problem Solving (Pemecahan Masalah dalam Asuhan Kespro dan
KB)
1. Pengertian Metode Pemecahan Masalah (Problem solving Method)

Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode


dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai
masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok
untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan dan usaha –
usaha untuk menyelesaikannya sampai menemukan penyelesaiannya.
Menurut Syaiful Bahri Djamara (2006 : 103) bahwa: Metode problem
solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar
tetapi juga merupakan suatu metode berfikir, sebab dalam problem solving
dapat menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada
menarik kesimpulan.
Menurut N.Sudirman (1987:146) metode problem solving adalah cara
penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak
pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari
pemecahan atau jawabannya oleh siswa. Sedangkan menurut Gulo (2002:111)
menyatakan bahwa problem solving adalah metode yang mengajarkan
penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada terselesaikannya
suatu masalah secara menalar.
Senada dengan pendapat diatas Sanjaya (2006:214) menyatakan pada
metode pemecahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas pada buku saja
tetapi juga bersumber dari peristiwa – peristiwa tertentu sesuai dengan
kurikulum yang berlaku. Ada beberapa kriteria pemilihan bahan pelajaran
untuk metode pemecahan masalah yaitu:
a. Mengandung isu – isu yang mengandung konflik bias dari berita,
rekaman video dan lain – lain
b. Bersifat familiar dengan siswa
c. Berhubungan dengan kepentingan orang banyak
d. Mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki siswa sesuai
kurikulum yang berlaku
e. Sesuai dengan minat siswa sehingga siswa merasa perlu untuk
mempelajari

Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari metode pemecahan masalah


banyak digunakan guru bersama dengan penggunaan metode lainnya. Dengan
metode ini guru tidak memberikan informasi dulu tetapi informasi diperoleh
siswa setelah memecahkan masalahnya. Pembelajaran pemecahan masalah
berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau
pengamatan.
Suatu soal dapat dipandang sebagai “masalah” merupakan hal yang sangat
relatif. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah bagi seseorang, bagi orang
lain mungkin hanya merupakan hal yang rutin belaka. Dengan demikian, guru
perlu berhati-hati dalam menentukan soal yang akan disajikan sebagai
pemecahan masalah. Bagi sebagian besar guru untuk memperoleh atau
menyusun soal yang benar-benar bukan merupakan masalah rutin bagi siswa
mungkin termasuk pekerjaan yang sulit. Akan tetapi hal ini akan dapat diatasi
antara lain melalui pengalaman dalam menyajikan soal yang bervariasi baik
bentuk, tema masalah, tingkat kesulitan, serta tuntutan kemampuan intelektual
yang ingin dicapai atau dikembangkan pada siswa.
Pembelajaran problem solving merupakan bagian dari pembelajaran berbasis
masalah (PBL). Menurut Arends (2008 : 45) pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan
permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan
mereka sendiri.
Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan
pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi
sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan
yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu
jawaban yang benar artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kritis.
Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat
hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan metode pembelajaran problem
solving adalah suatu penyajian materi pelajaran yang menghadapkan siswa pada
persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan
penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang
diberikan. Mereka menganalisis dan mengidentifikasikan masalah,
mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi dan
membuat kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA

Marimbi, Hanum. 2008. Etika dan Kode Etik Profesi Kebidanan. Mitra
Cendikia : Jogjakarta PERMENKES 1464/MENKES/PER/X/2010

Puji Wahyuningsih, Heni. 2006. Etika Profesi Kebidanan. Firtamaya :


Yogyakarta

Sumber: : http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/05/makalah-evidence-
based-kebidanan-dalam.html#ixzz2JHRI1r1B
http://blogdiahcungir.blogspot.co.id/2013/05/evidence-based-jenis-
kontrasepsi-intra.html

Sumber:MidwifeEducation
https://dinikomalasari.wordpress.com/2014/09/20/381/
Sitohang,Kasdin.dkk.2012. Critical Thinking Membangun Pemikiran
Logis.Jakarta: Sinar Harapan

Elder, Linda. (2007). Critical Thinking.

Anda mungkin juga menyukai