Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TERAPI KOGNITIF
KEPERAWATAN JIWA II

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 4 :
Heri Priyanto
Jesica B E Makiolor
Sri Diane Irene Magisa
Regina Lumingkewas
Ni Wayan Medi Sri Susiawati
Moningka Kartika B Josita
Rini Sinsu

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


MANADO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Didalam makalah ini akan menjelaskan konsep dari mekanisme koping
dengan menggunakan terapi koping. Terapi kognitif dikembangkan pada tahun
1960-an oleh Aaron Beck dan berkaitan dengan terapi rasional emotif dari Albert
Ellis. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika digabung dengan pendekatan
perilaku. Kemudian terapi ini di disatukan dan dikenal dengan terapi perilaku
kognitif (cognitive behavior therapy). Terapi ini memperlakukan individu sebagai
agen yang berpikir positif dan berinteraksi dengan dunianya.
Individu membentuk sudut pandang dan keyakinan serta memiliki afek atau
perasaan mengenai apa yang dianggap benar bagi diri sendiri, lingkungan, dan
mengenai pikiran serta perasaannya pada interaksi yang luas dengan perilaku atau
tindakan dalam rangkaian interaksi. Setiap interaksi memperngaruhi interaksi
lain.
Berdasarkan kognisi dan pengalaman masa lalu, individu membentuk pandangan
dan skema kognitif yaitu cara berpikir atau perspektif kebiasaan mengenai diri
sendiri, dunia dan masa depan. Misalnya, individu mengembangkan pandangan
psimistis mengenai cara mengontrol takdirnya sendiri atau merasa takdirnya
mampu dikontrol oleh orang lain dan tidak mampu mengontrolnya sendiri. Dalam
situasi tersebut, individu mengembangkan pandangan negative serta merasa tidak
berharga (disebut pikiran otomatis negative) yang dapat menimbulkan stress,
emosi, kecemasan dan depresi. Individu cenderung mengolah keyakinan yang
tidak masuk akal tentang kemampuan dan berhubungan dengan orang lain. Hasil
persepsi dan distorsi yang salah ini ditandai oleh harapan yang tidak realistis
terhadap diri sendiri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif, dan
pandangan tentang diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu.
Dalam hal seperti ini, terapi kognitif dipergunakan untuk mengidentifikasi,
memperbaiki gejala prilaku dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari
aspek kongnitifnya yang ada. Terapi dengan pendekatan kognitif mengajar pasien
atau klien agar berpikir lebih realistis dan sesuai sehingga dengan demikian akan
menghilangkan atau mengurangi gejala yang berlebihan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Terapi Kognitif
2. Macam –macam distorsi kognitif
3. Apa Tujuan Terapi Kognitif
4. Apa Indikasi Terapi Kognitif
5. Bagaimana Teknik Terapi Kognitif
6. Apa Langkah-Langkah dalam Melakukan Terapi Kognitif
7. Bagaimana Strategi Pendekatan

C. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Menjelaskan Pengertian dari Terapi Kognitif
2. Menyebutkan Macam –macam distorsi kognitif
3. Menjelaskan Tujuan Terapi Kognitif
4. Menjelaskan Indikasi Terapi Kognitif
5. Menjelaskan Teknik Terapi Kognitif
6. Menjelaskan Langkah-Langkah dalam Melakukan Terapi Kognitif
7. Menjelaskan Strategi Pendekatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Terapi Kognitif


Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian,
mengerti. Terapi kognitif menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang
menyebabkan kecemasan dan tanggapan maladaptif melainkan harapan
masyarakat, penilaian, dan interpretasi dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa
perilaku maladaptif dapat diubah oleh berhubungan langsung dengan pikiran dan
keyakinan orang (Stuart, 2009).
Beberapa ahli memberikan penjelasan tentang kognisi, antara lain:
a. Scheerer (1954) mengatakan, bahwa kognisi adalah proses sentral
yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di
dalam (internal) diri sendiri.
b. Festinger (1957) mengatakan, bahwa kognisi adalah elemen-elemen
kognitif, yaitu hal-hal yang diketahui oleh seseorang tentang dirinya
sendiri, tentang tingkah lakunya, dan tentang daerah sekitarnya sendiri.
c. Neisser (1967) mengatakan bahwa, kognisi adalah proses yang
mengubah, mereduksi, memperinci, menyimpan dan mengungkapkan,
dan memakai setiap masukan (input) yang datang dari alat indra.
d. Piaget (1959) menjelaskan perkembangan kognisi sebagai inti dari
kepribadian manusia. Menurutnya, bagaimana seseorang berprilaku
terhadap orang lain, tergantung pada sikapnya tentang orang itu dan
konsep itu sendiri tergantung pada perkembangan kognisinya.
Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif muncul dari
distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan logika, kesalahan dalam
penalaran, atau pandangan individual dunia yang tidak mencerminkan realitas.
Distorsi dapat berupa positif atau negatif. Misalnya, seseorang yang secara
konsisten dapat melihat kehidupan dengan cara yang realistis positif dan dengan
demikian mengambil peluang berbahaya, seperti menyangkal masalah kesehatan
dan mengaku sebagai "terlalu muda dan sehat untuk serangan jantung". distorsi
kognitif mungkin juga negatif, seperti yang diungkapkan oleh orang yang
menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai bukti kurang lengkap
diri. (Stuart, 2009)
Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek terstruktur berorientasi
terhadap masalah saat ini dan bersifat individu. Terapi kognitif adalah terapi yang
mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangkan waktu
singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya
ansietas atau depresi (Singgih, 2007).

B. Macam –macam distorsi kognitif


1. Pemikiran “segalanya atau tidak sama sekali”.
Hal ini menunjuk kepada kecenderungan anda mengevaluasi kualitas-
kualitas pribadi anda dalam kategori “ hitam atau putih” secara ekstrim.
Jika prestasi anda kurang sempurna, maka anda memandang diri anda
sendiri sebagai seorang yang gagal total dan tidak berharga.
2. Terlalu menggeneralisasikan (over-generalisasi)
Anda memandang suatu peristiwa yang negative sebagai sebuah pola dan
kekalahan tanpa akhir. Rasa sakit dikarenakan suatu penolakan hampir
selalu disebabkan oleh cara berpikir yang over generalisasi. Bila cara
berpikir seperti ini tidak ada, maka suatu penghinaan terhadap diri kita
memang terkadang terasa mengecewakan tetapi tidak akan dapat
mengganggu secara serius.
3. Filter Mental
Anda mengambil suatu hal kecil yang negative dalam situasi tertentu,
terus memikirkannya, dan dengan demikian lalu mempresepsikan seluruh
situasi sebagai negative pula. Jika Anda mengalami depresi, maka anda
seolah mengenakan kaca mata berlensa khusus yang dapat menyaring
segala sesuatu yang positif. Satu-satunya hak yang anda biarkan
memasuki kesadaran anda adalah yang bersifat negative. Karena anda
tidak menyadari “proses penyaringan” ini, maka anda menyimpulkan
bahwa segala-galanya selalu negative. Istilah teknis untuk proses ini ialah
“abstraksi selektif”. Ini merupakan suatu kebiasaan buruk yang dapat
menyebabkan anda mengalami berbagai penderitaan yang tidak perlu.
4. Mendiskualifikasikan yang positif
Suatu ilusi mental yang bahkan lebih spektakuler lagi adalah suatu
kecenderungan yang menetap pada diri orang-orang yang depresi, untuk
mengubah pengalaman-pengalaman yang netral atau bahkan yang positif
sekalipun menjadi negative. Bukan hanya mengabaikan pengalaman-
pengalaman yang positif malah mengubahnya menjadi kebalikannya.
Tindakan mendiskualifikasi hal-hal yang positif merupakan salah satu dari
bentuk distorsi kognitif yang paling merusak.
5. Loncatan ke Kesimpulan
Membuat suatu penafsiran negative walaupun tidak ada fakta yang jelas
mendukung kesimpulan. Dua contoh dari jenis distorsi ini adalah :
a. Membaca pikiran: anda berasumsi bahwa orang lain sedang
memandang rendah anda dank arena keyakinan tidak ada usaha
untuk mengeceknya. Pola perilaku yang mengalahkan diri sendiri
ini dapat jadi suatu “self-fulfilling prophecy” (menciptakan sesuatu
dengan ramalan sendiri) dan akhirnya membuat suatu interaksi
yangnegatif dengan orang lain.
b. Kesalahan Peramal: Mengharapkan segala sesuatu akan berubah
menjadi sangat buruk, dan merasa yakin bahwa ramalan tersebut
merupakan suatu fakta yang pasti.
6. Pembesaran (Pembencanaan) atau Pengecilan
Melebih-lebihkan pentingnya sesuatu hal (misalnya kesalahan anda dan
kesuksesan orang lain). Atau dengan tidak tepat mengerutkan segala
sesuatu sehingga menjadi sangat kecil (misalnya: Sifat anda yang baik dan
cacat orang lain) ini disebut “permainan teropong.”
7. Penalaran emosional
Menganggap bahwa emosi-emosi yang negative mencerminkan
bagaimana sebenarnya realita: “saya merasa begitu, maka pasti begitu”.
8. Pernyataan “HARUS”
Mencoba mengerakkan diri sendiri dengan “harus” serta “seharusnya
tidak” seolah-olah anda dicambuk dan dihukum sebelum dapat diharapkan
melalukan apapun. Perkataan “mestinya” juga menyerang diri anda.
Konsekwensinya emosionalnya adalah rasa bersalah. Bila diarahkan
pernyataan “harus” tersebut terhadap orang lain, maka anda akan
merasakan amarah, frustasi, dan kejengkelan.
9. Memberi Cap dan salah memberi Cap
Suatu bentuk ekstrim dari over-generalisasi. Bukan menguraikan
kesalahan malah member cap negative terhadap diri sendiri. “saya
memang seorang yang sial”. Jika prilaku orang lain menyinggung
perasaan anda, maka anda menempelkan cap negative kepadanya “ia
memang seorang yang bodoh” . salah member cap berarti menggambarkan
suatu peristiwa dengan bahasa yang sangat dipenuhi emosi.
10. Personalisasi
Memandang diri sebagai penyebab dari suatu peristiwa eksternal yang
negative, yang dalam kenyataan sebenarnya bukanlah anda yang pertama-
tama bertanggung jawab akan hal tersebut.

C. Tujuan Terapi Kognitif


Menurut Setyoadi, dkk (2011) beberapa mekanisme koping dengan
menggunakan terapi kognitif adalah sebagai berikut :
1. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menentang
keakuratan kognisi negative klien. Selain itu, juga untuk memperkuat persepsi
yang lebih akurat dan mendorong perilaku yang dirancang untuk mengatasi
gejala depresi. Dalam beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan
terapi depresan.
2. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
3. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu klien
mengubah cara berpikir atau mengembangkan pola piker yang rasional.
4. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang
maladaptive, pikiran yang mengannggu secara otomatis, serta proses pikir
tidak logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada pikiran individu yang
menentukan sifat fungsionalnya.
5. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan. Tanda dan
gejala depresi dihilangkan melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara
berpikir maladaptive dan otomatis. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi
bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri,
dunia, dan masa depan yang dapat menyebabkan depresi. Klien menyadari
kesalahan cara berpikirnya. Kemudian klien harus belajar cara merespon
kesalahan tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dengan perspektif kognitif,
klien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-
harapan negative. Cara lain adalah dengan membantun klien mengidentifikasi
kondisi negative, mencari alternative, membuat skema yang sudah ada
menjadi lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku baru yang lebih adaptif.
6. Membantu menargetkan proses berpikir serta perilaku yang menyebabkan dan
mempertahankan panik atau kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan
klien, restrukrisasi jognitif, pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik
biologis, mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.
7. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan
obsesif kompulsif dan selanjutnya mencegah responsnya. Misalnya dengan
cara pelimpahan atau pencegahan respons, mengidentifikasi, dan
merestrukturisasi distorsi kognitif melalui psikoedukasi.
8. Membantu individu mempelajari respons rileksasi, membentuk hirarki situasi
fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap
mempertahankan respons rileksasi misalnya dengan cara desensitisasi
sistematis. Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien
terhadap situasi yang ditakutinya.
9. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang berhasil bertahan
hidup dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara restrukturisasi
kognitif.
10. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system keyakinan
yang salah.
11. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik
untuk meningkatkan aktivitas sosialnnya.
12. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal.

D. Indikasi Terapi Kognitif


Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi
psikiatri yang lazim, terutama :
1. Depresi (ringan sampai sedang).
2. Gangguan panic dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan.
3. Indiividu yang mengalami stress emosional.
4. Gangguan obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder) yang
sering terjadi pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi
perilaku dan antidepresan jarang terjadi pada awal masa anak-anak,
meskipun kompulsi terisolasi sering terjadi.
5. Gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik).
6. Gangguan stress pascatrauma (post traumatic stress disorder).
7. Gangguan makan (anoreksia nervosa).
8. Gangguan mood.
9. Gangguan psikoseksual
10. Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya.

E. Teknik Terapi Kognitif


Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus
diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat
agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secar optimal. Dalam pelaksanaan teknik-
teknik ini harus dipadukan dengan kemampuan lain seperti teknik komter, milieu
therapy dan counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain :
1. Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)
Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan pengamatan
terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturasasi dimulai
dengan cara memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan dan
pemikiran yang mungkin muncul. Biasanya dengan menggunakan pendekatan
5 kolom. Masing-masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul
saat menghadapi masalah terutama yang dianggap menimbulkan kecemasan
saat ini.
2. Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan
pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk
memudahkan menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan
perawat saat memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk
mendukung keyakinan dan kepercayaannya. Klien yang mengalami distorsi
dalam pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama terhadap semua
sumber data atau data-data yang tidak disadarinya, seringkali klien
menganggap data-data itu mendukung pemikiran buruknya. Data bisa
diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain dalam masyarakat sebagai
support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan tersebut dapat memberikan
masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding dengan pemikiran-
pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai
penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya. Berdasarkan data-data
yang bisa dipercaya klien bisa mengambil kesimpulan yang tepat tentang
perasaanya selama ini.
3. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Bayak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak adanya
alternative pemecahan lagi. Khususnya pada pasien depresi dan percobaan
bunuh diri. Latihan menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan
masalah klien bisa dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien
dianjurkan untuk menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah
paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan alternatifnya. Klien
depresi atau klien klien gangguan jiwa lain menganggap masalahnya rumit
karena akumulasi berbagai masalah seperti: listrik belum dibayar, suami
selingkuh, anak sakit, genteng bocor dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang
paling ringan biasanya klien bisa menemukan alternatif – alternatif yang bisa
dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum dibayar klien boleh
memikirkan tentang : mungkin perlu surat keterangan tidak mampu,
menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat penerangan lain,
gabung dengan tetangga, bermusyawarah dengan keluarga yang lebih mampu
dan sebagainya. Disini penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang
klien agar berani berfikir “lain dari yang biasanya“ atau berani “berpikir
beda”.
4. Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa. Hal ini meliputi
upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana
klien mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah
untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa yang
mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan.
Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh
klien yang tinggal dipantai harus berani berfikir apa yang akan saya lakukan
bila tsunami tiba-tiba datang? gempa tiba-tiba melanda? suami tiba-tiba
tenggelam? dan sebagainya.

5. Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau
perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari
masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang
saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-
keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien
melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif yang baru.
Dengan memahami aspek positif dan negatif dari masalah yang dihadapi klien
dapat memperluas kesadaran dirinya. Strategi ini juga dapat memicu
kesempatan pada klien untuk merubah dan menemukan makna baru, sebab
begitu makna berubah maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh,
PHK dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien merubah makna
PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK merupakan kesempatan untuk belajar
bisnis, menemukan pengalaman baru, banyaknya waktu bersama keluarga,
saatnya belajar home industry dan meraih peluang kerja yang lainnya.
6. Thought Stopping
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola salju bagi
klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi sulit
dipecahkan. Teknik berhenti memikirkannya (thought stoping) sangat baik
digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien
dapat menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Menghayalkan
bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di dinding yang
digunakan untuk menghentikan berpikir dysfunctional. Untuk memulainya,
klien diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman
masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara
mengatakan keras-keras “berhenti”. Setelah itu klien mencoba sendiri untuk
melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat. Selanjutnya klien mencoba
menerapkannya dalam situasi keseharian.

7. Learning New Behavior With Modeling


Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam meningkatkan
kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima. Sasaran
perilakunya adalah memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam
beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi pada
seseorang yang berhasil memecahkan masalah yang serupa dengan klien
dengan cara modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien
meniru perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya klien melakukan
pemecahan secara bersama dengan fasilitator. Selanjutnya klien mencoba
memecahkannya sendiri sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya
bersama fasilitator. Sebagai contoh pada klien yang memiliki stressor
kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang dulu sambil belajar bisnis atau
berdagang dengan orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa
melakukannya sendiri.
8. Membentuk Pola ( shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan reinforcement.
Misalnya anak yang bandel dan tidak akur bdengan orang lain berniat untuk
damai dan hangat dengan orang lain, maka pada saat niatnya itu menjadi
kenyataan, klien diberi pujian.
9. Token Economy
Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering digunakan
pada kelompok anak-anak atau klien yang mengalami masalah psikiatrik. Hal
ini dilakukan secara konsisten pada saat klien mampu menghindari perilaku
buruk atau melakukan hal yang baik. Misalnya setiap berhasil bangun pagi
klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan mendapat tanda silang atau
gambar bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus menerus sampai
suatu saat jumlahnya diakumulasikan.
10. Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku salahnya
melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan
memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan
belajar mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ada
dalam cerita. Klien biasa melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui
cerita yang disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seorang
pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering merokok.
11. Social skill Training
Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun
diperoleh sebagai hasil belajar. Beberapa prinsip untuk memperoleh
keterampilan baru bagi klien adalah :
a. Feedback
Sebagai contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat diajarkan keterampilan
membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara membersihkan
lantai yang baik, selanjutnya perawat mengupayakan agar klien
mempraktikkan sendiri. Perawat melakukan feedback dengan cara menilai
dan memperbaiki kegiatan yang masih belum selesai harapan.
12. Anversion Theraphy
Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan kebiasan-kebiasan buruk
klien dengan cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu
yang tidak disukai. Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat boring
dengan cara membayangkan bahwa penghapus itu dianggap sebagai cacing
atau ulat yang menjijikan.
13. Contingency Contracting
Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara therapist
dalam hal ini perawat jiwa dengan klien. Perjanjian dibuat dengan punishment
dan reward. Misalnya bila klien berhasil mandi tepat waktu atau
meninggalkan kebiasaan merokok maka pada saat bertemu dengan perawat
hal tersebut akan diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah disepakati
antara klien dengan perawat terutama bila klien melanggar kebiasaan buruk
yang sudah disepakati untuk ditinggalkan.
Menurut Setyoadi, dkk (2011) teknik yang digunakan dalam melakukan terapi
kognitif adalah sebagai berikut:
1. Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan
keyakinan yang menyebabkan khawatir.
2. Menggunakan teknik pertanyaan Socratic yaitu meminta klien untuk
menggambarkan, menjelaskan dan menegaskan pikiran negative yang
merendahkan dirinya sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa
asumsi tersebut tidak logis dan tidak rasional.
3. Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realities mengenai diri sendiri, nilai
diri dan dunia. Dengan demikian, klien membentuk nilai dan keyakinan baru,
dan distress enmosional menjadi hilang.

F. Langkah-Langkah Melakukan Terapi Kognitif


Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif dipraktikan diluar sesi terapi dan
menjadi modal utama dalam mengubah gejala. Terapi berlangsung lebih kurang
12-16 sesi yang terdiri atas :
1. Fase awal (sesi 1-4)
a. Membentuk hubungan terapeutik dengan klien.
b. Mengajarkan klien tentang bentuk kognitif yang salah serta
pengaruhnyan terhadap emosi dan fisik.
c. Menentukan tujuan terapi.
d. Mengajarkan klien untuk mengevaluasi pikiran-pikiran yang otomatis.
2. Fase pertegahan (sesi 5-12)
a. Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah.
b. Membantu klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien diminta
mempraktikan keterampilann berespons terhadap hal-hal yang
menimbulkan depresi dan memodifikasinya.

3. Fase akhir (13-16)


a. Menyiapkan klien untuk terminasi dan memprediksi situasi beresiko
tinggi yang relevan untuk terjadinya kekambuhan.
b. Mengonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri.

G. Strategi Pendekatan
Menurut Setyoadi, dkk (2011) strategi pendekatan terapi kognitif antara lain :
a. Menghilangkan pikiran otomatis.
b. Menguji pikiran otomatis.
c. Mengidentifikasi asumsi maladaptive.
d. Menguji validitas asumsi maladaptive.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur,
aktif, direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk menghadapi berbagai
hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depresi. Terapi kognitif
digunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki gejala perilaku yang malasuai,
dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitif yang ada.
Terapis dengan pendekatan kognitif mengajarkan pasien atau klien agar berpikir
lebih realistik gejala yang berkelainan yang ada.

B. Saran
Sebagai mahasiswa dan calon tenaga medis kita mampu menerapkan
mekanisme koping dengan menggunakan terapi kognitif kepada klien sehingga
jumlah kasus penderita gangguan jiwa di Indonesia dapat menurun.
DAFTAR PUSTAKA

Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.


Setyoadi, dkk. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik.
Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis:
Mosby.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam
http://fairuzelsaid.wordpress.com/2011/12/01/teori-kognitif/

Anda mungkin juga menyukai