Anda di halaman 1dari 10

BAB II

ISI

A. Profil Tokoh

Sejarah terapi kognitif pada awalnya dikembangkan pada awal 1960 oleh Dr. Aaron
Beck dari University of Pennsylvania. Teori tersebut memostulasikan bahwa selama
perkembangan kognitifnya klien belajar kebiasaan-kebiasaan yang tidak tepat untuk
memproses dan menginterpretasi informasi. Terapi kognitif berusaha bahwa distorsi kognitif
klien dan membantunya mempelajari berbagai macam cara yang berbeda dan lebih realistis
untuk memproses dan menguji realitas informasi.1

Secara historis, terapi kognitif dapat dirunut kembali kepada karya Filsuf Epictetus,
pada abad pertama Masehi berpendapat bahwa orang-orang tidak terganggu oleh hal
jasmaniah, namun terganggu oleh pandangan mereka tentang hal-hal itu. Yang lebih
mutakhir, akarnya terletak pada karya John Broadus Watson, seorang yang dikenal sebagai
bapak pendekatan perilaku, dan karya fisiolog Ivan Pavlov, yang berdasarkan risetnya pada
binatang, menghasilkan prinsip-prinsip pengkondisian klasik.

Kemudian pendapat Alfred Alder, dalam bukunya berjudul What Life Should Mean to
You menuliskan bahwa makna tidak ditentukan oleh situasi, namun kitalah yang menentukan
diri kita dengan makna yang kita berikan pada situasi tersebut. Juga pada tahun 1950, George
Kelly pencipta terapi konstruk personal berpendapat bahwa individu adalah ilmuwan yang
mengembangkan gagasan dan kemudian mengujinya dengan mempraktikannya. Karyanya
tersebut membuka jalan bagi perkembangan terapi kognitif. Berikutnya karya Albert Ellis,
adalah pendiri terapi perilaku emotif rasional dan Donald Miechenbaum menekankan
pentingnya proses kognitif. Hingga akhirnya pada tahun 1960, terapi kognitif mulai
menemukan bentuknya lewat karya Aaron Beck. Jurnal Cognitive Therapy and Research
pertama kali didirikan pada 1977 dan salah satu bukunya yang sangat terkenal, Cognitive
Therapy for Depression, karya tersebut dipublikasikan Beck bersama koleganya pada tahun
1979. Dan sejak saat itu terapi kognitif berkembang dengan pesat.2

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa terapi kognitif Aaron Beck diawali
dengan pendapat-pendapat para tokoh. Yaitu diawali oleh Filsuf Epictetus yang beranggapan
bahwa seseorang tidak terganggu dengan hal-hal jasmaniah namun terganggu karena
1
Richard Nelson-Jones, Praktik Konseling dan Terapi (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 548
2
Stephen Palmer, Konseling dan Psikoterapi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar), hlm. 99

1
pandangan mereka sendiri tentang suatu hal. Kemudian diikuti oleh pendapat-pendapat tokoh
terkemuka seperti J.B Watson, Ivan Pavlov, Alfred Alder, George Kelly, Albert Ellis yang
kemudian mulai terbentuklah terapi kognitif oleh Aaron Beck. Melalui karya-karyanya terapi
kognitif akhirnya berkembang pesat .

B. Hakikat Manusia

Teori kognitif pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui
proses stimulus-kognisi-respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam
jaringan SKR dalam otak manusia dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dala
menjelaksan bagaimana manusia berikir.3

Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk


menyerap pemikiran yang rasional dan irrasional. Dimana pemikiran yang irrasional dapat
meninggalkan gagguan emosi dan tingah laku yang menyimpang. Maka teori ini diarahkan
pada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan berindak dengan menekanka peran otak dalam
menganalisa, memrumuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan
mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan dapat mngubah tingkah
lakunya dari negatif menjadii posiif.4

C. Perkembangan Kepribadian Manusia

1. Struktur Kepribadian

Inti dari konseling kohnitif adalah penekanan pada unsur kognisi yang dapat
mempengaruhi emosi dan perilaku manusia. Alford dan Beck mendefinisikan kognisi
sebagai berikut “Cognition is defined as that function that involves inferences about one’s
experiences and about the occurrence and control of future events”. Beck membagi kognisi
individu ke dalam empat tingkatan, yaitu pikiran otomatis, keyakinan tingkat tinggi,
keyakinan inti, dan skema. Pikiran otomatis (Automatic Thought) merupakan aliran kognisi
yang terus mengalir melalui mental individu. Ketika individu menjalani kehidupan sehari-
hari, pikiran-pikiran khusus situasional secara spontan muncul untuk mereaksi pengalaman

3
Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi, (Jakarta; Kreativ Media,
2003) Hlm, 6
4
Siti Chodijah, Filsafat Bimbingan dan Konseling, (Bandung; Cv Mimbar Pustaka, 2016) Hlm, 135

2
kita. Pikiran otomatis menjembatani situasi dan emosi, artinyadari situasi tertentu dapat
muncul pikiran otomatis tertentu dan dapat membangkitkan emosi tertentu. Keyakinan
tingkat tinggi (Intermediate Beliefs) merefleksikan suatu aturan dan sikap yang absolut yang
membentuk pikiran otomatis. Keyakinan Inti (Core Beliefs) merupakan ide sentral tentang
diri yang mendasari berbagai pikiran otomatis dan selalu direfleksikan dalam keyakinan
lanjut. Sedangkan skema (Schemas) didefinisikan sebagai struktur kognitif yang mencakup
keyakinan inti atau suatu aturan khusus yang mengendalikan perilaku dan pemrosesan
informasi. Skema akan mempengaruhi cara individu mempersepsi realita dan dapat bersifat
personal. Suatu skema dapat diaktifkan melalui satu stimuli khusus. Jika skema telah aktif,
skema akan menggabungkan berbagai informasi yang konsisten dan relevan serta menolak
informasi yang kontradiktif.

Secara khusus, pikiran otomatis yang individu mungkin tidak menyadari bisa menjadi
signifikan dalam pengembangan kepribadian. Pikiran seperti itu merupakan aspek keyakinan
individu atau skema kognitif (Cognitive Schemas), yang penting dalam memahami
bagaimana individu membuat pilihan dan menarik kesimpulan tentang kehidupan mereka.
Kepentingan tertentu dalam memahami gangguan psikologis adalah distorsi kognitif, cara
berpikir yang tidak akurat yang berkontribusi terhadap ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan
dalam kehidupan individu.

Menurut Beck tekanan psikologis dapat disebabkan oleh kombinasi dari beberapa
faktor. Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor biologis, lingkungan, dan sosial, yang
berinteraksi dalam berbagai cara, sehingga jarang ada penyebab tunggal untuk terjadinya
gangguan psikologis. Kadang-kadang peristiwa yang terjadi pada saat anak usia dini dapat
menyebabkan distorsi kognitif nantinya.

Menurut Beck, Freeman, Davis, & Associates kurangnya pengalaman atau pelatihan
dapat mengakibatkan cara berpikir yang efektif atau maladaptive, seperti dalam menetapkan
tujuan realistis atau membuat asumsi yang tidak akurat. Pada saat individu mengalami stres,
ketika individu mengantisipasi atau memandang situasi sebagai ancaman, pemikiran mereka
mungkin terdistorsi. Ini bukan pikiran yang tidak akurat yang menyebabkan gangguan
psikologis, melainkan merupakan kombinasi dari biologi, perkembangan, dan faktor
lingkungan. Terlepas dari penyebab gangguan psikologis, pikiran-pikiran otomatis cenderung
menjadi bagian penting dari pengolahan penderitaan yang dirasakan.

3
Pikiran otomatis adalah konsep kunci dalam psikoterapi kognitif Beck . Pikiran
seperti itu terjadi secara spontan, tanpa usaha atau pilihan. Pada gangguan psikologis,
pikiran-pikiran otomatis sering terdistorsi, ekstrim, atau tidak akurat. Dengan mengatur
pikiran-pikiran otomatis, konselor mampu mengartikulasikan seperangkat keyakinan inti
(Core Beliefs) atau skema (Schemas).

Konselor kognitif melihat keyakinan individu dimulai pada anak usia dini dan
berkembang sepanjang hidup . Pengalaman anak usia dini menyebabkan keyakinan dasar
tentang diri sendiri dan dunia seseorang. Keyakinan ini dapat diatur ke dalam skema kognitif
(Cognitive Schemas). Biasanya, individu mengalami dukungan dan cinta dari orang tua, yang
mengarah pada keyakinan seperti “Saya dicintai” dan “Saya kompeten”, yang pada gilirannya
menyebabkan pandangan positif dari diri mereka sendiri di masa dewasa. Orang yang
mengembangkan disfungsi psikologis memiliki pengalaman negatif yang dapat menyebabkan
keyakinan seperti “Saya dikasihi” dan “Saya tidak memadai”. Pengalaman-pengalaman
perkembangan bersama dengan insiden kritis atau pengalaman traumatis, mempengaruhi
sistem kepercayaan individu. Pengalaman negatif, seperti diejek oleh seorang guru, dapat
menyebabkan keyakinan bersyarat seperti “Jika orang lain tidak menyukai apa yang saya
lakukan, saya tidak berharga”. Keyakinan tersebut dapat menjadi dasar untuk individu
sebagai skema kognitif negatif.

2. Pribadi sehat dan bermasalah

Pribadi yang sehat adalah individu yang sadar akan kognisinya dimana individu
tersebut dapat menguji hipotesis secara sistematis dan jika individu menemukan asumsi-
asumsi yang tidak tepat, mereka segera dapat menggantinya dengan keyakinan yang lebih
fungsional yang mengarahkan pada pembentukan emosi dan perilaku yang lebih positif.
Sebaliknya untuk pribadi yang dikatakan bermasalah adalah individu yang tidak dapat
menguji hipotesis secara sistematis, tidak mampu menemukan asumsi-asumsi yang tidak
tepat sehingga emosi dan perilakunya cenderung negatif.

Menurut Beck ,Weishaar, Dattilio & Freeman, beberapa kesalahan sistematis dalam
penalaran yang mengarah pada asumsi yang salah dan kesalahpahaman, yang disebut distorsi
kognitif yaitu;

4
1. Kesimpulan sewenang-wenang, mengacu pada membuat kesimpulan tanpa
pendukung dan bukti yang relevan. Ini termasuk catastrophizing, atau memikirkan
skenario terburuk dari situasi tertentu.

2. Abstraksi selektif, terdiri dari cara pandang individu yang hanya memandang
peristiwa-peristiwa yang berurusan dengan kegagalan dan kekurangan.

3. Generalisasi yang berlebihan, adalah proses memegang keyakinan ekstrim atas dasar
peristiwa tunggal dan menerapkannya untuk peristiwa berbeda.

4. Magnifikasi dan minimalisasi, terdiri dari memahami suatu kasus atau situasi dalam
cara pandang yang lebih besar atau lebih kecil daripada yang benar-benar layak.

5. Personalisasi, kecenderungan bagi individu untuk menghubungkan peristiwa


eksternal dengan diri mereka sendiri, bahkan ada kemungkinan tidak ada dasar untuk
membuat hubungan ini.

6. Labeling dan mislabeling, melibatkan menggambarkan identitas seseorang atas dasar


ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dilakukan di masa lalu dan memungkinkan
mereka untuk mendefinisikan identitas sejati seseorang.

7. Berpikir dikotomis, melibatkan mengkategorikan pengalaman baik atau ekstrem.


Dengan pemikiran terpolarisasi seperti itu, peristiwa diberi label dalam istilah hitam
atau putih.5

D. Mekanisme Pertahanan Diri

1. Represi

Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustasi, konflik


batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila
represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun
masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang
sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak
terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat

5
https://konselorwahyu-wordpress.com.cdn.ampproject.org

5
keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah menjadi umum
banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya.

2. Supresi

Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan


menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan
cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu
sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik
beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya
tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi).

3. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)

Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha


menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau
supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan
cara ini individu tersebut dapat menghindari diri dari kecemasan yang disebabkan oleh
keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian,
misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih
sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan
permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.

4. Fiksasi

Dalam menghadapi kehidupannya, individu dihadapkan pada suatu situasi menekan


yang membuatnya frustasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut
merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya
terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada
satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang
sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahanan diri dengan
fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi
perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini.

5. Regresi

Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi
frustasi, setidaknya-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang

6
menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang
berusia lebih muda. Ia memberikan respon seperti individu dengan usia yang lebih muda
(anak kecil). Contohnya anak yang baru memperoleh adik, akan memperlihatkan respons
mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak
pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknya dianggap
sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari
keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang
dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi
regresi karena belum pernah belajar respon-respon yang lebih efektif terhadap problem
tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian.

6. Menarik Diri

Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu
menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respon ini
disertai dengan depresi dan sikap apatis.

7. Mengelak

Bila individu merasa diliputi oleh stress yang lama, kuat dan terus menerus, individu
cenderung untuk mencoba mengelak. Bila saja secara fisik mereka mengelak atau mereka
akan menggunakan metode yang tidak langsung.

8. Denial (menyangkal kenyataan)

Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya)
dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung
unsur penipuan diri.

9. Fantasi

Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa
mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak
menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustasi.
Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa reaksi
lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi ini
dilakukan secara proporsinal dan dalam pengendalian kesadaran yang baik, maka fantasi

7
terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stress, dengan begitu berfantasi tampaknya
menjadi strategi yang cukup membantu.

10. Rasionalisasi

Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan


yang dapat diterima secara sosial untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial
untuk membenarkan atau menyembunyikan perilaku yang buruk. Rasionalisasi juga muncul
ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah
baik, atau yang baik adalah yang buruk.

11. Intelektualisasi

Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi


yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual
dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang
menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan
sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan
intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak
menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau
permasalah secara obyektif.

12. Proyeksi

Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam
memperlihatkan ciri pribadi individu yang lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia
perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk
mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya
sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.6

E. Penerapan Dalam Konseling

Tujuan dari terapi kognitif adalah mengisi kembali energy reality testing klien. Terapi
kognitif mengajarkan metode meta-kognisi, bagaimana memikirkan tentang pikirannya
kepada klien sehingga klien dapat mengoreksi pemrosesan kognitifnya yang keliru dan

6
https://www.universitaspsikologi.com/2018/10/pengertian-defence-mechanism-mekanisme-
pertahanan-diri.html?m=1

8
mengembangkan asumsi yang memungkinkannya untuk mengatasi kesulitan. Meskipun
terapi kognitif pada awalnya mencoba menghilangkan gejala, tujuan akhirnya adalah untuk
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan sistematik dalam cara berpikir.7

Secara sederhana, tujuan terapi kognitif adalah berpikir logis. Menurut Beck,
interpretasi dan persepsi individu-individu tentang situasi, peristiwa dan masalah saat ini
memengaruhi bagaimana mereka bereaksi. Masalah psikologis timbul dari kognisi yang tidak
logis. Ketika kognisi sesuai dengan kejadiannya, kognisi itu dapat menghasillkan reaksi yang
lebih sehat dan adaptif.8

Secara umum, teknik-teknik yang digunakan dalam konseling kognitif Beck


digunakan untuk mengubah kognisi konseli yang tidak realistik menjadi lebih realistik.
Beberapa teknik tersebut antara lain:

1. Pertanyaan

Pertanyaan langsung, juga dikenal sebagai pertanyaan Sokratik, teknik ini di gunakan
untuk membantu klien menyadari pikiran negatife atau fitranya dan memodifikasi keyakinan
yang tidak bermanfaat. Untuk mengidentifikasikasi fikiran negatife, klien diminta
memikirkan situasi diamana ia mengalamu emosi negatife yang kuat seperti kecemasan, atau
depresi dan kemudian bertanya kepada dirinya sendiri apa yang sedang berlangsung di dalam
pikiran mereka pada saat itu. Setelah mengidentifikasi keyakinan negative, langkah
selanjutnya memeriksa faliditas keyakinan itu dengan menggunakan pertanyaan sokratik,
seperti (1) dari mana anda mendapatkan cara berpikir seperti ini?; (2) adakah bukti untuk
keyakinan ini?; (3) adakah cara alternative untuk melihat situasi ini?.

2. Bentuk-bentuk pikiran otomatis

Teknik ini biasanya dibagi menjadi empat bagian: a) situasi atau peristiwa aktivasi
pikiran otomatis negatife (PON) konsekuensi perilaku dan emosi respon klien menggunakan
bentuk-bentuk itu untuk merekam PON-nya, perasaan dan tindakan terkait peristiwa yang
membuatnya gelisah dan respons bantuan diri selanjutnya yang dikembangkannya untuk
menangani situasi.

3. Distraksi

7
Ibid Richard Nelson-Jones, Praktik Konseling....................... hlm,572
8
Andrew M. Pomerantz, Psikologi Klinis diterjemahkan oleh Helly Prajitno, Sri Mulyantini Soetjipto
(yogyakarta: Pustaka Belajar, 2013) hlm, 441

9
Latihan distraksi bisa membantu klien berhenti berpikir negatife. Contoh-contohnya
termasuk: menghitung mundur tiga-tiga dari 100; membaca buku yang menarik; mengingat
citra yang menyenangkan secara rinci, misalnya gambaran sehari dari terakhir liburan anda,
yang anda lakukan, percakapan, warna, bau, dan lainnya.

4. Metode standar ganda

Sering kali orang lebih keeras kepada dirinya sendiri keimbang kepada teman atau
kolega, jadi klien diminta memperlakukan dirinya seperti yang dilakukannya kepada seorang
teman dalam situasi yang sama.

5. Keuntungan dan kerugian

Awalnya dengan bantuan konselor, klien diminta membuat daftar keuntungan dan
kerugian akan keyakinan negatifnya.

6. Mencari penjelasan lain

Pada beberapa situasi, orang-orang sering menarik kesimpulan yang salah di mana
penjelasan lain yang lebih rasional dimungkinkan. Jika seorang klien punya keyakinan
‘ketika aku pulang kerumah malamini, suamiku diam saja, ia pasti marah kepadaku’, ia
diminta mempertimbangkan penjelasan alternatif, misalnya ‘apakah suaminya kesal
dengannya di pagi hari; jika tidak mungkinkah pikirannya disibukkan problem pekerjaan?

7. Mengenai pemikiran emosional

Klien di dorong untuk tidak mencampuradukan perasaan dengan fakta, misalnya jika
seseorang merasa di luar kendali, apakah ada bukti bahwa ia benar-benar di luar kendali?

8. Menguji validitasi pikiran otomatis

Setelah memeriksa keyakinan dan mengembangkan keyakinan yang lebih bermanfaat,


klien diminta menguji keyakinan baru mereka menggunakan eksperimen perilaku. Misalnya
‘Aku bisa tahan bepergian naik bis’9

9
Ibid Stephen Palmer, Konseling dan ......................hlm. 110-112

10

Anda mungkin juga menyukai