Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN ASESSMEN DAN INTERVENSI

DEWASA DAN LANSIA

__________________________________________________________________

“GRIEF (KEBERDUKAAN) PADA LANSIA DI PANTI


SOSIAL TRESNA WERDHA BANJARBARU”

Nama : Akhmad Zainuddin 1610914110003

Muhammad Ilham Nasir 1610914110019

Nur Azizah 1610914320075

Nurul Huda 1610914320079

Resa Cristin Munthe 1610914320085

Kelas : A

Dosen Pembimbing : Marina Dwi Mayangsari, M.Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020
Laporan Asessmen Dan Intervensi Lansia ini telah disetujui oleh Dosen
Pembimbing untuk diujikan

Banjarbaru, ………..

Marina Dwi Mayangsari, M.Psi., Psikolog


NIP. 19800615 200501 2 003
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Hasil Penelitian ini telah diujikan dan telah direvisi serta dinyatakan
telah sesuai untuk pengumpulan

Banjarbaru, ___________________

Pembimbing,

Marina Dwi Mayangsari, M.Psi., Psikolog


NIP. 19800615 200501 2 003
DAFTAR ISI
COVER ...........................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................
B. Fokus Penelitian ..............................................................................
C. Tujuan Penulisan .............................................................................
D. Manfaat Penulisan ...........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelahiran, kehilangan dan kematian adalah kejadian yang universal yang
akan terjadi dan dialami langsung oleh setiap individu. Kehilangan adalah
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu
selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan
dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda (Yosep, 2010).
Grief atau istilah dari keberdukaan adalah respon emosi yang
diekpresikan terhadap kehilangan yang dimanefestasikan dengan adanya
perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain. Perasaan duka
(respon emosional individu atas kehilangan yang dialami) mencakup seluruh
emosi alamiah manusia yang mengiringi kehilangan tersebut. Sehingga dapat
diartikan bahwa berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. Peristiwa kematian orang yang terkasih akan menimbulkan
perasaan kehilangan dan duka yang mendalam bagi yang ditinggalkan.
Kematian seseorang yang dicintai mungkin merupakan pengalaman
kehilangan yang paling mempengaruhi individu secara fisik, emosional dan
spiritual (James & Friedman, 1998). Hampir semua orang setuju dengan
pernyataan Parkes (1996) bahwa kesedihan akan berakibat pada respon
emosional, kognitif, fisik dan perilaku.
Kematian adalah suatu keniscayaan bagi seluruh makhluk hidup. Setiap
individu percaya bahwa pada suatu hari nanti mereka akan meninggal.
Namun, respon setiap individu terhadap kejadian kematian tentu berbeda-
beda. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kesedihan yang dialami, antara
lain bagaimana hubungan individu dengan orang yang meninggal misalnya:
pasangan, orangtua, anak, mitra, teman, jenis kematian, pengalaman terhadap
kesedihan, dukungan masyarakat, norma budaya, kualitas hubungan dengan
yang ditinggal dan umur yang ditinggal. Berbicara mengenai variabel mana
yang berdampak pada pengalaman duka, tidak mengejutkan jika hubungan
seseorang dengan orang yang meninggal sangat mempengaruhi tanggapan
emosional individu terhadap kematian (Meshot & Leitner, 1993; Rubin 1992).
Keberdukaan tentunya juga dirasakan oleh orang yang lanjut usia. Lanjut
usia adalah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang dianggap
sebagai fase kemunduran. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh
Administration of Aging (dalam Papilia dkk, 2009) diperoleh bahwa populasi
lansia usia 60 tahun ke atas akan melambat di negara-negara maju namun akan
tetap meningkat di negara berkembang. Berdasarkan data sensus ekonomi
nasional (SUSESNAS) Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, jumlah lansia 23,4
juta kiwa (8,97%) dari total penduduk Indonesia. Pada 2025 diperkirakan
mencapai 33,7 juta (11,8%) dan 2035 sebanyak 48,2 juta dari jumlah
penduduk (15,8%).
Salah satu masalah yang sering kali dihadapi oleh lansia adalah
kehilangan pasangan hidup, teman hidup atau orang-orang yang dicintai. Hal
ini menyebabkan perasaan berduka pada lansia yang dapat menyebabkan
berbagai respon emosional, mulai dari penyangkalan dari dalam diri lansia,
kemarahan, penawaran, hingga ada yang berujung depresi. Parkes (1996) juga
menegaskan bahwa tidak hanya emosional lansia yang terganggung (seperti
perasaan sedih, cemas, susah tidur) dalam keberdukaan yang tidak berujung,
tetapi juga berakibat pada terganggunya fungsi kognitif, fisik (sesak nafas,
kesehatan yang menurun) dan perilaku lansia juga akan berubah. Lingkungan
sekitar tempat tinggal lansia pun akan terkena dampak dari keberdukaan yang
lansia alami, seperti perasaan khawatir keluarga, situasi yang tidak nyaman,
dll.
Oleh sebab itu, penting diketahui oleh lansia, keluarga dan orang-orang
disekitarnya bagaimana respon lansia tersebut dalam menghadapi
keberdukaannya. Sehingga respon-respon negatif seperti emosi yang tidak
stabil, terganggunya fungsi kognitif, fisik hingga perilaku yang berubah dari
lansia dapat dicegah dan ditangani dengan tepat.
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk dapat mengetahui
lebih jelas bagaimana respon lansia dalam menghadapi keberdukaannya di
panti Werdha Banjarbaru. Sehingga, penulis akan mengadakan assesmen
untuk dapat mengumpulkan infomasi dengan lebih jelas dan mengolah
rancangan intervensi yang tepat untuk menangani kasus tersebut. Wawancara
yang penulis lakukan dengan subjek X yang merupakan seorang lansia yang
ditinggalkan oleh keluarga di pantia sosial Tresna Werdha Banjarbaru subjek
mengatakan bahwa subjek sering sedih ketika sendirian. Perasaan kehilangan
dan marah terhadap orang-orang yang sudah meninggalkannya sendiri di panti
kadang dirasakannya ketika menjelang tidur. Meskipun begitu subjek
memiliki teman yang juga mengalami hal serupa seperti dirinya sehingga
subjek tidak merasakan kesedihan yang teramat dalam.
Penulis kemudian melakukan wawancara kepada salah seorang
pengelola wisma tempat subjek X berada di Panti Tresna Werdha Banjarbaru,
subjek Y, mengatakan bahwa subjek X terlihat cukup bahagia saja selama
tinggal di Wisma ini. Subjek X aktif bersosialisasi dengan orang-orang
disekitarnya, dan selalu mengikuti setiap kegiatan yang ada di panti Tresna
Werdha. Walaupun pernah beberapa kali subjek mengatakan bahwa subjek
merindukan keluarganya. Yang mana menurut subjek Y, merindukan keluarga
disini bisa jadi diartikan sebagai kesedihan karena ditinggalkan oleh
keluarganya di panti ini.
Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan yang penulis lakukan, maka
subjek X ada kecenderungan mengalami keberdukaan sebagaimana yang
diungkapkan Meshot & Leitner, Rubin (1992, 1993) bahwa ada semacam
respon yang berbeda ketika seseorang mengalami kehilangan atau
ditinggalkan oleh orang-orang terdekat. Subjek X walau tidak memperlihatkan
keberdukaannya secara langsung kepada orang-orang yang ada di panti Tresna
Werdha namun subjek X mengakui bahwa subjek sering bersedih dan marah
terhadap keluarga yang sudah menempatkannya di panti Tresna Werdha yang
kadang-kadang dirasakannya menjelang ingin tidur malam.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran
keberdukaan yang berfokus pada jompo yang ada di panti sosial Tresna
Werdha Banjarbaru untuk kemudian dapat membantu lansia dalam menangani
keberdukaannya melalui rancangan intervensi yang akan penulis susun. Dan
karena penelitian yang membahas mengenai keberdukaan masih sedikit,
khususnya pada lansia yang ditinggalkan di panti jompo, penulis merasa perlu
dilakukan penelitian untuk kemudian mendapatkan bukti secara empirik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka fokus masalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial tresna
werdha Banjarbaru?
2. Bagaimana rancangan intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial Tresna Wedha
Banjarbaru?

C. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan fokus masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan
penulisan ini adalah:
1. Mengetahui grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial tresna
werdha Banjarbaru.
2. Membuat rancangan intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial tresna werdha
Banjarbaru.

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan dan menambah referensi keilmuan di bidang Psikologi
Perkembangan tentang grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Hasil penulisan ini diharapkan dapat mengetahui grief atau
keberdukaan pada lansia di panti sosial serta dapat memberikan upaya
intervensi atau cara dalam membantu lansia dalam mengatasinya.
b. Bagi Dosen dan Instansi
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dosen atau
instansi panti sosial dalam mengetahui grief atau keberdukaan pada
lansia di panti sosial dan upaya intervensi atau cara mengatasinya.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Teori
1. Lansia
a. Definisi Lansia
Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi setiap
manusia. Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap
lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami
terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik)
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lansia. Lansia
merupakan istilah tahapan paling akhir dari proses penuaan.
Menurut Hurlock (1999), lansia merupakan periode terakhir atau
periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut ditandai
dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut
menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik
atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan
membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan
kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya
mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya
(Hurlock,1999).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan
tahap akhir rentang hidup yang ditandai dengan berbagai penurunan
(seperti kondisi fisik, psikologis, dan sosial) dan akan mencapai
integritas atau keputusasaan.

b. Penggolongan Lansia
Menurut Hurlock (1999), masa lansia dimulai dari umur enam
puluh tahun (60 tahun) sampai meninggal dunia yang ditandai dengan
adanya berbagai perubahan yang bersifat fisik dan psikologis serta
semakin menunjukkan penurunan dalam setiap perubahan.
Pada penelitian ini, usia lansia yang dipakai mengacu pada
pendapat Hurlock (1999) yaitu usia diatas 60 tahun. Pada usia 60 tahun
keatas biasanya semua lansia sudah memasuki masa pensiun sehingga
ciri-ciri individu yang akan dijadikan sampel hampir sama.
c. Ciri-Ciri Lansia
Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia yaitu:
1) Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan
faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis
lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila
memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi
yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
2) Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat
dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut
usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek
terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih
senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan
pendapat orang lain.
3) Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia
sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar
tekanan dari lingkungan.
4) Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan
yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

d. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia


1) Perubahan fisik – biologi
Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada
penurunan atau berkurangnya fungsi alat indera dan sistem saraf
mereka seperti penurunan jumlah sel dan cairan intra sel, sistem
kardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal, sistem
endokrin dan sistem musculoskeletal. Perubahan-perubahan fisik
yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau
kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya
(Santrock, 2002).
2) Perubahan psikis
Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya individual
differences pada lansia. Lansia memiliki kepribadian yang berbeda
dengan sebelumnya. Penyesuaian diri lansia juga sulit karena
ketidakinginan lansia untuk berinteraksi dengan lingkungan
ataupun pemberian batasan untuk dapat beinteraksi (Hurlock,
1980). Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secaraumum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada
lansia.
3) Perubahan sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial
mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa.
Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik
buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (Santrock, 2002).
4) Perubahan kehidupan keluarga
Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan.
Lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat
menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka
penuhi. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah
pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan
berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka.
Secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-
hari.

e. Lanjut Usia dan Masalah Sosialnya


Lanjut usia merupakan anugerah. Menjadi tua dengan segenap
keterbatasannya pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang
umur. Di Indonesia, istilah untuk kelompok lanjut usia ini belum baku,
orang memiliki sebutan yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan
istilah lanjut usia ada pula usia lanjut atau jompo. Di Indonesia telah
disetujui bahwa penduduk lanjut usia adalah mereka yang berumur 60
tahun keatas. Sesuai Undang-undang nomor 13 tahun 1998 pasal 1 ada
di muatkan mengenai pengertian lanjut usia yaitu seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun
keatas (Menkokesra, 2010).
Pengertian orang lanjut usia atau jompo menurut Undang-undang
No.4 tahun 1965 bab 1 pasal 1 sebagai berikut: Orang lanjut
usia/jompo adalah setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia
tidak mempunyai atau tidak berdaya guna mencari nafkah untuk
keperluan pokok bagi hidupnya sehari-hari.

f. Fungsi-Fungsi Panti Jompo


Panti jompo adalah tempat merawat dan menampung jompo, dan
Perda No, 15 Tahun 2002 mengenai Perubahan atas Perda No. 15
Tahun 2000 Tentang Dinas Daerah, maka Panti Sosial Tresna Werdha
berganti nama menjadi Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha.
Panti Jompo adalah tempat tinggal yang dirancang khusus untuk orang
lanjut usia, yang di dalamnya disediakan semua fasilitas lengkap yang
dibutuhkan oranglanjut usia (Hurlock, 1996). Panti Jompo merupakan
unit pelaksanaan teknis yang memberikan pelayanan sosial bagi lanjut
usia, yaitu berupa pemberian penampungan, jaminan hidup seperti
makanan dan pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang
termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama, sehingga
mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir
batin (DEPSOS RI, 2003).
Menurut Hurlock (1996) Ada beberapa keuntungan yang akan
didapat para
lansia bila tinggal di Panti Jompo adalah sebagai berikut :
1) Perawatan dan perbaikan wisma dan perlengkapannya dikerjakan
oleh lembaga
2) Semua makanan mudah didapat dengan biaya yang memadai;
3) Perabotan dibuat untuk rekreasi dan hiburan;
4) Terdapat kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia
yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama;
5) Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara temporer oleh
teman seusia daripada dengan orang yang lebih muda;
6) Menghilangkan kesepian karena orang-orang di situ dapat
dijadikan teman;
7) Perayaan hari libur bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga
tersedia di sini;
8) Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa
lalu kesempatan semacam ini tidak mungkin terjadi dalam
kelompok orang-orang muda.

Selain mendapat beberapa keuntungan terdapat pula beberapa


kerugian bila tinggal di Panti Jompo, diantaranya adalah :
1) Biaya hidup yang lebih mahal daripada tinggal di Rumah sendiri
2) Seperti halnya makanan di semua lembaga, biasanya kurang
menarik daripada masakan rumah sendiri
3) Pilihan makanan terbatas dan seringkali diulang-ulang
4) Berhubungan dekat dan menetap dengan beberapa orang yang
mungkin tidak menyenangkan
5) Letaknya seringkali jauh dari tempat pertokoan, hiburan dan
organisasi masyarakat
6) Tempat tinggalnya cenderung lebih kecil daripada rumah yang
dulu.

2. Keberdukaan
a. Definisi

Keberdukaan adalah respon emosi yang diekspresikan


terhadap kehilangan yang digambarkan dengan adanya perasaan
sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan
baik karena perpisahan, perceraian, maupun kematian (Hidayat,
2012). Berduka merupakan proses dimana seseorang mengalami
respon psikologis, sosial, fisik seperti keputusasaan, kesepian,
ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah, dan marah. Berikut ini
beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012) :
1. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang
normal terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk
sementara.
2. Berduka antisipatif, yaitu proses „melepaskan diri‟ yang muncul
sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.
Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai urusan
di dunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk
maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa
berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat
mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang
lain.
4. Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak
dapat diakui secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan
karena AIDS, anak yang mengalami kematian orang tua tiri,
atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika
bersalin.

b. Tahap Berduka
1. Tahap berduka menurut Kubler-Ross (1969), menetapkan lima tahapan
berduka yaitu:
 Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak
akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan individu.
 Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak
lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan
koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
 Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini,
individu sering kali mencari pendapat orang lain.
 Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan
untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan
masalah.
 Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-
Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
2. Tahap berduka menurut Rando
Rando (1997) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori
yaitu:
 Penghindaran, pada tahap ini terjadi shock, menyangkal, dan tidak
percaya.
 Konfrontasi, pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi
ketika seseorang secara berulang-ulang melawan kehilangan
mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling
akut.
 Akomodasi, pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan
kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan
sosial dunia sehari-hari seperti belajar untuk menjalani hidup
dengan kehidupan seperti semula.
3. Tahap berduka menurut Engel (1964) yaitu:
 Fase I (shock dan tidak percaya), seorang menolak kenyataan atau
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi
tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan
kelelahan.
 Fase II (berkembangnya kesadaran), seseorang mulai merasakan
kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan
jiwa tiba-tiba terjadi.
 Fase III (restitusi), berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan
perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
 Fase IV, menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal
tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
 Fase V, kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui
atau disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

4. Tahap berduka menurut Bowlby


Pemahaman Bowlby (1980) tentang berduka akan menjadi
kerangka berpikir yang dominan dalam bab ini. Ia mendeskripsikan
proses berduka akibat suatu kehilangan memiliki empat fase :
 Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
 Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada.
 Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan
dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
 Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat
mengembalikan hidupnya.

c. Dimensi (Respons) dan Gejala Berduka


Sebuah tim psikolog Worthman & Silver 1989 (dalam Papalia,
2008) mengulas studi reaksi terhadap kehilangan terutama pada kematian
atau kehilangan seseorang yang dicintai. Reaksi-reaksi tersebut ialah:
1. Depresi bukanlah suatu yang universal. Dari tiga minggu sampai dua
tahun setelah kehilangan, hanya 15% sampai 35% janda atau duda
yang merasa depresi.
2. Kegagalan menunjukkan penderitaan diawal kehilangan tidak harus
mengarah pada adanya masalah. Mereka yang sangat kecewa setelah
kehilangan baru merasa sangat bersalah dua tahun kemudian.
3. Tidak semua orang harus berusaha mengatasi kehilangan atau akan
mendapatkan manfaat dari melakukan hal tersebut, sebagian orang
yang melakukan pereda duka lebih sering mendapatkan masalah
dikemudian hari.
4. Tidak semua orang kembali normal dengan cepat. Lebih dari 40%
orang yang ditinggalkan menunjukkan kecemasan tingkat menengah
sampai parah hingga 4 tahun setelah kematian orang yang dicintai,
terutama apabila hal tersebut berlangsung tiba-tiba.
5. Orang-orang tidak selalu dapat meredakan duka mereka dan
menerimanya.
Schneider pada tahun 1984 mengklasifikasikan dimensi proses
berduka menjadi lima bagian, yaitu:
1. Respons Kognitif terhadap Berduka,
Penderitaan saat berduka dalam beberapa hal merupakan akibat
gangguan keyakinan. Asumsi dan keyakinan dasar tentang makna dan
tujuan hidup terganggu, bahkan mungkin hancur. Berduka sering kali
menyebabkan keyakinan individu tentang dirinya dan dunia berubah,
misalnya persepsi individu tentang hal-hal yang baik di dunia, makna
hidup ketika berhubungan dengan keadilan, dan makna takdir atau
garis kehidupan. Perubahan lain dalam pemikiran dan sikap mencakup
meninjau dan menetapkan peringkat nilai-nilai yang dimiliki, menjadi
lebih bijaksana, menghilangkan ilusi tentang keabadian diri,
memandang dunia secara lebih realistis, dan mengevaluasi kembali
keyakinan agama atau keyakinan spiritual.
Individu yang berduka perlu menemukan makna kehilangan. Ia
akan melakukan pengkajian diri dan mempertanyakan cara berpikir
yang diterima. Asumsi lama tentang kehidupan ditantang atau dapat
juga dengan mempertanyakan. Individu menyadari bahwa kehilangan
dan kematian merupakan realitas kehidupan yang kita semua harus
hadapi suatu hari.
Percaya pada kehidupan akhirat dan percaya bahwa orang yang
meninggal menjadi pembimbing pribadi merupakan respons kognitif
yang berfungsi mempertahankan keberadaan orang yang meninggal.
Melakukan dialog internal dengan orang yang dicintai sambil
melakukan aktivitas seperti tugas rumah tangga. Metode
mempertahankan keberadaan orang yang meninggal ini membantu
mengurangi dampak kehilangan ketika individu terus memahami
realitas kehilangan.
2. Respon Emosional
Perasaan marah, sedih, dan cemas adalah pengalaman emosional
yang dominan pada kehilangan. Kemarahan dan kebencian dapat
ditujukan kepada individu yang meninggal dan praktik kesehatan yang
dilakukannya, pada anggota keluarga, dan pemberi perawatan
kesehatan atau institusi.
Respons emosional terlihat pada semua fase proses berduka
menurut Bowlby. Selama fase mati rasa, respons awal yang umum
terhadap kabar kehilangan ialah perasaan syok, seolah-olah tidak dapat
menyadari realitas kehilangan. Pada fase kedua, kerinduan dan
pencarian, realitas mulai muncul dan individu yang berduka
memperlihatkan kemarahan, penderitaan yang besar dan menangis.
Dalam keadaan putus asa, tetapi memiliki keinginan kuat untuk
mengembalikan ikatan dengan individu yang meninggal, mendorong
individu yang berduka untuk memeriksa dan memulihkan dirinya.
Suara, penglihatan, dan aroma yang terkait dengan individu yang
meninggal diinterpretasikan sebagai tanda-tanda keberadaan orang
yang meninggal dan kadang-kadang menghibur individu dan
menimbulkan harapan untuk bertemu kembali. Selama fase
disorganisasi dan keputusasaan, individu yang berduka mulai
memahami bahwa kehilangan tetap ada. Pola pemikiran, perasaan dan
tindakan yang terkait kehidupan dengan orang yang telah meninggal
perlu diubah. Saat semua harapan kembalinya orang yang meninggal
telah hilang, individu pasti mengalami waktu depresi, apatis atau putus
asa. Pada fase reorganisasi akhir, individu yang berduka mulai
membangun kembali rasa identitas personal, arah dan tujuan hidup,
rasa mandiri dan percaya diri dirasakan. Dengan mencoba dan
menjalankan peran dan fungsi yang baru ditetapkan, individu yang
berduka menjadi kuat pribadinya. Pada fase ini, orang yang meninggal
masih dirindukan, tetapi memikirkannya tidak lagi menimbulkan
perasaan sedih.
3. Respon Spiritual
Ketika kehilangan terjadi, individu mungkin paling terhibur,
tertantang, atau hancur dalam dimensi spiritual pengalaman manusia.
Individu yang berduka dapat kecewa dan marah kepada Tuhan atau
tokoh agama yang lain. Penderitaan karena ditinggalkan, kehilangan
harapan, atau kehilangan makna merupakan penyebab penderitaan
spiritual yang dalam.
Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan spiritual individu yang
berduka merupakan aspek asuhan keperawatan yang sangat penting.
Respons emosional dan spiritual individu saling terkait ketika individu
mengalami penderitaan. Dengan kesadaran akan kemampuan mengkaji
penderitaan individu, perawat dapat meningkatkan rasa sejahtera.
Memberi individu kesempatan untuk menceritakan penderitaannya
membantu transformasi psikospiritual (yang melibatkan baik aspek
pengalaman psikologis maupun spiritual) yang sering kali berkembang
dalam proses berduka. Dengan menemukan penjelasan dan makna
melalui keyakinan spiritual atau agama, individu dapat mulai
mengidentifikasi aspek positif dan mungkin aspek proses berduka yang
menyenangkan.
4. Respon Perilaku
Respons perilaku sering kali merupakan respons yang paling
mudah diobservasi. Dengan mengenali perilaku yang umum saat
berduka, perawat dapat memberi bimbingan pendukung untuk
mengkaji keadaan emosional dan kognitif individu secara garis besar.
Dengan mengamati individu yang berduka saat melakukan fungsi
secara “otomatis” atau rutin tanpa banyak pemikiran dapat
menunjukkan bahwa individu tersebut berada dalam fase mati rasa
proses berduka ─ realitas kehilangan belum terjadi. Menangis terisak,
menangis tidak terkontrol, sangat gelisah, dan perilaku mencari adalah
tanda kerinduan dan pencarian figur yang hilang. Individu tersebut
bahkan dapat berteriak memanggil orang yang meninggal dan
mencermati ruangan untuk mencari orang yang meninggal. Iritabilitas
dan sikap, bermusuhan terhadap orang lain memperlihatkan perasaan
marah dan frustasi dalam proses tersebut. Berupaya mencari serta
menghindari tempat atau aktivitas yang pernah dilakukan bersama
orang yang telah meninggal, dan menyimpan benda berharga yang
dimiliki atau digunakan bersama orang yang telah meninggal padahal
ingin membuang benda tersebut menggambarkan emosi yang
berfluktuasi dan persepsi tentang harapan untuk bertemu kembali
dengan orang yang meninggal.
Selama fase disorganisasi, tindakan kognitif mendefinisikan
kembali identitas diri individu yang berduka, walaupun sulit,
merupakan hal yang penting dalam menjalani dukacita. Walaupun
awalnya bersifat superfisial, upaya yang dilakukan dalam aktivitas
sosial atau kerja adalah perilaku yang ditujukan untuk mendukung
pergeseran emosional dan kognitif individu tersebut. Penyalahgunaan
obat atau alkohol mengindikasikan respons perilaku maladaptif
terhadap keputusasaan emosional dan spiritual. Upaya bunuh diri dan
pembunuhan dapat menjadi respons yang ekstrem jika individu yang
berduka tidak dapat menjalani proses berduka.
5. Respon Fisiologis
Individu dapat mengeluh insomnia, sakit kepala, gangguan nafsu
makan, berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi dan gangguan
pencernaan, serta perubahan sistem imun dan endokrin.
d. Faktor Penyebab Keberdukaan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keberdukaan (Aiken, 1994)
yaitu:
1. Hubungan individu dengan almarhum
Yaitu reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang
dialami setiap individu akan berbeda tergantung dari hubungan
individu dengan almarhum, dari beberapa kasus dapat dilihat
hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal
diasosiasikan dengan proses berduka yang sangat sulit.
2. Kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan
Merupakan perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan
usia orang yang ditinggalkan. Secara umum berduka lebih
menimbulkan stress pada orang yang usianya lebih muda
3. Proses kematian
Cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan
perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkannya. Pada
kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan
lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari
orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi berduka.
Mereka yang mengalami kematian orang yang disayangi
tentunya membutuhkan waktu untuk dapat melewati keberdukaan yang
dialami. Bagi orang yang mengamati, tampaknya orang yang
ditinggalkan dapat kembali normal setelah beberapa minggu, namun
sebenarnya dibutuhkan waktu lebih lama untuk menghadapi masalah-
masalah emosional yang dialami selama masa berduka. Proses dan
lamanya beduka pada masing-masing orang berbeda satu sama
lainnya. Setidaknya dibutuhkan waktu satu tahun untuk orang yang
berduka dapat bergerak maju dengan kehidupannya tergantung dari
faktor yang bersifat individual.

B. Ringkasan Masalah

Seperti yang kita ketahui keberdukaan merupakan respon dari kehilangan


seseorang yang dicintai dan apabila tidak ditangani akan menyebabkan
gangguan yang serius. Terlebih kberdukaan yang dirasakan oleh orang yang
sudah memasuki lanjut usia karena pada masa lansia terjadi berbagai
penurunan. Oleh karena itu keberdukaan pada lansia sebaiknya tidak
diabaikan dan perlu didampingi. Keberdukaan pada lansia ini peneliti temui di
panti sosial tresna werdha Banjarbaru. Berdasarkan studi pendahuluan yang
peneliti lakukan didapatkan bahwa subjek X bersedih akibat ditinggalkan
keluarganya di panti dan menunjukkan respon yang menggambarkan
seseorang mengalami kehilangan atau ditinggalkan oleh orang-orang terdekat
hingga timbul perasaan berduka.
BAB III
METODE ASESMEN
A. Teknik dan Tujuan Asesmen
Sumber data penelitian ini berasal dari lansia yang bergabung dengan
Panti Sosial Tresna Werdha, Banjarbaru dengan permasalahan keberdukaan
yang dirasakan oleh lansia di panti. Teknik-teknik dalam pengumpulan data
yang akan digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Observasi
Observasi adalah suatu metode atau cara untuk menganalisis dan
melakukan pencatatan yang dilakukan secara sistematis, tidak hanya
terbatas dari orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain
(Sugiyono,2010).
Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipatif, dimana
pada pelaksanaannya peneliti terlibat langsung dengan aktivitas orang-
orang yang sedang diamati. Kegiatan observasi ini dilakukan di Panti
Sosial Tresna Werdha Banjarbaru dengan melakukan pengamatan terhadap
aktivitas yang terjadi di dalam Panti Sosial Tresna Werdha Banjarbaru,
kegiatan obsrvasi berlangsung dalam kurun waktu 1 hingga 2 jam untuk
melihat aktivitas para lansia yang berada di panti tersebuut.
2. Wawancara
Menurut Sugiyono (2017) wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan
jumlah respondennya kecil/sedikit. Wawancara adalah perbincangan yang
menjadi sarana untuk mendapatkan informasi tentang orang lain, dengan
tujuan penjelasan atau pemahaman tentang orang tersebut dalam hal
tertentu.
Dalam penelitian ini metode wawancara yang digunakan adalah
wawancara bebas terpimpin yaitu jenis wawancara dimana interviewer
melakukan kombinasi antara wawancara terpimpin dengan wawancara
bebas, dimana pelaksanaannya sesuai dengan pedoman mengenai topik
yang dibahas. Tujuan dengan metode wawancara bebas terpimpin yaitu
untuk menggali informasi dari subjek sebanyak-banyaknya, namun tetap
berfokus pada permasalahan yaitu keberdukaan pada lansia di Panti Sosial
Tesna Werdha.
Dalam penelitian ini wawancara diberikan kepada subjek dan
significan other subjek. Peneliti melakukan wawancara dengan significant
other subjek yaitu pengelola wismanya, karena peneliti merasa yang paling
mengetahui kegiatan sehari-hari subjek adalah pengelola wisma subjek.
3. Kuesioner
Definisi kuesioner menurut KBBI adalah kuesioner merupakan alat
riset atau survei yang terdiri atas serangkaian pertanyaan tertulis, bertujuan
untuk mendapatkan tanggapan dari kelompok orang terpilih melalui
wawancara pribadi atau melalui daftar pertanyaan. Kuesioner adalah
teknik pengumpulan data dimana peneliti memberikan pertanyaan atau
pernyataan kepada responden yang cukup besar dan tersebar di wilayah
yang luas (Sugiyono, 2017).
Dalam penelitian yang peneliti lakukan, peneliti menggunakan
teknik asesmen berupa kuesioner. Kuesioner dapat berupa pertanyaan
terbuka ataupun tertutup. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini
untuk mengetahui bagaimana gambaran keberdukaan pada lansia di panti.
Daftar pertanyaan atau pernyataan kuesioner disusun berdasarkan materi
dimensi berduka menurut Schneider (1984). Belum fix tergantung
instrumen yg didapat apa dan siapa. Peneliti menggunakan kuesioner
sebagai teknik asesmen sebagai pendahuluan sebelum melakukan
wawancara kepada lansia serta pengelola wisma Panti Sosial Tresna
Werdha agar lebih banyak data yang didapat dengan waktu yang singkat.
Tabel 1 Blue Print skala penerimaan diri
Aitem
No Karakteristik Jumlah
Favorable Unfavorable
1 Respons Kognitif terhadap
1, 10 5 3
Berduka
2 Respon Emosional
3, 7 9,11 4
terhadap Berduka
3 Respon Spiritual terhadap
12 2 2
Berduka
4 Respon Perilaku terhadap
6, 15 4, 13 4
Berduka
5 Respon Fisiologis terhadap
8 14, 16 3
Berduka
Total 8 8 16

B. Pelaksanaan Asesmen
No Hari / Tanggal Waktu Tempat Asesmen
1 Selasa / 17 08.00 Panti Sosial Studi Pendahuluan
September 2019 WITA Tresna
Werdha
2 Senin / 4 Maret 08.00 Sekolah Observasi dan
2019 WITA Wawancara
Terhadap Subjek
3 Rabu / 6 Maret 10.00 Sekolah Wawancara
WITA Terhadap Wali Kelas
dan Kepala Sekolah
DAFTAR PUSTAKA

James, J.W., & Friedman, R. (1998). The Grief Recovery Handbook: The Action
Program For Moving Beyond Death, Divorce And Others Losses. (Rev.Ed).
New York: Harper Collins.
Parkes, C.M. (1996). Bereavement: Studies Of Grief In Adult Life (3rd. Ed).
London: Roudledge.
Meshot, C.M. & Leitner, L.M (1993). Adolescent Mourning And Parental Death,
Omega, 26, 287-299.
Rubin, S.S (1992). Adult Child Lost And The Two-Track Model Of Bereavement,
Omega, 24, 183-202.
Papilia, D.E., Old s, S.W., & Feldman, R.D. (2009) Human Development
Perkembangan Manusia. Jakarta : Salemba Humanika.
Malia, Indiana. 2018. Lansia di Indonesia 23,4 Juta Jiwa, Pemerintah Dorong
Revisi UU.
Diakses dari http://www/idntimes.com/news/indonesia/amp/indianaamalia/lansia-
di-indonesia-234-juta-jiwa-pemerintah-dorong-revisi-uu, 9 Juli 2018.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sugiyono. (2010)Metode penelitian pendekatan kuantitatif,kualitatif, dan R&D.
Bandung : Alfabeta
Lampiran 1. Skala Keberdukaan
Kadang- Tidak
No Pernyataan Selalu Sering
kadang Pernah
saya selalu merasa bahwa pasangan
atau orang-orang yang saya cintai
1
(yang telah meninggal dunia) selalu
berada disekitar saya
menurut saya setiap manusia pasti
akan kembali kepada penciptanya dan
2
itu merupakan hak mutlak. Bukan
karena Tuhan itu tidak adil.
saya sering menangisi mereka yang
3 telah meninggal dunia (pasangan atau
orang yang saya cintai)
saya dapat tertidur dengan tenang dan
4
nyenyak
saya merasa bahwa pasangan atau
orang-orang yang saya cintai (yang
5 telah meninggal dunia) tidak pernah
mengikuti saya karena mereka telah
tenang berada disisinya
saya seringkali berteriak memanggil
6 pasangan atau orang yang saya cintai
(yang telah meninggal dunia)
saya pernah melihat mereka yang telah
7 meninggal dunia (pasangan atau orang
yang saya cintai) ada disekitar saya
saya seringkali tidak berselera makan
8
dan merasa tidak bertenaga
9 kadang kala saya dapat teringat
mereka yang telah meninggal dunia
(pasangan atau orang yang saya cintai)
namun saya tidak mencium aroma-
aroma tubuhnya
saya merasa bahwa pasangan atau
orang-orang yang saya cintai (yang
10
telah meninggal dunia)selalu
mengikuti saya
kadang kala saya dapat teringat
mereka yang telah meninggal dunia
11 (pasangan atau orang yang saya cintai)
namun saya tidak lagi terngiang
suaranya
saya merasa bahwa Tuhan itu jahat,
karena telah memanggil mereka yang
12 telah meninggal dunia kembali
padanya (pasangan atau orang yang
saya cintai)
saya dapat menyimpan benda berharga
bersama dengan pasangan atau orang
13
yang saya cintai (yang telah meninggal
dunia) tanpa merasa sedih
saya selalu bersemangat melakukan
14
setiap aktivitas
seringkali saya sulit tertidur karna
memikirkan pasangan atau orang yang
15
saya cintai (yang telah meninggal
dunia)
16 berat badan saya stabil

Anda mungkin juga menyukai