__________________________________________________________________
Kelas : A
Banjarbaru, ………..
Laporan Hasil Penelitian ini telah diujikan dan telah direvisi serta dinyatakan
telah sesuai untuk pengumpulan
Banjarbaru, ___________________
Pembimbing,
A. Latar Belakang
Kelahiran, kehilangan dan kematian adalah kejadian yang universal yang
akan terjadi dan dialami langsung oleh setiap individu. Kehilangan adalah
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu
selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan
dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda (Yosep, 2010).
Grief atau istilah dari keberdukaan adalah respon emosi yang
diekpresikan terhadap kehilangan yang dimanefestasikan dengan adanya
perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain. Perasaan duka
(respon emosional individu atas kehilangan yang dialami) mencakup seluruh
emosi alamiah manusia yang mengiringi kehilangan tersebut. Sehingga dapat
diartikan bahwa berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. Peristiwa kematian orang yang terkasih akan menimbulkan
perasaan kehilangan dan duka yang mendalam bagi yang ditinggalkan.
Kematian seseorang yang dicintai mungkin merupakan pengalaman
kehilangan yang paling mempengaruhi individu secara fisik, emosional dan
spiritual (James & Friedman, 1998). Hampir semua orang setuju dengan
pernyataan Parkes (1996) bahwa kesedihan akan berakibat pada respon
emosional, kognitif, fisik dan perilaku.
Kematian adalah suatu keniscayaan bagi seluruh makhluk hidup. Setiap
individu percaya bahwa pada suatu hari nanti mereka akan meninggal.
Namun, respon setiap individu terhadap kejadian kematian tentu berbeda-
beda. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kesedihan yang dialami, antara
lain bagaimana hubungan individu dengan orang yang meninggal misalnya:
pasangan, orangtua, anak, mitra, teman, jenis kematian, pengalaman terhadap
kesedihan, dukungan masyarakat, norma budaya, kualitas hubungan dengan
yang ditinggal dan umur yang ditinggal. Berbicara mengenai variabel mana
yang berdampak pada pengalaman duka, tidak mengejutkan jika hubungan
seseorang dengan orang yang meninggal sangat mempengaruhi tanggapan
emosional individu terhadap kematian (Meshot & Leitner, 1993; Rubin 1992).
Keberdukaan tentunya juga dirasakan oleh orang yang lanjut usia. Lanjut
usia adalah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang dianggap
sebagai fase kemunduran. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh
Administration of Aging (dalam Papilia dkk, 2009) diperoleh bahwa populasi
lansia usia 60 tahun ke atas akan melambat di negara-negara maju namun akan
tetap meningkat di negara berkembang. Berdasarkan data sensus ekonomi
nasional (SUSESNAS) Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, jumlah lansia 23,4
juta kiwa (8,97%) dari total penduduk Indonesia. Pada 2025 diperkirakan
mencapai 33,7 juta (11,8%) dan 2035 sebanyak 48,2 juta dari jumlah
penduduk (15,8%).
Salah satu masalah yang sering kali dihadapi oleh lansia adalah
kehilangan pasangan hidup, teman hidup atau orang-orang yang dicintai. Hal
ini menyebabkan perasaan berduka pada lansia yang dapat menyebabkan
berbagai respon emosional, mulai dari penyangkalan dari dalam diri lansia,
kemarahan, penawaran, hingga ada yang berujung depresi. Parkes (1996) juga
menegaskan bahwa tidak hanya emosional lansia yang terganggung (seperti
perasaan sedih, cemas, susah tidur) dalam keberdukaan yang tidak berujung,
tetapi juga berakibat pada terganggunya fungsi kognitif, fisik (sesak nafas,
kesehatan yang menurun) dan perilaku lansia juga akan berubah. Lingkungan
sekitar tempat tinggal lansia pun akan terkena dampak dari keberdukaan yang
lansia alami, seperti perasaan khawatir keluarga, situasi yang tidak nyaman,
dll.
Oleh sebab itu, penting diketahui oleh lansia, keluarga dan orang-orang
disekitarnya bagaimana respon lansia tersebut dalam menghadapi
keberdukaannya. Sehingga respon-respon negatif seperti emosi yang tidak
stabil, terganggunya fungsi kognitif, fisik hingga perilaku yang berubah dari
lansia dapat dicegah dan ditangani dengan tepat.
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk dapat mengetahui
lebih jelas bagaimana respon lansia dalam menghadapi keberdukaannya di
panti Werdha Banjarbaru. Sehingga, penulis akan mengadakan assesmen
untuk dapat mengumpulkan infomasi dengan lebih jelas dan mengolah
rancangan intervensi yang tepat untuk menangani kasus tersebut. Wawancara
yang penulis lakukan dengan subjek X yang merupakan seorang lansia yang
ditinggalkan oleh keluarga di pantia sosial Tresna Werdha Banjarbaru subjek
mengatakan bahwa subjek sering sedih ketika sendirian. Perasaan kehilangan
dan marah terhadap orang-orang yang sudah meninggalkannya sendiri di panti
kadang dirasakannya ketika menjelang tidur. Meskipun begitu subjek
memiliki teman yang juga mengalami hal serupa seperti dirinya sehingga
subjek tidak merasakan kesedihan yang teramat dalam.
Penulis kemudian melakukan wawancara kepada salah seorang
pengelola wisma tempat subjek X berada di Panti Tresna Werdha Banjarbaru,
subjek Y, mengatakan bahwa subjek X terlihat cukup bahagia saja selama
tinggal di Wisma ini. Subjek X aktif bersosialisasi dengan orang-orang
disekitarnya, dan selalu mengikuti setiap kegiatan yang ada di panti Tresna
Werdha. Walaupun pernah beberapa kali subjek mengatakan bahwa subjek
merindukan keluarganya. Yang mana menurut subjek Y, merindukan keluarga
disini bisa jadi diartikan sebagai kesedihan karena ditinggalkan oleh
keluarganya di panti ini.
Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan yang penulis lakukan, maka
subjek X ada kecenderungan mengalami keberdukaan sebagaimana yang
diungkapkan Meshot & Leitner, Rubin (1992, 1993) bahwa ada semacam
respon yang berbeda ketika seseorang mengalami kehilangan atau
ditinggalkan oleh orang-orang terdekat. Subjek X walau tidak memperlihatkan
keberdukaannya secara langsung kepada orang-orang yang ada di panti Tresna
Werdha namun subjek X mengakui bahwa subjek sering bersedih dan marah
terhadap keluarga yang sudah menempatkannya di panti Tresna Werdha yang
kadang-kadang dirasakannya menjelang ingin tidur malam.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran
keberdukaan yang berfokus pada jompo yang ada di panti sosial Tresna
Werdha Banjarbaru untuk kemudian dapat membantu lansia dalam menangani
keberdukaannya melalui rancangan intervensi yang akan penulis susun. Dan
karena penelitian yang membahas mengenai keberdukaan masih sedikit,
khususnya pada lansia yang ditinggalkan di panti jompo, penulis merasa perlu
dilakukan penelitian untuk kemudian mendapatkan bukti secara empirik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka fokus masalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial tresna
werdha Banjarbaru?
2. Bagaimana rancangan intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial Tresna Wedha
Banjarbaru?
C. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan fokus masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan
penulisan ini adalah:
1. Mengetahui grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial tresna
werdha Banjarbaru.
2. Membuat rancangan intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial tresna werdha
Banjarbaru.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan dan menambah referensi keilmuan di bidang Psikologi
Perkembangan tentang grief atau keberdukaan pada lansia di panti sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Hasil penulisan ini diharapkan dapat mengetahui grief atau
keberdukaan pada lansia di panti sosial serta dapat memberikan upaya
intervensi atau cara dalam membantu lansia dalam mengatasinya.
b. Bagi Dosen dan Instansi
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dosen atau
instansi panti sosial dalam mengetahui grief atau keberdukaan pada
lansia di panti sosial dan upaya intervensi atau cara mengatasinya.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Teori
1. Lansia
a. Definisi Lansia
Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi setiap
manusia. Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap
lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami
terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik)
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lansia. Lansia
merupakan istilah tahapan paling akhir dari proses penuaan.
Menurut Hurlock (1999), lansia merupakan periode terakhir atau
periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut ditandai
dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut
menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik
atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan
membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan
kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya
mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya
(Hurlock,1999).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan
tahap akhir rentang hidup yang ditandai dengan berbagai penurunan
(seperti kondisi fisik, psikologis, dan sosial) dan akan mencapai
integritas atau keputusasaan.
b. Penggolongan Lansia
Menurut Hurlock (1999), masa lansia dimulai dari umur enam
puluh tahun (60 tahun) sampai meninggal dunia yang ditandai dengan
adanya berbagai perubahan yang bersifat fisik dan psikologis serta
semakin menunjukkan penurunan dalam setiap perubahan.
Pada penelitian ini, usia lansia yang dipakai mengacu pada
pendapat Hurlock (1999) yaitu usia diatas 60 tahun. Pada usia 60 tahun
keatas biasanya semua lansia sudah memasuki masa pensiun sehingga
ciri-ciri individu yang akan dijadikan sampel hampir sama.
c. Ciri-Ciri Lansia
Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia yaitu:
1) Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan
faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis
lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila
memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi
yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
2) Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat
dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut
usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek
terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih
senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan
pendapat orang lain.
3) Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia
sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar
tekanan dari lingkungan.
4) Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan
yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
2. Keberdukaan
a. Definisi
b. Tahap Berduka
1. Tahap berduka menurut Kubler-Ross (1969), menetapkan lima tahapan
berduka yaitu:
Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak
akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan individu.
Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak
lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan
koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini,
individu sering kali mencari pendapat orang lain.
Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan
untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan
masalah.
Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-
Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
2. Tahap berduka menurut Rando
Rando (1997) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori
yaitu:
Penghindaran, pada tahap ini terjadi shock, menyangkal, dan tidak
percaya.
Konfrontasi, pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi
ketika seseorang secara berulang-ulang melawan kehilangan
mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling
akut.
Akomodasi, pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan
kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan
sosial dunia sehari-hari seperti belajar untuk menjalani hidup
dengan kehidupan seperti semula.
3. Tahap berduka menurut Engel (1964) yaitu:
Fase I (shock dan tidak percaya), seorang menolak kenyataan atau
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi
tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan
kelelahan.
Fase II (berkembangnya kesadaran), seseorang mulai merasakan
kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan
jiwa tiba-tiba terjadi.
Fase III (restitusi), berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan
perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
Fase IV, menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal
tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
Fase V, kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui
atau disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
B. Ringkasan Masalah
B. Pelaksanaan Asesmen
No Hari / Tanggal Waktu Tempat Asesmen
1 Selasa / 17 08.00 Panti Sosial Studi Pendahuluan
September 2019 WITA Tresna
Werdha
2 Senin / 4 Maret 08.00 Sekolah Observasi dan
2019 WITA Wawancara
Terhadap Subjek
3 Rabu / 6 Maret 10.00 Sekolah Wawancara
WITA Terhadap Wali Kelas
dan Kepala Sekolah
DAFTAR PUSTAKA
James, J.W., & Friedman, R. (1998). The Grief Recovery Handbook: The Action
Program For Moving Beyond Death, Divorce And Others Losses. (Rev.Ed).
New York: Harper Collins.
Parkes, C.M. (1996). Bereavement: Studies Of Grief In Adult Life (3rd. Ed).
London: Roudledge.
Meshot, C.M. & Leitner, L.M (1993). Adolescent Mourning And Parental Death,
Omega, 26, 287-299.
Rubin, S.S (1992). Adult Child Lost And The Two-Track Model Of Bereavement,
Omega, 24, 183-202.
Papilia, D.E., Old s, S.W., & Feldman, R.D. (2009) Human Development
Perkembangan Manusia. Jakarta : Salemba Humanika.
Malia, Indiana. 2018. Lansia di Indonesia 23,4 Juta Jiwa, Pemerintah Dorong
Revisi UU.
Diakses dari http://www/idntimes.com/news/indonesia/amp/indianaamalia/lansia-
di-indonesia-234-juta-jiwa-pemerintah-dorong-revisi-uu, 9 Juli 2018.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sugiyono. (2010)Metode penelitian pendekatan kuantitatif,kualitatif, dan R&D.
Bandung : Alfabeta
Lampiran 1. Skala Keberdukaan
Kadang- Tidak
No Pernyataan Selalu Sering
kadang Pernah
saya selalu merasa bahwa pasangan
atau orang-orang yang saya cintai
1
(yang telah meninggal dunia) selalu
berada disekitar saya
menurut saya setiap manusia pasti
akan kembali kepada penciptanya dan
2
itu merupakan hak mutlak. Bukan
karena Tuhan itu tidak adil.
saya sering menangisi mereka yang
3 telah meninggal dunia (pasangan atau
orang yang saya cintai)
saya dapat tertidur dengan tenang dan
4
nyenyak
saya merasa bahwa pasangan atau
orang-orang yang saya cintai (yang
5 telah meninggal dunia) tidak pernah
mengikuti saya karena mereka telah
tenang berada disisinya
saya seringkali berteriak memanggil
6 pasangan atau orang yang saya cintai
(yang telah meninggal dunia)
saya pernah melihat mereka yang telah
7 meninggal dunia (pasangan atau orang
yang saya cintai) ada disekitar saya
saya seringkali tidak berselera makan
8
dan merasa tidak bertenaga
9 kadang kala saya dapat teringat
mereka yang telah meninggal dunia
(pasangan atau orang yang saya cintai)
namun saya tidak mencium aroma-
aroma tubuhnya
saya merasa bahwa pasangan atau
orang-orang yang saya cintai (yang
10
telah meninggal dunia)selalu
mengikuti saya
kadang kala saya dapat teringat
mereka yang telah meninggal dunia
11 (pasangan atau orang yang saya cintai)
namun saya tidak lagi terngiang
suaranya
saya merasa bahwa Tuhan itu jahat,
karena telah memanggil mereka yang
12 telah meninggal dunia kembali
padanya (pasangan atau orang yang
saya cintai)
saya dapat menyimpan benda berharga
bersama dengan pasangan atau orang
13
yang saya cintai (yang telah meninggal
dunia) tanpa merasa sedih
saya selalu bersemangat melakukan
14
setiap aktivitas
seringkali saya sulit tertidur karna
memikirkan pasangan atau orang yang
15
saya cintai (yang telah meninggal
dunia)
16 berat badan saya stabil