Anda di halaman 1dari 34

KESADARAN BERAGAMA PADA REMAJA DI

MAJLIS TA’LIM ROUDHOTUL ILMI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Universitas Islam Negeri Raden Fatah

MUHAMMAD RIZQI AIDIL FITHRI


1633500069

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi
orangtua, merupakan suatu proses alami dalam hidup yang
berkesinambungan dari tahap- tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh
seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri.
Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam
proses pertumbuhan. Bagi remaja, masa ini adalah masa yang paling
menyenangkan dalam hidupnya.Namun pada usia ini remaja sering
menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua mereka. Sehingga diperlukan
sikap arif dan orangtua untuk lebih memahami anak remajanya.
Untuk menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya
sendiri dan orang lain, remaja di Indonesia hendaknya memahami dan
memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional
ini ditunjukkan melalui kemampuan remaja untuk memberi kesan yang
baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya
sendiri.
Masa remaja adalah masa dimana seseorang mulai memikirkan
tentang cita-cita, harapan, dan keinginan-keinginannya. Pada masa ini
biasanya banyak terjadi konflik yang muncul ketika remaja mencoba untuk
mengintegrasikan antara keinginan diri dan keinginan orang-orang di
sekitarnya (Brightbill, 2001).
Kehidupan yang selalu berorientasi dalam bidang material telah
melantarkan supra empris manusia, sehingga terjadi pemiskinan rohaniah
pada dirinya. Kondisi ini ternyata menciptakan permasalahan pada diri
individu atau terdapat masalah pada hubungan manusia dengan Allah.
Kurangnya pendidikan rohani juga termasuk salah satu sebab dari
miskinya rohani pada dirimanusia.
Banyak orang yang kurang yakin dengan agama, nilai-nilai moral
atau bahkan terhadap dirinya sendiri karena kepercayaan terhadap agama
yang makin luntur. Mereka beranggapan bahwa sudah tidak ada dasar lagi
mengapa manusia harus menjadi idealis maupun spiritualis (Benyamin
Spock, 1994:87). Misalnya sebagian manusia lebih mementingkan material
dalam kata lain semua yang dilakukan harus bernilai rupiah, seperti
contohnya mengerjakan ladang hingga lupa waktu dan memelihara ternak
hingga melewatkan waktu beribadah. Kejadian seperti itu dilaksanakan
setiap hari sehingga ini menimbulkan ketidaksadaran manusia atas
kesibukannya. Padahal beribadah adalah suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan manusia sebagai hambaAllah.
Yang dimaksud dengan hamba adalah jika yang dimaksudkan
dengannya adalah al- mua’abbad yaitu yang ditundukkan maka mencakup
seluruh makhluk, seluruh alam semesta yang berakal atau tidak, yang
kering maupun yang basah, yang bergerak maupun yang diam, yang
nampak maupun yang tersembunyi, yang mukmin maupun yang kafir,
yang baik maupun yang fakir dan sebagainya. Sebagai hamba Allah
memang memiliki keharusan dan kewajiban untuk selalu patuh kepada-
Nya (Muhammad Alim, 2011:79).
Manusia pada hakikat nya adalah makhluk yang paling mulia di
hadapan Allah SWT karena derajat ketaqwaanya yang mempunyai nilai
dan tugas-tugas tertentu dalam memaknai hidup dan kehidupannya,
sehingga status sebagai seorang hamba Allah memang layak dan pantas
untuk diraih oleh seorang manusia. Sebagai hamba, tugas utama manusia
adalah mengabdi (beribadah) kepada sang Khaliq, menaati perintah-Nya
dan menjauhi laranga-Nya. Hubungan manusia dengan Allah SWT
bagaikan hubungan seorang hamba (budak) dengan tuannya. Manusia
sebagai hamba Allah harus senantiasa patuh, tunduk, dan taat atas segala
perintah tuannya, karena posisinya manusia sebagai abid, kewajiban
manusia di bumi ini adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas sepenuh
hati (Q.S. 2:21, 98:5,52:56).
Kedudukan manusia yang paling utama adalah sebagai Abdullah
yang mana artinya sebagai Hamba Allah. Oleh karena itu, sebagai hamba
Allah maka manusia harus menuruti kemauan Allah yang tidak boleh
membangkang kepada-Nya. Dalam hal ini, manusia mempunyai dua tugas
yaitu: Pertama ia harus beribadah kepada Allah baik dalam pengertian
sempit (sholat, puasa, haji, dsb) maupun luas (melaksanakan semua
aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertical kepada Allah SWT
maupun bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh
keridhoan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan hadist,
Kedua, sebagai khalifatullah.
Menjadi hamba Allah tentunya tidak mudah dengan segala sesuatu
yang Allah ciptakan di bumi, hal ini tentunya menjadi kesengajaan Allah
SWT untuk menguji manusia dalam menjalankan segala perintah-Nya
(hamba Allah). Maka dari itu ada banyak macam manusia di muka bumi
tentang ke hambaanya kepada Allah SWT yang disebut dengan kesadaran
agamanya.
Seberapa besar tingkat kesadaran terhadap agama Allah SWT, hanya
Allah yang mengetahuinya. Manusia hanya dapat menilai dari luarnya
seperti kesehariannya, perilakunya,serta ibadah yang dilakukannya dari
situlah manusia hanya dapat menduga satu sama lain.
Mengenai kesadaran terhadap agama, menurut Freud (tokoh
Psikoanalisa), kesadaran beragama muncul karena rasa ketidakberdayaan
manusia menghadapi bencana ataupun berbagai kesulitan dalam
kehidupan. sedangkan menurut behaviorisme, munculnya kesadaran
beragama pada manusia didorong oleh rangsangan hukuman (adanya
siksa-siksa neraka) dan hadiah (adanya pahala berupa surga). Dan
menurut Abraham Maslow (tokoh Humanistic), kesadaran beragama
terjadi karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang tersusun secara hirarkis dimana puncak dari kebutuhan tersebut
adalah aktualisasi diri yang menyebabkan manusia menyatu dengan
kekuatan transendental (Djamaluddin & Fuad, 1994:71-75).
Menurut Jalaludin (2007: 106), bahwa kesadaran orang untuk
beragama merupakan kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan
gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan mereka. Pada kondisi
ini, sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah
berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang.
Menurut Abdul Aziz Ahyadi (1988: 45), kesadaran beragama meliputi
rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah
laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian.
Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang terendernisasi
yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan hidup
yang komprehensif, semangat pencarian dan pengabdianya kepada
Tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya
dalam melaksanakan sholat, puasa dsb (Abdul Aziz, 1988: 57)
Manusia memiliki pola pikir, pemahaman, tingkah laku yang berbeda,
hal ini disebabkan oleh faktor pendidikan agamanya yang dimilikinya.
Manusia memiliki pemahaman agama yang baik dan ada yang kurang
yang semua menjurus kepada kesadaran beragama tersebut, ditambah
dengan manusia itu bertempat tinggal di suatu desa, dimana kebanyakan
manusia masih berprinsip pada budaya jawa dan mengabaikan agamanya.
Manusia yang berada dipemukiman pedesaan yang notabennya masih
menganut tradisi jawa secara perlahan lahan dapat mendorong manusia
tersebut agar dapat belajar agama, salah satunya dengan diadakannya
pengajian rutinan yang kemudian akan mengantarkan pola berfikir bagi
manusia terhadap agama.Kesadaran beragama yang dimaksud dalam
penelitian ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman keTuhanan,
keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan yang terorganisasi dalam
sistem mental dalam kepribadian. Agama melibatkan seluruh fungsi jiwa
raga manusia, maka kesadaran beragama pun mencapai aspek kognitif,
afektif dan motorik. Keadaan ini juga dapat dilihat melalui sikap
keberagamaan yang baik, motifasi kehidupan beragama yang dinamis,
pandangan hidup yang komprehensif, semangat pencarian dan
pengabdiannya kepada Tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama
yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa, membca Al-
Quran dan sebagainya (Ahyadi, 1995: 37). Untuk menuju kesadaran
beragama yang utuh, setiap umat beragama harus memenuhi aspek-
aspek tersebut dalam kehidupan sehari- hari.
Di Sebrang Ulu II Kelurahan 12 Ulu terdapat suatu pengajian rutinan
yang dilaksanakan satu minggu sekali, pengajian tersebut diadakan
dengan tujuan, pertama agar bisa menjadi suatu kegiatan bagi
masyarakatKedua, untuk menambah wawasan keagamaan bagi
masyarakat agar bisa menjalankan kehidupan keluarganya dengan baik.
Ketiga, agar masyarakat selalu melaksanakan ibadah dengan rajin. Namun
pada realitanya masih ada sebagian masyarakat bahkan kaum muda yang
tidak mengikuti kegiatan tersebut dengan alasan yang bermacam-macam,
seperti sibuk bekerja, repot mengurus anak, sibuk kuliah. Sehingga masih
banyak masyarakat bahkan kaum muda yang jarang mengikuti kajian
tersebut meskipun juga ada banyak yang mengikuti kajian
tersebut.Pengajian yang dilaksanakan tersebut termasuk dalam kategori
bimbingan agama, kegiatan yang diberikan dalam pengajian tersebut
berupa yasinan, tahlilan, sholawatan dan kajian. Bimbingan agama
memiliki tujuan untuk memfungsikan seoptimal mungkin nilai-nilai
keagamaan dalam kebulatan pribadi atau tatanan masyarakat, sehingga
dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan masyarakat. Kegiatan
bimbingan agama tersebut dilaksanakan dengan memiliki tujuan agar
jamaah selalu mengingat Allah dan sadar bahwa posisi manusia di bumi
adalah sebagai hamba Allah yang seharusnya taat beribadah untuk
mencapai kehidupan yang haqiqi.
Disamping itu remaja di Sebrang Ulu II kurang paham agama karena
orang tuanya sibuk bekerja dan kurang memperhatikan anaknya dalam
hal keagamaan sehingga yang terjadi anak-anak kurang mempunyai rasa
membutuhkan terhadap kepentingan agama secara umum dalam
melaksanakan shalat serta belajar mengaji. Minat terhadap agama sangat
kurang, namun bila berhubungandengan selain yang bersifat agama orang
tua dan anak-anak sangat cepat untuk melakukan dan mengikuti acara
seperti hajatan atau pesta pernikahan. Selain itu banyak terjadi
penodongan karna akibat memakai narkoba dan minum-minuman keras.
Sehinga yang terjadi kurangnya pemahaman spiritual keagamaan.
Kesadaran beragama merupakan segala kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dalam rangka memberi bantuan kepda orang lain yang
mengalamikesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya agar orang
tersebut mampu mengatasi masalahnya sendiri karena timbul kesadaran,
sehingga muncul kesadaran hidup masa sekarang dan
masadepannya.Karena kesadaran agama ini penting bagi setiap hamba
Allah dalam proses kesejahteraan hidupnya maka perlu diperhatikan
dengan baik. Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian
sekaligus mengangkat judul “Kesadaran Beragama di Majlis Ta’lim
Roudotul Ilmi”

1.1.2 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka muncul beberapa
pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana Kesadaran Beragama pada Remaja di Majlis Ta’lim
Roudhotul Ilmi ?
2. Faktor apa yang menyebabkan Kesadaraan Beragama pada
Remaja di Majlis Ta’lim Roudhotul Ilmi ?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui mengenai bagaimana Kesadaran Beragama
pada Remaja di Majelis Ta’lim Roudhotul Ilmi
2. Untuk mengetahui faktor apa yang saja yang dapat
menyebabkan Kesadaran Beragama pada Remaja di Majelis
Ta’lim Roudhotul Ilmi

1.4 Manfaat Penelitian


a. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan dan
khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keilmuan Psikologi
Islam dan Psikologi Sosial.

b. Manfaat Praktis
.4.1 Bagi Subjek
Untuk memberikan informasi kepada subjek supaya lebih
mendapatkan pemahaman tentang diri subjek dan juga pada saat
menjalani kewajiban dari Allah.

.4.2 Bagi Masyarakat


Kepada masyarakat khususnya orangtua yang memiliki
anak remaja, diharapkan dapat memperhatikan pergaulan anak
dan mengarahkannya kepada pergaulan yang positif.

1.1.1.1.1.1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan dan
dasar untuk mengembangkan arah penelitian ke ranah yang lebih
luas dari yang tercantum pada penelitian ini.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan Ades Jepiansyah yang berjudul “kesadaran
beragama terhadap perilaku agresif pada remaja akibat minuman
khamar”. Dan Rose Anita Rona dengan judul “upaya guru dalam
membangun kesadaran keagamaan pada siswa kelas VII MTsN
Yogyakarta I”.
Selanjutnya penelitian oleh Novalian Kusumasari, yang berjudul
“pengaruh pembinaan kerohanian Islam terhadap kesadaran beragama
narapidana (studi kasus di lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA
Tangerang)”. Kemudian penelitian oleh Desi Marlina yang berjudul
“pembinaan kesadaran beragama remaja di panti asuhan aisyiyah
ampangpadang”.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
adalah penelitian ini dilakukan di tempat berbeda, dan menggunakan
subjek yang berusia dewasa awal dan aktif mengikuti kajian di majelis
ta’lim raudotul ilmi. Sehingga diharapkan memberikan gambaran
mengenai kesadaran beragama yang berbeda. Jika penelitian ini lebih
menggambarkan kesadaran beragamaanya pada anak muda di era
modern yang mana penelitian ini lebih melihat pada perlunya manusia
terhadap agama. Sehingga penelitian ini penting dilakukan untuk menjadi
pembeda
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesadaran Beragama


.1.1 Definisi Kesadaran Beragama
Menurut Harun Nasution (dalam Jalaluddin, 2001; 12) yang
merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din,
religi (relege, religare) dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-
undang atau hukum. Kemudian dalam dalam bahasa Arab, kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Latin) atau relegare berarti
mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat.
Adapun kata agama terdiri dari (a= tidak; gam= pergi)
mengandung arti tidak pergi, tetap ditempat atau diwarisiturun-
temurun.
Berdasarkan penjelasan diatas menurut Harun Nasution,
intisarinya adalah ikatan. Karena itu agama mengandung arti ikatan
yang harus dipegang dan harus dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud
berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai
kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap melalui panca indera,
namun memiliki pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan
manusia sehari-hari (Arifin, 2008).
Kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman
ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan yang
terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Karena agama
melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga manusia, maka kesadaran
bergama pun mencakup aspek-aspek afektif, kognitifdan motorik.
Keterlibatan fungsi afektif terlihat didalam pengalaman keTuhanan,
rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek kognitif
nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan
fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku
keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut
sukar dipisahkan karena merupakan suatu sistem kesadaran
beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang (Ahyadi, 1987;
37).
Kesadaran agama adalah bagian atau segi yang hadir
(terasa) dalam pikiran dan dapat dilihat gejalanya melalui
introspeksi. Disamping itu dapat dikatakan bahwa kesadaran
beragama adalah aspek mental atau aktivitas agama; sedangkan
pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran
beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang
dihasilkan oleh tindakan (amaliah) (Jalaluddin, 2002;16).
Dalam kesadaran beragama dan pengalaman beragama,
menggambarkan sisi batin seseorang yang terkait dengan sesuatu
yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran dan pengalaman
agama tersebut, muncul sikap keagamaan yang ditampilkan
seseorang. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaaan yang ada
dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku
sesuai dengan ketaatannya pada agama yang dianutnya. Sikap
tersebut muncul karena adanya konsistensi antara kepercayaan
terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama
sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur
konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan integrasi secara
kompleks antara pengetahuan, perasaan serta tindak keagamaan
dalam diri seseorang (sururin, 2004;7).
Pencapaian kesadaran beragama dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor: diantaranya :
1. Faktor psikologis, individu yang memiliki jiwa yang tidak
sehat maka internalisasi nilai-nilai agama dalam dirinya
tidak dapat diaplikasikan dalam perilaku sehari-hari.
Individu tersebut belum dapat menselaraskan antara nila-
nilai agama dengan tingkah laku dan perbuatannya, oleh
karena itu jiwa yang tidak sehat akan mengurangi rasa
keberagamaannya.
2. Faktor umur, individu yang memasuki usis remaja dan
dewasa akan dapt memiliki rasa kesadaran beragama
yang tinggi disebabkan saat memasuki usia ini biasanya
inidvidu tersebut memiliki semangat pencarian terhadap
nilai- nilai kebenaran agamanya yang sangattinggi.
3. Faktor kelamin, inidividu yang berjenis kelamin laki-laki
lebih memiliki rasa kesadaran beragama dbanding wanita.
Hal ini disebabkan adanya tuntutan masyarakat yang
membuat laki-laki menjadi lebih aktif, mandiri dan
kompetitif, sementara wanita menjadi pasif tergantung
dan konformis.
4. Faktor pendidikan dan kecerdasan, seseorang yang
memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi maka akan
mampu merefleksikan nilai-nilai kegamaan yang diyakini
kebenarannya pada kehidupannya sehari-hari
(Jalaluddin,1978:62)

.1.3 Latar Belakang Manusia Membutuhkan Agama


Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki
potensi beragama ini dapat dilihat dari bukti historis dan
antropologis. Melalui bukti ini kita ketahui bahwa pada manusia
primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi tentang
Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan. Kenyataan
bahwa manusia memiliki Fitrah keagamaan tersebut buat pertama
kalinya ditegaskan dalam ajaran islam, yakni bahwa agama adalah
kebutuhan Fitri Manusia. Fitrahkeagamaan yang ada dalam diri
manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada
agama. Firman AllahSWT.:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah 30 yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu, tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (Q.S Ar-Rum : 30)
Disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga
memiliki kekurangan yang melatarbelakangi untuk memerlukan
agama. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata al-nafs. Menurut
Abudin Natta yang dikutip dari Quraish Shihab, bahwa dalam
pandangan Al-Qur’an nafs diciptakan Allah dalam keadaan
sempurnayang berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dan keburukan. Firman Allah SWT. :
Artinya: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
(7). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya, (8).”.(Q.S. Asy-Syams : 7-8).
Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang
terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di alam ini,
akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan
karena terbatasnya kemampuan tersebut. Selanjutnya dikatakan
bahwa manusia menjadi lemah karena di dalam dirinya ada hawa
nafsu yang lebih cenderung mengajak kepada kejahatan, sesudah
itu ada lagi Syaitan yang selalu berusaha menyesatkan manusia
dari kebenaran dan kebaikan. Manusia hanya dapat melawan
musuh-musuh ini hanya dengan senjata agama.
Faktor ini menyebabkan manusia memerlukan agama
karena dalam kehidupannya manusia senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari
luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan
bisikan Syaitan. Firman Allah SWT. :
Artinya: “dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku:
"Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih baik
(benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di
antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi manusia”. ( Q.S Al-Iara’ : 53).
Sedangkan tantangan dari luar ialah berupa rekayasa dan
upaya manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan
manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya,
tenaga, dan fikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan
manusia dari Tuhan (Nata,2006) Firman Allah SWT.:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan
Allah.(Q.S. Al-Anfal: 36).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa,
manusia memerlukan Agama itu karena tiga hal, pertama karena
fitrah manusia itu sendiri, kedua karena kelemahan manusia dan
ke tiga karena tantangan manusia dalam menjalani kehidupan.

.1.4 Dimensi Keberagamaan dalam Islam


Kebergamaan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan saja terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (peribadahan), melainkan juga ketika
melakukan aktivitas lainnya yang didorong oleh kekuatan
supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak
dan dapat dilihat mata, tetapi juga aktivitas yang tak Nampak dan
terjadi dalam hati seseorang. Karena itu keberagamaan seseorang
akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Menurut Glock &
Stark, ada lima macam dimensi beragamaan yaitu : dimensi
keyakinan (ideologis), dimensi keperibadatan atau praktik agama
(ritualistik), dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi
pengamalan (konsekuensial), dimensi pengetahuan agama
(intelektual). Menurut Djamaluddin Ancok, rumusan Glock & Stark
yang membagi keberagamaan menjadi lima dimensi dalam tingkat
tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam. Dimensi keyakinan
dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama
disejajarkan dengan syariah, dan dimensi pengamalan disejajarkan
dengan akhlak.
a. Dimensi Keyakinan atau Akidah Islam
Dimensi ini merujuk pada seberapa jauh tingkat keyakinan
seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya,
terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental
dan dogmatik. Di dalam Islam, dimensi ini menyangkut
keyakinan tentang Allah, para Malaikat, Nabi/ Rasul, kitab-
kitab Allah, surga dan neraka dan lain-lain. Sedangkan
menurut Endang Saifuddin Anshari akidah islam umumnya
berkisar pada Arkanu ‘l-iman (rukun Iman yang enam), yaitu:
iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman
kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman
kepada hari akhir, dan iman kepada Qadha dan Qadar.

b. Dimensi Peribadatan atau Praktek Agama atau Syariah


Dimensi ini merujuk pada seberapa jauh tingkat kepatuhan
seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual
sebagaimana diperintahkan dan dianjurkan oleh agamanya.
Dalam Islam dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan
shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Qur’an, berdoa, zikir,
ibadah kurban, iktikaf di masjid dibulan puasa dan
sebagainya.36 Sedangkan dalam buku yang ditulis Kaelani
dimensi syariah dibagi menjadi dua yaitu:
1. Ibadah yang meliputi, sholat, zakat, puasa, haji, dan
hal yang berhubungan dengan di atas seperti thaharah.
2. Muamalah yang meliputi, hukum, kemasyarakatan,
kesehatan, pemerintahan, pendidikan, sosbud,
ekonomi, politik, dan lain-lain.

c. Dimensi Pengamalan atau Akhlak


Dimensi ini merujuk pada seberapa jauh tingkat
pengamalan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh
ajaran-ajaran agamanya yaitu bagaimana seorang manusia
berinteraksi dengan alam dan manusia lain. Dalam Islam,
dimensi ini meliputi suka menolong, bekerjasama, derma,
menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain,
menegakkan keadilan, berlaku jujur, bersikap sopan santun,
memaafkan, tidak mencuri, menjaga lingkungan hidup
menjaga amanat dan sebagainya. Dan dalam buku Kaelani
akhlak dibagi menjadi empat yaitu:
1) Akhlak kepada Allah meliputi, mencintai Allah dengan
mentauhidkan-Nya serta menyembah dan berdo’a,
bertakwa, bersyukur, bersabar, berzikir, dan
bertawakal.
2) Akhlak kepada diri sendiri meliputi, menjaga diri dari
kehinaan, mempertahankan dan meningkatkan
kehormatan pribadi, berupaya berlatih agar tetap
mempunyai sifat-sifat terpuji seperti jujur, menepati
janji, ramah, sabar, rendah hati, ikhlas, pemaaf dan
sebagainya.
3) Akhlak terhadap orang lain, terhadap keluarga meliputi:
berbakti kepada ibu bapak, hormat dan sayang
terhadap saudara dan family, mendidik dan membina
keluarga, menjalin silaturahim. Terhadap tetangga dan
masyarakat meliputi: saling membantu dalam kebaikan
(gotong royong), saling mengunjungi, saling memberi,
saling menghormati, saling menghidari pertengkaran
dan permusuhan, bermusyawarah.
4) Akhlak terhadap alam semesta (lingkungan) meliputi:
memperhatikan dan merenungkan penciptaan alam
untuk mendekati Allah, menyelidiki dan memanfaatkan
alam sebaik-baiknya, melestarikan alam dengan
memanfaatkan secara hemat dan menghindari
pengrusakan lingkungan, sayang kepada hewan,
tumbuhan dan sesama makhluk lainnya

.2 Remaja
.2.1 Definisi Remaja
Menurut Santrock (2007) masa remaja merupakan periode
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa
dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional, yang dimulai dari rentang usia 10 hingga 13 tahun
dan berakhir pada usia sekitar 18 hingga 22 tahun. Perubahan
biologis yang terjadi diantaranya adalah pertambahan tinggi tubuh
yang cepat, perubahan hormonal, dan kematangan alat reproduksi.
Pada kognitif, perubahan yang terjadi seperti meningkatnya
kemampuan berpikir abstrak, idealistik, dan logis. Sementara,
perubahan sosioemosional yang dialami remaja seperti kemandirian,
keinginan untuk lebih sering meluangkan waktu bersama teman
sebaya, dan mulai muncul konflik dengan orang tua (Santrock,
2007).
Berbagai perubahan penting terjadi pada masa remaja,
sehingga Hall (dalam Santrock, 2007) memandang masa remaja
sebagai masa yang penuh badai dan stress . Pandangan tersebut
dikarenakan pada masa remaja terjadi fluktuasi emosi yang lebih
sering daripada sebelumnya. Berbagai pikiran, perasaan, dan
tindakan terjadi berubah-ubah, seperti antara kesombongan dan
kerendahan hati, niat baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan,
dan kondisi bertolak belakang lainnya yang berubah-ubah dalam
jarak waktu yang singkat (Santrock, 2007). Lebih lanjut, Hurlock
(1980) menjelaskan kondisi fluktuasi emosi atau ketidakstabilan pada
remaja merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian dirinya pada
pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Kondisi tersebut
membuat remaja rentan untuk mengalami kemarahan, depresi,
kesulitan dalam mengatasi emosi, yang selanjutnya dapat memicu
munculnya berbagai masalah seperti kesulitan akademis,
penyalahgunaan obat,gangguan makan, dan kenakalan remaja
(Santrock, 2007).
Batasan remaja menurut WHO adalah suatu masa dimana
secara fisik individu berkembang dari saat pertama kali menunjukan
tanda-tanda seksual skunder sampai mencapai kematangan seksual,
secara psikologis individu mengalami perkembangan dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa dengan batasan usia
10-20 tahun (Sarwono, 2010). Remaja menurut Hurlock (1992),
adalah suatu priode transisi dari masa kanak-kanak menjadi dewasa
awal dan mencapai kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik
(Pratiwi, 2015). Santrock (1999) mengungkapkan remaja adalah
masa transisi baik secara fisik, transisi secara intelektual serta
transisi peran sosial.
Dapat disimpulkan bahwa remaja adalah suatu masa peralihan
dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan batasan usia
antara 10-20 tahun dengan menunjukan kematangan fisik,
psikologis, dan sosial. Dari masa peralihan tersebut remaja menjadi
relative mandiri secara sosial.

.2.2 Tahapan Perkembangan Remaja


Menurut Sarwono (2011)dan Hurlock (2011)ada tiga tahap
perkembangan remaja, yaitu
a. Remaja awal (early adolescence) usia 11-13 tahun

Seorang remaja pada tahap ini masih heran akan


perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Remaja
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada
lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Pada tahap
ini remaja awal sulit untuk mengerti dan dimengerti oleh
orang dewasa.Remaja ingin bebas dan mulai berfikir abstrak.

b. Remaja Madya (middle adolescence) 14-16 tahun


Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan teman-teman.
Remaja merasa senang jika banyak teman yang menyukainya.
Ada kecendrungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri,
dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat yang
sama pada dirinya. Remaja cendrung berada dalam kondisi
kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang
mana.Padafase remaja madya inimulai timbul keinginan untuk
berkencan dengan lawan jenis dan berkhayal tentang aktivitas
seksual sehingga remaja mulai mencoba aktivitas-aktivitas
seksual yang mereka inginkan.

c. Remaja akhir (late adolesence) 17-20 tahun


Tahap ini adalah masa konsolidasimenuju periode dewasa
yang ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu :
Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi
a.

intelek.
Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan
b.

orang-orang dan dalam pengalaman-pengalaman yang


baru.
Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah
c.

lagi.
Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri
d.

sendiri.
Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya
e.

(private self) dan publik.

.2.3 Karakteristik Perkembangan Remaja


Menurut Ali (2011), karakteristik perkembangan sifat remaja
yaitu :
1) Kegelisahan
Sesuai dengan masa perkembangannya, remaja
mempunyai banyak angan-angan, dan keinginan yang ingin
diwujudkan di masa depan. Hal ini menyebabkan remaja
mempunyai angan-angan yang sangat tinggi, namun
kemampuan yang dimiliki remaja belum memadai sehingga
remaja diliputi oleh perasaan gelisah.
2) Pertentangan
Pada umumnya, remaja sering mengalamikebingungan
karena sering mengalami pertentangan antara diri sendiri dan
orang tua. Pertentangan yang sering terjadi ini akan
menimbulkan kebingungan dalam diri remaja tersebut.

3) Mengkhayal
Keinginan dan angan-angan remaja tidak tersalurkan,
akibatnya remaja akan mengkhayal, mencari kepuasan,
bahkan menyalurkan khayalan mereka melalui dunia fantasi.
Tidak semua khayalan remaja bersifat negatif. Terkadang
khayalan remaja bisa bersifat positif, misalnya menimbulkan
ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.

4) Akitivitas berkelompok
Adanya bermacam-macam larangan dari orangtua akan
mengakibatkan kekecewaan pada remaja bahkan
mematahkan semangat para remaja. Kebanyakan remaja
mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi dengan
berkumpul bersama teman sebaya. Mereka akan melakukan
suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala
dapat mereka atasi bersama.

5) Keinginan mencoba segala sesuatu


Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi (high curiosity). Karena memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi, remaja cenderung ingin berpetualang, menjelajahi
segala sesuatu, dan ingin mencoba semua hal yang belum
pernah dialami sebelumnya.

.2.4 Perkembangan Remaja


1) Perkembangan Fisik
Perubahan fisik terjadi dengan cepat pada remaja.
Kematangan seksual sering terjadi seiring dengan
perkembangan seksual secara primer dan sekunder.
Perubahan secara primer berupa perubahan fisik dan hormon
penting untuk reproduksi, perubahan sekunder antara laki-laki
dan perempuan berbeda (Potter & Perry, 2009).
Pada anak laki-laki tumbuhnya kumis dan jenggot, jakun
dan suara membesar. Puncak kematangan seksual anak laki-
laki adalah dalam kemampuan ejakulasi, pada masa ini remaja
sudah dapat menghasilkan sperma. Ejakulasi ini biasanya
terjadi pada saat tidur dan diawali dengan mimpi basah
(Sarwono, 2011).
Pada anak perempuan tampak perubahan pada bentuk
tubuh seperti tumbuhnya payudara dan panggul yang
membesar. Puncak kematangan pada remaja wanita adalah
ketika mendapatkan menstruasi pertama (menarche).
Menstruasi pertama menunjukkan bahwa remaja perempuan
telah memproduksi sel telur yang tidak dibuahi, sehingga akan
keluar bersama darah menstruasi melalui vagina atau alat
kelamin wanita (Sarwono, 2011).

2) Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi sangat berhubungan dengan
perkembangan hormon, dapat ditandai dengan emosi yang
sangat labil. Remaja belum bisa mengendalikan emosi yang
dirasakannya dengan sepenuhnya (Sarwono, 2011).

3) Perkembangan Kognitif
Remaja mengembangkan kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah dengan tindakan yang logis. Remaja
dapat berfikir abstrak dan menghadapi masalah yang sulit
secara efektif. Jika terlibat dalam masalah, remaja dapat
mempertimbangkan beragam penyebab dan solusi yang
sangat banyak (Potter & Perry, 2009).

4) Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial ditandai dengan terikatnya
remaja pada kelompok sebaya. Pada masa ini, remaja mulai
tertarik dengan lawan jenis. Minat sosialnya bertambah dan
penampilannya menjadi lebih penting dibandingkan
sebelumnya. Perubahan fisik yang terjadi seperti berat badan
dan proporsi tubuh dapat menimbulkan perasaan yang tidak
menyenangkan seperti, malu dan tidak percaya diri (Potter&
Perry, 2009).
.3 Majelis Ta’lim
.3.1 Definisi Majelis Ta’lim
Istilah majelis ta’lim berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari
dua suku kata yaitu majelis yang berarti tempat duduk dan ta’lim
yang artinya belajar. Dengan demikian, secara bahasa yang
dimaksud majelis ta’lim adalah tempat belajar. Adapun secara istilah,
majelis ta’lim adalah sebuah lembaga pendidikan nonformal yang
memiliki jamaah dengan jumlah yang relatif banyak, usia yang
heterogen, memiliki kurikulum berbasis.
1. Keagamaan dan waktu yang fleksibel sesuai kebutuhan
jamaah.
Selain itu ada beberapan tokoh yang memaparkan
pengertian majelis ta’lim. Muhsin menyatakan bahwa
majelis ta’lim adalah tempat atau lembaga pendidikan,
pelatihan, dan kegiatan belajar mengajar dalam
mempelajari, mendalami, dan memahami ilmu pengetahuan
agama Islam dan sebagai wadah dalam melaksanakan
berbagai kegiatan yang.
2. Memberikan kemaslahatan kepada jamaah dan masyarakat
sekitarnya. Effendy Zarkasyi dalam kutipan Muhsin
mengatakan, “Majelis ta’lim merupakan bagian dari model
dakwah dewasa ini dan sebagai forum belajar untuk
mencapai suatu tingkat pengetahuan agama”. Masih dalam
Muhsin, Syamsuddin Abbas juga mengartikan majelis ta’lim
sebagai “Lembaga pendidikan non-formal Islam yang
memiliki kurikulum sendiri, diselenggarakan secara berkala
dan teratur, dan diikuti oleh jamaah yang relatif banyak”.
Helmawati menuturkan bahwa majelis ta’lim adalah tempat
memberitahukan, menerangkan, dan mengabarkan suatu ilmu, baik
ilmuagama maupun ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga maknanya dapat
membekas pada diri muta’allimuntuk kemudian ilmu yang
disampaikan bermanfaat, melahirkan amal saleh, memberi petunjuk
ke jalan kebahagiaan dunia akhirat, untuk mencapai ridha Allah
SWT, serta untuk menanamkan dan memperkokoh akhlak.
Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa majelis ta’lim adalah suatu tempat kegiatan transfer ilmu
agama Islam dari mu’allim kepada muta’allim yang dilakukan secara
rutin untuk menambah pengetahuan keagamaan, memperkuat iman,
dan menanamkan akhlak mulia sehingga mendapatkan kebahagiaan
di dunia dan akhirat.

.3.2 Komponen Majelis Ta’lim


Dari pengertian majelis ta’lim, dapat diketahui komponen-
komponen dalam majelis ta’lim, yaitu:
a. Mu’allim (guru sebagai pengajar)
orang yang menyampaikan materi kajian dalam majelis
ta’lim. Helmawati menyebutkan beberapa hal yang harus ada
pada diri mu’allim, diantaranya:
1) Mu’allim dalam kegiatan majelis ta’lim tidak boleh pilih
kasih, sayang kepada yang bodoh, berperilaku baik
dalam mengajar, bersikap lembut, memberi
pengertian dan pemahaman, serta menjelaskan
dengan menggunakan atau mendahulukan nash tidak
dengan ra’yu kecuali bila diperlukan.
2) Mu’allim perlu mengetahui bagaimana
membangkitkan aktivitas murid kepada pengetahuan
dan pengalaman.
3) Mu’allim harus senantiasa meningkatkan diri dengan
belajar dan membaca sehingga ia memperoleh
banyak ilmu.
4) Mu’ alim senantiasa berprilaku baik, tidak suka
menyiksa fisik, balas dendam, membenci dan mencaci
murid.
Wahidin juga menyebutkan karakteristik mu’allim, yaitu lemah
lembut, toleransi, dan santun; memberi kemudahan dan membuang
kesulitan; memerhatikan sunah tahapan; kembali pada Al-Quran dan
Sunnah dan bukan kepada fanatisme mazhab; menyesuaikan dengan
bahasa jamaah; serta memperhatikan adab dakwah.

b. Muta’allim (murid yang menerima pelajaran) atau biasa


disebut dengan jamaah majelis ta’lim.

c. Al-‘ilmu (materi atau bahan yang disampaikan).


Materi dalam majelis ta’lim berisi tentang ajaran Islam.
Oleh karena itu, materi atau bahan pengajarannya berupa:
tauhid, tafsir, fiqh, hadits, akhlak, tarikh Islam, ataupun
masalah-masalah kehidupan yang ditinjau dari aspek ajaran
Islam. Penjelasan dari masing-masing teori adalah sebagai
berikut:
1. Tauhid adalah ilmu yang mempelajari tentang keesaan
Allah SWT dalam mencipta, menguasai, dan mengatur
alam raya ini.
2. Tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan Al-
Quran berikut penjelasannya, makna, dan hikmahya.
3. Fiqih, isi materinya meliputi shalat, puasa, zakat, dan
sebagainya.Selain itu, juga dibahas hal-hal yang
berkaitan dengan pengalaman sehari-hari, meliputi
pengertian wajib, sunnah, halal, haram, makruh, dan
mubah.
4. Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, ketetapan,
dan persetujuan Rasulullah saw yang dijadikan ketetapan
hukum dalam Islam setelah al-Quran.
5. Akhlak, materi ini meliputi akhlak terpuji dan akhlak
tercela.
6. Tarikh adalah sejarah hidup para Nabi dan para sahabat
khususnya sahabat Nabi Muhammad.
7. Masalah-masalah kehidupan yang ditinjau dari aspek
ajaran Islam merupakan tema yang langsung berkaitan
dengan kehidupan masyarakat yang kesemuanya juga
dikaitkan dengan agama, artinya dalam menyampaikan
materi tersebut berdasarkan Al-Quran dan Hadits.

Tuti Amaliyah juga menyebutkan materi-materi yang dikaji di


dalam majelis ta’lim. Menurutnya, kategori pengajian itu
diklasifikasikan menjadi lima bagian:
1) Majelis ta’lim tidak mengajarkan secara rutin tetapi
hanya sebagai tempat berkumpul, membaca sholawat,
berjamaah, dan sesekali pengurus majelis ta’lim
mengundang seorang guru untuk berceramah.
2) Majelis ta’lim yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan dasar ajaran agama seperti membaca al-
Quran dan penerangan fiqh.
3) Majelis ta’lim yang mengajarkan tentang fiqh, tauhid,
akhlak yang diajarkan dalam pidato mubaligh yang
kadang-kadang disertai dengan tanya jawab.
4) Majelis ta’lim seperti nomor 3, yang disertai dengan
penggunaan kitab sebagai pegangan, ditambah dengan
ceramah.
5) Majelis ta’lim di mana materi pelajaran disampaikan
dengan ceramah dan memberikan teks tertulis kepada
jamaah. Adapun materi pelajaran disesuaikan dengan
situasi hangat berdasarkan ajaran islam.

Majelis ta’lim juga perlu menggunakan kitab atau buku yang


sesuai dengan kemampuan muta’allim. Kitab yang digunakan dapat
berupa buku yang berbahasa Indonesia ataupun kitab yang
berbahasa Arab. Bahkan tidak menutup kemungkinan, para mu’allim
membuat semacam diktat atau modul sebagai materi ajar bagi
muta’allim.

d. Yu’allim(proses kegiatan pengajaran)


Proses kegiatan pengajaran dalam metodologinya
merupakan upaya pemindahan pengetahuan dari mu’allim
kepada muta’allim. Seorang mu’allim hendaknya memberikan
pemahaman, menjelaskan makna agar melekat pada
pemikiran muta’allim. Oleh karena itu mu’allim harus
memikirkan metode apa yang baik digunakan untuk
menyampaikan materi, sehingga muta’allim mudah memahami
materi tersebut.

.3.3 Metode Penyajian Majelis Ta’lim


Salah satu faktor yang membuat keberhasilan dalam majelis
ta’lim adalah metode yang digunakan mu’allim dalam menyampaikan
materi kajian. Adapun metode penyajian majelis ta’lim yaitu:
a. Metode ceramah
Ada dua macam metode ceramah dalam majelis ta’lim.
Pertama, ceramah umum, di mana mu’allim bertindak aktif
dengan memberikan pelajaran, sedangkan pesertanya
berperan pasif hanya mendengarkan atau menerima materi
yang disampaikan. Kedua, ceramah terbatas, di mana
biasanya terdapat kesempatan untuk bertanya jawab. Jadi,
antara mu’allim dengan jamaah dama-sama aktif.

b. Metode Halaqoh
Dalam hal ini mu’allim memberikan pelajaran biasanya
dengan memegang suatu kitab tertentu. Jamaah
mendengarkan keterangan mu’allim sambil menyimak kitab
yang sama atau melihat ke papan tulis di mana pengajar
menuliskan hal-hal yang disampaikannya. Bedanya dengan
metode ceramah terbatas adalah dalam metode halaqah
peranan mu’allim sebagai pembimbing jauh lebih menonjol
karena mu’allim seringkali harus mengulang-ulang sesuatu
bacaan dengan ditirukan oleh jamaah serta membetulkan
bacaan yang salah.

c. Metode Mudzakarah
Metode ini dilaksanakan dengan cara tukar menukar
pendapat atau diskusi mengenai suatu masalah yang telah
disepakati untuk dibahas. Dalam metode ini, mu’allim seolah-
olah tidak ada, karena semua jamaah biasanya terdiri dari
orang-orang yang pengetahuan agamanya setaraf atau
jamaahnya terdiri dari pada ulama. Namun demikian, peserta
awam biasanya diberi kesempatan.

d. Metode Campuran
Dalam hal ini berarti satu majelis ta’lim menyelenggarakan
kegiatan pendidikan atau pengajian tidak dengan satu macam
metode saja, melainkan dengan berbagai metode secara
berselang-seling.

.3.4 Manfaat dan Tujuan Majelis Ta’lim


Majelis ta’lim sebagai lembaga pendidikan nonformal memiliki
beberapa fungsi, di antaranya:
1. Fungsi keagamaan, yakni membina dan mengembangkan
ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT;
2. Fungsi pendidikan, yakni menjadi pusat kegiatan belajar
masyarakat (learning society), keterampilan hidup, dan
kewirausahaan;
3. Fungsi sosial, yakni menjadi wahana silaturrahmi,
menyampaikan gagasan, dan sekaligus sarana dialog antar
ulama, umara, dan umat;
4. Fungsi ekonomi, yakni sebagai sarana tempat pembinaan
dan pemberdayaan ekonomi jamaahnya
5. Fungsi seni dan budaya, yakni sebagai tempat
pengembangan seni dan budaya Islam
6. Fungsi ketahanan bangsa, yakni menjadi wahana
pencerahan umat dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat, dan berbangsa.

Abdul Jamil menyebutkan fungsi dan tujuan dari majelis ta’lim


secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tempat kegiatan belajar mengajar.
2. Sebagai lembaga pendidikan dan keterampilan.
3. Sebagai wadah berkegiatan dan berkreativitas.
4. Sebagai pusat pembinaan dan pegembangan.
5. Sebagai jaringan komunikasi, ukhuwah, dan wadah
silaturrahim.

Adapun tujuan majelis ta’lim, meliputi tujuan pendidikan dan


tujuan pengajaran. Tujuan pendidikan majelis ta’lim adalah sebagai
berikut:
1. Pusat pembelajaran Islam
2. Pusat konseling Islam (agama dan keluarga)
3. Pusat pengembangan budaya dan kultur Islam
4. Pusat pabrikasi (pengkaderan) ulama/cendekiawan
5. Pusat pemberdayaan ekonomi jamaah
6. Lembaga kontrol dan motivator di tengah-tengah
masyarakat

Sedangkan tujuan pengajaran dari majelis ta’lim adalah:


1. Jamaah dapat mengagumi, mencintai, dan mengamalkan
al- Quran serta menjadikannya sebagai bacaan istimewa
dan pedoman utama;
2. Jamaah dapat memahami serta mengamalkan dienul Islam
dengan segala aspeknya dengan benar dan proporsional;
3. Jamaah menjadi muslim yang kaffah;
4. Jamaah bisa melaksanakan ibadah harian yang sesuai
dengan kaidah-kaidah keagamaan secara baik dan benar;
5. Jamaah mampu menciptakan hubungan silaturahmi denga
baik dan benar;
6. Jamaah bisa meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang
lebih baik;
7. Jamaah memiliki akhlakul karimah, dan sebagainya.

Dari beberapa fungsi dan tujuan adanya majelis ta’lim


tersebut, dapat dikatakan bahwasanya majelis ta’lim merupakan
salah satu lembaga yang dapat memberikan pendidikan karakter
bagi para jamaahnya. Seperti yang telah diuraikan, bahwa tujuan
penyampaian pendidikan di majelis ta’lim di antaranya yaitu sebagian
besar pada aspek pengetahuan keagamaan (rohani) dan aspek
pengetahuan umum (akal), serta sebagian kecil sekali ditujukan pada
aspek ketrampilan. Oleh karena itu, Helmawati menyimpulkan bahwa
tujuan dari majelis ta’lim yaitu agar jamaah memiliki karakter
beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan.

BAB III
METODE PENELITIAN

.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatifdeskriptif, yaitu data
yang dikumpulkan berbentuk kata-kata,gambar, bukan angka-angka.
Menurut Bogdan dan Taylor,sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J.
Moleong, penelitiankualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
datadeskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orangdan
perilaku yang diamati.
Sementara itu, penelitian deskriptif adalah suatubentuk penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan ataumenggambarkan fenomena-
fenomena yang ada, baikfenomena alamiah maupun rekayasa manusia.
Adapun tujuan dari penelitian deskriptif adalah untukmembuat
pencandraan secara sistematis, faktual, dan akuratmengenai fakta dan
sifat populasi atau daerah tertentu.

.2 Sumber Data Penelitian


.2.1 Data Primer
Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari subjek
dan informan penelitian berdasarkan hasil wawancara. Data primer
merupakan data yang sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil
dari penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini, dipilih secara
pusposive sampling yaitu merupakan teknik yang sesuai dengan
tujuan dan fokus penelitian yang di gali (Herdiansyah,2014). Adapun
kriteria subjek pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Berjenis kelamin laki-laki
2. Berumur antara 17-19 tahun
3. Aktif mengikuti kajian Majlis Ta’lim minimal 1 Bulan
4. Berdomisili di Palembang

.2.2 Data Sekunder


Data sekunder adalah data pendukung seperti informan
(yaitu rekan kerja, kerabat atau keluarga subjek) literature dan
dokumentasi yang berkaitan dengan subjek penelitian.

.3 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Lokasi penelitian dilakukan di Majlis
Ta’lim Raudotul Ilmi 12 Ulu Plaju Kota Palembang. Observasi dilakukan
oleh peneliti pada tanggal 12 Oktober 2020 sampai dengan 23 Oktober
2020.

.4 Metode Penelitian
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini berupa gabungan dari
teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik-teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
.4.1 Observasi
Menurut Herdiansyah (2015) menyatakan bahwa observasi
merupakan kumpulan data yang menggunakan alat indera. Dalam
suatu kondisi yang alami, observasi merupakan tindakan dari
pengamatan fenomena sosial didunia nyata dan merekam kejadian-
kejadian yang terjadi.
Patton (dalam Sugiyono, 2012) menjelaskan manfaat dari
observasi adalah sebagai berikut :
a. Melalui observasi di lapangan sehingga peneliti dapat
memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial
serta memperoleh pandangan yang holistik dan
menyeluruh.
b. Melalui observasi akan memperoleh pengalaman secara
langsung, sehingga peneliti dapat menggunakan
pendekatan induktif, dan tidak dipengaruhi oleh konsep
atau pandangan sebelumnya.
c. Melalui observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang
kurang ataupun tidak diamati oleh orang lain, khususnya
orang yang berada dalam lingkungan tersebut karena telah
dianggap “biasa” yang tidak terungkapkan dalam
wawancara.
d. Melalui observasi, peneliti dalam menemukan sesuatu yang
tidak terungkapkan oleh responden dalam wawancara,
karena bersifat sensitif atau ditutupi karena dapat
merugikan nama lembaga.
e. Melalui observasi, peneliti dapat menemukan kejadian
diluar persepsi responden, sehingga peneliti dapat
memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.
f. Melalui observasi dilapangan peneliti tidak hanya
mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga dapat
memperoleh kesan-kesan yang pribadi dan merasakan
suasana situasional dalam penelitian.

Teknik observasi yang dilaksanakan oleh peneliti merupakan


teknik observasi partisipan pasif. Peneliti datang ketempat kegiatan
subjek yang diamati tetapi tidak ikut serta ataupun terlibat dalam
kegiatan tersebut (Sugiyono, 2012). Namun, jika situasi dan kondisi
memungkinkan, peneliti juga akan melakukan observasi partisipatif
aktif atau bahkan observasi terus terang ataupun tersamar.
Observasi partisipatif aktif menurut Sugiyono (2012) adalah peneliti
juga ikut melakukan apa yang dilakukan oleh sumber data, tetapi
tidak sepenehnya lengkap. Dalam teknik observasi ini, peneliti akan
mengamati pola kehidupan beragama pada remaja. Dimulai dari
subjek penelitian dengan orang lain ketika berada di lingkungan
sosialnya.
Observasi terus terang atau tersamar, menurut Sugiyono
(2012) adalah peneliti secara terus terang kepada sumber data
bahwa peneliti akan melakukan pengamatan dan penelitian.
Sehingga sumber data mengetahui sejak awal sampai akhir tentang
aktivitas yang dilakukan peneliti. Tetapi dalam suatu saat, peneliti
juga tidak terus terang atau tersamar dalam observasi. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kalau data yang dicari merupakan data
kerahasiaan. Akan memberikan kemungkinan jika dilakukan secara
terus terang, maka peneliti tidak akan diizinkan untuk melakukan
observasi tersebut.

.4.2 Wawancara
Menurut Herdiansyah (2015) wawancara merupakan suatu
interaksi yang terhadap pertukuran aturan, tanggung jawab,
perasaan kepercayaan, motif, dan informasi didalamnya. Wawancara
bukanlah suatu kegiatan dimana satu orang yang melakukan
pembicaraan, sedangkan yang lainnya mendengarkan, tetapi lebih
melibatkan komunikasi dua arah yang terdapat tujuan yang ingin
dicapai melalui komunikasi tersebut. Teknik wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan wawancara tak terstruktur
(unstructured interview), yaitu suatu wawancara yang secara bebas,
dimana peneliti tidak menggunakan suatu pedoman wawancara yang
telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan
datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya merupakan
garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan kepada
sumber data (Sugiyono, 2012).
Pada wawancara tak terstruktur, belum dapat peneliti ketahui
dengan jelas data apa yang akan diperoleh dalam penelitian,
sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan
oleh responden. Peneliti akan melakukan analisis terhadap setiap
jawaban yang diberikan oleh responden, maka peneliti akan
mengajukan beberapa pertanyaan yang lebih terarah pada tujuan
penelitian. Melalui teknik wawancara ini, peneliti bermaksud untuk
mendapatkan data secara lebih mendalam mengenai kehidupan
beragama pada remaja dan bagaimana sikap para remaja yang
memiliki kematangan beragama sejak usia muda.

.4.3 Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang telah berlalu.
Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen tulisan misalnya catatan
harian, sejarah kehidupan dan biografi. Dokumen gambar misalnya
foto, gambar hidup, sketsa, serta catatan lainnya yang berhubungan
dengan penelitian. Dokumen yang berbentuk karya seni, yang dapat
berupa gambar, patung, film dan lain sebagainya. Dokumentasi
dapat berupa surat-surat, gambar, foto, dan catatan lain yang
berhubungan dengan penelitian (Sugiyono, 2012).
Sugiyono (2012) mengatakan bahwa studi dokumen
merupakan suatu pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif. Penelitian dari observasi dan
wawancara akan memberikan hasil yang lebih kredibel atau dapat
dipercaya kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa
kecil, disekolah, ditempat kerja, dimasyarakat dan autobiografi.
Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua dokumen memiliki
kredibilitas yang tinggi. Sebagai contoh banyak foto yang tidak
mencerminkan keadaan aslinya karena foto dibuat untuk kepentingan
tertentu. Demikian juga autobiografi yang ditulis untuk dirinya sendiri
yang sering kali bersifat subjektif.

.5 Analisis Data
Nasution (dalam Sugiyono, 2012) menyatakan bahwa analisis dalam
penelitian kualitatif telah mulai dilakukan sejak merumuskan dan
menjelaskan suatu masalah yang dimulai sebelum terjun ke lapangan, dan
berlangsung terus sampai penulisan hasil dari penelitian. Dalam
kenyataannya, analisis data kualitatif berlangsung selama proses
pengumpulan data daripada setelah selesai pengumpulan data.
Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data ketika peneliti
belum memasuki lapangan. Analisis ini dilakukan terhadap data hasil studi
pendahuluan atau data sekunder yang digunakan untuk menentukan
fokus penelitian. Fokus penelitian ini masih memiliki sifat yang sementara
dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama peneliti sedang
berada di lapangan.
Herdiansyah (2015) menjelaskan ada beberapa prosedur dalam
melakukan studi pendekatan fenomenologi, diantara lain :
a. Prosedur pertama, yaitu peneliti harus dapat memahami
perspektif dan filosofi yang ada dibelakang pendekatan yang akan
digunakan, khususnya mengenai “bagaimana individu mengalami
suatu fenomena yang terjadi”. Konsep “epoche” merupakan
proses mengesampingkan atau menghilangkan semua prasangka
peneliti terhadap suatu fenomena yang merupakan inti ketika
peneliti mulai menggali serta mengumpulkan ide-ide mereka
mengenai suatu fenomena, dan juga mencoba memahami
fenomena yang terjadi menurut sudut pandang subjek penelitian
yang bersangkutan.
b. Prosedur kedua, peneliti kemudian membuat pertanyaan
penelitian yang menggali serta mengeksplorasi arti dari
pengalaman subjek dan juga meminta subjek untuk menjelaskan
pengalaman tersebut.
c. Prosedur selanjutnya adalah peneliti mulai mencari, menggali, dan
mengumpulkan data yang berasal dari subjek penelitian yang
terlibat secara langsung dengan fenomena yang terjadi.
d. Setelah datanya terkumpul, peneliti kemudian mulai melakukan
analisis data yang terdiri atas tahap-tahapan analisis.
e. Prosedur terakhir, ketika laporan penelitian fenomenologi diakhiri
dengan diperolehnya pemahaman yang lebih esensial, dan juga
dengan struktur yang invariant dari suatu pengalaman-
pengalaman yang dialami suatu individu, dan juga mengenali
setiap unit terkecil dari arti yan diperoleh berdasarkan
pengalaman-pengalaman suatu individu tersebut.

.6 Keabsahan Data Penelitian


Dalam pengujian keabsahan data metode penelitian kualitatif
menggunakan validitas dan verifikasi data dengan menggunakan
trianggulasi data. Sugiyono (2012) menyatakan bahwa trianggulasi dalam
pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai
sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian,
menurut Sugiyono (2012) terdapat beberapa triaggulasi yang digunakan
yaitu :
.6.1 Trianggulasi Sumber
Trianggulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 5 orang sumber
dimana 3 orang sebagai subjek penelitian sedangkan 2 orang lainnya
sebagai informan yang kemudian dari jawaban subjek penelitian
dibandingkan dan diverifikasi kebenarannya melalui sumber dari
informan.

.6.2 Trianggulasi Teknik


Trianggulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan
teknik yang berbeda. Misalnya data yang diperoleh dengan
wawancara, lalu dicek dengan observasi dan dokumentasi. Bila
dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan
data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih
lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain untuk
memastikan data mana yang dianggap benar, atau mungkin
semuanya benar karena penggunaan sudut pandang yang berbeda.

.6.3 Trianggulasi Waktu


Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang
dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat
narasumber masih segar, belum banyak masalah akan memberikan
data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu, dalam
rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara
melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau teknik
lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji
menghasilkan data yang berbeda, maka akan dilakukan secara
berulang sampai ditemukan kepastian datanya.
Trianggulasi data juga dapat dilakukan dengan cara mengecek
hasil penelitian dari tim peneliti lain yang diberi tugas untuk
melakukan pengumpulan data.
DAFTAR PUSTAKA

Alawiyah, Tuti. 1997. Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Ta’lim.


Bandung : Mizan.

Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2011. Psikologi Remaja dan


Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. 2005. Psikologi Islam ;
Solusi Islam akan Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Anshari, Endang Saifuddin. 1990. Wawasan Islam, Pokok-Pokok Fikiran


Tentang Islam Dan Ummatnya. Jakarta: CV. Rajawali

Arifin, Bambang Syamsudin. 2008 . Psikologi Agama. Bandung: pustaka


setia

Hurlock, Elizabeth B. (2011). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Kaelani. 2000. Islam, Iman, dan Amal Saleh. Jakarta: Pt Rineka Cipta

Moleong, Lexi, J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya

Nata, Abudin. 2006. Metodologi Study Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Perry & potter (Jean Piaget). (2009). Fundamental Keperawatan, Edisi 7,


terjemahan (Ferderika, A): Salemba Medika: Jakarta.

Perry & Potter (Erik Erikson). (2009). Fundamental Keperawatan, Edisi 7,


terjemahan (Federderika, A): Salemba Medika: Jakarta.

Ramayulis. 2011. Psikologi Agama. Jakarta: kalammulia

Rona, Rose Anita, 2009, Upaya Guru Dalam Membangun Kesadaran


Keagamaan Pada Siswa Kelas VII MTsN Yogyakarta I,Skripsi,UGM

Shofiah, Siti, 2010, pembinaan kesadaran beragama pada kehidupan


anak jalanan (studi kasus di rumah singgah anak kurnia), Skripsi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sarwono, S. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA

Tim pustaka phonix. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru .
Jakarta: Pustaka phonix

Yunus, Mahmud. 2004. Tafsir Qur’an Karim. Cet 73. Jakarta: PT.
Hidakarya Agung

Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai