penghayatan seseorang atas ajaran agama yang diyakininya, atau suatu sikap penyerahan diri
kepada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya yang diwujudkan dalam aktivitas dan perilaku
individu sehari-hari.[1]
Dalam pendapat lain Keberagamaan (religiusity) adalah perilaku yang bersumber langsung atau
tidak langsung kepada nash.[2] Di pihak lain, keberagamaan menunjuk pada rangkaian perbuatan,
perilaku dan kegiatan orang beriman yang telah melaksanakan ajaran tersebut, di dalam kehidupan
konkret mereka.[3]
Seseorang yang meyakini akan adanya Allah tentunya mengetahui akan aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh Allah untuk hambanya. Dan aturan-aturan itu terwujud dalam perilaku sehari-
hari, seperti shalat, puasa, dzikir, menjaga hubungan baik dengan manusia, dengan lingkungan dan
lain sebagainya. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi segala perintah Allah.
Perilaku beragama yang dilakukan oleh manusia tentunya harus mendapat bimbingan dari
gurunya ataupun orang yang tepat yang lebih mengetahui tentang ajaran agama. Agar perilaku
beragamanya sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Agama adalah sebagai benteng yang
mengatur manusia agar menjadi makhluk yang sesuai dengan tujuan manusia diciptakannya yaitu
Sebagai normatif, Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama (wahyu Allah) yang
menjadi pedoman hidup (way of life) yang total (kaffah) dan meliputi seluruh aspek kehidupan.
Aspek-aspek ajaran Islam yaitu aqidah, ibadah, akhlak dan muammalat duniyawiyah atau
Perilaku keagamaan adalah segala bentuk amal perbuatan, ucapan, pikiran dan keikhlasan
seseorang sebagai bentuk ibadah, perilaku keagamaan disebut juga segala aktivitas manusia dalam
kehidupan di dasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya. [5]Adapun perilaku keagamaan
Pertama, peningkatan perilaku keagamaan yang berkaitan dengan aqidah, aqidah adalah iman
atau kepercayaan. Sumbernya yang asasi ialah al-Qur’an. Iman ialah segi teoritis yang dituntut
pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak
boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan dipengaruhi oleh persangkaan. Aqidah adalah masalah
fundamentil dalam Islam, ia menjadi titik tolak permulaan muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas
keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu
memiliki aqidah atau menunjukan kwalitas iman yang ia miliki. Masalahnya karena iman itu
bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari.[6]
Kedua, peningkatan akhlak, akhlak adalah perbuatan suci yang terbit dari lubuk jiwa yang
paling dalam, karenanya mempunyai kekuatan yang hebat.[7] Di antara akhlak yang baik ialah baik
dalam bergaul, mendoakan, memaafkan, bersifat dermawan, penyantun, menahan kemarahan dan
lain sebagainya.[8] Pembentukan manusia yang berbudi pekerti luhur adalah melewati proses
pembentukan kepribadian yang tidak bisa tumbuh dengan tiba-tiba dan serta merta, tetapi melewati
proses.[9] Demikian juga yang dilakukan oleh mursyid dalam menumbuhkan akhlak yang baik bagi
jama’ahnya dilakukan dengan proses yang lama dan diperintahkan untuk mengamalkan ibadah
secara bertahap.
Ketiga, peningkatan hubungan muammalah, manusia berasal dari umat yang satu/sama,
mempunyai kedudukan yang sama, dan tanggung awab kosmik yang sama pula. Dengan pandangan
ini, harkat dan martabat manusia diakui sama kedudukannya. Untuk memperkokoh martabat
kemanusiaan itu, Allah mengajarkan kepada manusia agar menjalin tali persaudaraan dan
komunikasi dengan sesamanya.[10] Sikap hidup manusia beragama adalah penuh dengan
Kecenderungan manusia untuk menerima aturan yang digariskan Allah, sebetulnya merupakan
sifat yang ada pada diri manusia atau fitrah. Akan tetapi, acapkali ada faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi, seperti pendidikan, lingkungan, dan pergaulan dalam kehidupan. Maka manusia
Atas dasar itulah Faridi yang mengutip dari Mukti Ali (1985) berpendapat bahwa manusia pada
dasarnya merupakan makhluk yang dipimpin oleh akal, yang menurut kodratnya suka berbuat baik,
suka damai, jauh dari permusuhan, penuh dengan kesukaan, mementingkan kepentingan orang lain,
selalu berfikir dan bertindak sesuai dengan logikanya. Jika perbuatan manusia menyimpang dari
ketentuan tersebut, itu semata-mata karena faktor lingkungan yang tidak kondusif.[12]
Kehidupan beragama dewasa ini ada yang dijadikan tempat penyejuk jiwa dan pelarian dari
hiruk pikuk ekonomi dan sosial politik sehari-hari. Ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk
Fungsi agama baik bagi perorangan (individu) maupun bagi masyarakat (sosial) di antaranya
a. Menghormati akal sekaligus mengfungsikannya secara baik, agar manusia dapat berpikir
cerdastentang kejadian alam semesta serta dapat mengambil i’tibar (pengajaran) dari alam itu,
bahwa kejadiannya yang indah menjadi bukti nyata atas kekuasaan Allah Yang Maha Besar,
b. Menyinari jiwa agar tunduk kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
c. Menyucikan hati manusia agar berakhlakul karimah, sehingga ia hidup dalam ketenangan baik
d. Menjadi obor penerangan agar manusia dapat menempuh jalan kebaikan, itulah sebabnya diadakan
e. Menjamin kebaikan bagi seluruh masyarakat agar kehidupan tetap stabil. Oleh karena itu, setiap
orang menjadi unsur yang aktif untuk persatuan kekuatan di masyarakat serta melarang berlaku
kikir untuk mengorbankan hartanya dalam membantu fakir miskin dan amalan sosial yang lain.
Demikian pula dilarang menyakiti orang lain, baik dengan tangan maupun lidah.
f. Menjadi tali pengikat yang kokoh untuk mempertautkan segala hati, karena pertalian yang
Dengan agama, manusia menjadi memiliki rasa damai, tempat bergantung, bahagia, dan
memiliki ketentraman hidup. Agama dapat melindungi manusia dari ketidak berartian hidup, dari
Keberagamaan dalam Islam adalah pelaksanaan ajaran agama menjadi kenyataan empiris, di
dalam kehidupan konkret masyarakat yang memeluknya. Kata kunci “pelaksanaan” berisi muatan
proses kegiatan pemeluk ajaran, untuk mengubah wujud ajaran agama di dalam wahyu menjadi
keberagamaan, di dalam kehidupan empiris manusia. Lingkup muatan kosakata pelaksanaan tidak
terbatas pada butir-butir materi ajaran atau kegiatan semata, namun juga pada fenomena proses
perubahan yang terjadi, unsur-unsur yang terkait dengan proses tersebut, pelaku kegiatan, baik
warganya.[16] Unsur-unsur terpenting yang harus ada dalam agama adalah sebagai berikut:
Manusia merasa dirinya lemah dan butuh pada kekuatan gaib sebagai tempat minta tolong.
Oleh karena itu, manusia merasa membutuhkan hubungan dengan kekuatan gaib tersebut.
Hubungan itu dapat diwujudkan dengan cara mematuhi semua perintah dan larangan dari kekuatan
gaib di atas.
Bahwa kesejahteraan di dunia dan di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan
kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik, kesejahteraan dan kebahagiaan
Respon itu bisa berbentuk perasaan takut, seperti terdapat dalam agama-agama primitif atau
perasaan cinta, seperti terdapat dalam agama monoteisme. Selanjutnya, respon mengambil bentuk
penyembahan seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif atau pemujaan-pemujaan yang
terdapat dalam agama monoteisme. Lebih lanjut lagi, respon itu mengambil bentuk cara hidup
Baik dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama
kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan
masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu,
seperti berdo’a, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut,
rasa optimis, pasrah, dan lainya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.[18]
Agama hendak mengarahkan manusia pada 3 pola hubungan fungsional yaitu hubungan
manusia dengan Allah (hablun minallâh), manusia dengan sesamanya (hablun minannâs) dan
manusia dengan alam atau lingkungannya (hablun minal ‘alam). Dalam bahasa yang mudah
dimengerti, hubungan pertama disebut aspek keberagamaan, hubungan kedua disebut aspek
Aspek keberagamaan hanya bisa dicapai melalui ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan total
kepada Allah melalui ibadah mahdlah. Aspek kebersamaan ditegaskan dengan pandangan dasar
Dalam Islam, ibadah (hablun minallâh) tidak sekedar dilakukan dengan cara melaksanakan
simbol-simbol ritual yang bersifat rutin seperti shalat, puasa, zakat dan haji yang sementara kering
dari pemahaman dann penghayatan. Tujuan ibadah dalam Islam adalah meningkatkan kesadaran
berketuhanan (takwa) dan mencapai tingkat kedekatan hubungan kepada Allah (taqarrub ilallâh).
Kedekatan dengan Allah itulah yang akan mempertajam rasa kesucian manusia, kalbunya
bersih dan jiwanya mampu menangkap pesan-pesan ketuhanan dengan canggih. Jiwa yang suci
Keberagamaan seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh struktur sosial, politik dan
kultural tempat agama itu hidup dan berkembang.[20] Manusia sering disebut dengan homo religius
(makhluk beragama). Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang
dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupa
kesiapan untuk menerima pengaruh luar sehingga dirinya dapat dibentuk menjadi makhluk yang
Potensi yang dimiliki manusia ini secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berupa
kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh yang berasal dari
luar diri manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, dan
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jjiwa keagamaan dapat dilihat
dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga,
yaitu:
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-
anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan
sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi
dikarenakan setiap individu dalam keluarga itu saling memberi contoh terhadap yang lain, terutama
sekali adalah orang tua. Keluarga yang religius akan menanamkan sikap keberagamaan yang teratur
beribadah, dengan demikian orang tua memiliki tanggung jawab terhadap anggota keluarga yang
lain.
berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan
organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu
perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga
kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; dan 3) hubungan antar-anak.
[22]
Institusi nonformal dimasyarakat yang dikenal sebagai faktor penting dalam mempengaruhi
keberagamaan seseorang adalah pesantren. Kepokok-tokohan kyai dalam pesantren, selain karena ia
mempunyai keunggulan di bidang ilmu dan kepribadian yang dapat dipercaya dan patut diteladani,
juga karena ia adalah pendiri dan penyebab adanya pesantren. Bahkan kyai adalah pemilik atau
pewakaf pesantren itu sendiri dan tak jarang ia mengorbankan segala yang ada padanya secara beh-
behan (semua yang ada), yang tak terbatas pada ilmu, tenaga dan waktu tetapi juga tanah, tempat
kediaman dan dana tetapi materiil. Hal itulah antara lain yang menyebabkan kyai sebagai faktor
terpenting dalam pesantren. Maka tidak mengherankan apabila para santri dan masyarakat menaruh
kepercayaan dan menjadikannya sesepuh dan marji’ (tempat kembali) dari berbagai bahkan hampir
segala masalah.[23]
Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai
maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam
Dengan meminjam analisis “religion commitment” dari Glock dan Stark (1965: 18-38),
keberagamaan muncul dalam lima dimensi: ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik, dan
konsekuensial.
“premis eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan diantara mereka.
Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam
mencapai tujuan itu (purposive beliefs). Kepercayaan yang terakhir, dapat berupa pengetahuan
tentang perangkat tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama. Kepercayaan jenis inilah yang
Keyakinan agama merupakan pandangan teologis dari doktrin-doktrin agama yang masuk dan
tumbuh pada diri manusia. Karena setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana
Dimensi intelektual mengacu pada pengetahuan agama apa yang tengah atau harus diketahui
orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, penelitian dapat diarahkan untuk
mengetahui seberapa jauh tingkat melek agama (religious literacy) para pengikut agama yang
diteliti atau tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya.[27] Seberapa jauh
aktivitasnya di dalam menambah pengetahuan agama. Misalnya, apakah dia mengikuti pengajian,
Dimensi eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif- yakni, keterlibatan
emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan (religion
feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif ( merasakan kehadiran Tuhan atau
apasaja yang diamatinya), responsive (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau
keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan
partisipatif (merasa menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam
Pengalaman agama adalah perasaan yang dialami oleh orang beragama, seperti rasa tenang,
tenteram, bahagia, syukur, patuh, taat, takut, menyesal, bertobat, dan lain-lain. Pengalaman agama
merupakan konsekuensi dari keempat dimensi yakni aktualisasi dari doktrin agama yang dihayati
oleh seseorang yang berupa sikap, ucapan, dan perilaku atau tindakan.[30]
Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan atau
dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan
ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat meneliti frekuensi,
prosedur, pola, sampai kepada makna ritus-ritus tersebut secara individual, sosial maupun kultural.
[31] Contohnya, apakah seseorang melakukan shalat, puasa, membayar zakat, dan lainnya.[32]
Dimensi konsekuensial- ditempat lain saya sebut dimensi sosial- meliputi segala implikasi
sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi inilah yang menjelaskan apakah efek ajaran Islam
terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, keperdulian kepada penderitaan orang lain, dan lain
sebagainya.[33]
Dalam pandangan Islam, Syekh Mahmud Syaltut menyatakan bahwa ajaran Islam terdiri atas
tiga bagian, yaitu: akidah (kepercayaan), syari’ah (hukum-hukum agama yang meliputi ibadah dan
muamalah), dan akhlak (budi pekerti) dalam istilah lain agama itu terdiri atas tiga pilar, yaitu Iman,
Islam dan Ihsan. Seseorang dikatakan mencapai derajat muslim yang kaffah jika dia telah
[1] Irwan Abdullah, dkk., Dialektika Teks Suci Agama: Strukturasi Makna Agama dalam
Kehidupan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 87.
[2] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Tiarawacana, 1989), hlm. 93.
[3] Muslim A. Kadir, Dasar-dasar Praktikum Keberagamaan dalam Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 55.
[4] Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan............ hlm. 130.
[5] A. M. Wibowo, “Dampak Kurikulum PAI Terhadap Perilaku Keagamaan (Studi
Komparasi antara Kurikulum PAI Plus dengan PAI Diknas)”, Jurnal Pengkajian Masalah Sosial
Keagamaan. 2010, Vol. XVII, No. 01.
[6] Nasruddin Razak, Dienul Islam (Semarang: PT. Alma’arif, 1971), hlm. 119-120.
[7] Ibid., hlm. 39.
[8] Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2009), hlm.238.
[9] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 216.
[10] Nurcholish Madjid, dkk., Beragama di Abad 21 (Jakarta: Zikru’ l-Hakim, 1997), hlm.
116.
[11] Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan......... hlm. 137.
[12] Faridi, Agama Jalan Kedamaian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 17.
[13] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 5.
[14] Faridi, Agama Jalan Kedamaian........... hlm. 18.
[15] Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern....... hlm. 41.
[16] Muslim A. Kadir, Dasar-dasar Praktikum Keberagamaan............. hlm. 326.
[17] Faridi, Agama Jalan Kedamaian........... hlm. 20.
[18] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia ........ hlm. 1.
[19] Nurcholish Madjid, dkk., Beragama di Abad 21 ........ hlm. 112-119.
[20] Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan......... hlm. 174.
[21] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.311-312.
[22] Ibid,. Hlm.
[23] M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 92.
[24] Jalaluddin, Psikologi Agama......... hlm. 314.
[25] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama...... hlm. 93
[26] Irwan Abdullah, dkk., Dialektika Teks Suci Agama....... hlm. 87.
[27] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama...... hlm. 93.
[28] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 126.
[29] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama...... hlm. 93.
[30] Irwan Abdullah, dkk., Dialektika Teks Suci Agama....... hlm. 87.
[31] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama...... hlm. 94.
[32] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif.......... hlm. 126.
[33] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama...... hlm. 94.
[34] Irwan Abdullah, dkk., Dialektika Teks Suci Agama....... hlm. 87-88.