Anda di halaman 1dari 15

BAB III

PERILAKU KEAGAMAAN

A. Pengertian Perilaku Keagamaan


Perilaku keberagamaan berasal dari dua kata yaitu perilaku dan
keberagamaan. Pengertian perilaku dalam kamus antropologi yaitu segala
tindakan manusia yang disebabkan baik dorongan organisme, tuntutan
lingkungan alam serta hasrat-hasrat kebudayaannya (Ariyono Suyono, 1985:
315). Sedangkan prilaku di dalam kamus sosiologi sama degan “action”
artinya “rangkaian atau tindakan” (Soerjono Soekamto, 1985: 7). Perilaku
secara bahasa (menurut KBBI) adalah tanggapan atau reaksi individu yang
terwujud dari gerak (sikap) tidak saja badan atau ucapan (Poerwadarmanto,
1985: 671.).
Menurut Bimo Walgito (1994: 15), perilaku adalah aktivitas yang ada
pada individu atau organisasi yang tidak timbul dengan sendirinya,
melainkan akibat dari stimulus yang diterima oleh organisasi yang
bersangkutan baik stimulus eksternal maupun internal. Namun demikian
sebagian terbesar dari perilaku organisme itu sebagai respon terhadap
stimulus eksternal. Dengan demikian perilaku merupakan ekspresi dan
manifestasi dari gejala-gejala hidup yang bersumber dari kemampuan-
kemampuan psikis yang berpusat adanya kebutuhan, sehingga segala
perilaku manusia diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai
mahkluk individu, mahkluk sosial, dan mahkluk berketuhanan. Jadi perilaku
mengandung sebuah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam
gerakan (sikap) bukan saja badan atau ucapan.
Sedangkan menurut Hasan Langgulung (1980: 139) dalam beberapa
pemikiran tentang pendidikan islam mengartikan perilaku sebesar gerak
motorik yang termanivestasi dalam segala bentuk aktivitas yang diamati.
James Driver (1981: 27) memberikan definisi perilaku dengan “Behavior the
total reponse motor and glandular which on organism makes to any
situations with it is faced” yaitu “ tingkah laku adalah tindaka menyeluruh,

31
32

motorik dan kelenjar yang diberikan suatu organism pada situasi yag
dihadapinya. Jadi perilaku merupakan perbuatan dari manusia yang
merupakan cerminan dari kepribadian.
Keberagamaan berasal dari kata agama yang diartikan sebagai
sekumpulan perturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang
mempunyai akal untuk mengikuti perturan tersebut sesuai dengan kehendak
dan pilihannya sendiri, guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Sedangkan keberagamaan itu sendiri merupakan respons manusia
terhadap wahyu Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan,
penghayatan, dan pemikiran (Moh. Dzofir, dkk, 2004: 46).
Pengertian agama dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu
“kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu” (Aat Syafaat dan Sohari,
2008: 12).
Menurut Harun Nasution (1985: 10), ada beberapa pengertian atau
definisi tentang agama, yaitu:
a. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan
gaib yang harus dipatuhi.
b. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia.
c. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada diri manusia dan
memengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
d. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan hidup
tertentu.
e. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
f. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada kekuatan gaib.
g. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah
dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat
dalam alam sekitar manusia.
33

h. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui


seorang Rasul.
Agama adalah aturan perilaku bagi umat manusia yang sudah
ditentukan dan dikomunikasikan oleh Allah SWT. melalui orang-orang
pilihan-Nya yang dikenal sebagai utusan-utusan, rasu-rasul, atau nabi-nabi.
Agama mengajarkan manusia untuk beriman kepada adanya keesaan, dan
supremasi Allah yang Maha Tinggi dan berserah diri secara spiritual, mental,
dan fisikal kepada kehendak Allah, yakni pesan Nabi yang membimbing
kepada kehidupan dengan cara yang dijelaskan Allah (Aat Syafaat dan
Sohari, 2008: 15).
Agama berarti kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dikatakan
bahwa agama merupakan pengalaman batin yang bersifat individual dikala
seseorang merasakan sesuatu yang ghaib, maka dokumen pribadi dinilai dapat
memberikan informasi yang lengkap, dan juga agama mengangkut masalah
yang berkaitan dengan kehidupan batin yang sangat mendalam, maka
masalah agama sulit untuk diteliti secara seksama, terlepas dari pengaruh
subjektifitas (Ramayulis, 2002: 52).
Lebih dari itu, agama adalah suatu jenis sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan non-empiris yang
dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri
mereka dan masyarakat luas umumnya. Dalam definisi tersebut di atas sangat
terasa bahwa pendayagunaan semata-mata ditunjukkan kepada kepentingan
supra empiris saja. Seakan-akan orang yang beragama hanya mementingkan
kebahagian akhirat dan lupa akan kebutuhan mereka di dunia sekarang ini.
Bagi Joachim Watch sebagaimana yang dikutip oleh Hendro Puspito, aspek
yang perlu diperhatikan khusus ialah pertama unsur teoritis, bahwa agama
adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua unsur praktis, ialah yang berupa
sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologis, bahwa
agama mempunyai sistem hubungan dan interaksi social (Hendro Puspito,
1983: 35).
34

Secara umum ada yang memaknai agama sebagai keyakinan atau


sistem kepercayaan, serta merupakan seperangkat sistem kaidah. Sedangkan
secara sosiologis, agama sekaligus menjadi sistem perhubungan dan interaksi
sosial. Lebih konkritnya, agama dimaknai sistem pengertian, sistem simbol,
dan sistem ibadah yang menimbulkan kekuatan bagi pemeluknya untuk
menghadapi tantangan hidup. Dalam pandangan psikologi agama, ajaran
agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya
dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada
pencapaian nilai luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan
keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada zat
supranatural.
Menurut pandangan Al-Mawardi, perilaku dan kepribadian anak
terbentuk melalui kebiasaan yang bebas dan akhlak yang lepas (akhlak
mursalah). Oleh karena itu, selain menekankan proses pembentuka kepribadia
melalui pendidika budi pekerti (al-ta’dib), karena menurutnya kemuliaan jiwa
anak terdapat sisi negative yang selalu mengancam kebutuha pribadinya,
maka proses pembentukan jiwa dan tingkah laku anak tidak saja diserahka
pada proses akal dan proses alamiah, akan tetapi diperluka pembiasaan
melalui normativitas keagamaan (Suparman, 2004: 262).
Perilaku keagamaan menurut adalah tingkah laku yang didasarka atas
kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa semisal aktifitas keagamaan
seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Perilaku keagamaan bukan hanya
terjadi ketika seseorang melakuka perilaku ritual saja, tetapi juga ketika
melakuka aktifitas lain yag didorong oleh kekuatan supranatural, bukan hanya
yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata,
tetapi juga aktifitas yang tidak tampak yang terjadi dalam diri seseorang.
Terbentuknya perilaku keagamaan anak ditentuka oleh keseluruhan
pengalaman yang disadari oleh pribadi anak. Kesadaran merupaka sebab dari
tingkah laku, artinya bahwa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu itu
menenrukan apa yang aka diajarkan. Adanya nilai-nilai keagamaan yang
35

dominan mewarnai seluruh kepribadian anak yang ikut serta menentukan


pembentukan perilaku (Jalaludin, 1996: 69).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku keagamaan
merupaka suatu kesatuan perbuatan dari manusia yang berarti, dimana setiap
tingkah laku manusia merupakan respon dari tingkah laku yang diperbuatnya
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam hubungannya dengan Allah SWT,
sesame muslim, maupun dengan lingkungannya. Dengan mengaktualisasika
ajaran agama Islam diharapka anak aka lebih bermoral, peka terhadap
lingkungan, bertanggung jawab, serta bertawakal dalam menjalani kehidupan
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.
B. Macam dan Bentuk Perilaku Keagamaan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia senantiasa melakukan aktivitas-
aktivitas kehidupannya atau dalam arti melakukan tindakan baik itu erat
hubungannya dengan dirinya sendiri ataupun berkaitan dengan orang lain
yang biasa dikenal dengan proses komunikasi baik itu berupa komunikasi
verbal atau perilaku nyata, akan tetapi di dalam melakukan perilakunya
mereka senantiasa berbeda-beda antara satu dengan lainnya, hal ini
disebabkan karena motivasi yang melatarbelakangi berbeda-beda.
Kemudian dari sistem ini muncullah pembahasan mengenai macam-
macam perilaku seperti pendapat yang dikemukakan oleh Said Howa (1994:
7), perilaku menurutnya dikelompokkan dalam du abentuk atau macam yakni
:
a. Perilaku islami ialah perilaku yang mendatangkan kemaslahatan
kebaikan, ketentraman bagi lingkungan.
b. Perilaku non islami ialah perbuatan yang mendatangkan gelombang
kerusakan, kemunafikan, perilaku non islami ini tidak mencerminkan
perilaku yang dinafasi dengan iman, tetapi dinafasi selalu dengan nafsu.
Menurut Hendro Puspito, dalam bukunya “Sosiologi Agama” (1984:
111), beliau menjelaskan tentang perilaku atau pola kelakuan yang dibagi
dalam 2 macam yakni :
36

1. Pola kelakuan lahir adalah cara bertindak yang ditiru oleh orang banyak
secara berulang-ulang.
2. Pola kelakuan batin yaitu cara berfikir, berkemauan dan merasa yang
diikuti oleh banyak orang berulang kali.
Pendapat ini senada dengan pendapat Jamaluddin Kafi (1993: 49) yang
mana beliau juga mengelompokkan perilaku menjadi dua macam yaitu
perilaku jasmaniyah dan perilaku rohaniyah, perilaku jasmaniyah yaitu
perilaku terbuka (obyektif) kemudian perilaku rohaniyah yaitu perilaku
tertutup (subyektif). Pembagian ini bisa terjadi karena manusia adalah
makhluk Allah yang mulia yang terdiri dari dua jauham yaitu jasmaniyah dan
jiwa atau rohani.
Sedangkan H. Abdul Aziz (1991: 68) mengelompokkan perilaku
menjadi dua macam yaitu :
a. Perilaku oreal (perilaku yang dapat diamati langsung).
b. Perilaku covert (perilaku yang tidak dapat diamati secara langsung).
Demikianlah macam-macam perilaku yang dikemukakan oleh beberapa ahli
pendidikan, dimana dapat disimpulkan bahwasannya perilaku seseorang itu
muncul dari dalam diri seorang itu (rohaniahnya), kemudian akan
direalisasikan dalam bentuk tindakan (jasmaniahnya).
Adapun bentuk dari perilaku keagamaan itu meliputi:
1. Shalat
Secara harfiyah kata shalat berasal dari bahasa Arab, yaitu kata
kerja “Shalla” yag artinya berdo’a. Shalat menurut istilah adalah
semua ucapa da perbuatan yag bersifat khusus yang dimulai dengan
takbir dan ditutup dengan salam (Ali Hasan, 2000: 19). Shalat
menurut syari’at adalah segala ucapan da geraka-gerakan yang
dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam (Toto
Suryana, 1995: 17).
Allah berfirma dalam Al-Qur’an surat at-Taubat ayat 103:
37

              

   

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,


dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
Dalam melaksanakan shalat, seseorang memuja kemahasucia
Allah, menyerahka diri kepadaNya, memohon perlindungan dari
godaan setan, memohon pengampunan dan dibersihkan dari dosa,
memohon petunjuk ke jalan yang benar dan dijauhka dari segala
kesesatan dan perbuatan yang tidak baik.
2. Puasa
Puasa adalah ibadah yang dapat menanamka rasa kebersamaan
dengan orang-orang fakir dalam menahan lapar dan kebutuha pada
makanan. Puasa menyadarka dorongan menolong orang, rasa
simpati dan keutamaan menguatkan jiwa, seperti takwa, mencintai
Allah, amanah, sabar dan tabah menghadapi kesulitan. Puasa bukan
hanya menahan diri dari makan, minum, dan kebutuhan biologis
lainnya yang dalam waktu tertentu. Tetapi puasa adalah langkah-
langkah yang harus ditempuh dalam mengekang diri dari keinginan-
keinginan yang haram dan perbuatan onar.
Allah berfirman dalam Al-Qur;an surat Al-Baqarah ayat 183:

           

  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas


kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
38

Mausia takwa yang dihasilkan melalui ibadah puasa adalah yang


menjalanka segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya. Orang-orang yang demikian berarti orang-orang yang
berakhlak mulia.
3. Zakat
Zakat adalah kewajiban harta difungsikan sebagai bantuan
kemasyarakatan, hasilnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin yang
hasil keringat mereka tidak dapat memberikan kehidupan yang
layak bagi hidup mereka. Zakat dapat mensucikan jiwa seseorang
dari rakus terhadap harta, mementingkan diri sendiri dan materialis.
Zakat juga menumbuhka rasa persaudaraan, rasa kasih sayang, dan
suka menolong anggota masyarakat yang berada dalam kekurangan.
4. Membaca Al-Qur’an
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987: 7) membaca adalah suatu
proses yang dilakuka serta digunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang disampaikan melalui bahasa
tertulis.mengajarka membaca Al-Qur’an adalah fardu kifayah yang
merupakan ibadah yang utama.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa bentuk perilaku
keagamaan dan pelaksanaan ibadah semacam itu merupakan kebutuhan
manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. yang sudah
menjadi kewajibannya sebagai manusia yang lemah. Pelaksanaan ibadah
semacam itu diharapkan bertambah, karena dengan semangatnya beribadah
kepada Allah SWT maka semakin banyak pula kegiatan yang dikerjakan.
C. Proses Pembentukan Perilaku Keagamaan
Perilaku keberagamaan merupakan respon dari realitas mutlak sesuai
dengan konsep Joachim Wach atau imam Abu al-Hasan al-Asy’ary (Muslim,
2003: 142). Untuk mewujudkan satuan perilaku beragama diperlukan suatu
proses panjang yang menyangkut dimensi kemanusiaan baik pada aspek
kejiwaan, perorangan maupun kehidupan kelompok. Unsur ini disimpulkan
39

dari sifat ajaran agama yang menjangkau keseluruhan hidup manusia, karena
manusia memiliki dimensi kejiwaan perorangan atua kelompok.
Menurut William James (Jalaluddin Rahmat, 2001: 118-123), sikap dan
perilaku keberagamaan muncul dari dua hal, yaitu :
1. Sakit Jiwa
Sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemukan pada mereka
yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang
terganggu atau adanya penderitaan batin, seprti konflik batin, musibah dan
lain-lain. Latang belakang itulah yang kemudian menjadi penyebab
perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan beragama. William
Starbuch, seperti yang dikemukakan oleh William James berrpendapat
bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor intern, yang menjadi penyebab dari timbulnya perilaku
keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
1) Temperamen
2) Gangguan jiwa
3) Konflik dan Keraguan
4) Jauh dari Tuhan
Sedangkan ciri dari orang yang mengalami kelainan kejiwaan seperti
ini umumnya cenderung menampilkansikap pesimis, memahami
faham yang ortodok, menyakini proses keagamaan yang secara non
graduasi.
b. Faktor ekstern, yang turut mempengaruhidalam faktor ini adalah :
1) Musibah
2) Kejahatan
2. Orang yang sehat jiwa
Ciri dan sifat dari orang yang sehat jiwa adalah sebagai berikut :
a. Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa memahami dan menghayati segala bentuk
ajaran agama dengan perasaan optimis.
b. Ektrofet dan tak mendalam
40

Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yanmg sehat jiwa ini
menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka
hati sebagai akses agamis tindakannya. Mereka selalu berpandangan
keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari lingkungan ajaran
keagamaan terlalu menjelimet.
c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Maksudnya mereka menyakini ajaran agama melalui proses yang
wajar dan tidak melalui proses pendadakan.
Keinginan kepada hidup beragama adalah salah satu sifat yang asli pada
manusia. Itu adalah nalirah, gazilah, fitrah, kecendeungan yang telah menjadi
pembawaan dan bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu keinginan yang
datang kemudian, lantaran pengaruhnya dari luar. Sama halnya dengan
keinginan makan, minum, memiliki harta benda, berkuasa dan bergaul
dengan sesama manusia.
Dengan demikian, maka manusia itu pada dasarnya memanglah
makhluk yang religius yang sangat cenderung kepada hidup beragama, itu
adalah panggilan hati nuraninya. Sebab itu andai kata Tuhan tidak mengutus
Rosul-rosul-Nya untuk menyampaikan agama-Nya kepada manusia ini,
namun mereka akan berusaha dengan berikhtiar sendiri mencari agama itu.
Sebagaimana ia berikhtiar untuk mencari makanan di waktu ia lapar, dan
memang sejarah kehidupan manusia telah membuktikan bahwa mereka telah
berikhtiar sendiri telah dapat menciptakan agamanya yaitu yang disebut
dengan agama-agama ardhiyyah (Prodjaditoro, 1981: 17).
Manusia dalam mencari Tuhan sebelum datangnya utusan-utusan Allah
menemukan berbagai jalan yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Banyak juga simbol-simbol yang digunakan sebagai sarana
untuk berhubungan dengan Tuhan, ada yang memakai patung, pohon-pohon
besar, batu-batu dll.
Dalam usahanya mencari Tuhan manusia memikirkan apa yang ada di
lingkungan sekitarnya seperti Tuhan, matahari dan bumi yang mereka tempati
ini. Berfikir bahwa adanya sesuatu pasti ada yang membuat setelah diurut-
41

urutkan, manusia kehilangan akal untuk menunjukkan siapa sebenarnya yang


menciptakan ini semua.
Dengan ini sampailah manusia itu kepada keyakinan tentang adanya
Tuhan, pencipta alam semesta. Dia telah menemukan Tuhan dan
keyakinannya ini bertambah kuat lagi setelah ia menyelidiki dirinya sendiri.
Dikatannya bahwa ia sebelum lahir ke dunia ini ia telah tumbuh dan
berkembang di kandungan ibunya selama beberapa bulan, kemudian lahir ke
dunia dan menjadi besar. Dirinya terdiri dari dua unsur yaitu tumbuh, besar
jasmani yang terdiri dari tulang-tulang, daging, darah, dan perlengkapan
lainnya yang sangat menakjubkan dan unsur yang kedua adalah roh atau jiwa
yang hakekatnya tidak dapat diketahui oleh manusia (Prodjaditoro, 1981: 19).
Perkembangan perilaku keagamaan pada anak, terjadi melalui
pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam
masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai ajaran
agama) akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan
dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-
unsur pendidikan yang tidak langsung yang dengan sendirinya akan masuk ke
dalam pribadi anak yang sedang bertambah itu. Sikap anak terhadap teman-
teman dan orang yang ada di sekelilingnya sangat dipengaruhi sikap orang
tuanya terhadap agama.
Perlakuan orang tua terhadap anak tertentu dan terhadap semua anaknya
sangat berpengaruh pada anak-anak sendiri, perlakuan keras akan berakibat
lain daripada perlakuan yang lemah lembut dalam pribadi anak. Hubungan
yang serasi penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa pada pribadi
yang tenang, terbuka dan mudah dididik atau diarahkan karena ia mendapat
kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang dalam
berfikirnya, tapi sebaliknya hubungan orang tua yang tidak serasi akan
membawa anak pada pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah
dibentuk atau diarahkan, karena ia tidak mendapat suasana yang baik untuk
42

berkembang dalam berfikir, serba selalu terganggu oleh suasana orang


tuanya.
Selain di atas, banyak sekali faktor-faktor tidak langsung dalam
keluarga yang mempengaruhi terbentuknya perilaku keagamaan anak. Di
samping itu tentunya nilai pendidikan yang mengarah kepada perilaku
keagamaan baginya, yaitu pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan
orang tua terhadap anak, baik melalui latihan-latihan, perbuatan misalnya
dalam makan minum, buang air, mandi tidur, berpakaian dan sebagainya,
semua itu termasuk perilaku keagamaan.
Berapa banyak macam pendidikan dan pembinaan tidak langsung yang
telah terjadi pada anak sebelum ia masuk sekolah. Tentu saja setiap anak
mempunyai pengalaman sendiri, yang tidak sama dengan pengalaman anak
yang lain. Pengalaman yang dibawa oleh anak-anak dari rumah tersebut akan
menentukan sikapnya terhadap teman-teman, orang-orang di sekitarnya
terutama terhadap orang tua dan gurunya (Zakiah Daradjat, 1976: 57).
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan
Pembentukka perilaku manusia tidak akan terjadi dengan sendirinya aka
tetapi selalu berinteraksi dengan manusia berkenaan dengan objek tertentu.
Sebagaimana yang dikatakan Jalaludin (1996: 199), bahwa perilaku
keagamaan anak atau seseorang terbentuk secara garis besarnya dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu:
a. Faktor internal, yaitu keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa
(anak) (Muhibbin, 2000: 132), yang terdapat dalam diri pribadi anak
meliputi:
1. Pengalaman pribadi, maksudnya pengalaman tersebut adalah
semua pengalama yang dilalui, baik pengalaman yang didapat
melalui pendengaran, penglihatan, maupun perlakua yang
diterima sejak lahir (Zakiah, 1982: 120).
2. Pengaruh emosi, emosi adalah suatu keadaan yang
mempengaruhi dan menyertai penyesuaian di dalam diri secara
umum, keadaan yang merupakan penggerak mental dan fisik
43

bagi individu dan tingkah laku dari luar. Emosi merupaka warna
afektif yang menyertai sikap keadaan atau perilaku individu.
Zakiah Daradjat menegaska bahwa emosi memegang peranan
penting dalam sikap dan tindak agama. Tidak ada satu sikap
atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa
mengindahka emosinya. Jika seseorang sedang tidak stabil
emosinya maka perasaannya tidak tenteram, keyakinannya
terlihat maju mundur, pandanga terhadap agama dan Tuhan aka
berubah sesuai dengan kondisi emosinya pada waktu itu. Jadi,
emosi menentuka arah dimana tingkah laku individu turut
mengambil bagia dalam setiap situasi kehidupan (Zakiah, 1996:
77).
3. Minat, adalah kesediaan jiwa yang sifatnya aktif untuk
menerima sesuatu dari luar. Seseorang yag mempunyai minat
terhadap suatu objek yang dilakukannya, maka ia akan berhasil
dalam aktifitasnya karena yag dilakukan tersebut dengan
perasaan senang da tapa paksaan. Adapun minat dalam agama
tampak dalam keaktifan mengikuti berbagai kegiatan
keagamaan, membahas masalah agama, dan mengikuti pelajaran
agama di sekolah. Misalnya seseorang yang mempunyai minat
terhadap pendidika agama Islam maka ia akan selalu
mempelajari segala sesuatunya yang berhubunga denga agama
Islam. Dengan begitu ia akan mentaati segala peraturan yang
terdapat dalam agama tersebut.
Menurut Jalaludin Rahmat (1992: 34), faktor internal ini
digarisbesarka menjadi dua, yaitu faktor biologis dan faktor
sosiopsikologis. Faktor biologis terlihat dalam seluruh kegiatan
manusia, bahka berpadu dengan faktor-faktor sosio-psikologis.
Faktor sosio-psikologis mausia sebagai makhluk sosial memperoleh
beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya dan dapat
44

diklasifikasikan menjadi tiga komponen, yaitu komponen kognitif,


afektif, dan konatif.
b. Faktor Eksternal, meliputi:
1. Interaksi, merupaka hubunga timbal balik antara orang
perorang, antara kelompok dengan kelompok, atau antara
perorang dengan kelompok (Soerjono, 2000: 67). Apabila dua
orang bertemu, maka aka terjadi saling pengaruh mempengaruhi
baik dalam sikap maupun dalam kehidupa sehari-hari.
2. Pengalaman, Zakiah berpendapat bahwa semua pengalaman
yang dilalui orang sejak lahir merupaka unsur-unsur
pembentuka pribadinya, termasuk di dalamnya adalah
pengalaman beragama. Oleh karena itu pembentuka perilaku
keagamaan hendaknya ditanamkan sejak dalam kandungan. Hal
ini dikarenakan semakin banyak unsur-unsur agama dalam diri
seseorang maka sikap, tindakan, tingkah laku, dan tata cara
orang dalam menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran
agama.
E. Indikator Perilaku Keagamaan
Perilaku keagamaan erat kaitannya dengan sikap seseorang dalam
beragama yang dapat dikonotasikan dengan sikap beragama, sikap religius,
dan religiusitas attitude. Sikap orang beragama adalah tahu dan mau secara
pribadi menerima dan menyetujui gambaran-gambaran keagamaan yang ada
dan dijadikan miliknya sendiri, kemudian keyakinan dan iman yang sudah
melekat dalam diri diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Secara garis besar, tingkah laku atau perilaku keagamaan dapat diukur
dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
1. Pelaksanaan ibadah shalat wajib
2. Keajegan dalam melaksanakan shalat wajib
3. Ketepatan waktu dalam melaksanakan shalat wajib
4. Pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan
5. Keajegan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan
45

6. Kesadaran dalam melaksanakan puasa Ramadhan


7. Pelaksanaan membaca Al-Qur’an
8. Keajegan dalam membaca Al-Qur’an
9. Kesadaran dalam membaca Al-Qur’an
10. Akhlak terhadap orang tua
11. Tingkat ketaatan pada orang tua
12. Kesopanan dalam bergaul dengan orang tua
13. Tingkat perhatian anak pada beban tanggung jawab orang tua
14. Akhlak terhadap guru
15. Ketaatan pada perintah guru
16. Penghormatan atau penghargaan kepada guru
17. Kesopanan dalam bersikap
18. Dan bertutur kata dengan guru
19. Akhlak terhadap teman
20. Frekuensi tolong-menolong sesama teman
21. Cara memperlakukan teman

Anda mungkin juga menyukai