i
ABSTRACT
ii
RINGKASAN TESIS
Tesis ini berjudul : “Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia Dalam
Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, yang terdiri dari 5 (lima) bab,
antara lain sebagai berikut. Bab I merupakan bab Pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teoritis, kerangka berpikir hingga metode yang digunakan dalam
penelitian. Pada latar belakang masalah diuraikan mengenai fenomena kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan yang memicu merebaknya
komersialisasi organ tubuh manusia melalui transaksi jual beli, permasalahan
norma berupa adanya disharmonisasi norma secara vertikal antara ketentuan Pasal
64 ayat (3) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan
ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah
Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau
Jaringan Tubuh Manusia. Pada landasan teoritis, dipergunakan asas-asas hukum,
konsep hukum, serta teori hukum. Asas hukum yang digunakan adalah asas
preferensi, asas ketertiban dan kepastian hukum, asas-asas dalam pembangunan
kesehatan. Teori yang dipergunakan adalah teori hak asasi manusia, teori
harmonisasi norma hukum, teori hukum progresif dan teori kebijakan hukum
pidana. Sedangkan konsep yang digunakan adalah konsep negara hukum dan
konsep hak asasi manusia terkait hak atas tubuh. Adapun metode penelitian yang
dipergunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-
undangan, fakta, perbandingan, dan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum
yang dipergunakan terdiri atas sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier
yang dianalisis dengan teknik deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi,
interpretasi, sistematisasi.
Bab II merupakan bab yang berisi tinjauan umum tentang komersialisasi
organ tubuh manusia dan hukum pidana Indonesia. Uraian ini dimulai dengan
tinjauan tindak pidana jual beli organ tubuh manusia, yang didahului dengan
penjelasan mengenai pengertian tindak pidana beserta unsur-unsurnya, yang
selanjutnya diikuti dengan penjelasan mengenai pengertian dan ruang lingkup jual
beli organ tubuh manusia. Setelah membahas mengenai jual beli organ tubuh
manusia, maka sub bab selanjutnya dijelaskan mengenai pembaharuan hukum
pidana Indonesia. Pada sub bab ini, dipaparkan mengenai makna dan hakikat
pembaruan hukum pidana Indonesia.
Bab III merupakan pembahasan atas permasalahan pertama yaitu
pengaturan jual beli organ tubuh manusia dalam hukum positif Indonesia. Dalam
bab ini diuraikan secara terperenci mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur
bahwa adanya larangan terhadap tindakan yang termasuk ke dalam kategori jual
beli organ tubuh manusia. Ketentuan-ketentuan tertuang di dalam Undang-
Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang RI No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Peraturan
iii
Pemerintah RI No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Pada dasarnya
jual beli organ tubuh manusia dilarang karena adanya keterkaitan erat dengan hak
asasi manusia terutama mengenai hak atas tubuh yang secara kodrati tidak dapat
dikomersialkan. Adanya disharmonisasi norma (norma konflik) vertikal di dalam
pengaturannya, dapat diatasi dengan berpedoman pada asas preferensi khususnya
pada sub asas lex superior derogate legi inferiori yang mengacu pada teori
harmonisasi norma hukum.
Bab IV adalah bab yang membahas mengenai permasalahan ke dua, yaitu
kebijakan formulasi terkait pengaturan jual beli organ tubuh manusia dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia. Dalam bab ini diuraikan mengenai urgensi
KUHP Nasional sebagai upaya konkrit dalam pembaharuan hukum pidana
Indonesia dan ketentuan mengenai jual beli organ tubuh manusia di dalam RUU-
KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015). Selanjutnya, dalam bab ini juga
diuraikan mengenai pengaturan jual beli organ tubuh manusia di negara lain yakni
Filipina sebagai upaya perbandingan hukum dalam mewujudkan hakikat sejati
dari pembaruan hukum pidana di Indonesia, khususnya terkait jual beli organ
tubuh manusia. Berdasarkan teori hukum progresif, bahwa keberadaan hukum
harus sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia. Kebijakan hukum pidana
khususnya terkait kebijakan formulasi, wajib memperhatikan situasi dan kondisi
dari kehidupan masyarakat demi mewujudkan hakikat dari pembaharuan hukum
pidana. Pada penutup bab ini, diuraikan mengenai usulan penulis mengenai
formulasi terkait jual beli organ tubuh manusia di masa yang akan datang.
Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup dalam penulisan tesis ini.
Pada bab ini, ditulis mengenai simpulan dan saran dari penulisan tesis ini. Adapun
pada simpulan, dikemukakan jawaban atas masalah yang diajukan secara singkat
dan terperinci. Simpulan terhadap pembahasan mengenai rumusan masalah
pertama adalah secara yuridis, konflik norma vertikal antara ketentuan UU
Kesehatan dengan PP dapat diatasi dengan mempertimbangkan ketentuan
peralihan UU Kesehatan dan menerapkan asas preferensi hukum yakni sub asas
lex superior derogat legi inferiori yang mengacu pada teori harmonisasi norma
hukum. Simpulan terhadap pembahasan mengenai rumusan masalah kedua adalah
RUU-KUHP Nasional merumuskan tindak pidana yang secara implisit meliputi
jual beli organ tubuh manusia, yaitu perbuatan dengan tujuan komersial dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh. Apabila RUU-KUHP Nasional
diberlakukan pada masa yang akan datang, maka ketentuan peraturan perundang-
undangan di luar KUHP yang mengatur komersialisasi organ tubuh manusia tetap
berlaku sehingga berimplikasi pada tidak teratasinya permasalahan norma yang
ada. RUU-KUHP Nasional belum mencerminkan hakikat dari pembaharuan
hukum pidana nasional. Sedangkan saran yang dapat penulis kemukakan dalam
tesis ini adalah agar kepada badan legislatif mengadakan pencabutan pasal yang
mengalami ketidakharmonisan mengenai jual beli organ tubuh manusia dalam
hukum positif di Indonesia. Kepada pemerintah dan aparat penegak hukum agar
mengoptimalkan upaya non penal yang bersifat preventif untuk menunjang sarana
penal, yakni melakukan sosialisasi mengenai larangan dan ancaman pidana
terhadap jual beli organ tubuh manusia berdasarkan hukum positif di Indonesia
iv
baik itu melalui penyuluhan tatap muka maupun lewat media massa seperti koran,
majalah, televisi, radio, ataupun internet. Selain itu, agar kepada badan legislatif
mengadakan formulasi tindak pidana jual beli organ tubuh manusia secara
eksplisit, jelas dan terang secara substansial dalam RUU-KUHP Nasional beserta
penjelasannya dalam Rancangan Penjelasan RUU-KUHP Nasional sebelum
disahkan dan diberlakukan sehingga pada masa yang akan datang tidak lagi
terdapat permasalahan norma serta dapat mewujudkan kodifikasi hukum pidana
nasional.
v
DAFTAR ISI
Abstrak …............................................................................................................. x
Abstract …............................................................................................................. xi
1.1 L
1.2 R
1.3 R
1.4 T
vi
1.4.1 T
1.4.2 T
1.5 M
1.5.1 M
1.5.2 M
1.6 O
1.7 L
1.7.1 L
andasan Teoritis.................................................................. 13
1.7.2 K
erangka Berpikir................................................................. 36
......................................................... 39
vii
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum .................................... 41
Manusia .................................................................................53
Indonesia ……...………………………………….............. 57
POSITIF DI INDONESIA................................................................... 68
Perundang-Undangan di Indonesia...................................................68
viii
4.1 Urgensi KUHP Nasional Sebagai Upaya Konkrit Dalam
4.2 Jual Beli Organ Tubuh Manusia dalam RUU-KUHP Nasional ... 106
DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB I
PENDAHULUAN
kesehatan. Hal ini tampak dari pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan
disebut tindakan medis. Salah satu tindakan medis yang dapat ditempuh dalam
tubuh.
salah satu hal yang mengundang polemik dalam dunia medis. Transplantasi adalah
tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia
kepada tubuh manusia yang lain atau tubuhnya sendiri.1 Pengertian transplantasi
secara yuridis adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain
dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang
tidak berfungsi dengan baik.2 Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh
1
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.
147.
2
Pengertian mengenai transplantasi ini termaktub jelas dalam Pasal 1 huruf e Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah
x1
manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan
gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Transplantasi adalah terapi pengganti
medis, namun tentu saja tindakan ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
sudut pandang agama, budaya, hukum, etika, moral, sosial dan ekonomi dalam
kehidupan masyarakat.
Salah satu dari berbagai macam organ tubuh yang ditransplantasikan, yang
pasien dari Indonesia yang pergi berobat ke China untuk melakukan transplantasi
organ tubuh seperti ginjal. Kabarnya, di China, organ tubuh manusia dijual secara
tertarik menjalani transplantasi di sana.5 Pendonor organ tubuh bisa saja muncul
dari orang yang sudah meninggal bahkan masih hidup. Ketika transplantasi organ
tubuh manusia berasal dari pendonor yang sudah meninggal, sudah tentu hal
Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Perlu diketahui bahwa
Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan dan hingga sekarang PP ini belum dicabut meskipun
undang-undang terkait kesehatan sudah beberapa kali mengalami perubahan (pembaharuan).
3
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2008, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 123.
4
Trini Handayani, 2012, Fungsionalisasi Hukum Pidana terhadap Perbuatan Perdagangan
Organ Tubuh Manusia Khususnya Ginjal untuk Kepentingan Transplantasi, Mandar Maju,
Bandung, h. 77.
5
Ibid., h. 72.
xi
tersebut tidak menjadi permasalahan yang begitu serius, apalagi disertai dengan
orang yang masih hidup. Pada awalnya, tindakan transplantasi dilakukan atas
donor dari pihak keluarga dengan alasan kemanusiaan. Namun seiring berjalannya
waktu, kebutuhan dan permintaan akan donor organ tubuh oleh pasien yang
diimbangi dengan ketersediaan organ donor yang diperlukan oleh pasien. Kondisi
Motif para penjual organ tubuh manusia sangat beragam, namun mayoritas
meningkat. Kebutuhan ekonomi yang kian hari makin membengkak, tidak sejalan
dengan input finansial yang didapat. Walaupun sudah bekerja keras demi
mendapatkan upah yang layak, namun tetap saja ada kebutuhan para penjual
organ tubuh manusia yang tidak terpenuhi. Seperti halnya berita yang ditayangkan
oleh salah satu stasiun televisi Indonesia, Estriati warga Desa Pepedan, Kabupaten
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) kepada siapa saja yang berminat. Himpitan
xii
ekonomi membuatnya berbuat nekat, karena sejak 3 bulan lalu sang suami tak
Terkait dengan pemberitaan mengenai jual beli organ tubuh manusia, demi
Banten ingin menjual ginjalnya karena tidak memiliki biaya untuk mengobati
putranya yang menderita kanker darah atau leukemia non limfoblastik.7 Adanya
praktik jual beli ginjal juga terungkap setelah HLL (inisial), seorang tersangka
kasus pencurian yang ditahan di Polres Garut, Jawa Barat, menggigil dan
mengeluh sakit. Saat diperiksa di rumah sakit, terungkap bahwa HLL hanya punya
satu ginjal. Tahanan itu lalu menuturkan satu ginjalnya yang lain sudah ia jual.8
Setelah diusut oleh polisi, terdapat 3 orang yang memiliki andil dalam tindakan
jual beli organ ginjal milik HLL yang masing-masing berperan sebagai calo
(penerima order donor ginjal dari rumah sakit maupun pencari orang yang mau
menjual ginjalnya). Setelah harga ginjal disepakati, para calo membawa para
pendonor organ tubuh ke rumah sakit untuk diperiksa kondisi ginjalnya, lalu jika
rumah sakit yang dipilih. Usai operasi, uang penjualan ginjal segera dibayarkan.
para calo. Calon penerima organ tubuh manusia berupa ginjal sebenarnya
6
Video: Terdesak Himpitan Ekonomi, Ibu Ini Berniat Jual Ginjal, tersedia pada url:
m.liputan6.com/tv/read/2621557/video-terdesak-himpitan-ekonomi-ibu-ini-berniat-jual-ginjal,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 22.38 WITA.
7
Anak Terkena Kanker Darah, Ayah Rela Jual Ginjal, tersedia pada url:
m.liputan6.com/news/read/2171789/anak-terkena-kanker-darah-ayah-rela-jual-ginjal, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2016 pukul 22.40 WITA.
8
Barometer Pekan Ini: Demi Uang Kujual Ginjalku, tersedia pada url:
m.liputan6.com/tv/read/2430225/barometer-pekan-ini-demi-uang-kujual-ginjalku, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2016 pukul 23.00 WITA.
xiii
membayar sangat mahal, tapi sebagian besar jumlah bayaran tersebut diambil para
calo dan pendonor ginjal yang sudah kehilangan satu ginjalnya memperoleh
Transaksi jual beli organ tubuh pada dasarnya bersifat terbuka namun
sekaligus tertutup. Sifat terbuka dari transaksi ini dilihat dari kelakuan para
pendonor yang menjajakan secara langsung organ tubuh yang ingin dijualnya
melalui internet ataupun media informasi lainnya. Sedangkan sifat tertutup dilihat
dari kehadiran para calo sebagai perantara antara pendonor dengan calon pembeli
organ. Dari pengalaman kasus-kasus jual beli organ tubuh manusia yang pernah
terjadi, maka ada kemungkinan keterlibatan dari pihak rumah sakit sehingga
tindakan jual beli organ tubuh menjadi tidak terlacak dan tertutup dengan dalih
Ditinjau dari segi etika dan moral, transaksi jual beli organ tubuh manusia
maka hal ini menjadi trend positif. Namun ketika transplantasi organ tubuh
dilakukan dengan kondisi organ tubuh yang digunakan merupakan hasil dari
transaksi jual beli organ tubuh, maka hal ini yang menjadi tabu. Kondisi yang
yang mahal sebagai gantinya. Jika dikaitkan dengan eksistensi hak asasi manusia,
hak atas kesehatan yang layak tampaknya menjadi salah satu bagian dari hak asasi
manusia yang sifatnya absolut karena berkaitan erat dengan hak untuk hidup.
xiv
Seseorang berhak atas kesehatan yang layak untuk mempertahankan hidupnya,
namun di sisi lain, orang lain pun memiliki hak atas kesehatan yang layak.
dimilikinya, seharusnya tidak menabrak hak asasi manusia milik orang lain.
Jual beli organ tubuh manusia mulai merebak dan menjamur di dalam
jual beli organ tubuh manusia melalui United Nation Global Initiatif to Fight
Human Trafficking (UN GIFT). Beberapa protokol PBB yang digunakan sebagai
tubuh.
Pornografi Anak Tahun 2000 pada Konvensi PBB tentang Hak Anak
xv
pada Tahun 1989. Protokol ini menyatakan bahwa penjualan anak
perdagangan tersebut.
Indonesia sebagai penganut sistem hukum civil law dimana asas legalitas
berperan penting dalam proses penanganan perkara pidana yang sesuai dengan
hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Sebagai bentuk kodifikasi
(selanjutnya disebut dengan KUHP) tidak mengatur jual beli organ tubuh
di luar KUHP. Keadaan yang demikian bukan berarti bahwa tidak timbul
persoalan norma, sehingga masih memiliki kelemahan dan dianggap belum dapat
mengimbangi perkembangan tindak pidana jual beli organ tubuh manusia saat ini.
1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi
Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia (selanjutnya disebut dengan PP Bedah
xvi
Mayat dan Transplantasi). Ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan mengatur,
Ketentuan ini senada dengan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 PP Bedah Mayat
dan Transplantasi bahwa alat atau jaringan tubuh manusia dilarang untuk
diperjualbelikan, serta dilarang untuk mengirim dan menerima alat atau jaringan
tubuh manusia dalam segala bentuk dari dan ke luar negeri. Hal yang
dan Pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan”. Padanan kata “dengan dalih apapun”
larangan jual beli organ tubuh manusia. Hal ini justru bertolak belakang dengan
pengecualian larangan jual beli organ tubuh manusia, yaitu apabila dilakukan
dengan alasan untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang
Norma konflik yang penulis temukan di dalam pengaturan jual beli organ
xvii
formulasi mengenai pembaharuan hukum pidana terkait pengaturan jual beli organ
tertarik untuk menganalisa lebih dalam mengenai pengaturan hukum positif dan
kebijakan formulasi mengenai pembaharuan hukum pidana terkait jual beli organ
penelitian ini yaitu “Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Dalam Perspektif
mengenai jual beli organ tubuh manusia dalam hukum positif Indonesia, yang
xviii
meliputi sinkronisasi vertikal maupun horizontal peraturan perundang-undangan
datang terkait pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia, yang
Tujuan penelitian terkait dengan tindak pidana jual beli organ tubuh
manusia dalam perspektif hukum pidana di Indonesia ini ada dua, yakni tujuan
umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut.
pengaturan mengenai jual beli organ tubuh manusia dalam hukum positif
Indonesia.
formulasi di masa yang akan datang terkait pengaturan jual beli organ tubuh
manusia di Indonesia.
xix
1.5. Manfaat Penelitian
undangan baik secara vertikal maupun horizontal terkait jual beli organ tubuh
solusi konkrit bagi para lembaga penegak hukum seperti: kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice
system) yang terpadu di Indonesia dalam proses penanggulangan jual beli organ
tubuh manusia mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Selain
itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para
beli organ tubuh manusia, dimana pembaharuan hukum pidana yang dilakukan
xx
1.6. Orisinalitas Penelitian
Tesis ini merupakan karya tulis asli penulis, sehingga tesis ini dapat
memperlihatkan orisinalitas dari tesis ini, maka dapat dibandingkan dengan tesis-
menyangkut tentang jual beli dan transplantasi organ tubuh manusia adalah
sebagai berikut.
1. Tesis dengan judul “Akibat Hukum Jual Beli Organ Ginjal Manusia dalam
Pasien Gagal Ginjal Terminal”, ditulis oleh Agus Susanto dari Universitas
adalah:
masalahnya adalah:
xxi
2) Bagaimana analisa hukum transplantasi jantung dari donor non
Batang Otak dan Hak Menentukan Diri Sendiri” ditulis oleh P. Sulistiaji
tubuh?
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dimana penelitian penulis ini menekankan
pada eksistensi jual beli organ tubuh manusia dalam perspektif pembaharuan
hukum pidana Indonesia. Jika kita bandingkan satu persatu, maka jelas terlihat
perbedaannya. Yang pertama adalah tesis yang dibuat oleh Agus Susanto, dimana
tulisannya adalah mengenai akibat hukum jual beli ginjal dan upaya perlindungan
bagi pasien gagal ginjal terminal yang memerlukan transplantasi organ tubuh.
Sangat jelas terlihat bahwa fokus penelitian Agus Susanto adalah mengenai organ
tubuh manusia secara umum. Selain itu Agus Susanto juga membahas mengenai
perlindungan hukum yang khusus ditujukan pada pasien yang akan melakukan
transplantasi organ tubuh, namun penulis memfokuskan diri pada pengaturan jual
beli organ tubuh manusia yang sejatinya dilarang dalam hukum positif Indonesia,
xxii
relevansi kebijkan formulasi terkait jual beli organ tubuh manusia di dalam ius
constituendum. Tesis yang ditulis oleh Nurul sudah jelas menekankan bahwa
mengenai transplantasi organ tubuh dan hak menentukan diri sendiri serta
memfokuskan pada pengaturan jual beli terhadap organ tubuh manusia dalam
oleh pemerintah di masa yang akan datang, termasuk formulasi pengaturan jual
beli terhadap organ tubuh di Indonesia dalam RUU-KUHP. Sehingga dapat dilihat
penulisannya dari karya tulis yang dibuat oleh penulis (baik dilihat dari judul,
Setiap penelitian yang nantinya dituangkan dalam sebuah karya tulis selalu
9
PS. Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, 2013, Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis, PS. Magister Ilmu Hukum Program PascaSarjana Unud,
Denpasar, h. 44.
xxiii
Dalam penelitian ini digunakan teori hukum, konsep hukum, dan asas hukum
1. Asas hukum
suatu norma hukum. Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas bukan norma
bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni asas kepastian hukum, asas
sebagai berikut.
satunya adalah asas ketertiban dan kepastian hukum. Asas ini bermakna
10
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.
34.
xxiv
mengenai keadaan hukum positif beserta kebijakan formulasi di masa yang
akan datang terkait pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia.
2) Asas preferensi
dalam tahap aplikasi maupun eksekusi. Salah satunya adalah adanya norma-
norma yang saling bertentangan, padahal mengatur hal yang relatif sama.
Begitu pula dalam hal pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia
yang meliputi asas lex superior derogate legi inferiori, asas lex spesialis
derogate legi generalis, dan asas lex posterior derogate legi priori.11
derajatnya lebih rendah.12 Asas ini juga sejalan dengan teori berjenjang
xxv
2. Asas lex spesialis derogate legi generalis
yang secara hirarkis memiliki kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang
sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang
13
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Ed.1, Cet. 6, Kencana, Jakarta, h. 99.
14
Ibid., h. 101.
xxvi
1. Asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.
2. Asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan
mental, serta antara material dan spiritual.
3. Asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang
sehat bagi setiap warga negara.
4. Asas perlindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan
penerima pelayanan kesehatan.
5. Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa
pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban
masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
6. Asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan
masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
7. Asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan
tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
8. Asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan
dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut
masyarakat.15
2. Konsep hukum
Konsep hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah konsep
negara hukum terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan konsep hak
asasi manusia terkait hak atas tubuh. Konsep ini sangat berkaitan dengan ulasan
Munculnya konsepsi mengenai hak asasi manusia tidak terlepas dari reaksi
atas kekuasaan yang bersifat absolut dan pada akhirnya memunculkan sistem
15
Lihat dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
xxvii
konsitusional dan konsep negara hukum, baik itu konsep negara hukum rechstaat
Laband, Julius Stahl, Fichte, dengan menggunakan istilah dalam bahasa Jerman,
yakni rechstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum
berkembang dengan pelopornya bernama A.V. Dicey yang disebut dengan istilah
Sedangkan Alberth Venn Dicey menguraikan adanya tiga aspek penting dalam
Aspek-aspek yang dimuat dalam kedua konsep negara hukum di atas pada
xxviii
dalam perkembangan negara hukum pada zaman modern seharusnya ditandai
terkandung dalam konsep negara hukum rechstaat maupun The Rule of Law.
posisi negara sebagai welfare state (negara sejahtera). Negara diberikan suatu
welfare (kesejahteraan sosial). Dengan kata lain, negara dalam hal ini diwikili
oleh pemerintah memiliki freies emessen yakni suatu kebebasan yang dimiliki
oleh masyarakatnya.
Terkait dengan konsep negara hukum, maka Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)
menegaskan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini
bermakna adanya suatu pengakuan secara normatif dan empiris terhadap adanya
tertinggi. Sehubungan dengan hal ini, pada prinsipnya baik konsep negara hukum
xxix
konsep negara hukum merupakan realitas dari cita-cita sebuah bangsa, tidak
dengan jenazah yang artinya jenazah merupakan benda bergerak yang sama
dengan benda yang tidak bernyawa tetapi tidak dapat dimasukkan ke dalam
terhadap tubuh sebagai benda yang tidak dapat diperjualbelikan. Pendapat ini
senada dengan Leenen yang menyatakan bahwa jenazah (tubuh manusia) adalah
hal suci (lex sacra) karena berasal dari kehidupan manusia.19 Hal ini menunjukkan
bahwa hakikat tubuh manusia sangat berbeda dengan barang sehingga tidak dapat
merupakan nilai yang harus diberlakukan terhadap tubuh manusia sebagai bagian
dari eksistensinya.
hubungan yang manunggal. Maksud dari hubungan ini adalah hubungan yang
yang utuh. Jika seseorang itu hidup, maka hendaknya pelaksanaan hak dan
18
Hwian Christianto, 2011, Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusiaan, dalam Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 1, h. 31.
19
Ibid.
20
Bismar Siregar, 1981, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 5, September, h. 468.
xxx
Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa pemahaman akan hak asasi
manusia dan kewajiban asasi manusia merupakan dua hal yang simetri, dimana
hak terdapat pada individu sang empunya sedangkan kewajiban berada pada
pemerintah untuk melindungi keberadaan hak tersebut.21 Hal ini tidak berarti
bahwa hak asasi tersebut secara mutlak harus dipenuhi meskipun melanggar nilai-
hukum dan tidak boleh mengganggu hak orang lain pula. Pemahaman tubuh
manusia sebagai individu yang diciptakan lebih bernilai daripada benda atau
3. Teori hukum
dalam bab ini dapat dipakai sebagai acuan atau landasan dalam menjawab dan
beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik,
suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai
pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau
penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.22 Dalam bentuknya yang paling
21
Hwian Christianto, op. cit., h. 32.
22
Malcolm Waters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publication, h. 2.
xxxi
sederhana teori merupakan hubungan antar dua variabel atau lebih yang telah
teruji kebenarannya.23
law, yaitu the legal premise or set of principles on which a case rests. 25 Menurut
memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum. dalam arti
proses yaitu kegiatan tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang
hukum sendiri.27
Secara garis besar, ragam teori hukum dapat dikategorikan ke dalam dua
kelompok besar. Pertama, adalah teori hukum yang bersifat positivis, seperti
23
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 126-127.
24
Fred N. Kerlinger, 1996, Asas-asas Penelitian Behavioral, (diterjemahkan oleh Landung R.
Simatupang), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 14-15.
25
Bryan A. Gamer (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., Min, St. Paul, h.
1517.
26
J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 159.
27
Ibid., h. 160.
xxxii
mempositifkan hukum ke dalam bentuk yang baku dan tertulis oleh pihak atau
otoritas yang berhak agar menjadi sah, sehingga hukum berlaku sebagai ius
constitutum. Dalam hal ini, hukum dipelajari sebagai “legal science” menurut
juga pandangan kaum realis dan pragmatis. Teori kelompok ini diawali dengan
Berkaitan dengan hal di atas, teori hukum yang digunakan dalam penulisan
tesis ini terdiri atas teori hak asasi manusia, teori harmonisasi norma hukum, teori
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-
mata karena manusia. umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh
Gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati.
Thomas Aquinas dan Grotius yang menegaskan bahwa setiap orang dalam
kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnya tunduk
28
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan
Hukum, Setara Press, Malang, h. 84-85.
29
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi
Teori Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 61.
30
Jack Donelly, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University
Press, Ithaca and London, h. 7.
xxxiii
pada otoritas Tuhan.31 John Locke sebagai pendukung teori ini juga berpandangan
bahwa semua individu dikarunia oleh alam suatu hak yng inheren atas kehidupan,
kebebasan, dan harta yang merupakan milik mereka dan tidak dapat dicabut oleh
negara. Melalui suatu kontrak sosial penggunaan hak mereka yang tidak dapat
Gagasan mengenai teori hak kodrati mendapat kritik keras dari Jeramy
Bentham (seorang filsuf utilitarian dari Inggris). Menurutnya, hak-hak kodrati itu
tidak bias dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Hak bagi Bentham adalah
anak kandung hukum, hak lahir dari fungsi hukum. Kritik tersebut juga didukung
oleh pandangan John Austin bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan
dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sah adalah perintah dari yang
berdaulat. Ia tidak datang dari alam atau moral, melainkan dari negara.32
tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan dan tidak kehilangan pamornya.
Pada masa akhir Perang Dunia II, teori hak kodrati seakan hidup kembali dan
kaitannya dengan martabat dan kemuliaan manusia. Hak asasi manusia dijadikan
31
Rhona K Smith, et.al, 2009, Hukum HAM, Pusham UII, Yogyakarta, h. 12.
32
John Austin, 1995, The Province of Jurisprudence Determined, Cambrige University Press,
Cambrige, h. 43.
xxxiv
sebagai tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa. Hal
ini ditandai dengan diterimanya rezim HAM yang dikenal dengan International
Bill of Human Rights yang terdiri atas tiga dokumen yakni Deklarasi Hak Asasi
Manusia sedunia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol)
dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob) di dalam
Dilihat dari rezim ini, inti paham dari hak asasi manusia yakni hak asasi
pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa atau status sosial lainnya
dan tak dapat dicabut. Hak-hak tersebut didapat dan dimiliki oleh setiap individu
karena mereka merupakan ciptaan Tuhan, bukan karena mereka sebagai warga
undangan sebagai bagian dari konsep negara hukum. Hal ini bermakna bahwa hak
hak yang dimiliki tiap individu. Pelaksanaan hak-hak kodrati tiap individu tidak
terbatas kecuali oleh batas-batas yang menjamin hak-hak yang sama bagi individu
xxxv
lainnya. Batasan inilah yang hanya dapat ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan.
hukum agar manusia tidak akan terpaksa untuk memilih jalan pemberontakan
dimilikinya.
Berdasarkan paparan di atas, maka teori hak kodrati memiliki andil besar
sebagai landasan awal dalam perlindungan hak asasi manusia. Namun hal ini
bukan berarti bahwa teori hak kodrati diterima secara penuh sebagaimana konsep
instrument hukum yang berlaku di setiap negara yang merupakan pengaruh dari
Teori hak asasi manusia ini digunakan penulis untuk membahas rumusan
beli organ tubuh manusia. Teori ini juga digunakan untuk membahas rumusan
masalah kedua, terutama mengenai urgensi perlindungan hak asasi manusia terkait
jual beli organ tubuh manusia dalam pembaharuan hukum pidana terutama RUU-
KUHP Nasional.
xxxvi
Penggagas dari harmonisasi hukum adalah Rudolf Stammler. Ia
mengemukakan suatu konsep fungsi hukum bahwa tujuan atau fungsi hukum
dengan individu dan antara individu dan masyarakat. Dikatakan oleh Rudolf
Stammler bahwa “a just law aims at harmonizing individual purposes with that of
society”.33
penciptaannya sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan norma yang hanya mengatur
prosedur pembuatan norma lain. Keabsahan norma baru dapat dinilai dari
terciptanya norma ditentukan oleh norma lain. Hubungan antara norma yang
mengatur penciptaan norma lain dan dan norma yang diciptakan sesuai dengan
norma yang pertama bisa dikemukakan secara kiasan sebagai hubungan antara
berkedudukan lebih tinggi, norma yang diciptakan sesuai dengan norma yang
jenjang. Kesatuannya diwujudkan oleh kaitan yang tercipta dari fakta bahwa
keabsahan suatu norma, yang diciptakan sesuai dengan norma lain, bersandar
pada norma yang lain itu, yang penciptaannya pada gilirannya ditentukan oleh
norma yang ketiga. Ini merupakan regresi yang pada akhirnya berujung pada
33
Kusni Goesniadhie S, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan
yang Baik, A3 Nasa Media, Malang, h. 2.
34
Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media,
Bandung, h. 244.
xxxvii
norma dasar (Grundnorm) yang diandaikan keberadaannya. Karena itu, norma
dasar ini merupakan alasan tertinggi bagi keabsahan norma, norma yang satu
diciptakan sesuai dengan yang lain, dan dengan demikian terbentuklah sebuah
tatanan hukum dalam struktur hierarkisnya.35 Dengan kata lain, norma dasar yang
merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma, tidak lagi dibentuk oleh
suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma yang
berada dibawahnya.
1. Konstitusi
hukum umum. Konstitusi bisa diciptakan oleh adat atau dengan tindakan tertentu
yang dilakukan oleh satu atau sekelompok individu melalui tindakan legislatif.
disebut dengan konstitusi tak tertulis. Norma konstitusi yang tidak tertulis bisa
dikodifikasikan dan jika kodifikasi ini merupakan karya dari organ pencipta
35
Ibid.
xxxviii
hukum dan memiliki kekuatan yang sifatnya mengikat, maka akan ia menjadi
konstitusi tertulis.36
harus ada tiga tingkatan. Ada kemungkinan bahwa konstitusi tidak menciptakan
bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun
berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada
norma yang paling tertinggi yang disebut dengan norma dasar. Tetapi Nawiasky
36
Ibid.
37
Ibid., h. 247.
xxxix
norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Dengan
satsug)
syarat bagi berlakunya konstitusi atau undang-undang dasar. Ia telah ada terlebih
ini sama dengan norma dasar yang disebut grundnorm oleh Hans Kelsen,
dasar negara masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang
bersifat garis besar. Hal ini berarti staatgrundgesetz masih merupakan norma
tunggal dan belum disertai norma sekunder. Di dalam setiap aturan dasar/pokok
xl
pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan antara lembaga-lembaga tinggi
merupakan norma hukum yang bersifat konkrit dan terperinci serta sudah
Secara sederhana, menurut teori ini apabila terjadi konflik antara norma
perundang-undangan yang lebih tinggi, maka norma yang lebih tinggi akan
mengesampingkan norma yang lebih rendah. Tentang hal ini Hans Kelsen juga
mengatakan: “a conflict can occur between a norm of a higher level and a norm
38
Andi Fauziah Nurul Utami, 2013, “Analisis Hukum Kedudukan TAP MPR RI dalam
Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, (Skripsi) Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
39
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 28-35.
xli
of a lower level, when the positing at the two norms does not co-inside in time.”40
Dalam hal ini, fungsi dari norma yang lebih tinggi menyebabkan kekuatan berlaku
dari norma yang lebih rendah menjadi hilang atau, “… derogation, the repeal at
yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk
suatu sistem hukum dalam suatu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.43
40
Hans Kelsen, 1991, General Theory of Norms, Clarendon Press, Oxford, h. 125.
41
Hans Kelsen, 1991, Ibid., h. 106.
42
LM. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam: Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia
Umum), Kansius, Yogyakarta, h. 88.
43
Kusni Goesniadhie S, op. cit., h. 2-3.
xlii
c. Kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme
hukum.
d. Keseimbangan, kesatuan, keselarasan, keserasian dan kecocokan
peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal.44
Apabila terjadi ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum
lainnya, maka hal inilah yang disebut dengan disharmonisasi hukum. Menurut
pertama, terutama mengenai pengaturan jual beli organ tubuh manusia yang masih
pengaturan jual beli organ tubuh memiliki sifat berjenjang, namun eksistensi
xliii
2) Teori hukum progresif
Teori ini dikampanyekan oleh Satjipto Rahardjo yang bertolak dari dua
komponen dasar dalam hukum yakni peraturan dan perilaku (rules and
behavior).46 Hukum progresif berpangkal dari asumsi dasar bahwa hukum adalah
untuk manusia, bukan sebaliknya.47 Berangkat dari asumsi ini, maka kehadiran
hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
besar, itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan dalam hukum, maka hukumlah
yang harus ditijau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk
Hukum progresif juga berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum bukan
merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam
proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).49 Terkait
“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah
dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
kesempurnaan di sini bias diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat „hukum yang
selalu dalam proses menjadi‟ (law as a process, law in the making). Hukum tidak
ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.”50
maka seharusnya penegak hukum tidak hanya berpedoman pada hukum yang
46
Satjipto Rahardjo, “Menuju Produk Hukum Progresif” Makalah disampaikan dalam Diskusi
Terbatas yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Juni 2004.
47
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,
Vol. 1/No. 1/ April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, h. 5. Lihat juga Satjipto Rahardjo, 2006,
Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h. IX.
48
Ibid.
49
Ibid., h. 6.
50
Ibid.
xliv
sudah tidak relevan tersebut. Pemikiran yang terbuka dengan melihat keadaan
masalah 1. Konflik norma yang terjadi dalam hukum positif saat ini
penegak hukum.
(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana
yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik
pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik
atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan
51
Barda Nawawi Arief II, Op.Cit., h. 24.
xlv
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana
pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan
dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.52 Sama halnya dengan
pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan
suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
atau diperbarui;
merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi
52
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat
Sudarto II), h. 153.
53
Barda Nawawi Arief II, Op.Cit., h. 23.
54
Barda Nawawi Arief II, Loc.Cit.
xlvi
Terkait dengan rumusan masalah kedua dalam penelitian ini, maka penulis
aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat
legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal
Salah satu langkah awal dalam memahami suatu karya tulis ilmiah adalah
berdasarkan pada tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan atau terkait.
Dengan adanya kerangka berpikir dalam suatu penulisan karya ilmiah, maka dapat
dijelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Kerangka
berpikir dapat disajikan dalam bentuk pola atau skema yang menunjukkan arah
diangkat di dalam karya tulis tersebut. Berikut disajikan kerangka berpikir penulis
55
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h. 78-79.
xlvii
TINDAK PIDANA JUAL BELI ORGAN TUBUH MANUSIA DALAM
PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
- Pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat terkait transplantasi organ tubuh manusia ke
arah komersialisasi terhadap organ tubuh manusia
- Permasalahan norma dalam hukum positif Indonesia terkait jual beli organ tubuh manusia
(norma konflik antara UU Kesehatan dengan PP Bedah Mayat dan Transplantasi)
- Diperlukannya solusi untuk mengatasi permasalahan norma yang terjadi dalam pengaturan
jual beli organ tubuh manusia di Indonesia
Bagaimana pengaturan terkait jual beli terhadap Bagaimana kebijakan formulasi terkait
organ tubuh manusia dalam peraturan pengaturan jual beli organ tubuh manusia dalam
perundang-undangan Indonesia? pembaharuan hukum pidana Indonesia?
Metode Penelitian
Permasalahan norma (norma kabur dan norma Rekonstruksi norma melalui re-orientasi dan
konflik) dapat diatasi sehingga tahap aplikasi reformulasi terhadap aturan terkait jual beli organ
terhadap aturan terkait jual beli organ tubuh tubuh manusia sesuai dengan urgensinya bagi
manusia dapat berjalan dengan baik kehidupan masyarakat
Jual beli organ tubuh manusia di Indonesia diatur dalam RUU-KUHP Nasional merumuskan tindak pidana jual
UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak, PP Bedah beli organ tubuh manusia secara implisit yakni
Mayat, dan secara implisit di UU PTPPO. perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan
Disharmonisasi norma yang terjadi dapat diatasi dengan transplantasi organ tubuh. RUU-KUHP Nasional belum
menerapkan asas lex superior derogate legi inferiori mencerminkan hakikat dari pembaharuan hukum
dengan mengacu pada teori harmonisasi norma hukum. pidana nasional, serta belum mewujudkan kodifikasi
hukum pidana nasional di Indonesia.
Agar badan legislatif mengadakan pencabutan pasal Agar badan legislatif melakukan formulasi jual beli i
yang mengalami disharmonisasi norma. Agar badan organ tubuh manusia secara eksplisit, tegas, jelas, dan
eksekutif dan aparat penegak hukum mengoptimalkan terang dalam RUU-KUHP Nasional agar dapat
upaya non penal untuk menunjang sarana penal dalam mewujudkan hakikat pembaharuan dan kodifikasi
penanggulangan jual beli organ tubuh manusia di hukum pidana nasional.
Indonesia
xlviii
1.8. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum
hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan
dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik (geschijld van normen)
diteliti. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait.
conseptual approach).
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam
56
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
57
Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302.
xlix
peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan
tindak pidana jual beli terhadap organ tubuh manusia. Pendekatan perbandingan
tujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan sistem hukum negara satu
suatu negara menjadi lebih baik. Pendekatan fakta digunakan berdasarkan pada
fakta atau kenyataan aktual yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan jual beli
untuk memahami konsep-konsep aturan tentang tindak pidana jual beli terhadap
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :
pengertian dalam penjelasan berikut, yakni “Primary sources of law are those
recorded rules which will be enforced by the state. They maybe found in decisions
yang dimaksud dengan sumber hukum primer adalah peraturan tertulis yang akan
diberlakukan dalam suatu Negara. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam putusan
eksekutif, peraturan dan tata tertib lembaga admisnistratif. Sumber bahan hukum
58
Moris L. Cohen dan Kent C. Olson, 1992, Legal Reasearch Nutshell, West Group
Publishing, St. Paul Minn, h. 3.
l
primer terdiri dari asas dan norma hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini
hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
4720).
li
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 237,
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau
3195).
digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik
literatur-literatur hukum (buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang
berpengaruh (de hersender leer)), jurnal-jurnal hukum atau pandangan ahli hukum
yang termuat dalam media massa ataupun elektronik, kamus dan ensiklopedi
hukum, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via
Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang
59
Ibid., h. 31.
lii
relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan
bahan-bahan hukum yang telah terkumpul. Teknik analisis yang digunakan dalam
interpretasi, sistematisasi.
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam
hubungannya antara proposisi dan proses berkaitan erat dengan kebenaran dan
kevalidan suatu hal (sah/tidak), it is useful to observe and to maintain the key
distinction between the truth of a proposition or conclusion on the one hand, and
evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,
benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan
60
Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan Press LTD, London, h. 14.
liii
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara
sederajat.
liv