Anda di halaman 1dari 54

ABSTRAK

Keterbatasan organ donor sukarela untuk transplantasi menimbulkan celah


terjadinya jual beli organ tubuh manusia. Faktanya banyak orang berusaha
melakukan transaksi jual beli organ tubuh manusia melalui media sosial bahkan
secara langsung dan terbuka. Terlebih lagi masih terdapat permasalahan norma
khususnya konflik norma dalam pengaturan jual beli organ tubuh manusia di
Indonesia. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan
terkait jual beli organ tubuh manusia dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia dan bagaimana kebijakan formulasi terkait jual beli organ tubuh
manusia dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-
undangan dan bahan kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, pendekatan
perbandingan, dan pendekatan analisis konsep hukum.
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah konflik norma secara vertikal
dalam ketentuan mengenai jual beli organ tubuh manusia di Indonesia dapat
diatasi dengan menerapkan asas preferensi hukum yakni sub asas lex superior
derogat legi inferiori yang mengacu pada teori harmonisasi norma hukum. RUU-
KUHP Nasional merumuskan tindak pidana yang secara implisit meliputi jual beli
organ tubuh manusia, yaitu perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh. Apabila RUU-KUHP Nasional diberlakukan pada masa
yang akan datang, maka ketentuan peraturan perundang-undangan di luar KUHP
yang mengatur jual beli organ tubuh manusia tetap berlaku sehingga berimplikasi
pada tidak teratasinya permasalahan norma yang ada serta belum mencerminkan
hakikat dari pembaharuan hukum pidana nasional.

Kata Kunci: Jual Beli, Organ Tubuh Manusia, Pembaharuan Hukum


Pidana.

i
ABSTRACT

The limitation voluntaries of donor organs for transplantation cause the


commercialization of human organs. In fact many people try to sell and buy
human organs by social media even directly and openly. Moreover, there are still
norms problems, especially the conflict of norms in the regulation of
commercialization of human organs in Indonesia. The formulation of the problem
in this thesis is how the arrangement relates to the commercialization of human
organs in Indonesian legislation and how the formulation policy related to the
commercialization of human organs in the renewal of Indonesian criminal law.
Type of the research is normative legal research. Normative legal
research is done by analyzed relevant legislation and literature The approaches
that used in this research are statue approach, fact approach, comparative
approach, and analytical and conceptual approach.
The conclusion of this research is vertically conflict of norms in the
provisions regarding commercial dealing of human organs in Indonesia can be
overcome by applying the principle of legal preference that is sub lex superior
derogat legi inferiori which refers to the theory of harmonization of legal norms.
The Draft of National Criminal Laws formulates a criminal act that implicitly
covers the commercialization of human organs, which is a deed with a
commercial purpose in the implementation of organ transplants. If The Draft of
National Criminal Laws is enacted in the future, then the provisions of legislation
outside the Criminal Code that regulates the commercialization of human organs
remain valid, thus implicating the non-existent problems of existing norms and
doesn’t yet reflect the nature of national criminal law reform.

Keywords: Commercial Dealing, Human Organs, Penal Reform.

ii
RINGKASAN TESIS

Tesis ini berjudul : “Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia Dalam
Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, yang terdiri dari 5 (lima) bab,
antara lain sebagai berikut. Bab I merupakan bab Pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teoritis, kerangka berpikir hingga metode yang digunakan dalam
penelitian. Pada latar belakang masalah diuraikan mengenai fenomena kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan yang memicu merebaknya
komersialisasi organ tubuh manusia melalui transaksi jual beli, permasalahan
norma berupa adanya disharmonisasi norma secara vertikal antara ketentuan Pasal
64 ayat (3) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan
ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah
Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau
Jaringan Tubuh Manusia. Pada landasan teoritis, dipergunakan asas-asas hukum,
konsep hukum, serta teori hukum. Asas hukum yang digunakan adalah asas
preferensi, asas ketertiban dan kepastian hukum, asas-asas dalam pembangunan
kesehatan. Teori yang dipergunakan adalah teori hak asasi manusia, teori
harmonisasi norma hukum, teori hukum progresif dan teori kebijakan hukum
pidana. Sedangkan konsep yang digunakan adalah konsep negara hukum dan
konsep hak asasi manusia terkait hak atas tubuh. Adapun metode penelitian yang
dipergunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-
undangan, fakta, perbandingan, dan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum
yang dipergunakan terdiri atas sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier
yang dianalisis dengan teknik deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi,
interpretasi, sistematisasi.
Bab II merupakan bab yang berisi tinjauan umum tentang komersialisasi
organ tubuh manusia dan hukum pidana Indonesia. Uraian ini dimulai dengan
tinjauan tindak pidana jual beli organ tubuh manusia, yang didahului dengan
penjelasan mengenai pengertian tindak pidana beserta unsur-unsurnya, yang
selanjutnya diikuti dengan penjelasan mengenai pengertian dan ruang lingkup jual
beli organ tubuh manusia. Setelah membahas mengenai jual beli organ tubuh
manusia, maka sub bab selanjutnya dijelaskan mengenai pembaharuan hukum
pidana Indonesia. Pada sub bab ini, dipaparkan mengenai makna dan hakikat
pembaruan hukum pidana Indonesia.
Bab III merupakan pembahasan atas permasalahan pertama yaitu
pengaturan jual beli organ tubuh manusia dalam hukum positif Indonesia. Dalam
bab ini diuraikan secara terperenci mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur
bahwa adanya larangan terhadap tindakan yang termasuk ke dalam kategori jual
beli organ tubuh manusia. Ketentuan-ketentuan tertuang di dalam Undang-
Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang RI No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Peraturan

iii
Pemerintah RI No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Pada dasarnya
jual beli organ tubuh manusia dilarang karena adanya keterkaitan erat dengan hak
asasi manusia terutama mengenai hak atas tubuh yang secara kodrati tidak dapat
dikomersialkan. Adanya disharmonisasi norma (norma konflik) vertikal di dalam
pengaturannya, dapat diatasi dengan berpedoman pada asas preferensi khususnya
pada sub asas lex superior derogate legi inferiori yang mengacu pada teori
harmonisasi norma hukum.
Bab IV adalah bab yang membahas mengenai permasalahan ke dua, yaitu
kebijakan formulasi terkait pengaturan jual beli organ tubuh manusia dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia. Dalam bab ini diuraikan mengenai urgensi
KUHP Nasional sebagai upaya konkrit dalam pembaharuan hukum pidana
Indonesia dan ketentuan mengenai jual beli organ tubuh manusia di dalam RUU-
KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015). Selanjutnya, dalam bab ini juga
diuraikan mengenai pengaturan jual beli organ tubuh manusia di negara lain yakni
Filipina sebagai upaya perbandingan hukum dalam mewujudkan hakikat sejati
dari pembaruan hukum pidana di Indonesia, khususnya terkait jual beli organ
tubuh manusia. Berdasarkan teori hukum progresif, bahwa keberadaan hukum
harus sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia. Kebijakan hukum pidana
khususnya terkait kebijakan formulasi, wajib memperhatikan situasi dan kondisi
dari kehidupan masyarakat demi mewujudkan hakikat dari pembaharuan hukum
pidana. Pada penutup bab ini, diuraikan mengenai usulan penulis mengenai
formulasi terkait jual beli organ tubuh manusia di masa yang akan datang.
Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup dalam penulisan tesis ini.
Pada bab ini, ditulis mengenai simpulan dan saran dari penulisan tesis ini. Adapun
pada simpulan, dikemukakan jawaban atas masalah yang diajukan secara singkat
dan terperinci. Simpulan terhadap pembahasan mengenai rumusan masalah
pertama adalah secara yuridis, konflik norma vertikal antara ketentuan UU
Kesehatan dengan PP dapat diatasi dengan mempertimbangkan ketentuan
peralihan UU Kesehatan dan menerapkan asas preferensi hukum yakni sub asas
lex superior derogat legi inferiori yang mengacu pada teori harmonisasi norma
hukum. Simpulan terhadap pembahasan mengenai rumusan masalah kedua adalah
RUU-KUHP Nasional merumuskan tindak pidana yang secara implisit meliputi
jual beli organ tubuh manusia, yaitu perbuatan dengan tujuan komersial dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh. Apabila RUU-KUHP Nasional
diberlakukan pada masa yang akan datang, maka ketentuan peraturan perundang-
undangan di luar KUHP yang mengatur komersialisasi organ tubuh manusia tetap
berlaku sehingga berimplikasi pada tidak teratasinya permasalahan norma yang
ada. RUU-KUHP Nasional belum mencerminkan hakikat dari pembaharuan
hukum pidana nasional. Sedangkan saran yang dapat penulis kemukakan dalam
tesis ini adalah agar kepada badan legislatif mengadakan pencabutan pasal yang
mengalami ketidakharmonisan mengenai jual beli organ tubuh manusia dalam
hukum positif di Indonesia. Kepada pemerintah dan aparat penegak hukum agar
mengoptimalkan upaya non penal yang bersifat preventif untuk menunjang sarana
penal, yakni melakukan sosialisasi mengenai larangan dan ancaman pidana
terhadap jual beli organ tubuh manusia berdasarkan hukum positif di Indonesia

iv
baik itu melalui penyuluhan tatap muka maupun lewat media massa seperti koran,
majalah, televisi, radio, ataupun internet. Selain itu, agar kepada badan legislatif
mengadakan formulasi tindak pidana jual beli organ tubuh manusia secara
eksplisit, jelas dan terang secara substansial dalam RUU-KUHP Nasional beserta
penjelasannya dalam Rancangan Penjelasan RUU-KUHP Nasional sebelum
disahkan dan diberlakukan sehingga pada masa yang akan datang tidak lagi
terdapat permasalahan norma serta dapat mewujudkan kodifikasi hukum pidana
nasional.

v
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Dalam Tesis ………..…........................................................... i

Halaman Sampul Dalam Tesis ………..…........................................................... ii

Persyaratan Gelar Magister …………….............................................................. iii

Lembar Pengesahan Tesis ………………............................................................ iv

Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis ............................................................. v

Surat Pernyataan Bebas Plagiat ............................................................................ vi

Ucapan Terima Kasih ........................................................................................... vii

Abstrak …............................................................................................................. x

Abstract …............................................................................................................. xi

Ringkasan Tesis .................................................................................................... xii

Daftar Isi …........................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 L

atar Belakang Masalah ............................................................... 1

1.2 R

umusan Masalah ........................................................................ 8

1.3 R

uang Lingkup Masalah ............................................................... 9

1.4 T

ujuan Penelitian ........................................................................... 9

vi
1.4.1 T

ujuan umum ....................................................................... 9

1.4.2 T

ujuan khusus ...................................................................... 10

1.5 M

anfaat Penulisan ......................................................................... 10

1.5.1 M

anfaat teoritis .................................................................... 10

1.5.2 M

anfaat praktis .................................................................... 10

1.6 O

risinalitas Penelitian ................................................................... 11

1.7 L

andasan Teoritis dan Kerangka Berpikir…................................. 13

1.7.1 L

andasan Teoritis.................................................................. 13

1.7.2 K

erangka Berpikir................................................................. 36

1.8 Metode Penelitian ......................................................................... 38

1.8.1 Jenis penelitian.....................................................................38

1.8.2 Jenis pendekatan..................................................................38

1.8.3 Sumber bahan hukum

......................................................... 39

vii
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum .................................... 41

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum..............................................42

BAB II TINJAUAN UMUM KOMERSIALISASI ORGAN TUBUH

MANUSIA DAN HUKUM PIDANA INDONESIA ........................ 44

2.1 Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia …………............ 44

2.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................ 44

2.1.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Jual Beli Organ Tubuh

Manusia .................................................................................53

2.2 Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ........................................ 57

2.2.1 Makna dan Hakikat Pembaharuan Hukum Pidana

Indonesia ……...………………………………….............. 57

2.2.2 Aspek Pembaharuan Hukum Pidana dalam Rancangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia .............. 64

BAB III JUAL BELI ORGAN TUBUH MANUSIA DALAM HUKUM

POSITIF DI INDONESIA................................................................... 68

3.1 Pengaturan Jual Beli Organ Tubuh Manusia dalam Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia...................................................68

3.2 Harmonisasi Pengaturan Jual Beli Organ Tubuh Manusia dalam

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia……………..……….... 92

BAB IV KEBIJAKAN FORMULASI TERKAIT PENGATURAN JUAL

BELI ORGAN TUBUH MANUSIA DALAM PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA INDONESIA ..................................................... 102

viii
4.1 Urgensi KUHP Nasional Sebagai Upaya Konkrit Dalam

Pembaruan Hukum Pidana Terkait Jual Beli Organ Tubuh

Manusia …………........................................................................ 102

4.2 Jual Beli Organ Tubuh Manusia dalam RUU-KUHP Nasional ... 106

4.3 Perbandingan Hukum Terkait Jual Beli Organ Tubuh Manusia

Dengan Negara Filipina………………………………………..... 109

4.4 Formulasi Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia di

Masa Mendatang ........................................................................... 118

BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 125

5.1 Kesimpulan …………................................................................... 125

5.2 Saran ………………………………………………...………...... 126

DAFTAR PUSTAKA

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu indikator

penilaian kemajuan suatu negara. Kondisi yang demikian dapat dimanfaatkan

sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas, termasuk di bidang

kesehatan. Hal ini tampak dari pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagai solusi dalam penyelesaian masalah-masalah kesehatan yang

meliputi pengobatan atau penyembuhan penyakit, pemulihan, perawatan dan

pelayanan kesehatan. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan dunia kesehatan

disebut tindakan medis. Salah satu tindakan medis yang dapat ditempuh dalam

rangka usaha penyembuhan penyakit adalah melalui tindakan transplantasi organ

tubuh.

Mengenai transplantasi organ tubuh manusia, tindakan ini sudah menjadi

salah satu hal yang mengundang polemik dalam dunia medis. Transplantasi adalah

tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia

kepada tubuh manusia yang lain atau tubuhnya sendiri.1 Pengertian transplantasi

secara yuridis adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan

atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain

dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang

tidak berfungsi dengan baik.2 Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh

1
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.
147.
2
Pengertian mengenai transplantasi ini termaktub jelas dalam Pasal 1 huruf e Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah

x1
manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan

gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Transplantasi adalah terapi pengganti

(alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan

kegagalan organnya karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan

terapi konservatif.3 Tindakan transplantasi tampaknya bukan menjadi hal yang

baru dalam pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia

medis, namun tentu saja tindakan ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan.

Transplantasi organ tubuh dapat dilakukan dengan didasari pertimbangan dari

sudut pandang agama, budaya, hukum, etika, moral, sosial dan ekonomi dalam

kehidupan masyarakat.

Salah satu dari berbagai macam organ tubuh yang ditransplantasikan, yang

sering ditransplantasikan adalah ginjal.4 Beberapa tahun belakangan ini, banyak

pasien dari Indonesia yang pergi berobat ke China untuk melakukan transplantasi

organ tubuh seperti ginjal. Kabarnya, di China, organ tubuh manusia dijual secara

terbuka. Meskipun tidak murah, ketersediaan pasokan organ membuat mereka

tertarik menjalani transplantasi di sana.5 Pendonor organ tubuh bisa saja muncul

dari orang yang sudah meninggal bahkan masih hidup. Ketika transplantasi organ

tubuh manusia berasal dari pendonor yang sudah meninggal, sudah tentu hal

Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Perlu diketahui bahwa
Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan dan hingga sekarang PP ini belum dicabut meskipun
undang-undang terkait kesehatan sudah beberapa kali mengalami perubahan (pembaharuan).
3
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2008, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 123.
4
Trini Handayani, 2012, Fungsionalisasi Hukum Pidana terhadap Perbuatan Perdagangan
Organ Tubuh Manusia Khususnya Ginjal untuk Kepentingan Transplantasi, Mandar Maju,
Bandung, h. 77.
5
Ibid., h. 72.

xi
tersebut tidak menjadi permasalahan yang begitu serius, apalagi disertai dengan

pembenaran atas dasar wasiat dari orang yang meninggal tersebut.

Permasalahan muncul ketika pendonor organ tubuh manusia merupakan

orang yang masih hidup. Pada awalnya, tindakan transplantasi dilakukan atas

donor dari pihak keluarga dengan alasan kemanusiaan. Namun seiring berjalannya

waktu, kebutuhan dan permintaan akan donor organ tubuh oleh pasien yang

mengidap penyakit tertentu semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan

dimungkinkannya pendonor organ tubuh berasal dari luar pihak keluarga.

Peningkatan intensitas permintaan atas donor organ tubuh ternyata tidak

diimbangi dengan ketersediaan organ donor yang diperlukan oleh pasien. Kondisi

yang demikian sudah tentu mengundang pergeseran nilai kemanusiaan ke arah

komersial (mencari keuntungan) dalam tindakan transplantasi, yaitu salah satunya

melalui transaksi jual beli organ tubuh.

Motif para penjual organ tubuh manusia sangat beragam, namun mayoritas

menggunakan dalih pemenuhan tuntutan ekonomi yang makin lama makin

meningkat. Kebutuhan ekonomi yang kian hari makin membengkak, tidak sejalan

dengan input finansial yang didapat. Walaupun sudah bekerja keras demi

mendapatkan upah yang layak, namun tetap saja ada kebutuhan para penjual

organ tubuh manusia yang tidak terpenuhi. Seperti halnya berita yang ditayangkan

oleh salah satu stasiun televisi Indonesia, Estriati warga Desa Pepedan, Kabupaten

Tegal, Jawa Tengah berniat menjual salah satu ginjalnya seharga Rp

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) kepada siapa saja yang berminat. Himpitan

xii
ekonomi membuatnya berbuat nekat, karena sejak 3 bulan lalu sang suami tak

pernah pulang dan tidak mengirimkan uang untuk keluarga.6

Terkait dengan pemberitaan mengenai jual beli organ tubuh manusia, demi

mengobati putranya, warga Kampung Parigi, Curug, Kabupaten Tangerang,

Banten ingin menjual ginjalnya karena tidak memiliki biaya untuk mengobati

putranya yang menderita kanker darah atau leukemia non limfoblastik.7 Adanya

praktik jual beli ginjal juga terungkap setelah HLL (inisial), seorang tersangka

kasus pencurian yang ditahan di Polres Garut, Jawa Barat, menggigil dan

mengeluh sakit. Saat diperiksa di rumah sakit, terungkap bahwa HLL hanya punya

satu ginjal. Tahanan itu lalu menuturkan satu ginjalnya yang lain sudah ia jual.8

Setelah diusut oleh polisi, terdapat 3 orang yang memiliki andil dalam tindakan

jual beli organ ginjal milik HLL yang masing-masing berperan sebagai calo

(penerima order donor ginjal dari rumah sakit maupun pencari orang yang mau

menjual ginjalnya). Setelah harga ginjal disepakati, para calo membawa para

pendonor organ tubuh ke rumah sakit untuk diperiksa kondisi ginjalnya, lalu jika

dinyatakan sehat maka proses selanjutnya adalah operasi pengangkatan ginjal di

rumah sakit yang dipilih. Usai operasi, uang penjualan ginjal segera dibayarkan.

Di sinilah celah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dimanfaatkan oleh

para calo. Calon penerima organ tubuh manusia berupa ginjal sebenarnya

6
Video: Terdesak Himpitan Ekonomi, Ibu Ini Berniat Jual Ginjal, tersedia pada url:
m.liputan6.com/tv/read/2621557/video-terdesak-himpitan-ekonomi-ibu-ini-berniat-jual-ginjal,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 22.38 WITA.
7
Anak Terkena Kanker Darah, Ayah Rela Jual Ginjal, tersedia pada url:
m.liputan6.com/news/read/2171789/anak-terkena-kanker-darah-ayah-rela-jual-ginjal, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2016 pukul 22.40 WITA.
8
Barometer Pekan Ini: Demi Uang Kujual Ginjalku, tersedia pada url:
m.liputan6.com/tv/read/2430225/barometer-pekan-ini-demi-uang-kujual-ginjalku, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2016 pukul 23.00 WITA.

xiii
membayar sangat mahal, tapi sebagian besar jumlah bayaran tersebut diambil para

calo dan pendonor ginjal yang sudah kehilangan satu ginjalnya memperoleh

bagian yang tidak berimbang.

Transaksi jual beli organ tubuh pada dasarnya bersifat terbuka namun

sekaligus tertutup. Sifat terbuka dari transaksi ini dilihat dari kelakuan para

pendonor yang menjajakan secara langsung organ tubuh yang ingin dijualnya

melalui internet ataupun media informasi lainnya. Sedangkan sifat tertutup dilihat

dari kehadiran para calo sebagai perantara antara pendonor dengan calon pembeli

organ. Dari pengalaman kasus-kasus jual beli organ tubuh manusia yang pernah

terjadi, maka ada kemungkinan keterlibatan dari pihak rumah sakit sehingga

tindakan jual beli organ tubuh menjadi tidak terlacak dan tertutup dengan dalih

transplantasi organ tubuh tanpa meraup keuntungan secara langsung.

Ditinjau dari segi etika dan moral, transaksi jual beli organ tubuh manusia

justru mengundang polemik dalam kehidupan masyarakat. Adanya tujuan dari

transplantasi sebagai bentuk usaha atau tindakan dalam penyembuhan penyakit,

maka hal ini menjadi trend positif. Namun ketika transplantasi organ tubuh

dilakukan dengan kondisi organ tubuh yang digunakan merupakan hasil dari

transaksi jual beli organ tubuh, maka hal ini yang menjadi tabu. Kondisi yang

justru sangat memprihatinkan adalah mengenai kelayakan untuk memperoleh

kesehatan dengan mengorbankan kesehatan orang lain, walaupun dengan imbalan

yang mahal sebagai gantinya. Jika dikaitkan dengan eksistensi hak asasi manusia,

hak atas kesehatan yang layak tampaknya menjadi salah satu bagian dari hak asasi

manusia yang sifatnya absolut karena berkaitan erat dengan hak untuk hidup.

xiv
Seseorang berhak atas kesehatan yang layak untuk mempertahankan hidupnya,

namun di sisi lain, orang lain pun memiliki hak atas kesehatan yang layak.

Dengan demikian, ketika seseorang menjalankan hak asasi manusia yang

dimilikinya, seharusnya tidak menabrak hak asasi manusia milik orang lain.

Jual beli organ tubuh manusia mulai merebak dan menjamur di dalam

kehidupan masyarakat. Dari perspektif hukum pidana seharusnya tindakan

tersebut diatur di dalam peraturan perundang-undangan sebagai langkah

penjaminan terhadap kepastian hukum. Di Kancah Internasional, perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) telah memiliki inisiatif untuk memberikan perhatian pada

jual beli organ tubuh manusia melalui United Nation Global Initiatif to Fight

Human Trafficking (UN GIFT). Beberapa protokol PBB yang digunakan sebagai

standar internasional terkait jual beli organ tubuh manusia, yakni:

1. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,

especially Women and Children, Supplementing The United Nations

Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk

Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama

Perempuan dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisir). Pasal 3 dari protokol ini mendefinisikan perdagangan

manusia termasuk pula perdagangan untuk tujuan pemindahan organ

tubuh.

2. Protokol Pilihan Mengenai Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan

Pornografi Anak Tahun 2000 pada Konvensi PBB tentang Hak Anak

xv
pada Tahun 1989. Protokol ini menyatakan bahwa penjualan anak

untuk tujuan mentransfer organ mereka sebagai hal yang

menguntungkan, wajib hukumnya menjadi suatu tindak pidana.

3. Protokol Tambahan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan

Biomedis tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Asal Manusia

tahun 2002 melarang perdagangan organ dan jaringan, sehingga

diminta negara-negara memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku

perdagangan tersebut.

Indonesia sebagai penganut sistem hukum civil law dimana asas legalitas

berperan penting dalam proses penanganan perkara pidana yang sesuai dengan

hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Sebagai bentuk kodifikasi

hukum pidana materiil di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(selanjutnya disebut dengan KUHP) tidak mengatur jual beli organ tubuh

manusia, melainkan diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan

di luar KUHP. Keadaan yang demikian bukan berarti bahwa tidak timbul

persoalan norma, sehingga masih memiliki kelemahan dan dianggap belum dapat

mengimbangi perkembangan tindak pidana jual beli organ tubuh manusia saat ini.

Penulis justru menemukan disharmonisasi norma pada pengaturannya,

yakni konflik norma antara ketentuan Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang RI

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut dengan UU

Kesehatan) dengan ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun

1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi

Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia (selanjutnya disebut dengan PP Bedah

xvi
Mayat dan Transplantasi). Ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan mengatur,

“Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun”.

Ketentuan ini senada dengan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 PP Bedah Mayat

dan Transplantasi bahwa alat atau jaringan tubuh manusia dilarang untuk

diperjualbelikan, serta dilarang untuk mengirim dan menerima alat atau jaringan

tubuh manusia dalam segala bentuk dari dan ke luar negeri. Hal yang

menjadikannya konflik adalah ketentuan Pasal 19 PP Bedah Mayat dan

Transplantasi yang mengatur, “Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17

dan Pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain

yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan”. Padanan kata “dengan dalih apapun”

pada Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan menegaskan nihilnya pengecualian terhadap

larangan jual beli organ tubuh manusia. Hal ini justru bertolak belakang dengan

ketentuan Pasal 19 PP Bedah Mayat dan Transplantasi yang mengatur adanya

pengecualian larangan jual beli organ tubuh manusia, yaitu apabila dilakukan

dengan alasan untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Norma konflik yang penulis temukan di dalam pengaturan jual beli organ

tubuh manusia dalam hukum positif di Indonesia tersebut mempengaruhi

sinkronisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai

hal tersebut dan sudah tentu mengundang ketidakpastian hukum dalam

menjangkau tindak pidana yang berkembang begitu pesat dalam kehidupan

masyarakat. Hal ini tampaknya menjadikan dasar legislator dalam kewenangannya

membentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan kebijakan

xvii
formulasi mengenai pembaharuan hukum pidana terkait pengaturan jual beli organ

tubuh manusia, guna terciptanya kodifikasi hukum pidana yang menjamin

kepastian hukum di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka penulis

tertarik untuk menganalisa lebih dalam mengenai pengaturan hukum positif dan

kebijakan formulasi mengenai pembaharuan hukum pidana terkait jual beli organ

tubuh manusia di Indonesia. Selanjutnya penulis memberikan judul dalam

penelitian ini yaitu “Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Dalam Perspektif

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan terkait jual beli organ tubuh manusia dalam

hukum positif Indonesia?

2. Bagaimana kebijakan formulasi terkait pengaturan jual beli organ

tubuh manusia dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Diperlukan adanya pembatasan dalam ruang lingkup masalah untuk

menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang

di bahas. Adapun pembatasannya adalah sebagai berikut.

Pertama akan dibahas mengenai pengaturan dan sinkronisasi pengaturan

mengenai jual beli organ tubuh manusia dalam hukum positif Indonesia, yang

xviii
meliputi sinkronisasi vertikal maupun horizontal peraturan perundang-undangan

yang berkaitan hal tersebut.

Kedua akan dibahas mengenai kebijakan formulasi di masa yang akan

datang terkait pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia, yang

meliputi: pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia dalam

pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (RUU-KUHP Nasional).

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terkait dengan tindak pidana jual beli organ tubuh

manusia dalam perspektif hukum pidana di Indonesia ini ada dua, yakni tujuan

umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut.

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan lebih

memahami mengenai eksistensi tindak pidana organ tubuh manusia dalam

perspektif pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

1.4.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan lebih memahami pengaturan dan sinkronisasi

pengaturan mengenai jual beli organ tubuh manusia dalam hukum positif

Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan lebih memahami serta menganalisis relevansi kebijakan

formulasi di masa yang akan datang terkait pengaturan jual beli organ tubuh

manusia di Indonesia.

xix
1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana,

khususnya pemahaman teoritis mengenai sinkronisasi peraturan perundang-

undangan baik secara vertikal maupun horizontal terkait jual beli organ tubuh

manusia di Indonesia serta pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di

masa mendatang sebagai langkah kebijakan formulasi dalam upaya

penanggulangan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan

solusi konkrit bagi para lembaga penegak hukum seperti: kepolisian, kejaksaan

dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice

system) yang terpadu di Indonesia dalam proses penanggulangan jual beli organ

tubuh manusia mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Selain

itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para

pembentuk undang-undang (legislator) terkait dengan upaya penanggulangan jual

beli organ tubuh manusia, dimana pembaharuan hukum pidana yang dilakukan

hendaknya dapat mengakomodir penanggulangan dan pengaturan jual beli organ

tubuh manusia sehingga tidak ada lagi permasalahan norma nantinya.

xx
1.6. Orisinalitas Penelitian

Tesis ini merupakan karya tulis asli penulis, sehingga tesis ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan penulis sangat terbuka

atas saran dan kririk yang membangun bagi penyempurnaannya. Untuk

memperlihatkan orisinalitas dari tesis ini, maka dapat dibandingkan dengan tesis-

tesis yang pernah ada sebelumnya. Adapun tesis-tesis sebelumnya yang

menyangkut tentang jual beli dan transplantasi organ tubuh manusia adalah

sebagai berikut.

1. Tesis dengan judul “Akibat Hukum Jual Beli Organ Ginjal Manusia dalam

Upaya Medis Transplantasi Organ dan Upaya Perlindungan Hukum bagi

Pasien Gagal Ginjal Terminal”, ditulis oleh Agus Susanto dari Universitas

Katolik Soegijapranata pada Tahun 2015, dengan rumusan masalahnya

adalah:

1) Bagaimana akibat hukum jual beli organ ginjal manusia dalam

upaya medis transplantasi organ bagi pasien gagal ginjal terminal?

2) Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi pasien gagal ginjal

terminal yang membutuhkan transplantasi organ ginjal?

2. Tesis dengan judul “Hukum Transplantasi Jantung dari Donor Non

Muslim Menurut Maslahah Al-Syatibi” ditulis oleh Nurul Ilmu dari

Universitas Muhammadyah Surakarta pada Tahun 2015, dengan rumusan

masalahnya adalah:

1) Bagaimana efek transplantasi jantung terhadap perilaku?

xxi
2) Bagaimana analisa hukum transplantasi jantung dari donor non

muslim menurut maslahah al-Syatibi?

3. Tesis dengan judul “Transplantasi Organ/Jaringan Tubuh pada Pasien Mati

Batang Otak dan Hak Menentukan Diri Sendiri” ditulis oleh P. Sulistiaji

Prabowo dari Universitas Katolik Soegijapranata pada Tahun 2015,

dengan rumusan masalahnya adalah:

1) Bagaimana ketentuan tentang transplantasi organ dan jaringan

tubuh?

2) Bagaimana ketentuan tentang hak menentukan diri sendiri?

Bertolak dari beberapa tesis diatas, maka dapat dibandingkan dengan

penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dimana penelitian penulis ini menekankan

pada eksistensi jual beli organ tubuh manusia dalam perspektif pembaharuan

hukum pidana Indonesia. Jika kita bandingkan satu persatu, maka jelas terlihat

perbedaannya. Yang pertama adalah tesis yang dibuat oleh Agus Susanto, dimana

tulisannya adalah mengenai akibat hukum jual beli ginjal dan upaya perlindungan

bagi pasien gagal ginjal terminal yang memerlukan transplantasi organ tubuh.

Sangat jelas terlihat bahwa fokus penelitian Agus Susanto adalah mengenai organ

tubuh manusia khususya ginjal sedangkan penulis memfokuskan pada organ

tubuh manusia secara umum. Selain itu Agus Susanto juga membahas mengenai

perlindungan hukum yang khusus ditujukan pada pasien yang akan melakukan

transplantasi organ tubuh, namun penulis memfokuskan diri pada pengaturan jual

beli organ tubuh manusia yang sejatinya dilarang dalam hukum positif Indonesia,

khususnya hukum pidana materiil. Penulis juga memberikan gambaran bagaimana

xxii
relevansi kebijkan formulasi terkait jual beli organ tubuh manusia di dalam ius

constituendum. Tesis yang ditulis oleh Nurul sudah jelas menekankan bahwa

penelitiannya masuk ke dalam ranah hukum islam, sedangkan penulis

menekankan penelitiannya dari perspektif hukum pidana materiil di Indonesia.

Tesis yang ditulis oleh Sulistiaji memfokuskan penelitiannya pada pengaturan

mengenai transplantasi organ tubuh dan hak menentukan diri sendiri serta

relevansi diantara kedua pengaturan tersebut. Namun penulis dalam penelitiannya

memfokuskan pada pengaturan jual beli terhadap organ tubuh manusia dalam

hukum positif di Indonesia serta bagaimana kebijakan formulasi yang diupayakan

oleh pemerintah di masa yang akan datang, termasuk formulasi pengaturan jual

beli terhadap organ tubuh di Indonesia dalam RUU-KUHP. Sehingga dapat dilihat

dan dibandingkan, bahwa 3 (tiga) tesis yang disebutkan diatas berbeda

penulisannya dari karya tulis yang dibuat oleh penulis (baik dilihat dari judul,

fokus penelitian, rumusan masalah dan metode penelitian yang dipakai).

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.7.1. Landasan Teoritis

Setiap penelitian yang nantinya dituangkan dalam sebuah karya tulis selalu

disertai dan dilandasi dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Pemikiran atau

landasan teoritis ini akan digunakan sebagai landasan untuk membahas

permasalahan dalam penelitian yang didalamnya terdapat teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain.9

9
PS. Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, 2013, Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis, PS. Magister Ilmu Hukum Program PascaSarjana Unud,
Denpasar, h. 44.

xxiii
Dalam penelitian ini digunakan teori hukum, konsep hukum, dan asas hukum

sebagai landasan analisis terhadap permasalahan yang ada.

1. Asas hukum

Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya

suatu norma hukum. Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas bukan norma

hukum yang konkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk

bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam

pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus

berorientasi pada asas-asas hukum.10

Terdapat beberapa asas hukum yang relevan untuk memecahkan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni asas kepastian hukum, asas

preferensi, dan asas-asas dalam pembangunan kesehatan yang akan diuraikan

sebagai berikut.

1) Asas ketertiban dan kepastian hukum

Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan peraturan

perundang-undangan haruslah mencerminkan beberapa asas, termasuk salah

satunya adalah asas ketertiban dan kepastian hukum. Asas ini bermakna

bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat

mewujudkan ketertiban masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

Penelitian ini menggunakan asas kepastian hukum dalam menganalisis

10
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.
34.

xxiv
mengenai keadaan hukum positif beserta kebijakan formulasi di masa yang

akan datang terkait pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia.

2) Asas preferensi

Pluralisme peraturan perundang-undangan di Indonesia tentu saja

mengundang permasalahan norma yang akan mempengaruhi efektivitasnya

dalam tahap aplikasi maupun eksekusi. Salah satunya adalah adanya norma-

norma yang saling bertentangan, padahal mengatur hal yang relatif sama.

Begitu pula dalam hal pengaturan jual beli organ tubuh manusia di Indonesia

yang diatur sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan. Konflik

norma yang demikian dapat diatasi dengan menggunakan asas preferensi

hukum. Terdapat tiga penyelesaian berkaitan dengan asas preferensi hukum

yang meliputi asas lex superior derogate legi inferiori, asas lex spesialis

derogate legi generalis, dan asas lex posterior derogate legi priori.11

1. Asas lex superior derogate legi inferiori

Makna dari asas ini adalah peraturan perundang-undangan yang derajatnya

lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang

derajatnya lebih rendah.12 Asas ini juga sejalan dengan teori berjenjang

norma hukum dari Hans Kelsen-Nawiasky yang sudah dibahas

sebelumnya. Misalnya saja suatu undang-undang yang salah satu

substansinya bertentangan dengan peraturan pemerintah. Menurut asas ini,

maka dalam tahap aplikasinya maka peraturan pemerintah akan

dikesampingkan karena jenjangnya lebih rendah daripada undang-undang.


11
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h. 31.
12
Abdul Rachman Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayu Media, Malang, h. 52.

xxv
2. Asas lex spesialis derogate legi generalis

Makna dari asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan

yang secara hirarkis memiliki kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang

lingkup materi muatan antara peraturan perundang-undangan itu tidak

sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang

lain.13 Misalnya saja, ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana yang bersifat lex generalis bertentang dengan ketentuan dalam

Undang-Undang Kesehatan yang bersifat lex spesialis, maka ketentuan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana akan dikesampingkan.

3. Asas lex posterior derogate legi priori

Makna dari asas ini adalah peraturan perundang-undangan yang

terkemudian (terbaru) menyisihkan peraturan perundang-undangan yang

terdahulu (lama). Adanya asas ini dapat dipahami mengingat peraturan

perudang-undangan yang baru lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi

yang sedang berlangsung.14

3) Asas-asas dalam pembangunan kesehatan

UU Kesehatan yang merupakan undang-undang payung dalam mengatur

hal yang berkaitan dengan kesehatan mencantumkan dengan jelas bahwa

diperlukannya asas-asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan dan

dilaksanakan melalui upaya kesehatan. Asas-asas tersebut termaktub dalam

Pasal 2 UU Kesehatan yang terdiri atas:

13
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Ed.1, Cet. 6, Kencana, Jakarta, h. 99.
14
Ibid., h. 101.

xxvi
1. Asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.
2. Asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan
mental, serta antara material dan spiritual.
3. Asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang
sehat bagi setiap warga negara.
4. Asas perlindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan
penerima pelayanan kesehatan.
5. Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa
pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban
masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
6. Asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan
masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
7. Asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan
tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
8. Asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan
dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut
masyarakat.15

2. Konsep hukum

Konsep hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah konsep

negara hukum terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan konsep hak

asasi manusia terkait hak atas tubuh. Konsep ini sangat berkaitan dengan ulasan

mengenai batasan-batasan seseorang dalam penguasaan dan pemanfaatan atas

organ-organ tubuh yang dimilikinya yang seharusnya sejalan dengan pengaturan

dalam peraturan perundang-undangan maupun instrument hukum internasional.

1) Konsep negara hukum

Munculnya konsepsi mengenai hak asasi manusia tidak terlepas dari reaksi

atas kekuasaan yang bersifat absolut dan pada akhirnya memunculkan sistem

15
Lihat dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

xxvii
konsitusional dan konsep negara hukum, baik itu konsep negara hukum rechstaat

maupun rule of law.

Konsep negara hukum di negara-negara penganut sistem hukum Eropa

Kontinental pada zaman modern dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul

Laband, Julius Stahl, Fichte, dengan menggunakan istilah dalam bahasa Jerman,

yakni rechstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum

berkembang dengan pelopornya bernama A.V. Dicey yang disebut dengan istilah

The Rule of Law.

Menurut Friedrick Julius Stahl, konsep negara hukum rechstaat meliputi

empat elemen penting, yakni:

1. Perlindungan hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.16

Sedangkan Alberth Venn Dicey menguraikan adanya tiga aspek penting dalam

konsep negara hukum The Rule of Law, yakni:

1. Supremacy of Law (supremasi hukum);

2. Equality before the law (persamaan di hadapan hukum);

3. Constitution based on human rights (konstitusi yang berdasarkan pada

hak asasi manusia).17

Aspek-aspek yang dimuat dalam kedua konsep negara hukum di atas pada

dasarnya dapat digabungkan dan saling melengkapi. Hal tersebut dikarenakan


16
Syaiful Bakhri, 2010, Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern, Total Media,
Yogyakarta, h. 133.
17
Teguh Prasetyo, 2010, Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum, Ed. Oktober, h. 133.

xxviii
dalam perkembangan negara hukum pada zaman modern seharusnya ditandai

dengan ciri-ciri yang ditandai dengan tercakupnya keseluruhan aspek-aspek yang

terkandung dalam konsep negara hukum rechstaat maupun The Rule of Law.

Deskripsi luas terkait konsepsi negara hukum ini semakin mengukuhkan

posisi negara sebagai welfare state (negara sejahtera). Negara diberikan suatu

kebebasan untuk bertindak untuk mewujudkan cita-cita negara yakni social

welfare (kesejahteraan sosial). Dengan kata lain, negara dalam hal ini diwikili

oleh pemerintah memiliki freies emessen yakni suatu kebebasan yang dimiliki

pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan masyarakat dan keleluasaan

membuat kebijakan publik guna merealisasikan hak-hak individu yang dimiliki

oleh masyarakatnya.

Terkait dengan konsep negara hukum, maka Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)

menegaskan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini

bermakna adanya suatu pengakuan secara normatif dan empiris terhadap adanya

supremasi hukum. Segala permasalahan diselesaikan dengan hukum sebagai

pedoman tertinggi. Supremasi hukum menyiratkan bahwa pemimpin tertinggi

negara bukanlah manusia tetapi konstitusi yang mencerminkan kedudukan hukum

tertinggi. Sehubungan dengan hal ini, pada prinsipnya baik konsep negara hukum

rechstaat maupun rule of law memiliki persamaan yang fundamental yakni

adanya pengakuan pentingnya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara

konstitusional. Terlepas dari adanya perbedaan pemikiran maupun praktiknya,

xxix
konsep negara hukum merupakan realitas dari cita-cita sebuah bangsa, tidak

terkecuali bagi Indonesia.

2) Konsep hak asasi manusia terkait hak atas tubuh

R. Dierkens secara khusus membuat perbedaan antara tubuh atau badan

dengan jenazah yang artinya jenazah merupakan benda bergerak yang sama

dengan benda yang tidak bernyawa tetapi tidak dapat dimasukkan ke dalam

kebendaan pada umumnya.18 Pemikiran R. Dierkens ini memiliki implikasi

terhadap tubuh sebagai benda yang tidak dapat diperjualbelikan. Pendapat ini

senada dengan Leenen yang menyatakan bahwa jenazah (tubuh manusia) adalah

hal suci (lex sacra) karena berasal dari kehidupan manusia.19 Hal ini menunjukkan

bahwa hakikat tubuh manusia sangat berbeda dengan barang sehingga tidak dapat

diberlakukan konsep hukum benda seperti pada umumnya. Nilai kemanusiaan

merupakan nilai yang harus diberlakukan terhadap tubuh manusia sebagai bagian

dari eksistensinya.

Hubungan diri manusia dengan bagian-bagian tubuhnya merupakan

hubungan yang manunggal. Maksud dari hubungan ini adalah hubungan yang

memandang diri manusia dan bagain-bagian tubuhnya merupakan suatu keadaan

yang utuh. Jika seseorang itu hidup, maka hendaknya pelaksanaan hak dan

kewajiban dalam hidupnya mencerminkan penghargaan atas derajat kemanusiaan

yang ada pada dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang mulia.20

18
Hwian Christianto, 2011, Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusiaan, dalam Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 1, h. 31.
19
Ibid.
20
Bismar Siregar, 1981, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 5, September, h. 468.

xxx
Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa pemahaman akan hak asasi

manusia dan kewajiban asasi manusia merupakan dua hal yang simetri, dimana

hak terdapat pada individu sang empunya sedangkan kewajiban berada pada

pemerintah untuk melindungi keberadaan hak tersebut.21 Hal ini tidak berarti

bahwa hak asasi tersebut secara mutlak harus dipenuhi meskipun melanggar nilai-

nilai kemanusiaan tetapi pemenuhannya tetap harus dilaksanakan berdasarkan

hukum dan tidak boleh mengganggu hak orang lain pula. Pemahaman tubuh

sebagai benda sesungguhnya sama dengan merendahkan harkat dan martabat

manusia sebagai individu yang diciptakan lebih bernilai daripada benda atau

ciptaan lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka tidak dimungkinkan seseorang

memiliki hak milik yang bersifat ekonomis (termasuk kegiatan komersialisasi)

atas bagian tubuhnya.

3. Teori hukum

Terdapat beberapa teori hukum yang akan di paparkan terlebih dahulu

dalam bab ini dapat dipakai sebagai acuan atau landasan dalam menjawab dan

menganalisis permasalahan yang ada. Menurut Malcolm Waters, teori memiliki

beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik,

suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai

penjelasan atau keterangan dari skelompok fakta atau fenomena…...suatu

pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau

penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.22 Dalam bentuknya yang paling

21
Hwian Christianto, op. cit., h. 32.
22
Malcolm Waters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publication, h. 2.

xxxi
sederhana teori merupakan hubungan antar dua variabel atau lebih yang telah

teruji kebenarannya.23

Menurut Fred N. Kerlinger, teori adalah seperangkat konstruksi (konsep)

batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang

fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variable, dengan tujuan

menjelaskan dan memprediksi gejala itu.24

Dalam Black’s Law Dictionary, teori hukum disebutkan dengan Theory of

law, yaitu the legal premise or set of principles on which a case rests. 25 Menurut

J. J. H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan

dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan

sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.26 Definisi tersebut

memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan

yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum. dalam arti

proses yaitu kegiatan tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang

hukum sendiri.27

Secara garis besar, ragam teori hukum dapat dikategorikan ke dalam dua

kelompok besar. Pertama, adalah teori hukum yang bersifat positivis, seperti

positivisme klasik, positivisme modern, yang di dalamnya mencakup pandangan

formalisme dan legisme. Positivisme berarti paham yang bertujuan untuk

23
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 126-127.
24
Fred N. Kerlinger, 1996, Asas-asas Penelitian Behavioral, (diterjemahkan oleh Landung R.
Simatupang), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 14-15.
25
Bryan A. Gamer (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., Min, St. Paul, h.
1517.
26
J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 159.
27
Ibid., h. 160.

xxxii
mempositifkan hukum ke dalam bentuk yang baku dan tertulis oleh pihak atau

otoritas yang berhak agar menjadi sah, sehingga hukum berlaku sebagai ius

constitutum. Dalam hal ini, hukum dipelajari sebagai “legal science” menurut

Landell atau “eine rechtslehre” menurut Hans Kelsen.28

Kedua, teori hukum yang bercorak sosiologis yang di dalamnya mencakup

juga pandangan kaum realis dan pragmatis. Teori kelompok ini diawali dengan

kemunculan mazhab sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscue

Pond dalam tulisannya The Scope and Puspose of Sociological Jurisprudence

pada tahun 1911.29

Berkaitan dengan hal di atas, teori hukum yang digunakan dalam penulisan

tesis ini terdiri atas teori hak asasi manusia, teori harmonisasi norma hukum, teori

hukum progresif dan teori kebijakan hukum pidana.

1) Teori hak asasi manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-

mata karena manusia. umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh

masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan

martabatnya sebagai manusia.30

Gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati.

Thomas Aquinas dan Grotius yang menegaskan bahwa setiap orang dalam

kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnya tunduk

28
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan
Hukum, Setara Press, Malang, h. 84-85.
29
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi
Teori Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 61.
30
Jack Donelly, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University
Press, Ithaca and London, h. 7.

xxxiii
pada otoritas Tuhan.31 John Locke sebagai pendukung teori ini juga berpandangan

bahwa semua individu dikarunia oleh alam suatu hak yng inheren atas kehidupan,

kebebasan, dan harta yang merupakan milik mereka dan tidak dapat dicabut oleh

negara. Melalui suatu kontrak sosial penggunaan hak mereka yang tidak dapat

dicabut itu diserahkan kepada penguasa, apabila penguasa memutuskan kontrak

sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, rakyat dapat

menggantikannya dengan penguasa yang mampu menghormati hak-hak tersebut.

Gagasan mengenai teori hak kodrati mendapat kritik keras dari Jeramy

Bentham (seorang filsuf utilitarian dari Inggris). Menurutnya, hak-hak kodrati itu

tidak bias dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Hak bagi Bentham adalah

anak kandung hukum, hak lahir dari fungsi hukum. Kritik tersebut juga didukung

oleh pandangan John Austin bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan

dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sah adalah perintah dari yang

berdaulat. Ia tidak datang dari alam atau moral, melainkan dari negara.32

Penolakan dari kaum positivis terhadap pandangan hak kodrati tersebut

tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan dan tidak kehilangan pamornya.

Pada masa akhir Perang Dunia II, teori hak kodrati seakan hidup kembali dan

mengilhami kemunculan gagasan HAM di kancah Internasional.

Sejalan dengan perkembangan gagasan mengenai HAM di dunia

Internasional, terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seakan

menunjukkan bahwa adanya kepercayaan terhadap hak-hak manusia dalam

kaitannya dengan martabat dan kemuliaan manusia. Hak asasi manusia dijadikan
31
Rhona K Smith, et.al, 2009, Hukum HAM, Pusham UII, Yogyakarta, h. 12.
32
John Austin, 1995, The Province of Jurisprudence Determined, Cambrige University Press,
Cambrige, h. 43.

xxxiv
sebagai tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa. Hal

ini ditandai dengan diterimanya rezim HAM yang dikenal dengan International

Bill of Human Rights yang terdiri atas tiga dokumen yakni Deklarasi Hak Asasi

Manusia sedunia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol)

dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob) di dalam

kehidupan masyarakat Internasional.

Dilihat dari rezim ini, inti paham dari hak asasi manusia yakni hak asasi

manusia melekat pada kehidupan individu secara universal tanpa adanya

pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa atau status sosial lainnya

dan tak dapat dicabut. Hak-hak tersebut didapat dan dimiliki oleh setiap individu

karena mereka merupakan ciptaan Tuhan, bukan karena mereka sebagai warga

dari suatu negara.

Perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia terdapat dalam kerangka

batas-batas legitimasi yang demokratis. Batas-batas pelaksanaan hak asasi

manusia hanya dapat ditetapkan maupun dicabut oleh peraturan perundang-

undangan sebagai bagian dari konsep negara hukum. Hal ini bermakna bahwa hak

patut dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, sehingga ketika mencabut

atau mengurangi hak-hak individu, maka pemerintah berkewajiban mematuhi

persyaratan hukum yang konstitusional.

Pemerintah harus bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang tidak bersifat menindas, sewenang-wenang atau deskriminatif terhadap hak-

hak yang dimiliki tiap individu. Pelaksanaan hak-hak kodrati tiap individu tidak

terbatas kecuali oleh batas-batas yang menjamin hak-hak yang sama bagi individu

xxxv
lainnya. Batasan inilah yang hanya dapat ditetapkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin dan menghormati hak

asasi manusia, melindungi dan menegakkannya di setiap negara. Hak asasi

manusia dilindungi oleh negara dengan jalan merumuskannya dalam instrument

hukum agar manusia tidak akan terpaksa untuk memilih jalan pemberontakan

sebagai upaya terakhir menentang penindasan terhadap hak-hak kodrati yang

dimilikinya.

Berdasarkan paparan di atas, maka teori hak kodrati memiliki andil besar

sebagai landasan awal dalam perlindungan hak asasi manusia. Namun hal ini

bukan berarti bahwa teori hak kodrati diterima secara penuh sebagaimana konsep

awalnya, melainkan juga terdapat batasan konkret terhadap pelaksanaannya

sebagai bentuk perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia melalui

instrument hukum yang berlaku di setiap negara yang merupakan pengaruh dari

teori hak asasi manusia dari aliran positivisme.

Teori hak asasi manusia ini digunakan penulis untuk membahas rumusan

masalah pertama terutama dalam membahas relevansi perlindungan hak asasi

manusia dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyangkut jual

beli organ tubuh manusia. Teori ini juga digunakan untuk membahas rumusan

masalah kedua, terutama mengenai urgensi perlindungan hak asasi manusia terkait

jual beli organ tubuh manusia dalam pembaharuan hukum pidana terutama RUU-

KUHP Nasional.

2) Teori harmonisasi norma hukum

xxxvi
Penggagas dari harmonisasi hukum adalah Rudolf Stammler. Ia

mengemukakan suatu konsep fungsi hukum bahwa tujuan atau fungsi hukum

adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu

dengan individu dan antara individu dan masyarakat. Dikatakan oleh Rudolf

Stammler bahwa “a just law aims at harmonizing individual purposes with that of

society”.33

Menurut Kelsen, kekhasan hukum yang menjadikannya bisa mengatur

penciptaannya sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan norma yang hanya mengatur

prosedur pembuatan norma lain. Keabsahan norma baru dapat dinilai dari

terciptanya norma ditentukan oleh norma lain. Hubungan antara norma yang

mengatur penciptaan norma lain dan dan norma yang diciptakan sesuai dengan

norma yang pertama bisa dikemukakan secara kiasan sebagai hubungan antara

superordinasi dan subordinasi. Norma yang mengatur penciptaan norma lain

berkedudukan lebih tinggi, norma yang diciptakan sesuai dengan norma yang

disebut pertama itu berkedudukan lebih rendah. 34

Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma terkoordinir yang

berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum dengan berbagai

jenjang. Kesatuannya diwujudkan oleh kaitan yang tercipta dari fakta bahwa

keabsahan suatu norma, yang diciptakan sesuai dengan norma lain, bersandar

pada norma yang lain itu, yang penciptaannya pada gilirannya ditentukan oleh

norma yang ketiga. Ini merupakan regresi yang pada akhirnya berujung pada

33
Kusni Goesniadhie S, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan
yang Baik, A3 Nasa Media, Malang, h. 2.
34
Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media,
Bandung, h. 244.

xxxvii
norma dasar (Grundnorm) yang diandaikan keberadaannya. Karena itu, norma

dasar ini merupakan alasan tertinggi bagi keabsahan norma, norma yang satu

diciptakan sesuai dengan yang lain, dan dengan demikian terbentuklah sebuah

tatanan hukum dalam struktur hierarkisnya.35 Dengan kata lain, norma dasar yang

merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma, tidak lagi dibentuk oleh

suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh

masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma yang

berada dibawahnya.

Kejenjangan norma hukum secara umum menurut Hans Kelsen adalah

sebagai berikut, yakni:

1. Konstitusi

Menurut Kelsen, dalam tatanan hukum nasional, konstitusi merupakan

jenjang tertinggi hukum positif. Di sini, konstitusi dipahami dalam pengertian

material, yakni sebagai norma positif yang mengatur penciptaan norma-norma

hukum umum. Konstitusi bisa diciptakan oleh adat atau dengan tindakan tertentu

yang dilakukan oleh satu atau sekelompok individu melalui tindakan legislatif.

Dalam perkembangan terakhir, konstitusi selalu dirumuskan dalam dokumen yang

disebut konstitusi tertulis, sedangkan konstitusi yang dimunculkan oleh tradisi

disebut dengan konstitusi tak tertulis. Norma konstitusi yang tidak tertulis bisa

dikodifikasikan dan jika kodifikasi ini merupakan karya dari organ pencipta

35
Ibid.

xxxviii
hukum dan memiliki kekuatan yang sifatnya mengikat, maka akan ia menjadi

konstitusi tertulis.36

2. Norma umum yang diciptakan melalui legislasi dan tradisi

Tingkatan di bawahnya lagi dalam hierarki, setelah konstitusi, adalah

norma-norma umum yang diciptakan melalui legislasi atau tradisi. Konstitusi

negara modern membentuk organ-organ legislatif khusus yang diberi wewenang

untuk menciptakan norma-norma umum yang harus diterapkan oleh pengadilan

atau organ pemerintahan. Tingkatan penciptaan konstitusi disusul dengan

tingkatan penciptaan undang-undang biasa yang pada gilirannya disusul oleh

tingkatan prosedur pengadilan dan administrasi. Namun demikian, tidak selalu

harus ada tiga tingkatan. Ada kemungkinan bahwa konstitusi tidak menciptakan

organ legislatif khusus, namun langsung memberi wewenang kepada pengadilan

dan organ pemerintah untuk menciptakan sendiri norma-norma yang menurut

mereka arif atau adil untuk diterapkan dalam kasus-kasus konkret.37

Hans Nawiasky mengembangkan teori yang dipaparkan Kelsen tersebut.

Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Algemeine Rechtlehre mengemukakan

bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun

selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku,

berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi

berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada

norma yang paling tertinggi yang disebut dengan norma dasar. Tetapi Nawiasky

juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,

36
Ibid.
37
Ibid., h. 247.

xxxix
norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Dengan

demikian, Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum suatu negara ke

dalam 4 (empat) kelompok besar, yakni:

Kelompok I : norma fundamental negara (staatfundamentalnorm)

Kelompok II : aturan dasar atau pokok negara (staatgrundgesetz)

Kelompok III : undang-undang formal (formellgesetz)

Kelompok IV : aturan pelaksana dan aturan otonom (verordnug & autonome

satsug)

Norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) merupakan dasar bagi

pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara termasuk norma

pengubahannya. Hakekat hukum bagi suatu staatfundamentalnorm merupakan

syarat bagi berlakunya konstitusi atau undang-undang dasar. Ia telah ada terlebih

dahulu sebelum ada konstitusi atau undang-undang dasar. Staatfundamentalnorm

ini sama dengan norma dasar yang disebut grundnorm oleh Hans Kelsen,

sehingga keberadaannya tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya.

Aturan dasar atau pokok negara (staatgrundgesetz) merupakan kelompok

norma hukum dibawah norma fundamental negara. Norma-norma dari aturan

dasar negara masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang

bersifat garis besar. Hal ini berarti staatgrundgesetz masih merupakan norma

tunggal dan belum disertai norma sekunder. Di dalam setiap aturan dasar/pokok

negara biasanya daitur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara dipuncak

xl
pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan antara lembaga-lembaga tinggi

negara serta diatur hubungan antara negara dengan warga negara.38

Undang-undang (formellgesetz) merupakan kelompok norma yang berada

di bawah aturan dasar/pokok negara. Norma dalam undang-undang sudah

merupakan norma hukum yang bersifat konkrit dan terperinci serta sudah

langsung berlaku dalam masyarakat ketika diundangkan. Norma hukum dalam

undang-undang sudah mencantumkan norma-norma yang berisi sanksi baik sanksi

pidana maupun sanksi perdata serta administrasi. Selain itu undang-undang

berbeda dengan aturan lainnya, karena suatu undang-undang merupakan norma-

norma hukum yang selalu dibentuk oleh lembaga legislatif.39

Peraturan pelaksana dan peraturan otonom (verondnung und autonome

satzung) merupakan peraturan yang ada di bawah undang-undang yang berfungsi

sebagai penyelenggara ketentuan dalam undang-undang, dimana peraturan

pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom

berasal dari kewenangan atribusi.

Secara sederhana, menurut teori ini apabila terjadi konflik antara norma

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dan norma peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, maka norma yang lebih tinggi akan

mengesampingkan norma yang lebih rendah. Tentang hal ini Hans Kelsen juga

mengatakan: “a conflict can occur between a norm of a higher level and a norm

38
Andi Fauziah Nurul Utami, 2013, “Analisis Hukum Kedudukan TAP MPR RI dalam
Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, (Skripsi) Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
39
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 28-35.

xli
of a lower level, when the positing at the two norms does not co-inside in time.”40

Dalam hal ini, fungsi dari norma yang lebih tinggi menyebabkan kekuatan berlaku

dari norma yang lebih rendah menjadi hilang atau, “… derogation, the repeal at

the validity at a norm by another norm.”41

Terkait dengan hal di atas, LM. Gandhi memberikan pemikiran bahwa

harmonisasi hukum mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan,

keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum,

dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan

mengorbankan pluralisme hukum.42

Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum sebagai suatu

upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal

yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk

merealisasi keselerasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan di

antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai

suatu sistem hukum dalam suatu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.43

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik unsur-unsur yang membangun

atau mengkonstruksi teori harmonisasi hukum sebagai berikut.

a. Penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,


keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum.
b. Dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum,
kesebandingan kegunaan dan keadilan.

40
Hans Kelsen, 1991, General Theory of Norms, Clarendon Press, Oxford, h. 125.
41
Hans Kelsen, 1991, Ibid., h. 106.
42
LM. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam: Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia
Umum), Kansius, Yogyakarta, h. 88.
43
Kusni Goesniadhie S, op. cit., h. 2-3.

xlii
c. Kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme
hukum.
d. Keseimbangan, kesatuan, keselarasan, keserasian dan kecocokan
peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal.44

Apabila terjadi ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum

lainnya, maka hal inilah yang disebut dengan disharmonisasi hukum. Menurut

Sidharta, terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya

disharmonisasi hukum, yakni:

1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dari segi formal peraturan


yakni peraturan yang hirarkinya lebih rendah bertentangan dengan
hirarki peraturan yang lebih tinggi.
2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu yakni beberapa
peraturan yang secara hirarkis sejajar tapi yang satu lebih dulu berlaku
daripada yang lain.
3. Terjadinya inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi
peraturan, yakni beberapa peraturan yang secara hirarkis sejajar tetapi
substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi
peraturan lainnya.
4. Terjadinya inkonsistensi secara horizontal dari substansi dalam suatu
peraturan yang sama.
5. Terjadinya inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berlaku.45

Teori ini akan digunakan penulis dalam menganalisis rumusan masalah

pertama, terutama mengenai pengaturan jual beli organ tubuh manusia yang masih

mengalami konflik norma secara vertikal yakni antara UU Kesehatan dan PP

Bedah Mayat dan Transplantasi. Teori harmonisasi norma menunjukkan bahwa

pengaturan jual beli organ tubuh memiliki sifat berjenjang, namun eksistensi

peraturan-peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang

memiliki jenjang lebih tinggi.


44
I Gede Artha, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas dan Upaya Hukumnya bagi
Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Disertasi Program Doktor
Universitas Brawijaya, Malang), h. 192.
45
Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia
(Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia),
Kementrian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM
kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resource Management Project II, h. 62-64.

xliii
2) Teori hukum progresif

Teori ini dikampanyekan oleh Satjipto Rahardjo yang bertolak dari dua

komponen dasar dalam hukum yakni peraturan dan perilaku (rules and

behavior).46 Hukum progresif berpangkal dari asumsi dasar bahwa hukum adalah

untuk manusia, bukan sebaliknya.47 Berangkat dari asumsi ini, maka kehadiran

hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan

besar, itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan dalam hukum, maka hukumlah

yang harus ditijau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk

dimasukkan ke dalam skema hukum.48

Hukum progresif juga berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum bukan

merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam

proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).49 Terkait

dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa:

“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah
dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
kesempurnaan di sini bias diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat „hukum yang
selalu dalam proses menjadi‟ (law as a process, law in the making). Hukum tidak
ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.”50

Berdasarkan hal di atas, ketika terjadi perubahan dalam masyarakat sedangkan

teks-teks hukum tidak mengikuti alur perubahan nilai-nilai dalam masyarakat,

maka seharusnya penegak hukum tidak hanya berpedoman pada hukum yang

46
Satjipto Rahardjo, “Menuju Produk Hukum Progresif” Makalah disampaikan dalam Diskusi
Terbatas yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Juni 2004.
47
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,
Vol. 1/No. 1/ April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, h. 5. Lihat juga Satjipto Rahardjo, 2006,
Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h. IX.
48
Ibid.
49
Ibid., h. 6.
50
Ibid.

xliv
sudah tidak relevan tersebut. Pemikiran yang terbuka dengan melihat keadaan

sosial masyarakat yang sedang berubah ssangat mutlak diperlukan dalam

membuat keputusan-keputusan hukum. Hal ini bukan hanya menjadi

pertimbangan bagi penegak hukum, melainkan para legislatif yang seyogyanya

mengemban tugas sentral sebagai pembentuk undang-undang.

Teori hukum progresif digunakan penulis dalam mengkaji rumusan

masalah 1. Konflik norma yang terjadi dalam hukum positif saat ini

mengindikasikan adanya pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat sehingga

diperlukannya terobosan-terobosan yuridis terhadap hukum yang tidak relevan

dengan kehidupan masyarakat, baik oleh legislator, pemerintah, maupun aparat

penegak hukum.

3) Teori kebijakan hukum pidana

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal

(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana

yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana

pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik

atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan

hukum (law enforcement policy).51

51
Barda Nawawi Arief II, Op.Cit., h. 24.

xlv
Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana

mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan

pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,

dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.52 Sama halnya dengan

pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan

suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.53

Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah

garis kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah

atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.54

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal

merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi

atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

52
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat
Sudarto II), h. 153.
53
Barda Nawawi Arief II, Op.Cit., h. 23.
54
Barda Nawawi Arief II, Loc.Cit.

xlvi
Terkait dengan rumusan masalah kedua dalam penelitian ini, maka penulis

lebih memfokuskan pada penal policy yang fungsionalisasinya dalam tahap

formulasi. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas

aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat

legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal

policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan

strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan

kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.55

1.7.2. Kerangka Berpikir

Salah satu langkah awal dalam memahami suatu karya tulis ilmiah adalah

dengan melihat kerangka berpikir penulis dalam melakukan penelitian. Kerangka

merupakan penjelasan sementara terhadap suatu gejala yang menjadi objek

permasalahan dalam suatu penelitian ilmiah. Kerangka berpikir disusun dengan

berdasarkan pada tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan atau terkait.

Dengan adanya kerangka berpikir dalam suatu penulisan karya ilmiah, maka dapat

dijelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Kerangka

berpikir dapat disajikan dalam bentuk pola atau skema yang menunjukkan arah

berpikir penulis dalam mengkaji dan menganalisis suatu permasalahan yang

diangkat di dalam karya tulis tersebut. Berikut disajikan kerangka berpikir penulis

dalam bentuk skema di bawah ini.

55
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h. 78-79.

xlvii
TINDAK PIDANA JUAL BELI ORGAN TUBUH MANUSIA DALAM
PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

- Pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat terkait transplantasi organ tubuh manusia ke
arah komersialisasi terhadap organ tubuh manusia
- Permasalahan norma dalam hukum positif Indonesia terkait jual beli organ tubuh manusia
(norma konflik antara UU Kesehatan dengan PP Bedah Mayat dan Transplantasi)
- Diperlukannya solusi untuk mengatasi permasalahan norma yang terjadi dalam pengaturan
jual beli organ tubuh manusia di Indonesia

Bagaimana pengaturan terkait jual beli terhadap Bagaimana kebijakan formulasi terkait
organ tubuh manusia dalam peraturan pengaturan jual beli organ tubuh manusia dalam
perundang-undangan Indonesia? pembaharuan hukum pidana Indonesia?

1. Teori hak asasi manusia 1. Teori hak asasi manusia


2. Teori harmonisasi norma hukum 2. Teori kebijakan hukum pidana
3. Teori hukum progresif 3. Konsep negara hukum
4. Konsep negara hukum 4. Asas pembangunan dalam kesehatan
5. Konsep hak asasi manusia terkait hak
atas tubuh
6. Asas preferensi hukum

Metode Penelitian

Permasalahan norma (norma kabur dan norma Rekonstruksi norma melalui re-orientasi dan
konflik) dapat diatasi sehingga tahap aplikasi reformulasi terhadap aturan terkait jual beli organ
terhadap aturan terkait jual beli organ tubuh tubuh manusia sesuai dengan urgensinya bagi
manusia dapat berjalan dengan baik kehidupan masyarakat

Jual beli organ tubuh manusia di Indonesia diatur dalam RUU-KUHP Nasional merumuskan tindak pidana jual
UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak, PP Bedah beli organ tubuh manusia secara implisit yakni
Mayat, dan secara implisit di UU PTPPO. perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan
Disharmonisasi norma yang terjadi dapat diatasi dengan transplantasi organ tubuh. RUU-KUHP Nasional belum
menerapkan asas lex superior derogate legi inferiori mencerminkan hakikat dari pembaharuan hukum
dengan mengacu pada teori harmonisasi norma hukum. pidana nasional, serta belum mewujudkan kodifikasi
hukum pidana nasional di Indonesia.

Agar badan legislatif mengadakan pencabutan pasal Agar badan legislatif melakukan formulasi jual beli i
yang mengalami disharmonisasi norma. Agar badan organ tubuh manusia secara eksplisit, tegas, jelas, dan
eksekutif dan aparat penegak hukum mengoptimalkan terang dalam RUU-KUHP Nasional agar dapat
upaya non penal untuk menunjang sarana penal dalam mewujudkan hakikat pembaharuan dan kodifikasi
penanggulangan jual beli organ tubuh manusia di hukum pidana nasional.
Indonesia

xlviii
1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum

normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini

menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas

dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.56 Penelitian

hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan

dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik (geschijld van normen)

yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan yang hendak

diteliti. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (the

statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan perbandingan

(comparative approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical &

conseptual approach).

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam

penelitian ini.57 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada

56
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
57
Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302.

xlix
peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan

tindak pidana jual beli terhadap organ tubuh manusia. Pendekatan perbandingan

digunakan berdasasrkan perbandingan dua sistem hukum yang berbeda dengan

tujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan sistem hukum negara satu

dengan negara lainnya, kemudian menjadi dasar rujukan pembaharuan hukum di

suatu negara menjadi lebih baik. Pendekatan fakta digunakan berdasarkan pada

fakta atau kenyataan aktual yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan jual beli

terhadap organ tubuh manusia. Pendekatan analisis konsep hukum digunakan

untuk memahami konsep-konsep aturan tentang tindak pidana jual beli terhadap

organ tubuh manusia di Indonesia.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :

1. Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer yang dimaksud penulis merujuk pada

pengertian dalam penjelasan berikut, yakni “Primary sources of law are those

recorded rules which will be enforced by the state. They maybe found in decisions

of appellate courts, statues passed by legislatores, executive decrees, and

regulations and rulling of administrative agencies58. Dari uraian tersebut maka

yang dimaksud dengan sumber hukum primer adalah peraturan tertulis yang akan

diberlakukan dalam suatu Negara. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam putusan

pengadilan banding, aturan yang disahkan oleh legislator, keputusan lembaga

eksekutif, peraturan dan tata tertib lembaga admisnistratif. Sumber bahan hukum

58
Moris L. Cohen dan Kent C. Olson, 1992, Legal Reasearch Nutshell, West Group
Publishing, St. Paul Minn, h. 3.

l
primer terdiri dari asas dan norma hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini

dapat berupa: Peraturan Dasar, Konvensi Ketatanegaraan, Peraturan Perundang-

Undangan, putusan pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara. Sumber bahan

hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 127 Tahun 1958).

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor

Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

3. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5063).

4. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4720).

5. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun

2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-

li
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 237,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946).

6. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat

Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau

Jaringan Tubuh Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1981 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3195).

2. Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik

literatur-literatur hukum (buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang

berpengaruh (de hersender leer)), jurnal-jurnal hukum atau pandangan ahli hukum

yang termuat dalam media massa ataupun elektronik, kamus dan ensiklopedi

hukum, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via

internet dengan menyebut nama situs (situs resmi).59

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang

59
Ibid., h. 31.

lii
relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan

yang dibahas dalam penulisan tesis ini.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis untuk menganalisis

bahan-bahan hukum yang telah terkumpul. Teknik analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi,

interpretasi, sistematisasi.

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti penggambaran uraian apa adanya terhadap

suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam

hubungannya antara proposisi dan proses berkaitan erat dengan kebenaran dan

kevalidan suatu hal (sah/tidak), it is useful to observe and to maintain the key

distinction between the truth of a proposition or conclusion on the one hand, and

the validity of the process of argument on the other.60

Teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan

melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario). Teknik interpretasi

berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran

gramatikal, historis, sistematis, teleologis, konstektual, dan lain-lain. Teknik

evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,

benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,

proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan

primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

60
Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan Press LTD, London, h. 14.

liii
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argument makin

menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa

upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara

peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak

sederajat.

liv

Anda mungkin juga menyukai