Anda di halaman 1dari 13

“Ma, tau enggak, tadi ulangan kimia aku dapet 100!


Kalimat itu yang pertama kali Hwang Yeji ucapkan, ketika ia sampai ke dalam rumah
dan melepaskan sepatunya. Wajahnya masih berseri-seri bak hangatnya matahari,
sebuah senyuman manis masih terpatri. Setengah dari hatinya yakin dan berharap ia
akan mendapat apresiasi setimpal—ia sudah belajar mati-matian untuk ujian akhir,
dan dari lubuk hati milik seorang Yeji yang berumur enam belas tahun, sesering
apapun ia mencoba mengelak, masih ada keinginan besar untuk mendapat
pengakuan dari orangtuanya.
Kamu harus belajar untuk diri kamu sendiri, semuanya hanya untuk kamu.
Omong kosong.

“Mamaa?”
“Ma?”
Sampai ia masuk ke ruang keluarga, tak terdengar suara yang menjawab
panggilannya, hampir terasa seperti ia hanya berbicara dengan dinding, hening.
Lengang seperti lorong sekolahnya saat ia datang terlalu pagi. Nyaris ia duga bahwa
ibundanya sedang tidak berada di rumah, sampai ketika ia mendengar geraman
frustrasi dari suara feminim yang Yeji yakin milik ibunya. Tak ada lagi wanita di
rumah selain dirinya dan sang ibu.
Yeji mengernyitkan alis, melepaskan tas ranselnya dari pundak untuk diletakkan di
gantungan, tungkainya berjalan untuk mencari sumber suara ibunya, nampaknya
wanita itu sedang berada di kamar tidur. Pintu kayu dari kamar itu tak tertutup
rapat, mudah terbuka saat lengan Yeji mendorong benda itu agar tubuhnya bisa
masuk ke dalam ruangan tidur.
Melukis lagi senyum yang tadi sempat hilang, ia datang dengan wajah berseri-seri,
masih dengan kertas putih berisi soal-soal dengan tinta merah diujung kanan atas
bertulis angka satu dan dua kosong, dalam genggamannya.
“Ma, lihat deh, nilai ak—”
“Yeji, tunggu dulu. Hyunjin keningnya sedang agak panas. Gimana, Hyunjin? Kamu
yakin, masih mau sekolah besok? Ya, kamu enggak panas-panas amat, sih, tapi
masih hangat.”
Ternyata, tidak ada yang berubah. Yeji yang cukup bodoh untuk mengira bahwa akan
ada yang berubah bahkan sedikit pun, tapi, dia bisa apa?
“B-bentar Ma, coba lihat dulu, aku dapat nilai seratus di pelajaran, sedangkan
sebagian besar murid di kelas nilainya dibawah batas minimal, dan aku dapat
seratus, Ma, seratus.”
Kata terakhir keluar dengan sendu, seakan-akan, makin ia berbicara, maka makin
tersayat lidahnya. Matanya tak sedikitpun melirik ke Hyunjin yang sekarang sedang
menatap kembaran satu-satunya itu dengan sorotan khawatir.
“Sudah Mama bilang, Mama mau urus Hyunjin dulu, tadi habis dia pulang sekolah
keningnya agak hangat—”
Yeji mengatupkan bibir, mengepalkan tangan, senyuman berseri sudah memudar
sepenuhnya, sinar positifnya hilang menjadi kabut-kabut penuh iri tak tertahan.
Tanpa ragu, ia merampas thermometer ramping itu dari genggaman ibunya,
membuat dua bola mata ibundanya melebar kaget. “Hey, Yeji—”
“Tiga puluh tujuh koma lima.” Gadis itu mendengus pasca membaca suhu yang
tertulis di alat elektronik pengukur suhu berwarna biru tersebut. “Bukankah itu suhu
yang tak terlalu parah, cukup normal untuk manusia biasa? Oh, apa karena Hyunjin
bukan manusia biasa, jadi sekarang ini menjadi sebuah tragedi?”
Sekarang gadis itu menatap sosok yang wajahnya bagai dibelah pinang yang
terduduk dihadapannya, wajahnya terlampau polos dan tak menunjukkan murka,
meski Yeji yakin seharusnya anak itu bisa mendengar kalimatnya lewat dua buah alat
bantu pendengaran yang berada di kedua telinganya.
Terbalik dengan wajah Mama mereka yang sekarang memerah, pipi yang
mengembang itu mengandung amarah. Kalimat tajam yang diutarakan Yeji padahal
bukan untuk sang ibunda, melainkan untuk saudara kembarnya yang sekarang
hanya bisa menatap Yeji dan Mama bergantian dengan sorot mata murninya.
“HWANG YEJI!”
“Apa, Ma?”
Jari telunjuk Mama nya dihadapkan tepat ke wajah Yeji, dan gadis itu tahu kalau
ibunya sudah menggunakan jari telunjuk ditambah nama panjangnya, pasti amarah
sedang meletup-letup di nurani.
“Berhenti, berhenti menggunakan kalimat-kalimat tajam dan sinis ke Hyunjin.
Kamu punya hati, enggak? Jangan sekali-kali anggap Hyunjin berbeda, karena pada
dasarnya ia juga manusia! Kamu mau apa sih sebenarnya?”
Hati Yeji tak kalah dongkol, kertas ulangan digenggamannya ia remas, ia yakin
sekarang kertas itu sudah lecek dan berkerut-kerut nyaris rusak. Tapi ia tak peduli,
emosinya terlalu besar, melampaui semua batas-batas moral.
“Aku cuman mau kasih tahu Mama soal prestasi aku!”
“Ya, kamu bisa tunggu nanti! Mama sedang ngurus kembaran kamu, nanti sore kan
bisa? Lagian, kamu mau apa? Kalau hadiah nanti tinggal Mama beli, tapi karena
kamu enggak menghormati saudara kamu lagi, Mama enggak akan kasih hadiah apa-
apa. Ponsel kamu Mama sita. Sekarang, balik ke kamar kamu! Dan minta maaf ke
Hyunjin!”
“Hadiah? Aku enggak mau hadiah! Aku cuman mau apresiasi Mama, as simple as
that!” suara Yeji begitu keras, dan ia pergi dari kamar tersebut tanpa aba-aba.
Sedangkan Hyunjin hanya bisa menatap dengan mata sendu dan tangan yang
gemetar, sekarang ia sadar alasan mengapa saudara kembarnya begitu terbakar
emosi. Rasa bersalah mulai mengalir di tubuhnya, dan ia tergerak untuk berdiri dan
mengejar saudara satu-satunya.
“Hyunjin? Kenapa berdiri? Mama belum kasih kamu apa-apa—”
“Enggak apa-apa, Ma.” Jemarinya bergerak-gerak membentuk bahasa isyarat, dan
Mama hanya bisa mengangguk lemah, menatap tubuh anak lelakinya yang keluar
dari kamar, sekaligus menahan gumpalan sesak yang muncul setelah kepergian Yeji
barusan.

Kamar Yeji masih berada dalam rumah yang sama dengan rumah yang Hyunjin
pijaki selama bertahun-tahun, tapi rasanya tetap asing. Dinding biru muda, lampu-
lampu tumblr, poster-poster dari band favoritnya yang ditempel leluasa di dinding,
rasanya baru, hampir seperti dirinya tak pernah memijak kamar milik saudarinya.
Dan.. memang sudah terlampau lama sejak ia memasuki kawasan pribadi tersebut.
Yeji selalu menghalang dan menahan tiap dirinya mencoba membuka pintu, seakan-
akan ruangan itu area terlarang.
“Ekhm.”
Hyunjin mengeluarkan batuk kecil, agar Yeji yang sedang berada di kasur, kepala
tersembunyi dibawah bantal, tubuh dibalut selimut menyadari kehadirannya. Tidak
mungkin jika ia menggunakan bahasa isyarat yang sunyi, kalau netra Yeji tak
menghadapnya.
“Siapa?” Yeji menggumam, suaranya serak habis menangis, kasurnya sedikit berair
terkena tetes-tetes air mata yang jatuh dan terserap oleh seprei kasur.
Hyunjin menelan ludah. “H-hyun-j-ji—”
Kalimat itu seperti pemantik api, dan Yeji-lah apinya. Suara Hyunjin, saudara
kembarnya yang tuli, dan anak itu sedang berusaha keras untuk mengeja namanya
sendiri.
“Hyunjin? Apa? Kamu mau apalagi kesini?”
“Aku.. mau minta maaf.”
Yeji mungkin menghabiskan bertahun-tahun untuk mengabaikan dan tidak
menyukai saudara satu-satunya, tapi jauh sebelum itu terjadi, jauh saat semuanya
masih dekat tanpa pembatas, gadis itu pernah menghafalkan bahasa isyarat. Meski
terkadang ia harap memorinya atas bahasa itu akan usang sehingga ia tidak perlu
lagi berbicara dengan Hyunjin, otaknya masih terus menyimpan bahasa spesial
tersebut.
“Enggak usah minta maaf, kamu enggak salah. Aku yang salah. Karena di rumah ini
selalu Hwang Yeji yang salah, hanya aku. Apapun yang kamu katakan gak akan
berpengaruh, karena pada akhirnya akan selalu aku yang salah.” Kalimat itu keluar
dengan berantakan dan tergesa-gesa, lengkap dengan suara serak dan air mata yang
tertahan.
Selama bertahun-tahun, yang Hyunjin inginkan hanya menyentuh bahu gadis yang
lahir beberapa detik setelahnya itu, lanjut dengan merangkulnya, membawa gadis itu
dalam pelukan yang hangat—mungkin ia tak akan bisa merangkai kata-kata puitis
melankolis dan secara vokal menyuarakannya, tapi sebisa mungkin ia ingin
membuat Yeji nyaman, menghentikan butir-butiran cair yang menetes dari dua
manik cantiknya itu. Membuat dia bahagia.
Tapi bisakah ia melakukan semua itu sekarang, jikalau pemantik api yang membakar
sudut-sudut relung hati saudarinya adalah dirinya sendiri?
“Aku enggak sakit, aku enggak perlu diobatin Mama. Oh iya, nilai kamu keren
banget, aku yakin Mama pasti bangga. Aku juga bangga sama kamu.”
“Bullshit!”
Kalimat menggertak Yeji barusan membuat Hyunjin tersentak, menelan ludah
gugup. Mata Yeji masih sembab, berkaca-kaca bekas menangis, dan dua manik itu
menatap Hyunjin sendu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Bilang itu ke Mama. Atau ke almarhum Papa.”
Hyunjin menggigit bibirnya mendengar kalimat terakhir, memori-memori datang ke
otak bagai kilatan petir pada hujan yang deras pada malam minggu yang gelap.
“Hari-hari terakhir bersama Papa, perhatian dia lebih banyak tertuju pada kamu,
Hyunjin. Aku tahu dia pada saat-saat itu sudah lemah, dan sebisa mungkin aku ingin
bersama dia, aku mau cerita tentang semua yang terjadi di sekolah, tentang teman-
teman aku, tentang prestasi aku, tentang betapa aku sayang Papa…”
“…Tapi matanya lebih sering tertuju pada kamu. Ke aku, dia hanya senyum dan
sedikit tertawa, mengangguk-angguk seperlunya. Dan kamu? Kamu dapat semua
kasih sayang di dunia dari mereka. Dikit-dikit dapat pelukan, bagaimana rasanya
menjadi bintang paling terang di rumah ini, Hyunjin?”
Yeji tahu. Yeji tahu kalimatnya menusuk, menusuk dalam, dan dalam rentetan
peristiwa yang terjadi, tak satupun kehendak Hyunjin. Dalam hati terdalam, Yeji
tahu kalimatnya terlalu kejam untuk ditujukan kepada seorang remaja berumur
enam belas tahun yang ditakdirkan untuk lahir dengan gangguan pendengaran.
Rasanya Yeji ingin mengambil dua buah hearing aid di telinga Hyunjin agar anak itu
tidak harus mendengar pahitnya kalimat-kalimat yang ia utarakan. Agar ia bisa
mengeluarkan emosi kelabunya dengan bebas, menebas semua batas, tapi tak usah
saudaranya mendengar dan meresapi kalimat menyayat tersebut dalam hati.
Hyunjin tak bergeming, matanya layu.
“Yeji.. maaf..”
“Aku enggak peduli, Hyunjin! Just.. get out!”
Hwang Hyunjin keluar dari kamar saudarinya dengan hati tersayat, tangan yang
bergetar, dan kaki lemas yang bisa jatuh kapan saja.
Tapi ia masih mendamba suatu hari ketika Yeji bisa memaafkannya, suatu hari
ketika sebuah pelukan bisa ia beri kepada sang gadis tanpa satupun teriak atau
amarah.

Suatu hari pasti bisa, bukan?

Satu lagi hal yang tak bisa Yeji bantah adalah Hyunjin memang lovable. Yeji
cenderung dingin dan tertutup, tapi Hyunjin selalu mencoba untuk berinteraksi
dengan orang-orang disekitar, meski dengan keterbatasan yang ia punya. Biasanya,
untuk kerabat atau teman yang tak bisa menggunakan bahasa isyarat, ia selalu
membawa notes kecil untuk berkomunikasi dengan mereka.
“Yeji,”
“Apa?” Gadis itu tak membawa sorot matanya menatap Hyunjin, matanya fokus
kepada rangkuman pelajaran yang telah ia buat tadi malam.
“Hari ini kamu ulangan Matematika, ya? Semangat, aku yakin pasti kamu akan
mendapat nilai menakjubkan seperti biasa.”
Sesaat Yeji menatap Hyunjin, untuk kemudian mengabaikannya lagi. “Hmm, ya.”
Hyunjin tersenyum ketika kalimatnya dijawab oleh sang saudari. Boro-boro
berharap Yeji akan mengucapkan terima kasih atau mengucapkannya balik, jawaban
dingin seperti itu sudah cukup memuaskan dirinya.
“Anak-anak, sepertinya sudah waktunya kalian berangkat sekolah.” Mama
mengucapkan dari sofa, menatap dua anaknya bergantian.
“Oke, Ma.”
“Ya.”
Seperti biasa, menggunakan mobil milik Mama, sang kembar akan dibawa ke
sekolah menggunakan mobil silver kesayangan ibunda. Lagi-lagi, sepenuh
perjalanan kebanyakan dihabiskan dengan keheningan, Yeji yang masih fokus
menatap catatan, dan Hyunjin yang menatap pemandangan diluar. Musim gugur,
daun-daun menguning, berguguran, udara kota mulai mendingin. Jaket tak lupa
mereka pakai kepada diri, guna menghangatkan diri dari hembusan angin.
“Hyunjin, udah sampai di sekolah kamu.”
Hyunjin dan Yeji memang berada di sekolah yang berbeda. TIdak, Hyunjin tak
belajar di sekolah khusus anak yang berkebutuhan khusus, ia masih berada di
sekolah umum, hanya saja, entah kenapa ibunya membedakan sekolah mereka
berdua. Yeji kadang menduga sekolah Hyunjin lebih baik dari dirinya, karena itu
sekolah mereka dibedakan, tapi bagian otaknya yang masih waras mati-matian
meneriakinya agar berhenti mencari hal buruk dari orang lain.
Hyunjin tak banyak bicara, langsung turun dan berjalan menuju gerbang sekolahnya.
Terkadang Yeji berpikir, berapa banyak teman yang Hyunjin punya di sekolah itu.
Yeji tak pernah menjemput atau mengunjungi sekolah saudaranya, tapi ia menduga,
mungkin Hyunjin punya banyak teman. Bukankah orang-orang akan tertarik dengan
anak tersebut?
Wajah Hyunjin tampan, tapi juga manis. Hidungnya mancung, dagunya lancip. Ada
sedikit tahi lalat dibawah matanya, tapi kata Mama, tanda itu membuat Hyunjin
makin menggemaskan. Bibirnya sedikit tebal, lalu matanya selalu bersinar dengan
kehangatan yang membuat semesta tertarik kepadanya. Wajah mereka cukup
identik, tapi bagian dari diri Yeji merasa Hyunjin jauh lebih menarik dari dirinya.
Walapun, jika dipikir-pikir, Hyunjin jarang menceritakan secara detail perihal
kehidupan sekolahnya. Ia hanya pulang dengan senyuman terpatri di wajah,
mengangguk-angguk tiap Mama basa-basi menanyakan bagaimana hari mereka.
“Yeji, udah sampai.”
Gadis itu buyar dari lamunan, lalu membuka pintu mobil dan turun, memijak aspal.
“Semoga.. hari kamu baik, ya, Yeji.”
“Ya, makasih, Ma.”
Percakapan barusan terdengar terlalu canggung, tapi setelah Papa meninggal, Yeji
mulai mencoba mengerti bahwa dunia masih berputar—tapi ada beberapa hal yang
tak bisa sama persis seperti dulu lagi. Kadang ia mau menerima semuanya bulat-
bulat, tapi kadang ia hanya ingin menangis iri melihat Hyunjin yang mendapat
semua perhatian yang dari dulu ia dambakan.

..

“Yeji, jadi kan, nanti kerja kelompoknya di rumah kamu?”


Hati Yeji hampir melompat dari tubuhnya ketika ia merasakan sentuhan familiar di
bahu, dari suara yang ia terlalu hafal—suara hangat yang menempel di otaknya
begitu lekat, suara manis yang ia ingin lupakan dari nalar, tapi berujung dirinya
selalu jatuh lagi dan lagi.
“Ah—Seungmin, iya, jadi, apa kamu mau pulang.. bareng?” Yeji menengadahkan
kepalanya, mengalihkan fokus dari tugas sekolah menuju dua manik Seungmin yang
berwarna coklat yang gelapnya bersaing dengan hitam, senyuman simpul
diwajahnya yang membuat matanya mengkerut manis, dua tangannya dalam
kantung celana, dan badannya yang hanya terpisah beberapa senti dengan diri Yeji.
Semua yang terjadi selalu membuat gadis itu susah bernapas dengan prosedur yang
benar, Kim Seungmin selalu membawa hatinya berpacu cepat dengan waktu.
Katakan ini cinta monyet anak SMA, atau apapun itu, tapi Yeji menyukai—terlalu
menyukai pemuda dihadapannya sekarang. Mulai dari suaranya, matanya, lekukan
senyumnya, tawanya, sampai bagaimana ia bermain gitar, semuanya selalu
meluluhkan hatinya, membuat ia merasa bodoh untuk terlalu jatuh kepada lubang
kelinci yang dalam tanpa dasar.
“Ayo, kapan mau berangkatnya, sekarang?”
Yeji merapikan semua kertas dan tugas di mejanya, ia masukkan ke dalam folder
perlahan, lalu ia mengangguk dan menggenggam tangan kiri Seungmin.
“Sekarang.”

Bus sekolah berwarna kuning itu melaju menuju zona perumahan Yeji, dan
Seungmin tak tinggal diam di perjalanan itu, sibuk berbincang-bincang dan bertukar
canda dengan Yeji. Bisa dibilang, mereka teman yang cukup baik. Ini bukan pertama
kalinya Seungmin mengunjungi rumah Yeji, sebelumnya ia juga sering berkunjung
kasual; untuk bermain.
“Hyunjin ada di rumah, Ji?”
“Iyaa, ada, kayaknya sih dia udah pulang.” Mood Yeji sekarang terlalu bergelembung
dan meletup-letup senang untuk dihancurkan dengan sebutan nama saudara
kembarnya. Seungmin memang sudah kenal baik dengan Hyunjin, anak itu suka
mengobrol dengan Hyunjin dirumahnya. Bahkan ia sempat belajar beberapa bahasa
isyarat bersama Yeji untuk berinteraksi dengan kembar lelaki Yeji satu itu.
“Oh, oke,” jawabnya dengan nada ria.

Rumah Yeji sudah bukan lokasi asing lagi untuk Seungmin, apalagi orang-orang
didalamnya. Mama bahkan sudah lumayan akrab dengan Seungmin, menyambutnya
dengan hangat ketika mereka memencet bel guna membuka pintu.
“Selamat datang Yeji, oh, bareng sama Seungmin, ya?”
“Iya, Ma.”
“Hehe, halo Tante, aku izin masuk, ya?”
Nyonya Hwang menggeleng-geleng sembari menepuk bahu Seungmin pelan.
“Enggak perlu izin juga enggak papa, Seungmin. Temen kamu ramah banget ya,
Yeji.” Mama dan Seungmin berdua tertawa, tapi Yeji hanya terdiam malas.
“Kamu taro tasnya disini aja, Seung.” Yeji membawa jari telunjuknya kehadapan
sebuah sofa berwarna abu-abu, dan dia menggangguk, melepaskan tas ranselnya dari
bahu, pundaknya menjadi lebih bebas setelah beban tas itu hilang.
“Oke, mulai darimana?” Seungmin melepaskan karet yang mengikat kertas karton
yang ia bawa, gulungannya dibuka dan diluruskan untuk mempermudah tugas
mereka.
“Terserah, kan aku udah bikin sketsa kasarnya, nanti tinggal kita gambar berdua.
Aku bagian atas, kamu bagian bawah, deh. Deal?”
Seungmin mengangguk dan mengeluarkan lengkungan bibirnya yang khas, rautnya
seperti anak anjing sehabis diberi makanan favorit. Helai-helai rambutnya juga ikut
naik-turun, dan diam-diam, dalam hati Yeji kembali meluruh melihat figur
Seungmin yang menggemaskan—tapi tetap tampan tak terhingga.
Mereka mulai mengerjakan tugas, lisan terkunci, hanya ditemani alunan lagu-lagu
favorit Seungmin yang ia putar melalui ponselnya. Seungmin suka musik ballad
Korea, Yeji harus mencatat itu.
“Seungmin.. tolong ambilin aku penghapus dong,” pinta Yeji, masih fokus ke
ilustrasinya di kertas karton. Tanpa melihat wajahnya, ia langsung menerima ketika
ada tangan yang menyodori dirinya sebuah penghapus kecil.
“Makasih, Seungmin.”
“Makasih apaan? Aku enggak ngapa-ngapain.” Yeji mengernyitkan alis, lalu saat ia
menoleh ke kiri, Seungmin memang masih meletakkan fokusnya kepada bagian yang
sedang ia gambar.
“Loh—”
Saat Yeji menoleh ke kanan, ia terkejut melihat figur Hyunjin yang tersenyum dan
duduk disebelahnya, memerhatikan ilustrasi cantik yang Yeji buat.
“Gambar kamu bagus,”
“Apa sih, Hyunjin, enggak usah ganggu!”
Hampir seperti refleks, Seungmin melepaskan pensilnya dan menengadahkan kepala
tepat saat ia mendengar nama itu terucap dari lidah teman sekelompoknya.
“Hyunjin! Apa kabar?”
Mengasumsi bahwa Seungmin sudah mengerti sebagian dikit bahasa isyarat saat
waktu itu diajarkan Yeji, Hyunjin menjawab dengan pergerakan jemari.
“Baik.”
“Hyunjin, kamu enggak makan? Daripada disini cuman lihat-lihat kita,” ungkap Yeji,
masih fokus dengan ilustrasi.
“Aku udah makan, aku mau kesini aja. Kalau ada yang bisa aku bantu, aku mau.”
Yeji memutarkan bola mata, anak ini mulai keras kepala. Tapi sepertinya ia tak
punya alasan rasional lagi untuk mengusir Hyunjin, karena senyuman Seungmin
menunjukkan bahwa ia menyukai kehadiran kembaran satu-satunya itu.
“Ji, tadi dia ngomong apa?”
“Dia bilang, dia udah makan dan kalau ada yang bisa dia bantu, dia mau bantu kita,”
ucap Yeji datar. Seungmin mengangguk-angguk, lalu malah menatap Hyunjin dan
memanggilnya. “Ya udah, bantuin aku aja, Hyunjin.”
Yeji berhenti menggambar untuk sedetik. “Kok malah diajak?” Gadis itu membisik
pelan, tapi Seungmin hanya menjawab dengan mengedikkan bahu.
“Kan dia nanya, yaudah aku jawab, gimana sih.” Seungmin terkekeh, dan Yeji
menggeleng-geleng lalu lanjut menggambar. Baik, tak ada salahnya juga, apalagi
kalau Hyunjin membuat projek mereka lebih cepat selesai. Tak ada ruginya juga, toh.
Pada awalnya mereka berdua hening, tapi setelah Hyunjin datang, lisan Seungmin
tak lagi terkunci. Terkadang mereka berbincang dengan bahasa isyarat, atau kadang
Hyunjin menggunakan secarik kertas untuk menuliskan apa yang ada di pikirannya.
Sekali dua kali Seungmin tertawa, dan perasaan itu datang lagi merasuki benak,
menyetir perutnya membuat dirinya frustrasi.
“Apaan sih, Yeji. Mereka cuman ngobrol. Cuman ngobrol. Enggak ada unsur
romantisnya, friends do that all the time..” Gumam Yeji dengan volume yang
terlampau rendah untuk didengar siapapun di ruangan luas itu.
Tapi pikirannya mencoba melawan lagi. Bagaimana kalau dia memang tak
semenarik Hyunjin? Tentu, ini pasti salah dirinya. Salah dirinya yang terlalu
kekanakan, terlalu membosankan, terlalu kaku—
“Yeji, itu kamu salah ngegaris kayaknya deh, kenapa jadi panjang banget?” tanya
Seungmin dari ujung, memerhatikan garis yang digambar Yeji menjadi tak lurus.
Untung ia tak melihat ekspresi wajah Yeji yang sedang menahan segala lara.
“O-oh, itu, iya tadi aku enggak fokus, makasih udah diingetin, Seungmin.”
Seungmin tertawa meledek. “Tumben, enggak fokus. Lagi mikirin siapa?”
Kamu, bodoh.
“Enggak ada siapa-siapa, ih. Sana lanjutin, jangan kebanyakan bercanda juga sama
kembaran aku, nanti enggak selesai-selesai,” balas Yeji dengan nada humoris yang
dibuat-buat, karena nyatanya ia tak tahu ia sebenarnya sedang merasakan apa.
Untuk menyumbat suara dan mungkin bisa membersihkan benak Yeji dari pikiran-
pikiran negatif, ia mengambil earphone untuk mendengar lagu dari ponselnya
sendiri. Memisahkan diri dari Seungmin dan Hyunjin bersamaan dengan alunan
musik yang berlari-lari dalam telinganya.
Sorot matanya tak sekalipun ia pakai untuk menengok kearah mereka.
Aneh, tapi Yeji sangat merasa bahwa ia sekarang sedang menjadi orang ketiga.

“Kayaknya udah cukup deh, ini gambarnya. Tapi udah hampir malem, mendingan
kita warnain nya besok aja, gimana, setuju enggak, Seungmin?” Yeji berdiri,
mengobservasi karyanya dari atas sembari berkacak pinggang.
“Seungmin?” Yeji memanggil sekali lagi, tapi tak dijawab. Ia menggigit bibirnya
pelan ketika ia melihat Seungmin yang masih asyik berada disebelah Hyunjin,
matanya menatap figur Hyunjin yang sedang menulis kalimat di kertas.
Yeji menelan ludahnya, pikiran itu datang lagi. Tapi ia tak bisa menahan, ketika ia
melihat sorotan mata Seungmin yang sedalam palung mariana. Air mukanya
berbeda, bukan lagi Seungmin yang ia temui di kelas tiap hari, Seungmin yang ceria,
riang, dan jail. Binar matanya berbeda, kristal itu gemerlap dengan cara yang
abnormal. Seperti semburat matahari saat malam hari kepada sang bulan.
Yeji tak pernah melihat Seungmin menatap seseorang seperti ini.
Terlebih lagi, ketika tatapan itu ditujukan kepada saudara kembarnya yang sekarang
sedang fokus menulis di secarik kertas yang sudah ia robek dari buku tulis.
“Seungmin.”
“Kim Seungmin.”
Panggilan terakhir, baru lelaki itu sadar dari lamunan soliter miliknya. Ia
mengalihkan fokusnya lagi ke Yeji. “Ah, maaf Yeji, kenapa?”
Dalam hati Yeji ingin mengumpat, tapi ia melanjutkan kalimatnya dengan tenang
seolah-olah ia tak merasakan sesuatu yang ganjil dari hawa-hawa yang terpancar di
ruangan ini. “Aku tadi bilang, kayaknya kita cukup sampai sini, warnainnya besok
aja. Udah mau malam, nanti kamu dicari Nyonya Kim.”
“Oh, iya.” Seungmin tertawa, lalu membersihkan barang-barangnya dan
meletakkannya di tas ranselnya, setelah semuanya siap, ia menyampirkan tas itu ke
pundak.
“Mau aku.. anter ke depan?” ucap Yeji ragu-ragu.
“Ya, boleh. Anyway, makasih juga ya, Hyunjin! Kamu membantu banget loh tadi,
see you soon!” ucap Seungmin, melambai-lambaikan tangannya, lalu Hyunjin
merespons dengan hal yang sama persis. Yeji tak melewatkan seulas senyum yang
muncul di wajah Seungmin ketika Hyunjin membalas ucapan selamat tinggalnya.
Yeji dan Seungmin berjalan keluar dari area perumahan, agar Seungmin bisa
mendapatkan bis untuk balik ke rumahnya. Mereka berdua berjalan beriringan
dengan keheningan yang esensinya tak bisa dijelaskan; Yeji yang penuh pertanyaan
di benaknya dan Seungmin yang sedang menahan sebuah pernyataan.
“Tunggu.”
Yeji awalnya berjalan didepan, tapi kakinya berhenti ketika suara itu memanggilnya.
“Hm, kenapa?”
“A-aku.. Aku mau kasih tahu kamu sesuatu.”
Ini momen klise yang biasa ada di drama, bukan? Oh tapi tentu semua itu hanya
berada di fantasi. Yeji pernah membayangkan Seungmin mengucapkan kalimat itu
persis dan menyatakan rasa kepadanya, tapi situasi saat ini membuat Yeji sadar
semua itu hanya khayalan belaka. Fantasi yang akan tetap menjadi fantasi.
“Kenapa?” Yeji mencoba tersenyum santai, tak ingin Seungmin mendeteksi
kegelisahan yang gadis itu rasakan sejak sesi kerja kelompok barusan.
Seungmin makin mendekatkan tubuhnya ke Yeji, tapi ia tak lagi menahan napas
karena gugup. Yeji mencium bau-bau sebuah perubahan besar, dan ia sejatinya
belum siap mendengar apapun yang akan Seungmin katakan jika nantinya itu hanya
akan memecahkan hatinya menjadi serpihan lagi.
“Aku.. minta maaf.”
Permintaan maaf bukan permulaan yang baik.
“Atas?”
“Atas—atas..” Kalimat Seungmin terputus, rangkaian kata yang tepat sudah
terbayang di otaknya tapi lidahnya masih tak kuasa untuk berbicara.
“Jujur aja, Seungmin. Aku enggak akan menghakimi.”
Seungmin menghela napas panjang. Tangannya gemetar, dan dengan ragu-ragu, Yeji
memegang tangan itu dan ia elus perlahan, berharap dengan itu Seungmin akan
tenang.
Padahal ia juga butuh ditenangkan sekarang.
Tapi tindakannya terbukti berhasil, Seungmin jauh lebih rileks dan ia bisa
membentuk sebuah senyum samar, gemetarannya sudah tidak tampak lagi.
“It’s okay, Seungmin.”
“Yeji, janji jangan marah, jangan benci aku, jangan berubah, jangan menjauh dari
aku, ya?”
Berdegup. Jantungnya mulai berdegup cepat. Yeji mengangguk, meraba-raba ujung
bajunya, memprojeksikan rasa gugupnya atas apapun kalimat yang akan diutarakan
Seungmin beberapa detik setelah ini.
“Iya, janji.”
Seungmin tersenyum. “Janji?”
“Iya, Seungmin.”
Seungmin mengeratkan genggamannya di jemari porselen Yeji, dan untuk
sepersekian detik gadis itu berharap setelah ini akan ada sebuah pengakuan rasa
seperti di drama-drama dimana sang tokoh utama ternyata menyimpan perasaan
dalam untuk tokoh utama satu lagi.
Dan Yeji tidak salah. Persis itu yang terjadi. Hanya saja, Yeji menelan pil pahit
bahwa dia bukanlah sang tokoh utama. Entah di lingkaran keluarga, entah di dunia
Seungmin, ataupun di seluruh semesta alam sekalipun.
“You’re gonna hate me for this but.. Aku suka Hyunjin.”
Disitu, rasanya semua kotak-kotak kosong di benak Yeji yang tak sempat terisi
jawaban menjadi berwarna, menyimpan segala jawaban dalamnya. Semua benang-
benang yang terpisah langsung terjahit, menghubungkan satu kejadian dengan satu
kejadian lain. Yeji tak bergeming, untuk semenit, hatinya masih tak kuasa menjawab.
“Yeji—aku—”
“Jadi.. selama ini, kamu suka laki-laki?”
Bukan, bukan disitu titik masalahnya. Yeji punya beberapa teman penyuka sesama
jenis di lingkup sosial media, dan ia berteman dengan mereka layaknya teman biasa.
Yeji tak menganggap mereka aneh, sampah masyarakat, atau sebuah kekecewaan.
Tapi ini kasus yang berbeda. Ini soal sebuah bunga yang telah tumbuh di hati Yeji
begitu lama, dengan Seungmin yang menjadi air dan terik matahari yang menjaga
dan merawat bunga itu agar mekar selamanya. Ternyata, pada akhirnya bunga itu
layu karena Seungmin sendiri. Tapi tetap, yang salah tentu Yeji.
Perasaannya, lebih tepatnya.
“Iya, Yeji. Aku harap kamu enggak punya masalah dengan itu, aku selalu ingin kasih
tahu kamu, Yeji. Selalu. Tapi.. selama ini aku terlalu takut, aku takut kita enggak
akan jadi teman lagi sehabis ini..”
Yeji ingin menangis, tapi ia tak tahu jelasnya ia ingin menangisi soal perasaannya
yang bertepuk sebelah tangan atau soal bahwa lagi-lagi, Hyunjin yang mengambil
sosok berharga yang ia punya. Ia tak tahu.
Karena itu, Yeji hanya bisa memajukan tubuhnya, memeluk leher pemuda itu dan
membisikkan kalimat di telinganya. “Seungmin, aku enggak marah karena identitas
kamu. Justru, aku yang bilang makasih, karena kamu udah berani jujur. Aku bangga
sama kamu, Seungmin. Enggak peduli soal yang disebutkan sebelumnya, kamu tetap
keren. Temannya Hwang Yeji yang paling keren.”
Seungmin membalas pelukan itu, dan lelaki itu hampir menangis terharu. Yeji tahu,
pengakuan macam ini tak mudah dilakukan. Ia tak boleh menunjukkan satu pun
tanda bahwa ia sedih, ia tak ingin menunjukkan tanda bahwa selama ini ia
menganggap Seungmin lebih dari teman. Ini momen berharga. Yeji tak boleh
menghancurkannya.
“Maaf, Yeji, aku tahu kemungkinan perasaan ini dibalas kecil, dan aku sangat minta
maaf karena.. suka dengan kembaran kamu. I tried to hold it once I met him the first
time, but I guess you cant control feelings.. Tenang, aku enggak akan coba-coba
deketin atau ngapa-ngapain dia, he’s straight, right?”
“Setahu aku selama ini, iya..” Yeji hanya pernah sekali melihat Hyunjin
menunjukkan tanda-tanda ia menyukai seseorang. Kelas 8 SMP, kepada teman
sekelas perempuannya yang sering main ke rumah. Tapi, anak itu sekarang sudah
pindah rumah, jadi Yeji tak tahu-menahu lagi tentang kehidupan cinta milik
Hyunjin.
“Kalau gitu, besok aku coba lupain dia. I guess it’s just a stupid crush. Mungkin
enggak akan segampang itu.. tapi, aku akan coba.”
Sebuah situasi yang ironis. Seungmin yang mencoba melupakan Hyunjin, Yeji yang
mencoba melupakan Seungmin. Situasi yang klise menempatkan mereka kepada
sebuah segitiga. Dan yang lebih menakjubkan, ujung dari masalah ini.. Hyunjin.
Detik-detik ketika percakapan mereka selesai, setelah Yeji mengucapkan kalimat-
kalimat menguatkan, (Meski dalam hati ia hancur sendiri) Seungmin kembali
menaiki bis. Meninggalkan Yeji sendiri di pertigaan jalan yang kosong, dibawah
langit jingga yang sebentar lagi akan tersapu diganti kegelapan.
Sendiri.
Lutut Yeji lemas, bibirnya bergetar. Seungmin pergi, sekarang ia bisa menghilangkan
topeng perasaan yang ia pakai barusan. Yeji bisa merasakan butiran-butiran air itu
akan keluar dan turun lagi dari matanya, tapi tak boleh, setidaknya ia harus sampai
kerumah dulu sebelum membasahi bantalnya dengan hujan air mata.
Oh, Hyunjin. Bagaimana rasanya menjadi bintang yang paling terang di semesta?

Anda mungkin juga menyukai