Learning to know
Pilar ini dimaksudkan untuk meningkatkan kognitif peserta didik akan penguasaan yang dalam
dan luas akan bidang ilmu tertentu. Menurut para ahli tujuan aspek kognitif berorientasi pada
kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu
mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut peserta didik untuk
menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang
dipelajari untuk memecahkan masalah. Dari sinilah muncul konsepsi belajar sepanjang hayat
(long life education), yaitu belajar yang tidak kenal waktu akhir sampai berakhirnya hidup ini
didunia. Dalam konsep Islam, konsep ini mengajarkan peserta didik untuk membedakan mana
yang hak dan mana yang bathil.
Learning to do
Pilar kedua ini menuntut peserta didik untuk mempunyai keterampilan tertentu (psikomotorik)
atau dengan bahasa lain belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam team, belajar
memecahkan masalah dalam berbagai situasi, belajar untuk berkarya atau mengaplikasikan ilmu
yang didapat oleh peserta didik. Kemampuan ini dalam konteks kekinian disebut dengan hard
skills dan soft skills. Sekolah mempunyai kewajiban untuk mengaktualisasikan ini.
Learning to be
Pilar ini merupakan konsep belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab
untuk mewujudkan tujuan bersama. Learning to be ini tidak bisa lepas dari dua pilar sebelumnya
karena penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri
sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap
kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian
aktualisasi diri.
2. Learning to do
Jika pilar pertama, ”learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalama penguasaan IPTEK
antara negara di dunia dan tidak lagi dibagi antara negara uatara-selatan, pilar kedua,
“learning to do” sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung
dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri
tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan ketrampilan motorik yang kaku
melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan – pekerjaan seperti
“controlling, monitoring, maintaning, designing, organizing, yang dengan kemajuan
teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Dengan kata lain,
menyiapkan anggota masyarakat memasuki dunia kerja yang dalam “technology
knowledge based economy”, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang
tidak hanya terbatas kepada penguasaan ketrampilan yang mekanistis melainkan
meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan
mengatasi konflik, menjadi penting.
Dalam kaitan dengan “learning to do” perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler
tentang relevansi psikologis, maupun doktrin Whitehead tentang hakikat pendidikan
sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan. Ini berarti bahwa untuk
melahirkan generasi baru yang “intelligent” dalam bekerja, pengembangan kemampuan
memecahkan masalah dan berinovasi sangatlah diperlukan.
Dalam kaitan ini, pada tingkat pendidikan tinggi, mengandung makna atau
berimplikasi tentang perlunya pendidikan profesional pada pendidikan tinggi secara
konsekuentif, bermuara pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan
seorang mahasiswa berkesempatan mengintegrasikan pemahanan konsep, penguasaan
ketrampilan teknis dan intelektual, untuk memecahkan masalah dan dapat berlanjut
kepada inovasi dan improvisasi.
3. Learning to be
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari
informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas
dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran
terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan
adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah
manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No. 2 Th. 1989 adalah
manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang
memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat
mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo sliro), atau
dalam kamus psikologi disebut memiliki “Emotional Intelligance”. Inilah kurang lebih
makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang
berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik
(pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau
manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah
sampai kepada tingkatan “joy of discovery” pada pilar “learning to know”, tingkatan joy
of being succesful in achieving objective, pada “learning to do”, dan tingkatan joy of
getting together to achieve common goal.
Hanya dengan penerapan keempat pilar tersebut upaya menghadapi tantangan
jaman melalui pengembangan kemampuan dan pembentuk watak akan dapat secara
efektif berhasil. Dan ini akan benar-benar terwujud bila ditunjang dengan sistem
evaluasi yang relevan, komprehensif, terus menerus dan obyektif dapat dilaksanakan
serta didukung dengan dipenuhi standard minimal untuk semua elemen esensial dari
pendidikan.
Sudah terbukti, baik di setiap acara televisi maupun setiap postingan sosial medianya, sosok
Najwa Shihab adalah perempuan yang berani menyuarakan opininya sendiri. Bukan hanya
karena tuntutan peran semata, akan tetapi Najwa Shihab murni dengan segala kecerdasannya, ia
berani menyuarakan opininya sendiri. Bahkan, di acara televisinya, sampai beberapa kali Najwa
Shihab pernah menginjakkan kakinya di Istana Presiden.
Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang patut diteladani oleh seluruh perempuan, bahkan seluruh
manusia di dunia. Jadilah perempuan yang berani menyuarakan opini sendiri meskipun
mayoritas orang memilih bungkam. Jangan pernah takut! Dan dasari opini Anda dengan sumber
dan hukum yang kuat.
Dalam setiap kasus terbaru yang muncul, maupun kasus lama yang belum terungkap
kebenarannya, sosok Najwa Shihab selalu menelusurinya lebih dalam. Setiap orang yang
berhubungan dalam kasus tersebut, akan ia undang pada acaranya. Tanpa pandang bulu, ia
melontarkan pertanyaan yang tidak jarang membuat orang lain gentar dengan pertanyaannya.
Hal ini membuktikan bahwa sosok Najwa Shihab adalah sosok perempuan yang tidak gentar
selama berada di jalan kebenaran. Tentunya ini adalah sesuatu yang patut diteladani oleh seluruh
perempuan di dunia ini. Sekali lagi, untuk seluruh perempuan di dunia ini, jangan pernah gentar
melakukan apa yang ingin Anda lakukan selama berada di jalan kebenaran.
Sosok Najwa Shihab pun dikenal sebagai Duta Baca Indonesia sejak tahun 2016. Ia tidak hanya
cerdas dalam berpikir dan lihai dalam berbicara, akan tetapi ia juga rajin membaca buku untuk
memperluas wawasannya. Buku-buku favoritnya seperti: Bumi Manusia karya Pramoedaya
Ananta Toer, Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, The Snowman karya Jo Nesbo, dan buku-
buku lainnya.
Hal ini membuktikan betapa pentingnya kita meneladani sosok Najwa Shihab. Meneladani bukan
berarti mengagungkan, akan tetapi mencontoh sikap-sikap terpuji yang dilakukan olehnya.
Dan untuk seluruh perempuan di dunia ini, percayalah kita mampu dan kita kuat. Biarkan orang-
orang menyebut bahwa perempuan itu lemah. Namun, kita jangan pernah lelah untuk
membuktikan bahwa perempuan pun mampu berdiri di kaki sendiri.
Sila keempat berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan’ yang mengandung makna mengutamakan kepentingan negara
dan masyarakat dan menghormati keputusan musyawarah. Cotoh penyimpangan dari sila
keempat ini yaitu ketidakadilan hukum, ulah wakil rakyat yang memalukan, korupsi, dan
masih banyak lagi.
Di indonesia sendiri sangat banyak perilaku yang menyimpang sila ke empat tersebut.
Menurut saya sekarang ini tidak ada keadilan hukum antara rakyat miskin dengan orang kaya
atau orang yang memiliki kekuasaan, hal ini menunjukkan hukum di Indonesia dapat
diperjualbelikan dengan mudah, apalagi bagi mereka yang memiliki kekuasaan.
Hal tersebut terbukti beberapa tahun silam, hanya karena kasus pencuri kakao seharga 2000
rupiah dan pencurian satu buah semangka dua tersangka tersebut ditahan polisi selama dua
bulan dan terancam mendekam di penjara hingga 5 tahun. Sedangkan para pejabat yang
memakan uang milik negara yanh jumlahnya sampai milyaran rupiah tidak diselidiki sama
sekali dan hanya ditahan selama 1-2 tahun. Hal ironis seperti ini kerap terjadi di Indonesia
yang notabennya adalah negara hukum, tetapi hukum yang berjalan sangatlah amburadul dan
hal ini merupakan pelanggaran berat pancasila.
Seharusnya pemerintah lebih tegas kepada mafia hukum yang telah banyak mencuri hak-hak
rakyat kecil seperti satgas segera melakukan langkah-langkah dan memberikan efek jera
kepada pejabat yang ketahuan memberikan fasilitas lebih dan mudah kepada mereka yang
terlibat dalam kejahatan dan melakukan transaksi atas nama uang. Memberikan efek jera
akan membuat mereka tidak ingin melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.
Guru memberi peran penting dalam membangun pendidikan dalam sebuah negara. Tugas guru
bukan hanya menyampaikan ilmu dan membimbing peserta didik, akan tetapi guru juga dituntut
untuk mampu menjadi role play dalam menanamkan nilai moral dan norma agama.
Disini guru juga berkewajiban mencerdaskan dan anak didik, yang dimaksud mencerdaskan
yaitu peserta didik cerdas baik secara spiritual, sosial, dan intelektua
Selain itu guru juga harus mengajarkan nilai kebaikan kepada peserta didik, nilai kebaikan
seperti jujur, bertanggung jawab, disiplin, mandiri, toleransi dan sebagainya, nilai-nilai ini yang
tidak boleh terlupakan dalam proses pendampingan seorang guru dalam melakukan proses
pembelajaran.
Guru adalah icon sebuah negara. Jika warga negara tersebut cerdas dalam berbagai bidang,
maka dibalik kecerdasan itu gurulah yang menjadi pemeran utama penghantar kecerdasan
tersebut.
Dalam upaya melestarikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, guru harus menjadi contoh,
mengarahkan, dan membimbing peserta didik untuk mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Seperti yang kita ketahui bersama, Pancasila memiliki nilai-nilai seperti bunyi sila-sila dalam
Pancasila yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan
Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sosok guru diidealkan menjadi sosok yang dapat dipercaya. Baik akhlaknya, keluarganya,
kepandaiannya. Menjadi tuntunan di masyarakat. Apalagi bagi peserta didik. Maka ada yang
mengatakan idiom guru identik dengan dengan akronim digugu dan ditiru. Guru adalah sosok
yang dapat dipercaya (digugu) dan dicontoh (ditiru) sebagai suri tauladan.
Dalam rangka penerapan nilai-nilai Pancasila sila kedua yaitu, “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” sebagai guru sudah semestinya memperlakukan setiap peserta didik secara manusiawi.
Menegaskan kepada peserta didik bahwa pada hakikatnya semua manusia itu memiliki derajat,
martabat, hak dan kewajiban yang sama.
Guru juga harus mencontohkan dan membimbing peserta didik agar menjunjung tinggi nilai
kesopanan dalam pergaulan antar teman, membantu teman yang sedang kesusahan, tidak
merendahkan dan menyakiti perasaan teman, mengembangkan sikap tenggang rasa.
Menghormati orang tua, sayang pada sebaya dan peduli serta perhatian pada adik-adik juniornya.
Peran guru terkait pelestarian Pancasila tidak hanya berkaitan dalam proses pembelajaran
melainkan juga menyikapi peserta didiknya ketika berperilaku baik maupun buruk.
Seperti ketika peserta didik melakukan kesalahan, guru tidak semestinya menghukum dengan
hukuman yang tidak manusiawi seperti memukul, mempermalukan, dan tindakan yang tidak
bermoral lainnya. Meskipun itu akan memberi efek jera terhadap peserta didik namum mental
mereka akan terganggu.
Maka adalah sebuah kekeliruan jika guru memberikan sanksi hukuman yang dinilai tidak
manusiawi. Hukuman fisik seperti memukul dengan sepatu, sapu, menampar, mencubit,
menendang, dikurung di WC atau gudang sekolah dan jenis hukuman fisik lainnya, dinilai tidak
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti diamanahkan sila kedua Pancasila.
Peserta didik mempunyai hak untuk diperlakukan dengan baik. Meski mereka pernah melakukan
kesalahan. Sebagai guru kita harus bijak dalam menangani hal seperti ini. Lalu hukuman apa
yang pantas diberikan kepada peserta didik?
Peran guru selaku pelestari nilai-nilai Pancasila sangat dibutuhkan dalam era milenial ini. Peran ini
mampu memberi dobrakan moral yang sangat baik dalam upaya membentuk karakter bangsa.
Pelestarian nilai-nilai Pancasila juga menentukan keberlangsungan eksistensi Pancasila. Dimana nilai-
nilai Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus kita junjung
tinggi keberadaannya.