Penanganan Pasien Trauma Pre-Hospital Di Indonesia: Makalah
Penanganan Pasien Trauma Pre-Hospital Di Indonesia: Makalah
DI INDONESIA
LOGO POLKESMA
Oleh:
………
NIM……….
Dosen:
Ns. MARSAID, M.Kep.
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
Pendahuluan.
Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Langkah tersebut meliputi fase Pre-
hospital, Hospital dan Rehabilitation. Perawatan pre-hospital adalah serangkaian tindakan
medis yang diberikan oleh paramedik pada seseorang dalam kondisi sakit ataupun
mengalami cedera sebelum dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit (Mosby's Medical
Dictionary, 2009). Di dalam perawatan gawat darurat, sistem perawatan pre-hospital
memegang peranan penting (Nagatuma, 2003). Pada saat terjadi cedera, setiap detik akan
sangat berharga bagi kelangsungan/ kualitas hidup korban selanjutnya atau yang biasa
disebut waktu emas (The Golden Period), terlebih pada satu jam pertama (The Golden
Hour) (Carr, Caplan, Pryor dan Branas, 2006).
Pada dasarnya kematian dan kecacatan itu dapat ditekan bahkan sampai 50% jika korban
mendapatkan perawatan pra-hospital secara baik dan benar (WHO, 2005). Satu contoh
nyata adalah kematian Presiden Direktur PT Holcim Indonesia Tbk (SMCD) Timothy Mackay
meninggal dunia pada peristiwa pengeboman 17 Juli 2009 di Hotel JW Marriott Kawasan
Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Pada kasus tersebut, golden period dalam penanganan
kegawatdaruratan tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menyelamatkan jiwa korban.
Pada saat itu pasien masih bisa berjalan, yang artinya fungsi pernapasan dan jantungnya
baik. Sehingga sebetulnya kemungkinan untuk diselamatkan cukup besar karena kondisi
pasien masih dalam keadaan sadar. Tetapi karena pertolongan pre-hospital yang terlambat,
akhirnya korban meninggal di rumah sakit (http://rumahati.wordpress.com, diakses 11-10-
2012).
Begitu trauma terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode).
Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu
terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban.
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 5
Terdapat 3 faktor utama di Pre-hospital yang berperan terhadap kualitas hidup penderita
yaitu : siapa penolong pertamanya, berapa lama ditemukannya penderita, dan kecepatan
meminta bantuan pertolongan. Penolong pertama seharusnya orang yang terlatih dengan
dukungan pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah
Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim
pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan
penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi,
jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan
penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi. keberhasilan pertolongan bagi
penderita dengan kriteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa dan
kecacatan, akan dipengaruhi banyak faktor sesuai fase dan tempat kejadian traumanya.
Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan
terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat
Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka
pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat
darurat dalam bencana (SPGDB).
Dari 5 model sistem perawatan pre-hospital yang ada, sistem komplek lebih cocok untuk
diterapkan di Indonesia. Sistem komplek yang dimaksud adalah kombinasi antara 4 sistem
yang ada, yaitu yang berbasis rumah sakit, berdasarkan yurisdiksi, sistem swasta dan
sistem relawan. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu 1) kondisi geografis
Indonesia, 2) masalah pertumbuhan ekonomi, 3) stabilitas politik dan keamanan, dan 4)
kelancaran transportasi.
Alasan pertama yaitu kondisi geografis Indonesia. Indonesia merupakan negara
berkembang yang juga merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 5 pulau besar dan
ribuan pulau-pulau kecil. Wilayah Indonesia tidak hanya daratan saja tetapi juga lautan,
dengan luas wilayah 5000 km dari barat ke timur dan 1770 km dari utara ke selatan (Pitt dan
Pusponegoro, 2005). Dalam struktur pemerintahan, di Indonesia dikenal istilah daerah
perkotaan dan pedesaan. Dengan kondisi geografis yang sedemikian rupa, maka
dibutuhkan sistem perawatan pre-hospital yang komponennya bisa adaptif dengan kondisi
wilayah yang ada. Menurut VanRooyen (2002), dalam sistem komplek, komponennya bisa
disesuaikan agar sesuai dengan iklim politik, struktur pemerintahan daerah, wilayah
geografis, sumber daya yang tersedia dan tentu saja campuran pembayarnya.
Alasan kedua yaitu masalah pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara dengan pertumbuhan
ekonomi yang pesat, Indonesia mengalami “transisi epidemiologi” terutama didaerah
perkotaan. Terjadi peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler, dan kematian di usia muda
karena infeksi. Kondisi ini meningkatkan kebutuhan keterkaitan perawatan pre-hospital
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 6
dengan pusat kesehatan di perkotaan (VanRooyen, 2002). Selain itu, perekonomian
masyarakat di Indonesia sangat beragam. Oleh karena itu, jika diterapkan sistem swasta
dalam perawatan pre-hospital dimana pembiayaan dibebankan pada pengguna,
dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat ekonomi ke bawah. Berbeda halnya jika pada
kondisi ini diterapkan sistem yang diarahkan yurisdiksi terutama yang terkait dengan
pembiayaan, seperti yang sudah diberlakukan pada pelayanan kesehatan secara umum.
Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk pendanaan bagi masyarakat ekonomi
bawah yang berasal dari pemerintah pusat, Jamkesda untuk yang berasal dari pemerintah
daerah dan Askeskin/ SKTM untuk mereka yang belum terjaring dengan 2 model
pembiayaan diatas.
Alasan ketiga yaitu stabilitas politik dan keamanan. Meskipun Indonesia sudah merdeka
sejak tahun 1945, tetapi pada kenyatannya sampai saat ini masih sering terjadi konflik di
beberapa daerah yang mengakibatkan timbulnya korban cedera yang tidak sedikit (Pitt dan
Pusponegoro, 2005). Bahkan tidak jarang konflik itu terjadi di daerah yang susah dijangkau.
Kondisi ini membutuhkan sistem perawatan pre-hospital yang tepat supaya dapat menekan
kematian yang diakibatkan oleh cedera. Disini sistem kompleks dianggap yang paling tepat,
sesuai yang dikatakan VanRooyen (2002) bahwa model komplek juga mencakup koordinasi
sipil dan militer seperti yang terjadi di banyak negara selama waktu perang ataupun pada
waktu damai sebagai bentuk kerjasama.
Alasan keempat adalah masalah transportasi. Pada perawatan pre-hospital, hal yang harus
diperhatikan adalah waktu tanggap (respon time) karena terkait dengan “golden period” atau
bahkan “golden hour” yang berlaku pada korban cedera. Sebagai salah satu dampak
pertumbuhan ekonomi, diperkirakan pada tahun 2015 lebih dari 60% penduduk dunia akan
tinggal di pusat kota yang akan berakibat pada peningkatan populasi dan kepadatan lalu
lintas (VanRooyen, 2002). Kondisi ini secara otomatis juga akan berpengaruh pada
perpanjangan waktu tanggap dari pelayanan perawatan pre-hospital. Dengan sistem
perawatan pre-hospital yang tepat, diharapkan kepadatan lalu lintas yang ada tidak
berpengaruh pada “golden hour “ penderita.
Beberapa Hal yang Harus Dilakukan Untuk Memperbaiki Sistem Penanganan Pasien
Trauma Pre-hospital di Indonesia.
Terlepas dari seberapa sederhana atau canggih sistem perawatan pre-hospital yang ada,
yang pasti ada unsur-unsur tertentu sangat penting yang harus diperhatikan dalam rangka
mengurangi kecacatan dan kematian (WHO, 2005). Unsur-unsur tersebut mencakup
transportasi, komunikasi dan personel (VanRooyen, 2002). WHO (2005) menambahkan
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 7
waktu tanggap yang cepat dari sistem, penilaian korban dan pertolongan pertama sebagai
unsur-unsur yang harus diperhatikan selain transportasi dan komunikasi. Selain itu, hal yang
tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah pendanaan (Pitt dan Pusponegoro,
2005).
Sistem komunikasi yang baik dan kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat
disampaikan, akan memperpendek masa pre-hospital yang dialami penderita sehingga akan
meminimalkan resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah
yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun
yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus mengetahui kemana informasi
diteruskan dan hal apa saja yang harus diinformasikan.
Masalah lainnya adalah seringkali panggilan darurat yang dilakukan masyarakat yang
benar-benar membutuhkan pertolongan segara, sulit masuk ke hot line EMS, hal ini karena
adanya pembatasan sistem. Ditambah lagi dengan ulah usil dari masyarakat yang tidak
bertanggung jawab yang melakukan panggilan darurat hanya karena panggilan ini bebas
pulsa, terutama pada jam istirahat sekolah (Pitt dan Pusponegoro, 2005). Untuk itu perlu
kiranya masyarakat diberikan pemahaman/ pendidikan mengenai keberadaan panggilan
darurat ini, bagaimana cara melakukan panggilan, hal-hal apa saja yang harus dilaporkan
serta yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman bahwa mereka tidak boleh langsung
menutup saluran teleponnya sampai ada instruksi untuk ditutup dari petugas. Selain itu,
perlu kiranya dipikirkan bagaimana akses panggilan tersebut bisa dijangkau oleh seluruh
daerah di Indonesia atau paling tidak mereka tetap bisa menjangkau perawatan pre-hospital
tersebut walaupun dengan panggilan gawat darurat yang berbeda. Menurut VanRooyen
(2002), penggunaan semua bentuk komunikasi yang tersedia harus diintegrasikan dengan
pengembangan sistem perawatan pre-hospital.
Pendidikan pada masyarakat ini bahkan kalau perlu dilanjutkan sampai dengan bagaimana
cara pertolongan pertama pada korban sampai petugas kesehatan datang. Mereka juga
diajarkan cara menolong dan memindahkan korban secara aman tanpa menimbulkan
cedera tambahan (WHO, 2005). Hal ini terkait dengan persiapan personel yang melibatkan
kelompok masyarakat sebagai penolong pertama sebelum tenaga perawatan pra-hospital
yang sebenarnya datang. Kelompok lain yang juga harus dipersiapkan adalah orang-orang
yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti
polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru. Mereka harus memiliki kemampuan
tambahan lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam
berbagai kondisi.
Unsur ketiga yang harus diperhatikan adalah transportasi. Unsur ini terkait juga dengan
respon tanggap perawatan pra-hospital. Transportasi penderita dapat dilakukan melalui
Model sistem perawatan pre-hospital yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia adalah
model sistem komplek. Ada beberapa hal yang mendasarinya yaitu: kondisi geografis,
masalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan serta masalah transportasi.
Untuk bisa memperbaiki sistem perawatan pre-hospital yang ada di Indonesia, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pengaturan sistem komunikasi, transportasi,
kemampuan personel yang ada terutama sebagai “First responder care”, sistem regulasi
pemerintah dan pendanaan.
Carr, B.G., Caplan, J.M., Pryor, J.P. & Branas, C.C. (2006). A Meta-analysis of prehospital
care time for trauma. Prehospital Emergency Care. 10(2). pp. 198-206.
Mosby’s medical dictionary. (2009). (8th ed). London, Elsevier.
Nagatuma, H. (2003). Development of an emergency medical video multiplexing transport
system. Journal of Medical System. 27(2).
Pitt, E. & Pusponegoro, A. (2005). Prehospital care in Indonesia. Emergency Medical
Journal. 22. pp. 144-147.
Pusponegoro, Aryono D. (1995).Organisasi PPGD. IKABI Jakarta.