Anda di halaman 1dari 11

PENANGANAN PASIEN TRAUMA PRE-HOSPITAL

DI INDONESIA

Makalah Essay untuk memenuhi Tugas MK….

LOGO POLKESMA

Oleh:
………
NIM……….

Dosen:
Ns. MARSAID, M.Kep.

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
2018
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia

Pendahuluan.
Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Langkah tersebut meliputi fase Pre-
hospital, Hospital dan Rehabilitation. Perawatan pre-hospital adalah serangkaian tindakan
medis yang diberikan oleh paramedik pada seseorang dalam kondisi sakit ataupun
mengalami cedera sebelum dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit (Mosby's Medical
Dictionary, 2009). Di dalam perawatan gawat darurat, sistem perawatan pre-hospital
memegang peranan penting (Nagatuma, 2003). Pada saat terjadi cedera, setiap detik akan
sangat berharga bagi kelangsungan/ kualitas hidup korban selanjutnya atau yang biasa
disebut waktu emas (The Golden Period), terlebih pada satu jam pertama (The Golden
Hour) (Carr, Caplan, Pryor dan Branas, 2006).

Di Indonesia, berdasarkan SKRT 2008 cedera merupakan penyebab kematian keempat


terbanyak, dengan kelompok umur terbanyak 15-24 tahun dan berikutnya adalah kelompok
umur 25-34 tahun. Lebih lanjut dilaporkan dari 150.000 orang yang meninggal akibat cedera
hanya 4000 yang meninggal di rumah sakit. Berarti sisanya kemungkinan meninggal
sebelum dibawa ke rumah sakit (Pitt dan Pusponegoro, 2005). Bukan hanya di Indonesia,
dinegara-negara lainpun terutama negara dengan sumber daya terbatas, cedera juga
menjadi salah satu penyebab kematian dan kecacatan (WHO, 2005).

Pada dasarnya kematian dan kecacatan itu dapat ditekan bahkan sampai 50% jika korban
mendapatkan perawatan pra-hospital secara baik dan benar (WHO, 2005). Satu contoh
nyata adalah kematian Presiden Direktur PT Holcim Indonesia Tbk (SMCD) Timothy Mackay
meninggal dunia pada peristiwa pengeboman 17 Juli 2009 di Hotel JW Marriott Kawasan
Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Pada kasus tersebut, golden period dalam penanganan
kegawatdaruratan tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menyelamatkan jiwa korban.
Pada saat itu pasien masih bisa berjalan, yang artinya fungsi pernapasan dan jantungnya
baik. Sehingga sebetulnya kemungkinan untuk diselamatkan cukup besar karena kondisi
pasien masih dalam keadaan sadar. Tetapi karena pertolongan pre-hospital yang terlambat,
akhirnya korban meninggal di rumah sakit (http://rumahati.wordpress.com, diakses 11-10-
2012).

Kejadian diatas merupakan satu cerminan kondisi sistem perawatan pre-hospital di


Indonesia yang kurang terkoordinir. Keberadaan pre-hospital di Indonesia tidak
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 2
mendapatkan perhatian yang utama dalam strategi kebijakan kesehatan di Indonesia
(http://rumahati.wordpress.com, diakses 11-10-2012). Harus dipikirkan satu bentuk
mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju
sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera.
Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus tetap menjadi tujuan dari
seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.
Makalah ini akan membahas tentang sistem perawatan pre-hospital, sistem perawatan pre-
hospital yang sesuai digunakan di Indonesia dan alasannya serta beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk memecahkan masalah dan memperbaiki sistem penanganan pasien trauma
pre-hospital di Indonesia.

Sistem Perawatan Pre-hospital


Sistem perawatan pre-hospital memegang peranan penting dalam perawatan gawat
darurat (Nagatuma, 2003). Upaya pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus
dipandang sebagai satu sistem yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem
mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome).
Sistem yang baik juga harus dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik
yang berkelanjutan. Upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu sistem,
seperti yang digambarkan pada skema di bawah ini:
Injury & Pre Hospital Stage Hospital Stage Rehabilitation
Dissaster
 First Responder  Emergency Room  Fisical
 Ambulance  Operating Room  Psycological
Service 24 jam  Intensif Care Unit  Social
 Ward Care
Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup pasien pasca trauma akan sangat bergantung
pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre-hospital bukan hanya tergantung pada
bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian pasien
mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan
kecacatan dapat dihindari. Manfaat utama sistem perawatan pre-hospital ini adalah untuk
mengurangi tingkat kematian atau cacat akibat trauma. Sistem perawatan pre-hospital tidak
dapat berfungsi optimal jika berdiri sendiri. Sistem ini harus sepenuhnya terintegrasi dalam
infrastruktur kesehatan. Sistem pre-hospital dirancang untuk menyediakan warga sistem
kesehatan dengan akses cepat, aman dan efektif pada saat kebutuhan mendesak. Setiap
sistem harus didefinisikan oleh kebutuhan lokal dan penilaian kapasitas dan dikembangkan
dengan memperhatikan budaya lokal, undang-undang, infrastruktur kesehatan, kapasitas

Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 3


sistem, pertimbangan ekonomi dan administrasi sumber daya (WHO, 2005). Menurut
VanRooyen (2002) untuk mengembangkan sistem pre-hospital ada beberapa tahapan yang
harus dilalui, yaitu analisis, perencanaan dan implementasi.
VanRooyen (2002) mengklasifikasikan sistem perawatan pre-hospital dalam 5 model, yaitu:
1. Sistem berbasis rumah sakit.
Di wilayah pedesaan, sistem emergency medical service (EMS) seringkali berbasis
rumah sakit sebagai pelaksanaan fungsi keluar dari pusat kesehatan daerah. Rumah
sakit mempekerjakan personel EMS, melatih mereka dan menunjuk seorang
administrator untuk pengawasan. Untuk pengembangan sistem, sistem berbasis rumah
sakit yang paling mudah untuk memulai dan mempertahankan. Jenis sistem ini sering
terlihat dalam pengembangan sistem baru dan di negara-negara tanpa program
nasional, dan terlihat di beberapa negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
2. Sistem yang disediakan yurisdiksi.
Sistem ini berlangsung pada tingkat negara atau kota. Dalam sistem ini, EMS dapat
dihubungkan ke jaringan respon cepat yang menyediakan lingkungan yang terstruktur
untuk pengembangan sistem EMS. Pengawasan medis dikontrak melalui dokter
swasta. Sekitar setengah dari sistem EMS di Amerika Serikat diarahkan ke yurisdiksi.
Dukungan keuangan untuk layanan kota biasanya didanai pajak atau pemerintah.
Dalam pengembangan sistem, khususnya di negara-negara dengan pemerintahan
pusat yang kuat ini adalah umum. Ini juga terjadi pada sebagian program di eropa
dimana dana berasal dari sponsor negara, sistem berbasis pajak dan penggunaan EMS
adalah manfaat kesehatan.
3. Sistem swasta.
Sistem ini adalah jenis tertua dari sistem perawatan pre-hospital, yang berasal dari
layanan ambulan berbasis rumah pemakaman. Di Amerika Serikat, banyak organisasi
swasta mempertahankan pengaruh substansial dalam sistem EMS kota karena ukuran
mereka dan basis pembayar. Sistem asing, bagaimanapun, tidak disukai untuk
dikembangkan swasta. Program EMS sejak perawatan pra-hospital biasanya didanai
negara.
4. Sistem sukarelawan.
Sistem relawan telah memainkan peran penting dalam pelayanan EMS di wilayah
pedesaan di negara-negara Amerika dan wilayah Eropa. Penyedia EMS membentuk
jaringan relawan yang dilatih secara pribadi. Daerah yang lebih padat penduduk
membutuhkan dukungan secara penuh, dan akhirnya pindah ke sistem berbasis kota
atau rumah sakit.
5. Sistem komplek.

Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 4


EMS sistem komplek yang terdiri dari campuran dari jenis sistem dan berevolusi
sekunder keterbatasan sumber daya atau kebutuhan untuk meningkatkan
pertanggungan dan penyedia. Komponen sistem yang disesuaikan agar sesuai dengan
iklim politik, struktur pemerintahan daerah, wilayah geografis, sumber daya yang
tersedia dan tentu saja campuran pembayar. Sistem kompleks ada di kota-kota besar
yang memerlukan pengiriman sentral yang independen, komunikasi, dan kontrol medis
kompleks. Mereka mendasarkan personil EMS di institusi medis utama atau sebagai
bagian dari layanan kota. Kombinasi yang sering terlihat di negara-negara berkembang
adalah sistem swasta dan yurisdiksi. Model kompleks juga mencakup koordinasi sipil
dan militer seperti yang terjadi di banyak negara selama waktu perang ataupun pada
waktu damai sebagai bentuk kerjasama.

Sistem Perawatan Pre-hospital Yang Sesuai Digunakan di Indonesia


Bencana besar melanda sejumlah wilayah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa
bencana yang terjadi antara lain, gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra
Utara, gempa bumi di Yogyakarta, lumpur panas di Sidoarjo, banjir bandang di Sinjai, Sulawesi
Selatan, serta meletusnya Gunung Merapi di Jawa tengah dan DIY. Bencana tersebut dapat terjadi
salah satunya akibat kondisi geografis Indonesia.
Secara geografis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudra, yaitu benua Asia dan Australia,
serta samudra Pasifik dan Hindia. Selain itu, wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia,
lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik sehingga Indonesia termasuk dalam jalur The Pacific
ring of fire yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Dengan keadaan geografis
yang demikian, Indonesia menjadi wilayah yang rentan terkena bencana alam.
Sistem perawatan pre-hospital di Indonesia menerapkan konsep ambulan gawat darurat
118 berbasis di lima kota besar. Pilot project ambulan ini dilaksanakan pada tahun 1972.
Tetapi pada perkembangannya, sistem ini masih belum digunakan secara umum. Lebih
lanjut dikatakan oleh Pitt dan Pusponegoro (2005), konsep itu bukanlah konsep yang baru
tetapi sampai saat ini sulit untuk diwujudkan secara penuh. Ada banyak tantangan yang
dihadapi termasuk budaya penerimaan dari masyarakat, luas geografis daerah, kondisi lalu
lintas, jumlah ambulan yang tidak memadai, dan akses sumber daya ke pelatihan yang
berkualitas. Selain itu masalah financial juga termasuk salah satunya. Ambulan gawat
darurat 118 ini tidak secara rutin mendapatkan pendanaan dari pemerintah, sehingga untuk
kelangsungan operasional dibebankan pada penggunanya (Pitt dan Pusponegoro, 2005).

Begitu trauma terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode).
Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu
terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban.
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 5
Terdapat 3 faktor utama di Pre-hospital yang berperan terhadap kualitas hidup penderita
yaitu : siapa penolong pertamanya, berapa lama ditemukannya penderita, dan kecepatan
meminta bantuan pertolongan. Penolong pertama seharusnya orang yang terlatih dengan
dukungan pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah
Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim
pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan
penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi,
jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan
penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi. keberhasilan pertolongan bagi
penderita dengan kriteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa dan
kecacatan, akan dipengaruhi banyak faktor sesuai fase dan tempat kejadian traumanya.
Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan
terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat
Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka
pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat
darurat dalam bencana (SPGDB).

Dari 5 model sistem perawatan pre-hospital yang ada, sistem komplek lebih cocok untuk
diterapkan di Indonesia. Sistem komplek yang dimaksud adalah kombinasi antara 4 sistem
yang ada, yaitu yang berbasis rumah sakit, berdasarkan yurisdiksi, sistem swasta dan
sistem relawan. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu 1) kondisi geografis
Indonesia, 2) masalah pertumbuhan ekonomi, 3) stabilitas politik dan keamanan, dan 4)
kelancaran transportasi.
Alasan pertama yaitu kondisi geografis Indonesia. Indonesia merupakan negara
berkembang yang juga merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 5 pulau besar dan
ribuan pulau-pulau kecil. Wilayah Indonesia tidak hanya daratan saja tetapi juga lautan,
dengan luas wilayah 5000 km dari barat ke timur dan 1770 km dari utara ke selatan (Pitt dan
Pusponegoro, 2005). Dalam struktur pemerintahan, di Indonesia dikenal istilah daerah
perkotaan dan pedesaan. Dengan kondisi geografis yang sedemikian rupa, maka
dibutuhkan sistem perawatan pre-hospital yang komponennya bisa adaptif dengan kondisi
wilayah yang ada. Menurut VanRooyen (2002), dalam sistem komplek, komponennya bisa
disesuaikan agar sesuai dengan iklim politik, struktur pemerintahan daerah, wilayah
geografis, sumber daya yang tersedia dan tentu saja campuran pembayarnya.
Alasan kedua yaitu masalah pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara dengan pertumbuhan
ekonomi yang pesat, Indonesia mengalami “transisi epidemiologi” terutama didaerah
perkotaan. Terjadi peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler, dan kematian di usia muda
karena infeksi. Kondisi ini meningkatkan kebutuhan keterkaitan perawatan pre-hospital
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 6
dengan pusat kesehatan di perkotaan (VanRooyen, 2002). Selain itu, perekonomian
masyarakat di Indonesia sangat beragam. Oleh karena itu, jika diterapkan sistem swasta
dalam perawatan pre-hospital dimana pembiayaan dibebankan pada pengguna,
dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat ekonomi ke bawah. Berbeda halnya jika pada
kondisi ini diterapkan sistem yang diarahkan yurisdiksi terutama yang terkait dengan
pembiayaan, seperti yang sudah diberlakukan pada pelayanan kesehatan secara umum.
Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk pendanaan bagi masyarakat ekonomi
bawah yang berasal dari pemerintah pusat, Jamkesda untuk yang berasal dari pemerintah
daerah dan Askeskin/ SKTM untuk mereka yang belum terjaring dengan 2 model
pembiayaan diatas.

Alasan ketiga yaitu stabilitas politik dan keamanan. Meskipun Indonesia sudah merdeka
sejak tahun 1945, tetapi pada kenyatannya sampai saat ini masih sering terjadi konflik di
beberapa daerah yang mengakibatkan timbulnya korban cedera yang tidak sedikit (Pitt dan
Pusponegoro, 2005). Bahkan tidak jarang konflik itu terjadi di daerah yang susah dijangkau.
Kondisi ini membutuhkan sistem perawatan pre-hospital yang tepat supaya dapat menekan
kematian yang diakibatkan oleh cedera. Disini sistem kompleks dianggap yang paling tepat,
sesuai yang dikatakan VanRooyen (2002) bahwa model komplek juga mencakup koordinasi
sipil dan militer seperti yang terjadi di banyak negara selama waktu perang ataupun pada
waktu damai sebagai bentuk kerjasama.

Alasan keempat adalah masalah transportasi. Pada perawatan pre-hospital, hal yang harus
diperhatikan adalah waktu tanggap (respon time) karena terkait dengan “golden period” atau
bahkan “golden hour” yang berlaku pada korban cedera. Sebagai salah satu dampak
pertumbuhan ekonomi, diperkirakan pada tahun 2015 lebih dari 60% penduduk dunia akan
tinggal di pusat kota yang akan berakibat pada peningkatan populasi dan kepadatan lalu
lintas (VanRooyen, 2002). Kondisi ini secara otomatis juga akan berpengaruh pada
perpanjangan waktu tanggap dari pelayanan perawatan pre-hospital. Dengan sistem
perawatan pre-hospital yang tepat, diharapkan kepadatan lalu lintas yang ada tidak
berpengaruh pada “golden hour “ penderita.

Beberapa Hal yang Harus Dilakukan Untuk Memperbaiki Sistem Penanganan Pasien
Trauma Pre-hospital di Indonesia.

Terlepas dari seberapa sederhana atau canggih sistem perawatan pre-hospital yang ada,
yang pasti ada unsur-unsur tertentu sangat penting yang harus diperhatikan dalam rangka
mengurangi kecacatan dan kematian (WHO, 2005). Unsur-unsur tersebut mencakup
transportasi, komunikasi dan personel (VanRooyen, 2002). WHO (2005) menambahkan
Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 7
waktu tanggap yang cepat dari sistem, penilaian korban dan pertolongan pertama sebagai
unsur-unsur yang harus diperhatikan selain transportasi dan komunikasi. Selain itu, hal yang
tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah pendanaan (Pitt dan Pusponegoro,
2005).
Sistem komunikasi yang baik dan kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat
disampaikan, akan memperpendek masa pre-hospital yang dialami penderita sehingga akan
meminimalkan resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah
yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun
yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus mengetahui kemana informasi
diteruskan dan hal apa saja yang harus diinformasikan.
Masalah lainnya adalah seringkali panggilan darurat yang dilakukan masyarakat yang
benar-benar membutuhkan pertolongan segara, sulit masuk ke hot line EMS, hal ini karena
adanya pembatasan sistem. Ditambah lagi dengan ulah usil dari masyarakat yang tidak
bertanggung jawab yang melakukan panggilan darurat hanya karena panggilan ini bebas
pulsa, terutama pada jam istirahat sekolah (Pitt dan Pusponegoro, 2005). Untuk itu perlu
kiranya masyarakat diberikan pemahaman/ pendidikan mengenai keberadaan panggilan
darurat ini, bagaimana cara melakukan panggilan, hal-hal apa saja yang harus dilaporkan
serta yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman bahwa mereka tidak boleh langsung
menutup saluran teleponnya sampai ada instruksi untuk ditutup dari petugas. Selain itu,
perlu kiranya dipikirkan bagaimana akses panggilan tersebut bisa dijangkau oleh seluruh
daerah di Indonesia atau paling tidak mereka tetap bisa menjangkau perawatan pre-hospital
tersebut walaupun dengan panggilan gawat darurat yang berbeda. Menurut VanRooyen
(2002), penggunaan semua bentuk komunikasi yang tersedia harus diintegrasikan dengan
pengembangan sistem perawatan pre-hospital.
Pendidikan pada masyarakat ini bahkan kalau perlu dilanjutkan sampai dengan bagaimana
cara pertolongan pertama pada korban sampai petugas kesehatan datang. Mereka juga
diajarkan cara menolong dan memindahkan korban secara aman tanpa menimbulkan
cedera tambahan (WHO, 2005). Hal ini terkait dengan persiapan personel yang melibatkan
kelompok masyarakat sebagai penolong pertama sebelum tenaga perawatan pra-hospital
yang sebenarnya datang. Kelompok lain yang juga harus dipersiapkan adalah orang-orang
yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti
polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru. Mereka harus memiliki kemampuan
tambahan lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam
berbagai kondisi.
Unsur ketiga yang harus diperhatikan adalah transportasi. Unsur ini terkait juga dengan
respon tanggap perawatan pra-hospital. Transportasi penderita dapat dilakukan melalui

Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 8


darat, laut dan udara. Untuk di Indonesia terutama Jakarta, armada ambulan gawat darurat
118 terdiri dari sepeda motor dan ambulan itu sendiri. Pada jam-jam sibuk yang
menimbulkan kemacetan, jika ada panggilan darurat ditanggapi dengan mengirimkan
armada sepeda motor ambulan yang dilengkapi dengan perlengkapan resusitasi dasar.
Mereka bertugas menjaga stabilitas korban sampai ambulan datang (Pitt dan Pusponegoro,
2005).
Mengingat kondisi geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan luas daratan
yang demikian luaas serta kontur daratannya yang berbukit dan bergunung-gunung bahkan
termasuk dalam “cincin api” Pasifik, maka perlu dipikirkan alat transportasi lain yang sesuai
dengan kondisi masing-masing wilayah. VanRooyen (2002) mengatakan bentuk baru dari
alat transportasi dapat diperkenalkan untuk diintegrasikan dalam perencanaan
pengembangan sistem. Masalah transportasi ini erat pula kaitannya dengan sistem regulasi
pemerintah terkait bidang yang terkait, peraturan lalu lintas misalnya. Dalam peraturan yang
ada sudah disebutkan bahwa ambulan mendapatkan prioritas di jalan raya. Pada
kenyataannya, walaupun sirine sudah dibunyikan tetap saja pengguna jalan yang lain tidak
mau memberikan kesempatan. Ini terjadi karena tidak ada kesadaran dari masyarakat akibat
kurangnya pemahaman mereka mengenai ambulan. Dari sejarah, ambulan ini berawal dari
rumah pemakaman yang menggunakannya sebagai pengangkut mayat (VanRooyen, 2002).
Atau juga karena peraturan yang ada kurang mengikat. Seharusnya ada sanksi yang
dibebankan jika mereka tidak mendahulukan ambulan di jalan raya, atau mungkin dengan
sejumlah peraturan-peraturan lain yang memungkinkan ambulan gawat darurat 118 itu bisa
datang dengan cepat (WHO, 2005).
Unsur yang terakhir adalah pendanaan dan Quality Control. Perawatan pre-hospital
berpotensi menyelamatkan nyawa atau anggota badan. Untuk itu, akses layanan ini tidak
harus dibatasi hanya kepada mereka yang dapat membayar. Mungkin perlu untuk
melakukan upaya yang wajar untuk memulihkan biaya dalam rangka untuk memastikan
kelangsungan hidup keuangan layanan, dan berbagai skema pembiayaan mungkin
diperlukan untuk mendanai sistem, seperti asuransi kesehatan atau dana publik. Meskipun
demikian, perawatan tidak boleh ditahan, karena pasien atau keluarganya tidak mampu
membayar pada saat perawatan, dan tidak seharusnya takut akan biaya pengobatan
menghambat permintaan yang tepat untuk perawatan (WHO, 2005). Untuk itu perlu
dipikirkan sistem asuransi kesehatan yang ada di fasilitas perawatan intra-hospital juga
diberlakukan di sistem perawatan pre-hospital, terutama untuk masyarakat yang tidak
mampu seperti Jamkesmas, Jamkesda atau Askeskin/ SKTM. Selain itu penilaian,
perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk menjamin kualitas
pelayanan sesuai tujuan.

Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 9


Kesimpulan

Model sistem perawatan pre-hospital yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia adalah
model sistem komplek. Ada beberapa hal yang mendasarinya yaitu: kondisi geografis,
masalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan serta masalah transportasi.
Untuk bisa memperbaiki sistem perawatan pre-hospital yang ada di Indonesia, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pengaturan sistem komunikasi, transportasi,
kemampuan personel yang ada terutama sebagai “First responder care”, sistem regulasi
pemerintah dan pendanaan.

Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 10


Daftar Pustaka

Carr, B.G., Caplan, J.M., Pryor, J.P. & Branas, C.C. (2006). A Meta-analysis of prehospital
care time for trauma. Prehospital Emergency Care. 10(2). pp. 198-206.
Mosby’s medical dictionary. (2009). (8th ed). London, Elsevier.
Nagatuma, H. (2003). Development of an emergency medical video multiplexing transport
system. Journal of Medical System. 27(2).
Pitt, E. & Pusponegoro, A. (2005). Prehospital care in Indonesia. Emergency Medical
Journal. 22. pp. 144-147.
Pusponegoro, Aryono D. (1995).Organisasi PPGD. IKABI Jakarta.

VanRooyen, M.J. (2002). Development of pre-hospital emergency medical services:


strategies for system assessment and planning. Pacific Health Dialog. 9(1). pp. 86-
91.
WHO. (2005). Prehospital trauma care system. Jenewa.
Pra-Rumah Sakit: Kapan Menjadi Perhatian? (Sekilas Lintas Kerja Sama YRH dan
AGD 118) (http://litbangdepkes.com, Posted: June 4, 2010 diakses 11-10-2012, pk
08.00).

Penanganan Pasien Trauma Pre-hospital di Indonesia 11

Anda mungkin juga menyukai