Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. H DENGAN DIAGNOSA MEDIS


CLOSED FRACTURE TIBIAL PLATEAU RIGHT TIBIA
LONTARA 2 BAWAH BELAKANG
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

Oleh

FADHILATUL MAR’AH
R014172026

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR LAHAN

(................................................. ) (................................................. )

PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Fraktur merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi pemisahan
atau patahnya tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Doenges E Marilyn,
2000). Fraktur adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Dorland,
2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma
(Mansjoer A, 2002).
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
- Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
- Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
- Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
- Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartemen.
B. Etiologi
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang
dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang
menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan
fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur kominutif
atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak,
dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Penyebab umum untuk fraktur akibat
trauma kapitis adalah jatuh (28%), kecelakaan kendaraan bermotor (20%), pedestrian
impact (19%), dan penyerangan (11%)[ CITATION Ari11 \l 14345 ].
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekanektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secararinci sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi.Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera.Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap
fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung
pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluh
mengalami cedera pada daerah tersebut [ CITATION Ari11 \l 14345 ].
D. Komplikasi
Komplikasi fraktur yang mungkin terjadi meliputi:
- Deformitas dan disfungsi permanen jika tulang yang fraktur tidak bisa sembuh
(nonunion) atau mengalami kesembuhan yang tidak sempurna (malunion)
- Nekrosis aseptik (bukan disebabkan oleh infeksi) pada segmen tulang akibat
gangguan sirkulasi
- Syok hipovolemik akibat kerusakan pembuluh darah (khususnya pada fraktur femur)
- Kontraktur otot
- Sindrom kompartemen
- Batu ginjal akibat dekalsifikasi yang disebabkan oleh imobilisasi yang lama
- Emboli lemak akibat disrupsi sumsum tulang atau aktivitas sistem saraf simpatik
pascatrauma (yang dapat menimbulkan distres pernapasan atau sistem saraf pusat)
[ CITATION Kow17 \l 14345 ]
E. Patofisiologi
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh
trauma. Meskipun tengkorak sangat sulit retak dan memberikan perlindungan yang
sangat baik untuk otak, trauma yang parah atau pukulan dapat mengakibatkan fraktur
tengkorak. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak
biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak
diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur
tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar
fraktur dan karena alasan kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan
sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintasi sinus paranasal pada tulang frontal
atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar
tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung. Patah tulang tengkorak
bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian berdarah ke dalam ruang di sekitar jaringan
otak. Patah tulang, terutama pada bagian belakang dan bawah (dasar) dari tengkorak,
bisa merobek meninges, lapisan jaringan yang menutupi otak. Bakteri dapat masuk ke
tengkorak melalui patah tulang tersebut, menyebabkan infeksi dan kerusakan otak parah.
Kadang-kadang, potongan tulang tengkoraknya retak tekan ke dalam dan merusak otak.
Jenis patah tulang fraktur disebut depresi. Patah tulang tengkorak depresi mungkin
mengekspos otak ke lingkungan dan bahan asing, menyebabkan infeksi atau
pembentukan abses (pengumpulan nanah) di dalam otak [ CITATION Pri05 \l 14345 ].
F. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan untuk bagian kepala, atau juga disebut pemindaian cranial, adalah
teknologi terkini sinar-X yang berfungsi untuk mengambil gambar dari kepala. CT
Scan atau pemindaian tomografi terkomputasi, tidak hanya terbatas untuk
penggunaan pemindaian kepala dalam menentukan diagnosa terkait gangguan yang
terjadi akibat adanya cidera kepala

G. Penatalaksanaan
Setiap pasien yang mengalami trauma kapitis harus diobservsi selama kurang lebih 4
jam. Dibawah ini adalah kriteria minimal untuk dilakukan pemeriksaan CT scan dan
pasien masuk rumah sakit :
1. Hilang kesadaran (post-traumatic amnesia) lebih dari 10 menit
2. Rasa mengantuk yang terus-menerus
3. Deficit neurologis fokal
4. Fraktur tulang tengkorak
5. Mual atau muntah terus menerus setelah 4 jam observasi
6. Ada tanda patologis yang didapatkan dari hasil CT scan
7. Jika pasien tidak memiliki perawatan yang adekuat di rumah
Manajemen lebih lanjut untuk pasien-pasien seperti ini adalah observasi dengan baik;

observasi neurologis harus dicatat dalam grafik yang menampilkan Glasgow Coma

Scale.Jika terdapat periode yang signifikan dari kehilangan kesadaran, atau jika pasien

terus menerus mengantuk, tindakan di bawah ini harus dilakukan untuk meminimalisai

edema serebri :
1. Elevasi kepala 20°
2. Evaluasi patologi intracranial; tindakan yag lebih lanjut dilakukan berdasarkan hasil

evaluasi.
Pada fraktur depressed gabungan terjadi, maka antibiotik profilaksis dan tetanus

profilaksis harus diberikan, dan tindakan operasi dengan general anestesi, harus

dilakukan secepat mungkin. CT scan per-operatif tidak hanya menunjukkan fraktur pada

fragmen tulang tengkorak tetapi juga adanya kelainan patologi di intrakranial.


Craniotomy adalah potongan yang dilakukan pada kranium. Saat operasi dibuat suatu

flap yang memungkinkan akses ke dura di bawahnya. Selain untuk melakukan elevasi

pada segmen tulang yang terkena, craniotomy juga dilakukan untuk mengevakuasi

hematoma, mengeluarkan benda asing dari dalam tulang kepala dan menutup bolongan

pada basis kranii untuk mengobati atau mencegah terjadinya perembasan CSF.Pada

dewasa, indikasi dilakukannya elevasi adalah ketika segmen lebih cekung dari 8-10 mm

(atau melebihi ketebalan dari tulang), terdapat defisit neurologis, perembasan CSF, dan

pada fraktur terbuka.


Pada perioperatif, luka pada kulit kepala haus dibersihkan dan dilakukan debridemen,

dan fragmen tulang diangkat. Jika duramater tertekan, atau fragmen tulang masuk ke

dalam otak, harus dilakukan debridemen dengan cermat dan diperoleh hemostasis.

Diharapkan dura harus ditutup dan ini mungkin memerlukan penggunaan tambalan dari
perikranium atau fascia lata dari paha.Jika luka dan fragmen tulang terkontaminasi berat,

dan jika ada keterlambatan operasi, tulang tidak boleh diganti dan kranioplasti

rekonstruksi mungkin diperlukan setelah itu. Jika fraktur depressed tertutup tidak ada

urgensi untuk dilakukan elevasi fragmen tulang, dan terbukti tidak ada komplikasi

intrakranial. Ada kontroversi terhadap pendapat bahwa fragmen pada fraktur depressed

dapat mengarah ke epilepsy akibat adanya tekanan terus menerus ke otak. Terkadang,

craniectomy dilakukan ketika otak yang terdapat di bawahnya juga terkena dan bengkak

[ CITATION Ras09 \l 14345 ]


BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, alamat, agama, penaggung jawab,
status perkawinan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat medis dan kejadian yang lalu
b. Riwayat kejadian cedera kepala, seperti kapan terjadi dan penyebab terjadinya
c. Paparan radiasi.
3. Pemeriksaan fisik
a. Aktifitas dan istirahat: penekanan perdarahan serebral menyebabkan
terjadinya penurunan tingkat kesadaran akibat hipoksia serebral
b. Sirkulasi: Dapat terjadi perubahan denyut nadi dan tekanan darah
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
gerak peristaltik usus
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri.
e. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, gangguan penglihatan
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri kepala
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan: suhu yang naik turun
k. Pemeriksaan diagnostik
CT- SCAN: dasar dalam menentukan diagnosa dengan memperlihatkan lokasi
hematoma dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat di angkat berdasarkan NANDA 2015-2017 [ CITATION Her16 \l
14345 ] adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik Domain 12 Kelas 1
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan Domain 4 kelas 4

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular,


nyeri, terapi retriktif (imobilisasi) Domain 4 Kelas 2
4. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma Domain 11 Kelas 1
C. Rencana Keperawatan

No. Dx. Keperawatan Tujuan Intervensi / Implementasi


1. Nyeri akut berhubungan dengan NOC: NIC :
agen cidera fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
selama …, nyeri yang dirasakan klien - Lakukan pengkajian nyeri
berkurang dengan kriteria hasil: komprehensif yang meliputi lokasi,
Tingkat Nyeri berkurang, yang ditandai karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
dengan: kualitas, intensitas atau berat nyero
- Nyeri yang dilaporkan berkurang dan faktor pencetus
- Panjang episode nyeri berkurang - Observaasi adanya petunjuk nonverbal
- Tidak tampak ekspresi nyeri wajah mengenai ketidaknyamanan terutama
- Dapat beristirahat dengan baik pada klien yang tidak dapat
Kontrol Nyeri yang ditandai dengan: berkomunikasi secara efektif
- Klien mampu mengenali kapan nyeri - Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
terjadi terhadap kualitas hidup pasien (mis.
- Kolaborasi penggunaan obat Tidur, nafsu makan, pengertian,
analgesik perasaan, hubungan)
- Klien melaporkan nyeri terkontrol - Mulai dan modifikasi tindakan
pengontrolan nyeri berdasarkan respon
pasien
Pemberian Analgesik
- Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan keparahan nyeri
- Cek alergi obat
- Tentukan pilihan obat analgesik
(narkotik, non narkotik atau NSAID)
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
- Tentukan analgesik sebelumnya, rute
oemberian, dan dosis untuk mencapai
hasil pengurangan nyeri yang
optimal
- Evaluasi efektivitas pemberian
analgesik setelah dilakukan injeksi.
Selain itu observasi efek samping
pemberian analgesik seperti depresi
pernapasan, mual muntah, mulut
kering dan konstipasi.
- Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
2 Ketidakefektifan perfusi jaringan NOC: Manajemen sensasi perifer
perifer berhubungan dengan kriteria hasil: - Monitor adanya daerah tertentu yang
penurunan suplai darah ke jaringaan Status sirkulasi: hanya peka terhadap
- Tekanan sistol dan diastol dalam panas/dingin/tajam/tumpul
rentang yang diharapkan - Monitor adanya paratese
- Tidak ada ortostatik hipertensi - Instruksikan keluarga untuk
- Tidak ada tanda-tanda peningkatan mengobservasi kulit jika ada idi atau
tekanan intrakranial laserasi
Kemampuan kognitif yang ditandai: - Gunakan sarung tangan untuk
- Berkomunikasi dengan jelas dan proteksi
sesuai dengan kemampuan - Batasi gerakan pada kepala leher dan
- Menunjukkan perhatian, konsentrasi punggung
dan orientasi - Monitor kemampuan BAB
- Memproses informasi - Kolaborasi pemberian analgesik
- Membuat keputusan dengan benar - Monitor adanya tromboplebitis
Fungsi sensorik motorik cranil yang utuh: - Diskusikan mengenai penyebab
- Tingkat kesadaran membaik perubahan sensasi
- Tidak ada gerakan gerakan
involunter
- -
3. Hambatan mobilitas fisik NOC: NIC:
berhubungan dengan kerusakan Kriteria hasil: Terapi Latihan Ambulasi
rangka neuromuscular, nyeri, terapi - Klien meningkat dalam aktivitas fisik - Monitoring vital sign sebelum/sesudah
retriktif (imobilisasi) - Mengerti tujuan dari peningkatan latihan dan lihat respon pasien saat
mobilitas latihan
- Memverbalisasikan perasaan dalam - Konsultasikan dengan terapi fisik
meningkatkan kekuatan dan tentang rencana ambulasi sesuai
kemampuan berpindah dengan kebutuhan
- Memperagakan penggunaan alat - Bantu klien untuk menggunakan
bantu untuk mobilisasi (walker) tonkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
- Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
lain tentang teknik ambulasi
- Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
- Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
- Dampingi dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
- Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
- Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
4. Risiko infeksi NOC: NIC:
kriteria hasil: Kontrol infeksi
- Klien bebas dari tanda dan gejala - Bersihkan lingkungan setelah dipakai
infeksi pasien lain
- Mendeskripsikan proses penularan - Batasi pengunjung bila perlu
penyakit, faktor yang mempengaruhi - Instruksikan pada pengunjung untuk
penularan, serta penatalaksanaannya mencuci tangan saat berkunjung dan
- Menunjukkan kemampuan untuk setelah meninggalkan pasien
mencegah timbulnya infeksi - Gunakan sabun antimikrobia untuk
- Jumlah leukosit dalam batas normal cuci tangan
- Menunjukkan perilaku hidup sehat - Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan
- Gunakan baju, sarung tangan sebagai
alat pelindung
- Pertahankan lingkungan aseptik
selama pemasangan alat
- Tingkatkan intak nuttrisi
- Berikan terapi antibiotik bila perlu
- Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal
- Monitor kerentangan terhadap infeksi
- Berikan perawatan kulit pada area
epidermis
- Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, dan
drainase
- Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
- Dorong masukan nutrisi yang cukup
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
- Laporkan kecurigaan infeksi
BAB III

WOC
Trauma Langsung Trauma tidak Langsung Kondisi patologis

FRAKTUR

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tek. Sumsum tulang lebih tinggi


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot dari kapiler

deformitas Peningkatan tek.Kapiler Melepas katekolamin

Gangg. Fungsi ektremitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan Mobilitas Fisik Protein plasma hilang Bergabung dengan trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekan pembuluh darah Menyumbat pembuluh darah

Putus vena/arteri Kerusakan integritas kulit Ketidak efektifan perfusi


Resiko infeksi jaringan perifer

Perdarahan Kehilangann volume cairan Risiko Syok (hipovolemik)

(sumber : Aplikasi Askep berdasarkan diagnosa medis NANDA NIC-NOC)


DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2011). Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi pada Praktik Klinik Keperawatan.
Jakarta: EGC.

Bulechek, G., Butcher, H., Dochterman, J., & Wagner, C. (2016). Nursing Interventioms Classification
(NIC) Edisi Keenam. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Herdman, T., & Kamitsuru, S. (2016). NANDA International Inc.Diagnossis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Kowalak, J. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Moorhead, S. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi kelima. St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier.

Nurarif, A. (2015). Aplikasi Assuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC
Edisi Revisi. Yogyakarta: MediAction.

Rasjad, C. (2009). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsik Watampone.

Wilson, P. &. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai