Anda di halaman 1dari 73

Departemen Keperawatan Gawat Darurat

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR RADIUS

Oleh:

Oleh:
ISLAMIAH
NIM: 70900120036

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XVIII


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. (Rasjad, 2012)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem
(Brunner dan Suddarth, 2008).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2009).

B. Etiologi
Menurut (Brunner dan Suddarth, 2008), yaitu :
1. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan seperti: Tumor tulang (jinak atau ganas), Infeksi seperti
osteomyelitis, dan Rakhitis.
3. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut (Nurarif & Hardhi, 2015) dibagi menjadi
beberapa yaitu :
1. Berdasarkan komplet atau ketidakklomplitan fraktur :
a) Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran.
b) Fraktur inkomplet : patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang.
2. Berdasarkan sifat fraktur :
a) Fraktur simple/tertutup : tidak menyebabkan robeknya kulit.
b) Fraktur kompleks/terbuka : merupakan fraktur dengan luka pada kulit
atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka
digradasi menjadi :
1) Grade I dengan luka bersih, panjangnya ≤ 1 cm.
2) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak.
3) Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan yang paling berat.
3. Berdasarkan bentuk garis patah :
a) Fraktur Greenstick : fraktur salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
b) Fraktur Tranversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c) Fraktur Oblik : fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
d) Fraktur Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang.
D. Patofisiologi
Menurut (Elizabeth, 2009), Ketika tulang patah, sel tulang mati.
Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan
lunak di sekitar tulang tersebut. jaringan lunak biasanya mengalami kerusakan
akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel
darah putih dan sel mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan
aliran darah ke area tersebut. fagositosis dan pembersihan sel dan jaringan
mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan
berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan
segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus. Bekuan
fibrin segera direabsorpsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus
dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih
cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila hematoma
fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel
tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.

E. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis fraktur menurut (Smeltzer, Bare, 2009) adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus,
pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci
sebagai berikut:
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Deformitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci).
3. Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitasi dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau beberap hari setelah cedera.
5. Fals Moment
Merupakan pergerakan/ bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

F. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif
pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan
kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.
2. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal
utama yang terkena.
3. Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan
miogram terbatas.
4. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang
berhubungan, infeksi adanya darah.
5. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk
mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika
muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya
protrusi discus intervetebralis.
7. MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya
perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya
herniasi discus.
Menurut(Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur berupa:
1) Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur,
harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
a) Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
b) Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
c) Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera
maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan
yang normal)
d) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2) Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
a) Darah rutin,
b) Faktor pembekuan darah,
c) Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
d) Urinalisa,
e) Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk
kliren ginjal).
3) Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan
vaskuler akibat fraktur tersebut.

G. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang
tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan
berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya
mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit
yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada
kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang
terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada
fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat
menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung –
gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan
dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh-pembuluh darah pulmonary
yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak
mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah,
marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi
saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai
fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena
nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu
yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia
keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap
pada saat menahan beban.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh)
atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen
dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama
operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang
terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur-fraktur
dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko
osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang-kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
H. Penatalaksanaan
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
2. Seluruh Fraktur
a. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
1) Reduksi urgensi pada kasus fraktur acetabulum, yaitu :
a) Reduksi tertutup dari dislokasi posterior dalam keadaan
emergensi
b) Untuk Fraktur-Dislokasi sentral, traksi longitudinal skeletal
dengan upper tibia atau lower femur dengan menggunakan
steinmann pin dan bila diperlukan, skin traksi lateral (reduksi
dalam keadaan anestesi umum terkadang diperlukan).
2) Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung
sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus,
roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus dipersiapkan untuk  menjalani prosedur; harus
diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan
sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas
yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut
3) Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan
sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu
panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
a) Traksi manual : Tujuannya adalah perbaikan dislokasi,
mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency.
b) Traksi mekanik, ada 2 macam :
 Traksi kulit (skin traction) : Dipasang pada dasar sistem
skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
 Traksi skeletal : Merupakan traksi definitif pada orang
dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit
melalui tulang / jaringan metal.
4) Reduksi Terbuka. 
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang,
alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.
b. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and
external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang
baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi
fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan fraktur.
c. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open
reduction and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi
tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding
yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup.
d. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
e. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas
hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi
dan harga-diri.

I. Prognosis
Menurut Apley (2010), prognosis pada pasien post operasi fraktur ekstremitas
meliputi:
1. Quo ad vitam, baik apabila pasien telah dilakukan tindakan operasi dengan
fiksasi. Selain itu, dengan adanya pemberian anestesi, risiko terjadi
kegagalan ataupun kematian dimeja operasi jarang sekali terjadi bahkan
tidak pernah terjadi.
2. Quo ad sanam, baik apabila telah direposisi dan difiksasi dengan baik
maka fragmen pada area fraktur akan stabil sehingga mempercepat proses
penyembuhan tulang.
3. Quo ad fungsionam, berkaitan dengan tingkat kesembuhan atau sanam.
Semakin cepat tulang menyambung maka pasien dapat segera kembali
melakukan aktivitas fungsional. Namun, proses ini menjadi terhambat
karena adanya sensasi nyeri, oedem, dan penyambungan tulang oleh callus
yang belum sempurna.
4. Quo ad cosmeticam, baik apabila fragmen yang telah direposisi dan
difiksasi dengan baik sehingga tidak terjadi deformitas dan tidak
mengganggu penampilan.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
a) Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama : Pada umumnya keluhan utama pada kasus
fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
6. Riwayat Psikososial
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vitamin C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi
dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien.
2. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis).
a. Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti :
1. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b. Pemeriksaan head-to-toe :
1. Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala
2. Mata : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan).
3. Hidung : Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
4. Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
6. Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
7. Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
8. Paru
a) Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
b) Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
c) Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
d) Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung
a) Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
b) Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
10. Abdomen
a) Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b) Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
c) Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d) Auskultasi : Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
11. Inguinal-Genetalia-Anus : Tak ada hernia, tak ada pembesaran
lymphe, tak ada kesulitan BAB.
12. Kulit : Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas : Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu
akral, dan ROM.

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik
2. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
3. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang
4. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabapan
5. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis
(balutan)
6. Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/fungsi
tubuh
C. Rencana tindakan keperawatan

D T Tindakan Keperawatan (SIKI, 2018)


i ujua
a n
g dan
n Krite
o ria
s Hasil
i (SLK
s I,
2019)

(
S
D
K
I
,

2
0
1
7
)

Nyeri S Observasi
Akut e a. Identifikasi local,
b.d t karakteristik,durasi,frekuensi, kualitas, intensitas
Agen e nyeri,.
cedera l b. Identifikasi nyeri.
fisik a c. Identifikasi respon nyeri non verbal.
h d. Identifikasi factor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
d e. Monitor efek samping penggunaan
i analgetik.
l
a Terapeutik
k
a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
u
rasa nyeri (mis.tarik napas dalam, kompres
k
hanagat/dingin).
a
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri .
n
c. Fasilitasi istirahat dan tidur.
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
t
pemilihan strategy meredakan nyeri.
i
n Edukasi
d
a a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
k nyeri.
a b. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
n c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
d. Anjurkan mengunakan analgetik secara
K tepat.
e e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
p mengurangi nyeri
e
r Kolaborasi
a
a. Kolaborasi pemberian analgetik .jika perlu
w
a
t
a
n

x
2
4
j
a
m

d
i
h
a
r
a
p
k
a
n

n
y
e
r
i

m
e
n
u
r
u
n

K
H

T
i
n
g
k
a
t

N
y
e
r
i

K
e
l
u
h
a
n

n
y
e
r
i

m
e
n
u
r
u
n

G
e
l
i
s
a
h

m
e
n
u
r
u
n

M
e
r
i
n
g
i
s

m
e
n
u
r
u
n

Kesul
itan
tidur
menu
run

Resiko S Observasi
Infeksi e
a. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik.
berhubu t Terapeutik
ngan e
dengan l a. Batasi jumlah pengunjung.
kerusak a b. Berikan perawatan kulit pada area edema.
an h c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
integrita pasien dan lingkungan pasien
s kulit d d. Pemberian teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
i
Edukasi
l
a a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
k b. Ajarkan cara mencuci tangan dengan
u benar.
k c. Ajarkan etika batuk.
a d. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
n luka operasi.
e. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
t f. Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
i
n
t Kolaborasi
d
a a. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
k perlu.
a
n

k
e
p
e
r
a
w
a
t
a
n

s
e
l
a
m
a

1
x
2
4

j
a
m

m
a
k
a

i
n
t
e
g
r
i
t
a
s

k
u
l
i
t

m
e
n
i
n
g
k
a
t

d
e
n
g
a
n

k
r
i
t
e
r
i
a

h
a
s
i
l

I
n
t
e
g
r
i
t
a
s

k
u
l
i
t

d
a
n

j
a
r
i
n
g
a
n

a.
Pe
rf
us
i
ja
ri
ng
an
m
en
in
gk
at
b. K
er
us
ak
an
ja
ri
ng
an
m
en
ur
un
c. K
er
us
ak
an
la
pi
sa
n
ku
lit
m
en
ur
un
d. N
ye
ri
m
en
ur
un
e. S
uh
u
ku
lit
m
e
m
ba
ik

Ganggu S Observasi
an e
Mobilita t a. Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian.
s Fisik e (fraktur).
b.d l b. Monitor bagian distal area cidera.
kerusak a c. Monitor adanya adanya pedarahan pada daerah
an h cidera.
integrita
Terapeutik
s d
struktur i a. Identifikasi material bidai yang sesuai.
tulang l b. Tutup luka terbuka dengan balutan.
dibuktik a c. Atasi perdarahan sebalum bidai di pasang.
an k d. Berikan bantalan pada bidai.
dengan u e. Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cidera.
pasien k f. Topang kaki mengunakan penyangga kaki.
tanpak a g. Tempatkan eksremitas yang cidera dalam posisi
nyeri n fungsional
saat h. Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat di
bergera t temukan .
k. i i. Gunakan kedua tanagan untuk menopang area cedera.
n j. Gunakan kain gendong secara tepat
d
a Edukasi
k
a. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur
a
sebelum pemasangan bidai
n
b. Anjurkan membatasi gerak pada area cedera
k
e
p
e
r
a
w
a
t
a
n

s
e
l
a
m
a

1
x

2
4

j
a
m

m
a
k
a
m
o
b
i
l
i
t
a
s

d
i
s
i
k

m
e
n
i
n
g
g
k
a
t
,

d
e
n
g
a
n

k
r
i
t
e
r
i
a

h
a
s
i
l

a. P
e
r
g
e
r
a
k
a
n
e
k
s
r
e
m
it
a
s
m
e
n
i
n
g
k
a
t
b.
N
y
e
ri
m
e
n
u
r
u
n
c. K
e
c
e
m
a
s
a
n
m
e
n
u
r
u
n
d. G
e
r
a
k
a
n
t
e
r
b
a
t
a
s
m
e
n
u
r
u
n

Ganggu S Observasi
an e
Integrita t a. Monitor karakteristik luka (dranase, warna, ukuran,
s e bau)
Kulit/Ja l b. Monitor tanda-tanda infeksi.
ringan a
Terapeutik
b.d h
kelemba a. Lepaskan balutan dan plaster secara perlahan.
pan di d b. Cukur rambut di sekitar luka, jika perlu
buktika i c. Bersihkan dengan NACL atau pembersih nontoksik,
n pasien l sesuai kebutuhan
dengan a d. Bersihkan jaringan nekrotik.
kerusak k e. Berikan salep yang sesuai dengan luka / lesi, jika
an u perlu
jarinagn k f. Bersihkan jaringan nekrotik.
/ lapisan a g. Pasang balutan sesuai jenis luka.
kulit n h. Pertahankan teknik steril saat perawatan luka.
nyeri, i. Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan
pendara t drenase.
han, i j. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai
hemato n dengan kondisi pasien.
ma. d k. Berikan diet dengan kalori 30-35 kkl/kg / hari dan
a protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari.
k l. Berikan suplemen vitamin dan mineral , sesuai
a indikasi.
n m. Berikan terapi TENS , jika perlu

k
e Edukasi
p
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
e
b. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
r
kalori dan protein.
a
c. Ajarkan perawatan luka secara mandiri.
w
a Kolaborasi
t
a a. Kolaborasi prosedur debridement (mis,
n enzimatik, biologis, mekanis)
b. Kolaborasi pemberian anti biotik,jika
s perlu.
e
l
a
m
a

1
x

2
4

j
a
m

g
a
n
g
g
u
a
n

i
n
t
e
g
r
i
t
a
s

k
u
l
i
t

m
e
n
u
r
u
n

d
e
n
g
a
n

k
r
i
t
e
r
i
a

h
a
s
i
l

a. Pe
rf
us
i
ja
ri
ng
an
m
en
in
gk
at
b. K
er
us
ak
an
ja
ri
ng
an
m
en
ur
un
c. K
er
us
ak
an
la
pi
sa
n
ku
lit
m
en
ur
un
d. N
ye
ri
m
en
ur
un
e. Pe
da
ra
ha
n
m
en
ur
un
f. K
e
m
er
ah
an
m
en
ur
un
g. N
ek
ro
si
s
m
en
ur
un
h. S
uh
u
ku
lit
m
e
m
ba
ik

Risiko S Observasi
Disfung e
si t a. Periksa sirkulasi perifer secara menyeluruh (mis,
Neorova e pulsasi perifer, edema, warna, dan suhu eksremitas)
skuler l b. Monitor nyeri pada daerah yang terkena .
perifer a c. Monitor tanda-tanda penurunan sirkulasi vena .(mis,
b.d h bengkak ,nyeri, peningkatan nyeri pada posisi
fraktur, tergantung, nyeri menetap saat hangat, mati rasa,
penekan d pembesaran vena superfesial, merah, hangat,
an klinis i perubahan warna kulit).
(balutan l
a Terapeutik
k
a. Tinggikan daerah yang cidera 20 derjat di
u
atas jantung.
k
b. Lakukan rentang gerak aktif dan pasif.
a
c. Ubah posisi setiap 2 jam.
n
d. Hindari akses intravena antekubiti.
e. Hindari memijat atau mengompres otot
t
yang cidera.
i
n Edukasi
d
a a. Jelaskan mekanisme terjadinya embili
k perifer.
a b. Anjurkan menghindari maneuver valsava.
n c. Ajarkan cara mencegah emboli perifer.
(mis, hindari imobilisasi jangka panjang).
k d. Ajarkan pentingnya antikoagulan selama 3
e bulan.
p
e Kolaborasi
r
a. Kolaborasi pemberian antikoagulan.
a
b. Kolaborasi pemberian prometazim
w
intravena dalam NaCL 0,9% 25-50 secara lambat
a
dan hindari pengenceran kurang dari 10 cc
t
a
n

s
e
l
a
m
a

1
x

2
4
j
a
m

m
a
k
a

r
e
s
i
k
o

d
i
s
f
u
n
g
s
i

n
e
o
r
o
v
a
s
k
u
l
e
r

p
e
r
i
f
e
r
m
e
n
u
r
u
n
,

d
e
n
g
a
n

k
r
i
t
e
r
i
a

h
a
s
i
l

N
e
u
r
o
v
a
s
k
u
l
e
r
p
e
r
i
f
e
r

a. Si
rk
ul
as
i
ar
te
ri
m
en
in
gk
at
b. Si
rk
ul
as
i
ve
na
m
en
in
gk
at
c. Pe
rg
er
ak
an
ek
sr
e
m
ita
s
m
en
in
gk
at
d. N
ye
ri
m
en
ur
un
e. Pe
da
ra
ha
n
m
en
ur
un
f. N
ad
i
m
e
m
ba
ik
g. S
uh
u
tu
bu
h
m
e
m
ba
ik
h. W
ar
na
ku
lit
m
e
m
ba
ik
(5
)
Resiko S Observasi
pedarah e
an b.d t a. Monitor tanda dan gejala pendarahan.
trauma e b. Monitor hematokrik/hemoglobin sebelum dan setelah
dan l kehilangan darah.
tindakan a c. Monitor tanda-tanda vital ortostatik.
pembed h d. Monitor koagulasi
ahan
Terapeutik
d
i a. Pertahankan bed rest selama pedarahan.
l b. Batasi tindakan infasif
a c. Gunakan kasue pencegah decubitus.
k d. Hindari pengukuran suhu rektal
u
k Edukasi
a
n a. Jelaskan tanda dan gejala pedarahan.
b. Anjurkan mengunakan kaus kaki saat
t ambulasi.
i c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
n untuk menghindari konstipasi.
d d. Anjurkan menghindari aspirin atau
a antikuagula.
k e. Anjurkan meningkatkan asupan makanan
a dan vitamin k.
n f. Anjurkan segera melapor jika terjadi
pedarahan.
k
e Kolaborasi
p
a. Kolaborasi pemberian obat pengontrol
e
perdarahan.
r
b. Kolaborasi pemberian produk darah.
a
c. Kolaborasi pemberian pelunak tinja.
w
a
t
a
n

s
e
l
a
m
a

1
x
2
4

j
a
m

m
a
k
a

p
e
n
y
e
m
b
u
h
a
n
l
u
k
a

m
e
n
i
n
g
k
a
t
,

d
e
n
g
a
n
k
r
i
t
e
r
i
a

h
a
s
i
l

a. Pe
ny
e
m
bu
ha
n
ku
lit
m
en
in
gk
at
b. Pe
ny
at
ua
n
te
pi
lu
ka
m
en
in
gk
at
c. N
ye
ri
m
en
ur
un
d. In
fe
ks
i
m
en
ur
un
Setelah dilakukan tindakan
Ganggu
keperawatan selama 1x 24 jam maka Observasi
an diharapkan
citra ekspektasi citra tubuh
tubuh
meningkat dengan krteria hasil : a. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan
berhubu
a. Melihat bagian tubuh meningkat tahap perkembangan
ngan
b. Menyentuh bagian tubuh b. Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin,
denganmeningkat dan umur terkalt citra tubuh
perubah
c. Verbalisasi kecacatan bagian c. Identifikasi perubahan citra tubuh yang
an tubuh meningkat
struktur/ mengakibatkan isolasi sosial
d. Verbalisasi kehilangan bagian
fungsitubuh meningkat d. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap
tubuh
e. Verbalisasi perasaan negatif diri sendiri
tentang perubahan tubuh menurun e. Monitor apakah pasien bisa melihat bagian
f. Verbalisasi kekhawatiran tubuh yang berubah
terhadap penolakan/reaksi orang
lain menurun Terapeutik
g. Menyembunyikan bagian tubuh
berlebihan menurun a. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
h. Menunjukkan bagian tubuh b. Diskusikan perbedaan penampilan fisik
berlebihan menurun terhadap harga diri
c. Diskusikan perubahan akibat pubertas,
kehamilan dan penuaan
d. Diskusikan kondisi stres yang
mempengaruhi citra tubuh (mis, luka, penyakit.
pembedahan)
e. Diskusikan cara mengembangken harapan
citra tubah secara realistis
f. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh

Edukasi

a. Jelaskan kepada keluarga tentang perawatan perubahan


citra tubuh
b. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri terhadap citra
tubuh
c. Anjurkan menggunakan alat bantu (mis, pakalan, wig,
kosmetik)
d. Anjurkan mengikuti kelompok pendukung (mis.
kelompok sebaya)
e. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
f. Latih peningkatan penapilan diri (mis. berdandan)
g. Latih pengungkapan kemampuan diri kepada orang lain
maupun kelompok
DAFTAR PUSTAKA
XApley, G.A and Solomon, L. 2010. Apley's System of Orthopaedics and Fractures. 9 th
ed. London : Hodder Arnold.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Hardhi, Arif Muttaqin .2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Muskuloskaletal. Jakarta : EGC
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Defisit dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Prof. Chairuddin Rasjad, MD. P. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.
Yarsif Watampone
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai