Anda di halaman 1dari 29

Departemen Keperawatan Medikal Bedah

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANGAN BAJI AMPE
RSUD LABUANG BAJI

OLEH :

RISDAWATI, S.Kep
70900120039

CI LAHAN CI INSTITUSI

(Hj. Agustiawati A. D, S.Kep., Ns.) (A. Budiyanto Adi Putra, S.Kep., Ns., M.Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS 18


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Melitus dari bahasa Latin yang bermakna manis atau madu.
Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urin
yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif
insentivitas sel terhadap insulin.

Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent


Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat
berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti
kecacatan dalam produksi insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan
jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di
dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)

Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak
mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma
yang normal, sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler
akibat insulin. (Elizabeth J Corwin, 2009)

B. Etiologi
Adapun penyebab DM tipe II antara lain:
a. Penurunan fungsi cell b disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Glukotoksisitas : Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan
menyebkan peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat
peningkatan apoptosis sel beta
2) Lipotoksisitas : Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan
adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif
menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.
3) Penumpukan amiloid : Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat
sehingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan
berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan
sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga
menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga
akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM
Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
4) Efek inkretin : Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
5) Umur : Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia
lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 –
92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat
sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat
mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami
perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-
sel jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain
yang mempengaruhi kadar glukosa.
6) Genetik
b. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
1) Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
2) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3) Kurang gerak badan
4) Faktor keturunan ( herediter )
5) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress
menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus
mensekresi corticotropin releasing factor yang menstimulasi pituitari
anterior memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar
glukosa darah (FKUI, 2011)
c. Faktor Resiko DM Tipe II
Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
1) Usia ≥ 45 tahun
2) Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m 2
yang disertai dengan faktor resiko:
a) Kebiasaan tidak aktif
b) Turunan pertama dari orang tua dengan DM
c) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau
riwayat DM gestasional
d) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
e) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
f) Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
g) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
h) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
3) Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
4) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
5) Kurang gerak badan
6) Faktor genetik
7) Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
8) Stress (FKUI, 2011)
C. Patofisiologi
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β,
yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi
insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk
mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama
kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga
kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah
diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi insulin.(
FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi
jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin
yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan
bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa
memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya
pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena
sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya
makin meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan
trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar
alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan
sel darah merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif
. Karena masih terdapa insulin , individu dengan DM Tipe II jarang mengandalkan
asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth
J Corwin, 2009)
D. Manifestasi Klinis
a. Tanda dan gejala spesifik DM tipe II, antara lain :
1) Penurunan penglihatan.
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan
keluar melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar
dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti
penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi)
dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH,
vasopresin) dan menimbulkan rasa haus.
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai
energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan
kelelahan.
5) Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi
penurunan berat badan tanpa terapi.
6) Konfusi atau derajat delirium.
7) Konstipasi atau kembung pada abdomen (akibat hipotonusitas lambung).
8) Retinopati atau pembentukan katarak.
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi
perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak
kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat
dehidrasi.
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan
nyeri perifer atau kebas.
11) Hipotensi ortostatik.
b. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi
mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada
kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3) Paretesia atau abnormalitas sensasi
4) Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret
vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat
menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh
6) Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai
penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari
kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya.
7) Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari
( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan
sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM Tipe II
1. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1) Obat Hipoglikemik Oral
a. Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu
memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata
obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja
golongan obat ini antara lain:
- Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
- Menurunkan ambang sekresi insulin
- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
(FKUI, 2011)
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan
Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.(FKUI,
2011)
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin
a) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada
tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan.
(FKUI, 2011)
b) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis
meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan
glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI,
2011)
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase
alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh
pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
d) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap
sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat
diturunkan. (FKUI, 2011)
2) Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II
tertentu akan butuh insulin bila:
a) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa
darah
b) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa
protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan
lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke
dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu
penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.(FKUI,2011)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien
maupun keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang
sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam
pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih,
menghindari alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk
kesehatan, menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau
pekerjaan, pola makan yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan
dan meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang
memiliki resiko
f. Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan
jasmani atau kebugaran yang sesuai.
3. Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control
metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau
obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan
berat badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan
kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan
dari penyakit metabolic
d. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati
autonomic dan penyakit jantung
f. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma.
Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan
dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar
glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata
karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara
tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi
kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat
membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
c. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan
glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih
membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar
glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan
setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut
ini terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau
lebih.
d. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya,
biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan
pada lansia dengan toleransi glukosa normal.
e. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu
sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga
jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan
dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan
anemia hemolitik.
f. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton
dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2011)
g. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional
dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar
glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10
minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam
setahun. (FKUI, 2011)
h. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan
penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan
aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap
kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
i. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan
dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali
glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi
secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector
elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk
mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi.
G. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
a. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan
insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh
pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi
alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat
berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya
mengancam jiwa.
b. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan
diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita
diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
c. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang
menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan
hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas
(di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda
gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis
menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran
(biasanya koma atau hampir koma).
d. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri
dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam
berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan
lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare
noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
e. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali
lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini
lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya
retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem
saraf pusat.
f. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan
glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini
membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.
(Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
BAB II

TINJAUAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas klien
Asuhan keperawatan pada tahap pertama yaitu pengkajian. Dalam pengkajian perlu
di data biodata pasiennya dan data-data lain untuk menunjang diagnosa. Data-data
tersebut harus yang seakurat-akuratnya, agar dapat di gunakan dalam tahp
berikutnya. Misalnya meliputi nama pasien, umur, keluhan utama, dan masih
banyak lainnya.
b. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang :
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan nyeri, kesemutan pada
ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola
mata cekung, Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan,
lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
2. Riwayat kesehatan lalu
Biasanya klien DM mempunyai Riwayat hipertensi, penyakit jantungseperti
Infart miokard
3. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya Ada riwayat anggota keluarga yang menderita DM
c. Pola-pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki
diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, lebih dari 6 juta dari penderita DM tidak menyadari akan
terjadinya resiko Kaki diabetik bahkan mereka takut akan terjadinya amputasi
(Debra Clair, journal februari 2011).
2. Pola nutrisi metabolic
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka
kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan
sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan
mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
3. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada
urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan
4. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur,
tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan sampai
terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai
bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-
hari secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
5. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka , sehingga
klien mengalami kesulitan tidur.
6. Kognitif persepsi
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami
penurunan, gangguan penglihatan .
7. Persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).
8. Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu
dan menarik diri dari pergaulan.
9. Seksualitas
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Adanya
peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten
pada pria. risiko lebih tinggi terkena kanker prostat berhubungan dengan
nefropati.(Chin-Hsiao Tseng on journal, Maret 2011)
10. Koping toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
konstruktif / adaptif.
11. Nilai keprercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka
pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.
d. Pemeriksaan Fisik
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan
dan tanda – tanda vital.
1. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apak ah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
2. Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban dan shu kulit di daerah  sekitar ulkus dan gangren, kemerahan
pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
3. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah
terjadi infeksi.
4. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau   berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
5. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase,
perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
6. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat
berkemih.
7. Sistem musculoskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah,
lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
8. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek
lambat, kacau mental, disorientasi.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera (D.0136, halaman 294, PPNI, 2016)
a. Definisi: berisiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang

menyebabkan seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi

baik

b. Factor resiko

Eksternal

a) Terpapar pathogen

b) Terpapar zat kimia toksik

c) Terpapan agen nosokomial

d) Ketidakamanan transportasi

Internal

a) Ketidaknormalan profil daerah

b) Perubahan orientasi afektif

c) Perubahan sensasi

d) Disfungsi autoimun

e) Disfungsi biokimia

f) Hipoksia jaringan

g) Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh

h) Malnutrisi

i) Perubahan fungsi psikomotor

j) Perubahan fungsi kognitif

c. Kondisi klinis terkait


a) Kejang

b) Sinkop

c) Vertigo

d) Gangguan penglihatan

e) Gangguan pendengaran

f) Penyakit parkonsin

g) Hipotensi

h) Kelainan nervus vestibularis

i) Retardasi mental

2. Defisit nutrisi (D.0019, halaman 56, PPNI, 2016).

a. Definisi: asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

metabolism.

b. Penyebab

a) Ketidakmampuan menelan makanan

b) Ketidakmampuan mencerna makanan

c) Ketidakmampuan mengabsorsi nutrient

d) Peningkatan kebutuhan metabolism

e) Faktor ekonomi (mis.finansial tidak mencukupi)

f) Faktor psikologis (mis.stres, keengganan untuk makan)

c. Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

(tidak tersedia)
Objektif

1. Berat badan menurunminimal 10% di bawah rentang ideal

d. Gejala dan tanda minor

Subjektif

1. Cepat kenyang setelah makan

2. Kram/nyeri abdomen

3. Nafsu makan menurun

a) Objektif

1. Bising usus hiperaktif

2. Otot pengunyah lemah

3. Otot menelan lemah

4. Membran mukosa pucat

5. Sariawan

6. Serum albumin turun

7. Rambut rontok berlebihan

8. Daire

e. Kondisi Klinis Terkait

1. Stroke

2. Parkinson

3. Mobius syndrome

4. Cerebral palsy

5. Cleft lip
6. Cleft palate

7. Amyotropic lateral sclerosis

8. Kerusakan neuromuscular

9. Luka bakar

10. Kanker

11. Infeksi

12. AIDS

13. Penyakit crohn’s

3. Intoleransi aktivitas

a. Definisi: ketidakcukupan energy untuk melakukan aktivitas sehari-hari

b. Penyebab

a) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

b) Tirah baring

c) Kelemahan

d) Imobilitas

e) Gaya hidup menoton

c. Gejala dan tanda mayor

Subjektif

a) Mengeluh lelah

Objektif

b) Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat

d. Gejala dan tanda minor


Subjektif

1. Dispnea saat/setelah aktivitas

2. Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas

3. Merasa lemah

Objektif

1. Tekanan darah berubah > 20% dari kondisi istirahat.

2. Gambaran EKG menujukkan aritmia saat/setelah aktivitas

3. Gambaran EKG menunjukkan iskemia

4. Sianosis

e. Kondisi klinis terkait

1. Anemia

2. Gagal jantung kongestif

3. Penyakit jantung koroner

4. Penyakit katup jantung

5. Aritmia

6. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)

7. Gangguan metabolic

8. Gangguan muskulosskeletal

4. Ketidakstabilan kadar glukosa darah

a. Definisi: Variasi kadar glukosa darah naik/turun dari rentang normal

b. Penyebab
Hiperglikemia

1. Disfungsi pankareas

2. Resistensi insulin

3. Gangguan toleransi glukosa darah

4. Gangguan glukosa darah puasa

Hipoglikemia

1. Pengunaan insulin atau obat glikemik oral

2. Hiperinsulinemia

3. Endokrinopati

4. Disfungsi hati

5. Disfungsi ginjal kronik

6. Efek agen farmakologis

7. Tindakan pembedahan neoplasma

8. Gangguan metabolic bawaan

c. Gejala dan tanda mayor

Subjektif

1. Mengantuk

2. Pusing

3. Lelah atau lesu

C. Intervensi

No Diagnosa Luaran Keperawatan Intervensi Rasional


. Keperawatan
Defisit nutrisi Nutrisi membaik Observasi/Indentifikasi/Monito 1. Untuk mengetahui pola

r nutrisi klien serta intake

1. Identifikasi pola nutrisi makanan

pasien 2.Mengidentifikasi

2. Identifikasi mual dan penyebab anoreksia

muntah Mulut yang bersih dapat

Terapeutik meningkatkan rasa

Lakukan kebersihan oral makanan

Edukasi

1. Ajarkan kepada keluarga 1. Makan sedikit demi


1.
pasien untuk memberi makan sedikit dapat

tapi sedikit demi sedikit meningkatkan intake

nutrisi

Kolaborasi

1.Kolaborasi dengan ahli gizi Memenuhi kebutuhan

dalam pemberian diet dan nutrisi klien.

pola makan Diet dan pola makan

pada ahli gizi yang

diberikan nutrisi dapat

terpenuhi.
2. Intoleransi Aktivitas membaik Observasi
aktifitas 1. Monitor TTV sebelum dan 1. Untuk mengetahui

sesudah melakukan aktivitas keadaan umum pasien.

2. Identifikasi status fisiologis 2. Mengetahui kondisi

pasien yang menyebabkan pasien

kelelahan atau kelemahan.

Terapeutik

1. Berikan lingkungan

tenang batasi pengunjung,

pertahankan tirah baring.

Edukasi 1. Memberikan

1.Anjurkan pasien untuk ketenangan

membatasi aktivitas.

Kolaborasi 1. Pasien mengetahui

1.Kolaborasi dengan tim aktivitas yang dapat

rehabilitasi medik untuk dilakukan.

merencanakan program terapi

yang tepat. 1. Untuk meningkatkan

2.Kolaborasi dengan ahli gizi aktivitas

2. Mempertahankan gizi
yang adekuat.
3. Resiko cedera Resiko cedera Observasi

menurun 1.Identifikasi adanya agen 1.Untuk mengetahui

penyebab cedera penyebab cedera

Terapeutik

1.Rapikan lingkungan sekitar 1. Mencegah resiko

klien jatuh

Edukasi

1.Anjurkan klien menghindari 1.Menghindari jatuh

tempat licin.

2.Anjurkan klien menggunakan

alat bantu bila dibutuhkan. 2.Mempermudah pasien

beraktivitas.
4. Ketidakstabilan Ketidakstabilan kadar 1. Monitor level glukosa 1. Untuk mengetahui
kadar glukosa glukosa darah
darah kondisi glukosa dalam
darah membaik
darah apakah

mengalami

peningkatan atau

2. Batasi aktivitas jika gula penurunan.

darah > 250 mg/dl. 2. Pembatasan aktivitas

pada pasien dengan

gula darah >250 mg/dl


3. Berikan edukasi pada untuk mengurangi

keluarga pasien tentang resiko cedera.

hasil pemeriksaan gula 3. Edukasi tentang gula

darah. darah sangat penting

untuk keluarga pasien

sehingga membantu

4. Kolaborasi pemberian memonitor dan

insulin manajemen tanda dan

gejala hiperglikemia

4.Pemberian insulin
berfungsi untuk
mempertahankan jumlah
glukosa dalam darah
tetap normal.
Daftar Pustaka

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnosis, Edisi III (Revisi). Jakarta : DPP PPNI.
Wahdah, Nurul. 2011 .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.

Anda mungkin juga menyukai