Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETUS MELITUS TIPE II

Disusun Oleh:
Nama : Dwui Tamara
Nim : 201030100446

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


WIDYA DHARMA HUSADA
TANGERANG
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETUS MELITUS TIPE II

A. Definisi
Berikut ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli,
diantaranya:
1. Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent
Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh
tidak dapat berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai
kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin atau berkurangnya
sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai
dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)
2. Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak
mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa
plasma yang normal, sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan
insensitifitas seluler akibat insulin. (Elizabeth J Corwin, 2009)
3. Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar
insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal
membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport
glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi. (FKUI,
2011)

B. Etiologi
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
1. Penurunan fungsi cell  pankreas
Penurunan fungsi cell  disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1 DAN NF-B dengan akibat
peningkatan apoptosis sel beta
b. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi
ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
c. Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar
glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan
sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta
hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri
sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi
berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d. Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
e. Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada
usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30
tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia.
Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan
ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel
beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan
terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa.
f. Genetik

2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a. Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c. Kurang gerak badan
d. Faktor keturunan ( herediter )
e. Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila
stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan.
Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)

C. Faktor Resiko DM Tipe II


Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
1. Usia ≥ 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m 2
yang disertai dengan faktor resiko:
a) Kebiasaan tidak aktif
b) Turunan pertama dari orang tua dengan DM
c) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau
riwayat DM gestasional
d) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
e) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
f) Menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
g) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
h) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
3. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
4. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
5. Kurang gerak badan
6. Faktor genetik
7. Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
8. Stress (FKUI, 2011)
D. Manifestasi Klinis DM Tipe II
1. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
a. Penurunan penglihatan
b. Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa
dan keluar melalui urine.
c. Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat
besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
Dehidrasi intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi
keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang
hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi
pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan
rasa haus
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis
menyebabkan kelelahan
e. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang
kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering
terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
f. Konfusi atau derajat delirium
g. Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
h. Retinopati atau pembentukan katarak
i. Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan
sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau
luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran
mukosa kering akibat dehidrasi
j. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan
kemungkinan nyeri perifer atau kebas
k. Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)
2. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
a. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa
diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
b. Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air
atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
c. Paretesia atau abnormalitas sensasi
d. Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa
disekret vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis
dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
e. Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi tubuh
f. Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang
ditandai penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian
di pagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan
rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari
kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore
harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan
glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon
ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi
hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk
memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga
tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat
mengurangi efek somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-
anak.
g. Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi
hari ( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh
peningkatan sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini
dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-
hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah
kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang
glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di
pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal maupun atau sebagai
respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol. (Elizabeth J
Corwin, 2009)
E. Patofisiologi DM Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi
insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan
fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula
timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin
untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal.
Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat
itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu
berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan
tetapi jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah
total insulin yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring
dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan
adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah.
Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak
adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis,
yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai
penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan
sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam
darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa
sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu
dengan DM Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan
energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
F. Pathway
G. Komplikasi DM Tipe II
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
1. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati
dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di
sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak
adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala
hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak
disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan
diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang
menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang
ekstrim.
3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang
menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai
dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl),
hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis
osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali
keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat
kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
4. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau
nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi
dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan
pengosongan lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah
makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
5. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali
lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil
ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit
serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis
serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif,
serta depresi sistem saraf pusat.
6. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan
glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini
membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta
vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)

H. Pemeriksaan Penunjang DM Tipe II


Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma.
Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan
dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan
kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat
mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
2. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara
tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi
kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat
membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
3. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi
glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami
hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat
setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
a) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
b) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
c) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl
atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
4. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya,
biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan
pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
5. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu
sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga
jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan
dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan
anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
6. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton
dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2011)
7. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu
terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140
mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal
ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan
sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
8. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan
penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan
aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap
kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
9. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan
dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali
glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi
secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector
elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk
mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)

I. Penatalaksanaan DM Tipe II
1. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek
ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada,
tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat
pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat
ini antara lain:
a. Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored
insulin)
b. Menurunkan ambang sekresi insulin
c. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa (FKUI, 2011)
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.(FKUI, 2011)
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin
a) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah
metformin. Etformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari
reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan
sesudah makan. (FKUI, 2011)
b) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat
ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan
mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2011)
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus
dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
3) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan
terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil
kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)

b. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari
pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin
yang bila kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar
glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide
penghubung (C-peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah
ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada
DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
1) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar
glukosa darah
2) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan, infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin
menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan
lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin
menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai
sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot
dan hati.(FKUI,2011)

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil
yang ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien
maupun keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga
yang sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam
pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih,
menghindari alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk
kesehatan, menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau
pekerjaan, pola makan yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan
dan meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau
yang memiliki resiko
f. Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan
jasmani atau kebugaran yang sesuai.
3. Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control
metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau
obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan
berat badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk
peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau
penyambuhan dari penyakit metabolic
d. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes
yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka
pendek, komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi,
neuropati autonomic dan penyakit jantung
f. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.

Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II


1) Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006,
Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar 10-20% energi
dari protein total.
2) Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih
10% energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak
tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25%
energi.
3) Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah
untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7%
asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol
makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
4) Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia
adalah 45-65% energy.
a) Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada
individu dengan diabetes.
b) Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan
kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame,
acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di terima
sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan
untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35
gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia anjurannya
adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat
larut
6) Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih
dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang
di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
7) Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan
kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar
lemak)
8) Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen
vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan
suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti yang menunjang
bahwa terapi tersebut menguntungkan.( FKUI, 2011 )
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk PerawatEdisi 2.


Jakarta:EGC

Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2007. Asuhan Keperawatan Geriatric.


Jakarta:EGC.

Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC

Wahdah, Nurul. 2011 .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.

Anda mungkin juga menyukai