Anda di halaman 1dari 17

1.

Definisi DM Tipe II
Berikut ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli,
diantaranya:
a. Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent
Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat
berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti
kecacatan dalam produksi insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan
jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di
dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)
b. Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak
mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang
normal, sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat
insulin. (Elizabeth J Corwin, 2009)
c. Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar
insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa
glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan
sebagai bahan bakar metabolisme energi. (FKUI, 2011)
2. Etiologi DM Tipe II
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
a. Penurunan fungsi cell b pankreas
Penurunan fungsi cell b disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan stress
oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
2) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis
akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel
beta sehingga terjadi apoptosis
3) Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa darah
akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan
meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi
insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar
sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri
sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM
Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
4) Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi
sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
5) Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang
mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang
berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan
biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan
ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen
tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon
insulin, sel-sel jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon
lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
6) Genetik
b. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-
faktor berikut ini banyak berperan:
1) Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlah
dan keaktifannya kurang sensitif.
2) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3) Kurang gerak badan
4) Faktor keturunan ( herediter )
5) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang
diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka sistem
hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing
factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)
3. Faktor Resiko DM Tipe II
Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
a. Usia ≥ 45 tahun
b. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang
disertai dengan faktor resiko:
1) Kebiasaan tidak aktif
2) Turunan pertama dari orang tua dengan DM
3) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM
gestasional
4) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
5) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
6) Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
7) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya
8) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
c. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
d. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
e. Kurang gerak badan
f. Faktor genetik
g. Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
h. Stress (FKUI, 2011).
4. Manifestasi Klinis DM Tipe II
a. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Penurunan penglihatan
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan
keluar melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar
dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien
konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi
intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan
menimbulkan rasa haus
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran
darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
5) Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi penurunan berat
badan tanpa terapi
6) Konfusi atau derajat delirium
7) Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8) Retinopati atau pembentukan katarak
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi
perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung
sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri
perifer atau kebas
11) Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)
b. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi
mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada
kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3) Paretesia atau abnormalitas sensasi
4) Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret
vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat menyebabkan rasa
gatal dan kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh
6) Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai
penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar
glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Penyebab
hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di
sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi
glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk
efek somogyi ditujukan untuk memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian
rupa sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi
efek somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7) Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari (
antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar
glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I
atau Tipe II. Hormone-hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari
adalah kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang
glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik
sebagai variasi sirkadian normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone
pertumbuhan atau kortisol. (Elizabeth J Corwin, 2009)
5. Patofisiologi DM Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β,
yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi
insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi
retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak
akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah
meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan.
Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya
sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi
jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin
yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah
usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan
resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa
(transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan
glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan
kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan
glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan
zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus
menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa
insulin , individu dengan DM Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk
menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009).
6. Pathway DM Tipe II

7. Komplikasi DM Tipe II
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:

a. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan insulin
atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin
yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga
yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat
dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
b. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes
Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe 2
yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
c. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic
syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita
diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia
berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L),
dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan
hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan
kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
d. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara,
yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang
menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan
hipotensi ortostatik.
e. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari
yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih
meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri
koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati
progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
f. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa
epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan
terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
8. Pemeriksaan Penunjang DM Tipe II
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan
kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi
hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan
glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih
objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak
langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan
orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar
glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau
hipoglikemia. (FKUI, 2011)
c. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa
serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu
menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir
normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis
biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih.
(Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
d. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya
dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat
berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa
normal. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
e. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya,
merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan
kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun
pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat
dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
f. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan
tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan
menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan
warna ungu. (FKUI,2011)
g. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan
kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah
dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test
AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat,
kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal
4bulan sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
h. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali glikemik dari
hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan
terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS
memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari.
(FKUI,2011)
i. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan
glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya
adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi
glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa
pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi.
(FKUI)
9. Penatalaksanaan DM Tipe II
a. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1) Obat Hipoglikemik Oral
a) Pemicu sekresi insulin
(1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada,
tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik.
Mekanisme kerja golongan obat ini antara lain:
(a) Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
(b) Menurunkan ambang sekresi insulin
(c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
(2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati.(FKUI, 2011)
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin
(1) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari
reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah
dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. (FKUI,
2011)
(2) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan
sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel
dan mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2011)
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
d) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi glukagon
dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
2) Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila kemudian
distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan terbelah untuk
menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang masuk kedalam aliran
darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan
butuh insulin bila:
a) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
b) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein.
Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai
bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan
sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan
hati.(FKUI,2011)
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
1) Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun keluarga
pasien.
2) Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi
atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan
menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
3) Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan
pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
4) Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari alkohol,
penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan, menghilangkan stress dalam
rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan yang baik
5) Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki resiko
6) Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau
kebugaran yang sesuai.

c. Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes memperbaiki
kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic yang lebih baik, dan
beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
1) Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan
asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan
tingkat aktifitas
2) Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
3) Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan
yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama
kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari penyakit metabolic
4) Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
5) Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek, komplikasi kronik
diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati autonomic dan penyakit jantung
6) Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
1) Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006, Kebutuhan protein
untuk penyandang diabetes sebesar 10-20% energi dari protein total.
2) Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy
dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
3) Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk
menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari
seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per
hari.
4) Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65%
energy.
a) Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari perencanaan makan
tidak memperburuk control glukosa darah pada individu dengan diabetes.
b) Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan kebanyakan
karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis
tak bergizi yang dapat di terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan untuk orang yang
tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai
sumber makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari
dengan mengutamakan serat larut
6) Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg,
sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium
perhari.
7) Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan kalori total dan
sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar lemak)
8) Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen vitamin dan
mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan suplemen antioksidan pada
saat ini hanya sedikit bukti yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.(
FKUI, 2011 )
Konsep Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian Keperawatan
1. Identitas pasien
2. Identitas penanggung jawab pasien
3. Keuhan utama
4. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
5. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi insulin
jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
6. Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : - Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan
- Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur
Tanda : - Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
-Letargi / disorientasi, koma
-Penurunan kekuatan otot
2. Sirkulasi
Gejala : - Adanya riwayat hipertensi
-Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
-Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda : - Takikardia
- Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
- Nadi yang menurun / tidak ada
- Disritmia
- Krekels
- Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
3. Integritas Ego
Gejala : - Stress, tergantung pada orang lain
- Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : - Ansietas, peka rangsang
4. Eliminasi
Gejala : - Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
- Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
- Nyeri tekan abdomen
- Diare
Tanda : - Urine encer, pucat, kuning : poliuri
5. Makanan / cairan
Gejala : -Hilang nafsu makan
-Mual / muntah
-Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
-Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
-Haus
-Penggunaan diuretic (tiazid)
Tanda : - Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut). Ganguan
memori (baru, masa lalu) kacau mental.
6. Nyeri / kenyamanan
Gejala : - Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda : - Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
7. Pernafasan
Gejala : - Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum purulen
(tergantung ada tidaknya infeksi)
Tanda : - Lapar udara
- Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
- Frekuensi pernafasan
8. Keamanan
Gejala : - Kulit kering, gatal; ulkus kulit
Tanda : - Demam, diaphoresis
- Kulit rusak, lesi / ilserasi
- Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak
2) Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual muntah
2. Resiko devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic dan poliuria
3. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi,
penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit.
3) Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual muntah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
Tujuan : jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang
Kriteria hasil : tepat, BB stabil, nilai lab normal

Intervensi :
a. Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan
yang dapat dihabiskan pasien
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapeutik
c. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan elektrolit
dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan
melalui oral
Rasional : Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi
gastroisntetinal baik
d. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Rasional : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi
insulin terkontrol.
e. Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional : Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien

2. Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
Tujuan : jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan
oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor
kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat
secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Kriteria hasil :

Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
b. Ukur berat badan setiap hari
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang
adekuat
d. Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan
Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional :
- Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat homokonsentrasi
yang terjadi setelah dieresis osmotik
- BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau
tanda awitan kegagalan ginbjal.
- Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia dan
dehidrasi
- Natrium : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari
intra sel (dieresis osmotik)
- Kalium : Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis
3. Gangguan integritas kulit b/d gangrene
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
Tujuan : jam diharapkan integritas kulit dapat membaik.
- Mempertahankan integritas kulit
- Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah
Kriteria hasil : kerusakan kulit.
Intervensi :
1. Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan / kurus
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer, imobilitas fisik dan
gangguan status nutrisi.
2. Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional : Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
3. Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine tiga kali
sehari selama 15 menit
Rasional : Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
4. Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional : Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi silang. Plester
adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.
5. Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam amati tanda-
tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional : Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang mengganggu
absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam makan. Meskipun tidak ada riwayat
reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.H
DENGAN DM TIPE II DI RUANG 22 RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL
ANWAR MALANG

DI SUSUN OLEH :
SERGILIUS VERIANDA DOSI
2019611040

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2019

Anda mungkin juga menyukai