Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA Ny. M DENGAN KASUS DM TIPE II (DIABETES MELITUS TIPE II)


Di Ruang EBONI RS. TORABELO SIGI

ANNISA FERENINTA
PO7120319082

CI KLINIK PEMBIMBING INSTITUSI

POLTEKKES KEMENKES PALU


JURUSAN DIV KEPERAWATAN
TAHUN2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA Ny. M DENGAN KASUS DM TIPE II (DIABETES MELITUS TIPE II)
Di Ruang EBONI RS. TORABELO SIGI

ANNISA FERENINTA
PO7120319082

CI KLINIK PEMBIMBING INSTITUSI

POLTEKKES KEMENKES PALU


JURUSAN DIV KEPERAWATAN
TAHUN2021/2022
1 KONSEP DASAR
A. Pengertian
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya (smelzel dan Bare,2015). Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan karakteristik
hipeglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua – duanya
(ADA,2017) Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas
tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan
insulin itu sendiri.
Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia atau
kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam
waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh,
khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat terjadi
kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal) (WHO, 2011) Diabetes Mellitus (kencing
manis) adalah suatu penyakit dengan peningkatan glukosa darah diatas normal. Dimana
kadar diatur tingkatannya oleh hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas (Shadine,
2010)
B. Etiologi
Penyebab dari DM Tipe II antara lain (FKUI, 2011):
1. Penurunan fungsi cell β pancreas
Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan
stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel β.
b) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses
lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik
terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.
c) Penumpukan amyloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa
darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya
dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan
sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari  sel beta yang akan
ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak
sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans
menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d) Efek incretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel
beta.
e) Usia
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut
yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua
yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat
jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta
pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang
menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar
glukosa.

f) Genetik

2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a) Obesitas
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c) Kurang gerak badan
d) Faktor keturunan (herediter)
e) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress
menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus
mensekresi corticotropin releasing faktor yang menstimulasi pituitari anterior
memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa
darah 

C. Tanda dan gejala


Beberapa gejala dari diabetes tipe 2, antara lain:

 Sering buang air kecil, terutama saat malam hari.


 Sering merasa haus.
 Sering merasa lapar.
 Berat badan turun.
 Luka yang sulit sembuh.
 Mudah terserang infeksi.
 Kulit gatal.
 Pandangan kabur.
 Kelelahan.
 Nyeri atau mati rasa pada kaki dan tangan.
 Kesemutan.
 Gatal di kemaluan pada wanita.
 Gangguan ereksi pada pria.
D. Patofisiologi (pathway terlampir)
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi
insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan
fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula
timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin
untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal.
Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat
itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta itu berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi
insulin (FKUI, 2011).
Pada diabetestipe2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2
disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukagon dalam darah
harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes mellitus tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi
pada diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe 2 yang
tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200 mg/dl
hal ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh
ketidakmampuan glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan merangsang
osmotik reseptor yang akan meningkatkan volume ekstrasel sehingga
mengakibatkan peningkatan osmolalitas sel yang akan merangsang hypothalamus
untuk mengsekresi ADH dan merangsang pusat haus di bagian lateral (Polidipsi).
Penurunan volume cairan intrasel merangsang volume reseptor di hypothalamus
menekan sekresi ADH sehingga terjadi diuresis osmosis yang akan mempercepat
pengisian vesika urinaria dan akan merangsang keinginan berkemih (Poliuria).
Penurunan transport glukosa kedalam sel menyebabkan sel kekurangan glukosa
untuk proses metabolisme sehingga mengakibatkan starvasi sel. Penurunan
penggunaan dan aktivitas glukosa dalam sel (glukosa sel) akan merangsang pusat
makan di bagian lateral hypothalamus sehingga timbul peningkatan rasa lapar
(Polipagi).
Pada Diabetes Mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi
atherosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membran kapiler di seluruh
tubuh, dan degeneratif pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada komplikasi
lain seperti thrombosis koroner, stroke, gangren pada kaki, kebutaan, gagal ginjal
dan neuropati.

Pathway
E. Pemeriksaan penunjang

1. Glukosa darah sewaktu


2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
4.
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena < 100 100-200 >200
- Darah kapiler <80 80-200 >200
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena <110 110-120 >126
- Darah kapiler <90 90-110 >110

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

F. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan


aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi
komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes
adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes (FKUI, 2011) :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan
G. Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut PERKENI 2015 komponen dalam penatalaksan DM yaitu:


a. Diet
b. Olahraga
c. Edukasi/penyuluhan
d. Pemberian obat-obatan
e. Pemantauan gula darah
f. Melakukan perawatan luka
g. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital
h. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi
hiperhidrasi
i. Mengelola pemberian obat sesuai program

H. Diagnosa keperawatan yang bisa muncul

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan keseimbangan


insulin, makanan dan aktivitas jasmani
2. Resiko syok b.d ketidakmampuan elektrolit kedalam sel tubuh , hipovolemia
3. Kerusakan integritas jaringan b.d nekrosis kerusakan jaringan (nekrosis luka gangrene)
4. Resiko infeksi b.d trauma pada jaringan , proses penyakit (diabetes melitus)
5. Retensi urine b.d inkomplit pengosongan kandung kemih , sfingter kuat dan poliuri
6. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan sirkulasi darah keperifer , proses
penyakit DM
7. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d gejala poliuria dan dehidrasi

Anda mungkin juga menyukai