PPK Rehabilitasi Medik 2019
PPK Rehabilitasi Medik 2019
REHABILITASI MEDIK
RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
NOMOR : 561.3/PER/RSISA/V/2019
1
DAFTAR ISI
2
PENYUSUN
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
REHABILITASI MEDIK
2. dr. Rahmi Isma AP, Sp.KFR. M.Si. Med KSM Rehabilitasi Medik
3
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 561.3/PER/RSISA/V/2019
tentang
PANDUAN PRAKTIK KLINIS REHABILITASI MEDIK
DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
bismillahirrahmanirrahim
surat keputusan
4
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006
tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan
Departemen Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf
medis (Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit;
9. Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 445/01/BPMD/07/2014 tentang Perpanjangan Izin
Operasional Rumah Sakit Islam Sultan Agung;
10. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor :
107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah
Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah;
11. Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
Nomor : 008.55.09/DSN-MUI/VIII/2017 tentang Penetapan Layanan
dan Manajemen Rumah Sakit Islam Sultan Agung telah memenuhi
prinsip syariah;
12. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM,
M.Kes sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Masa Bakti 2018 – 2022.
13. Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung
Nomor : 70/SK/YBW-SA/VI/2018 tentang Pengesahan Struktur
Oragnisasi RSI Sultan Agung
14. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama RSI
Sultan Agung Masa Bhakti 2018 – 2022;
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :
KESATU : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Nomor : 3778/
PER/RSI-SA/I/2017 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Rehabilitasi Medik
5
6
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
BELLS PALSY
I . PENGERTIAN
Bells Palsy adalah facial paralisis karena disfungsi dari fasialis perifer yang menyebabkan
kelumpuhan otot-otot wajah.
V. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis pada paresis N VII tipe perifer
Gerakan volunter dari;
a. Mengerutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Tersenyum
d. Bersiul
e. Mengencangkan kedua bibir
VI. Diferensial diagnosis
a. Tumor pada serebelopontin angle yang menekan saraf fasialis
7
b. Kerusakan saraf fasialis karena infeksi virus (sidr ramsay hunt)
c. Infeksi telinga tengah atau sinus mastoideus
d. Patah tulang dasar tengkorak
VII. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengeksklusi bells palsy dari differensial diagnosis dapat ditentukan dari riwayat
perjalanan penyakit, dan elektrofisiologi (dirujuk ke RS rujukan) bila tidak ada perbaikan
kontraksi otot dalam waktu 3 bulan
VIII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik
1. Untuk megurangi nyeri, diberikan modalitas panas pada sisi wajah yang mengalami
kelumpuhan. Pemanasan superfisial dengan infra red atau menggunakan diathermy
sesuai indikasi
2. Latihan re edukasi otot otot wajah, latihan gerak volunter otot wajah dan masase otot
wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis, mengerutkan dahi,
menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul, meniup dengan
bantuan maupun tidak dengan bantuan di depan kaca sebagai feedback
3. Pemberian modalitas listrik untuk mencegah atrofi dan memperkuat otot.
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadinya atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah.
Faradisasi diberikan untuk menstimulasi otot, redukasi, melaatih fungsi otot,
meningkatkan sirkulasi, meregangkan serta mencegah perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
IX. Edukasi
a. Beri obat tetes mata / artifisial tears drop 3x sehari untuk melindungi kornea
b. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur supaya otot orbicularis
oculi terlatih secara pasif, dan melindungi kornea saat tidur
c. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit bila telah melewati
stadium akut, 3hari
d. Masase wajah yang lumpuh kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat dengan maksud peberian latihan otot dengan melawan gravitasi
e. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang lumpuh, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
X. Daftar Pustaka
1. Sidharta P. Bells palsy. Dalam Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2.
Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat, Jakarta;2007
2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine II; Clinical Evaluation and Findings. In:
Braddom RL et al. Physical Medicine and Rehabilitation 4th ed. Elsevier Sauders.
Philadelphia; 2011.p.209.
3. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affair Ministry of
Health – Physical Therapy Management Facial Nerve Paralysis. Kuwait; 2007
4. Teixeria LJ. Physical therapy for Bells palsy (idiopathic facial paralysis). The Cochrane
Collaboration Published by John Wiley, Ltd.2008
8
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
CERVIKAL SINDROME
I . PENGERTIAN
Sekumpulan gejala berupa nyeri tengkuk, nyeri yang menjalar, rasa kesemutan yang
menjalar, spasme otot yang disebabkan karena perubahan struktural kolumna vertebra
servikal akibat perubahan degenerative pada diskus intervertebralis, atau pada ligamentum
flavum.
II. ETIOLOGI dan Patogenesa
Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa hal sepeti: proses infeksi, perubahan
degenerative, trauma, tumor dan kelainan sistemik. Salah satu penyebab nyeri servikal
adalah radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan perubahan struktur anatomi
tulang leher dapat menimbulkan keluhan radikulopati. Sebanyak 34% dari populasi mengalai
nyeri cervial, 14% diantaranya mengalami lebih dari 6 bulan, lebih sering pada populasi usia
diatas 50 tahun
V. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos cervikal , penting untuk mendeteksi adanya subluksasi, fraktur maupun
proses degeratif
b. EMG dilakukan bila terjadi gangguan motorik yang cukup berat sehingga pasien
mengalami kelemahan motorik, dengan EMG dapat membantu mengetahui apakah
gangguan neurogenik atau tidak, menentukan level dari iritasi radiks, membedakan lesi
radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi radiks
9
VII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik dan edukasi
Tujuan tatalaksana:
a. Mengurangi nyeri dengan modalitas
b. Mengoptimalkan ROM
c. Meningkatkan fungsi
d. Memperbaiki postur
e. Menjaga stabilitas sendi
VIII. Edukasi
Edukasi pasien meliputi, penjelasan tentang penyakitnya, risiko penyakit, proper body,
memodifikasi aktifitas/ pembatasan aktifitas, home exercising
10
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
LOW BACK PAIN
I . PENGERTIAN
Adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah yaitu diantara iga terbawah
sampai lipatan gluteal.
II. ETIOLOGI dan Patogenesa
1. Mekanikal
a. Strain, sprain lumbal (70%)
b. Proses degenerative diskus dn facet (10%)
c. Herniasi diskus (4%)
d. Stenosis spinalis (3%)
e. Fraktur kompresi osteoporotik (4%)
f. Spondilolisthesis (2%)
g. Fraktur traumatik (<1%)
h. Penyakit kongenital (<1%)
2. Non Mekanikal
a. Neoplasia
b. Infeksi
c. Osteomyelitis
d. Abses epidural
e. Abses paraspinal
f. Artritis inflamatorik
g. Ankylosing spondylitis
IV. Anamnesis
a. Lokasi nyeri
b. Karakteristik nyeri
c. Onset, durasi, frekuensi
d. Faktor pemicu
e. Pekerjaan
f. Aktifitas sehari hari
V. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik
a. Observasi postur, deformitas tulang belakang, pola jalan
11
b. Palpasi tulang dan otot, trigger point, spasme, tonus
c. Gerakan ROM spine, ekstremitas
d. Test neurologi; miotom L1-S1, sensitifitas sesuai dermatom L1-S1, Refleks, keseimbangan
dan koordinasi
e. Low Back manuver; SLR, Kernig test, genslen sign dan patric contra patric
X. Daftar Pustaka
a. Abd OE. Low Back prain. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadelphia;
2008:247-52
b. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In: Braddom RL (ed), Physical Medicine and
Rehabilitation, 4th edition, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia; 2011: 871-912
12
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
STROKE
I . PENGERTIAN
Stroke dalah kumpulan gejala kelainan neurologis yang timbul mendadak akibat gangguan
peredaran darah otak yang disebabkan penyakit atau kelainan yang juga merupakan faktor
risiko.
Gejala tersebut dapat disertai atau tidak disertai gangguan kesadaran dan manifestasi klinis
tergantung lokasi lesi neuroanatomis
13
9. Pemeriksaan koordinasi motorik
10. Uji keseimbangan statis dan dinamis
11. Uji fungsi lokomotor
12. Uji fungsi komunikasi
13. Uji fungsi menelan
14. Uji fungsi berkemih
15. Uji fungsi defekasi
16. Uji kemampuan fungsional dan perawatan diri
17. Uji pola jalan
V. Keterbatasan Fungsional
1. Keterbatasan gerak
2. Keterbatasan keseimbangan
3. Gangguan menelan
4. Gangguan kognitif (memori, perhatian, persepsi ruangan)
5. Gangguan komunikasi
6. Gangguan berkemih dan defekasi
7. Gangguan psikis
8. Gangguan fungsional dan perawatan diri
14
2. Disfagia
Penanganan disfagia neurogenk tergantung pada fasenya, meliputi penggunaan selang
nasogastrik, modifikasi diet (misal: cairan kental, makanan dihaluskan) dan terapi
menelan (misal: penggunaan tehnik kompensasi seperti mengangkat dagu saat
menelan)
3. Komunikasi
Gangguan komunikasi bisa berupa afasia dan disartria. Tindakan rehabilitasi diberikan
sesuai dengan penilaian (uji fungsi komunikasi) yang terdapat pada pasien
4. Kognisi
Stroke seringkali mempengaruhi kemampuan kognisi pasien. Perubahan dalam
memori, perhatian, insight/ wawasan dan kemampuan penyelesaian masalah sering
ditemukan pada pasien dengan stroke.
Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi dapat ditentukan dengan mini mental
state. Edukasi dan latihan keluarga merupakan komponen penting dalam rehabilitasi
kognitif.
Pengenalan dan penatalaksanaan depresi paska stroke merupakan hal yang sangat
penting, karena depresi dapat menyebabkan penurunan kognitif paska stroke
5. Ortotis
Ortosis dapat membantu kegiatan mobilisasi penderita stroke. Ortosis dapat
membantu kompensasi pada gangguan dorsofleksi pergelangan kaki (drop foot),
mengontrol pergerakan kaki, spastisitas dan stabilisasi sendi lutut (cenderung
hiperekstensi).
6. Bantuan Ambulasi
Adanya hemiparesis pada penderita stroke menyebabkan banyak penderita stroke
yang membutuhkan alat bantu untuk ambulasi, seperti tongkat, tongkat kaki empat/
hemi walker, atau pada beberapa kasus dapat menggunakan walker konvensional.
Pada kondisi yang berat kursi roda dibutuhkan untuk ambulasi pasien.
7. Subluksasi bahu
Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus hemiplegi pasca stroke/ Menopang lengan
dengan menggunakan penopang lengan/ sling arm dapat mencegah terjadinya
subluksasi. Pada nyeri bahu akibat terjadinya subluksasi dapat diberikan TENS dan
Elektikal stimulation.
8. Evaluasi untuk dpat bekerja kembali
Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan fungsional yang masih dimiliki dan
ditingkatkan kemampuannya untuk dapat melakukan pekerjaan seperti sebelum
terkena stroke dengan atau tanpa alat bantu
9. Alat bantu adaptif
Alat bantu adaptif merupakan alat bantu yang bentuk dan fungsinya disesuaikan untuk
meningkatkan kemampuan fungsi seorang penderita stroke untuk mampu melakukan
aktifitas yang diperlukan
IX. KOMPLIKASI
1. Nyeri
2. Subluksasi bahu, frozen shoulder
3. Ulkus dekubitus
15
4. Kontraktur
5. Penyakit sendi
6. Osteoporotik
7. Gangguan vaskuler (DVT)
8. Gangguan respirasi (Bronkhitis, bronkopneumonia)
X. Daftar Pustaka
1. Pengembangan konsep Nasional Penanggulangan Stroke, Depkes, 2001
2. Standar Operasional Prosedur, Depkes, 2002
3. Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke, Perdosri, 2004
4. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, Perdossi, 1999
5. Bradstater ME. Important Practical Issues in Rehabilitation of Stroke Patients. In: Stroke
Rehabilitation, Williams and Wilkins. 1987, p.90-101.
6. Sten J. Stroke. In: Frontera WR, editor. Essenials of Physical Medicine and
Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008 .p 887-91.
16
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
CHF
I. Pengertian
Gagal jantung (CHF) adalah sutu keadaan dimana jantung tidak dapat memompakan darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun aliran darah balik
cukup
II. Etiologi
Penyebab gagal jantung dikategorikan dalam 6 kategori,
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokrad, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (Left Bundle
Branch Block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati)
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi)
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup
4. Kegagalan yang disebabkan oleh abnormalitas ritme jantung (takikardi)
5. Kegagalan yang disebabkan oleh abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade
jantung)
6. Kelainan kongenital jantung
III. Anamnesis
1. Sesak nafas bila melakukan aktivitas
2. Pasien mengeluh cepat lelah bila melakukan pekerjaan dan berjalan kaki
3. Edema perifer, edema didapatkan pada tungkai dan membaik bila beristirahat
4. Takikardi sering terjadi baik saat melakukan aktivitas maupun sedang beristirahat
IV. Pemeriksaan Fisik
Status generalisata : dilakukan pemeriksaan tanda vital, tekanan darah, nadi, RR dan suhu
a. Inspeksi : penilaian keadaan umum saat istirahat dan selama aktifitas jalan, apkah
pasien mengalami sesak nafas, posisi saat beristirahat
b. Palpasi : palpasi jantung (ictus cordis), v jugularis apakah terjadi peningkatan,
pembesaran hepar dan lien (hepatosplenomegali)
c. Perkusi : didapatkan pembesaran pinggang jantung
d. Auskultasi : penilaian bunyi jantung (murmur, gallop)
V. Pemeriksaan penunjang (sesuai DPJP)
a. Rontgen thoraks untuk melihat adanya pembesaran jantung atau kardiomegali
b. Hasil EKG, untuk menilai adanya cardiomegali dan hipertrofi ventrikel kiri
VI. Kriteria dignosis
Sesuai dengan gambaran klinis dan hasil pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria NYHA
VII. Kalsifikasi
Berdasarkan New York Heart Assosiation dibagi dalam 4 kelas
Kelas 1. Aktifitas sehari-hari tidak terganggu, sesak timbul bila melakukan aktifitas yang
berat
Kelas 2. Aktifitas sehari hari sedikit terganggu
Kelas 3. Aktifitas sehari hari sangat terganggu, saat istirahat lebih nyaman
Kelas 4. Saat istirahat terasa sesak.
17
VIII. Tujuan tatalaksana
a.Memperbaiki performa fisik
b.Memperbaiki keluhan sesak nafas
c. Meningkatkan kemampuan aktifitas
d.Meningkatkan toleransi latihan
e.Menurunkan mortalitas dan morbiditas
f. Menurunkan rehospitalisasi
IX. Tatalaksana
Inpatient
a. Mobilisasi sesuai kelas aktifitas fungsional
Functional Capasity 1 > 6 Mets (Metabolik equivalent)
Functional Capasity 2 berkisar 5-6 mets
Functional Capasity 3 berkisar 3-4 mets
Functional Capasity 4 berkisar 1-2 mets
b. Latihan ROM keempat ekstremitas secara aktif tanpa tahanan Out patient fase initial
(selama 4-6 minggu)
c. Awal latihan dilakukan uji jalan 6 menit untuk menentukan metabolik equivalent
setelah rawat inap
d. Latihan aerobik jalan dengan intensitas rendah dengan target HR 50% HR maks
e. Latihan ergocycle 50-60% HR max
f. Latihan relaksasi
Tujuan menigkatkan kelas fungsional menurut NYHA
X. Edukasi
Outpatient fase progresif
a. Latihan aerobik jalan ditingkatkan dengan target HR 50% dari HR maks
b. Latihan ergocycle 60-70% HR maks
c. Latihan relaksasi
Tujuan meningkatkan kelas fungsional NYHA
Lama latihan 6-26 minggu
Outpatient fase pemeliharaan
d. Latihan aerobik sesuai fase progresif
e. Latihan ergocycle sesuai fase progresif
f. Latihan relaksasi
Tujuan ketahanan aerobik dan toleransi latihan dengan target HR 70% HR maks Lama
latihan 52 minggu
XI. Daftar Pustaka
Guidlines for Cardiac Rehabilitation and Secundary Prevention Program 3rd ed. American
association of Cardiovacular & Pulmonary Rehabilitation. 1999: 19.21.45.
18
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
CARPAL TUNNEL SYNDROME
I . PENGERTIAN
Adalah neuropati akibat kompresi n medianus pada terowongan karpal dipergelangan
tangan. Kelainan ini merupakan mononeuropati yang tersering akibat kompresi saraf pada
anggota gerak.
II. ETIOLOGI dan Patogenesa
Biasa dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu seperti posisi pergelangan tangan dan
tangan yang kurang benar, penekanan pada bagian dasar telapak tangan dan gerkan yang
berlebihan dan vibrasi.
III. Manifestasi Klinis
a. Gejala klasik CTS adalah baal dan parestesi pada digit I, II, III dan setengah lateral digiti
IV. Gejala awal berupa terbangun pada malam hari dengan rasa baal atau nyeri pada
jari-jari. Gejala pada siang hari biasanya disebabkan oleh aktifitas yang memposisikan
pergelangan tangan pada posisi fleksi atau ekstensi berlebihan atau gerakan repetitif
yang berlebihan
b. Gejala nyeri pada sisi volar pergelangan tangan dan pegal pada forearm juga dapat
ditemukan. Gejala berkurang dengan mengibas ngibaskan tangan (flick sign)
c. Gangguan otonom dapat dideskripsikan sebagai adanya edema pada tangan, kulit
kering dan dingin.
d. Pada tahap yang lebih lanjut, rasa baal dirasakan konstan dan gangguan motorik
tampak lebih jelas, dengan keluhan kelemahan yang berhubungan dengan prehensi/
kemampuan memegang tangan, sehingga pasien akan menyampaikan bahwa dia
sering menjatuhkan benda yang digenggam.
e. Kesulitan melakukan gerak repetitif seperti mengetik, mengemudi kendaraan roda dua,
kesulitan melakukan ADL mengikat tali sepatu, mengancingkan baju dan memasukkan
kunci kedalam lubang kunci
19
4. Atrofi dan test kekuatan otot abduktor pollicis brevis terbukti sebagai test yang spesifik
tapi tidak sensitif
V. Keterbatasan Fungsional
Sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari karena nyeri dan kesemutan
Kesulitan dalam melakukan gerakan berulang dalam aktifitas sehari hari (mengendarai
kendaraan bermotor, menggunakan keyboard komputer)
Gejala lanjut karena kelemahan otot thenar sehingga kesulitan bila menggenggam
Kesulitan menalikan sepatu, mengkancingkan baju dan membuka kunci
20
X. Komplikasi
Penyakit :
gangguan sensorik kronik/ menetap
impairment motorik
kerusakan saraf permanen
Terapi :
Efek samping medikamentosa
Komplikasi tindakan bedah
21
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
OA GENU
I . PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) adalah suatu kelainan sendi kronis (jangka lama) dimana terjadi proses
pelemahan
dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan pertumbuhan tulang dan tulang
rawan
baru pada sendi. Kelainan ini merupakan suatu proses degeneratif pada sendi yang dapat
mengenai satu atau lebih sendi.
22
yang disertai bunyi gemeretak (krepitus). Sendi terasa lebih kaku setelah istirahat.
Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku.
d. Sendi akan terlihat membengkak karena adanya penumpukan cairan di dalam sendi.
Pembengkakan ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot sekitarnya yang
diakibatkan karena otot menjadi jarang digunakan
- Nyeri sendi di sekitar lutut selama weight bearing dan berkurang dengan istirahat,
namun dengan berkembangnya penyakit, rasa sakit menetap sampai saat istirahat
- Nyeri tekan pada lutut sesuai kompartemen yang terlibat
- Penurunan ROM karena kekakuan sendi atau pembengkakan
- Sensasi locking karena berbagai penyebab, termasuk debris dari degenerasi tulang
rawan atau meniskus pada sendi, peningkatan perlekatan permukaan artikular,
kelemahan otot (kuadrisep femoris) peradangan jaringan
- Peradangan dalam berbagai derajat
V. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
- Hipertrofi tulang
- Varus deformitas dari keterlibatan kompartemen medial
Palpasi
- Peningkatan suhu
- Efusi sendi
- Nyeri tekan sendi
ROM
- Nyeri saat fleksi lutut
- Penurunan fleksi sendi karena nyeri
- Krepitasi
Stabilitas sendi
- Ketidak stabilan mediolateral
Neurologis
- Umumnya normal, dengan pengecualian penurunan kekuatan otot terutama daerah
kuadriseps, karena penurunan aktifitas otot tersebut sebagai guarding sekunder
terhadap rasa nyeri
23
- Mengurangi nyeri
- Mengoreksi dan mencegah kelainan biomekanik
- Memperbaiki kekuatan otot, fungsi dan qualitas hidup
IX. Komplikasi
Potensi komplikasi penyakit
- Berkurangnya mobilitas dengan komplikasi sindrom imobilitas dan deconditioning
- Antalgic gait dapat menyebabkan kelainan pinggul kontralateral dan skoliosis lumbal
- Peningkatan risiko jatuh
- Nyeri kronik
X. Daftar Pustaka
1. Wilkins AN, Phillips EM. Knee Osteoarthritis In: Frontera W, Silver J, Rizzo T, Eds,
Essential of Physical Medicne and Rehabilitation 2nd Edition. Elsevier Inc. Philadelphia,
2008. P 345-354
2. Stitik TP, Foye PM, Stiskal D, Nadler RR. Osteoarthritis, In: DeLisa, etal (eds). Physical
Medicine & Rehabilitation Principles and Practice 4th ed. Lippincort William & Wilkins,
Philadelphia: 2005.p 781-810
24
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
CEREBRAL PALSY
I. Pengertian
Cerebral Palsy adalah kelainan gerak dan postur yang disebakan oleh suatu penyakit
atau cedera yang bersifat non progresif pada otak yang immature
II. Epidemiologi
2-3 per 1000 kelahiran hidup
III. Etiologi
a. Prenatal : kelainan kongenital, kelainan plsenta, infeksi, toksik
b. Neonatal : prematuritas, BBLR, infeksi, hipoksia, hiperbilirubinemia, perdarahan
intra kranial, partus lama
c. Post natal : trauma, infeksi, toksik, perdarahan intra kranial, tumor otak
25
Berdasarkan fungsi kemampuan motorik menurut Gross Motor Function
Classification System (GMFCS)
1. GMFCS I : anak dapat berjalan di dalamdan diluar ruangan dan naik
tangga tanpa bantuan
2. GMFCS II : anak dapat berjalan di dalamdan diluar ruangan dan naik
tangga dengan berpegangan
3. GMFCS III : anak dapat berjalan di dalam atau diluar ruangan pada
permukaan datar dengan alat bantu
4. GMFCS IV : dapat berjalan dalam jarak pendek dengan alat bantu namun
lebih sering dengan menggunakan kursi roda di dalam dan diluar rumah
5. GMFCS V : tidak dapat mobilisasi
VIII. Tatalaksana
1. Terapi disfungsi motorik
Kombinasi berbagai bentuk tehnikfasilitasi dengan latihan aktifitas motorik
fungsional sesuai tahap perkembangan mulai dari kontrol kepala hingga latihan
berjalan untuk motorik kasar
Stimulasi gerakan dan ketrampilan tangan sesuai tahapan perkembangan yang
sudah/ belum dicapai
Metode inhibisi, fasilitasi, stimulasi
2. Casting/ splinting, ortosis
Resting atau night splint untuk memelihara ROM, misalnya pada ankle
(mencegah plantar fleksi) dan pada pergelangan tangan atau jari tangan untuk
stabilisasi
AFO Ankle Foot Orthosis, untuk kontrol spastik equinus dan hiperekstensi lutut
saat stance phase
Hip abduction orthosis, untuk mencegah kontraktur adduktor panggul dan
dipasang juga pada pasca operasi adduktor panggul
3. Tatalaksana gangguan bicara
Stimulasi bahasa
Stimulasi sesuai tingkat perkembangan
26
Stimulasi perbendaharaan kata kata
4. Manajemen feeding dan drooling serta gangguan menelan
5. Terapi psikososial dan edukasional
IX. Edukasi
Edukasi keluarga dan lingkungan mengenai penanganan dalam hal interaksi keluarga
dengan penderita, serta lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut
X. Komplikasi
a. Kontraktur, deformitas muskuloskeletal
b. Skoliosis
c. Subluksasi/ dislokasi panggul
d. Infeksi pernafasan
27
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
FASCITIS PLNTARIS
I . Pengertian
Plantar Fascitis adalah overuse injury akibat robekan mikro (microtears) yang berulang pada
fascia plantaris. Secara klasik digambarkan sebagai reaksi peradangan lokal.
II. Etiologi dan Patogenesa
Plantar fascitis adalah salah satu cedera yang paling umum dijumpai pada pelari, dipicu oleh
perubahan dalam program latihan atlet (peningkatan intensitas, frekwensi,penurunan
waktu pemulihan, permukaan berjalan)
Pada non atlit, kondisi ini dipicu oleh peningkatan frekwensi berjalan, berdiri atau naik
tangga.
Faktor risiko seperti pes planus (kaki datar), pes cavus dengan arcus yang tinggi dan rigid,
pronasi yang berlebihan, obesitas, kontraktur tendon achilles dan alas kaki yag kurang
sesuai (arcus support yang tidak adekuat)
V. Keterbatasan Fungsional
a. Tergantung pada beratnya penyakit
b. Pasien mengeluhkan nyeri hanya saat berjalan atau berdiri lama
c. Hanya beberapa kasus parah sampai mengganggu aktifitas
28
VIII. Tatalaksana Rehabilitasi Medik
Tujuan tatalaksana:
a. Mengurangi nyeri dan memperbaiki biomekanik kaki yang salah
Terapi konservatif/ Rehabilitasi
1. Pada fase akut diberikan cryoterapy
2. Modalitas Ultrasound Diathermy
3. Diathermy pada tendon achiles dan gastroknemius / soleus
4. Penguatan otot intrinsik kaki
5. Latihan peregangan
6. Pemakaian alas kaki yang sesuai dengan bentuk kaki
7. Silicone heel pad
IX. Edukasi
Edukasi untuk menghindari aktifitas yang memberatkan, tidak menggunakan high heel dan
alas kaki yang keras
X. Daftar Pustaka
a. Slovick DM, Sokolov. Plantar Fascitis. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds).
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2nd ed. Saunders publishing,
Philadelphia; 2008: 469-474
b. Hansen PA, Willick SE. Musculoskeletal Disorder of the lower limb. In: Bradom RL (ed),
Phyisical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing,
Philadelphia; 2011: 843-870
29
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
PENYAKIT PARU RESTRIKTIF DAN OBSTRUKTIF
I. Pengertian
Penyakit paru restriktif adalah penyakit paru yang memiliki karakteristik pada
penurunan volume paru yang disebabkan oleh adanya perubahan pada jaringan
parenkim paru atau karena adanya proses penyakit pada pleura, dinding dada atau
komponen neuromuskuler
Beberapa kapasitas paru mengalami penurunan kapasitas yaitu kapasitas total paru,
kapasitas vital atau kapasitas paru istirahat
Penyakit paru obstruktif adalah gangguan saluran nafas struktural atau fungsional yang
menimbulkan perlambatan arus respirasi. Gangguan dapat berupa intraluminar (tumor
paru, sumbatan oleh skret, benda asing), ekstraluminar (tumor yang menekan
bronkhus, emfisema) ataupun penebalan mukosa (hiperlasia, hipertrofi), bronkhitis
kronis, emfisema, asma, bronkiektasis.
II. Klasifikasi
1. Penyakit paru intrinsik atau penyakit pada parenkim paru
Penyakit tersebut menyebabkan peradangan atau terbentuknya jaringan parut
pada jaringan paru (interstitial lung disease), atau menyebabkan terisinya ruang
udara pada paru oleh eksudat dan debris (pneumonitis)
2. Penyakit ekstrinsik atau jaringan ekstra parenkim, yaitu pada dinding dada, pleura,
otot respirasi
Kelainan pada semua struktur tersebut dapat menyebabkan restriksi jaringan paru,
kelemahan fungsi ventilasi dan gagal nafas (misalnya penyait penyakit dinding dada
diluar otot atau adanya kelainan neuromuskular)
III. Anemnesis
a. Keluhan utama
b. Kronologis masalah
c. Riwayat fungsional (kemampuan berjalan, naik turun tangga)
d. Riwayat psikososial
e. Obat/ alergi
f. Riwayat medik/ operasi
g. Riwayat keluarga
30
V. Pemeriksaan Penunjang (sesuai DPJP)
a. Laboratorium
b. Foto thoraks
VIII. Tatalaksana
Terapi fisik dada (chest physical therapy)
Terapi fisik dada dapat di definisikan sebagai tehnik terapi yang diterapkan pada
dinding dada dari luar, dalam memfasilitasi pembersihan sekret/ mukus pada saluran
nafas, meningkatkan fungsi pernafasan dan mengurangi komplikasi yang terjadi,
seperti air trapping sampai terjadi hiperinflasion yang akan menyebabkan
perburukan keadaan umum pasien
Terapi fisik dada meliputi,
a.Latihan batuk effektif dengan metode huffing coughing
b. Postural drainage, bertujuan untuk mengeluarkan mukus dari seluruh segmen
paru dengan menggunakan gaya gravitasi
c. Perkusi
d. Vibrasi
e. Terapetik exercise, exercise untuk mengatasi sesak nafas ergabung pada active
cycle of breathing yang erdiri dari : pursed lips breathing, diaphragmatic
breathing dan huffing. Latihan ini diberikan sesuai dengan derajat beratnya.
f. Latihan atau exercise meliputi, relaksasi, latihan otot dan latihn aerobik
Pada penyakit obstruktif paru:
Terapi inhalasi menggunakan alat nebuliser
IX. Edukasi
Nutrisi, asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan paru. Gejala
penyakit paru restriktif seperti kesulitan bernafas, kelelahan dapat berkontribusi
terhadap berkurangnya asupan makanan. Penurunan yang berkepanjangan dalam
31
asupan makanan dapat menyebabkan kekurangan gizi dan kehilagan berat badan yang
signifikan
Psikososial, depresi dan anxietas adalah dua komorbiditi utama yang berhubungan
dengan penyakit paru restriksi, seiring dengan penurunan drastis keterbatasan aktifitas
fungsional. Panik di hubungkan dengan serangan dyspneu yang berat. Anti depresan
dan medikasi dengan anti anxiolitik biasa digunakan sebagai pengobatan penunjang
saat konseling dengan psikiater
X. Daftar Pustaka
1. Sharma sat. Restrictive lung disease. Article. Available from:
http://emedicine.medscape.com
2. Nusdwinuriningtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi respirasi. Jakarta: departemen
Rehabilitasi Medik RS Dr Cipto Mangunkusumo.2006.p.49
3. Kohlam, Virginia C, Stulbrg, Michael S. Dyspnea: Assesment and management in
Hodgkin, John E: Pulmonary Rahbilitation. Guiedlines to succes; Lippincott Williams
& Wilkins 2000 3rd ed.p57-89
4. Kendric KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the modified 0-10 Borg Scale in
assesing the degree of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of
emergency nursing. Vo;ume 26, issue 3, pages 216-222, June 2000
32
DISCLAIMER
PANDUAN PRAKTIK KLINIS REHABILITASI MEDIK
Dokumen tertulis PPK Rehabilitasi Medik serta perangkat implementasi ini disertai dengan
disclaimer (wewanti/ Penyangkalan) untuk:
1. Menghindari kesalah pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang dimaknai
harus melakukan sesuatu tanpa kecuali
2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai orang
di percaya pasien
33
PENUTUP
Dengan telah tersusunnya Panduan Praktis Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar
Prosedur Operasional bagi dokter spesialis Rehabilitasi Medik yang sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan dokter spesialis rehabilitasi medik dan fasilitas pelayanan kesehatan di RSI
Sultan Agung.
Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu
dan merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai. Semoga bermanfaat.
34