Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dapat merasakan nyeri ketika mengalami sakit kronis, infeksi,


pembedahan maupun intervensi medis lainnya. Menurut International Association for
Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial,
atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Obat atau senyawa yang
dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
disebut analgetik. Analgetik dikelompokkan menjadi 2 yaitu analgetik opioid dan
OAINS/ NSAID.

Obat anti inflamasi non steroid, atau biasa disingkat OAINS, adalah obat-obat
yang memiliki efek analgesik, antipiretik dan, bila diberikan dalam dosis yang lebih
besar, akan memberikan efek anti inflamasi. Sebagai analgesik, kekhususan dari obat
OAINS adalah obat ini bukan golongan narkotik. Beberapa efek terapi dan efek
sampingnya disebabkan oleh penghambatan terhadap biosintesis prostaglandin dimana
obat-obat golongan ini menghambat enzim siklooksigenase yang mengubah asam
arakidonat menjadi prostaglandin.

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang bersifat analgesik kuat,


antipiretik, dan daya anti inflamasi yang tidak terlalu kuat. Ibuprofen relatif lebih lama
dikenal dan tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgetik, sehingga
ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas dibeberapa negara antara lain Amerika
Serikat dan Inggris. Ibuprofen juga merupakan obat inti  di  daftar obat esensial World
Health Organization, yang merupakan daftar kebutuhan medis minimum untuk sistem
perawatan kesehatan dasar.

Dalam penggunaannya, obat mempunyai berbagai macam bentuk. Semua bentuk


obat mempunyai karakteristik dan tujuan tersendiri. Ada zat yang tidak stabil jika berada
dalam sediaan tablet sehingga harus dalam bentuk kapsul atau ada pula obat yang
dimaksudkan larut dalam usus bukan dalam lambung. Semua diformulasikan khusus
demi tercapainya efek terapi yang diinginkan. Kaplet merupakan sediaan padat kompak
dibuat secara kempa cetak, bentuknya oval seperti kapsul. Pada makalah ini, saya akan
membahas tentang bentuk sediaan kaplet

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana formulasi pembuatan sediaan ibuprofen?
2. Bagaimanakah QTPP, COA dan CPP?

1.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahui formulasi dari bagian aktif (ibuprofen) dengan bahan tambahan
yang sesuai

2. Untuk mengetahui QTPP, COA dan CPP


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi

Ibuprofen adalah turunan asam propionat yang dipatenkan pada tahun 1961.

Ibuprofen dikembangkan oleh Grup Boots di tahun 1960an. Ditemukan oleh Stewart

Adams (bersama dengan John Nicholson, Andrew RM Dunlop, Jeffrey Bruce Wilson &

Colin Burrows). Ibuprofen awalnya digunakan sebagai pengobatan untuk rheumatoid

arthritis di Inggris pada tahun 1969 dan Amerika Serikat pada tahun 1974.

2.2 Struktur Kimia

Dalam Ibuprofen terkandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari 103,0%

C13H18O2 dihitung terhadap zat anhidrat. Nama kimia ibuprofen adalah asam 2-(4-

isobutil-fenil)-propionat dengan berat molekul 206.29 g/mol dan rumus molekul

C13H18O2. Ibuprofen seperti turunan 2-arylprorionat lainnya

(termasuk ketoprofen, flurbiprofen, naproxen, dll), berisi stereosenter di posisi-α dari

propionat. Dengan demikian, ada dua kemungkinan enansiomer ibuprofen, dengan

potensi efek biologis yang berbeda dan metabolisme untuk masing-masing enantiomer.

Memang ditemukan bahwa S-ibuprofen dan dexibuprofen adalah bentuk aktif baik secara

in vitro dan in vivo. Ada potensi untuk meningkatkan selektivitas dan potensi formulasi

ibuprofen oleh pemasaran ibuprofen sebagai-enantiomer produk tunggal (seperti yang

terjadi dengan naproxen).
Gambar 1. Rumus kimia Ibuprofen

Ibuprofen berbentuk serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah.
Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol,
dalam aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat. Ibuprofen hanya sangat
sedikit larut dalam air. Kurang dari 1 mg ibuprofen larut dalam 1 ml air namun, jauh lebih
mudah larut dalam alkohol atau campuran air

2.2.1 Mekanisme Kerja

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase

sehingga konversi asam arakidonat menjadi terganggu. Ada dua jenis

siklooksigenase, yang dinamakan COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat pada

pembuluh darah, lambung, dan ginjal, sedangkan COX- 2 keberadaannya

diinduksi oleh terjadinya inflamasi oleh sitokin dan merupakan mediator

inflamasi. Aktivitas antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi dari ibuprofen

berhubungan dengan kemampuan inhibisi COX-2, dan adapun efek samping

seperti perdarahan saluran cerna dan kerusakan ginjal adalah disebabkan

inhibisi COX-1. Ibuprofen menghambat COX-1 dan COX-2 dan membatasi

produksi prostaglandin yang berhubungan dengan respon inflamasi.


Seperti yang telah disebutkan, Ibuprofen bekerja

dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX), yang mengubah asam

arakidonat menjadi prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin H2, pada

gilirannya, diubah oleh enzim lain untuk prostaglandin bentuk lain (sebagai

mediator nyeri,  peradangan, dan demam) dan tromboksan A2 (yang

merangsang agregasi platelet dan menyebabkan pembentukan bekuan darah).

Gambar 2. Mekanisme kerja Ibuprofen

Seperti aspirin,  indometasin, dan kebanyakan OAINS lainnya,

ibuprofen dianggap non-selektif COX inhibitor yang menghambat dua isoform

siklooksigenase yaitu  COX-1 dan COX-2.  Sebagai analgesik, antipiretik dan

anti-inflamasi, yang dicapai terutama melalui penghambatan COX-2,

sedangkan penghambatan COX-1 akan bertanggung jawab untuk efek yang

tidak diinginkan pada  agregasi platelet dan saluran pencernaan. Namun, peran


isoform COX untuk analgetik, anti inflamasi, dan efek kerusakan lambung dari

OAINS tidak pasti dan senyawa yang berbeda ini menyebabkan perbedaan

derajat analgesia dan kerusakan lambung. Dalam rangka untuk mencapai efek

menguntungkan pada ibuprofen dan OAINS lainnya tanpa mengakibatkan

gastrointestinal ulserasi dan perdarahan, selektif COX-2 inhibitor

dikembangkan untuk menghambat COX-2 isoform tanpa terjadi penghambatan

COX-1.

2.2.2 Farmakodinamik

Ibuprofen hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah

sampai sedang, dan efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi

atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek

analgesik opioat, tetapi tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan

efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek analgesik,

ibuprofen bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin

ditempat terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit

terhadap rangsang mekanik atau kimiawi.

Ibuprofen akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam.

Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja,

yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai

respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek interleukin-1 pada

hipotalamus. Ibuprofen menghambat baik pirogen yang diinduksi oleh

pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap

interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus

dan memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.


Sebagai antiinflamasi, efek inflamasi dari ibuprofen dicapai apabila

penggunaan pada dosis 1200-2400 mg sehari. Inflamasi adalah suatu respon

jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan

ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin,

bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa

panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Ibuprofen dapat

dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid,

osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Namun, ibuprofen hanya meringankan

gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara

simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan

jaringan pada kelainan muskuloskeletal.

2.2.3 Farmakokinetik

Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum

dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2

jam. Sembilan puluh persen ibuprofen terikat pada protein plasma. Onset

sekitar 30 menit. Durasi ibuprofen berkisar antara 6-8 jam. Absorpsi jika

diberikan secara oral mencapai 85%. Metabolit utama merupakan hasil

hidroksilasi dan karboksilasi dimetabolisme dihati untuk dua metabolit utama

aktif yang dengan cepat dan lengkap dikeluarkan oleh ginjal. Ekskresinya

berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan

diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugata (1% sebagai obat

bebas), beberapa juga diekskresi melalui feses. Ibuprofen masuk ke ruang

synovial dengan lambat. Konsentrasinya lebih tinggi di ruang synovial

dibandingkan diplasma.
2.2.4 Indikasi

Efek analgesik dan antiinflamasi ibuprofen dapat digunakan untuk

meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi, gejala arthritis,

osteoarthritis, dan non-sendi. Juga dapat digunakan untuk meringankan gejala-

gejala akibat trauma otot dan tulang atau sendi (trauma muskuloskeletal).

Meringankan nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore

primer (nyeri haid), nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri

setelah operasi dan sakit kepala.

Ibuprofen juga umumnya bertindak sebagai vasodilator, dapat

melebarkan arteri koroner dan beberapa pembuluh darah lainnya. Ibuprofen

diketahui memiliki  efek antiplatelet, meskipun relatif lebih lemah bila

dibandingkan dengan aspirin atau obat lain yang lebih dikenal sebagai

antiplatelet.  Dapat digunakan pada neonatus dengan paten duktus arteriosus,

disfungsi ginjal, nekrotizing enterokolitis, perforasi usus, dan perdarahan

intraventrikular, efek protektif neuronal.21, 22

Ibuprofen lisin diindikasikan untuk penutupan duktus arteriosus

paten pada bayi prematur dengan berat antara 500 dan 1.500 gram, yang tidak

lebih dari 32 minggu usia kehamilan saat restriksi cairan, diuretik, dukungan

pernafasan tidak efektif.

2.2.5 Kontraindikasi

Ibuprofen tidak dianjurkan pada pasien dengan hipersensitif terhadap

Ibuprofen dan obat antiinflamasi non-steroid lain, penderita dengan ulkus

peptikum (tukak lambung dan duodenum) yang berat dan aktif. Penderita
sindroma polip hidung, asma, rhinitis angioedema dan penderita dimana bila

menggunakan asetosal atau obat antiinflamasi non-steroid lainnya akan timbul

gejala asma,rinitis atau urtikaria. kehamilan tiga bulan terakhir dan menyusui.

2.2.6 Efek Samping

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase

sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu.

Prostaglandin terlibat dalam pelepasan renin, vaskular lokal, sirkulasi regional,

keseimbangan air, dan keseimbangan natrium. Prostaglandin juga

menstimulasi perbaikan sel epitelial gastrointestinal dan menstimulasi sekresi

bikarbonat dari sel epitelial. Hal ini menyebabkan ibuprofen dapat

menurunkan sekresi mukus yang berfungsi sebagai pelindung dalam lambung

dan usus kecil, dan juga dapat menyebabkan vasokonstriksi pada mukosa

lambung. Selain itu efek samping pada gastrointestinal meliputi stress

lambung, kehilangan darah tiba-tiba, diare, mual, muntah, heartburn,

dispepsia, anoreksia, konstipasi, distress atau karma atau nyeri abdominal,

kembung, kesukaran mencerna, dan rasa penuh pada perut juga dapat

disebabkan oleh penggunaan ibuprofen.

Efek samping pada sistem kardiovaskular antara lain edema perifer,

retensi air, dan perburukan CHF. Pada sistem saraf pusat antara lain dizzines,

mengantuk, vertigo, sakit kepala ringan, dan aseptik meningitis. Pada mata,

telinga dan nasofaring antara lain gangguan penglihatan, fotopobia, dan

tinnitus. Pada genitourinaria antara lain menometrorrhagia, hematuria, cistisis,

acute renal insufisiensi; interstitial nephritis; hiperkalemia; hiponatremia;

nekrosis papillar renal. Pada kulit antara lain rash, pruritus, dan eritema. Efek

samping yang lain seperti kram otot.


Hampir sama dengan jenis OAINS lain, ibuprofen juga dapat

meningkatkan risiko palpitasi, ventrikular aritmia dan infark

miokard (serangan jantung), khususnya di antara mereka yang menggunakan

dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Studi pada tahun 2010 menunjukkan

bahwa kebiasaan menggunakan OAINS dikaitkan dengan peningkatan

gangguan pendengaran.

Penggunaan pada paten duktus arteriosus saat neonatal dengan masa

gestasi kurang dari 30 minggu dapat mengakibatkan peningkatan

hiperbilirubinemia pada neonatal, karena dapat menggeser kedudukan

bilirubin dari albumin, sehingga dapat mengakibatkan kerniikterus dan

ensefalopati. Namun hal ini, dapat dikurangi dengan cara pemberian bersama

dengan indometasin.

Efek samping yang umum ditemukan antara lain  sembelit,

epistaksis, sakit kepala, pusing, ruam, retensi garam dan cairan

mual, kenaikkan enzim hati,dispepsia, ulserasi gastrointestinal atau

perdarahan, diare, dan hipertensi.

Ibuprofen dapat menghambat aliran darah renal, GFR, dan transprtasi

ion tubular. Prostaglandin juga mengatur aliran darah ginjal sebagai fungsional

dari antagonis angiotensin II dan norepinefrin. Jika pengeluaran dua zat

tersebut meningkat (misalnya, dalam hipovolemia), inhibisi produksi PG

mungkin mengakibatkan berkurangnya aliran darah ginjal dan kerusakan

ginjal. Namun, efek samping yang terkait dengan ginjal jarang terjadi pada

dosis ibuprofen yang ditentukan. Waktu paruh yang pendek pada ibuprofen

terkait dengan menurunnya resiko efek ginjal daripada OAINS lain dengan

waktu paruh yang panjang. Dari penelitian-penelitian yang Penggunaan jangka


pendek dari ibuprofen tidak signifikan meningkatkan risiko kerusakan ginjal

pada sukarelawan sehat atau pada anak dengan penyakit demam. Pengobatan

jangka panjang dengan ibuprofen dengan dosis 1200 mg / hari tidak

meningkatkan risiko kerusakan ginjal pada orang lanjut usia.

Ibuprofen juga bisa mempengaruhi agregasi trombosit. Efek ini

ditimbulkan karena adanya penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2).

2.2.7 Sediaan dan Posologi

Bentuk sediaan generik yang tersedia yaitu berupa sediaan tablet 200

mg, 400 mg, 600 mg; tablet salut selaput 200 mg, 400 mg; kaptabs salut

selaput 200 mg.

Bentuk sediaan paten yang tersedia yaitu berupa sediaan tablet 200 mg,

400 mg, 600 mg; tablet salut selaput 200 mg, 400 mg, 600 mg; kaptabs salut

selaput 200 mg, 400 mg; suspensi 100 mg/5 mL, 200 mg/5 mL; tablet kunyah

100 mg ; suppositoria 125 mg.

Sediaan kombinasi yang tersedia yaitu berupa kombinasi ibuprofen

dengan parasetamol; ibuprofen dengan parasetamol dan kafein; dan ibuprofen

dengan Vitamin B6 B1 dan B12.

Posologi : Ibuprofen dosis rendah (200 mg, 400 mg dan 600 mg)

banyak tersedia. Ibuprofen memiliki durasi tergantung dosis yaitu sekitar 4-8

jam, yang lebih lama dari yang disarankan dari waktu paruh. Dosis yang

dianjurkan bervariasi tergantung massa tubuh dan indikasi. Umumnya, dosis

oral 200-400 mg (5-10 mg / kg BB pada anak-anak) setiap 4-6 jam, dapat

ditambahkan sampai dosis harian 800-1200 mg. Jumlah maksimum ibuprofen

untuk orang dewasa adalah 800 miligram per dosis atau 3200 mg per hari (4

dosis maksimum).
Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kgBB dengan interval pemberian 4-6 jam, mereduksi

demam 15% lebih cepat dibandingkan parasetamol dosis 10-15 mg/kgBB.28

2.3 Definisi Kaplet

Kaplet adalah salah satu bentuk sediaan yang dikonsumsi secara oral yang artinya
obat yang cara pemberiannya melalui mulut. Untuk cara pemberian obat ini relatif aman,
praktis dan ekonomis. Kelemahan dari pemberian obat secara oral adalah efek yang tibul
biasanya lambat, tidak efektif jika pengguna sering muntah-muntah, diare, tidak sabar,
tidak kooperatif, kurang disukai jika rasanya pahit (rasa jadi tidak enak) (Diah, 2008).

Kelebihan dan Kekurangan Kaplet


Kelebihan :
a. Bentuk tablet lebih menarik
b. Kaplet mungkin mudah digunakan untuk pengobatan tersendiri dengan bantuan segelas
air.
Kekurangan :
a. Kaplet dan semua obat harus disimpan diluar jangkauan anak-anak untuk menjaga
kesalahan karena menurut mereka kaplet tersebut adalah permen.
b. Orang yang sukar menelan atau meminum obat.

2.4 Bahan Tambahan Tablet/Kaplet

a. Bahan Pengisi (Filler)

Bahan pengisi ditambahkan jika jumlah zat aktif sedikit atau sulit
dikempa (Muhlis, 2009). Pengisi diperlukan bila dosis obat tidak cukup
untuk membuat bulk dan untuk memperbaiki daya kohesi sehingga dapat
dikempa langsung untuk memacu aliran. Bahan pengisi harus memenuhi
kriteria yaitu harus stabil secara fisik dan kimia, secara fisiologis harus
inert atau netral, tidak boleh saling berkontraindikasi, tidak menghambat
pelepasan disolusi obat, tidak boleh menggangu bioavabilitas obat.

b. Bahan Pengikat (Binder)

Bahan pengikat berfungsi untuk mengikat bahan obat dengan bahan


penolong lain sehingga diperoleh granul yang baik, yang akan
menghasilkan tablet yang kompak serta tidak mudah pecah. Pengaruh
bahan pengikat yang terlalu banyak akan menghasilkan massa terlalu basah
dan granul yang terlalu keras sehingga tablet yang terjadi mempunyai
waktu hancur yang cukup lama. Apabila bahan pengikat yang digunakan
terlalu sedikit maka akan terjadi pelekatan yang lemah dan tablet yang
terbentuk lunak, serta dapat menjadi capping yaitu lapisan atas dan atau
lapisan tablet membuka (Lachman dkk, 1986). Sebagai bahan pengikat
yang khas antara lain gula dan jenis pati, gelatin, gom arab, tragakan
(Voight, 1995).

c. Pelincir (Glidant), Anti lekat (Anti adherent), dan pelicin (Lubricant).

Ketika jenis bahan ini dibicarakan bersama karena fungsinya yang


saling berkaitan. Suatu bahan anti lekat juga memiliki sifat-sifat pelincir
dan pelicin, perbedaan ketikanya sebagai berikut: suatu pelincir diharapkan
dapat mengurangi gesekan antara dinding tablet dengan dinding die, pada
saat tabet ditekan keluar. Anti lekat bertujuan untuk mengurangi melekat
atau adhesi bubuk atau granul pada permukaan puch atau die. Pelicin
ditunjukan untuk memacu aliran serbuk atau granul dengan jalan
mengurangi gesekan diantara partikel-partikel. Talk, magnesium stearat dan
kanji serta derivatnya mempunyai sifat anti lekat. Bermacam-macam koloid
silika telah digunakan sebagai anti lekat. Bahan-bahan yang digunakan
sebagai pelicin atau pemacu aliran adalah jenis talk (Lachman dkk, 1994).

2.5. Evaluasi Sifat Fisik

2.5.1. Sifat Fisik Granul

Granul adalah gumpalan dari partikel-partikel yang lebih kecil. Umumnya


granul dibuat dengan cara melembabkan serbuk atau campuran serbuk yang
digiling dan melewatkan adonan yang sudah lembab pada celah ayakan dengan
ukuran lubang ayakan yang sesuai dengan granul yang ingin dihasilkan (Ansel,
1989).
Granul juga dapat diolah tanpa memakai pelembab, caranya dengan
meyalurkan adonan dari bahan serbuk yang ditekan melalui mesin pembuat
granul (Ansel, 1989). Hal-hal ini yang membuat tablet menjadi bentuk sediaan
yang populer seperti kekompakan, stabilitas kimia dan khasiatnya terutama
ditentukan oleh kualitas granulasinya (Lachman dkk, 1994).
Menurut Lachman (1994) sifat fisik granul dapat dilihat dengan beberapa
cara yaitu:
a. kadar air granul

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur kadar air
adalah metode gravimetri dengan cara membandingkan bobot granul setelah
dipanaskan dengan bobot granul sebelum dipanaskan. Pada saat pemanasan
berlangsung, air yang masih tertinggal dalam granul akan menguap.

b. Sifat aliran granul


Pada dasarnya setiap bahan yang akan dibuat tablet harus memiliki dua
karakteristik yaitu kemampuan mengalir dan dapat dicetak. Kedua sifat ini
diperlukan untuk mesin cetak. Sifat mudah mengalir sangat diperlukan
untuk mentransport bahan melalui hopper, kedalam dan melalui alat pengisi die.
Karena itu bahan tablet harus dalam bentuk fisik yang dapat mengalir
sempurna dan seragam (Lachman, 1994).

c. Kerapatan

Kerapatan adalah ukuran yang digunakan untuk menyatakan


segumpalan pertikel atau granul. Kerapatan gumpalan suatu granul dapat
ditentukan dengan alat seperti gelas ukur yang ditancapkan di atas alat
pengetuk mekanik yang mempunyai cara pemotong yang berputar. Granul
yang kecil lebih dapat membentuk massa yang lebih kompak daripada granul
besar (Lachman, 1994).

d. Sudut diam
Metode sudut diam membutuhkan corong tegak dan kerucut yang berdiri
bebas memakai corong yang dijaga oleh statif agar ujungnya berada pada
suatu ketinggian yang dikehendaki. Bila sudut diam lebih kecil atau sama
dengan 30o biasanya menunjukkan bahwa granul dapat mengalir bebas atau
daya alirnya baik. Dan bila sudutnya lebih besar atau sama dengan 40 o biasanya
daya mengalirnya kurang baik (Lachman, 1994).

2.6. Uji Mutu Fisik Tablet/Kaplet

a. Keseragaman Bobot

Tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman bobot yang


ditetapkan sebagai berikut: timbang 20 tablet, hitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika
ditimbang satu persatu tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing-masing bobotnya
menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari harga yang di tetapkan kolom A.
Dan tidak ada satu tablet pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya
lebih dari harga yang di tetapkan kolom B. Jika tidak mencukupi 20 tablet dapat
digunakan 10 tablet, dan tidak satupun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot
rata-ratanya lebih dari harga yang di tetapkan kolom B (Depkes RI, 1979).

Tabel 2.1 Persyaratan Penyimpangan Bobot Tablet (Depkes RI, 1979)

Penyimpangan bobot rata-rata dalam %


Bobot rata-rata
A B

25 mg atau kurang 15 % 30%

26 mg - 150 mg 10% 20%

150 – 300 mg 7.5% 15%

Lebih dari 300 mg 5% 10%

Faktor yang mempengaruhi keseragaman bobot adalah keseragaman ukuran


granul, granul dengan ukuran yang terlalu besar dapat menyebabkan ketidak
seragaman bobot tablet (Voight, 1995).

b. Kekerasan Tablet

Pengukuran kekerasan tablet digunakan untuk mengetahui kekerasannya, agar


tablet tidak terlalu rapuh atau terlalu keras. Kekerasan tablet erat hubungannya dengan
ketebalan tablet, bobot tablet, dan waktu hancur tablet. Alat yang digunakan untuk
pengukuran kekerasan tablet adalah hardness tester (Syamsuni, 2006). Diambil secara
acak sebanyak 10 tablet, ditentukan kekerasannya dengan alat pengukur kekerasan
tablet.

c. Kerapuhan Tablet

Uji kerapuhan tabet digunakan untuk mengetahui ketahanan suatu tablet


terhadap goncangan selama proses pengepakan dan pengangkutan sampai pada
konsumen. Uji sebanyak 20 tablet dengan alat Friabilator kecepatan 25 putaran
permenit selama 4 menit, maksimal kerapuhan tablet 0,5 % (Lachman dkk, 1994).
Sedangkan menurut (Voight, 1995) tablet yang baik memiiki kerapuhan tidak lebih
dari 0,8%.
d. Waktu Hancur

Suatu obat harus berada dalam bentuk larutan agar mudah untuk diabsorbsi
oleh tubuh. Untuk tablet, langkah penting pertama sebelum melarut adalah pecahnya
tablet menjadi partikel-partikel atau granul, langkah ini disebut disintegrasi atau
waktu hancur. Alat untuk mengukur waktu hancur disebut Disintegration Tester.
Perlengkapan untuk menguji daya hancur memakai 6 tabung gelas panjang 3 inci yang
terbuka di bagian atas, sedangkan di bagian bawah keranjang ada saringan ukuran 10
mesh (Lachman, 1994).

2.7 Rancangan Formula Kaplet

Tabel 3.1 Rancangan Formula Kaplet mengandung

Ibuprofen                    400 mg
Avicel 20 %
Amylum Solani 10 %
Talk 2%
Laktosa                 add   600 mg

2.8 Alasan Penambahan Bahan :


a. Zat aktif : Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derifat asam prepionat yang diperkenalkan
pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgesic dengan daya anti-
inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek
anti-inflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi
ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai
setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam, 90% ibuprofen
terikat dalam protein plasma. Ekskresi berlangsung cepat dan lengkap. Kira-
kira 90% dari dosis yang diabsorpsikan diekskresikan melalui urin sebagai
metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan
karboksilasi (ISO Farmakoterapi, 2009).
Dosis: nyeri (haid), demam, dan rema, permulaan 400 mg p.c./d.c., lalu
3-4 dd 200-400 mg, demam pada anak-anak: 6-12 bulan 3 dd 50 mg, 1-3 tahun
3-4 dd 50 mg, 4-8 tahun 3-4 dd 100 mg, 9-12 tahun 3-4 dd 200 mg (Tjay dan
Rahardja, 2010).
Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan
dengan aspirin, indometasin, atau naproksen. Efek samping lainnya yang
jarang ialah eritema kulit, sakit kepala trombosipenia, ambliopia toksik yang
reversibel. Dengan alasan bahwa ibuprofen relatif lebih lama dikenal dan tidak
menimbulkan efek samping serius, maka ibuprofen dijual sebagai obat generik
bebas di beberapa negara termasuk Indonesia (Syarif, dkk. 2012).
b. Zat tambahan
1.        Laktosa (zat pengisi)
Zat pengisi yang umum digunakan adalah laktosa. Sifat tablet yang lebih
baik dihasilkan oleh laktosa yang dikering semburkan (Voight, 1995).
Laktosa juga merupakan bahan pengisi yang paling banyak dipakai karena
tidak bereaksi dengan hampir semua bahan obat, baik yang digunakan
dalam bentuk hidrat atau anhidrat (Lachman, 2008).
Laktosa secara luas digunakan sebagai pengisi dan diluents pada tablet
dan kapsul, serta lebih terbatas pada lyophilized produk dan formula bayi
(Raymond, 2006).

2.        Avicel (zat pengikat)


Selulosa mikrokristal banyak digunakan terutama sebagai
pengikat/pengisi dalam formulasi tablet (Raymond, 2005).
Avicel banyak digunakan dalam sediaan farmasi bentuk padat, sangat
cocok untuk tablet karena mempunyai fungsi pengikat, penghancur,
pengisi, dan dapat memperbaiki sifat aliran (Asrul, 2010).
Selulosa mikrokristal sering disebut Avicel, suatu zat yang dapat dicetak
langsung (Lachman, 2008).

3.        Amilum solani (zat penghancur)


Pati merupakan penghancur tablet yang umum digunakan pada
konsentrasi 3-15 (Raymond, 2006).
Pati merupakan bahan penghancur tertua dari pati solani dengan
konsentrasi 5-10% cukup untuk membuat tablet dengan waktu hancur
yang baik (Voight, 1995).
Penggunaan amilum 5% cocok untuk membantu penghancuran, tetapi
sampai 15% dapat dipakai untuk dapat daya hancur yang lebih cepat
(Ansel, 2005).

4.       Talk (zat pelincir)


Sebagai bahan pelincir yang sangat menonjol adalah talk. Dia memiliki
tiga keunggulan antara lain berfungsi sebagai bahan pengatur aliran,
bahan pelicin, dan bahan pemisah cetakan (Voight, 1995).
Talk telah digunakan secara meluas dalam formulasi dosis oral sebagai
pelincir dan pengisi (Raymond, 1999).
Bahan-bahan talk digunakan sebagai pelincir atau pengatur aluran dengan
range 5% (Lachman, 2008).

2.9 Perhitungan Bahan


Tiap kaplet mengandung :
Ibuprofen                       400 mg
Avicel                            20 %
Pati                                10 %
Talk                               2 %
Laktosa                 add   600 mg

Per Kaplet :
Ibuprofen         : 400 mg
Avicel              :  0,2 x 600 = 120 mg
Pati                  :  0,1 x 600 =  60 mg
Talk                 : 0,02  x 600 =  12 mg
Laktosa           : 600 – (400 + 120 + 60 + 12) = 8 mg

Per Batch :
Ibuprofen         : 400 x 10    = 4000 mg
Avicel              : 120 x 10    = 1200 mg
Pati                  : 60 x 10      = 600 mg
Talk                 : 12 x 10      = 120 mg
Laktosa           : 8 x 10        = 80 mg
Cara kerja :
1.        Disiapkan alat dan bahan.
2.        Ditimbang ibuprofen 400 mg, avicel 120 mg, pati 600 mg, talk 120 mg, dan
laktosa 80 mg pada neraca analitik.
3.        Dimasukkan ibuprofen 400 mg ke dalam lumpang.
4.        Dimasukkan avicel 120 mg sedikit demi sedikit ke dalam lumpang lalu
dihomogenkan.
5.        Dimasukkan laktosa 8 mg sedikit demi sedikit ke dalam lumpang lalu
dihomogenkan.
6.        Dimasukkan pati 60 mg sedikit demi sedikit ke dalam lumpang lalu
dihomogenkan.
7.        Dimasukkan talk 12 mg sedikit demi sedikit ke dalam lumpang lalu
dihomogenkan.
8.        Dimasukkan semua bahan campuran ke dalam alat pencetak kaplet.
9.        Dimasukkan kaplet ke dalam wadah.

2.9 Penentuan Quality Target Product Profile (QTPP)

Ibuprofen beredar dipasaran dalam bentuk kaplet dapat digunakan untuk

meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi, gejala arthritis,

osteoarthritis, dan non-sendi. Juga dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala

akibat trauma otot dan tulang atau sendi (trauma muskuloskeletal). Meringankan nyeri

ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri pada

penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah operasi dan sakit kepala.

Kemasan yang digunakan dalam mengemas tablet ibuprofen yang telah dibuat
adalah kemasan dalam yang biasanya terbuat dari bahan PET, sedangkan kemasan
luar nya terbuat dari bahan karton/kertas. Logo obat yang digunakan adalah warna
hijau, menandakan bahwa obat yang dibuat adalah termasuk golongan obat bebas.
Nama obat adalah Umiprofen, berasal dari bahan aktifnya, yaitu Ibuprofen. Tanggal
kadaluarsa adalah 2 tahun sejak obat tersebut dibuat, yaitu tahun 2016. Keterangan
mengenai indikasi, kontraindikasi, dll dapat dilihat pada brosur. Nomor batch : M
041304001 , dan nomor Registrasi : GBL 13 411 001 10 A1. Penjelasan mengenai
penomoran batch dan reg. ada dibawah ini :
Penomoran Reg :
        G : Nama Dagang
        B : Golongan obat bebas
        L : Obat jadi produksi dalam negeri/local
        13 : Obat jadi yang telah di setujui pendaftarannya pada priode 2013-2015
        411 : menunjukkan Nomor urut pabrik
        001 : menunjukkan nomor urut obat jadi yang disetujui untuk masing-masing
pabrik
        10 : Sediaan Tablet
        A : Menunjukkan kekuatan obat yang pertama di setujui
        1 : Menunjukkan kemasan yang pertama

Penomoran batch :
        Produksi Ruahan

Digit 1 : Untuk produk (tahun)


Digit 2 & 3 : Kode produk dari produk ruahan
Digit 4,5 & 6 : Urutan produk
        Produk jadi

2-6 digit pada produk ruahan ditambah di depan.


2.10 CQA (spesifikasi produk)

Spesifikasi Produk Sasaran

Rute Pemberian Oral

Bentuk sediaan Kaplet, bentuk sediaan 600 mg

Kekuatan 600 mg

Pengemasan Kemasan dalam : PET, Kemasan luar : karton, kertas

Stabilitas 2 Tahun, dalam temperatur ruangan

Farmakokinetik Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam

Farmakodinamik Ibuprofen hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas

rendah sampai sedang, dan efektif terhadap nyeri yang

berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.

Kontraindikasi Ibuprofen tidak dianjurkan pada pasien dengan

hipersensitif terhadap Ibuprofen dan obat antiinflamasi

non-steroid lain, penderita dengan ulkus peptikum (tukak

lambung dan duodenum) yang berat dan aktif.

Disolusi Kurang dari 1 mg ibuprofen larut dalam 1 ml air namun,

jauh lebih mudah larut dalam alkohol atau campuran air.


2.11 Pengembangan proses, penentuan parameter proses kritis (CPP)

Uji sifat fisik tablet

1. Uji keseragaman bobot

Sebanyak 20 tablet ditimbang, kemudian dihitung bobot rata-rata tiap

tablet. Jika ditimbang satu-persatu tidak boleh lebih dari 2 tablet yang

menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari 5% untuk bobot tablet yang

lebih besar dari 300 mg, dan tidak satu tabletpun yang bobot rata-ratanya

menyimpang 10% dari tablet yang lebih besar dari 300 mg (Anief, 1997).

2. Uji kekerasan tablet

Dalam alat logam kecil diletakkan sebuah tablet, dan tekanannya diatur

sehingga tablet stabil ditempatnya dan jarum penunjuk berada pada skala 0.

Kemudian ulirnya diputar, tablet akan terjepit semakin kuat dengan naiknya

tekanan tablet secara lambat. Dan akhirnya tablet tersebut pecah. Besarnya

tekanan dibaca pada skala (Voigt, 1995).

3. Uji kerapuhan tablet

Uji kerapuhan tablet dilakukan dengan 20 tablet yang dibebas debukan,

kemudian dimasukkan ke dalam Friabilator Roche. Friabilator diputar dengan

kecepatan 25 rpm sebanyak 100 kali. Kerapuhan tablet tidak boleh melebihi 1%

(Lachman, 1994).

4. Uji waktu hancur tablet

Untuk menguji waktu hancur, enam tablet tablet dimasukkan kedalam 6

lubang keranjang. Kemudian keranjang diletakkan ke dalam beaker glass yang

berisi 1 liter air pada suhu 37o C ± 2o C. Keranjang akan bergerak turun-naik

sebanyak 28 sampai 32 kali permenit. Waktu untuk menghancurkan tablet 15


menit untuk tablet tidak bersalut dan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet

bersalut gula atau selaput (Lachman, 1994).


BAB III

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini antara lain; Ibuprofen

adalah obat golongan obat anti inflamasi non steroid yang merupakan derivat asam

propionate yang berefek analgetik, antipiretik, dengan daya antiinflamasi yang tidak

terlalu kuat. Ibuprofen diabsorbsi cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam

plasma dicapai setelah 1-2 jam, waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam.

Metabolisme Ibuprofen terjadi di hepar, dan ekskresi cepat dan lengkap di ginjal.

Indikasi penggunaan ibuprofen adalah menghilangkan nyeri ringan hingga sedang,

gejala arthritis, osteoarthritis, primer dismenore, demam. Efek samping yang dapat

terjadi adalah  gangguan gastrointestinal atau perdarahan, kenaikkan enzim hati,

epistaksis, sakit kepala, pusing.
DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung G Bertram. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta.

2. Badan POM RI. Penggunaan bersamaan Ibuprofen dan Aspirin. InfoPOM 2006;7(6):11.

3. Anonymous. Ibuprofen. 2010. Available on www.farmasiku.com.

4. Indriani R. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan POM RI: Jakarta, 2008.

5. Anonymous. Ibuprofen. 2015. Available on www.mims.com.

6. Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

7. Anief, M. 2000. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

8. Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI Press

9. Chaerunnisa, Y.A., Surahman, E., Imron, S.S. 2009. Farmasetika Dasar. Bandung:
Widya Padjadjaran.

10. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

11. Lachman, L. Liberman H.A., Kanig, J.L., 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri.
Edisi III. (Terjemahan) Siti Suyatmi. Jakarta UI Press.

12. Muhlisah, Fauziah. 1999. Temu-temuan dan Empon-emponan Budidaya dan


Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius.

13. Muhlis, Muhammad. 2009. Diklat Kuliah Farmasetika. Yogyakarta: Faruad. Hal. 26.

14. Parrot, E.L. 1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics. Edisi III.
Minneapolis: Burgess Publishing Company.

15. Raymond, C. Rowe, dkk. 2004. Pharmaceutical Excipients. Pharmaceutical


Development and Technology.

16. Sweetman, Sean C. 2009. Martindale the Complete Drug Reference. London:
Pharmaceutical Press.

17. Siregar, Charles, 1992. Validasi di Industri Farmasi. Bandung: Instuti Teknologi
Bandung.
18. Syamsuni, H,A. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC.
Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

19. Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi (Terjemahan). Noerono, S.Edisi V.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
20. Wade, A. Waller PJ. 1994. Handbook of pharmaceutical Excipient. Second edition.
London: The Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai