Anda di halaman 1dari 367

KURIKULUM DAN BAHAN AJAR

DIKLAT NON-GELAR
SUBSTANTIF

2017

LERD
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
Pengembangan Ekonomi Lokal

Pusat Pembinaan, Pendidikan,


dan Pelatihan Perencana
Kementerian PPN/Bappenas
Kata Pengantar

Dalam rangka menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional untuk


kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia diperlukan adanya rencana pembangunan yang
berkualitas. Perencanaan yang berkualitas harus didukung kompetensi para perencana
yang bekerja di instansi perencanaan , baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah. Selain sebagai prasyarat untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan,
peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perencana juga merupakan bag ian dari
strategi pembangunan aparatur sipil negara pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang difokuskan pada peningkatan kualitas
birokrasi melalui program pendidikan dan pelatihan (diklat), baik gelar maupun non-gelar,
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparatur di berbagai bidang
pembangunan.
Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu tugas Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dalam meningkatkan kualitas perencanaan adalah
dengan meningkatkan kualitas SDM perencana di pusat dan daerah. Untuk mewujudkan
tujuan terse but maka tugas dan fungsi Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan
Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian PPN/Bappenas adalah melaksanakan pembinaan
dan pengembangan Jabatan Fungsional Perencana (JFP) serta menyelenggarakan program
diklat bagi perencana pusat dan daerah dalam rangka meningkatkan kompetensi perencana
dan kapasitas institusi perencana di pusat dan daerah.
Program Diklat Non-Gelar Substantif yang diselenggarakan oleh Pusbindiklatren
dilaksanakan melalui kerja sama dengan program studi atau lembaga kajian/penelitian di
perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Dalam rangka menjamin kualitas diklat yang
dilaksanakan oleh perguruan tinggi tersebut maka perlu adanya kurikulum dan bahan ajar
diklat sehingga implementasinya memenuhi standar, baik materi, metode, pengajar, maupun
fasilitasnya sehingga keluaran kompetensi yang diharapkan akan sama di seluruh
Indonesia.
Kurikulum dan Bahan Ajar Diklat Substantif ini akan terus disempurnakan mengikuti
perkembangan yang terjadi . Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan masukan dari
berbagai pihak untuk perbaikan dan penyempurnaan. Dalam kesempatan ini , kami juga
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyusun kurikulum
dan bahan ajar ini terutama para pengelola diklat di perguruan tingg! dan unit kerja terkait di
Bappenas.

Jakarta,?JJ Maret 2017


Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana

Dr. Nur ygiawati Rahayu, S.T., M.Sc.


Daftar Isi

I. Kata Pengantar

II. Daftar Isi

III. Kerangka Acuan Kerja Pendidikan dan Pelatihan Local Economic Resources

Development (LERD)

IV. Tabel Kurikulum Diklat Local Economic Resource Development (LERD)

V. Bahan Ajar Diklat Non-Gelar Local Economic Resources Development (LERD):

BAHAN AJAR 1 : Pembukaan Diklat


BAHAN AJAR 2 : Introduction Local Economic Resources Development (LERD)
BAHAN AJAR 3 : Local Economic Resources Development dalam Kebijakan
Nasional
BAHAN AJAR 4 : Program Local Economic Resources Development dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
BAHAN AJAR 5 : Kerangka Kelembagaan dalam Local Economic Resources
Development
BAHAN AJAR 6 : Instrumen Fiskal untuk Mendukung Local Economic Resources
Development
BAHAN AJAR 7 : Analisis Kuantitatif: Input & Output Analysis
BAHAN AJAR 8 : Praktek Analisis Kuantitatif: Input & Output Analysis
BAHAN AJAR 9 : Teknik dan Analisa Proyeksi
BAHAN AJAR 10 : Analisis Permasalahan dengan Pohon Masalah
BAHAN AJAR 11 : Pengembangan Pohon Tujuan
BAHAN AJAR 12 : Strategi Program Local Economic Resources Development
BAHAN AJAR 13 : Pendekatan Monitoring dan Evaluasi Program Local Economic
Resources Development
BAHAN AJAR 14 : Contoh Kasus Local Economic Resources Development di
Kota/Kabupaten (Fokus Pengembangan Value Added)
BAHAN AJAR 15 : Pemrograman dan Penganggaran
BAHAN AJAR 16 : Field Trip
BAHAN AJAR 17 : FGD, Workshop, Exercise
BAHAN AJAR 18 : Penyusunan Proposal dan Presentasi
BAHAN AJAR 19 : Penutupan Diklat
Kerangka Acuan Kerja

Pendidikan dan Pelatihan

Local Economic Resources Development (LERD)

Pusbindiklatren Bappenas

I. Pendahuluan
Hampir dua dekade era otonomi daerah dan desentralisasi berlangsung di
Indonesia" Selama itu pula pembangunan daerah menghadapi tantangan tersendiri,
diawali dengan belum mapannya perangkat perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya, kesiapan sumber daya manusia menJadi permasalahan tersendiri
dalam pelaksanaan pembangunan daerah" Kondisi ini mengakibatkan koordinasi yang
lemah dan proses perencanaan yang tidak sinergL Akibatnya, proses perencanaan
menjadi tidak efektif dan tidak efisien, yang kemudian menciptakan kesenjangan
pembangunan antardaerah dan berujung pada disparitas sosial dan ekonomi lokal dan
regional.
Kuatnya dorongan otonomi ini menuntut Pemerintah Daerah mampu mengemban
amanat undang-undang sehingga mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya
daerah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Oleh karena itu, Pemerintah
Daerah tidak hanya berfungsi sebagai koordinator dan pembuat kebijakan, tetapi juga
dituntut mempunyai jiwa dan semangat kewirausahaan" Peran ini diharapkan agar
Pemerintah Daerah dapat merangkul kelompok masyarakat usaha baik individual
maupun badan usaha (stakeholder), bersama-sama warga masyarakat yang lain
membangun daerah"
Tantangan lain dari otonomi daerah adalah menguatnya dorongan demokrasL
Penguatan demokrasi ditandai dengan munculnya sistem multipartai dan peran yang
lebih kuat lembaga legislatif (wakil rakyat) daerah (DPRD) dari sebelumnya" Sementara
di lain pihak, masyarakat dunia usaha dan umum menuntut peningkatan pelayanan
yang lebih baik" Situasi demikian sudah seharusnya mendorong Pemerintah Daerah
untuk dapat menciptakan iklim yang kondusif dan mampu mengakomodasi peran tiap­
tiap pihak untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah"
Dengan melihat kondisi di atas, pengembangan sumber daya ekonomi local, bukan
hal yang mudah dilakukan" Pengembangan sumber daya ekonomi lokal memerlukan
komitmen semua pihak: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pelaku
pembangunan yang lain" Keterlibatan semua unsur dalam pembanguan ekonomi di
tingkat lokal menjadi prasyarat keberhasilan upaya tersebut untuk mempercepat
terwujudnya masyarakat yang sejahtera"
Oalam kaitannya dengan hal tersebut, Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan
Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas, dalam rangka meningkatkan kapasitas institusi
perencanaan di pemerintah kabupaten/kota/provinsi maupun Pemerintah Pusat,
berkewajiban untuk meningkatkan kualitas perencanaan di tingkat provinsi dan regional
agar menjadi lebih rasional, sistematis, dan komprehensif Selanjutnya, melalui kerja
sama dengan kedeputian regional, Pusbindiklatren Bappenas memandang perlu untuk
menyelenggarakan pelatihan Local Economic Resources Development (LERO) untuk
mewujudkan kondisi yang dituangkan dalam RPJMN 2014-2019, yaitu meningkatkan
kualitas 80M dan memperkuat daya saing perkonomian"

II. Tujuan Umum


Pendidikan dan latihan LERO ini bertujuan untuk mendorong terciptanya kebijakan,
strategi, dan perencanaan yang semakin efektif dan efisien dalam mengembangkan
perekonomian daerah melalui desain dan peningkatan kapasitas kelembagaan ekonomi

1 I KAK Diklat LERD Tahun 2017


lokal, meningkatkan produktivitas komoditas unggulan, dan meningkatkan kompetensi
perencana pemerintah khususnya dalam mendesain institusi dan melakukan pemetaan
produklkomoditas unggulan daerah.

III, Tujuan Khusus


Tujuan khusus dar! pendidikan dan pelatihan ini di antaranya adalah sebagai
berikut:
a. memahami desain kelembagaan yang diperlukan dalam pengembangan LERD;
b. meningkatkan kompetensi perencana pemerintah dalam melakukan pemetaan
produklkomoditas unggulan daerah; dan
c. meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah kabupaten/kota dan provinsi untuk
lebih melibatkan para pemangku kepentingan lokal melalui perencanaan
partisipatif.

IV, Keluaran (Output)


Keluaran (output) yang diharapkan dari penyelenggaraan diklat LERD ini adalah
menghasilkan peserta yang memahami konsep dan kerangka dasar pengembangan
ekonomi lokal dan daerah.

V. Metode
Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai program dlklal Inl maka metode diklat
yang akan digunakan adalah belajar mengajar dengan metode pembelajaran
untuk orang dewasa yang lerdin alas: penyajian makalah, dlskusi kelas, diskusi
kelompok, praklek product mapping, dan presenlasi.

VI. Kriteria Peserta


Kriteria yang harus dipenuhi oleh peserta diklat adalah sebagai berikut:
a. pendidikan sekurang-kurangnya S1;
b. masa kerja sekurang-kurangnya salu lahun, terhilung mulai langgal diangkal
menjadi Apartur Sipil Negara (ASN);
c. umur selinggHingginya dua lahun sebelum memasuki mas a pensiun;
d. berkelompok dengan jumlah disesuaikan dengan seklor-seklor yang menjadi
priorilas pembangunan di daerah, dan sebanyak-banyaknya lima orang setiap
daerah pengirim, termasuk satu orang dari Bappeda sebagai team leader,
e. peserta diharapkan membawa
1) dala potensial produklkomoditas unggulan di daerah masing-masing,
2) dokumen perencanaan seperti RPJMD dan Renslra SKPD, dan
3) data lainnya yang diperlukan;
f. diusulkan oleh Pejabal Pembina Kepegawaian atau serendah-rendahnya
Pejabal Eselon II atasan langsungnya; serta
g. mengisi Formulir Pendaflaran dan pernyataan kesediaan cost-sharing
terlampir.

VII. Jadwal Pelaksanaan


Diklat ini akan dilaksanakan pada lahun 2017.

VIII. Pendaftaran Peserta


Beberapa hal yang dapal dijadikan acuan dalam proses pelamaran diklat adalah
sebagai berikut:
a. peserta pelatihan non-gelar substantif adalah kelompok peserta dari salu
Pemerintah Daerah (provinsi/kabupalen/kota);
b. peserta berkeJompok dengan jumlah disesuaikan dengan seklor-seklor yang
menjadi priorJlas pembangunan di daerah (minimal dua orang atau maksimal lima
orang per daerah);
c. unluk membentuk kelompok calon peserta, BKD/BadiklaUBappeda (sesuai dengan
ketentuan masing-masing daerah) diharapkan dapat melakukan koordinasi dengan
SKPD lainnya;
d. BKDfBadiklaUBappeda menyebarluaskan informasi penawaran dlklat dari
Pusbindiklatren Bappenas dan meminta usulan calon peserta kepada seluruh
SKPD dan Bappeda dl daerahnya;
e. BKDfBadlklaUBappeda mengundang calon peserta yang diusulkan untuk
melakukan koordinasi serta menunJuk calon peserta dari Bappeda sebagai kelua
kelompok;
f. BKD/BadiklaUBappeda mengusulkan kelompok calon peserta untuk mengikuti
pelalihan non-gelar substantif kepada Pusbindiklatren Bappenas;
g. pengiriman nama calon peserta diklat disertakan dengan formulir pendaftaran yang
bertandatangan asII;
h. sural usulan, formullr, dan dokumen pendukung disampaikan langsungfvia pas ke
Kapusbindiklalren Bappenas, dengan alamat Jln. Proklamasi No. 70, Jakarta Pusal;
dan
I. keterangan lebih lanjut tentang pengusulan calon peserta dapat diunduh melalui
situs: www. pusbindiklatren.bappenas.go.id atau disampaikan melalui pos-el:
pusbindiklatren@bappenas.go.id.

IX. Materi Diklat


Kurikulum dan bah an ajar seperti dalam lampiran.

X. Kehadiran Peserta
Tingkat kehadiran peserta dalam diklat ini adalah minimal 90%, apabila kurang dari
90% maka peserta tidak mendapatkan sertifikal.

XI, Pelaksanaan Diklat


a. Diklat ini akan dilaksanakan oleh Program Studi (Prodi) yang bekerja sama
dengan Pusbindiklatren 5elama 2 minggu dengan jumlah jam peiajaran 48 sesi
atau 96 jam pel (1 jam pelajaran := 45 menit, 1 2 jam pelajaran).
b. Khusus untuk pelaksanaan Diklat di wilayah tertentu, seperti Provinsi Papua
Sarat, Papua, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, diklat Ini dapal
dilakukan dengan sistem on-off (Tahap1 di kelas, Tahap 2 kembali ke tempat
kerja, dan tahap 3 di kelas). Pada saat Tahap 1 di kelas dapat diberikan 30%
sampai dengan 50% materi, sedangkan sisanya di kelas Tahap 2.
c. Waktu off (kembali ke tempat kerja) adalah antara dua minggu sampai dengan
satu bulan di anlara Tahap 1 dan Tahap 3 dengan dilakukan penugasan kepada
peserta dan pendampingan di tempat kerja bila diperlukan.
d. Khusus diklat di Papua dan Papua Sarat, Prodi pelaksana akan didampingi oleh
Prodi yang ditunjuk oleh Pusbindiklatren Bappenas untuk membantu
pelaksanaan diklat yang berperan sebagai narasumber, fasilitalor/pendamping,
dan tenaga penyusun bahan ajar serta evaluasi pelaksanaan diklat

31 KAK Diklat LERD Tahun 2017


XII. Pembiayaan
Pelaksanaan pelatihan ini akan dibiayai dari Program Professional Human
Resource Development IV (PHRD IV) melalui anggaran Kementerian PPN/Bappenas
dengan mekanisme pemb iayaan cost sharing. dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dukungan pembiayaan yang dikeluarkan oleh Pusbindiklatren Bappenas meliputi
biaya pelatihan, materi pelatihan, akomodasi, konsumsi, transportasi lokal
(penjemputan dari penginapan ke tempat diklat), dan biaya Prodi pendamping; dan
b. dukungan pembiayaan yang harus disediakan oleh instansi asal peserta meliputi
transportasi (tiket pUlang-pergi) darilke kota asal peserta ke/dari lokasi tempat diklat
serta uang saku selama pelatihan.

XIII. Laporan
Laporan pelaksanaan diklat dan evaluasinya disusun oleh pelaksana diklat dan
harus disampaikan kepada Kepala Pusbindiklatren Bappenas selambat-Iambatnya dua
minggu setelah pelatihan selesai. Laporan tersebut mencakup pelaksanaan kegiatan
diklat, evaluasi terhadap kinerja pengajar, evaluasi terhadap kinerja pelaksanan diklat,
serta evaluasi terhadap kesesuaian dan kualitas materi pelatihan.

Ditetapkan di Jakarta,31 Maret 2017


Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan
Pelatihan Perencana Bappenas

4\ KAK Diklat LERD Tahun 2017


Tabel Kurikulum Diklat
Local Economic Resources Development (LERD)
CATATAN: 1 Jam Pelajaran = 45 Menit ; 1 Sesi = 2 Jam Pelajaran

Alat dan Bahan Jam


No. Mata Diklat Pokok Pembelajaran Metode Pembelajaran Sesi
Pembelajaran Pelajaran
BAHAN Pembukaan - Kebijakan dan gambaran - Klasikal - Papan tulis 1 2
AJAR 1 Diklat umum diklat - Presentasi dari narasumber - LCD
- Overview dan pre-test - Laptop
- Internet

BAHAN Intoduction to - Konsep dasar pembangunan - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 2 LERD ekonomi daerah - Presentasi dari narasumber - LCD
- Definisi LERD - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
- Konsep dasar LERD

BAHAN LERD dalam - Kedudukan LERD dalam - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 3 Kebijakan kerangka kebijakan di - Presentasi dari narasumber - LCD
Nasional Indonesia - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
- Undang-Undang terkait
LERD
- Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden terkait
LERD
- Peraturan Menteri dan
peraturan lain skala nasional
terkait LERD
Alat dan Bahan Jam
No. Mata Diklat Pokok Pembelajaran Metode Pembelajaran Sesi
Pembelajaran Pelajaran
BAHAN Program LERD - LERD dalam kerangka - Klasikal - Papan tulis 2 4
AJAR 4 dalam Sistem sistem perencanaan - Presentasi dari narasumber - LCD
Perencanaan Pembangunan Nasional - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
Pembangunan - LERD dalam Rencana
Nasional Pembangunan Jangka
Panjang Nasional
- LERD dalam rencana
pembangunan jangka
Menengah Nasional
- LERD dalam rencana kerja
pemerintah

BAHAN Kerangka - Evaluasi kelembagaan dalam - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 5 Kelembagaan program USDRP sebagai - Presentasi dari narasumber - LCD
dalam LERD masukan bagi kelembagaan - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
LERD
- Aspek kelembagaan dalam
tahapan pengelolaan LERD

BAHAN Instrumen Fiskal - Konsep umum kebijakan - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 6 Untuk fiskal - Presentasi dari narasumber - LCD
Mendukung - Kajian kebijakan - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
LERD desentralisasi fiskal di
Indonesia
BAHAN Analisis - Metode analisis kuantitatif: - Klasikal, - Papan tulis 4 8
AJAR 7 Kuantitatif : input-output analysis - Presentasi dari narasumber - LCD
Input& Output - Tahapan penggunaan - Diskusi/exercise/case study - Laptop
Analysis analisis input-output
- Contoh penggunaan analisis
input-output
Alat dan Bahan Jam
No. Mata Diklat Pokok Pembelajaran Metode Pembelajaran Sesi
Pembelajaran Pelajaran
BAHAN Praktek - Studi kasus analisis input- - Klasikal, - Papan tulis 4 8
AJAR 8 Kuantitatif & output dalam pengembangan - Presentasi dari narasumber - LCD
Output Analysis ekonomi lokal - Diskusi/exercise/case study - Laptop

BAHAN Teknik dan - Pengertian metode - Klasikal, - Papan tulis 2 4


AJAR 9 Analisa Proyeksi forecasting - Presentasi dari narasumber - LCD
- Jenis-jenis metode forcasting - Diskusi/exercise/case study - Laptop
- Time series

BAHAN Proses - Definisi masalah - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 10 Perencanaan - Definisi, maksud, dan - Presentasi dari narasumber - LCD
LERD (2): manfaat pohon masalah - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
Analisis pembelajaran - Latihan/exercise dalam - Kartu/potongan
Permasalahan - Tahapan analisis dan bentuk permainan kertas
dengan Pohon penyusunan pohon masalah - Presentasi dari peserta diklat - Lem/perekat kertas
Masalah - Latihan/exercise - Karton/media
sejenis lainnya

BAHAN Proses - Kerangka umum pohon - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 11 Perencanaan tujuan - Presentasi dari narasumber - LCD
LERD (3): - Petunjuk pengembangan - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
Pengembangan pohon tujuan yang efektif - Latihan/exercise dalam - Kartu/potongan
Pohon Tujuan - Perumusan pohon tujuan bentuk permainan kertas
- Latihan/exercise - Presentasi dari peserta diklat - Lem/perekat kertas
- Karton/media
sejenis lainnya
Alat dan Bahan Jam
No. Mata Diklat Pokok Pembelajaran Metode Pembelajaran Sesi
Pembelajaran Pelajaran
BAHAN Strategi Program - Konsep dasar program - Klasikal - Papan tulis 4 8
AJAR 12 LERD LERD - Presentasi dari narasumber - LCD
- Pembelajaran keberjalanan - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
program pembangunan
daerah dalam perumusan
strategi LERD
- Perencanaan dan
pelaksanaan strategi
program LERD

BAHAN Pendekatan - Definisi monitoring dan - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 13 Monitoring dan evaluasi - Presentasi dari narasumber - LCD
Evaluasi Program - Tahapan monitoring dan - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
LERD evaluasi dalam strategi
LERD
- Pembahasan dan waktu
pelaksanaan monitoring dan
evaluasi dalam strategi
LERD

BAHAN Contoh Kasus - Tinjauan singkat karakteristik - Klasikal - Papan tulis 2 4


AJAR 14 LERD di studi kasus - Presentasi dari narasumber - LCD
Kota/Kabupaten - Pembahasan strategi - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
(Fokus pengelolaan LERD pada
Pengembangan studi kasus
Value Added)
BAHAN Pemrograman - Pemrograman kegiatan - Klasikal - Papan tulis 2 4
AJAR 15 dan LERD - Presentasi dari narasumber - LCD
Penganggaran - Penganggaran kegiatan - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
LERD
Alat dan Bahan Jam
No. Mata Diklat Pokok Pembelajaran Metode Pembelajaran Sesi
Pembelajaran Pelajaran
BAHAN Field Trip - Penjelasan dan arahan tugas - Klasikal - Papan tulis 4 8
AJAR 16 - Presentasi dari narasumber - LCD
- Studi lapangan - Laptop
- Diskusi informal

BAHAN FGD, Workshop, - Memelajari suatu kasus - Analisis kasus - Analisis 3 6


AJAR 17 Exercice, Studi secara komprehensif di - Proses penyusunan action kuantitatif/deskriptif
Kasus Relevan Kota/Kabupaten (di studio) plan - Analisis Kualitatif
- Menghasilkan kerangka - Penyusunan
action plan indikasi program

BAHAN Penyusunan - Panduan penyusunan - Klasikal - Papan tulis 5 10


AJAR 18 Proposal & proposal rencana aksi - Presentasi dari narasumber - LCD
Presentasi strategi program LERD - Diskusi dan/atau tanya jawab - Laptop
- Panduan presentasi

BAHAN Penutupan Diklat - Evaluasi - Klasikal - Papan tulis 1 2


AJAR 19 - Penyerahan diklat - Presentasi dari narasumber - LCD
- Penutupan - Laptop

TOTAL 48 96
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
(LERD)

MATERI POKOK 1
PEMBUKAAN DIKLAT

Pengertian dan Tujuan: Pembukaan adalah kegiatan yang dilakukan pada awal atau hari
pertama pelaksanaan diklat dengan tujuan untuk membuka secara resmi diklat, menjelaskan
kebijakan dan gambaran umum diklat, harapan yang ditujukan peserta untuk mengikuti diklat ini
dengan baik.

Acara pembukaan terdiri dari rangkaian acara:


1. Menyanyikan lagu Indonesia Raya
2. Laporan dari panitia (bila diperlukan)
3. Sambutan dari Pimpinan Pengelola
4. Sambutan dan arahan dari Pejabat Pusbindiklatren Bappenas
5. Penyematan tanda peserta (bila diperlukan)
6. Pre-test (bila diperlukan)
7. Doa (bila diperlukan)

Bahan dan alat yang diperlukan untuk pembukaan:


1. Jadwal acara pembukaan
2. Daftar nama peserta
3. LCD
4. Audio
5. Laptop
6. Perangkat Sipena (DLS)
7. Informasi dan peralatan lainnya

Waktu: 1 sesi atau 2 jam pelajaran (90 menit)


BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
(LERD)

MATERI POKOK 2
INTRODUCTION
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
(LERD)

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 2:
INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT

DAFTAR ISI

Daftar Isi .......................................................................................................................... ii


Daftar Gambar ................................................................................................................. ii
I. Konsep Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah ....................................................... 1
II. Definisi Local Economic Resources Development(LERD) ........................................ 5
III. Konsep Dasar Local Economic Resources Development (LERD) ............................ 5
Referensi .................................................................................................................... 7
Bahan Tayang .................................................................................................................. 8

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Prinsip Dasar Pengembangan Ekonomi .......................................................... 1


Gambar 2. Mengenali Wilayah Ekonomi ........................................................................... 2
Gambar 3. Merumuskan Manajemen Pembangunan Daerah yang Pro-
Bisnis ................................................................................................................................ 4

ii
I. KONSEP DASAR PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
Pembangunan ekonomi daerah di era ekonomi cukup menghadapi berbagai
macam tantangan, baik tantangan internal maupun eksternal antara lain seperti
kesenjangan dan iklim globalisasi. Kini tiap daerah dituntut untuk mampu
bersaing di dalam dan di luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan percepatan
pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangunan
kawasan dan produksi andalannya.Percepatan pembangunan ini bertujuan agar
daerah tidak tertinggal dalam persaingan pasar bebas dan tetap memperhatikan
masalah pengurangan kesenjangan. Para pelaku ekonomi memiliki peran
mengisi pembangunan ekonomi daerah dan harus mampu bekerjasama melalui
bentuk pengelolaan keterkaitan antarsektor, antarprogram, antarpelaku, dan
antardaerah.
Penerapan pengembangan ekonomi lokal dituangkan didalam istilah “kawasan
andalan” yang tertuang didalam undang-undang. Kawasan Andalan menurut UU
No. 26 Tahun 2007 adalah satuan wilayah yang terbentuk berdasarkan fungsi
kawasan dan aspek kegiatan ekonomi yang diandalkan sebagai motor
penggerak pengembangan wilayah nasional, sehingga kawasan andalan
diharapkan mampu menjadi pusat pertumbuhan. Kawasan Andalan, menurut PP
No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, merupakan kawasan-kawasan yang dipilih
dari kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya serta dapat mewujudkan
pemerataan ruang di wilayah Nasional.Pembangunan ekonomi daerah perlu
memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang isu-isu ekonomi daerah
yang dihadapi dan perlu mengkoreksi kebijakan yang masih belum sesuai atau
keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan
daerah secara menyeluruh. Terdapat 2 (dua) prinsip dasar pengembangan
ekonomi daerah yang perlu diperhatikan yaitu mengenali ekonomi wilayah dan
merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis.

Gambar 1. Prinsip Dasar Pengembangan Ekonomi

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|1
A. Mengenali Ekonomi Wilayah
Dalam pembangunan ekonomi daerah perlu adanya pengenalan-pengenalan
daerah tersebut. Pengenalan ekonomi wilayah tersebut antara lain sebagai
berikut:

Gambar 2. Mengenali Wilayah Ekonomi

1. Perkembangan Penduduk dan Urbanisasi


Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama dalam pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi terjadi akibat proses pertumbuhan alami
dan urbanisasi. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang mampu
menyebabkan suatu wilayah berubah cepat dari desa pertanian menjadi
agropolitan dan selanjutnya menjadi kota besar. Berikut merupakan teori
Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) yang dipelopori oleh Francois Perroux
Ahli ekonomi Regional berkebangsaan Perancis:
Pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi disegala tata ruang, akan
tetapi hanya terbatas paa beberapa tempat tertentu dengan variabel-
variabel. Salah satu cara untuk menggalakakan kegiatan pembangunan
dari suatu daerah tertentu melalui pemanfaatan “Aglomeration Economies”
sebagai faktor pendorong utama. Pusat petumbuhan merupakan teori
yang menjadi dasar strategi kebijaksanaan pembangunan wilayah daerah.

2. Sektor Pertanian
Setiap wilayah berpenduduk selalu terjadi kegiatan pembangunan, namun
ada beberapa wilayah yang pembangunannya berjalan di tempat atau
bahkan berhenti sama sekali, dan wilayah ini kemudian menjadi wilayah
kelas kedua dalam kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan penanam
modal dan pelaku bisnis keluar dari wilayah tersebut karena wilayah itu
dianggap sudah tidak layak lagi untuk dijadikan tempat berusaha.
Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu menjadi semakin lambat.
Upaya pengembangan sektor agribisnis dapat menolong mengembangkan
dan mempromosikan agroindustri di wilayah tertinggal. Program kerjasama

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|2
dengan pemilik lahan atau pihak pengembang untuk mau meminjamkan
lahan yang tidak dibangun atau lahan tidur untuk digunakan sebagai lahan
pertanian perlu dikembangkan. Dari jumlah lahan pertanian yang tidak
produktif ini dapat diciptakan pendapatan dan lapangan kerja bagi
penganggur di perdesaan. Program kerjasama mengatasi keterbatasan
modal, mengurangi resiko produksi, memungkinkan petani memakai
bahan baku impor dan produk yang dihasilkan dapat mampu bersaing
dengan barang impor yang sejenis serta mencarikan dan membuka
pasaran yang baru.

1. Sektor Pariwisata
Pariwisata memberikan dukungan ekonomi yang kuat terhadap suatu
wilayah. Industri ini dapat menghasilkan pendapatan besar bagi ekonomi
lokal. Kawasan sepanjang pantai yang bersih dapat menjadi daya tarik
wilayah, dan kemudian berlanjut dengan menarik turis dan penduduk ke
wilayah tersebut. Sebagai salah satu lokasi rekreasi, kawasan pantai
dapat merupakan tempat yang lebih komersial dibandingkan kawasan lain,
tergantung karakteristiknya. Sebagai sumber alam yang terbatas, hal
penting yang harus diperhatikan adalah wilayah pantai haruslah menjadi
aset ekonomi untuk suatu wilayah.

2. Kualitas Lingkungan
Wilayah pinggiran biasanya memiliki karakter sebagai wilayah yang tidak
direncanakan, berkepadatan rendah dan tergantung sekali keberadaannya
pada penggunaan lahan yang ada. Tempat seperti ini akan membuat
penyediaan sarana umum menjadi sangat mahal. Dalam suatu wilayah
antara kota, desa dan tempat-tempat lainnya harus ada satu kesatuan.
Pemerintah daerah perlu mengenali pola pengadaan sarana umum di
suatu wilayah yang efektif, baik di wilayah lama maupun di wilayah
pinggiran.

3. Keterkaitan Wilayah dan Aglomerasi


Umumnya usaha yang sama cenderung beraglomerasi dan membentuk
kelompok usaha dengan karakter yang sama serta tipe tenaga kerja yang
sama. Produk dan jasa yang dihasilkan juga satu tipe. Sumber daya alam
dan industri pertanian biasanya berada di tahap awal pembangunan
wilayah dan menciptakan kesempatan yang potensial untuk
perkembangan wilayah. Pengelompokan usaha (aglomerasi) berarti
semua industri yang saling berkaitan saling membagi hasil produk dan
keuntungan. Pengelompokan itu juga menciptakan potensi untuk
menciptakan jaringan kerjasama yang dapat membangun kegiatan
pemasaran bersama dan untuk menarik kegiatan lainnya yang berkaitan
ke depan atau ke belakang. Pertumbuhan ekonomi yang sehat sangat

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|3
penting jika suatu wilayah ingin bersaing di pasar lokal dan nasional. Untuk
mencapai tujuan ini, pendekatan kawasan yang terpadu diperlukan untuk
mempromosikan pembangunan ekonomi.

B. Merumuskan Manajemen Pembangunan Daerah yang Pro-Bisnis


Pengaruh dalam menentukan corak pertumbuhan ekonomi adalah
pemerintah daerahdan pengusaha. Dalam pemerintahan darah mempunyai
kesempatan membuat berbagai peraturan, menyediakan berbagai sarana
dan peluang, serta membentuk wawasan orang banyak. Tetapi pemerintah
daerah tidak mengetahui banyak bagaimana proses kegiatan ekonomi
sebenarnya berlangsung. Pengusaha mempunyai kemampuan mengenali
kebutuhan orang banyak dan dengan berbagai insiatifnya, memenuhi
kebutuhan itu. Berikut merupakan prinsip-prinsip manajemen pembangunan
daerah yang pro-bisnis antara lain:

Gambar 3. Merumuskan Manajemen Pembangunan Daerah yang Pro-


Bisnis

1. Menyediakan Informasi kepada Pengusaha


Pemerintah memberikan informasi untuk pelaku ekonomi yang sesuai dengan
pembangunan ekonomi di daerahnya yang akan datang. Adanya informasi
tersebut, pelaku ekonomi/pengusaha dapat mengetahui arah kebijakan
pembangunan ekonomi daerah dalam menentukan kegiatan usahanya yang
akan dikembangkan.

2. Memberikan Kepastian dan Kejelasan Kebijakan


Strategi pembangunan ekonomi daerah yang baik dapat membuat
pengusaha yakin bahwa investasinya akan menghasilkan keuntungan di
kemudian hari. emerintah daerah akan harus menghindari adanya tumpang
tindih kebijakan jika menghargai peran pengusaha dalam membangun
ekonomi daerah.

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|4
3. Meningkatkan Daya Saing Pengusaha Daerah
Perlu adanya peningkatan daya saing pengusaha daerah agar lebih
berkembang. Pengembangan produk yang sukses adalah yang berorientasi
pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong pengusaha untuk
selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan perdagangan
internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya terencana
agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan
perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-
pengusaha daerah menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam
perdagangan bebas, baik pada lingkup daerah, nasional maupun
internasional.

4. Membentuk Ruang yang Mendorong Kegiatan Ekonomi


Ruang khusus untuk kegiatan ekonomi akan lebih langsung menggerakkan
kegiatan ekonomi. Pemerintah daerah perlu berusaha mengantisipasi
kawasan-kawasan yang dapat ditumbuhkan menjadi pusat-pusat
perekonomian wilayah. Pengembangan kawasan-kawasan strategis dan
cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan
keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan keberdayaan
masyarakat.

II. DEFINISI LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT (LERD)


Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah
satu faktor menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah.
Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat
dibandingkan dengan daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah.
Local Economic Resources Development (LERD) atau Pengembangan Sumber Daya
Ekonomi Lokal dapat didefinisikan sebagai proses kemitraan antar pemerintah daerah,
kelompok masyarakat dan sektor swasta yang berdiri untuk mengelola sumber daya yang
ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang ekonomi wilayah menjadi
lebih baik.

Hal tersebut dapat menekan ekonomi lokal, dan dapat memanfaatkan potensi
sumber daya manusia, kelembagaan, dan fisik. Tindakan dalam pembangunan
sumber daya ekonomi lokal yaitu memobilisasi aktor, organisasi dan sumber
daya, mengembangkan lembaga baru dan sistem lokal melalui dialog dan
tindakan yang strategis. Terdapat 3 (tiga) kategori utama dari Local Economic
Resources Development (LERD). Pertama yaitu mengacu pada community
based development. community based development dapat diterapkan di
pedesaan maupun perkotaan, meskipun karakteristiknya akan berubah. Kategori
yang kedua yaitu mengacu pada enterprise and business development. Kategori
ini terdiri dari langkah-langkah yang langsung menargetkan dan melibatkan
perusahan-perusahaan. Kategori yang ketiga mengacu pada locality

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|5
development. Hal ini mengacu pada perencanaan dan pengelolaan
pembangunan ekonomi dan fisik daerah secara keseluruhan.

III. KONSEP DASAR LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT (LERD)


Terdapat 3 (tiga) konsep utama dalam pengembangan wilayah yaitu konsep
development from above, konsep development from below, dan konsep Local
Economic Resources Development (LERD). Konsep pembangunan dari atas
cenderung menguntungkan wilayah yang lebih besar. Wilayah dengan poteni
sumber daya yang lebih kaya akan menghisap sumber daya yang dibelakangnya
(backwash effect) sehingga mengakibatkan terjadinya disparitas wilayah. Konsep
pembangunan dari bawah memungkinkan wilayah yang lebih kecil membangun
dirinya sendiri karena terpisah dari wilayah lain. Konsep pengembangan ekonomi
lokal sudah dikembangkan pada konteks Eropa Barat dan revelansi dengan
Negara berkembang seperti Indonesia (Firman,1996). Pengembangan ekonomi
lokal dapat diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi
dengan lebih mandiri berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki, baik sumberdaya
alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan, pendidikan tinggi, asosiasi
profesi, dan lain-lain. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil. Titik
sentralnya adalah mengorganisir serta mentransformasi potensi-potensi tersebut
menjadi penggerak bagi pengembang ekonomi lokal (Firman,1999).
Menurut Coffey dan Polase (1984) terdapat empat tahapan proses
pengembangan lokal antara lain :
1. Tumbuh kembangnya kewiraswastaan lokal yaitu masyarakat lokal mulai
membuka bisnis kecil-kecilan, mulai mengambil resiko keuangan dengan
menginvestasikan modalnya dalam bisnis baru.
2. Pertumbuhan dan perluasan perusahaan-perusahaan lokal yaitu lebih banyak
perusahaan yang mulai beroperasi dan perusahaan-perusahaan yang sudah
ada semakin bertambah besar dalam hal penjualan, tenaga kerja, dan
keuntungannya (lepas landasnya perusahaan lokal)
3. Berkembangnya perusahaan-perusahaan lokal keluar dari lokasinya
4. Terbentuknya suatu perekonomian wilayah yang bertumpu padakegiatan dan
inisiatif lokal serta keunggulan komparatif ekonomi lokal tersebut.

Demikian pembangunan perekonomian lokal umumnya merujuk pada


pengembangan lokal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai landasannya, atau
dengan kata lain pengembangan sumberdaya ekonomi lokal adalah
pertumbuhan ekonomi yang dimulai pada tingkat lokal dan terjadi dalam kondisi
lokal yang sudah ada (sistem pasar bebas yang sudah ada). Sehingga konsep
Local Economic Resources Development (LERD) merujuk pada pengembangan
lokal dan pertumbuhan ekonomi lokal.

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|6
REFERENSI :
Darwanto, Herry. Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah
Emilia. Modul Ekonomi Regional. Jambi: Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. 2006
Helmsing, A.H.J. (Bert). Local Economic Development. Institute of Social Studied, The
Hague. 2001
Making Local Economic Development Strategies: A Trainer’s Manual, A knowledge Product
of the World Bank and Cities of Change Initiative, produce in conjuction with the
Bertelsmann Foundation.
Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang penataan ruang
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 pasal 7 Tentang : Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|7
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 2:
INTRODUCTION TO
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT (LERD)

INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|8
INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|9
INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 10
INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 11
INTRODUCTION TO LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 12
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 3
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM KEBIJAKAN NASIONAL

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 3:
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM KEBIJAKANNASIONAL

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... ii


Daftar Tabel.......................................................................................................... ii
I. Kedudukan Local Economic Resources Development dalam
Kerangka Kebijakan di Indonesia ................................................................... 1
II. Undang-Undang terkait Local Economic Resources Development ................. 4
III. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden terkait Local
Economic Resources Development ................................................................ 12
IV. Peraturan Menteri dan Peraturan Lain Skala Nasional terkait Local
Economic Resources Development ................................................................ 15
Referensi ............................................................................................................... 18
Bahan Tayang ....................................................................................................... 19

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Peraturan Skala Nasional Terkait Pengembangan Ekonomi Lokal ........2

ii
I. KEDUDUKAN LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM KERANGKA KEBIJAKAN DI INDONESIA
Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) awalnya merupakan bagian dari
pengaplikasian program Urban Sector Development Reform Project (USDRP).
USDRP merupakan program bersama antara Pemerintah Indonesia dan Bank
Dunia dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang berkemandirian,
berkelanjutan, dan layak huni (Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian
Pekerjaan Umum, 2012). PEL bersama dengan pembangunan infrastruktur
strategis dan penguatan tata pemerintahan merupakan pendekatan yang
digunakan dalam mewujudkan USDRP yang berlangsung sejak tahun 2006
hingga tahun 2013. Dengan berakhirnya USDRP, konsep Pengambangan
Ekonomi Lokal diharapkan dapat melanjutkan usaha program USDRP pada
tingkat daerah melalui keterlibatan Pemerintah Daerah dalam memajukan
ekonomi daerahnya. Hal ini sejalan dengan arahan kebijakan Ditjen Cipta Karya
tahun 2012-2014 yakni untuk mengembangkan kegiatan yang mengedepankan
usaha untuk meningkatkan peran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan akses infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi lokal.
Dalam publikasi Ditjen Cipta Karya, 2012 berjudul “Membangun Kemandirian
Perkotaan - Refleksi Pelaksanaan USDRP” disebutkan bahwa langkah
selanjutnya dalam pembangunan perkotaan pasca berakhirnya program USDRP
salah satunya adalah perlu ditetapkannya suatu landasan hukum. Landasan
hukum tersebut berupa peraturan perundangan yang dapat menjaga
keberlangsungan dan keberlanjutan penyelenggaraan program, dilandasi oleh
suatu struktur kelembagaan, sistem dan tata cara, serta prosedur yang efisien
dan efektif demi terwujudnya tata kelola pemerintahan kota dan kabupaten yang
peduli dan terampil untuk melayani. Landasan hukum tersebut pada skala
nasional dapat berupa peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah,
peraturan menteri, dan peraturan lain yang sah. Sedangkan pada skala wilayah,
peraturan tersebut dapat didukung dengan peraturan daerah, keputusan
gubernur, keputusan walikota, dan peraturan lain yang sah secara hukum.
Peraturan skala nasional tersebut nantinya akan menjadi payung hukum dan
stardardisasi bagi implementasi Pengembangan Ekonomi Lokal maupun
penetapan peraturan pendukung di daerah-daerah terkait. Selain itu, peraturan
terpusat tersebut juga menjadi pintu hukum yang melindungi masuknya peluang
bantuan maupun investasi global dalam mendukung Pengembangan Ekonomi
Lokal. Diantara peraturan perundang-undangan yang dapat mendukung
pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Lokal antara lain:
 Undang-Undang Republik Indonesia No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
 Undang-Undang No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|1
 Undang Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
 Undang-Undang Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
 Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara

Sedangkan beberapa peraturan skala nasional lain yang juga dapat mendukung
pelaksanaan serta menjadi acuan bagi Pengembangan Ekonomi Lokal
diantaranya adalah:

Tabel. 1 Peraturan Skala Nasional Terkait Pengembangan Ekonomi Lokal

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Lain Skala


Peraturan Menteri Nasional
Peraturan Presiden
 Peraturan Pemerintah No.27  Peraturan Menteri Dalam Negeri  Peraturan Kepala Badan
Tahun 2014 tentang No.18 Tahun 2016 tentang Koordinasi Penanaman
Pengelolaan Barang Milik Pedoman Penyusunan, Modal No.9 Tahun 2012
Negara/Daerah Pengendalian dan Evaluasi tentang Pedoman
 Peraturan Presiden No.59 Rencana Kerja Pemerintah Daerah Penyusunan Rencana
Tahun 2012 tentang Tahun 2017 Umum Penanaman
Kerangka Nasional  Peraturan Menteri Keuangan Modal Provinsi dan
Pengembangan Kapasitas No.108/PMK.05/2016 Tahun 2016 Rencana Umum
Pemerintahan Daerah tentang Tata Cara Penerusan Penanaman Modal
 Peraturan Pemerintah No.2 Pinjaman Dalam Negeri dan Kabupaten/Kota
Tahun 2012 tentang Hibah Penerusan Pinjaman Luar Negeri  Surat Edaran Menteri
Daerah kepada Badan Usaha Milik Negara Dalam Negeri Nomor
 Peraturan Pemerintah No.30 dan Pemerintah Daerah 120/1730/SJ Tahun 2005
Tahun 2011 tentang  Peraturan Menteri Keuangan tentang Kerjasama Antar
Pinjaman Daerah No.214/PMK.07/2015 Tahun 2015 Daerah
 Peraturan Pemerintah No.10 tentang Perubahan Atas Peraturan
Tahun 2011 tentang Tata Menteri Keuangan No.188/PMK.
Cara Pengadaan Pinjaman 07/2012 tentang Hibah dari
Luar Negeri dan Pemerintah Pusat Kepada
Penerimaan Hibah Pemerintah Daerah
 Peraturan Pemerintah No.50  Peraturan Menteri Keuangan
Tahun 2007 tentang Tata No.180/PMK.07/2015 Tahun 2015
Cara Pelaksanaan Kerja tentang Perubahan Atas Peraturan
Sama Daerah Menteri Keuangan
No.111/Pmk.07/2012 tentang Tata
Cara Penerbitan dan
Pertanggungjawaban Obligasi
Daerah
 Peraturan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian No.11 Tahun
2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian Tahun 2015-2019
 Peraturan Menteri Dalam Negeri

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|2
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Lain Skala
Peraturan Menteri Nasional
Peraturan Presiden
No.77 Tahun 2014 tentang
Pedoman Tata Cara
Penghitungan, Penganggaran
Dalam APBD, dan Tertib
Administrasi Pengajuan,
Penyaluran, dan Laporan
Pertanggungjawaban Penggunaan
Bantuan Keuangan Partai Politik
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.9 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengembangan Produk Unggulan
Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.64 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pemberian
Insentif dan Pemberian
Kemudahan Penanaman Modal di
Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.74 Tahun 2012 tentang
Pedoman Kerjasama Pemerintah
Daerah dengan Badan Swasta
Asing
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.52 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pengelolaan Investasi
Pemerintah Daerah
 Peraturan Menteri Keuangan
No.226/PMK.07/2012 Tahun 2012
tentang Peta Kapasitas Fiskal
Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun
2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan,
Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.22 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja
Sama Daerah
 Peraturan Menteri Keuangan
No.201/PMK.05/2008 tentang Tata
Cara Penarikan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri yang
Diteruspinjamkan kepada Badan
Usaha Milik Negara/Pemerintah

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|3
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Lain Skala
Peraturan Menteri Nasional
Peraturan Presiden
Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.3 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah Daerah dengan Pihak
Luar Negeri
 Peraturan Menteri Luar Negeri
No.09/A/KP/XII/2006/01Tahun 2006
tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar
Negeri oleh Pemerintah Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.69 Tahun 2007 tentang Kerja
Sama Pembangunan Perkotaan

II. UNDANG-UNDANG TERKAIT LOCAL ECONOMIC RESOURCES


DEVELOPMENT
Pendekatan Local Economic Resources Development (LERD) atau
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kebijakan otonomi daerah. Dalam Undang-Undang No.9 Tahun 2015 yang
merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2014 yang
merupakan perubahan atas Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, mengatur keterkaitan kebijakan daerah dengan kebijakan
nasional termasuk kebijakan perekonomian. Selain itu perekonomian daerah
yang merupakan bagian dari perekonomian nasional meliputi penerimaan daerah
(APBD), pengeluaran daerah, dan kekayaan negara/kekayaan daerah juga diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Adapun hal-hal yang mendukung landasan hukum maupun
pengaplikasian Pengembangan Ekonomi Lokal yang tercantum dalam undang-
undang diantaranya:

1. Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah


Dokumen perencanaan pembangunan daerah terdiri atas:
 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP daerah) untuk
jangka waktu 20 tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, arah
kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan daerah yang mengacu
kepada RPJP nasional dan rencana tata ruang wilayah.
 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM daerah) untuk
jangka waktu 5 tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program
kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan,
pembangunan daerah dan keuangan daerah, serta program perangkat
daerah dan lintas perangkat daerah yang disertai dengan kerangka
pendanaan bersifat indikatif. Penyusunan RPJMD mengacu kepada
RPJPD dan RPJMN.

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|4
 Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari
RPJM daerah untuk jangka waktu 1 tahun, yang memuat rancangan
kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan daerah, serta rencana kerja dan pendanaan, dengan
mengacu kepada rencana kerja pemerintah dan program strategis
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
 Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yakni suatu
sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan, dan bertanggung jawab.

Penjabaran lebih rinci mengenai perencanaan pembangunan daerah


selanjutnya dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

2. Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota


Tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang
mendukung Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL), yakni:
Tugas dan wewenang DPRD Provinsi:
 Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah
provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah provinsi,
yakni perjanjian antara Pemerintah Pusat dan pihak luar negeri yang
berkaitan dengan kepentingan daerah provinsi
 Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi, yakni kerja sama antara
Pemerintah Daerah provinsi dan pihak luar negeri yang meliputi kerja
sama provinsi ”kembar”, kerja sama teknik termasuk bantuan
kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama
penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangperundangan.
 Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi;
 Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah
lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah
provinsi;

Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota:


 Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai
APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;
 Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD
kabupaten/kota;
 Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah,

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|5
yakni perjanjian antara Pemerintah Pusat dan pihak luar negeri yang
berkaitan dengan kepentingan daerah kabupaten/kota.
 Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, yakni kerja sama
daerah antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan pihak luar negeri
yang meliputi kerja sama kabupaten/kota ”kembar”, kerja sama teknik
termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah,
kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
 Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah
lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

3. Keuangan Daerah
a. Hubungan Keuangan Daerah
Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan
dan/atau ditugaskan kepada daerah yang didanai dari dan atas beban
APBD. Sedangkan jika penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas
beban APBN. Hubungan keuangan tersebut meliputi:
 Pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak daerah dan
retribusi daerah;
 Pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan Daerah;
 Pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk
pemerintahan daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang;
dan
 Pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif
(fiskal).
Sedangkan pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan
keuangan daerah, meliputi:
 Mengelola dana secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel;
 Menyinkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD
dengan program pemerintah pusat; dan
 Melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang
ditugaskan sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan.
Daerah dapat melakukan hubungan keuangan dengan daerah lain,
meliputi:
 Bagi hasil pajak dan nonpajak antar-daerah;

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|6
 Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
yang menjadi tanggung jawab bersama sebagai konsekuensi dari
kerja sama antar-daerah;
 Pinjaman dan/atau hibah antar-daerah;
 Bantuan keuangan antar-daerah, yakni:
- Bantuan keuangan antar-daerah provinsi;
- Bantuan keuangan antar-daerah kabupaten/kota;
- Bantuan keuangan daerah provinsi ke daerah kabupaten/kota di
wilayahnya dan/atau daerah kabupaten/kota di luar wilayahnya; dan
- Bantuan keuangan daerah kabupaten/kota ke daerah provinsinya
dan/atau daerah provinsi lainnya.
 Pelaksanaan dana otonomi khusus yang ditetapkan dalam Undang-
Undang.

b. Sumber Pendapatan Daerah


Adapun sumber pendapatan daerah meliputi:
1) Pendapatan asli daerah meliputi:
 Pajak daerah;
 Retribusi daerah;
 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
 Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;

2) Pendapatan transfer meliputi:


 Transfer pemerintah pusat terdiri atas:
1. Dana perimbangan, terdiri atas:

- Dana Bagi Hasil (DBH) yaitu dana yang bersumber dari


pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada
Daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu
dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
- Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
- Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah.

2. Dana otonomi khusus


3. Dana keistimewaan
4. Dana desa.

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|7
 Transfer antar-daerah terdiri atas:
1. Pendapatan bagi hasil yakni dana yang bersumber dari
pendapatan tertentu Daerah yang dialokasikan kepada daerah
lain berdasarkan angka persentase tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Bantuan keuangan yakni dana yang diberikan oleh daerah
kepada daerah lainnya baik dalam rangka kerja sama daerah
maupun untuk tujuan tertentu lainnya.

3) lain-lain pendapatan daerah yang sah, yakni seluruh pendapatan


daerah selain pendapatan asli daerah dan pendapatan transfer, yang
meliputi:
 Hibah yaitu bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang
berasal dari pemerintah pusat, daerah yang lain, masyarakat, dan
badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang bertujuan untuk
menunjang peningkatan penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah.
 Dana darurat yaitu dana yang dialokasikan pada daerah dalam
APBN untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan
oleh bencana yang tidak mampu ditanggulangi oleh daerah
dengan menggunakan sumber APBD.
 Lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pemberian sumber keuangan kepada daerah harus seimbang dengan
beban atau urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.
Jika daerah kurang mampu membiayai urusan pemerintahan dan
khususnya urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar,
pemerintah pusat dapat menggunakan instrumen DAK (Dana Alokasi
Khusus) untuk membantu daerah sesuai dengan prioritas nasional
yang ingin dicapai. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah
dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum
daerah atau dengan pencatatan dan pengesahan oleh bendahara
umum daerah. Jika APBD diperkirakan surplus, maka APBD dapat
dikeluarkan untuk pengeluaran pembiayaan meliputi:
 Pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;
 Penyertaan modal daerah;
 Pembentukan dana cadangan; dan/atau
 Pengeluaran pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Namun jika APBD diperkirakan defisit, APBD dapat didanai dari
penerimaan pembiayaan Daerah yang ditetapkan dalam Perda
tentang APBD, yang bersumber dari:
 Sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya;
 Pencairan dana cadangan;

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|8
 Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
 Pinjaman daerah; dan
 Penerimaan pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

1. Penanaman Modal Daerah
Pemerintah pusat dapat mengoordinasi kebijakan penanaman modal dengan
pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah, melalui Badan
Koordinasi Penanaman Modal. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Badan Koordinasi
Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi diantaranya:
 Melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang
penanaman modal;
 Mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;
 Menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan
pelayanan penanaman modal;
 Mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah
dengan memberdayakan badan usaha;
 Membuat peta penanaman modal Indonesia;
 Mempromosikan penanaman modal;
 Mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan
penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan
daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan
menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup
penyelenggaraan penanaman modal;
 Membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi
permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan
kegiatan penanaman modal;
 Mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan
penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan
 Mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu.
 Melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu


pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan
secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan. Tujuan penyelenggaraan
penanaman modal ini salah satunya hanya dapat tercapai apabila terjadi
perbaikan koordinasi antarinstansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan
birokrasi yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya
ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang
ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


|9
4. Belanja Daerah
Belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib
yang terkait pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan
minimal, yang berpedoman pada standar teknis dan standar harga satuan
regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, atau pada
analisis standar belanja dan standar harga satuan regional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Belanja bagi hasil, bantuan
keuangan, dan belanja untuk desa dianggarkan dalam APBD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan belanja DAK
diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk
kegiatan nonfisik. Adapun belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan
dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah
memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan
pemerintahan pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. belanja hibah dapat diberikan kepada:
 Pemerintah pusat;
 Pemerintah daerah lain;
 Badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
 Badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia.

5. Pinjaman Daerah
Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat,
daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan
masyarakat. Kepala daerah dengan persetujuan dprd dapat menerbitkan
obligasi daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi yang
menghasilkan penerimaan daerah setelah memperoleh pertimbangan dan
persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan. Daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari
penerusan pinjaman utang luar negeri dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang keuangan setelah memperoleh pertimbangan
dari menteri. perjanjian penerusan pinjaman tersebut dilakukan antara
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan dan
kepala daerah.

6. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)


Daerah dapat mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah dan
ditetapkan dengan Perda. BUMD dapat terdiri atas perusahaan umum daerah
dan perusahaan perseroan daerah. Perusahaan Perseroan Daerah adalah
BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh satu
daerah. Perusahaan umum daerah dan perusahaan perseroan daerah dapat
membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain
berdasarkan atas analisa kelayakan investasi oleh analis investasi yang

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 10
profesional dan independen. Sumber modal BUMD dapat diperoleh dari
penyertaan modal daerah, pinjaman, hibah, atau sumber modal lainnya yaitu
kapitalisasi cadangan, keuntungan revaluasi aset, dan agio saham. Pendirian
BUMD bertujuan untuk:
 Memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian Daerah pada
umumnya;
 Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa
 Memperoleh laba dan/atau keuntungan.

7. Kerjasama Daerah
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat
mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan, dengan:
a. Daerah lain, baik berupa:
 Kerja sama wajib yaitu kerja sama antar-daerah yang berbatasan untuk
penyelenggaraan urusan pemerintahan, yang memiliki eksternalitas lintas
daerah; dan yang penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika
dikelola bersama. kerjasama tersebut mencakup kerjasama antar-daerah
provinsi; antara daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam
wilayahnya; antara daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dari
provinsi yang berbeda; antar-daerah kabupaten/kota dari daerah provinsi
yang berbeda; dan antar-daerah kabupaten/kota dalam satu daerah
provinsi. Biaya kerjasama wajib diperhitungkan dari APBD masing-masing
daerah. Jika kerjasama tidak berjalan, pemerintah pusat dapat mengambil
alih pelaksanaan urusan pemerintahan yang dikerjasamakan.
 Kerja sama sukarela yakni dilaksanakan oleh daerah yang berbatasan
atau tidak berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah namun dipandang lebih efektif dan efisien
jika dilaksanakan dengan bekerja sama.
b. Pihak ketiga, meliputi:
 Kerja sama dalam penyediaan pelayanan publik;
 Kerja sama dalam pengelolaan aset untuk meningkatkan nilai tambah
yang memberikan pendapatan bagi daerah;
 Kerja sama investasi; dan
 Kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. Lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Pembinaan Daerah
Pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi
dilaksanakan oleh menteri, menteri teknis, dan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian. Menteri serta gubernur sebagai wakil pemerintah dapat

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 11
melakukan pembinaan yang bersifat umum maupun teknis berupa fasilitasi,
konsultasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan.
Pembinaan yang dapat dilakukan untuk mendukung pelaksanaan
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) meliputi:
 Pembagian urusan pemerintahan;
 Keuangan daerah;
 Pembangunan daerah;
 Kerja sama daerah;
 Kebijakan daerah;

III. PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN PRESIDEN TERKAIT


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) berkaitan erat dengan penguatan fungsi
pemerintah daerah dalam mengelola ekonomi daerahnya secara lebih
independen. Penguatan tersebut dibahas dalam Peraturan Presiden No.59
Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas
Pemerintahan Daerah. Kerangka nasional pengembangan kapasitas
pemerintahan daerah merupakan pedoman pengembangan kapasitas daerah
yang mengatur mengenai ruang lingkup, mekanisme dan tahapan, anggaran,
hubungan antar susunan pemerintahan, wewenang dan tanggung jawab dalam
rangka pembinaan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah oleh
pemerintah dan dalam rangka penyelenggaraan pengembangan kapasitas
pemerintahan daerah oleh
pemerintah daerah.

Kebijakan selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian PEL adalah tentang


pengelolaan barang milik negara/daerah, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.27 Tahun 2014. Peraturan ini merupakan pengganti Peraturan
Pemerintah No.38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No.6 Tahun 2006. PP No.27 Tahun 2014 mengatur tentang pengelolaan barang
milik negara/daerah. Pengertian barang milik daerah adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengelolaan barang milik
negara/daerah meliputi:
 Perencanaan kebutuhan dan penganggaran
Perencanaan kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan
barang milik negara/daerah untuk menghubungkan pengadaan barang
yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar
dalam melakukan tindakan yang akan datang.
 Pengadaan
Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 12
 Penggunaan
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang
dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Negara/Daerah
yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan.
 Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang
tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan/atau
optimalisasi barang milik negara/daerah dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Pemanfaatan barang milik negara/daerah dapat dilakukan
dengan cara:

- Sewa yakni pemanfaatan barang milik negara/daerah oleh pihak lain


dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
- Pinjam pakai yakni penyerahan penggunaan barang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah
daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan
setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada
pengelola barang.
- Kerja sama pemanfaatan yakni pendayagunaan barang milik
negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam
rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/pendapatan
daerah dan sumber pembiayaan lainnya.
- Bangun guna serah yakni pemanfaatan barang milik negara/daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati,
untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
- Bangun serah guna yakni pemanfaatan barang milik negara/daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai
pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
- Kerja sama penyediaan infrastruktur yakni kerja sama antara
pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pengamanan dan pemeliharaan
Pengamanan dan pemeliharaan meliputi pengamanan administrasi,
pengamanan fisik, dan pengamanan hukum.
 Penilaian
Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan
neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Penilaian tersebut dilakukan
dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah,

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 13
pemanfaatan, atau pemindahtanganan, kecuali dalam hal untuk
pemanfaatan dalam bentuk pinjam pakai atau pemindahtanganan dalam
bentuk hibah.
 Pemindahtanganan
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan barang milik
negara/daerah.
 Pemusnahan
Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan
barang milik negara/daerah.
 Penghapusan
Penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik negara/daerah
dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang
berwenang untuk membebaskan pengelola barang, pengguna barang,
dan/atau kuasa pengguna barang dari tanggung jawab administrasi dan
fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
 Penatausahaan
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan barang milik negara/daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
Pembinaan pengelolaan barang milik daerah dilakukan oleh menteri
dalam negeri. Sedangkan pengawasan dan pengendaliannya dilakukan
oleh pengguna barang melalui pemantauan dan penertiban dan/atau
pengelola barang melalui pemantauan dan investigasi.

Peraturan pemerintah lainnya yang berkaitan dengan Pengembangan Ekonomi


Lokal (PEL) adalah Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 2011 tentang pinjaman
daerah. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak
lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Peraturan ini membahas terkait ketentuan umum, sumber, jenis, dan
penggunaannya, persyaratan, obligasi daerah, pengadaan barang dan jasa,
kewajiban pembayaran, penatausahaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan
publikasi, sanksi administrasi, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Kebijakan terkait
tata cara serta kerangka hukum kerjasama daerah diatur dalam PP No.50 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Selain pinjaman daerah, juga terdapat pemberian daerah salah satunya adalah
hibah. Hibah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2012
tentang hibah daerah yang membahas ketentuan umum hibah, bentuk dan
sumber hibah, perencanaan hibah, pemberian/penerusan hibah dari pemerintah

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 14
kepada pemerintah daerah, perjanjian hibah, penganggaran hibah, penyaluran
hibah, penatausahaan hubah, pemantauan dan evaluasi hibah, serta pelaporan
dan ketentuan peralihan hibah. Sedangkan tata cara pengadaan pinjaman luar
negeri dan penerimaan hibah dibahas lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
No.10 Tahun 2011. Adapun yang termasuk dalam hibah daerah adalah hibah
kepada pemerintah daerah dan hibah dari pemerintah daerah. Hibah yang
dimaksud dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Hibah kepada pemerintah
daerah ini dapat berasal dari:
 Pemerintah;
Bersumber dari APBN meliputi penerimaan dalam negeri, hibah luar
negeri, dan pinjaman luar negeri.
 Badan, lembaga, atau organisasi dalam negeri; dan/atau
 Kelompok masyarakat atau perorangan dalam negeri.

IV. PERATURAN MENTERI DAN PERATURAN LAIN SKALA NASIONAL


TERKAIT LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
Peraturan menteri pada umumnya membahas secara lebih teknis dan aplikatif
pengaplikasian undang-undang maupun peraturan pemerintah dan peraturan
presiden. Berkaitan dengan Pengelolaan Ekonomi Lokal, terdapat beberapa
peraturan menteri yang menjadi pedoman dalam mendukung pelaksanaan PEL
diantaranya terkait:

1. Arahan Pembangunan Daerah


Arahan kerja pemerintah daerah serta pembangunan daerah berkaitan
dengan perekonomian diatur dalam:
 Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Tahun 2015-2019 diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian No.11 Tahun 2015
 Pedoman penyusunan, pengendalian dan evaluasi rencana kerja
pemerintah daerah tahun 2017 diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.18 Tahun 2016

2. Kerjasama Daerah
Kebijakan mengenai tata cara pelaksanaan kerja sama daerah telah dibahas
sebelumnya pada Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2007. Kerjasama
daerah ini selanjutnya dibahas lebih teknis dalam peraturan dan surat edaran
menteri dalam negeri serta peraturan menteri luar negeri, diantaranya:
 Pedoman kerjasama pemerintah daerah dengan badan swasta asing
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.74 Tahun 2012
 Petunjuk teknis tata cara kerja sama daerah diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.22 Tahun 2009

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 15
 Pedoman pelaksanaan kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar
negeri diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 2008
 Kerja sama pembangunan perkotaan diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.69 Tahun 2007
 Panduan umum tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh
pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri
No.09/A/KP/XII/2006/01Tahun 2006
 Kerjasama antar daerah diabahas dalam Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 120/1730/SJ Tahun 2005

3. Keuangan Daerah
Beberapa peraturan menteri serta peraturan lain tingkat nasional yang dapat
digunakan sebagai pedoman dan kerangka hukum dalam mengembangkan
PEL berkenaan dengan keuangan daerah, diantaranya terkait:
a. Pengembangan dan pengelolaan:
 Pedoman pengembangan produk unggulan daerah diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 2014
 Pedoman pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.21 Tahun 2011
b. Investasi:
 Tata cara penerbitan dan pertanggungjawaban obligasi daerah diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan No.180/PMK.07/2015 Tahun 2015
 Pedoman pelaksanaan pemberian insentif dan pemberian kemudahan
penanaman modal di daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.64 Tahun 2012
 Pedoman pengelolaan investasi pemerintah daerah diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.52 Tahun 2012
 Pedoman penyusunan rencana umum penanaman modal provinsi dan
rencana umum penanaman modal kabupaten/kota diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.9 Tahun 2012
c. Pinjaman dan hibah:
 Tata cara penerusan pinjaman dalam negeri dan penerusan pinjaman
luar negeri kepada BUMN dan pemerintah daerah diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan No.108/PMK.05/2016 Tahun 2016
 Hibah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.214/PMK.07/2015 Tahun 2015
 Tata cara penarikan pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang
diteruspinjamkan kepada BUMN atau pemerintah daerah diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.201/PMK.05/2008
d. Pedoman dan ketentuan lainnya:
 Pedoman tata cara penghitungan, penganggaran dalam APBD, dan tertib
administrasi pengajuan, penyaluran, dan laporan pertanggungjawaban

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 16
penggunaan bantuan keuangan partai politik diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.77 Tahun 2014
 Pelaksanaan PP No.8 Tahun 2008 tentang tahapan, tata cara
penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana
pembangunan daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.54 Tahun 2010
 Peta kapasitas fiskal daerah termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.226/PMK.07/2012 Tahun 2012

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 17
REFERENSI:

Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Acuan Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal untuk
Kota dan Kabupaten. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan
Umum.

________________________. 2012. Membangun Kemandirian Perkotaan - Refleksi


Pelaksanaan USDRP. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan
Umum.

Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.9 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Umum Penanaman Modal Provinsi dan Rencana Umum
Penanaman Modal Kabupaten/Kota

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.18 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2017

Peraturan Menteri Keuangan No.108/PMK.05/2016 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penerusan
Pinjaman Dalam Negeri dan Penerusan Pinjaman Luar Negeri kepada Badan Usaha
Milik Negara dan Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Keuangan No.214/PMK.07/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas


Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK. 07/2012 tentang Hibah dari Pemerintah Pusat
Kepada Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Keuangan No.180/PMK.07/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas


Peraturan Menteri Keuangan No.111/Pmk.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan
Pertanggungjawaban Obligasi Daerah

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.11 Tahun 2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Tahun 2015-2019

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.77 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan,
Penganggaran Dalam APBD, dan Tertib Administrasi Pengajuan, Penyaluran, dan
Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk
Unggulan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.64 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian
Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.74 Tahun 2012 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah
Daerah dengan Badan Swasta Asing

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.52 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi
Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Keuangan No.226/PMK.07/2012 Tahun 2012 tentang Peta Kapasitas Fiskal
Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 18
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja
Sama Daerah

Peraturan Menteri Keuangan No.201/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penarikan Pinjaman


dan/atau Hibah Luar Negeri yang Diteruspinjamkan kepada Badan Usaha Milik
Negara/Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri

Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/01Tahun 2006 tentang Panduan Umum Tata
Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan
Perkotaan

Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah

Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah

Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah

Peraturan Presiden No.59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas
Pemerintahan Daerah

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ Tahun 2005 tentang Kerjasama Antar
Daerah

The World Bank. 2006. Local Economic Development Quick Reference. Washington, DC: The
World Bank.

Undang-Undang Republik Indonesia No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang

Undang Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Undang-Undang Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 19
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 3:
LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN
NASIONAL

LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL


| 20
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 21
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 22
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 23
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 24
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 25
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 26
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 27
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 28
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 29
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 30
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 31
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 32
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 33
LOCAL ECONOMIC RESOURCE DEVELOPMENT DALAM KEBIJAKAN NASIONAL
| 34
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 4
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 4:
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... ii


Daftar Gambar ..................................................................................................... ii
Daftar Tabel.......................................................................................................... ii
I. Local Economic Resources Development dalam Kerangka Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional ........................................................... 1
II. Local Economic Resources Development dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional ...................................................... 4
III. Local Economic Resources Development dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional .................................................. 9
IV. Local Economic Resources Development dalam Rencana Kerja
Pemerintah..................................................................................................... 15
Referensi ............................................................................................................... 23
Bahan Tayang ....................................................................................................... 24

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Program Prioritas Nawacita ................................................................. 14


Gambar 2. Arahan Kebijakan Pemerataan Pembangunan
Antarwilayah
di Indonesia Tahun 2014, 2017, dan 2019 .......................................... 18
Gambar 3. Kegiatan Prioritas Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi
Transfer Ke Daerah dan Dana Desa ................................................... 18
Gambar 4. Diagram Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa ............................ 19

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Agenda Prioritas Nawacita di Bidang Ekonomi ..................................... 14


Tabel 2. Sasaran Pembangunan Tahun 2017 .................................................... 16

ii
Tabel 3. Sasaran Umum Prioritas Nasional Terkait Reformasi Fiskal ................ 16
Tabel 4. Arah Kebijakan Prioritas Nasional Reformasi Fiskal
Berkaitan dengan Desentralisasi Fiskal ................................................ 17
Tabel 5. Sasaran Pemerataan Pembangunan Antarwilayah di Indonesia
Tahun 2014, 2017, dan 2019 ............................................................... 17
Tabel 6. Sasaran Kegiatan Prioritas Peningkatan Efektivitas dan
Efisiensi Transfer Ke Daerah dan Dana Desa ...................................... 19
Tabel 7. Arah Kebijakan Dana Transfer ke Daerah ........................................... 20

iii
I. LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT DALAM KERANGKA
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dalam Undang-Undang No.25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-
rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan
daerah. Adapun tujuan dari SPPN adalah untuk:
a. Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah, maupun antara pusat dan
daerah;
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan;
d. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan.

Hasil dari perencanaan pembangunan nasional diantaranya berupa dokumen


Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk jangka waktu 20 tahun,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk jangka waktu 5 tahun, dan
Rencana Pembangunan Tahunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RPJP
Nasional membahas tentang visi, misi, dan arah pembangunan. Sedangkan RPJM
memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program
kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana
kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Sementara prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga,
kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif dibahas dalam RKP. Penjabaran terkait perencanaan dalam cakupan daerah
dibahas dalam dokumen RPJP Daerah, RPJM Daerah, dan RKP Daerah dengan
berpedoman pada RPJP, RPJM, dan RKP Nasional. Dokumen perencanaan yang
menyangkut kementerian atau lembaga selanjutnya dimuat dalam Renstra-
Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) dan Renja (Rencana Kerja)-K/L. Sedangkan
berkaitan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertuang dalam Renstra-
SKPD (untuk 5 tahun) dan Renja-SKPD (untuk 1 tahun) yang mengacu kepada
Renstra-SKPD dan RKP.

Dalam penyusunan RPJPD, Kepala Bappeda menyusunnya bersama dengan


masukan masyarakat yang diperoleh dari hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah
dengan mengacu pada RPJPN. Begitu pula dengan penyusunan RPJMD dimana
Kepala Bappeda juga berpedomen pada RPJPD, dan RPJMN. Rancangan Renstra-
SKPD selanjutnya akan menggunakan RPJMD ini sebagai pedoman dalam

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|1
penyusunannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD terkait. Sedangkan
RKPD yang penyusunannya juga dikoordinasikan oleh Kepala Bappeda, bersamaan
dengan Renstra-SKPD, nantinya akan menjadi acuan dalam penyusunan Renja-
SKPD. Saling keterkaitan antara satu dokumen perencanaan dengan dokumen
perencanaan lainnya ini mengharuskan kesinambungan perencanaan baik antara
nasional dengan daerah, maupun antara SKPD yang satu dengan yang lain.
Sehingga perencanaan program LERD sekalipun disesuaikan dengan karakteristik
keunggulan dan kebutuhan daerah dalam menumbuh kembangkan
perekonomiannya masing-masing, tetap tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan
arahan dan pedoman dari pemerintah pusat, serta keikutsertaan peran masyarakat
dan SKPD-SKPD terkait dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
Strategi LERD merupakan dasar bagi perumusan dan penyusunan program dan
rencana kegiatan LERD yang lebih detail dan efisien sesuai visi, misi, dan tujuan
pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Berbagai pilihan strategi LERD
haruslah disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan strategi pembangunan yang
lebih luas yang ada pada masing-masing daerah yaitu RPJPD dan RPJMD. Selain
itu, idealnya strategi, agenda program, dan Rencana Aksi LERD harus
terinternalisasi dan terintegrasi ke dalam RPJMD dan Renstra SKPD terkait LERD.
Namun jika RPJMD sudah tersedia saat strategi LERD baru akan disusun, maka
strategi dan agenda program LERD dapat dibuat sebagai dokumen yang terpisah,
dengan tetap mencantumkan elemen-elemen berikut (Kementerian Pekerjaan
Umum, 2012):
1. Visi dan misi LERD
2. Tujuan dan indikator pencapaian tujuan LERD
3. Analisis pilihan kebijakan dan strategi LERD (misalnya: analisis SWOT)
4. Strategi dan agenda program utama LERD untuk periode lima tahun
5. Rencana aksi (action plan) LERD yang dirinci setiap tahun

Evaluasi keberjalanan sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini adalah


bahwa kebanyakan daerah tidak memiliki strategi atau rencana program dan
kegiatan pembangunan ekonomi yang detail dan komprehensif. Dalam RPJMD dan
RKPD, sejumlah rencana program dan kegiatan yang berkaitan dengan
pembangunan ekonomi daerah tersebar di berbagai bidang atau sektor tanpa ada
keterkaitan dan sinergi di antaranya (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012). Dengan
evaluasi tersebut, maka diharapkan penyusunan dokumen-dokumen perencanaan
pendukung program LERD telah memperlajari, menyinergikan, serta mengaitkan
dengan berbagai perencanaan yang telah ada, tidak berdiri sendiri.
Selain evaluasi sinergitas dengan sistem perencanaan lainnya, evaluasi terkait
pendekatan bagi keberlanjutan program LERD juga menjadi catatan penting. Jika
pembangunan daerah pada masa lalu memasukkan aspek kritis namun tidak holistik
seperti penyediaan infrastruktur, agenda pembangunan daerah yang baru saat ini
haruslah menekankan pada pendekatan yang berkelanjutan sebagai koreksi dari
kesalahan di masa lalu (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012). Konsep perencanaan
maupun strategi yang tepat untuk LERD harus disesuaikan dengan kondisi,

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|2
kebutuhan, dan strategi pembangunan yang lebih luas yang ada pada masing-
masing daerah yaitu RPJPD dan RPJMD. Setiap daerah tentu saja memiliki
keunikan sendiri sehingga strategi, program, dan rencana aksi LERD yang akan
dipilih pun akan berbeda-beda. Sekumpulan sistem perencanaan ini akan menjadi
acuan serta memberikan legalisasi bagi keberjalanan program LERD di daerah
(melalui peraturan daerah seperti peraturan walikota/bupati atau keputusan
walikota/bupati).

Penyusunan dokumen renstra ditujukan untuk memperkuat dokumen RPJMD


(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang sudah ada serta
pengejawantahan program PEL dalam dokumen perencanaan dan anggaran seperti
dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan lnvestasi Jangka Menengah Daerah),
dokumen RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), dan APBD (Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah). Strategi dan agenda program PEL akan disusun
menjadi suatu dokumen yang terintegrasi dengan agenda program yang dimiliki oleh
masing-masing SKPD dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja
(Renja) SKPD.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) saat ini mengacu pada
Undang-Undnag No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025. Sedangkan untuk skala menengah, diatur
dalam Peraturan Presiden RI No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019. RPJPN ini merupakan
penjabaran tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia seperti yang
tercantum dalam UUD 1945 dimana salah satunya adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. RPJPN lebih bersifat visioner dan hanya memuat hal-hal yang
mendasar dan secara garis besar, sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi
penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. Sedangkan RPJMN
memuat tentang visi, misi, dan program presiden. Untuk perencanaan tahunan,
dimuat dalam RKP yang menjadi pedoman penyusunan APBN tahun pertama
periode pemerintahan presiden berikutnya.

Dalam lampiran penjelasan UU No.25 Tahun 2004, penghapusan Garis-Garis Besar


Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan
nasional tergantikan dengan diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi
pemerintahan, dimana yang terkait dengan program LERD antara lain dibahas
dalam:
 Undang-Undang No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan PP Pengganti UU No.2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025
 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|3
 Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah
 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah
 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Kinerja
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2012 Tentang
Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah
 Peraturan Presiden No.59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional
Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah
 Permendagri No.54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan PP No.8 Tahun 2008
 Permendagri No.18 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian,
dan Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2017
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.18 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Tahun 2017
 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia No.11
Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian Tahun 2015-2019

II. LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT DALAM RENCANA


PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL
Rencana Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 mengacu pada Undang-
Undang No.17 Tahun 2007. RPJP Nasional tersebut digunakan sebagai pedoman
dalam menyusun RPJM Nasional. Pentahapan rencana pembangunan nasional
disusun dalam masing-masing periode RPJM Nasional sesuai dengan visi, misi, dan
program Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. RPJM Nasional memuat
strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, kewilayahan dan lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana
kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJM sebagaimana tersebut di atas dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) yang merupakan rencana pembangunan tahunan nasional, yang memuat
prioritas pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|4
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan
dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Tujuan yang
ingin dicapai dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang RPJP Nasional Tahun
2005–2025 adalah untuk:
a. Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan
nasional,
b. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antardaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan
daerah,
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan,
d. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan, dan
e. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

RPJP Daerah harus disusun dengan mengacu pada RPJP Nasional sesuai
karakteristik dan potensi daerah. Selanjutnya RPJP Daerah dijabarkan lebih lanjut
dalam RPJM Daerah. Mengingat RPJP Nasional menjadi acuan dalam penyusunan
RPJP Daerah, Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah yang disusun
melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda).
Rancangan RPJP Daerah hasil Musrenbangda dapat dikonsultasikan dan
dikoordinasikan dengan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). RPJP
Daerah ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Maksud dari RPJP Daerah
mengacu kepada RPJP Nasional bukan untuk membatasi kewenangan daerah,
tetapi agar terdapat acuan yang jelas, sinergi, dan keterkaitan dari setiap
perencanaan pembangunan di tingkat daerah berdasarkan kewenangan otonomi
yang dimilikinya berdasarkan platform RPJP Nasional. RPJP Daerah dijabarkan lebih
lanjut oleh Kepala Daerah berdasarkan visi dan misi dirinya yang diformulasikan
dalam bentuk RPJM Daerah. Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Daerah
dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah. Untuk mengakomodasi
RPJP Daerah yang telah ada, dan mengingat RPJP Daerah harus mengacu pada
RPJP Nasional, maka RPJP Daerah baik substansi dan jangka waktunya perlu
disesuaikan dengan RPJP Nasional. Untuk mengakomodasi RPJM Daerah yang
telah ada agar sesuai dengan RPJP Daerah yang telah disesuaikan dengan RPJP
Nasional, maka RPJM Daerah substansinya perlu disesuaikan dengan RPJP Daerah
tanpa harus menyesuaikan kurun waktu RPJM Daerah dengan RPJP Daerah
maupun RPJM Nasional. Hal ini dikarenakan waktu pelaksanaan pemilihan kepala
daerah yang berbeda-beda tiap daerah.

Arahan RPJP Nasional dalam perumusan RPJP Daerah bersifat cukup umum,
sehingga arahan lebih khusus dan mendetailnya dapat mengacu pada RPJMN dan
RKP tahun perencanaan. Berkaitan dengan penerapan LERD di daerah yang
mengacu pada RPJPN 2005-2025, terutama menyangkut arahan bidang
perekonomian dan pembangunan daerah di Indonesia, yang akan dibahas berikut
ini.

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|5
A. ARAHAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Visi pembangunan ekonomi dalam RPJPN 2005-2025 adalah “Terwujudnya
perekonomian yang maju, mandiri, dan mampu secara nyata memperluas
peningkatan kesejahteraan masyarakat berlandaskan pada prinsipprinsip ekonomi
yang menjunjung persaingan sehat dan keadilan, serta berperan aktif dalam
perekonomian global dan regional dengan bertumpu pada kemampuan serta potensi
bangsa.” Adapun arahan pembangunan ekonomi jangka panjang Indonesia tahun
2005-2025 antara lain:

1. Perekonomian dikembangkan dengan mekanisme pasar yang berlandaskan


persaingan sehat dan memperhatikan nilai-nilai keadilan serta kepentingan
sosial
2. Peranan pemerintah yang efektif dan optimal sebagai fasilitator sekaligus
katalisator pembangunan diupayakan di dalam berbagai tingkat guna
menjaga berlangsungnya mekanisme pasar
3. Daya saing global perekonomian perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan
dengan bertumpu pada peningkatan produktivitas dan inovasi yang dikelola
secara berkelanjutan
4. Kebijaksanaan industri dikelola dengan pengembangan jaringan rumpun
industri (industrial cluster) yang sehat dan kompetitif sebagai pilar utama
peningkatan daya-saing global
5. Dalam rangka memperkuat daya saing global, kebijakan industri perlu
diintegrasikan dengan kebijakan perdagangan dan investasi karena
kepentingannya yang saling terkait.
6. Dalam rangka memperlebar sekaligus memperkuat basis produksi secara
nasional, proses industrialisasi perlu mendorong peningkatan nilai tambah
kegiatan sektor primer terutama pertanian dalam arti luas, dan
pertambangan.
7. Pengembangan UKM dan Koperasi diarahkan untuk berkembang menjadi
pelaku ekonomi yang berkeunggulan kompetitif
8. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam jangka
panjang diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek
nasional dalam rangka mendukung peningkatan daya saing secara global
9. Upaya perluasan kesempatan kerja diarahkan untuk mendorong pasar kerja
yang fleksibel, termasuk upaya penurunan biaya ekonomi tinggi
10. Pengembangan sektor keuangan diarahkan pada peningkatan kemampuan
dalam pembiayaan kegiatan ekonomi dan peningkatan ketahanan terhadap
gejolak yang melanda sektor keuangan dan perekonomian.
11. Dalam rangka memperkuat stabilitas ekonomi, kerangka stabilitas sistem
keuangan dibangun untuk meminimalisasikan terjadinya krisis, serta
mengelola jika terjadi krisis.
12. Pengembangan keuangan oleh pemerintah diarahkan pada perbaikan
pengelolaan keuangan negara yang bertumpu pada sistem anggaran yang
transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin efektivitas
pemanfaatan.

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|6
13. Pemilihan sistem nilai tukar mata uang dalam 20 tahun mendatang
disesuaikan dengan gejolak eksternal dan kondisi ketahanan sistem
keuangan dalam negeri.
14. Ketahanan pangan ditingkatkan dengan perluasan pemenuhan produksi
dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
15. Ketahanan pangan diperkuat dengan meningkatkan ketersediaan pangan,
menjaga stabilitas penyediaan bahan pangan, serta meningkatkan akses
rumah tangga untuk memperoleh pangan.
16. Jaminan sosial diarahkan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

B. ARAHAN PEMBANGUNAN DAERAH


Visi pembangunan daerah di Indonesia tahun 2005-2025 yakni “Pembangunan
daerah diarahkan pada terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat (quality
of life) di seluruh wilayah, berkurangnya kesenjangan antar wilayah, dan peningkatan
keserasian pemanfaatan ruang dalam kerangka negara kesatuan republik
Indonesia.” Adapun arahan pembangunan daerah jangka panjang Indonesia tahun
2005-2025 antara lain:
1. Dalam rangka keserasian pemanfaatan ruang, fungsi rencana tata ruang
sebagai acuan dan alat koordinasi pembangunan untuk mengurangi konflik
kepentingan--baik antar sektor, antar daerah maupun antar kelompok--akan
ditingkatkan.
2. Peningkatan pembangunan daerah diprioritaskan pada daerah-daerah yang
belum berkembang terutama wilayah luar Jawa.
3. Pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh diarahkan pada
pemanfaatan potensi sumberdaya melalui
a. Peningkatan dan pengembangan produk unggulan sesuai dengan potensi
di masingmasing wilayah, termasuk potensi maritim dan kelautan;
b. Peningkatan sistem perdagangan antar daerah;
c. Peningkatan kota-kota menengah dan kota-kota kecil, terutama di luar
jawa disertai pengendalian kota-kota besar dan metropolitan, terutama di
jawa;
d. Pengembangan perdesaan, terutama, dengan mensinergikan
pembangunan kota dan desa;
e. Peningkatan sarana dan parasarana ekonomi regional;
f. Penciptaan iklim yang kondusif bagi investor;
g. Peningkatan kerjasama antar daerah;
h. Peningkatan kerjasama ekonomi sub regional antar negara;
i. Peningkatan kapasitas aparat pemerintahan; dunia usaha, dan
masyarakat.
4. Peningkatan dan pengembangan produk-produk unggulan sesuai dengan
potensi di masing–masing wilayah dilakukan melalui penumbuhan klaster-

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|7
klaster industri dalam rangka memanfaatkan keunggulan komparatif dan
kompetitif masing-masing daerah melalui pengembangan pasar bagi
komoditas dan hasil produksi klaster, meningkatkan akses permodalan,
memperluas jaringan dan keterkaitan, memanfaatkan riset dan teknologi,
pengembangan kelembagaan dan pemantapan iklim bisnis yang kondusif.
5. Peningkatan sistem perdagangan antar daerah dilakukan melalui
a. Pengembangan jaringan koleksi dan distribusi yang efisien untuk
meningkatkan mobilitas barang dan jasa antar daerah:
b. Peninjauan kembali peraturan perpajakan dan retribusi yang
menghambat dan mempertinggi biaya transaksi antar daerah,
c. Mendukung pengembangan potensi perdagangan lintas negara dengan
tetap mengacu pada kepentingan nasional dalam konteks perdagangan
regional maupun global.
6. Peningkatan kota-kota menengah dan kota-kota kecil diarahkan dengan
mengembangkan kota-kota menengah dan kecil di luar Jawa agar dapat
berfungsi sebagai pendorong laju pertumbuhan ekonomi wilayah, sekaligus
sebagai penahan laju migrasi penduduk ke kota-kota metropolitan dan besar,
terutama ke kota-kota di Jawa
7. Sementara itu, pertumbuhan kota–kota metropolitan dan besar, terutama di
Pulau Jawa, akan dikendalikan
8. Pembangunan perdesaan, terutama, dengan mensinergikan antara kegiatan
pekotaan dan perdesaan untuk mewujudkan keterkaitan sosial ekonomi yang
serasi dan seimbang antara desa dan kota
9. Peningkatan sarana dan prasarana ekonomi regional pada wilayah– wilayah
strategis dan cepat tumbuh dilakukan melalui pengembangan sistem jaringan
transportasi (darat, laut, sungai, dan udara), telematika, dan energi secara
lebih efektif dan efisien untuk menghubungkan wilayah-wilayah yang
mempunyai potensi strategis dan cepat tumbuh dengan wilayah-wilayah
pertumbuhan lain secara nasional dan internasional.
10. Peningkatan kerja sama antar daerah akan terus ditingkatkan.
11. Penciptaan iklim yang kondusif bagi investor termasuk peningkatan
kerjasama antar negara melalui kerjasama ekonomi sub regional (SIJORI,
IMT-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA) terus ditingkatkan dan dikembangkan melalui
penciptaan iklim yang kondusif bagi foreign direct investment
12. Pengembangan kapasitas pemerintah daerah (local governance) terus
ditingkatkan melalui
a. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah;
b. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah;
c. Peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah termasuk upaya
peningkatan kemitraan dengan masyarakat dan swasta dalam
pembiayaan pembangunan daerah ditingkatkan;
d. Penguatan lembaga legislatif;
e. Pengembangan masyarakat madani..
13. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan, memperluas akses pada modal usaha dan sumber daya
alam, memberikan kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi terhadap
kebijakan dan peraturan yang menyangkut kehidupan mereka, meningkatkan

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|8
kesempatan dan kemampuan untuk mengelola usaha ekonomi produktif yang
mendatangkan kemakmuran dan mengatasi kemiskinan yang berkelanjutan.
14. Pengembangan wilayah-wilayah tertinggal, yaitu wilayah–wilayah yang miskin
sumber daya dan atau memiliki wilayah geografis terisolir, termasuk kawasan
di pulau-pulau terpencil
15. Pengembangan wilayah-wilayah perbatasan ditujukan untuk mendorong
pembangunan di wilayah perbatasan agar masyarakat setempat menikmati
hasil pembangunan seperti halnya masyarakat Indonesia lainnya
16. Dalam rangka penataan pertanahan perlu dilakukan penyempurnaan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui
perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform, serta penciptaan
insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan
penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih
mudah mendapatkan hak atas tanah.

III. LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT DALAM RENCANA


PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL
A. KETENTUAN DALAM RPJMN 2015-2019
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program presiden hasil
pemilihan umum tahun 2014. RPJM Nasional tahun 2015-2019 diatur dalam
Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015. RPJM Nasional memuat strategi
pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas
kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah
kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif. RPJMN berfungsi sebagai bahan penyusunan dan
penyesuaian RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas dan fungsi pemerintah
daerah dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional.
RPJM Daerah merupakan visi dan misi kepala daerah terpilih seperti tercantum
dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025. RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam menyusun dan/atau
menyesuaikan RPJM Daerah, pemerintah daerah dapat melakukan konsultasi dan
koordinasi dengan menteri. Target dan kebutuhan pendanaan yang terdapat dalam
RPJM Nasional bersifat indikatif. Perubahan target dan kebutuhan pendanaan
tersebut terjadi pada setiap tahun pelaksanaan RPJM Nasional, disampaikan oleh
menteri kepada presiden dalam Sidang Kabinet untuk mendapatkan keputusan.
Perubahan sebagaimana dimaksud dituangkan dalam RKP.

B. PROGRAM LERD DALAM PERSPEKTIF RENSTRA KEMENTERIAN


KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 2015-2019

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
|9
Visi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2015-2019 adalah
“Terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembangunan ekonomi
yang efektif dan berkelanjutan”. Visi tersebut mendukung Visi Presiden yakni
“Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan
gotong royong”. Visi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ini mempunyai
makna tentang koordinasi dan sinkronisasi yaitu merupakan proses mengupayakan
terjadinya kesamaan persepsi, pemikiran dan tindakan dalam mewujudkan
pencapaian tujuan.
Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, maka ditetapkan misi nyata yang sesuai
dengan peran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yakni “Menjaga dan
memperbaiki koordinasi dan sinkronisasi penyusunan kebijakan, serta pengendalian
pelaksanaan kebijakan perekonomian.” Misi tersebut merupakan langkah peran
fungsi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam
mengupayakan/memastikan Misi Presiden yakni “Mewujudkan kualitas hidup
manusia indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera serta mewujudkan bangsa yang
berdaya saing”, yang pelaksanaannya diwujudkan melalui kinerja lintas sektor di
bidang ekonomi.
Berkaitan dengan program LERD dalam arahan visi dan misi Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2015-2019 yang menitikberatkan pada
koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, artinya bahwa perencanaan dan
pengaplikasian LERD di daerah telah menyesuaikan dan mengkoordinasikan dengan
arahan kebijakan nasional dan daerah di atasnya. Selain itu, masing-masing daerah
yang berkepentingan dan saling berhubungan diharapkan telah saling berkoordinasi
satu sama lain sehingga dapat saling mendukung kebijakan masing-masing, tidak
berdiri sendiri.
Berdasarkan visi dan misi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun
2015-2019, dirumuskan tujuan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
adalah:
1. Terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
2. Terwujudnya kinerja organisasi yang baik.

Adapun sasaran perwujudan tujuan tersebut terbagi atas tiga sasaran strategis.
Ketiga sasaran tersebut antara lain:
 Sasaran strategis (outcome) 1: Terwujudnya sinkronisasi dan koordinasi
kebijakan bidang perekonomian. Indikator keberhasilannya adalah 100%
kebijakan baru bidang perekonomian yang terimplementasi sejak tahun 2014-
2019
 Sasaran strategis (outcome) 2: Terwujudnya pengendalian kebijakan
perekonomian. Indikator keberhasilannya adalah 100% revisi kebijakan
bidang perekonomian yang terimplementasi sejak tahun 2014-2019
 Sasaran strategis (outcome) 3: Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang
baik. Indikator keberhasilannya adalah tingkat kinerja Manajemen
Kementerian =4 sejak tahun 2014-2019. Perhitungan target 4 tersebut
bersumber dari rata-rata nilai hasil evaluasi yaitu laporan keuangan dengan

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 10
bobot 25%, laporan LAKIP dengan bobot 20%, indeks kesehatan organisasi
bobot 30%, %tasi pejabat yang memenuhi kompetensi 25%.

Sebagi upaya mempercepat terwujudnya sasaran strategis dan arah kebijakan


Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian maka program kerja ditekankan
pada program lintas sektor sebagai berikut:
1. Program Lintas Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan
2. Program Lintas Kerja Koordinasi Pangan dan Pertanian
3. Program Lintas Koordinasi PengelolaanEnergi, Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup
4. Program Lintas Koordinasi Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui
Penguatan Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, Daya Saing Koperasi dan UKM
serta Ketenagakerjaan.
5. Program Lintas Koordinasi Bidang Perniagaan dan Industri
6. Program Lintas Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
a. Penyediaan infrastruktur sumber daya air serta infrastruktur dan sistem
transportasi multimoda;
b. Penyediaan perumahan dan permukiman, penataan ruang, serta
pengembangan kawasan strategis ekonomis;
c. Pengadaan tanah dan pembiayaan infrastruktur.
7. Program Lintas Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional

Adapun indikator keberhasilan sasaran program/ indikator kinerja ke-17 terkait


terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Percepatan Infrastruktur
dan Pengembangan Wilayah, adalah tingkat (indeks) efektifitas koordinasi dan
pelaksanaan sinkronisasi kebijakan dalam rangka percepatan pembangunan
infrastruktur dan pengembangan wilayah bernilai 4 sejak tahun 2015-2019.
Sedangkan untuk sasaran ke-18 yaitu terwujudnya pengendalian kebijakan di bidang
Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, adalah 80% rekomendasi
kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah yang
diimplementasikan untuk tahun 2015-2018, dan 85% untuk tahun 2019.
Sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
untuk mengkoordinasikan dan menyinkronkan perencanaan, penyusunan serta
mengendalikan pelaksanaan kebijakan dibidang perekonomian, maka pokok rencana
kerja kementerian diarahkan untuk mendukung kegiatan prioritas nasional yakni
1. Menstabilkan situasi ekonomi makro dan memperkuat struktur ekonomi
2. Realokasi sumber daya untuk pemanfaatan yang lebih produktif, di bidang
ekonomi terutama percepatan pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan
dan pembangunan industri
3. Meningkatkan daya saing ekonomi nasional dan kepercayaan investor
4. Meningkatkan pemerataan pembangunan dan mengurangi kemiskinan.

Permasalahan dan tantangan di bidang perekonomian yang dihadapi Indonesia pada


masa mendatang semakin kompleks. Kompleksitas permasalahan dan tantangan

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 11
tersebut, jika tidak direspon secara tepat dan cepat dikhawatirkan berdampak pada
tidak sehatnya kondisi perekonomian nasional dan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Dinamika perubahan lingkungan strategis baik dari dalam negeri maupun
luar negeri memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pencapaian tujuan yang
ingin dicapai. Berikut ini beberapa potensi dan permasalahan perekonomian yang
memerlukan fokus koordinasi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
yang berkaitan dengan penerapan program LERD (bagian kalimat bold):
a. Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi
Dalam RPJMN 2015-2019, target pertumbuhan ekonomi Tahun 2015 sebesar
5.8%, 7,1% di Tahun 2017, dan 8,0% di Tahun 2019. Mengingat pencapaian
Tahun 2014 sebesar 5,1%, maka target pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1%
pada Tahun 2017 merupakan target yang tinggi dengan waktu yang singkat.
Selain tantangan dari luar seperti masih rendahnya kinerja ekspor sejalan
dengan lemahnya permintaan dunia, juga diperlukan satu sinergisitas antara
pemangku kepentingan dalam mewujudkan target pertumbuhan ekonomi.
Diperlukan upaya, kerja keras dan dukungan dari semua pihak, baik dari pihak
pemerintah, swasta, dan seluruh lapisan masyarakat. Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian perlu memperkuat kapasitasnya selaku lembaga
koordinator dan pengendalian untuk meminimalkan
ketidaksesuaian/inkonsistensi antara rencana dengan implementasi
program/kegiatan pembangunan, khususnya di bidang perekonomian dan
ketidaksesuaian antar sektor serta pemerintah pusat dan daerah.
b. Ekonomi Makro dan Keuangan
Potensi dan permasalahan eksternal maupun internal yang akan dihadapi pada
periode 2015-2019 adalah sebagai berikut:
 Ketersediaan infrastruktur untuk mendukung peningkatan perkembangan
ekonomi sangat terbatas dan harus dapat ditingkatkan.
 Penguatan struktur ekonomi, berupa penguatan sektor primer, sekunder
dan tersier secara terpadu, dengan sektor sekunder menjadi penggerak
utama perubahan tersebut.
 Peraturan perundang-undangan pusat dan daerah yang saling
tumpang tindih dan kontradiksi telah menjadi kendala untuk
mendorong perekonomian.
 Kapasitas SDM Indonesia masih terbatas, ditandai dengan tingkat
pendidikan pada pekerja Indonesia juga produktivitasnya.
 Penerapan dan penguasaan teknologi masih terbatas, sehingga daya
saing usaha tidak seperti yang diharapkan.
 Kemampuan pembiayaan pembangunan terbatas. Oleh karena itu,
penggalian sumber-sumber penerimaan dan mengefektifkan
pengeluaran pembangunan menjadi tantangan yang harus dihadapi.

c. Daya Saing KUKM (Kewirausahaan, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah)
dan Ketenagakerjaan/Buruh

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 12
Pelaku-pelaku usaha skala mikro, kecil dan menengah dan koperasi menempati
bagian terbesar dari seluruh aktivitas ekonomi rakyat Indonesia mulai dari petani,
nelayan, peternak, petambang, pengrajin, pedagang, dan penyedia berbagai jasa
bagi rakyat yang meliputi sektor-sektor primer, sekunder dan tersier.
Pada Tahun 2013, jumlah UMKM sebanyak 57,90 juta, atau 99,99 % dari jumlah
usaha di Indonesia. Tenaga kerja yang diserap UMKM mencapai 114,14 juta (97
%). Kontribusi UMKM terhadap PDB dan ekspor masih lebih kecil dibandingkan
usaha skala besar yang jumlah unit usahanya jauh lebih sedikit, yaitu sebesar 59
% terhadap PDB dan 14,06 % terhadap ekspor. Sementara jumlah koperasi per-
tahun 2014 sebanyak 209.488 unit usaha, sekitar 70 % diantaranya koperasi
aktif, dengan jumlah anggota sebanyak 36.44 juta orang.
Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan koperasi saat ini
belum menunjukkan kapasitas mereka sebagai pelaku usaha yang kuat dan
berdaya saing. Populasi UMKM masih didominasi oleh usaha mikro informal
dengan aset dan produktivitas yang rendah. Nilai PDB UMKM juga menurun
terutama di sektor-sektor dimana jumlah unit dan tenaga kerja yang paling
dominan yaitu sektor pertanian. Partisipasi UMKM dalam ekspor juga masih
rendah (kurang dari 19,0%) dan kontribusinya dalam ekspor terus mengalami
penurunan. Sementara, koperasi juga masih menghadapi tantangan untuk
mengoptimalkan partisipasi dan keswadayaan anggotanya, yang seharusnya
menjadi kekuatan inti koperasi, dalam menciptakan manfaat sosial ekonomi bagi
perbaikan kesejahteraan rakyat. Kondisi tersebut berkaitan dengan
permasalahan yang dihadapi UMKM dan koperasi di antaranya:
 Keterbatasan kapasitas kewirausahaan, manajemen dan teknis produksi;
 Keterbatasan akses ke pembiayaan; dan
 Keterbatasan kapasitas inovasi, adopsi teknologi dan penerapan standar.

Aturan dan kebijakan yang ada saat ini juga belum cukup efektif untuk
memberikan kemudahan, kepastian dan perlindungan usaha bagi UMKM dan
koperasi. Koperasi juga masih menghadapi kendala terkait kapasitas pengurus
dan anggota koperasi dalam mengelola dan mengembangkan koperasi sesuai
jati diri, dan kebutuhan untuk menciptakan kesejahteraan bersama.

C. PROGRAM LERD DALAM AGENDA NAWA CITA 2014-2019


Dasar pertimbangan dalam perumusan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian dalam mengupayakan terwujudnya pembangunan nasional di bidang
ekonomi yang optimal, sebagaimana disebutkan dalam Buku I RPJMN 2015-2019,
didasarkan pada:
 Visi dan misi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
 Sembilan Prioritas Nasional (Nawa Cita)
 Sasaran pembangunan nasional di bidang ekonomi
 Kondisi umum perekonomian dalam lima tahun kedepan
 Permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi lima tahun kedepan

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 13
Gambar 1. 9 Program Prioritas Nawacita

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

Dalam upaya percepatan pembangunan nasional demi terwujudnya Indonesia yang


berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi serta kepribadian dalam
budaya maka kebijakan pembangunan nasional diarahkan pada 9 (sembilan) agenda
prioritas yang disebut dengan nama “NAWA CITA”. Sesuai dengan fungsi yang
diamanatkan pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, maka
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan lebih fokus memastikan
terwujudnya pelaksanaan agenda prioritas 3, 6 dan 7 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. 9 Agenda Prioritas Nawacita di Bidang Ekonomi

NAWACITA – 3 Agenda Prioritas di Bidang Ekonomi

3. Membangun Indonesia dari 6. Meningkatkan produktivitas 7. Mewujudkan kemandirian


pinggiran dengan memperkuat rakyat dan daya saing di pasar ekonomi dengan menggerakkan
daerah-daerah dan desa dlm internasional sektor-sektor strategis ekonomi
kerangka Negara Kesatuan domestik

1. Pemerataan Pembangunan 1. Membangun konektivitas 1. Peningkatan kedaulatan


Antar Wilayah Terutama nasional untuk mencapai pangan,
Kawasan Timur Indonesia. keseimbangan 2. Ketahanan air,
pembangunan, 3. Kedaulatan energi,
2. Membangun transportasi 4. Pelestarian sumber daya
umum masal perkotaan, alam, lingkungan hidup dan

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 14
3. Membangun perumahan pengelolaan bencana,
dan kawasan permukiman, 5. Pengembangan ekonomi
4. Peningkatan efektivitas, dan maritim dan kelautan,
efisiensi dalam pembiayaan 6. Penguatan sektor
infrastruktur, keuangan,
5. Penguatan investasi, 7. Penguatan kapasitas fiskal
6. Mendorong BUMN menjadi bangsa
agen pembangunan,
7. Peningkatan kapasitas
inovasi dan teknologi,
8. Akselerasi pertumbuhan
ekonomi nasional,
9. Pengembangan kapasitas
Peraturan Daerahgangan
nasional,
10. Peningkatan daya saing
tenaga kerja

Sumber: Buku I RPJMN 2015-2019

IV. LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT DALAM RENCANA


KERJA PEMERINTAH
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017, adalah dokumen perencanaan
pembangunan nasional untuk periode 1 (satu) tahun, yaitu tahun 2017 yang dimulai
pada tanggal 1 Januari 2017 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2017. RKP
Tahun 2017 merupakan penjabaran dari RPJM 2015-2019 sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015, yang memuat Rancangan Kerangka
Ekonomi Makro tahun 2017, serta prioritas pembangunan, rencana kerja, dan
pendanaannya. RKP Tahun 2017 menjadi acuan bagi Pemda dalam menyusun
RKPD tahun 2017.
Pemerintah Daerah menyusun RKPD Tahun 2017 sebagai penjabaran dari RPJMD.
Penyusunan RKPD harus selaras dan konsisten dengan prioritas, sasaran dan
program yang telah ditetapkan untuk tahun 2017 dalam RPJMD, rencana kerja
pemerintah, serta program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. Penyusunan RKPD juga harus memperhatikan kewenangan sebagaimana
diatur dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan hasil inventarisasi personil, pendanaan, sarana dan prasarana serta
dokumen (P3D). Penyusunan RKPD juga harus mengacu pada pencapaian sasaran
dan prioritas bidang pembangunan nasional dan arah kebijakan pemerintah nasional.
Dokumen RKPD memuat:
a. Rancangan kerangka ekonomi daerah; memuat gambaran kondisi ekonomi,
kemampuan pendanaan dan pembiayaan pemerintah daerah paling sedikit 2
tahun sebelumnya, dan perkiraan untuk tahun direncanakan.
b. Program prioritas pembangunan daerah, Rencana Kerja Pemerintah dan
program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; dan

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 15
c. Rencana kerja, pendanaan dan prakiraan maju.

Strategi pembangunan RKP 2017 untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan
“Memacu pembangunan infrastruktur dan ekonomi untuk meningkatkan kesempatan
kerja serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antar-wilayah”. Berikut adalah
sasaran pembangunan tahun 2017:
Tabel 2. Sasaran Pembangunan Tahun 2017

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

Berikut ini adalah sasaran umum prioritas nasional reformasi fiskal untuk tahun 2017,
mengenai persen PDB dalam keuangan nasional, serta penjelasan arah kebijakan
prioritas nasional reformasi fiskal berkaitan dengan desentralisasi fiskal:
Tabel 3. Sasaran Umum Prioritas Nasional Reformasi Fiskal

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 16
Tabel 4. Arah Kebijakan Prioritas Nasional Reformasi Fiskal Berkaitan dengan Desentralisasi
Fiskal

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

Arah pengembangan wilayah berdasarkan RKP 2017 ditujukan untuk mengurangi


kesenjangan pembangunan wilayah melalui percepatan pembangunan infrastruktur
dan ekonomi untuk meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan
dengan menekankan pada keunggulan kompetitif perekonomian daerah berbasis
SDA tersedia, SDM berkualitas, serta peningkatan kemampuan ilmu dan teknologi.
Adapun sasaran pembangunan melalui pemerataan pembangunan antar wilayah
memiliki sasaran pencapaian sebagai berikut:

Tabel 5. Sasaran Pemerataan Pembangunan Antarwilayah di Indonesia Tahun 2014, 2017, dan
2019

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 17
Gambar 2. Arahan Kebijakan Pemerataan Pembangunan Antarwilayah

di Indonesia Tahun 2014, 2017, dan 2019

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

Arahan kebijakan desentralisasi fiskal dalam konteks penerapan LERD, salah


satunya berkaitan dengan peningkatan efektifitas dan efisiensi transfer ke daerah
dan dana desa. Penjelasan kegiatan dan arahan sasaran prioritas peningkatan
efektivitas dan efisiensi transfer ke daerah dan dana desa adalah:

Gambar 3. Kegiatan Prioritas Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Transfer Ke Daerah dan
Dana Desa

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 18
Tabel 6. Sasaran Kegiatan Prioritas Peningkatan Efektivitas dan

Efisiensi Transfer Ke Daerah dan Dana Desa

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

Gambar 4. Diagram Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa

Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 19
Tabel 7. Arah Kebijakan Dana Transfer ke Daerah

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 20
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 21
Sumber: Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 22
REFERENSI :
Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025.
Peraturan Presiden RI No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
Peraturan Presiden RI No.45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun
2017
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.11 Tahun 2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Tahun 2015-2019
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.18 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2017

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 23
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 4:
PROGRAM LOCAL ECONOMIC
RESOURCES DEVELOPMENT DALAM
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL

PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 24
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 25
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 26
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 27
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 28
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 29
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 30
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 31
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 32
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 33
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 34
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 35
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 36
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 37
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 38
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 39
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 40
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
| 41
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 5
KERANGKA KELEMBAGAAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 5:
KERANGKA KELEMBAGAAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... ii


Daftar Gambar ..................................................................................................... iii
Daftar Tabel.......................................................................................................... iii
I. Evaluasi Kelembagaan Dalam Program USDRP
Sebagai Masukan Bagi Kelembagaan LERD ................................................. 1
II. Konsep Kelembagaan Pada Local Economic Resources
Development
II.1. Permasalahan Koordinasi Pengaplikasian LERD ................................. 4
II.2. Aspek Kelembagaan dalam Tahapan Pengelolaan LERD.................... 5
A. Membentuk Organisasi Pelaksana PEL di Daerah ......................... 8
B. Membentuk dan Mengembangkan Forum Kemitraan
Multi-Stakeholder PEL .................................................................... 10
C. Meningkatkan dan Memperkuat Kapasitas Stakeholder
Daerah ........................................................................................... 12
D. Memperkuat Forum Kemitraan PEL yang Telah
Terbentuk ....................................................................................... 13
E. Mengembangkan dan Memperkuat Kapasitas,
Kemampuan, dan Ketrampilan Produsen/Usaha dan
Pekerja Beserta Organisasinya ...................................................... 14
F. Membangun Kerja Sama Antardaerah (Horizontal
Maupun Vertikal) ............................................................................ 15
Referensi ............................................................................................................... 17
Bahan Tayang ....................................................................................................... 18

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Aspek Utama dalam Pengelolaan Program USDRP ............................ 1


Gambar 2. Sumber Dana Bantuan (Pinjaman dan/atau Hibah)
dari dan Kepada Pemerintah Daerah ................................................... 3
Gambar 3. Siklus Perencanaan Strategis dalam Pengelolaan LERD .................... 6
Gambar 4. Siklus Pengelolaan PEL ....................................................................... 8

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan PEL................................5


Tabel 2. Tahapan dan Langkah dalam Pengelolaan PEL ....................................7
Tabel 3. Pilihan Model Pengorganisasian PEL di Daerah ....................................8

iii
I. EVALUASI KELEMBAGAAN DALAM PROGRAM USDRP SEBAGAI
MASUKAN BAGI KELEMBAGAAN LERD
Program Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan salah satu upaya
lanjutan dari berakhirnya program USDRP. Urban Sector Development Reform
Program (USDRP) adalah suatu program yang berfokus pada kemandirian
pemerintah daerah dalam membangun wilayahnya. Program ini memperoleh
dana pinjaman USD 38,435 juta dari Bank Dunia kepada 15 proyek infrastruktur
perkotaan di 10 kabupaten/kota di Indonesia yang telash sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Proyek ini berjalan sejak penandatanganan pinjaman
pada 20 Oktober 2005 dan berakhir pada 30 Juni 2012. Program USDRP ini
menjadi cikal bakal rancangan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional yang
kemudian akan diajukan sebagai RUU Perkotaan.
Di tingkat pusat, USDRP membantu pemerintah untuk melaksanakan Urban
Institutional Development Program (UIOP) dan merumuskan kebijakan
pembangunan perkotaan khususnnya yang terkait dengan pembiayaan
pembangunan perkotaan, pengentasan kemiskinan melalui pengembangan
ekonomi lokal (Local Economic Development/LED) dan peningkatan pelayanan
umum. Sementara di tingkat daerah, USDRP membantu pemerintah kabupaten
atau kota peserta program untuk melaksanakan reformasi tata pemerintahan
dasar, perumusan strategi pembangunan kapasitas, dan pengembangan
kelembagaan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012). Seiring dengan
berakhirnya masa program, maka dilakukan berbagai upaya berupa program
lanjutan yang akan melanjutkan usaha USDRP. Salah satu upaya yang
dimaksud adalah melanjutkan program Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
yang tidak hanya terbatas pada daerah-daerah peserta USDRP sebelumnya,
namun juga untuk diterapkan sebagai program pembangunan daerah.

Gambar 1. Aspek Utama dalam Pengelolaan Program USDRP

(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2012)

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|1
Berkaitan dengan upaya tersebut, maka hasil evaluasi pelaksanaan USDRP
sangatlah penting untuk ditindaklanjuti sebagai masukan dan bahan
pertimbangan dalam pelaksanaan PEL nantinya. Beberapa evaluasi yang
dimaksud berkaitan dengan kelembagaan dan pengorganisasian stakeholder
yang terlibat di dalamnya, antara lain (Kementerian Pekerjaan Umum (2012):
1. Pengoptimalan unit kerja pemerintahan yang telah terbentuk
Dalam buku ‘Membangun Kemandirian Perkotaan - Refleksi Pelaksanaan
USDRP’, Dwityo A. Soeranto sebagai mantan ketua CPMU USDRP
berpendapat bahwa model pembangunan yang telah di jalankan di Indonesia
melihat dari komponen reformasi tata pemerintahan, harus tetap dilanjutkan
meski dengan beberapa penyesuaian. Salah satu penyesuaian tersebut
adalah mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan unit kerja yang
telah ada dengan muatan-muatan yang reformatif sehingga tidak
mengakibatkan munculnya unit baru. Tidak dipungkiri kehadiran unit ad-hoc
(sementara) dapat memicu gelombang reformasi yang terjadi di daerah.
Namun seringkali kewajiban membentuk lembaga baru membuat pemerintah
daerah resisten karena berkaitan dengan personel dan biaya operasional.
Selain itu upaya pendampingan dalam bentuk konsultansi ataupun pelatihan
kepada pemerintah daerah ternyata tidak bisa berjalan linier dan seragam.
Pengalaman keberjalanan USDRP memberikan pelajaran mengenai faktor
strategis pencapaian program yaitu:
 Kemampuan adaptasi proyek terhadap karakter masing-masing
pemerintah daerah
 Perubahan regulasi yang terjadi di pusat harus dapat direspon serta
dikembangkan (dengan inovasi) oleh pemerintah daerah
Pandangan lain diberikan oleh Hendropranoto Suselo selaku pakar
pembangunan perkotaan, diantaranya:
2. Membangun kemampuan kelembagaan serta sumber daya investasi dan
teknis secara terpisah, tidak disatukan seperti halnya USDRP, dan
melanjutkan pemberian bantuan teknis tata kelola lengkap bagi pemerintah
kota dan kabupaten.
3. Perlu dirintis kerjasama yang lebih luas dengan lembaga internasional,
sehingga tidak terkonsentrasi di satu lembaga pemberi bantuan saja, dan
sebanyak mungkin lembaga internasional dapat dilibatkan. Jaringan
kerjasama semacam Decentralization Support Facility (DSF), dan pembagian
wilayah menurut minat lembaga pemberi bantuan seperti dipraktekkan dalam
proyek pengembangan kota yang lalu perlu dipertimbangkan sebagai sarana
kelembagaan untuk menjalin jaringan kerjasama internasional dalam
pembangunan perkotaan dan perdesaan.
4. Perlu dirintis pembaharuan dan renegosiasi dalam kerjasama internasional,
untuk memperbaharui subordinasi terhadap pemerintah oleh badan pemberi
pinjaman, mengubah cara pendekatan yang top-down demi memberikan
apresiasi lebih besar pada kreativitas dan budaya lokal dalam tata kelola
pemerintahan daerah, dan cara pemanfaatan sumber daya keahlian para
tenaga ahli dan konsultan secara lebih bermartabat.

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|2
5. Perlu dilakukan pembaharuan semangat, pemahaman, visi ke depan di
antara instansi pemerintah yang berkepentingan secara lintas instansi
dengan memanfaatkan jaringan kerjasama yang lebih komprehensif di
internal lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga menteri,
sekretaris jenderal dan dlrektur jenderal lain di lingkungan Kementerian
Pekerjaan Umum dapat terlibat aktif dalam manajemen dan pengarahan
proyek-proyek bantuan pembangunan kota dan kabupaten di masa depan.
6. Perlu dilakukan restrukturlsasl organisasi Kementerian Pekerjaan Umum dan
Dlrektorat Jenderal Cipta Karya untuk dapat mengelola ‘Program nasional
pembaharuan tata kelola pemerintahan di kota dan kabupaten' dengan
struktur kelembagaan yang lebih mantap dan sudah dirancang sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian/direktorat jenderal yang bersangkutan.
7. Perlu ditetapkan suatu program pengembangan kemampuan kelembagaan
yang dilengkapi dengan sumber daya manusia yang ahli, terampil, berbudaya
unggul, dan memiliki 'passion' dalam melaksanakan misinya guna
membangun kemampuan nasional yang andal untuk memberikan pelayanan
prasarana dan sarana yang terbaik di daerah kota dan kabupaten.
8. Perlu diciptakan sistem kaderisasi kepemimpinan untuk dapat mewujudkan
pembaharuan tata kelola pemerintahan daerah yang andal dan taat asas
untuk dapat menjalankan manajemen berjenjang dari tingkat nasional,
provinsi, kota/ kabupaten sampai di tingkat masyarakat akar rumput.
Evaluasi lainnya menurut Hayu Parasati selaku Direktur Perkotaan dan
Perdesaan Bappenas adalah:
9. Kementerian Pekerjaan Umum yang bertindak sebagai ‘Dirjen’ pembangunan
tidaklah tepat, melainkan sebaiknya berada pada pemerintah daerah. Hal ini
berdasarkan pada PP No.10 Tahun 2011 tentang Pinjaman Luar Negeri dan
Hibah. Dalam hal ini pemerintah pusat bertindak sebagai suplai input,
sedangkan pinjaman langsung dikelola oleh pemerintah daerah yang
bersangkutan. Bappenas juga sebaiknya tidak terlibat pada pengelolaan dana
pinjaman, namun pada koordinasi antarsektor serta pencatatan yang
diperlukan pada kerjasama pemerintah daerah.

Gambar 2. Sumber Dana Bantuan (Pinjaman dan/atau Hibah)

dari dan Kepada Pemerintah Daerah

(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2012)

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|3
II. KONSEP KELEMBAGAAN PADA LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum (2012)
mendeskripsikan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) atau Local Economic
Resources Development sebagai kondisi terjalinnya kerja sama kolektif antara
pemerintah, dunia usaha, serta sektor non pemerintah dan masyarakat untuk
mengidentifikasi dan memanfaatkan secara optimal sumber daya yang dimiliki
dalam upaya kuat, mandiri, dan berkelanjutan. Berdasarkan definisi tersebut,
terdapat dua kata kunci yang dapat diambil yaitu:
a. Kerjasama antarsemua komponen
b. Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal
Kedua kata kunci tersebut merupakan komponen pendekatan PEL yang sangat
berhubungan dengan prinsip desentralisasi otonomi daerah. Dalam hal ini
kerjasama semua komponen diterjemahkan pula ke dalam salah satu prinsip
utama dasar dari konsep PEL yaitu bahwa PEL mendorong terbangunnya
kemitraan antara masyarakat, sektor usaha, dan swasta, serta pemerintah
daerah untuk memecahkan masalah bersama.

II.1. PERMASALAHAN KOORDINASI PENGAPLIKASIAN LERD


Dalam buku Acuan Penerapan PEL, dijelaskan terkait permasalahan dalam
pengaplikasian LERD belajar dari agenda-agenda yang telah terlaksana, dimana
yang berkaitan dengan koordinasi antar-pihak yang terlibat siantaranya:
1. Permasalahan terkait peran pemerintah
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah selama ini lebih menempatkan
dirinya sebagai penentu dan pelaksana (eksekutor) program
pembangunan dan menjadikan masyarakat hanya sebagai obyek, bukan
subyek dari pembangunan lersebut. Kondisi ini harus segera direposisi
yakni dengan menempatkan kembali posisi dan peran pemerintah di
dalam penyelenggaraan pembangunan. Pemerintah sebaiknya tidak
terlalu jauh mengintervensi kegiatan ekonomi yang bukan merupakan
wilayah fungsinya, dengan lebih menempatkan perannya sebagai
manajer, fasililator, dan stimulator sesuai dengan prinsip otonomi daerah.
Pemerintah juga perlu mengubah pendekatan pembangunan dari yang
berorientasi ke-proyek-an menjadi berorientasi pada kebutuhan lokal atau
pasar.
2. Pendekatan program yang bersifat sektoral
Sebagian besar program pembangunan, baik di pusat maupun daerah
masih bersifat sektoral, terkotak-kotak dan terpisah-pisah ke dalam
bagian-bagian yang kecil sehingga tidak efektif dalam mencapai
tujuannya. Tidak terjalin integrasi koordinasi antar pihak-pihak yang
terlibat. Pendekatan yang selama ini digunakan menunjukkan bahwa
pemerintah tidak memiliki fokus dalam pembangunan ekonominya,

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|4
bahkan lerkesan ingin melakukan semua hal yang sebenarnya bukan
merupakan kompetensinya.

II.2. ASPEK KELEMBAGAAN DALAM TAHAPAN PENGELOLAAN


LERD
Proses Perencanaan Strategis Local Economic Resources Development (LERD)
menurut World Bank (2006) terbagi atas 5 tahapan utama yakni:
1. Mengorganisasikan upaya/kerja dengan mengembangkan tim
manajemen dan hubungan partnership
2. Melakukan penilaian (tingkat kompetitif) ekonomi lokal
3. Menyusun strategi LERD
4. Mengimplementasikan strategi LERD
5. Me-review strategi LERD
Berkaitan dengan keterlibatan berbagai stakeholder berdasarkan tahapan yang
disusun World Bank tersebut, tercantum dalam tahap pertama proses
perencanaan stategis LED. Program LED yang berhasil bergantung salah
satunya pada usaha kolaboratif dari sektor publik (pemerintah), privat (bisnis),
dan non-pemerintah (NGO, organisasi berbasis komunitas, perserikatan
pedagang, sosial, sipil, kaum religi). Dalam tahap ini dibutuhkan identifikasi
masyarakat, institusi, bisnis, kelompok industri, organisasi sipil, organisasi
profesional, lembaga riset, lembaga pelatihan, dan kelompok-kelompok
kepentingan lainnya dalam ekonomi lokal. Secara garis besar stakeholder yang
terlibat dalam pengelolaan LED atau PEL menurut World Bank (2006) adalah:
Tabel 1. Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan PEL

Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan PEL

Sektor Publik Sektor Bisnis Non-Pemerintah

 Pemerintah lokal termasuk  Korporasi besar  Komunitas pimpinan/ketua


departemen-departemen  Perkumpulan (asosiasi)  Kelompok masyarakat
teknis perdagangan (RT/RW)
 Pemerintah daerah  Wiraswasta skala kecil,  Organisasi pelayanan
 Dewan dan otoritas pengurus: menengah, dan mikro masyarakat
- Kesehatan  Pengembang lahan dan  Institusi pendidikan lokal
- Pendidikan properti  Institusi agama lokal
- Transportasi  Bank dan kelompok finansial  Organisasi non-
 Dinas tata ruang lainnya pemerintah lainnya seperti
 Institusi penelitian dan  Kamar dagang (Kadin) representatif kelompok:
pendidikan tingi  Media berita - Minoritas, disable, dan
 Utilitas  Kelompok pendukung bisnis kelompok kurang
lainnya beruntung lainnya
 Asosiasi profesional - Kepentingan lingkungan
 Private utilities - Kepentingan budaya,
 Lembaga pendidikan privat seni, dan sejarah
 Lembaga survei
(Sumber: The World Bank, 2006)

Berbeda dengan konsep World Bank, UN-Habitat (2005) mempromosikan Local


Economic Development melalui siklus perencanaan strategis yang terdiri dari 10
tahapan, yaitu:

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|5
1. Persiapan
2. Stakeholders dan
partisipasi
3. Analisis situasi
4. Visioning
5. Menetapkan
tujuan
6. Identifikasi dan
evaluasi pilihan
strategi
7. Perencanaan aksi
dan dokumentasi
strategi
8. Implementasi
rencana
9. Monitoring dan
evaluasi (monev)
10. Menyesuaikan
Gambar 3. Siklus Perencanaan Strategis
dan memodifikasi
dalam Pengelolaan LERD

(Sumber: UN-Habitat, 2005)

Keterlibatan dan partisipasi stakeholder merupakan tahapan kedua berdasarkan


konsep UN-Habitat tersebut. Pendekatan partisipatif melibatkan berbagai
stakeholder berbeda sehingga pandangan, concern, dan kepentingan mereka
dapat diakomodasi dalam proses perencanaan. Stakeholder yang dimaksud
tersebut antara lain:
1. Sekror publik (lokal, regional, pusat/nasional, institusi pendidikan)
2. Sektor bisnis (perusahaan, bisnis kecil, sektor informal, bank, asosiasi
kredit)
3. Buruh atau tenaga kerja (perkumpulan perdagangan, serikat pekerja)
4. Komunitas dan organisasi non-pemerintah (komunitas para ketua,
kelompok masyarakat, organisasi religi, kelompok kaum perempuan,
kelompok miskin dan kurang beruntung, kelompok pecinta lingkungan)
5. Masyarakat umum (pemimpin informal)

Stakeholder tersebut didefinisikan berdasarkan kepentingan mereka dalam isu-


isu terkait (misalnya kelompok klien seperti masyarakat miskin, pendukung
kebijakan sepergi NGO lingkungan), posisi formal yang dimiliki (seperti otoritas
pemerintah), kontrol mereka atas sumber daya yang relevan (misalnya uang,
keahlian) dan kekuasaan mereka untuk mempromosikan, menghalangi atau
implementasikan sesuatu (misalnya kelompok aktivis, kelompok pelobi, lembaga
pelaksana).
Berbeda dengan tahapan dan langkah dalam pengelolaan PEL yang disusun
oleh World Bank dan UN-Habitat, tahapan dalam pengelolaan PEL yang disusun
oleh Kementerian Pekerjaan Umum (2012) terbagi atas 4 tahapan yang masing-

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|6
masing terbagi atas langkah-langkah tertentu. Berikut ini adalah tahapan dan
langkah-langkah dalam pengelolaan PEL menurut Kementerian Pekerjaan
Umum (2012), dimana bagian yang ditandai dengan warna hijau berkaitan
dengan aktor-aktor dan pengorganisasiannya dalam pelaksanaan PEL:

Tabel 2. Tahapan dan Langkah dalam Pengelolaan PEL


Tahapan Utama dalam Langkah dalam Tahapan
Pengelolaan PEL
No. Langkah

Melakukan sosialisasi. penyebarluasan informasi dan


1. propaganda pendekatan PEL
Tahap I: Persiapan Membentuk organisasi pelaksana PEL di daerah
2.

3. Melakukan anallsis terhadap kondisi saat ini

Mengidentifikasi dan menentukan kluster ekonomi sebagai


4. fokus PEL

Membentuk dan mengembangkan forum kemitraan multi-


5. stakeholder PEL
Tahap II: Perencanaan
Merumuskan dan menyusun strategi. agenda program, dan
6. rencana aksi PEL

Memastikan terpenuhinya kondisi bagi keberhasilan


7. pelaksanaan PEL

8. Meningkatkan dan memperkuat kapasitas stakeholder daerah

Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya


9. investasi baru dan berkembangnya usaha mikro, kecil, dan
menengah

Mengembangkan, memperluas pasar, dan melakukan promosi


10. kluster ekonomi terpilih
Tahap III: Pelaksanaan
11. Memperkuat forum kemitraan PEL yang telah terbentuk

Mengembangkan dan memperkuat kapasitas, kemampuan,


12. dan ketrampilan produsen/usaha dan pekerja beserta
organisasinya

Membangun kerja sama antardaerah baik secara horizontal


13. maupun vertikal

Tahap IV: Monitoring dan Membangun sistem dan melaksanakan monitoring dan
14. evaluasi
Evaluasi (Monev)
(Sumber: Diolah dari Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|7
A. Membentuk Organisasi Pelaksana PEL di Daerah
Tahapan pertama merupakan
persiapan sebelum penerapan
PEL, sedangkan tahapan II hingga
IV merupakan tahapan yang
secara langsung dilakukan ketika
pelaksanaan PEL, yang
merupakan suatu siklus yang
berkelanjutan bukan suatu proses
linear.

Sebagian besar kegiatan tahapan


pertama yakni persiapan berkaitan
dengan penyiapan kelembagaan
PEL dengan membentuk
organisasi pelaksana PEL di
daerah. Organisasi pelaksana ini
dibutuh-kan untuk menerjemahkan
strategi dan agenda PEL ke dalam Gambar 4. Siklus Pengelolaan PEL
suatu aksi yang terkoordinasi dan (Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)
berkelanjutan, yang disesuaikan
dengan kondisi persoalan serta karakter pemerintahan dan pelaku ekonomi di
daerah (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012).

Hal yang dapat dilakukan dalam langkah pembentukan organisasi pelaksana


PEL di daerah terdiri dari lima kegiatan, diantaranya (Kementerian Pekerjaan
Umum, 2012):
1. Mengidentifikasi pilihan-pilihan model pengorganisasian PEL
Pemilihan model organisasi dapat didiskusikan dengan Bappeda melalui
persetujuan pimpinan daerah. Organisasi yang terbentuk tersebut nantinya
disahkan melalui surat keputusan (SK) pembentukan dari walikota atau
bupati. Adapun pilihan model pengorganisasian PEL berdasarkan
pengalaman program USRD antara lain:

Tabel 3. Pilihan Model Pengorganisasian PEL di Daerah

Pilihan Model Organisasi Kondisi yang Sesuai dengan Pilihan Model


No.
Pelaksana PEL di Daerah
1. Membuat unit baru di dalam a. Sektor swasta di daerah kurang aktif berperan
struktur organisasi dalam pembangunan ekonomi
pemerintah daerah b. Inisiatif berasal dari pemda yang menjadi
pendorong sektor swasta
c. Membutuhkan tingkat kontrol dan dukungan dana
dari pemerintah yang cukup besar
d. Pemda dapat:
 Menunjuk satu unit kerja PEL yang setara eselon
3. Pilihan ini sesuai untuk daerah dengan
cakupan wilayah dan potensi ekonomi yang

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|8
sangat besar. Namun dibutuhkan jumlah personil
ahli yang cukup banyak dengan spesifikasi
keahlian yang disesuaikan dengan ruang lingkup
PEL yang akan dijalankan
 Membentuk satu satuan kerja baru setara eselon
2. Model ini hanya membutuhkan sekitar 3-5
orang staf dengan 3 orang diantaranya
diharapkan memiliki latar belakang pendidikan
ekonomi

2. Mendirikan struktur a. Sesuai untuk diterapkan di kota atau kabupaten


organisasi terpisah yang yang masyarakat di luar sektor pemerintahannya,
dijalankan sebagai suatu terutama sektor swastanya cukup aktif dan
badan hukum tersendiri memiliki perhatian besar terhadap PEL. Organisasi
(swasta) namun tetap di swasta seperti Kamar Dagang dan lndustri Daerah
bawah kontrol satuan kerja (Kadinda) atau organisasi lain yang bergerak di
pemda bidang pengembangan ekonomi, berperan lebih
aktif dan memiliki tanggung jawab utama dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program
kegiatan PEL
b. PEL juga dapat dikelola oleh suatu kelompok yang
menaruh perhatian besar pada PEL, baik dari
organisasi non pemerintah, perguruan tinggi, para
pelaku usaha atau para penggerak masyarakat.
c. Pemerintah daerah berperan dalam menyediakan
dukungan kebijakan dan dana untuk
merealisasikan program kegiatan PEL

3. Membentuk satu tim kerja Model ini mirip dengan model pertama.
yang tugas pokok dan Perbedaannya, pada model ini pemda hanya perlu
lungsinya ada di dalam membentuk unit organisasi kerja yang bersifat
struktur organisasi pemda sementara (ad-hoc) sebagai penanggung jawab
utama penerapan pendekatan dan pelaksanaan PEL

(Sumber: Diolah dari Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)

Dalam memilih model yang tepat, lembaga atau individu di daerah yang akan
menerapkan pendekatan PEL perlu mempertimbangkan sejumlah kriteria
yaitu:
a. Sejauh mana tingkat kontrol oleh pemerintah daerah terhadap organisasi
pelaksana PEL dan kegiatan-kegiatan terkait PEL yang akan dilakukan
b. Berapa besar jumlah dana publik yang ingin diinvestasikan oleh daerah
(kota dan kabupaten) dalam mendorong keberhasilan pencapaian PEL
c. Jenis dan bentuk kegiatan apa yang akan dilakukan dalam mencapai
tujuan PEL itu sendiri

2. Menentukan model pengorganisasian PEL yang paling tepat dan sesuai


dengan kondisi dan karakter persoalan dan masyarakat di daerah, dengan
cara:
a. Mengundang para stakeholder yang berminat terhadap inisiatif dan
pendekatan PEL dalam satu kegialan berbentuk diskusi atau temu wicara
b. Mendiskusikan keunggulan dan kelemahan masing-masing model
terhadap kondisi daerah
c. Menentukan dan menyepakati model pengorganisasian PEL yang paling
tepat dan sesuai

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|9
d. Membangun komitrnen dan dukungan stakeholder untuk mendukung
terwujudnya model pengorganisasian yang telah disepakati tersebut

3. Membentuk unit lembaga/organisasi, dengan:


a. Menyusun struktur unit lembaga/organisasi sesuai dengan model dan
ruang lingkup potensi dan persoalan PEL yang dihadapi daerah
b. Mengidentifikasi dan memilih kader penggerak PEL (LED champion)
c. Memilih personil yang tepat yang akan bekerja sebagai tim
kerja/pelaksana PEL bersama-sama dengan kader penggerak PEL
d. Menyusun Term of Reference (ToR) dan Standard Operating Procedure
(SOP)
e. Menyusun rencana kerja tahunan

4. Memperoleh pengesahan formal dan dukungan, dengan:


a. Mendapatkan dukungan dan pengakuan formal dari pemda berupa SK
walikota/bupati
b. Memastikan adanya dukungan dan komitmen pemda terutama dalam hal
anggaran, fasilitas, dan sumber daya manusia untuk menjalankan
lembaga/organisasi PEL yang telah dibentuk

B. Membentuk & Mengembangkan Forum Kemitraan Multi-Stakeholder PEL


Pada tahap kedua yakni perencanaan, diperlukan pembentukan dan
pengembangan forum kemitraan multi-stakeholder PEL, dimana
pembentukan organisasi pelaksana PEL pada tahap pertama bekerjasana dan
berkoordinasi dengan stakeholder lainnya melalui forum tersebut. Sejalan
dengan konsep good governance pada pengaplikasian otonomi daerah, peran
pemerintah terutama sebagai pelaksana pembangunan dan penyedia jasa
pelayanan dan infrastruktur perlu bergeser menjadi pendorong bagi terciptanya
lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di dalam komunitas. Perumusan
kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program PEL dilakukan dengan
mengikutsertakan seluruh komponen stakeholder lokal lainnya yang terkait PEL
melalui kerjasama kemitraan, stakeholder tersebut antara lain:
 Pemerintah (pusat dan daerah)
 Sektor privat
 Komunitas atau kelompok-kelompok berbasis masyarakat
 Asosiasi produsen/pengusaha (mikro, kecil, dan menengah)
 Lembaga keuangan
 Lembaga pendukung/pendamping usaha
 Asosiasi profesi
 Institusi pendidikan dan penelitian
 Media
 Organisasi non-pemerintah (yang bergerak di bidang pengembangan
atau pemberdayaan masyarakat)
 Masyarakat sipil lokal

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk membentuk forum kemitraan tersebut


adalah dengan:

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 10
1. Melakukan identifikasi kelompok stakeholder, dengan:
a. Melakukan kajian pemetaan terhadap keberadaan forum-forum kemitraan
strategis yang telah ada di daerah
b. Melakukan identifikasi terhadap kelompok stakeholder di daerah yang
akan menjadi bagian dari forum kemitraan PEL
c. Melakukan penguatan pemahaman PEL kepada kelompok stakeholder
yang telah berhasil diidentifikasi

2. Membentuk forum kemitraan stakeholder PEL, dengan:


a. Melaksanakan temu wicara, diskusi, atau lokakarya yang dihadiri oleh
stakeholder untuk membahas pembentukan sebuah forum kemitraan
lokal untuk PEL
b. Menyepakati dan membentuk forum kemitraan PEL
c. Menyusun dan memilih pengurus, yang terdiri dari ketua, sekretaris,
bendahara, dan beberapa bidang yang diperlukan
d. Jika dirasakan perlu, melakukan usaha untuk memperoleh pengakuan
dan atau pengesahan dari Pemda mengenai keberadaan forum kemitraan
PEL yang dibentuk
e. Mengajak stakeholder lokal yang terkait dengan PEL untuk bergabung ke
dalam forum kemitraan. Anggota forum kemitraan PEL haruslah
menunjukkan keterwakilan dari setiap kelompok stakeholder (Pemerintah,
pelaku usaha, sektor swasta pendukung, ornop, institusi pendidikan/riset.
media. dll).

Pada tahap kedua pula, dalam langkah ke-6 yakni merumuskan dan menyusun
strategi, agenda program, dan rencana aksi PEL, diperlukan kegiatan penyiapan
proses perencanaan yang partisipatif, dengan cara:
a. Tim Pelaksana PEL bertanggung jawab menunjuk tim sebagai pelaksana
dan penanggung jawab penyusunan dokumen strategi, program dan
rencana aksi PEL
b. Menjadikan forum kemitraan PEL sebagai media perencanaan pertisipetif
dalam perumusan dokumen perencanaan strategis PEL
c. Menyiapkan dan menyelenggarakan rancangan atau ToR
diskusi/lokakarya sesuai kebutuhan dan kondisi yang menjadi perhatian
tim
d. Membentuk kelompok-kelompok perencana, bisa dibagi menurut wilayah
(kelurahan/ desa, kecamatan atau wilayah yang lebih luas) berdasarkan
kesamaan karakteristik wilayah (misal dalam sumber daya alam) untuk
memudahkan dalam perumusan strategi dan program PEL
e. Membentuk sejumlah tim perencana sesuai pengelompokan pada butir
(d) dan satu tim perumus
Sebelum melanjutkan ke tahap ketiga, perlu dipastikan bahwa sejumlah kondisi
yang dibutuhkan telah terpenuhi, yakni:
a. Daerah harus memiliki visi yang jelas dan akurat dalam pembangunan
ekonominya

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 11
b. Adanya persetujuan dari segenap stakeholder terkait dan pengesahan
oleh pemerintah daerah terhadap rencana strategi dan program PEL yang
telah disusun dalam bentuk peraturan perundangan yang berlaku
c. Adanya dukungan dan ketersediaan anggaran keuangan yang cukup
untuk melaksanakan program-program PEL yang telah disusun
d. Adanya keinglnan politik dan kepemimpinan aktif dari pemerintah daerah
terutama kepala daerah dan pimplnan SKPD yang terkait dengan klusler
PEL
e. Aparat Pemda mau secara terus menerus meningkatkan pengetahuan
mengenai daerahnya, memahami permasalahan yang terjadi dan
mendengarkan aspirasi yang datang dari bawah
f. Adanya komitrnen dari seluruh stakeholder utama PEL dan memastikan
tersedianya akses dan mekanisme bagi pelibatan mereka dalam proses
mengawal dan memantau penerapan kebijakan dan program-program
PEL yang telah disusun dalam dokumen Rencana Strategis PEL
g. Adanya pemahaman diantara stakeholder lokal PEL bahwa integrasi.
jarlngan kerja dan keterkaitan antar-individu, antar-sektor dan antar-
daerah merupakan inti dari pendekatan PEL
h. Mengenali adanya perbedaan dalam masyarakal dari banyak aspek
(sosial, budaya, agama, politik, dan kepentingan)
i. Memahami bahwa ketersediaan infrastruklur dan fasllilas lainnya dalam
upaya mendorong program PEL akan dapat membuat perbedaan antara
program PEL yang sukses dan yang gagal
j. Adanya investasi yang signifikan pada pengembangan kualitas sumber
daya manusia, terutama aparat Pemda dan pelaku usaha
k. Terjadinya investasi sektor swasta pada barang publik sehingga
kemampuan keuangan yang terbatas yang dihadapi pemerintah daerah
dalam penyediaan barang publik dapat terbantu
l. Pemda mampu bertindak sebagai katalis bagi terbangunnya dan
berkembangnya kemitraan yang kuat dan efektif antara pemerintah,
pelaku usaha, masyarakat, dan stakeholder lainnya yang relevan dengan
PEL

C. Meningkatkan dan Memperkuat Kapasitas Stakeholder Daerah


Tahap ketiga yakni pelaksanaan agenda program dan kegiatan dari perencanaan
tahap sebelumnya. Pada tahap ini, pelaksanaan bersifat fleksibel baik dari jenis
dan volume kegiatan disesuaikan dengan strategi dan agenda program PEL
yang dipilih. Langkah yang harus dilakukan berkaitan dengan stakeholder yang
terlibat dalam pengelolaan PEL adalah langkah ke-8 yaitu meningkatkan dan
memperkuat kapasitas stakeholder daerah. Kapasitas daerah yang dimaksud
adalah kapasitas pemerintah daerah dan local leaders di daerah. Dalam hal ini
pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi dan pengembangan kapasitas
terhadap staf Pemda dan stakeholder lokal lain yang terkait dengan pelaksanaan
program PEL dalam dokumen Renstra PEL. Adapun kegiatan dalam usaha
meningkatkan dan memperkuat stakeholder daerah adalah dengan:

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 12
1. Meningkatkan kapasitas pimpinan dan staf Pemda melalui penyelenggaraan
seminar, lokakarya, pelatihan dan studi banding, dengan cara:
a. Melakukan pemetaan dan penilaian (need assessment) terhadap materi-
materi terkait PEL yang dibutuhkan oleh pimpinan dan staf pemda
dengan menggunakan metode survei
b. Mengidentifikasi jenis dan materi yang perlu diberikan kepada pimpinan
dan staf Pemda dalam rangka peningkatan kapasitas mereka dalam hal
PEL
c. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, TOT, pelatihan, dan studi banding

2. Meningkatkan kapasitas masyarakat melalui penyelenggaraan seminar,


lokakarya, pelatihan, dan studi banding, dengan:
a. Melakukan pemetaan dan penilaian (need assessment) terhadap materi-
materi terkait PEL yang dibutuhkan oleh masyarakat sesuai perannya
dalam PEL dengan menggunakan metode survei atau Focus Group
Discussion (FGD)
b. Mengidentifikasi jenis dan materi yang perlu diberikan kepada masyarakat
dalam rangka peningkatan kapasitas mereka (pengetahuan dan
ketrampilan) dalam menjalankan PEL
c. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, TOT, pelatihan, dan studi banding

D. Memperkuat Forum Kemitraan PEL yang Telah Terbentuk


Selain langkah ke-8, langkah lain berkaitan dengan stakeholder pengelolaan PEL
adalah penguatan forum kemitraan (yang telah dibentuk pada tahapan kedua)
yang merupakan langkah ke-11 pada tahapan ketiga. Hal ini bertujuan agar
forum kemitraan PEL yang telah terbentuk mampu berperan lebih besar dalam
mendorong dan mempercepat tumbuh dan berkembangmmya usaha. Adapun
kegiatan yang dapat dilakukan adalah:

1. Mengembangan kapasitas anggota forum kemitraan, dengan:


a. Melakukan pemetaan dan penilaian (need assessment) terhadap materi-
materi terkait PEL yang dibutuhkan oleh anggota forum kemitraan dengan
menggunakan metode survei atau FGD
b. Mengidentifikasi jenis dan materi yang perlu diberikan kepada anggota
forum kemitraan dalam rangka peningkatan kapasitas mereka dalam PEL
c. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, TOT, pelatihan, studi banding, dll.

2. Memastikan bahwa forum kemitraan PEL berfungsi dan efektif, dengan cara:
a. Menyusun rencana aksi dan kegiatan forum kemitraan PEL
b. Memastikan bahwa forum kemitraan mengadakan pertemuan rutin untuk
membahas berbagai persoalan yang dihadapi terkait PEL
c. Memastikan adanya dukungan sumber daya dan dana untuk menjalankan
rencana aksi PEL
d. Mengembangkan sistem informasi dan komunikasi antara aggota forum

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 13
E. Mengembangkan dan Memperkuat Kapasitas, Kemampuan, dan
Ketrampilan Produsen/Usaha dan Pekerja Beserta Organisasinya
Langkah ke-12 pada tahapan ketiga adalah mengembangkan dan memperkuat
kapasitas, kemampuan, dan ketrampilan produsen/usaha dan pekerja
beserta organisasinya melalui pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksud
adalah kepada kelompok produsen mikro dan kecil yang umumnya berasal dari
golongan masyarakat berpendapatan rendah. Pemberdayaan ini tidak hanya
bertujuan meningkatkan pendapatan mereka, tetapi juga kapasitas serta
perubahan dalam hubungan kekuasaan, sehingga peran mereka dalam
pembangunan akan lebih bermakna dan berkelanjutan. Adapun kegiatan yang
dapat dilakukan dalam hal ini adalah:

1. Pengembangan kapasitas produsen, melalui:


a. Pengembangan kapasitas produsen dalam hal produksi dan pasca
produksi (pelatihan, magang, pendampingan dan studi banding)
b. Pengembangan kapasitas produsen dalam hal negosiasi dalam
perdagangan
c. Pengembangan kapasitas produsen dalam aspek manajemen. operasi
bisnis dan dan pengelolaan keuangan

2. Pengorganisasian produsen dan pelaku usaha lainnya, melalui:


a. Pengorganisasian produsen ke dalam kelompok atau asosiasi
b. Penguatan organisasi produsen melalui pendampingan organisasi

3. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan ketrampilan pekerja


a. Membangun ketrampilan dasar pekerja
b. Pelatihan usaha/ketrampilan
c. Menjamin kualitas pelayanan yang disediakan

4. Pengembangan bisnis melalui pemberian pelayanan pendukung usaha


a. Mendorong dibentuknya sebuah asosiasi usaha lokal yang dapat
menyediakan konsultasi bisnis
b. Mendorong perusahaan konsultan usaha setempat atau LSM untuk
bekerja dan memberikan pelayanan bisnis yang dibutuhkan
c. Membangun sebuah ‘one-stop-shop’ misalnya pada bagian
perekonomian Pemda kota, untuk memastikan bahwa informasi yang
dibutuhkan oleh dunia usaha tersedia

5. Mendorong inovasi dan diversifikasi, dengan:


a. Memberikan· penghargaan kepada perusahaan yang melakukan inovasi
dan diversilikasi
b. Memberikan hibah khusus kepada perusahaan yang melakukan inovasi
dan diversifikasi
c. Mengembangkan hubungan kerjasama bisnis yang baik

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 14
F. Membangun Kerja Sama Antardaerah (Horizontal Maupun Vertikal)
Langkah terkakhir berkaitan dengan stakeholder dalam pengelolaan PEL adalah
langkah ke-13 yakni membangun kerjasama antardaerah baik secara horizontal
maupun vertikal. Penerapan PEL sebagai salah satu program otonomi daerah,
pada kenyataannya bukanlah sebuah sistem ekonomi yang tertutup dan terisolir
dari daerah lainnya. Diperlukan kerjasama ekonomi lintas batas daerah dalam:
 Merespon berbagai tekanan yang datang baik dari dalam daerah itu
sendiri maupun dari luar daerah, nasional, amupun internasional. Hal ini
dikarenakan sifat pasar yang tidak pasti, dinamis, dan terus berubah
 Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan., dengan
membangun suatu wilayah (sejumlah kota dan kabupaten) ke dalam
sebuah visi bersama
 Menghindari konflik dan persaingan berlebihan antardaerah. Kerjasama
antardaerah jauh lebih menguntungkan dibanding membiarkan
persaingan terjadi
 Mempermudah aliran pergerakan barang dan jasa dari satu daerah ke
daerah lainnya
 Meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan dana
 Memungkinkan terjadinya pengelolaan dan pemanfaatan infrastruktur
secara bersama

Kerjasama antardaerah dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal.


Kerjasama horisontal dapat dilakukon antar-kabupaten, antar-kota atau antara
kota dan kabupaten. Sedangkan kerjasama vertikal dapat dibangun antara kota
atau kabupaten dengan provinsi atau dengan pusat. Kerjasama vertikal
diperlukan untuk menghindari konflik kepentingan atau kebijakan yang kontra
produktil bagi upaya-upaya pengembangan ekonomi lokal di suatu daerah.
Kerjasama vertikal juga diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan
menyangkut kepentingan kota dan kabupaten yang membutuhkan koordinasi di
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Adapun kegiatan yang perlu dilakukan
dalam membangun kerjasama antardaerah baik secara horizontal maupun
vertikal antara lain:

1. Melakukan studi identifikasi mengenai keterkaitan ekonomi lokal dengan


daerah atau wilayah sekitarnya, dengan cara:
a. Melakukan studi yang bertujuan melakukan identifikasi mengenai jenis
dan bentuk keterkaitan dalam ekonomi dan pasar dengan daerah/wilayah
sekitar
b. Melakukan analisis awal mengenai peluang membangun kerjasama
ekonomi dengan daerah atau wilayah sekitar

2. Membangun kerjasama dengan daerah lain yang diformalisasi melalui


sebuah nota kesepahaman, dengan cara:
a. Melakukan penjajagan atas kemungkinan membangun kerjasama saling
menguntungkan dengan daerah/wilayah sekitar berdasarkan studi yang
dilakukan pada kegiatan poin pertama

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 15
b. Memformalisasikan kerjasama ke dalam bentuk nota kesepahaman
(MOU)

Tahapan terakhir (ke-4) dalam pengelolaan PEL adalah monitoring dan evaluasi.
Tahapan ini pada prinsipnya dilakukan sepanjang pelaksanaan PEL, bukan
hanya setelah tahapan ketiga selesai dilaksanakan. Pada tahap implementasi
PEL, monev memiliki fungsi manajemen yang sangat panting. Hasil dari kegiatan
monev akan bermanfaat dalam:
 Menjadi pondasi dan masukan penting bagi unit/lembaga/organisasi/task
force PEL dan juga forum kemitraan PEL di daerah untuk mengidentifikasi
persoalan yang terjadi
 Memberikan arah yang jelas mengenai tindakan korektif yang parlu
dilakukan
 Memperbaiki kualitas palaksanaan PEL secara keseluruhan, baik yang
sedang berjalan maupun yang akan datang
 Mengetahui apakah strategi atau program tertentu yang dijalankan dalam
tujuan PEL dapat diperluas atau direplikasi ke daerah lain atau tidak.

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 16
REFERENSI :
Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Acuan Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal
untuk Kota dan Kabupaten. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum.
________________________. 2012. Membangun Kemandirian Perkotaan - Refleksi
Pelaksanaan USDRP. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian
Pekerjaan Umum.
The World Bank. 2006. Local Economic Development Quick Reference. Washington,
DC: The World Bank.
UN-HABITAT. 2005. Promoting Local Economic Development through Strategic
Planning - Volume 1: Quick Guide. Kenya: UN-HABITAT, Canada: EcoPlan
International Inc.

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 17
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 5:
KERANGKA KELEMBAGAAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT

KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 18
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 19
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 20
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 21
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 22
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 23
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 24
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 25
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 26
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 27
KERANGKA KELEMBAGAAN DAN JARINGAN DALAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 28
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 6
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL
ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 6:
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... ii


Daftar Gambar ..................................................................................................... ii
Daftar Tabel.......................................................................................................... ii
I. Konsep Umum Kebijakan Fiskal ..................................................................... 1
II. Kajian Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ....................................... 3
Referensi ............................................................................................................... 16
Bahan Tayang ....................................................................................................... 17

DAFTAR GAMBAR

Gambar. 1 Kedudukan Kebijakan Fiskal dalam Kebijakan


Makroekonomi ..................................................................................... 1
Gambar 2. Implementasi Instrumen Kebijakan Fiskal ............................................ 3

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Jenis Kebijakan Fiskal ............................................................................1


Tabel 2. Transfer ke Daerah dan Dana Desa (dalam Miliyar Rupiah)
Tahun 2015-2016 ...................................................................................4
Tabel 3. Belanja Pemerintah Pusat (dalam Miliyar Rupiah) Tahun 2015-2016 .....4
Tabel 4. Perubahan Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada Tahun 2015 dan
2016 .......................................................................................................6
Tabel 5. Bobot Perhitungan Variabel DAU Tahun 2016 .......................................9
Tabel 6. Dimensi dan Bidang Pembangunan Pada DAK Reguler 2016.............. 11

ii
I. KONSEP UMUM KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan fiskal oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan
makroekonomi, dimana kebijakan lainnya yaitu kebijakan moneter diserahkan
kepada Bank Indonesia selaku bank sentral. Tujuan akhir dari kebijakan
makroekonomi ini adalah untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang dinilah
melalui indeks pertumbuhan output, kesempatan kerja, tingkat inflasi, neraca
pembayaran, dll. Berikut ini merupakan diagram kedudukan kebijakan fiskal
sebagai salah satu kebijakan makroekonomi:

Gambar 1. Kedudukan Kebijakan Fiskal dalam Kebijakan Makroekonomi

(Sumber: Bank Indonesia, 2014)

Kebijakan Fiskal menurut Bank Indonesia (2014) adalah kebijakan pemerintah


yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi perekonomian melalui pengeluaran
(spending) dan penerimaan (income) yang di dalamnya terdapat unsur
perpajakan (taxation). Pengeluaran dan penerimaan yang dimaksud berkaitan
dengan tindakan pemerintah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Selain itu, kebijakan fiskal juga dapat diartikan sebagai
salah satu kebijakan makroekonomi yang dilakukan pemerintah untuk
memengaruhi perekonomian dengan cara memengaruhi pasar barang atau
sektor riil. Berdasarkan jenisnya, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi tiga
jenis:
Tabel 1. Jenis Kebijakan Fiskal

Jenis Kebijakan Fiskal

Defisit Surplus Berimbang

Pengeluaran pemerintah Pengeluaran pemerintah Pengeluaran pemerintah


(spending) melebihi (spending) lebih kecil dari (spending) sama dengan
penerimaannya (income) penerimaannya (income) penerimaannya (income)

(Sumber: Bank Indonesia, 2014)

Adapun tujuan dilakukannya kebijakan fiskal antara lain (Bank Indonesia, 2014):
1. Menurunkan pengangguran dengan cara membuka kesempatan kerja
melalui kegiatan pemerintah berupa belanja barang, jasa, dan proyek.
Dana untuk pembelanjaan barang, jasa, dan proyek dimaksud berasal
dari pajak dan sumber pembiayaan lainnya, seperti Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) dan sebagian laba BUMN.

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|1
2. Menjaga stabilitas harga. Pemerintah membuat kebijakan dengan
menentukan harga terendah dan harga tertinggi suatu komoditas seperti
menentukan harga gabah kering giling petani dan harga minyak goreng
curah.
3. Mendorong investasi melalui pemberian insentif pajak dan pembangunan
infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan bandar udara.
4. Mengendalikan tingkat inflasi dengan menetapkan kebijakan penerapan
tarif pajak tertentu.
5. Menjaga stabilitas ekonomi di tengah krisis global, seperti subsidi,
menaikkan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan
mengendalikan pengeluaran pemerintah.
6. Mendistribusikan pendapatan nasional dalam rangka mengurangi
kesenjangan pendapatan melalui pengenaan tarif pajak progresif.

Dalam pengaplikasiannya, pemerintah pusat mengatur kebijakan fiskal dengan


cara memperbesar atau memperkecil pengeluaran/konsumsi pemerintah (G),
jumlah transfer pemerintah (Tr) dan jumlah pajak (Tx), sehingga dapat
memengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Instrumen yang dapat digunakan pemerintah dalam kebijakan fiskal secara
umum adalah pengeluaran pemerintah (government expenditure / G), transfer
pemerintah (transfer
payment / Tr), dan pajak (tax / Tx). Melalui ketiga instrumen ini, pemerintah dapat
melakukan pilihan implementasi kebijakan fiskal, antara lain (Bank Indonesia,
2014):
a. Kebijakan Fiskal Ekspansif
Yaitu kebijakan fiskal yang dimaksudkan untuk meningkatkan
perekonomian/pendapatan nasional dengan cara meningkatkan pengeluaran
pemerintah (G), meningkatkan pembayaran transfer (Tr), dan mengurangi
pemungutan pajak (Tx). Kebijakan ini dilakukan saat perekonomian berada
dalam kondisi yang lesu, yang ditandai dengan tingkat pengangguran yang
tinggi dan pendapatan nasional aktual lebih kecil daripada pendapatan
nasional potensial.
b. Kebijakan Fiskal Kontraktif
Yaitu kebijakan fiskal yang dimaksudkan untuk menurunkan gangguan
perekonomian yang ada dengan cara menurunkan pengeluaran pemerintah
(G), mengurangi pembayaran transfer (Tr), dan meningkatkan pemungutan
pajak (Tx). Kebijakan ini dilakukan apabila perekonomian berada dalam
kondisi pasar tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat, yang ditandai
dengan permintaan agregat (keseluruhan) melebihi penawaran agregatnya
(AD > AS) dan tingkat inflasi yang tinggi.

Implementasi kebijakan fiskal tersebut dapat digambarkan dengan diagram


berikut:

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|2
Gambar 2. Implementasi Instrumen Kebijakan Fiskal

(Sumber: Bank Indonesia, 2014)

II. KAJIAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA


Indonesia merupakan negara yang menerapkan desentralisasi fiskal dari sisi
belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue). Desentralisasi fiskal
dari sisi belanja (expenditure) didefinisikan sebagai kewenangan untuk
mengalokasikan belanja sesuai dengan diskresi seutuhnya masing-masing
daerah (Haryanto, 2015). Dalam hal ini pemerintah pusat tidak berperan sebagai
aktor eksekusi melainkan pemberi masukan serta memantau (monitoring)
pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era
Reformasi secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001 (Haryanto, 2015).
Penetapan tersebut dikuatkan dengan adanya kebijakan otonomi daerah
berkaitan dengan ekonomi daerah yakni Undang-Undang No.2 Tahun 2015
tentang Penetapan PP Pengganti UU No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang,
serta Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal semakin dikuatkan sejak Presiden RI
mengalokasikan Belanja Transfer ke Daerah yang mengalami peningkatan cukup
signifikan pada RAPBN 2016. Anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN
tahun 2016 yang direncanakan sebesar 735.219,7 Miliar Rupiah atau meningkat
14.2% (Rp. 91.385,1 Miliar) dari pagunya dalam APBNP tahun 2015 (643.834,5
Miliar Rupiah) dan perkiraan realisasi tahun 2015, serta peningkatan Dana Desa
sebesar 46.982,1 Miliar Rupiah pada RAPBN 2016 yang sebelumnya pada
APBNP 2015 hanya sebesar 20.766,2 Miliar Rupiah. Selengkapnya, Transfer ke
Daerah dan Dana Desa Tahun 2016 disajikan pada tabel berikut:

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|3
Tabel 2. Transfer ke Daerah dan Dana Desa (dalam Miliyar Rupiah) Tahun 2015-
2016

(Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015)

Kebijakan peningkatan Dana Transfer ke Desa dan Dana Desa tersebut diimbangi
dengan pengurangan Belanja Pemerintah Pusat pada RAPBN 2016. Dari anggaran
belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2016 sebesar Rp. 1.339.084,4 Miliar,
anggaran yang dialokasikan melalui K/L mencapai 58,3% atau Rp. 780.377,9 Miliar.
Sementara 41,7% anggaran atau Rp. 558.706,5 Miliar dialokasikan melalui BA BUN
(belanja non-K/L) sebagaimana disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Belanja Pemerintah Pusat (dalam Miliyar Rupiah) Tahun 2015-2016

(Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015)

Pada APBN 2016, Presiden RI melakukan perubahan fundamental pada


kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini berkenaan dengan agenda presiden terpilih
yaitu agenda ketiga Nawa Cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara
Kesatuan, dan agenda ketujuh yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestic. Perubahan
fundamental tersebut antara lain (Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
2015):

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|4
1. Penguatan peran dan fungsi pemerintah daerah dalam kebijakan
desentralisasi fiskal melalui peningkatan anggaran Transfer ke Daerah dan
Dana Desa.
2. Perubahan struktur dan ruang lingkup Transfer ke Daerah dan Dana Desa
agar lebih sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah dan kebutuhan pendanaan daerah.
3. Reformulasi dan penguatan kebijakan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana
Desa, khususnya kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif
Daerah (DID).
Secara lengkap, perubahan postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa dari
tahun 2015 ke tahun 2016 adalah sebagai berikut:

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|5
Tabel 4. Perubahan Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada Tahun 2015 dan 2016

(Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015)

Berdasarkan perubahan tersebut, maka strategi kebijakan fiskal APBN 2016


diarahkan pada (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015):
1. Peningkatan alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa menjadi
lebih besar dari anggaran kementerian negara dan lembaga (belanja K/L);
2. Reformulasi alokasi DAU guna meningkatkan pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah (sebagai equalization grant);
3. Reformulasi dan penguatan DAK untuk mendukung Nawa Cita dan
pencapaian prioritas nasional, dengan:
a. Meningkatkan besaran alokasi DAK untuk lebih mengakomodasi aspirasi
daerah guna mempercepat pembangunan/penyediaan infrastruktur
sarana dan prasarana publik; dan
b. Meningkatkan efektivitas pelaksanaan DAK melalui penyesuaian dana
pendamping dengan kemampuan keuangan daerah, percepatan
penetapan petunjuk teknis, serta perbaikan pola penyaluran, pelaporan,
monitoring dan evaluasi.
4. Reformulasi DID untuk memberikan penghargaan yang lebih besar kepada
daerah yang berkinerja baik dalam pengelolaan keuangan, perekonomian
dan kesejahteraan daerah;

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|6
5. Peningkatan alokasi Dana Desa minimal 6% dari dan di luar Transfer ke
Daerah sesuai Road Map Dana Desa tahun 2015-2019, guna memenuhi
amanat UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pendanaan desentralisasi fiskal dilaksanakan melalui Transfer ke Daerah yang


terbagi atas (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015):
1. Dana Perimbangan
Dana yang bersumber dari Penerimaan Negara yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
antara pusat dan daerah (vertical imbalance), dan antardaerah (horizontal
imbalance), serta mengurangi kesenjangan layanan publik antardaerah.
Besaran dana perimbangan pada RAPBN 2016 sebesar Rp710,767.1 miliar,
atau naik 36.2% dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP tahun 2015
dan perkiraan realisasi tahun 2015. Dana perimbangan terbagi atas:
a. Dana Transfer Umum
Merupakan nomenklatur baru yang mulai digunakan dalam RAPBN tahun
2016. Bersifat block grant, dimana penggunaannya sepenuhnya menjadi
kewenangan daerah yakni sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
daerah. Dana transfer umum direncanakan sebesar Rp 495.510,9 Miliar
pada tahun 2016. Dana transfer umum terbagi atas:
1. Dana Bagi Hasil
Sesuai ketentuan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana
Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang
dialokasikan kepada daerah dengan angka persentase tertentu, untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Terbagi atas:
 DBH Pajak
Alokasi DBH Pajak pada RAPBN tahun 2016 secara keseluruhan
direncanakan sebesar Rp51.728,2 miliar, termasuk kurang bayar
DBH PBB sebesar Rp1.286,5 miliar, atau turun sebesar 4,6%
dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP 2015. DBH Pajak
dialokasikan kepada daerah berdasarkan 2 prinsip, yakni:
1. Prinsip pembagian berbasis daerah penghasil (by origin)
Yaitu daerah penghasil pajak mendapatkan bagian DBH Pajak
yang lebih besar dibanding daerah lain dalam satu provinsi,
sedangkan daerah nonpenghasil hanya mendapatkan bagian
berdasarkan pemerataan.
2. Prinsip pembagian berdasarkan realisasi penerimaan (based
on actual revenue)

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|7
DBH Pajak disalurkan kepada daerah disesuaikan dengan
realisasi Penerimaan Negara Pajak (PNP) dalam tahun
anggaran berjalan.
 DBH Sumber Daya Alam (SDA)
Merupakan dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH
SDA juga dibagikan kepada daerah berdasarkan:
1. Prinsip by origin
DBH SDA diberikan kepada daerah penghasil lebih besar
dibanding daerah nonpenghasil dalam satu provinsi, karena
daerah nonpenghasil hanya mendapatkan bagian berdasarkan
pemerataan.
2. Prinsip based on actual revenue
Besaran DBH SDA disalurkan kepada daerah disesuaikan
dengan realisasi PNBP tahun anggaran berjalan.
DBH SDA terdiri atas:
a. SDA kehutanan, yang meliputi iuran izin usaha
pengusahaan hutan (IIUPH), pengelolaan sumber daya
hutan (PSDH), dan dana reboisasi (DR);
b. SDA pertambangan mineral dan batu bara, yang meliputi
iuran tetap (land-rent) dan iuran produksi (royalty);
c. SDA perikanan;
d. SDA minyak bumi;
e. SDA gas bumi; dan
f. SDA panas bumi.
Secara keseluruhan, dalam RAPBN tahun 2016, DBH SDA
dianggarkan sebesar Rp 55.529,7 miliar, atau turun sebesar 0.5
persen bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP 2015.
Besaran DBH SDA tersebut sudah termasuk alokasi kurang bayar
DBH SDA tahun sebelumnya sebesar Rp 4.262,5 miliar.
2. Dana Alokasi Umum
Merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Sesuai ketentuan UU No.33 Tahun 2004,
besaran DAU Nasional ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari PDN
neto. Penghitungan alokasi DAU kepada daerah dilakukan dengan
menggunakan formula yang terdiri atas:

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|8
1. Alokasi Dasar (AD)
Dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, mencakup gaji pokok
ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan
sesuai dengan peraturan penggajian PNS serta
mempertimbangkan kebijakan terkait penggajian dan kebijakan
terkait pengangkatan CPNSD.
2. Celah Fiskal (CF)
Yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan
daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
Kebutuhan fiskal diukur berdasarkan perkalian antara total belanja
daerah rata-rata dengan penjumlahan dari perkalian masing-
masing bobot variabel dengan:
 Indeks Jumlah Penduduk
 Indeks Luas Wilayah
 Indeks Kemahalan Konstruksi
 Indeks Pembangunan Manusia
 Indeks Produk Domestik Regional Bruto per Kapita
Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah
yang berasal dari:
 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
 DBH Pajak
 DBH SDA
Dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai equalization grant,
dalam formulasi perhitungan DAU, proporsi CF diupayakan lebih
besar dari AD, dengan membatasi proporsi AD terhadap pagu DAU.
Makin kecil peran AD dalam formula DAU, maka makin besar peran
formula berdasarkan CF, sehingga DAU memiliki peran besar dalam
mengoreksi ketimpangan fiskal antardaerah. Sebagai ilustrasi, berikut
adalah proporsi dan bobot untuk perhitungan DAU 2016:
Tabel 5. Bobot Perhitungan Variabel DAU Tahun 2016

(Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015)

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|9
b. Dana Transfer Khusus

Adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kegiatan tertentu yang menjadi urusan daerah, baik
kegiatan yang bersifat fisik maupun nonfisik. Dana Transfer Khusus lebih bersifat
specific grant yang penggunaannya diarahkan untuk mendanai kegiatan tertentu
yang menjadi kebutuhan daerah dan prioritas nasional, dan/atau yang
merupakan amanat dari peraturan perundangundangan. Dana Transfer Khusus
untuk tahun 2016 direncanakan sebesar Rp 215.256,2 Miliar. Dana Transfer
Khusus terbagi atas:

a. Dana Alokasi Khusus Fisik

Salah satu perubahan mendasar dari DAK adalah adanya DAK Fisik yang
jenis dan ruang lingkupnya difokuskan untuk mendanai beberapa
program/kegiatan yang menjadi kebutuhan daerah dan merupakan prioritas
nasional yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Program/kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung prioritas
nasional tersebut, disesuaikan dengan usulan daerah dengan mengacu pada
pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Secara
keseluruhan DAK Fisik dalam RAPBN tahun 2016 direncanakan sebesar Rp
91.778,5 Miliar yang terbagi atas:

 DAK Reguler: Rp 57.566,1 Miliar kepada provinsi/kabupaten/kota


 DAK Infrastruktur Publik Daerah: Rp 31.391,7 Miliar kepada
kabupaten/kota
 DAK Afirrmasi: Rp 2.820,7 Miliar kepada daerah tertinggal, perbatasan
dengan negara lain, dan kepulauan.

Agar alokasi DAK Fisik sesuai dengan kebutuhan daerah dan prioritas
nasional, maka pengalokasiannya dilakukan dengan mekanisme bottom-up,
yakni daerah menyampaikan usulan (proposal based) sebagai dasar untuk
penentuan alokasi. Hal ini berbeda dengan pengalokasiaan DAK pada tahun-
tahun sebelumnya yang lebih banyak bersifat top-down. kewilayahan, dan
kriteria teknis yang terkait dengan data kebutuhan teknis daerah.
Adapunmekanisme pengalokasian DAK Fisik dilakukan melalui 4 tahapan,
sebagai berikut:

1. Tahap penyusunan usulan DAK Fisik

2. Tahap penyampaian usulan DAK Fisik

3. Tahap verifi kasi dan penilaian usulan DAK Fisik

4. Tahap penghitungan alokasi DAK Fisik

Terdapat 3 jenis DAK Fisik yang mekanisme pengalokasiannya melalui


proposal based, yaitu:

a. DAK Reguler

Salah satu aspek yang dilakukan pada tahun 2016 dalam rangka
penguatan DAK adalah melalui penyederhanaan bidang DAK, dari
sebelumnya 14 bidang pada tahun 2015 menjadi 10 bidang pada tahun
2016. Hal ini dimaksudkan agar DAK bisa lebih fokus untuk mendanai
kegiatan bidang tertentu, sehingga kegiatannya tuntas dalam 1 tahun

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 10
anggaran, dan dapat menghasilkan output yang langsung dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Penetapan alokasi DAK reguler
tersebut disesuaikan dengan sasaran prioritas dari 3 dimensi
pembangunan yang dituangkan dalam RKP, yaitu:

Tabel 6. Dimensi dan Bidang Pembangunan Pada DAK Reguler 2016

Dimensi Prioritas No. Bidang

1 Pendidikan
Dimensi
2 Kesehatan dan Keluarga Berencana
Pembangunan
Manusia 3 Bidang Infrastruktur Perumahan,
Pemukiman, Air Minum dan Sanitasi

4 Kedaulatan Pangan (termasuk pertanian


dan irigasi)
Dimensi Sektor 5 Energi Skala Kecil
Unggulan
6 Kelautan dan Perikanan

7 Lingkungan Hidup dan Kehutanan

8 Transportasi (termasuk jalan dan moda


transportasi lainnya)
Dimensi Pemerataan
9 Sarana Perdagangan, Industri Kecil dan
dan Kewilayahan
Menengah, dan Pariwisata

10 Prasarana Pemerintahan Daerah

(Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015)

b. DAK Infrastruktur Publik Daerah

DAK Infrastruktur Publik Daerah dialokasikan kepada kabupaten/kota


untuk membantu mempercepat penyediaan infrastruktur publik secara
memadai agar dapat mendukung konektivitas transportasi, perbaikan
pemukiman, peningkatan produksi pertanian, serta pengembangan
sektor kelautan dan perikanan. Daerah diberikan diskresi untuk
menentukan bidang infrastuktur tertentu yang akan diprioritaskan untuk
didanai dari DAK Infrastruktur Publik Daerah (yang telah direncanakan
dalan RKPD) sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing.

Bidang infrastruktur yang perlu didanai daerah dari DAK Infrastruktur


Publik Daerah, antara lain:

 Jalan/jembatan
 Jaringan irigasi
 Infrastruktur perumahan pemukiman
 Air minum dan sanitasi
 Infrastuktur perhubungan
 Infrastruktur kelautan dan perikanan

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 11
c. DAK Afirmasi
DAK Afirrmasi merupakan tambahan DAK yang dialokasikan
khusus kepada daerah yang termasuk dalam kategori daerah
tertinggal, perbatasan dengan negara lain, dan kepulauan. Jenis
infrastruktur yang didanai meliputi:
 Infrastruktur air minum dan sanitasi pada Bidang
Infrastruktur Perumahan, Permukiman, Air Minum dan
Sanitasi
 Infrastruktur irigasi pada Bidang Kedaulatan Pangan
 Infrastruktur jalan dan transportasi perdesaan pada Bidang
Transportasi.

b. Dana Alokasi Khusus Nonfisik


Merupakan perubahan nomenklatur dari Dana Transfer Lainnya pada
postur Transfer ke Daerah tahun 2015, yaitu dana yang dialokasikan
untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
DAK Nonfisik dalam tahun 2016 direncanakan sebesar Rp 123.477,7
Miliar. Peruntukan DAK Nonfisik tahun 2016 terdiri atas:
a. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Landasan hukumnya adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan UU No.9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
b. Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan
Anak Usia Dini (BOP PAUD)
Mekanisme penyaluran BOP PAUD sebagaimana halnya
mekanisme penyaluran dana BOS, dilakukan melalui
pemindahbukuan dana dari RKUN ke RKUD provinsi. Dana BOP
PAUD yang telah diterima di RKUD provinsi, selanjutnya
disalurkan ke lembaga penyelenggara PAUD melalui mekanisme
hibah.
c. Dana Tunjangan Profesi Guru PNS Daerah
Landasan hukumnya adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No.14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen.
d. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNS Daerah
Landasan hukumnya adalah PP No.52 Tahun 2009 tentang
Tambahan Penghasilan bagi Guru PNS.

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 12
e. Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2)
Adapun daerah percontohan pelaksanaan P2D2 meliputi provinsi,
kabupaten, dan kota di 14 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jambi,
Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara,
Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur.
f. Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Bantuan
Operasional Keluarga Berencana (BOKB)
Landasan hukumnya adalah UU No.9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
g. Dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil dan
Menengah, dan Ketenagakerjaan (PK2, UKM, dan Naker)

2. Dana Insentif Daerah


Pengalokasian Dana Insentif Daerah (DID) dimaksudkan untuk memberikan
penghargaan (reward) kepada daerah yang mempunyai kinerja baik dalam
upaya pengelolaan keuangan dan kesehatan fiskal daerah, pelayanan dasar
pada masyarakat, peningkatan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat. Tujuannya adalah untuk mendorong daerah agar berupaya
meningkatkan:
 Kinerja pengelolaan keuangan dan kesehatan fiskal daerah yang
ditunjukkan dari perolehan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap Laporan Keuangan Pemda (LKPD), dan penetapan APBD
tepat waktu;
 Kinerja pelayanan dasar kepada masyarakat, khususnya pelayanan
dasar bidang pendidikan dan kesehatan; dan
 Kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

Untuk mendukung efektivitas DID dalam meningkatkan kinerja pengelolaan


keuangan dan kesehatan fiskal daerah, kinerja pelayanan dasar, serta kinerja
ekonomi dan kesejahteraan tersebut, dalam tahun 2016 dilakukan reformulasi
kebijakan pengalokasian DID melalui tiga
perubahan, yaitu:
a. Melakukan perubahan kriteria penilaian kinerja daerah, baik
berdasarkan kriteria utama, maupun kriteria kinerja.
b. Mengubah kriteria dan menaikkan besaran alokasi minimum bagi
daerah yakni menjadi Rp 5 Miliar yang diberikan hanya bagi daerah
yang memperoleh opini WTP dari BPK dan menetapkan Perda APBD
tepat waktu.
c. Mengubah ketentuan penggunaan DID. Penggunaan DID tidak lagi
terikat hanya untuk mendanai fungsi pendidikan, namun juga dapat

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 13
digunakan untuk mendanai kegiatan lain dalam rangka melaksanakan
urusan yang menjadi kewenangan daerah.

Berdasarkan perubahan/reformulasi DID tersebut, maka dalam RAPBN tahun


2016, DID direncanakan sebesar Rp5.000,0 miliar atau meningkat 200,4%
dari pagunya dalam APBNP tahun 2015.

3. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta


Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari Pendapatan
Negara yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus
suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam UU No.35 Tahun 2008 tentang
Penetapan PP Pengganti UU No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU
No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi
Undang-Undang, dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga diberikan
Dana Tambahan Infrastruktur. Untuk Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh
ditujukan untuk mendanai pembangunan, terutama pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Dana Keistimewaan DIY adalah dana yang bersumber dari pendapatan
negara yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam UU No.13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kewenangan keistimewaan yang dimaksud adalah wewenang tambahan
tertentu yang dimiliki oleh DIY, selain wewenang yang ditentukan dalam UU
No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua UU No.23 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, meliputi:
 Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang
Gubernur dan Wakil Gubernur;
 Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
 Kebudayaan;
 Pertanahan; dan
 Tata ruang.

Untuk melaksanakan lima kewenangan tersebut, Pemerintah Provinsi DIY


dapat mengajukan usulan kebutuhan dana untuk program/kegiatan kepada
Kementerian Keuangan, Bappenas, dan kementerian teknis terkait.
Sebagaimana penyaluran Dana Keistimewaan DIY pada tahun 2015, dalam
RAPBN tahun 2016 direncanakan dilakukan dalam 3 tahap, yakni:
dengan rincian sebagai berikut:
a. Tahap I sebesar 25% dari pagu Dana Keistimewaan DIY
b. Tahap II sebesar 55% dari pagu Dana Keistimewaan DIY setelah
Laporan Pencapaian Kinerja tahap I mencapai minimal 80%

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 14
c. Tahap III sebesar 20% dari pagu Dana Keistimewaan DIY setelah
Laporan Pencapaian Kinerja tahap I dan tahap II mencapai minimal
80%
Selain melalui Transfer ke Daerah, kebijakan desentralisasi fiskal juga meliputi
Dana Desa. Dana Desa merupakan amanat UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dana Desa berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.2 Tahun
2015 adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukan bagi Desa
yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Desa yang mencakup pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dana Desa ini dimaksudkan agar desa mempunyai sumber pendapatan yang
memadai untuk mendanai kewenangannya, terutama kewenangan berdasarkan
hak asal usul, dan kewenangan lokal berskala desa. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PP No. 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, prioritas penggunaan Dana Desa diarahkan untuk pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat. Besaran anggaran Dana Desa yang bersumber dari
APBN ditentukan sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer ke Daerah (on top)
secara bertahap. Anggaran Dana Desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan
dialokasikan dengan memerhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Untuk memenuhi ketetapan
10% tersebut, maka berdasarkan alokasi Dana Desa tahun 2015-2019 dalam PP
No.22 Tahun 2015, untuk tahun 2015 alokasi Dana Desa ditetapkan sebesar Rp
20.766,2 Miliar, atau 3.23% dari Transfer ke Daerah. Lalu untuk tahun 2016
direncanakan berdasarkan RAPBN sebesar Rp 46.982,1 Miliar atau 6.4% dari
dan di luar Transfer ke Daerah. Sehingga diharapkan pada tahun 2017 besaran
Dana Desa bisa mencapai 10% dari Transfer ke Daerah.

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 15
REFERENSI :
Bank Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Buku Panduan Guru
Muatan Kebanksentralan Ekonomi SMA/MA. Bank Indonesia. Jakarta.
Haryanto, Joko Tri. 2015. Desentralisasi Fiskal Seutuhnya.
http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/ desentralisasi-fiskal-seutuhnya. 21 Oktober
2016 (00:01).
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2015. Buku II Nota Keuangan Beserta
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016
Repubublik Indonesia. Kementerian Keuangan RI. Jakarta.
Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No.60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Undang-Undang Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Undang Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Undang-Undang Republik Indonesia No.35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta
Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 2014 tentang Desa
Undang-Undang Republik Indonesia No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 16
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 6:
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG
LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT

INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 17
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 18
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 19
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 20
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 21
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 22
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 23
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 24
INSTRUMEN FISKAL UNTUK MENDUKUNG LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 25
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 7
ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT & OUTPUT ANALYSIS

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 7
ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT-OUTPUT ANALYSIS

DAFTAR ISI

Daftar Isi ..................................................................................................................ii


I Metode Analisis Kuantitatif : Input - Output ...........................................................1
II Tahapan Penggunaan Analisis Input-Output .........................................................2
III Penggunaan Analisis Input-Output ........................................................................8
Bahan Tayang ..........................................................................................................9

ii
I. METODE ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT
Merencanakan suatu pengembangan wilayah tidak lagi dilakukan pendekan
sektoral, melainkan sudah semakin menuntut tinjauan sistem sektoral. Tinjuan
multi sektoral dalam suatu perekonomian akan memperjelas hubungan saling
mempengaruhi antara satu sektor ekonomi dengan sektor ekonomi lainnya.
Teknik analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu pilihan metode yang
dapat digunakan dalam melakukan tinjauan multi sektoral. Metode Input-Output
(I-O) merupakan metode yang biasa digunakan dalam perencanaan ekonomi
nasional maupun perencanaan ekononomi wilayah.
Analisis Input – Output (I-O) adalah ide perhitungan keterkaitan antar sektor yang
dipelopori oleh Francois Quesnay (1758) kemudian diperkenalkan oleh Wassily
Leontief (1966) dan dikembangkan oleh Chenery dan Watabe (1958), Hirschman
(1958). Manfaat dari analisis Input – Output (I-O) antara lain menyajikan
gambaan rinci mengenai struktur ekonomi pada suatu kurun tertentu,
memberikan gambaran lengkap mengenai aliran barang, jasa, dan input antar
sektor, alat peramal mengenai pengaruh suatu perubahan situasi/kebijakan
ekonomi.
Kesulitan yang banyak dihadapi dalam pengisian Tabel I – O adalah kesulitan
data. Apabila data statistik dapat dipercaya dan lengkap maka pendekatan ini
dapat dilakukan. Hal tersebut biasanya disebut dengan double approach.
Kesulitan lain yang cukup penting ialah banyak hal yang harus diteliti dan
dibedakan antara pengeluaran dan pembayaran pada perhitungan umum dan
perhitungan modal. Persoalan lainnya adalah penggunaan nilai ditinjau dari pihak
produsen atau konsumen. Misalnya, memasukkan suatu pasal (items) kedalam
impor atau ekspor, memilih penentuan harga luar negeri atau dalam negeri untuk
menilai impor dan ekspor, mencocokkan baris dan kolom, dan lainnya.
Asumsi Dasar Analisis Input-Output yaitu :
- Homogenitas
Setiap sektor menghasilkan suatu output tunggal dengan susunan input
tunggal (tertentu), serta tidak ada substitusi antar output dari berbagai sektor
yang ada.
- Proporsionalitas
Jumlah dari tiap jenis input yang dipakai oleh suatu sektor akan berubah
sebanding dengan berubahnya output total yang dihasilkan oleh sektor
tersebut.
- Aditivitas
Efek total dari pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan oleh
masingmasing sektor secara terpisah.
Sistem Input – Output (I-O) seperti model ekonomi umumnya disusun
berdasarkan asumsi tentang perilaku ekonomi dan pendefinisian variabel yang
digunakan dalam analisis. Hal itu dimulai dari dasar-dasar konsepsi sistem
perhitungan Input – Output (I-O). Sistem perhitungan tersebut memerlukan

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|1
penyederhanaan kerangka untuk pengukuran aliran input – output dari berbagai
sektor kegiatan ekonomi.

II. TAHAPAN PENGGUNAAN ANALISIS INPUT-OUTPUT


Tabel I – O adalah uraian dalam bentuk matriks baris dan kolom yang
menggambarkan transaksi barang – barang dan jasa serta keterkaitan antar
sektor dalam suatu wilayah tertentu pada suatu periode waktu tertentu. Tabel
input-output disajikan dalam bentuk matriks, yaitu sistem penyajian data yang
menggunakan dua dimensi: baris dan kolom. Isian sepanjang baris tabel input-
output menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output sektor (i)
yang dihasilkan oleh suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh
sektor lainnya dan permintaan akhir. Sedangkan isian sepanjang kolom
menunjukkan struktur input sektor (j) yang digunakan oleh masing-masing sektor
dalam kegiatan produksinya (BPS, 2008). Berikut kerangka tabel input-output
dengan pembagian kuadranya:
Tabel 1 Input – Output (I – O)

ALOKASI OUTPUT PERMINTAAN


ANTARA
PERMINTAAN JUMLAH
SEKTOR
AKHIR OUTPUT
PRODUKSI

ALOKASI INPUT 1 2 … N

INPUT SEKTOR 2
KUADRAN I KUADRAN II
ANTARA PRODUKSI …

INPUT PRIMER KUADRAN III


KUADRAN IV
TOTAL INPUT

Sumber: BPS, 2012

Menurut Tarigan (2005) setiap kuadran memiliki penjelasannya masing – masing


yaitu :
 Kuadran I terdiri dari transaksi antar sektor yang merupakan arus
barang/jasa yang dihasilkan suatu sektor (output) yang digunakan oleh sektor
lain, termasuk sektor itu sendiri, sebagai input. Matrik yang ada pada kuadran
I merupakan sistem produksi dari setiap sektor dalam perekonomain
 Kuadran II adalah permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran rumah
tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok
(inventori) dan ekspor. Isian sepanjang baris pada kuadran ini menunjukan

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|2
komposisi permintaan akhir terhadap suatu sektor produksi. Sedangkan isian
sepanjang kolom menunjukan distribusi masing-masing komponen
permintaan akhir dan penyediaan menurut sektor
 Kuadran III berisikan input primer yang merupakan semua daya dan dana
yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk tetapi di luar input antara.
Pada kuadran ini berisikan biaya yang ditimbulkan akibat dari pemakaian
faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi.
 Kuadran IV menunjukan transaksi langsung antara input primer yang
didistribusikan secara langsung ke dalam permintaan akhir. Kuadran ini
sering diabaikan karena tidak dibutuhkan dalam analisis input-output.
Alokasi sektor pada masing-masing output, jika disusun dalam persamaan
aljabar dapat dituliskan sebagai berikut:

x11 + x12 + … … + x1n + F1 = X1


x21 + x22 + … … + x2n + F2 = X2
: : : :
xn1 + xn2 + … … + xnn + Fn = Xn
………………………………………………………………………… ( 1 )
Atau dalam persamaan umum dapat dituliskan sebagai berikut :

∑ ij + Fi = Xi untuk I = 1, 2, 3, …, n


……………………………………………………………. ( 2 )
Dimana:
Xij = output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
Fi = Permintaan akhir terhadap sektor i
Xi = Total output sektor i
Jika angka dibaca menurut kolom, khususnya pada transaksi antara, maka
angka pada kolom (sektor) tertentu menunjukan berbagai input yang diperlukan
dalam proses produksi pada sektor tersebut. Sehingga bentuk aljabarnya
sebagai berikut:

X11 + X21 + … … + Xn1 + V1 = X1


X11 + X22 + … … + Xn2 + V2 = X2
: : : :
X1n + X2n + … … + Xnn + Vn = Xn
…………………………………………………………………………. ( 3 )

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|3
Atau dalam bentuk persamaan umum dapat dituliskan sebagai berikut:

∑ ij + Vj = Xj untuk j = 1, 2, 3, …, n


………………………………………………………….… ( 4 )

Dimana

Vj = input primer dari sektor j


Xj = total input sektor j

Persamaan diatas merupakan persamaan dasar yang digunakan dalam analisis


dengan model input-output.
Koefisien input atau koefisien teknologi merupakan perbandingan antara jumlah
output sektor I yang digunakan dalam sektor j ( Xij ) dengan input total sektor j (
Xj). Koefisien ini dapat diterjemahkan sebagai jumlah input dari sektor I yang
dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output sektor j. Berikut sistematika yang
dapat dituliskan :

Aij =

…………………………………………………………………………………………
……………….…… ( 5 )
Atau

Xij =
ijXj
…………………………………………………………………………………………….………………………………
…………………………… ( 6)
Aij = Koefisien Input
Xij = perbandingan antara jumlah output sektor i yang digunakan dalam sektor j
Xj = input total sektor j
Maka dengan memasukkan persamaan 6 dan persamaan 2 diperoleh
persamaan sebagai berikut :

∑ ijXj + Fi = Xi
…………………………………………………………………………………………
……..… ( 7 )

Jika dalam suatu perekonomian terdapat n sektor, maka koefisien input akan ada
sebanyak n2 buah. Seluruh koefisien tersebut dapat diyatakan dalam bentuk
matriks, yang lazim disebut matriks A atau matriks koefisien Input, dapat dilihat
sebagai berikut :

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|4
11 12 1n
A = 21 22 2n
: : :
n1 n2 nn
Sesuai dengan koefisien input dalam bentuk matriks, maka persamaan 7 dapat
ditulis diubah menjadi :

AX + F = X
…………………………………………………………………………………………
……………………..(8)

X – AX = F
…………………………………………………………………………………………
……………………..(9)

(I – A)X = F
…………………………………………………………………………………………
…………………… (10)

X = (I – A)-
1F……………………..………..…………………………………………………………

………………… (11)

Dimana

I = matriks koefisien input berukuran n × n

F = matrik permintaan akhir berukuran n × l

(I – A)-1 = matrik kebalikan Leontief

Dari persamaan 11 terlihat bahwa output mempunyai hubungan fungsional


terhadap permintaan akhir, dengan (I – A)-1 sebagai koefisien arahanya dan
menjadi kerangka dasar dalam berbagai pengembangan analisis model input-
output.
Analisis keterkaitan antar sektor terbagi menjadi kaitan ke belakang (backward
linkage) dan kaitan ke depan (forward likage). Kedua keterkaitan merupakan alat
analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan suatu sektor
terhadap sektor-sektor yang lain dalam perekonomian. Kaitan ke belakang
merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan suatu sektor
terhadap sektor-sektor lain yang menyumbang input kepadanya. Kaitan ke depan
merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan antara suatu sektor
yang menghasilkan output, untuk digunakan sebagai input bagi sektor-sektor lain
(Kuncoro, Mudrajat; 2001).

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|5
Menurut Nazara (2005), keterkaitan kedepan (forward likage) yang dilambang
dengan F(d)i dirumuskan dengan:

F(d)i = ∑ ij
…………………………………………………………………………………………
………. (12)

Dimana

ij = koefisien input
Keterkaitan ke belakang (backward linkage) dilambangkan dengan B(d)j
dirumuskan dengan :
B(d)j = ∑ ij
…………………………………………………………………………………………
………. (13)

ij = koefisien input

Analisis angka pengganda (Multiplier Analysis) digunakan untuk melihat apa


yang terjadi terhadap pembentukan output, pendapatan rumah tangga dan
lapangan pekerjaan apabila terjadi perubahan pada variabel permintaan akhir
dalam perekonomian. Angka pengganda didefinisikan sebagai koefisien yang
menyatakan kelipatan dari dampak perubahan permintaan akhir suatu sektor
sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor perekonomian.
Pengganda dipergunakan untuk menentukan tingkat ketergantungan dari
beberapa sektor ekonomi. Dalam analisis input – output terdapat tiga macam
pengganda yaitu nagka pengganda output, angka pengganda pendapatan rumah
tangga, dan angka lapangan pekerjaan.
Analisis pengganda output (Output Multiplier) merupakan nilai total dari output
atau produksi yang dihasilkan oleh sektor-sektor dalam perekonomian sebagai
akibat dari adanya perubahan pada permintaan akhir. Peningkatan permintaan
akhir pada suatu sektor tidak hanya akan meningkatkan output dari sektor
tersebut saja, tetapi juga akan meningkatkan output dari sektor-sektor lainnya,
sehingga akan menciptakan output baru dalam perekonomian. Menurut Nazara
(2005) angka pengganda output suatu sektor di dalam perekonomian
didefinisikan sebagai :

Oj = ∑ ij
…………………………………………………………………………………………
…….. (14)
Dimana
Oj = pengganda output sektor j

ij = elemen matriks kebalikan Leontief (I – A)-1

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|6
A. Analisis Dampak Permintaan Akhir terhadap Pembentukan Output
Pada tabel input-output, output memiliki hubungan timbal balik dengan
permintaan akhir. Hal ini berarti bahwa jumlah output yang diproduksi
tergantung dari jumlah permintaan akhir. Porsi output yang terbentuk sebagai
dampak dari masing – masing komponen atau komposisi permintaan akhir
dan memperkirakan output yang terbentuk akibat dampak permintaan akhir
yang diproyeksikan dapat dihitung dengan rumus (BPS, 2004) :

X = (I – A)-1 F
…………………………………………………………………………………
…….……….. ( 15 )
Dimana

X = Output yang dipengaruhi oleh masing-masing komponen


permintaan akhir

F = Permintaan akhir

(I – A)-1 = Matriks kebalikan Leontief

B. Analisis Struktur Permintaan


Struktur permintaan barangdan jasa pada analisis input – output dibedakan
atas permintaan antara dan permintaan akhir. Permintaan akhir merupakan
permintaan yang langsung habis digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen,
sedangkan permintaan antara dimana permintaan terhadap barang dan jasa
yang digunakan sebagai bahan baku berproduksi. Permintaan antara pada
table input – output ditunjukkan oleh isian sepanjang garis pada transaksi
antara yang memperlihatkan alokasi output suatu sektor dalam memenuhi
kebutuhan input sektor lain untuk keperluan produksi.

C. Analisis Struktur Output


Output dalam pengertian Tabel Input – Ouput adalah nilai dari produksi
barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh sektor-sektor produksi di
wilayah dalam negeri tanpa membedakan asal usul pelaku produksi.

D. Analisis Struktur Input


Tabel Input-Output input terbagi atas dua yaitu input antara dan input primer.
Input antara adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu sektor
ekonomi yang kemudian dimanfaatkan oleh sektor lain maupun oleh sektor
itu sendiri dalam proses kegiatan produksi. Barang atau jasa pada input
antara ini biasanya habis sekali pakai, seperti bahan baku, bahan penolong,

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|7
bahan bakar dan sepanjang kolom yang menunjukkan input barang dan jasa
yang digunakan dalam proses produksi suatu sektor.

III. PENGGUNAAN ANALISIS INPUT-OUTPUT


Metode I-O merupakan salah satu alat proyeksi berbagai kegiatan ekonomi pada
umumnya. Penggunaan I-O sebagai alat proyeksi telah banyak dilaukan di
negara-negara maju. Penggunaannya yang lebih efektif adalah hubungan
dengan penyelidikan pengaruh pengembangan satu kegiatan tertentu terhadap
kegiatan lainnya yang merupakan sektor di dalam kegiatan perekonomian
secara keseluruhan. Dalam menyelidiki pengaruh tersebut anggapan yang paling
penting ialah bahwa daerah yang akan dipelajari dianggap sebagai daerah
tertutup.Dengan demikian, berarti bahwa hubungan antar daerah disusun ke
dalam dua sektor utama, yaitu ekspor dan impor. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan untuk menyelidiki pengaruh tersebut terhadap suatu daerah tunggal.
Tabel input-output regional yang telah dikenal selama ini ada dua jenis. Jenis
yang pertama adalah tabel input-output satu region dan yang kedua adalah antar
region. Tabel input-output satu region adalah suatu tabel yang menggambarkan
arus transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi dalam satu daerah pada
periode tertentu. Sedangkan tabel input-output antara region menggambarkan
arus transaksi antar sektor antar daerah (BPS, 2008).
Tabel input-output satu region prinsipnya sama dengan tabel input-output
nasional. Perbedaan tabel input-output nasional dengan tabel input-output
regional adalah pada konsep wilayah. Pada tabel input-output nasional wilayah
cakupanya meliputi negara (nasional) sedangkan pada tabel input-output
regional yang dimaksud dengan wilayah adalah provinsi (daerah).
Analisis input – output ialah perhitungan memecah sektor perdagangan menjadi
sejumlah sektor industri tunggal. Hubungan antar sektor ini terlihat sebagai
matriks transaksi antar industri. Contohnya Peningkatan permintaan sutau
macam barang (komoditas) tidak terlihat akan mempengaruhi sektor yang lain,
selama konsumsi keseluruhan masih tetap. Tetapi tidak demikian dari Model
input – output. Penekanan atau titik perhatian model Input-Output yaitu menekan
pada transaksi antar industri yang berbeda dibalik perubahan permintaan akhir.

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|8
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 7:
ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT-OUTPUT ANALYSIS

ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|9
ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 10
ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 11
ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 12
ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 13
ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 14
ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 15
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 8
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT & OUTPUT ANALYSIS

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 8
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT-OUTPUT ANALYSIS

DAFTAR ISI

Daftar Isi ........................................................................................................................... ii


Daftar Tabel ...................................................................................................................... ii
I. Studi Kasus Pelaksanaan Analisis Input-Output Dalam Pengembangan Ekonomi
Lokal ........................................................................................................................ 1
II. Latihan Penggunaan Analisis Input-Output .............................................................. 6
Referensi .................................................................................................................... 8
Bahan Tayang ................................................................................................................. 9

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel I – O : Transaksi atas Dasar Harga Produsen ........................................... 1
Tabel 2. Matrik Koefisien Input Domestik (Matrik A) .......................................................... 2
Tabel 3. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan..................................... 2
Tabel 4.Dampak Permintaan Akhir Terhadap Output; Matriks (I-A)-1F .............................. 3
Tabel 5. Dampak Permintaan Akhir Terhadap Nilai Tambah Bruto ................................... 4
Tabel 6. Dampak Permintaan Akhir Terhadap Kebutuhan Impor ...................................... 4
Tabel 7.Tingkat Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDRB .......................................... 6
Tabel 8. Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Jawa Tengah Tahun 2004-2008 ...................... 6
Tabel 9. Struktur Ekonomi Jawa Tengah Tahun 2004-2008 Atas Dasar Harga Berlaku.... 7

ii
I. STUDI KASUS PENGGUNAAN ANALISIS INPUT-OUTPUT DALAM
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
Transaksi Domestik atas Dasar Harga Produsen yang dibagi atas tiga sektor.
Angka-angka dalam tabel dalam satuan Trilyun Rupiah.
Tabel 1. Tabel I – O : Transaksi atas Dasar Harga Produsen

Permintaan Antara Jumlah


Sektor Permintaan
Primer Sekunder Tersier
Antara

Primer 2 38 2 42

Sekunder 5 36 14 55

Tersier 3 18 16 37

Jumlah Input 10 92 32 134


Antara

Impor 1 22 4 27

Input Primer 68 56 84

Total Input 79 170 120

Permintaan Antara Jumlah


Total
305 Permintaa
Sektor 301 302 303 304 Outpu
+306 n
t
(C) (G) (K) (Stk) (Xb+Xj) Akhir

Primer 19 0 0 3 15 37 79

Sekunder 46 2 40 -1 28 55 110

Tersier 51 16 6 0 10 83 120

Jumlah Input 235 369


Antara

Impor 26 53

Tabel di atas menunjukkan transaksi domestik atas dasar harga produsen di


sektor pertanian, perternakan dan perkebunan, pada permintaan antara dan
permintaan akhir dimana C = konsumsi rumah tangga, G = pengeluaran
pemerintah, K = modal tetap, Stk = perubahan stok, serta Xb dan Xj = ekspor
barang dan ekspor jasa. Berikut merupakan Perhitungan Matrik Pengganda

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|1
Tabel 2. Matrik Koefisien Input Domestik (Matrik A)

Sektor Primer Sekunder Tersier

Primer 0,0253 0,2235 0,0167

Sekunder 0,0633 0,2118 0,1167

Tersier 0,0380 0,1059 0,1333

Matriks koefisien input menggambarkan komposisi input antara yang digunakan


masing-masing sektor dalam berproduksi. Dimana pada kolom 1, untuk
menghasilkan output, sektor primer butuh input 2,53 persen dari sektornya
sendiri, butuh input 6,33 persen dari sektor sekunder dan butuh input 3,80 persen
dari sektor tersier. Dengan kata lain juga, untuk memproduksi 100 satuan output,
maka sektor primer butuh input sebanyak 2,53 satuan dari sektornya sendiri,
6,33 satuan dari sektor sekunder dan 3,80 satuan dari sektor tersier.

Tabel 3. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan

Indeks Daya Indeks Derajat


Sektor
Penyebaran Kepekaan

Primer 0,81 0,96

Sekunder 1,22 1,08

Tersier 0,96 0,96

Dari tabel di atas indeks daya penyebaran dapat dijelaskan sebagai berikut :
αj = 1 daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh
sektor ekonomi.
αj > 1 daya penyebaran sektor j diatas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor
ekonomi.
αj < 1 daya penyebaran sektor j dibawah rata-rata daya penyebaran seluruh
sektor ekonomi.
Dari hasil di atas, bisa dijelaskan bahwa indeks daya penyebaran (dampak
keterkaitan kebelakang) sektor sekunder lebih besar dari satu dengan nilai 1,22.
Hal ini menjelaskan bahwa daya penyebaran sektor sekunder di atas rata-rata
daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Sedangkan sektor primer dan tersier
lebih kecil dari satu dengan nilai 0,81 dan 0,91. Hal ini menujukkan bahwa kedua
sektor tersebut indeks daya penyebarannya dibawah rata-rata daya penyebaran
seluruh sektor ekonomi.
Sedangkan indeks derajat kepekaan dapat dijelaskan sebagai berikut :
βi = 1 derajat kepekaan sektor j sama dengan rata-rata derajat kepekaan seluruh
sektor ekonomi.

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|2
βi > 1 derajat kepekaan sektor j diatas rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor
ekonomi.
βi < 1 derajat kepekaan sektor j dibawah rata-rata derajat kepekaan seluruh
sektor ekonomi.
Dari hasil di atas, bisa dijelaskan bahwa indeks derajat kepekaan sektor
sekunder lebih besar dari satu dengan nilai 1,08. Hal ini menjelaskan bahwa
derajat kepekaan sektor sekunder di atas rata-rata derajat kepekaan seluruh
sektor ekonomi. Sedangkan sektor primer dan tersier lebih kecil dari satu dengan
nilai 0,96 dan 0,96. Hal ini menujukkan bahwa kedua sektor tersebut indeks
derajat kepekaannya dibawah rata-rata derajat kepekaaan seluruh sektor
ekonomi.

Analisis Dampak
Tabel 4.Dampak Permintaan Akhir Terhadap Output; Matriks (I-A)-1F

301 302 303 304


Sektor 305+306(Xb+XJ) Jumlah
(C) (G) (K) (Stk)

Primer 37,1 1,6 12,6 2,8 24,9 79,0

Sekunder 71,6 5,5 53,8 -1,0 40,1 170,0

Tersier 69,2 19,2 14,1 0,0 17,5 120,0

Jumlah 177,9 26,3 80,5 1,8 82,5 369,0

Pembacaan menurut baris menunjukkan pengaruh masing-masing komponen


permintaan akhir terhadap pembentukan output suatu sektor. Dimana pada baris
1 (sektor primer), dapat diinterpretasikan bahwa output sektor primer yang
terbentuk sebagai akibat dari konsumsi rumah tangga (301) sebesar 37,1;
konsumsi pemerintah (302) sebesar 1,6; pembentukan modal tetap (303)
sebesar 12,6; perubahan stok (304) sebesar 2,8; dan ekspor barang dan jasa
(305 + 306) sebesar 24,9. Dimana jumlah baris 1 merupakan total output sektor
primer. Dengan jumlah 79,0. Dari pembacaan menurut baris dapat kita ketahui
bahwa sektor sekunder mempuyai dampak permintaan akhir terhadap output
yang paling tinggi dengan total 170,0. Sedangkan sektor primer dan tersier hanya
79,0 dan 120,0.
Pembacaan menurut kolom menunjukkan pengaruh suatu komponen permintaan
akhir terhadap pembentukan output di masing-masing sektor. Dimana pada
kolom 1, konsumsi rumah tangga (301) mengakibatkan pembentukan output
sektor primer sebesar 37,1, output sektor sekunder sebesar 71,6 dan output
sektor tersier sebesar 69,2. Jumlah kolom 1 yang sebesar 177,9 menunjukkan
besarnya output seluruh sektor perekonomian yang terbentuk sebagai akibat dari
konsumsi rumah tangga. Dari pembacaan menurut kolom dapat diketahui bahwa
konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang paling tinggi dalam
mempengaruhi pembentukan output di masing-masing sektor dengan total 177,9.

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|3
Tabel 5. Dampak Permintaan Akhir Terhadap Nilai Tambah Bruto

301 302 303 304


Sektor 305+306(Xb+XJ) Jumlah
(C) (G) (K) (Stk)

Primer 31,9 1,4 10,8 2,4 21,4 68,0

Sekunder 23,6 1,8 17,7 -0,3 13,2 56,0

Tersier 48,5 13,4 9,8 0,0 12,3 84,0

Jumlah 104,0 16,6 38,4 2,1 46,9 208,0

Pembacaan menurut baris menunjukkan pengaruh masing-masing komponen


permintaan akhir terhadap penciptaan Nilai Tambah Bruto suatu sektor. Dimana
pada baris 1 (sektor primer), dapat diinterpretasikan bahwa Nilai Tambah Bruto
sektor primer yang terbentuk sebagai akibat dari konsumsi rumah tangga (301)
sebesar 31,9; konsumsi pemerintah (302) sebesar 1,4; pembentukan modal tetap
(303) sebesar 10,8; perubahan stok (304) sebesar 2,4; dan ekspor barang dan
jasa (305 + 306) sebesar 21,4. Dimana jumlah baris 1 merupakan total Nilai
Tambah Bruto sektor primer. Dari pembacaan menurut baris dapat kita ketahui
bahwa sektor tersier mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penciptaan Nilai
Tambah Bruto dengan total 84,0 sedangkan sektor primer dan sekunder hanya
68,0 dan 56,0.
Pembacaan menurut kolom menunjukkan pengaruh suatu komponen permintaan
akhir terhadap penciptaan Nilai Tambah Bruto di masing-masing sektor. Dimana
pada kolom 1, konsumsi rumah tangga (301) mengakibatkan penciptaan Nilai
Tambah Bruto sektor primer sebesar 31,9, Nilai Tambah Bruto sektor sekunder
sebesar 23,6 dan Nilai Tambah Bruto sektor tersier sebesar 48,5. Jumlah kolom
1 yang sebesar 104,0 menunjukkan besarnya Nilai Tambah Bruto seluruh sektor
perekonomian yang terbentuk sebagai akibat dari konsumsi rumah tangga. Dari
pembacaan menurut kolom dapat diketahui bahwa konsumsi rumah tangga
merupakan komponen yang paling tinggi dalam mempengaruhi penciptaan nilai
tambah bruto di masing-masing sektor dengan total 104,0.
Tabel 6. Dampak Permintaan Akhir Terhadap Kebutuhan Impor

301 302 303 304


Sektor 305+306(Xb+XJ) Jumlah
(C) (G) (K) (Stk)

Primer 1,2632 0,0972 0,9501 - 0,7079 3,0000


0,0184

Sekunder 13,2023 0,9234 20,0939 2,9257 4,8547 42,0000

Tersier 5,5747 1,3525 0,5509 - 0,5281 8,0000


0,0062

Jumlah 20,0402 2,3730 21,5948 2,9011 6,0908 53,0000

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|4
Pembacaan menurut baris menunjukkan kebutuhan impor dari suatu sektor
sebagai dampak dari masing-masing komponen permintaan akhir. Dimana pada
baris 1, kebutuhan impor sektor primer akibat konsumsi rumah tangga (301)
adalah sebesar 1,26, akibat konsumsi pemerintah (302) sebesar 0,097, akibat
pembentukan modal (303) sebesar 0,95, perubahan stok (304) sebesar -0,0018;
dan ekspor barang dan jasa (305 + 306) sebesar 0,70. Dimana jumlah baris 1
merupakan total kebutuhan impor sektor primer. Dari pembacaan menurut baris
dapat kita ketahui bahwa sektor sekunder menunjukkan mempunyai kebutuhan
impor yang tinggi dengan total 42,0.
Pembacaan menurut kolom menunjukkan kebutuhan impor dari masing-masing
sektor sebagai dampak dari suatu komponen permintaan akhir. Dimana pada
kolom 1, kebutuhan impor sebagai dampak dari konsumsi rumah tangga (301)
adalah sebesar 20,04 yang terdiri dari kebutuhan impor di sektor primer sebesar
1,26, di sektor sekunder sebesar 13,20 dan di sektor tersier sebesar 5,57. Dari
pembacaan menurut kolom dapat diketahui bahwa kesediaan akan modal yang
dibutuhkan dengan total 21,59.
Kesimpulannya yaitu dari perhitungan indeks daya penyebaran, sektor sekunder
mempunyai dampak keterkaitan kebelakang (backward linkage) dengan nilai
1,22 lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan semakin tinggi daya
penyebarannya maka akan membantu pertumbuhan sektor lainnya yaitu sektor
primer dan tersier. Sedangkan dari indeks derajat kepekaan, sektor sekunder
mempunyai dampak keterkaitan kedepan (forward linkage) dengan nilai 1,08
lebih besar dari satu. Hal ini menjelaskan sektor sekunder mempunyai peran
penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sektor lainnya
yaitu, primer dan tersier.
Dari analisis dampak permintaan akhir terhadap output, sektor sekunder
menempati posisi pertama dengan nilai 170,0. Hal ini menunjukkan pertumbuhan
ekonomi didominasi oleh sektor sekunder dengan konsumsi rumah tangga yang
mempengaruhi pembentukan output dengan total 177,9. Maka dapat disimpulkan
pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi bukan oleh investasi atau
produksi dengan kata lain tumbuh karena faktor konsumtif bukan produktif.
Dari analisis dampak permintaan akhir terhadap nilai tambah bruto, sektor tersier
mempunyai nilai tambah bruto dengan nilai 84,0. Hal ini menunjukkan sektor
tersier mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan nilai tambah bruto
dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder (68,0 dan 56,0) dengan
konsumsi rumah tangga yang menyumbang nilai tambah bruto sebesar 104,0.
Sedangkan dari dampak permintaan akhir terhadap kebutuhan impor, sektor
sekunder yang sangat membutuhkan impor dengan nilai 42,0. Hal ini tidak
dipungkiri dengan kebutuhan akan modal dari asing maupun domestik sebesar
21,59 dan kebutuhan impor konsumsi rumah tangga sebesar 20,04.

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|5
II. LATIHAN SOAL
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti Negara yang
mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun
sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman
bahan makanan, subsektor holtikultura, subsektor perikanan, subsektor
peternakan, dan subsektor kehutanan. Pertanian merupakan salah satu sektor
yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena
mayoritas penduduk Indonesia bekerja sebagai petani. Namun produktivitas
pertanian masih jauh dari harapan. Salah satu faktor penyebab kurangnya
produktivitas pertanian adalah sumber daya manusia yang masih rendah dalam
mengolah lahan pertanian dan hasilnya. Mayoritas petani di Indonesia masih
menggunakan sistem manual dalam pengolahan lahan pertanian.

Tabel 7.Tingkat Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDRB


Menurut Propinsi di Pulau Jawa

No Propinsi Kontribusi Sektor Pertanian


(Persen)

1 DKI Jakarta 0,13

2 Jawa Barat 19,14

3 Jawa Tengah 29,45

4 Daerah Istimewa 26,79


Yogyakarta

5 Jawa Timur 24,4

JUMLAH 100

Sumber : Statistik Indonesia, 2007

Tabel 8. Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Jawa Tengah Tahun 2004-2008

Sektor 2004 2005 2006 2007 2008

1. Pertanian 5,33 4,61 3,60 2,78 5,09

2. Pertambangan dan 2,73 9,28 15,41 6,23 3,83


Penggalian

3. Industri Pengolahan 6,41 4,80 4,52 5,56 4,50

4. Listrik, Gas, dan Air Minum 8,65 10,78 6,49 6,72 4,76

5. Bangunan 7,84 6,88 6,10 7,21 6,54

6. Perdagangan, Hotel, dan 2,45 6,05 5,85 6,54 5,10


Restoran

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|6
7. Pengangkutan dan 4,67 7,34 6,63 8,07 7,52
Komunikasi

8. Keuangan, Persewaan dan 3,78 5,00 6,55 6,81 7,81


Jasa Perusahaan

9. Jasa-jasa 5,58 4,75 7,89 6,71 7,66

PDRB Total 5,13 5,35 5,33 5,59 5,46

Sumber : PDRB Jawa Tengah, 2008

Tabel 9. Struktur Ekonomi Jawa Tengah Tahun 2004-2008


Atas Dasar Harga Berlaku (persen)

Sektor 2004 2005 2006 2007 2008

1. Pertanian 19,90 19,11 20,34 20,43 19,60

2. Pertambangan dan 0,96 0,97 1,02 1,00 0,97


Penggalian

3. Industri Pengolahan 32,64 33,71 32,85 32,14 33,08

4. Listrik, Gas, dan Air 1,22 1,20 1,12 1,09 1,03


Minum

5. Bangunan 5,63 5,77 5,66 5,80 5,84

6. Perdagangan, Hotel, dan 20,09 19,92 19,63 19,93 19,73


Restoran

7. Pengangkutan dan 5,67 5,91 5,96 5,88 6,03


Komunikasi

8. Keuangan, Persewaan 3,73 3,56 3,40 3,46 3,48


dan Jasa Perusahaan

9. Jasa-jasa 10,16 9,85 10,02 10,27 10,25

PDRB Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : PDRB Jawa Tengah, 2008

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|7
REFERENSI :
Ode Mellyawanty, Wa, dkk. 2012. Analisis Input – Output (I – O). Universitas
Muhammadiyah. Yogyakarta
Sukanto, Dimas Gadang Tattaqun. 2011. ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN
TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (PENDEKATAN ANALISIS INPUT-
OUTPUT). Universitas Diponegoro. Semarang

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|8
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 8:
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT-OUTPUT ANALYSIS

PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS


|9
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 10
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 11
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 12
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 13
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF : INPUT-OUTPUT ANALYSIS
| 14
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 9
TEKNIK DAN ANALISIS PROYEKSI

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 9
PRAKTEK ANALISIS KUANTITATIF :
INPUT-OUTPUT ANALYSIS

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................... ii


I. Pengertian Metode Forecasting ........................................................................... 1
II. Peranan Metode Forcasting ................................................................................. 1
III. Jenis -Jenis Metode Forecasting .......................................................................... 2
IV. Metode Peramalan Kualitatif ................................................................................ 3
V. Metode Peramalan Kuantitatif .............................................................................. 3
Referensi ................................................................................................................... 9
Bahan Tayang ........................................................................................................... 10

ii
I. PENGERTIAN METODE FORECASTING
Secara umum pengertian peramalan adalah tafsiran. Namun dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu, maka peramalan bukan hanya sekedar
tafsiran. Ada beberapa definisi tentang peramalan, diantaranya:
A. Peramalan/ forecasting merupakan prediksi nilai-nilai sebuah variabel
berdasarkan kepada nilai yang diketahui dari variabel tersebut atau variabel
yang berhubungan. Meramal juga dapat didasarkan pada keahlian judgment,
yang pada gilirannya didasarkan pada data historis dan pengalaman
(Makridakis et al., 1988)
B. Peramalan atau forecasting diartikan sebagai penggunaan teknik-teknik
statistik dalam bentuk gambaran masa depan berdasarkan pengolahan
angka-angka historis (Elwood, 1996).
C. Peramalan adalah kegiatan memperkirakan tingkat permintaan produk yang
diharapkan untuk suatu produk atau beberapa produk dalam periode waktu
tertentu di masa yang akan datang (Biegel, 1999).
D. Organisasi selalu menentukan sasaran dan tujuan, berusaha menduga
faktor-faktor lingkungan, lalu memilih tindakan yang diharapkan akan
menghasilkan pencapaian sasaran dan tujuan tersebut. Kebutuhan akan
peramalan meningkat sejalan dengan usaha manajemen untuk mengurangi
ketergantungannya pada hal-hal yang belum pasti. Peramalan menjadi lebih
ilmiah sifatnya dalam menghadapi lingkungan manajemen. Karena setiap
organisasi berkaitan satu sama lain, baik buruknya ramalan dapat
mempengaruhi seluruh bagian organisasi. (Makridakis, 1988)

II. PERANAN FORECASTING


Beberapa bagian organisasi dimana peramalan kini memainkan peranan yang
penting (Makridakis, 1988) antara lain:

- Penjadwalan sumber daya yang tersedia penggunaan sumber daya yang


efisien memelukan penjadwalan produksi, tranportasi, kas, personalia dan
sebagainya.

- Penyediaan sumber daya tambahan Waktu tenggang (lead time) untuk


memperoleh bahan baku, menerima pekerja baru, atau membeli mesin dan
peralatan dapat berkisar antara beberapa hari sampai beberapa tahun.
Peramalan diperlukan untuk menentukan kebutuhan sumber daya di masa
mendatang.

- Penentuan sumber daya yang diinginkan Setiap organisasi harus


menentukan sumber daya yang ingin dimiliki dalam jangka panjang.
Keputusan semacam itu bergantung pada kesempatan pasar, faktor-faktor
lingkungan dan pengembangan internal dari sumber daya finansial,
manusia, produk dan teknologis. Semua penentuan ini memerlukan ramalan
yang baik dan manajer dapat menafsirkan perkiraan serta membuat
keputusan yang tepat

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|1
Tiga kegunaan peramalan antara lain

- Menentukan apa yang dibutuhkan untuk perluasan pabrik.


- Menentukan perencanaan lanjutan bagi produk-produk yang ada untuk
dikerjakan dengan fasilitas yang ada.
- Menentukan penjadwalan jangka pendek produk-produk yang ada untuk
dikerjakan berdasarkan peralatan yang ada.

III. JENIS – JENIS METODE FORCASTING


Situasi peramalan sangat beragam dalam horizon waktu peramalan, faktor yang
menentukan hasil sebenarnya, tipe pola dan berbagai aspek lainnya. Untuk
menghadapi penggunaan yang luas seperti itu, beberapa teknik telah
dikembangkan. Peramalan pada umumya dapat dibedakan dari berbagai segi
tergantung dalam cara melihatnya.
Peramalan pada umumya dapat dibedakan dari berbagai segi tergantung dalam
cara melihatnya. Jangka waktu peramalan dapat dikelompokan menjadi tiga
kategori (Heizer and Render, 1996), yaitu:
a. Peramalan jangka panjang
Peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan yang jangka
waktunya lebih dari satu setengah tahun atau tiga semester. Lebih tegasnya
peramalan jangka panjang ini berorientasi pada dasar atau perencanaan
b. Peramalan jangka menengah
peramalan untuk jangka waktu antara tiga bulan sampai tiga tahun
c. Peramalan jangka pendek,
Peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan yang dilakukan
kurang dari satu setengah tahun atau tiga semester.
Apabila dilihat dari sifat penyusunannya, maka peramalan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
a. Peramalan subjektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas perasaan atau
intuisi dari orang yang menyusunnya. Dalam hal ini pandangan atau
ketajaman pikiran orang yang menyusunnya sangat menentukan baik
tidaknya hasil peramalan.
b. Peramalan objektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data yang relevan
pada masa lalu dengan menggunakan teknik-teknik dan metode-metode
dalam penganalisisan data tersebut.
Peramalan dapat dibedakan dengan dua macam yaitu peramalan kualitatif dan
kuantitatif.
a. Peramalan Kualitatif
Peramalan kualitatif umumnya bersifat subjektif, dipengaruhi oleh intuisi,
emosi, pendidikan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu hasil
peramalan dari satu orang dengan orang lain dapat berbeda.
b. Peramalan Kuantitatif
Peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif pada masa lalu. Hasil
peramalan yang dibuat tergantung pada metode yang digunakan dalam
peramalan tersebut. Metode yang baik adalah metode yang memberikan
nilai-nilai perbedaan atau penyimpangan yang mungkin.

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|2
IV. METODE PERAMALAN KUALITATIF
Peramalan yang didasarkan atas data kualitatif masa lalu. Hasil peramalan yang
ada tergantung pada orang yang menyusunnya, karena peramalan tersebut
sangat ditentukan oleh pemikiran yang bersifat intuisi, judgement (pendapat) dan
pengetahuan serta pengalaman dari penyusunnya. Metode kualitatif dibagi
menjadi dua metode, yaitu metode eksploritatif dan metode normatif.

- Metode Eksploratif
Pada metode ini dimulai dengan masa lalu dan masa kini sebagai awal dan
bergerak ke arah masa depan secara heuristik, sering kali dengan melihat
semua kemungkinan yang ada.
- Metode Normatif
Pada metode ini dimulai dengan menetapkan sasaran tujuan yang akan
datang, kemudian bekerja mundur untuk melihat apakah hal ini dapat dicapai
berdasarkan kendala, sumber daya dan teknologi yang tersedia.

V. METODE PERAMALAN KUANTITATIF


Peramalan kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi
sebagai berikut (Makridakis, 1988):
- Informasi tentang keadaan masa lalu
- Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan dalam bentuk data numerik.
- Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus
berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Metode peramalan kuantitatif terbagi atas dua jenis model peramalan yang
utama, yaitu:
- Time Series
Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola
hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu,
yang merupakan deret waktu.
- Model Kausal
Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola
hubungan antara variabel lain yang mempengaruhinya, yang bukan waktu
yang disebut metode korelasi atau sebab akibat. Model kausal terdiri dari
metode regresi dan korelasi, metode ekonometri, metode input – output.
1. Time Series
Secara garis besar metode time series dibagi menjadi dua yaitu:
A. Metode Averanging
Dipakai untuk kondisi dimana setiap data pada waktu yang berbeda
mempunyai bobot yang sama sehingga fluktasi random data dapat direndam
dengan rataratanya, biasanya dipakai untuk peramalan jangka pendek.
Adapun metode-metode yang termasuk didalamnya, antara lain:

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|3
1. Simple Average
Rumus yang digunakan:

Dimana
X = F = Hasil ramalan
T = Waktu
Xi = Demand pada periode t
2. Single Moving Average
Apabila diperoleh data yang stasioner, metode ini cukup baik untuk
meramalkan keadaan.

Dimana
X = F = Hasil ramalan
T = Waktu
Xi = Demand pada periode t
3. Double Moving Average
Jika data tidak stasioner serta mengandung pole trend, maka dilakukan
moving average terhadap hasil single moving average.

B. Metode Smoothing
Dipakai pada kondisi dimana bobot data pada periode yang satu berbeda
dengan data pada periode sebelumnya dan membentuk fungsi Exponential
yang biasa disebut Exponential smoothing. Adapun metode-metode yang
termasuk didalamnya, antara lain:

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|4
1. Single Exponential Smoothing
Metode ini banyak mengurangi masalah penyimpangan data karena tidak
perlu lagi menyimpan data historis. Pengaruh besar kecilnya a
berlawanan arah dengan pengaruh memasukan jumlah pengamatan.
Metode ini selalu mengikuti setiap trend dalam data sebenarnya karena
yang dapat dilakukannya tidak lebih dari mengatur ramalan mendatang
dengan suatu persentase dari kesalahan terakhir. Untuk menentukan a
mendekati optimal memerlukan beberapa kali percobaan.

Ft+1 = Hasil peramalan untuk periode t + 1


A = Konstanta pemulusan
Xt = Data demand pada periode t
Ft = Periode sebelumnya
2. Double Exponential Smoothing satu parameter dari Browns
Dasar pemikiran dari pemulusan eksponensial linier dari Browns adalah
serupa dengan rata-rata bergerak linier, karena kedua nilai pemulusan
tunggal dan ganda ketinggalan dari data yang sebenarnya bilamana
terdapat unsur trend. Persamaan yang dipakai dari metode ini adalah
sebagai berikut:

Dimana

Xt = Data demand pada periode t

S’t = Nilai pemulusan I periode t

S”t = Nilai pemulusan II periode t

S’t-1 = Nilai pemulusan pertama sebelumnya (t-1)

S”t-1 = Nilai pemulusan kedua sebelumnya (t-1)

a = Konstanta pemulusan

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|5
at = Intersepsi pada periode t

bt = Nilai trend periode t

Ft+1 = Hasil peramalan untuk periode t+1

m = Jumlah periode waktu kedepan yang diramalkan

3. Double Exponential Smoothing Dua Parameter dari Holt


Metode pemulusan eksponensial linier dari Holt pada prinsipnya serupa
dengan Browns kecuali bahwa Holt tidak menggunakan rumus
pemulusan berganda secara langsung. Sebagai gantinya, Holt
memutuskan nilai trend dengan parameter yang berbeda dari dua
parameter yang digunakan pada deret yang asli.
Ramalan dari pemulusan eksponensial linier Holt didapat dengan
menggunakan dua konstanta pemulusan dan tiga persamaan

4. Regresi Linier
Regresi linier digunakan untuk peramalan apabila set data yang ada
linier, artinya hubungan antara variabel waktu dan permintaan berbentuk
garis (linier). Metode regresi linier didasarkan atas perhitungan least
square error, yaitu dengan memperhitungkan jarak terkecil kesuatu titik
pada data untuk ditarik garis. Adapun untuk persamaan peramalan
regresi linier dipakai tiga konstanta, yaitu a, b dan Y. Dengan masing-
masing formulasinya adalah sebagai berikut:

Dimana
Y = Variabel yang diprediksi
a,b = Parameter peramalan
t = Variabel independen

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|6
1. Analisis Regresi
Analisis regresi adalah satu cabang statistika yang banyak mendapatkan
perhatian dan dipelajari oleh pra ilmuan, khususnya para peneliti, baik ilmuan
bidang sosial maupun eksakta. Banyak buku atau literature yang membahas hal-
hal yang berkaitan dengan analisis regresi, dimana satu dengan lainya saling
melengkapi, tetapi dalam hal-hal tertentu masih banyak masalah yang belum dan
banyak sekali dibahas. Regresi pertama kali digunakan sebagi konsep staistika
pada tahun 1877 oleh sir Francis Galton. Dia telah melakukan
kecenderunagntinggi badan anak. Hasil studi tersebut merupakan suatu
kesimpulan suatu kesimpulan bahwa kecenderungan tinggi badan anak yang
lahir terhadap orang tuanya adalah menurun (regress) mengarah pada tinggi
badan rata-rata penduduk.
Definisi analisis regresi merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan
garis lurus dan menggunakan persamaan tersebut untuk membuat
perkiraan.(Mason,1996). Persamaan regresi adalah suatu formula matematis
yang menunjukkan hubungan keterkaitan antara satu atau beberapa variabel
yang nilainya sudah diketahui dengan variabel yang nilainya belum diketahui
(Algifari, 2000). Analisis regresi adalah Hubungan yang didapat dan dinyatakan
dalam bentuk persamaan matematik yang menyatakan hubungan fungsional
anatar variabel-variabel . ( Sudjana, 2002).
Didalam teorinya analisa regresi linear mempunyai dua bentuk persamaan yaitu
analisis regresi linear sederhana dan analisis regresi linear berganda (multiple
regression).
A. Analisi regresi linier sederhana
linear sederhana adalah yang ditunjukkan dengan persamaan

Y= a+ bX.
Persamaan ini hanya memiliki 2 variabel saja, hanya satu variabel terikat(Y)
dan satu variabel bebas (X) . Sehingga setiap nilai X bertambah dengan satu
satuan maka nilai Y akan bertambah dengan b. kalau nilai X=0 maka nilai Y
sebesar a.
Penggunaan model regresi sederhana hanya memungkinkan bila pengaruh
yang ada itu hanya dari independent variable (variabel bebas) terhadap
dependent variable (variabel terikat), tidak boleh ada pengaruh timbal balik,
yaitu jika variabel terikat juga berpengaruh terhadap variabel bebas. Dalam
regresi linear sederhana dihindari sifat autokorelasi. autokorelasi adalah
hubungan antara nilai suatu variabel dengan nilai variabel yang lain sama.
Ciri penting dari regresi sederhana adalah apabila terdapat homoscedasticity.
Homoscedasticity adalah kesamaan distribusi Y pada setia nilai X. Artinya
berapapun besarnya X, kalau diamati nilai Y nya dan dihitung deviasi
standartnya relative sama,
misalnya jika pada nilai X1 diamati nilai Y dan dicata deviasi satndartnya, dan
dibandingkan denagn nilai Y pada X2 maka nilainya sama, yang berarti
distribusi nilai Y terhadap nilai X selalu sama. gejala ini yang dimaksud

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|7
dengan homoscedasticity. Kalau distribusinya tidak sama maka tidak boleh
terjadi pada regresi linear sederhana. Persamaan

Y= a+ bX
Dimana
Y = Variabel terikat
a = parameter intercept (nilai Y’ apabila X = 0)
b = parameter koefisisen regresi variabel bebas
X = variabel bebas
B. Analisis regresi linear berganda (multiple regression)
Regresi berganda berguna untuk mencari pengaruh dua atu lebih variabel
bebas atau ntuk mencari hubungan fungsional dua variabel bebas atau lebih
terhadap variabel uterikatnya, atau untuk meramalkan dua variabel bebas
atau lebih terhadap variabel terikatnya. Dengan demikinan multiple
regression (regresi berganda) digunakan untuk penelitian yang menyertakan
bebarapa variabel sekaligus. Dalam hal ini regresi juga dapat dijadikan pisau
analisis terhadap penelitian yang diadakan, tentu saja jika regresi diarahkan
untuk menguji variabel-variabel yang ada.
Pada dasarnya rumus pada regresi ganda sama dengan rumus pada regresi
sederhana, hanya saja pada regresi berganda ditambahkan variabel-variabel
lain yang juga diikutsertakan dalam penelitian. Adapun rumus yang dipakai
disesuaikan dengan jumlah variabel yang diteliti. Rumus rumusnya adalah
sebagai berikut :

Y’= a + b1X1 + b2X2


Y’= a + b1X1 + b2X2+ b3X3
Y’= a + b1X1 + b2X2+ b3X3… bnXn
Dimana
Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
X1 dan X2 = Variabel independen
a = Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)
b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|8
REFERENSI :
Algifari. 2000. Analisis Regresi, Teori, Kasus & Solusi. BPFE UGM, Yogyakarta.
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Edisi keenam. Bandung : Tarsito.
Makridakis, S.dan Wheelwright S C. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


|9
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 9
TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI

TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI


| 10
TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI
| 11
TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI
| 12
TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI
| 13
TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI
| 14
TEKNIK DAN ANALISA PROYEKSI
| 15
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 10
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 10:
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................ ii


Daftar Gambar....................................................................................................... ii
I. Definisi Masalah ............................................................................................. 1
II. Definisi, Maksud, dan Manfaat Pohon Masalah .............................................. 1
III. Tahapan Analisis dan Penyusunan Pohon Masalah ....................................... 2
IV. Latihan / Exercise........................................................................................... 6
Bahan Tayang ....................................................................................................... 7

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Pohon Masalah Pertama .............................................................3


Gambar 2. Model Pohon Masalah Kedua ................................................................3
Gambar 3. Peletakan Masalah Utama pada Model Pohon Masalah Kedua .............4
Gambar 4. Peletakan Akibat pada Model Pohon Masalah Kedua ............................4
Gambar 5. Peletakan Penyebab Level Pertama pada Model Pohon Masalah Kedua
...............................................................................................................5
Gambar 6. Peletakan Penyebab Level Kedua pada Model Pohon Masalah Kedua .5
Gambar 7. Model Pohon Masalah Kedua (Secara Utuh) .........................................6

ii
I. DEFINISI MASALAH
Antara masalah, kondisi, dan potensi memiliki definisi dan karakter yang
berbeda-beda. Kondisi dalam konteks wilayah adalah keadaan riil dari suatu
wilayah, contohnya lahan datar, topografi berbukit-bukit, dll. Potensi adalah
kondisi riil dari suatu wilayah yang (‘dianggap’) dapat diberdayakan atau
dioptimalkan, contohnya lahan yang luas, yang cocok untuk pertanian (vs. lahan
pertanian luas). Sedangkan masalah adalah kondisi riil yang berbeda dengan
yang diharapkan (karena konflik, over-use, tidak sesuai peruntukan, dll). Contoh
masalah wilayah adalah lahan pertanian luas namun tidak tergarap.

II. DEFINISI, MAKSUD, DAN MANFAAT POHON MASALAH


Miller (2004) mengunakan istilah issues trees untuk mengartikan pohon masalah
sebagai pendekatan yang membantu merinci suatu masalah ke dalam
komponen-komponen penyebab utama dalam rangka menciptakan rencana kerja
proyek. Sedangkan Silverman dan Silverman (1994) menggunakan istilah tree
diagram (diagram sistematik atau diagram pohon) yang dirancang untuk
mengurutkan hubungan sebab-akibat. Modul Pola Kerja Terpadu (2008)
menggunakan istilah pohon masalah yang merupakan bagian dari analisis
pohon. Analisis pohon adalah suatu langkah pemecahan masalah dengan
mencari sebab dari suatu akibat. Sedangkan pohon masalah diartikan sebagai
suatu teknik untuk mengidentifikasi semua masalah dalam suatu situasi tertentu
dan memperagakan informasi tersebut sebagai rangkaian hubungan sebab
akibat. Berdasarkan pengertian analisis pohon masalah, maka dapat diambil
garis besar bahwa:
 Analisis pohon masalah merupakan suatu alat atau teknik atau
pendekatan untuk mengidentifikasi dan menganalis masalah.
 Analisis pohon masalah menggambarkan rangkaian hubungan sebab
akibat dari beberapa faktor yang saling terkait.
 Alat atau teknik analisis pohon masalah umumnya digunakan pada tahap
perencanaan.

Penggunaan analisis pohon masalah dapat membantu untuk mengilustrasikan


korelasi antara masalah, penyebab masalah, dan akibat dari masalah dalam
suatu hirarki faktor-faktor yang berhubungan. Selain itu, metode ini juga
menghubungkan berbagai isu atau faktor yang berkontribusi pada masalah
organisasi dan membantu untuk mengidentifikasi akar penyebab dari masalah
organisasi tersebut. Analisis pohon masalah juga dapat digunakan untuk maksud
yang lebih luas, diantaranya (Duffy, dkk. (2012) dalam BPPK Keuangan (2013)):
 Mengembangkan langkah-langkah logis untuk mencapai hasil yang
spesifik.
 Melakukan analisis five whys dalam mengeksplorasi penyebab.
 Mengkomunikasikan untuk mendorong keterlibatan dalam
pengembangan hasil yang didukung bersama.
 Menggali pada level yang lebih rinci suatu alur proses.

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|1
 Menggambarkan secara grafik suatu perkembangan hirarkis, seperti
silsilah atau skema klasifikasi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka analisis pohon masalah dapat bermanfaat


untuk:
a. Membantu kelompok/tim kerja organisasi untuk merumuskan persoalan
utama atau masalah prioritas organisasi.
b. Membantu kelompok/tim kerja organisasi menganalisis secara rinci dalam
mengeksplorasi penyebab munculnya persoalan dengan menggunakan
metode five whys. Metode five whys adalah suatu metode menggali
penyebab persoalan dengan cara bertanya “mengapa” sampai lima level
atau tingkat.
c. Membantu kelompok/tim kerja organisasi menganalisis pengaruh
persoalan utama terhadap kinerja/hasil/dampak bagi organisasi atau
stakeholder lainnya.
d. Membantu kelompok/tim kerja organisasi mengilustrasikan hubungan
antara masalah utama, penyebab masalah, dan dampak dari masalah
utama dalam suatu gambar atau grafik.
e. Membantu kelompok/tim kerja organisasi mencari solusi atas persoalan
utama yang ada.

III. TAHAPAN ANALISIS DAN PENYUSUNAN POHON MASALAH


Tujuan dari analisis masalah adalah untuk memperoleh definisi yang jelas
mengenai permasalahan yang dihadapi, penyebabnya, pengaruh yang
disebabkan dari masalah tersebut (akibat), dan untuk melihat keseluruhan
masalah dengan struktur yang lebih jelas. Tahapan dalam menganalisis masalah
antara lain:
1. Menyiapkan daftar permasalahan-permasalahan utama yang ingin
diselesaikan
2. Mengidentifikasi masalah yang paling krusial atau masalah inti
3. Memastikan bahwa masalah yang dituliskan adalah masalah yang ada,
bukan yang mungkin atau yang akan terjadi. Selain itu, masalah adalah
kondisi negatif dan bukan tidak mungkin memiliki solusi yang dapat
diselesaikan
4. Menganalisis inti masalah dengan membuat daftar hal-hal yang
menyebabkan masalah inti terjadi, serta daftar hal-hal yang menjadi
akibat dari terjadinya masalah tersebut
5. Membuat diagram masalah dalam bentuk pohon masalah dimana akibat
dari masalah adalah cabang pohonnya sedangkan penyebab masalah
tersebut adalah akar dari pohonnya
6. Memeriksa hasil diagram pohon masalah dengan melihat kembali
diagram pohon masalah sebagai satu kesatuan, memverifikasi validitas
serta kelengkapan diagram tersebut.

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|2
Setelah menganalisis masalah, maka penyusunan pohon masalah akan lebih
mudah dibuat. Terdapat dua model dalam membuat pohon masalah, yakni:
1. Pohon masalah dibuat dengan cara menempatkan masalah utama pada
sebelah kiri dari gambar. Selanjutnya, penyebab munculnya persoalan
tersebut ditempatkan pada sebelah kanannya (arah alur proses dari kiri
ke kanan). Berikut adalah ilustrasi model pertama ini:

Gambar 1. Model Pohon Masalah Pertama

Sumber: Asmoko, 2013

2. Pohon masalah dibuat dengan cara menempatkan masalah utama pada


sentral diagram. Penyebab-penyebab masalah diletakkan di bawahnya
(alur ke bawah) dan akibat dari masalah utama ditempatkan di bagian
atasnya (alur ke atas). Berikut adalah ilustrasi model kedua ini:

Gambar 2. Model Pohon Masalah Kedua

Sumber: Asmoko, 2013

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|3
Adapun langkah-langkah dalam menyusun pohon masalah model kedua
ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah utama organisasi
berdasarkan hasil analisis atas informasi yang tersedia
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah
utama, misalnya dengan cara diskusi, curah pendapat, dll. Berikut
adalah contoh perumusan masalah utama pada suatu lembaga
pendidikan dan pelatihan (diklat) yakni rendahnya mutu lulusan diklat.
Masalah utama tersebut ditempatkan pada bagian tengah dari model
yang akan dibuat, seperti gambar berikut:

Gambar 3. Peletakan Masalah Utama pada Model Pohon Masalah Kedua

Sumber: Asmoko, 2013

2. Menganalisis akibat atau pengaruh adanya masalah utama yang telah


dirumuskan pada poin sebelumnya
Contohnya, akibat dari rendahnya mutu lulusan diklat adalah instansi
pengguna tidak puas dengan lulusan diklat yang dihasilkan dan
kinerja lulusan diklat di tempat kerja tidak meningkat. Hubungan
antara masalah dengan akibat ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Peletakan Akibat pada Model Pohon Masalah Kedua

Sumber: Asmoko, 2013

3. Menganalisis penyebab munculnya masalah utama


Penyebab pada tahap ini dinamakan penyebab level pertama.
Misalnya, penyebab rendahnya mutu lulusan diklat adalah kompetensi

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|4
pengajar kurang, kurang baiknya kualitas kurikulum diklat, dan
banyaknya sarana diklat (laboratorium, komputer, peralatan kelas)
yang rusak. Hubungan antara masalah utama dengan penyebab level
pertama dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5. Peletakan Penyebab Level Pertama pada Model Pohon


Masalah Kedua

Sumber: Asmoko, 2013

4. Menganalisis lebih lanjut penyebab lanjutan dari penyebab level


pertama
Penyebab dari munculnya penyebab level pertama dinamakan
penyebab level kedua. Contoh adalah penyebab kurangnya
kompetensi pengajar adalah pengajar tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikannya dan kurangnya pengalaman pengajar.
Sedangkan penyebab dari kurangnya kualitas kurikulum diklat adalah
tidak dilakukannya Training Needs Analysis (TNA) atas diklat yang
dimaksud. Terakhir, penyebab banyaknya sarana diklat yang rusak
adalah kurang baiknya pemeliharaan sarana diklat dan tidak adanya
dana penggantian sarana diklat yang baru. Hubungan antara
banyaknya penyebab level pertama dan level ketiga ini digambarkan
sebagai berikut:

Gambar 6. Peletakan Penyebab Level Kedua pada Model Pohon


Masalah Kedua

Sumber: Asmoko, 2013

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|5
5. Menganalisis lebih lanjut penyebab dari munculnya penyebab level
kedua
Demikian seterusnya, analisis dapat dilakukan sampai dengan level
kelima.

6. Menyusun pohon masalah secara keseluruhan


Berdasarkan langkah pertama sampai dengan kelima, pohon masalah
secara keseluruhan dapat digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 7. Model Pohon Masalah Kedua (Secara Utuh)

Sumber: Asmoko, 2013

IV. LATIHAN / EXERCISE


1. Masing-masing peserta diminta untuk menuliskan masalah-masalah penting
apa saja terkait dengan tema ‘Buruknya manajemen birokrasi pemerintah
daerah’ dalam sebuah kartu (1 permasalahan dalam 1 kartu)
2. Peserta diminta untuk membuat kelompok yang terdiri dari 4-5 orang
3. Peserta diminta untuk menyusun kartu-kartu yang sudah diisi menjadi pohon
masalah, dengan menggabungkan jawaban dan saling berdiskusi dengan
peserta lain dalam satu kelompok. Kartu-kartu tersebut disusun dan
direkatkan pada media karton/media lain sejenis yang telah disediakan.
4. Dua kelompok volunteer diminta untuk mempresentasikan pembelajaran dan
hasil diskusi tersebut

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|6
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 10:
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN
POHON MASALAH

ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH


|7
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
|8
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
|9
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
| 10
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
| 11
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
| 12
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
| 13
ANALISIS PERMASALAHAN DENGAN POHON MASALAH
| 14
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 11
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 11:
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................ ii


Daftar Gambar....................................................................................................... ii
Daftar Tabel........................................................................................................... ii
I. Kerangka Umum Pohon Tujuan ..................................................................... 1
II. Petunjuk Pengembangan Pohon Tujuan yang Efektif ..................................... 1
III. Perumusan Pohon Tujuan .............................................................................. 3
IV. Latihan / Exercise........................................................................................... 6
Referensi ............................................................................................................... 7
Bahan Tayang ....................................................................................................... 8

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kedudukan Komponen Pohon Tujuan ....................................................4


Gambar 2. Contoh Pohon Masalah ..........................................................................5
Gambar 3. Contoh Pohon Tujuan ............................................................................5

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komponen Perumusan Analisis Tujuan ..................................................3

ii
I. KERANGKA UMUM POHON TUJUAN
Pohon tujuan merupakan gambaran tujuan yang ingin dicapai dari intervensi
untuk mengatasi permasalahan dan digambarkan dalam suatu pohon masalah.
Pengertian lainnya (Lubis, 2012) adalah penggambaran situasi, kondisi,
keinginan, atau perubahan yang ingin dicapai oleh proyek, yang dianggap ideal
dan direncanakan dalam sebuah proyek (jawaban terhadap masalah). Pohon
tujuan adalah langkah kedua setelah membuat pohon masalah dan hanya
dibangun di atas struktur pohon masalah. Pohon Tujuan memungkinkan
pemangku kepentingan yang berpartisipasi untuk menggambarkan situasi masa
depan yang diinginkan, situasi setelah masalah terselesaikan, dan
mengidentifikasi hubungan cara-hasil. Dalam sebuah proyek, pohon tujuan
digunakan untuk menghasilkan luaran yang diinginkan dan output yang
diperlukan, serta dampak yang dituju.
Pohon tujuan menguji dan menegasikan pernyataan negatif dalam pohon
masalah menjadi positif. Pengujian dilakukan secara partisipatif, dengan
melibatkan stakeholder untuk membayangkan tujuan yang disepakati bersama.
‘Penyebab’ dalam pohon masalah dimodifikasi kepada efek yang diinginkan.
Dengan cara ini, stakeholder yang berpartisipasi dapat berpikir tentang cara-cara
untuk membawa penyebab positif menjadi ada, dan langkah-langkah praktis apa
yang harus diambil. Dengan demikian, solusi dasar akan ditemukan dengan
memodifikasi akar penyebab masalah. Hal ini juga akan membantu untuk
memprioritaskan tindakan. Beberapa penyebab mungkin perlu dihilangkan, dan
beberapa tujuan mungkin perlu ditambahkan.
Pada pohon masalah, posisi sentral merupakan masalah utama. Lalu melalui
brainstorming, dicoba untuk ditemukan penyebab dominan dari masalah tersebut
melalui keterkaitan sebab-akibat. Sedangkan pohon tujuan pada dasarnya
membalik proses tersebut dan berusaha untuk menemukan solusi potensial
untuk setiap penyebab masalah. Solusi-solusi potensial tersebut nantinya akan
mengarahkan pada hasil yang diharapkan yang berpotensi pada tujuan proyek
atau tujuan pembangunan secara luas.
Dalam konteks persiapan proposal, tujuan pembangunan dapat digambarkan
sebagai outcome positif. Sedangkan hasil yang diharapkan dapat dianggap
sebagai “indikator outcome kunci”, dan penyebab-penyebab langsung dapat
dianggap sebagai “kegiatan dan input”. Cara ini sangat membantu untuk
mengorganisasikan isi proposal.

II. PETUNJUK PENGEMBANGAN POHON TUJUAN YANG EFEKTIF


Beberapa pertanyaan dan pengecekan dapat dilakukan sebagai petunjuk untuk
mengembangkan pohon tujuan yang efektif, yaitu:
1. Pernyataan positif tentang kondisi sistem yang diinginkan. Pernyaataan
tersebut harus dapat diwujudkan (bukan utopis). Pada saat me-review
pernyataan tersebut, periksa apakah pengertian dari mencapai tujuan
akan memiliki dampak-dampak negatif atau tidak. Serta pertimbangkan

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|1
kemungkinan dari masing-masing tujuan dengan menggunakan informasi
yang dikumpulkan selama analisis stakeholder.
2. Apakah pernyataan tersebut jelas dan tidak multitafsir? Kualitas dari
pohon tujuan bergantung besar pada kualitas dari pohon tujuan asli.
Bayangkan bahwa pohon tujuan asli adalah produk dari konsensus
pendapat. Jika logika dari konsep awal pohon tujuan tidak lengkap,
kembali ke pohon masalah, memerikas kembali hubungan sebab-akibat,
dan menguji validitas argument masalah sebelum akhirnya kembali ke
analisis pohon tujuan.
3. Apakah kaitan antara setiap pernyataan sudah logis dan masuk akal?
Dengan kata lain, apakah perolehan dari satu bantuan mendukung
pencapaian lainnya yang berada di atas tingkatannya?
4. Adakah kebutuhan untuk menambahkan kegiatan dan.atau pernyataan
positif lainnya? Apakah perlu lebih detail?
5. Apakah kegiatan positif di satu tingkatan cukup untuk mengarah pada
hasil di tingkatan di atasnya? Ataukan diperlukan kondisi lain (yang ada di
luar proyek)?
Dalam sebuah desain proyek dilakukan sebuah “alternatif analisis” atau “analisis
rantai hasil.” Analisis alternatif membantu memfasilitasi pemilihan jalur untuk
mengubah masalah menjadi tujuan pada tingkat bawah dari diagram, yang akan
menjadi dasar dari proyek terkait. Tujuan dari alternatif analisis antara lain
adalah untuk:
1. Mengidentifikasi cara alternatif untuk mencapai situasi atau
pengembangan tujuan yang diinginkan
2. Menilai kelayakan masing-masing
3. Menyepakati strategi proyek

Dalam alternatif analisis, penting untuk mempertimbangkan apakah rantai hasil


cenderung mengarah pada outcome proyek, dengan mempertimbangkan sumber
daya yang tersedia, kapasitas, kepentingan penerima manfaat, dan kelayakan
politik. Atau dengan kata lain mempertimbangkan kriteria seleksi seperti:
1. Ekonomis
2. Keuangan
3. Sosial ekonomi
4. Lingkungan
5. Teknis
6. Kelembagaan
7. Perlindungan lingkungan
8. Pengamanan lainnya

Setelah mengembangkan kriteria tersebut, lakukan penilaian yang diperlukan,


analisis, dan studi kelayakan. Penilaian yang telah dilakukan akan membantu
dalam memutuskan strategi yang paling tepat untuk dicapai dalam proyek yang

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|2
diusulkan. Beberapa pertanyaan kunci yang dapat digunakan untuk membantu
memutuskan strategi yang tepat antara lain:
1. Apakah tindakan tersebut sesuai dengan hukum, kebijakan, dan prosedur
setempat?
2. Adakah keahlian dan kapasitas yang tersedia untuk melaksanakannya?
3. Apakah terjangkau dan biayanya efektif, dan apakah pembiayaan yang
diperlukan tersedia?
4. Apakah itu diterima secara sosial oleh penerima manfaat?
5. Apakah mungkin dapat menghasilkan eksternalitas negatif yang akan
memerlukan mitigasi?
6. Bagaimana ketergantungan itu pada salah satu alternatif lain yang juga
sedang dilaksanakan?
7. Apa resiko yang utama, dan bagaimana mereka dapat dikurangi?
8. Apa investasi lainnya dan proyek yang sedang berlangsung atau
direncanakan oleh pemerintah atau organisasi dan lembaga lainnya?

Perhatikan bahwa pilihan tujuan akan menentukan pilihan lembaga pelaksana.


Hindari pemilihan solusi yang populis atau lebih disukai (oleh stakeholder
tertentu) namun mungkin tidak relevan dengan keadaan setempat. Serta hindari
validasi terhadap kriteria yang sengaja diinginkan oleh stakeholder tertentu.

III. PERUMUSAN POHON TUJUAN


Dalam pembuatan pohon tujuan, terdapat tiga komponen bagian yang harus dipahami,
yaitu:

Tabel 1. Komponen Perumusan Analisis Pohon Tujuan

PENGERTIAN / SIFAT CARA PERUMUSAN ANALISIS

1. Tujuan Umum (Goals)

a. Jangka panjang yang ingin dicapai a. Menentukan tujuan umum berdasarkan akibat
proyek masalah dengan mempertimbangkan
b. Bersifat umum kemampuan sumber daya, fleksibel, dan
c. Dampak proyek jangka panjang realistik
pada masyarakat b. Merumuskan tujuan umum dengan
d. Tidak dapat dicapai oleh proyek pernyataan positif
sendiri c. Mencatat rumusan pada kartu
e. Memerlukan proyek lain diluar d. Menempelkan kartu pada papan softboard
jangkauan proyek e. Membahas rumusan, duplikasi, kelompok,
f. Tidak terlalu jauh dengan tujuan hirarkis
khusus f. Menentukan langkah yang sama
g. Menentukan sub tujuan umum

2. Tujuan Khusus

Bagian dari tujuan umum atau sub- a. Menjabarkan tujuan umum ke dalam tujuan-
tujuan, digunakan untuk memudahkan tujuan kecil yang lebih spesifik
menentukan sasaran. b. Lebih jelas/terukur daripada tujuan umum

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|3
3. Sasaran

a. Bagian atau rincian tujuan/tujuan a. Berdasarkan pemecahan sebab masalah


khusus b. Mempertimbangkan kemampuan sumber
b. Hasil yang diperoleh dari suatu daya, fleksibel, dan realistik
kegiatan dan lebih operasional dari c. Dirumuskan dengan pernyataan positif
tujuan d. Mencatat rumusan sasaran pada kartu
c. Memenuhi kriteria spesifik, terukur, e. Menempelkan kartu pada papan softboard
bisa dicapai, realistik, dan waktu f. Membahas rumusan, duplikasi, kelompok,
terbatas atau disebut juga SMART hirarkis, tujuan khusus, dan sasaran
(Specific, Measureble, Achievable,
Realistic, Time bounded)
(Sumber: Diolah dari Lubis, 2012)

Adapun kedudukan hirarki tujuan umum, tujuan khusus, dan sasaran adalah:

Tujuan
Umum

Tujuan
Khusus

Sasaran

Gambar 1. Kedudukan Komponen Pohon Tujuan

(Sumber: Lubis, 2012)

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|4
Berikut ini adalah contoh pohon tujuan yang dikembangkan atau berangkat dari
pohon masalah:

Gambar 2. Contoh Pohon Masalah

(Sumber: KEHATI, 2014)

Gambar 3. Contoh Pohon Tujuan

(Sumber: KEHATI, 2014)

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|5
IV. LATIHAN / EXCERSICE
1. Masing-masing peserta diminta membuka kembali catatan diagram pohon
masalah yang sudah dibuatnya pada materi diklat sebelumnya
2. Masing-masing peserta diminta untuk menuliskan kalimat-kalimat positif
(negasi dari masalah-masalah dalam pohon masalah sebelumnya yang
bertemakan ‘Buruknya manajemen birokrasi pemerintah daerah’) dalam
sebuah kartu (1 kalimat dalam 1 kartu)
3. Peserta diminta untuk membuat kelompok yang terdiri dari 4-5 orang
4. Peserta diminta untuk menyusun kartu-kartu yang sudah diisi menjadi pohon
tujuan, dengan menggabungkan jawaban dan saling berdiskusi dengan
peserta lain dalam satu kelompok. Kartu-kartu tersebut disusun dan
direkatkan pada media karton/media lain sejenis yang telah disediakan.
5. Dua kelompok volunteer diminta untuk mempresentasikan pembelajaran dan
hasil diskusi tersebut

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|6
REFERENSI:
Lubis, Djuara. 2012. Bahan Pembekalan Kuliah Kerja Profesi Fakultas Ekologi Manusia
IPB - Perencanaan Program Partisipatif. http://fema.ipb.ac.id/wp-content/. 29
Oktober 2016 (02:16)
USAID. 2016. Bahan Presentasi - Membuat Pohon Masalah dan Pohon Tujuan.
http://ccc.itb.ac.id/wp-content/uploads/2016/ 08/H4-Membuat-pohon-masalah.pdf.
29 Oktober 2016 (02:16)
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). 2014. Panduan Penyusunan
Proposal Lengkap TFCA-Sumatera.

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|7
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 11:
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN

PENGEMBANGAN POHON TUJUAN


|8
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN
|9
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN
| 10
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN
| 11
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN
| 12
PENGEMBANGAN POHON TUJUAN
| 13
BAHAN AJAR DIKLAT NON GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 12
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 12:
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... ii


Daftar Tabel.......................................................................................................... ii
I. Konsep Dasar Program LERD ....................................................................... 1
II. Pembelajaran Keberjalanan Program Pembangunan Daerah
dalam Perumusan Strategi LERD................................................................... 4
III. Perencanaan dan Pelaksanaan Strategi Program LERD ............................... 6
III.1. Kedudukan Perumusan Strategi Program LERD
dalam Tahapan Pengelolaan LERD ..................................................... 7
III.2. Syarat dalam Merumuskan dan Menetapkan
Strategi Program LERD........................................................................ 8
III.3. Kegiatan dalam Perencanaan Strategi Program LERD ........................ 9
III.4. Kegiatan dalam Pelaksanaan Strategi dan
Pendekatan Program LERD ................................................................. 10
III.4.1. Meningkatkan dan Memperkuat Stakeholder Daerah ............ 11
III.4.2. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif Bagi
Tumbuhnya Investasi Baru dan Berkembangnya
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ....................................... 12
III.4.3. Mengembangkan, Memperluas Pasar, dan
Melakukan Promosi Kluster Ekonomi Terpilih ........................ 13
III.4.4. Memperkuat Forum Kemitraan PEL
yang Telah Terbentuk ............................................................ 14
III.4.5. Mengembangkan dan Memperkuat Kapasitas,
Kemampuan, dan Ketrampilan Produsen/Usaha dan
Pekerja Beserta Organisasinya.............................................. 15
III.4.6. Membangun Kerja Sama Antardaerah (Horizontal
Maupun Vertikal).................................................................... 16
Referensi ............................................................................................................... 17
Bahan Tayang ....................................................................................................... 18

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahapan dan Langkah dalam Pengelolaan PEL ....................................7

ii
I. KONSEP DASAR PROGRAM LERD
Perumusan strategi dalam pelaksanaan LERD berkaitan erat dengan langkah-
langkah yang harus diambil untuk mensukseskan program LERD. Karenanya
pemahaman terkait pengertian, prinsip, pendekatan, serta hasil evaluasi
pembangunan daerah menjadi penting untuk digunakan dalam merumuskan
strategi program LERD tersebut. Berdasarkan pengertiannya, Pengembangan
Ekonomi Lokal (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012) adalah kondisi
"Terjalinnya kerjasama kolektif antara pemerintah, dunia usaha, serta sektor non-
pemerintah dan masyarakat untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan secara
optimal sumber daya yang dimiliki dalam upaya merangsang dan menciptakan
perekonomian lokal yang kuat, mandiri, dan berkelanjutan.” Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat diambil dua kata kunci yang juga merupakan
komponen pendekatan PEL yakni:
1. Kerjasama antarsemua komponen, dan
2. Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal.
Kedua kata kunci ini akan menjadi acuan dalam keberhasilan program PEL,
selain dari prinsip-prinsip utama yang harus dipegang sebagai dasar konsep
PEL, diantaranya (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012):
a. Kemiskinan dan pengangguran merupakan tantangan utama yang
dihadapi daerah sehingga strategi PEL harus memprioritaskan pada
peningkatan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan
b. PEL harus menetapkan target pada masyarakat kurang beruntung, pada
area dan masyarakat yang cenderung termarjinalkan, pada usaha mikro
dan kecil sehingga memungkinkan mereka untuk berpartisipasi nyata
dalam kehidupan ekonomi setempat.
c. Setiap daerah perlu mengembangkan dan memiliki sendiri strategi PEL
yang sesuai dengan kondisi daerahnya.
d. PEL mendukung kepemilikan lokal, keterlibatan masyarakat,
kepemimpinan lokal, dan pengambilan keputusan bersama.
e. PEL menuntut terbangunnya kemitraan antara masyarakat. sektor usaha
dan swasta serta pemerintah daerah untuk memecahkan masalah
bersama.
f. PEL memaksimalkan pemanfaatan sumber daya lokal, kemampuan,
keterampilan, dan peluang bagi pencapaian berbagai tujuan.
g. PEL memberikan keleluasaan bagi daerah untuk merespon perubahan
lingkungan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun
internasional.

Strategi yang dibuat dalam rangka menyukseskan program PEL haruslah


merujuk pada tujuan dan sasaran utama dari program PEL. Hal ini sebagai
landasan penilaian berhasil atau tidaknya strategi yang dijalankan berdasarkan
tujuan dan sasaran awal. Sasaran jangka panjang dari penerapan pendekatan
PEL adalah pengentasan kemiskinan dan perbaikan yang terus menerus dan
berkelanjutan dalam kualitas kehidupan dari suatu komunitas lokal di suatu
daerah/wilayah. Untuk mencapai sasaran tersebut, PEL memiliki tujuan yaitu:

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|3
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan nilai tambah
2. Menciptakan dan memeratakan kesempatan kerja
3. Meningkatkan pendapatan dan memperbaiki distribusi pendapatan
masyarakat
4. Meningkatkan daya saing ekonomi daerah terhadap daerah atau negara
lain
5. Membangun dan mengembangkan kerja sama yang positif antardaerah

II. PEMBELAJARAN KEBERJALANAN PROGRAM PEMBANGUNAN


DAERAH DALAM PERUMUSAN STRATEGI LERD
Kajian Pengembangan Ekonomi Lokal telah dilaksanakan di 6 Provinsi, yaitu
Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang), Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta), Provinsi
Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan), Provinsi
Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram), Provinsi
Bali (Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar) dan Provinsi Gorontalo Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Boalemo) (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,
2007). Rangkuman kajian tersebut adalah (Badrudin, 2012):
1. Kajian peran Pemerintah Provinsi dalam implementasi kerjasama
antardaerah dipandang sebagai isu menarik dan cukup strategik. Dikatakan
menarik dan strategik karena tidak saja isu ini relatif baru dan belum
mendapat perhatian banyak pihak, tetapi juga karena posisi dan kewenangan
pemerintah provinsi sangat strategik bagi keberhasilan suatu kerjasama
antardaerah. Sementara kerjasama antardaerah oleh banyak pihak di era
sekarang ini dianggap sebagai suatu urusan yang urgen dan mutlak yang
dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan publik.
2. Urgensi kerjasama antardaerah terutama karena beberapa alasan, di
antaranya:
a. Bahwa kerjasama merupakan urusan pemerintahan yang bersifat
concurrent. Maksudnya, kerjasama adalah urusan bersama yang
dilaksanakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
b. Perkembangan daerah atau perkotaan belakangan ini sudah melampaui
batas-batas wilayah administratif (provinsi, kabupaten/kota) termasuk
layanan dan pembangunan, seperti tata ruang, jalan, transportasi,
perdagangan, air, kesehatan, pendidikan, ketentraman ketertiban dan lain
sebagainya.
c. Percepatan pembangunan antar daerah dan dengan negara tetangga
serta daerah tertinggal.
d. Demi prinsip efesiensi dan efektifitas layanan publik.
3. Menyadari urgensi dan kebutuhan akan kerjasama antardaerah ini, maka
semua pihak dituntut untuk berperan aktif. Setiap level pemerintahan di
negeri ini harus memainkan peranan yang besar untuk mendorong
keberhasilan agenda kerjasama antardaerah. Terlebih bagi pihak pemerintah
provinsi yang posisinya di samping sebagai wakil pemerintah pusat juga

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|4
sebagai kepala daerah. Namun kenyataannya peran provinsi justru masing
sering dipertanyakan, terutama oleh pemerintah kabupaten/kota dalam
proses kerjasama antardaerah yang telah atau sedang berjalan selama ini.
4. Sejauh ini peran provinsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian
utama, yakni sebagai pihak pelaku/aktor yang melakukan kerjasama dan
sebagai pihak Pembina kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Kajian ini
pada dasarnya mencakup kedua peran tersebut, namun mengingat
urgensinya maka bahasan lebih ditekankan pada peran provinsi selaku
pembina dan pengawas kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dalam
melakukan kerjasama antardaerah mengikuti logika kewenangan provinsi
sebagaimana diatur oleh undang-undang.
5. Munculnya perbedaan pendapat antara peran Pemerintah Provinsi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota yang berkembang terutama dilatari oleh
egosentrisme kabupaten/kota yang tidak lepas dari semangat pemberlakuan
UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004.
Selain memahami konsep dasar program LERD, pembelajaran dari keberjalanan
program pembangunan selama ini juga menjadi bahan penting sebagai masukan
dan evaluasi dalam perumusan strategi LERD yang akan dibuat. Kementerian
Pekerjaan Umum (2012) mencatat bahwa dalam proses pembangunan daerah
selama ini, upaya-upaya pemecahan persoalan ekonomi masih bersifat sektoral
serta tidak terintegrasi dan terkoordinasi baik antara stakeholder yang terlibat
maupun kebijakan-kebijakan terkait. Karenanya diharapkan program PEL dapat
mengakomodir hal tersebut dengan memperbaiki interaksi dan sistem koordinasi
antar pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, diharapkan pelaksanaan kegiatan
pembangunan dilakukan berdasarkan kebutuhan dan permasalahan di
masyarakat, serta mampu menciptakan iklim yang kondusif dan menguntungkan,
baik bagi masuknya investasi baru maupun mendukung pertumbuhan dan
perkembangan usaha yang telah ada. Secara umum, pelajaran dari keberjalanan
program pembangunan bagi pengaplikasian PEL antara lain (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2012):
1. Permasalahan terkait peran pemerintah
Selama ini pemerintah lebih banyak menjadi penentu (eksekutor) dari
pembangunan, sedangkan masyarakat hanya ditempatkan sebagai objek,
bukan subjek dari pembangunan tersebut. Pemerintah sebaiknya lebih
berperan sebagai manajer, fasilitator, dan stimulator sesuai dengan
semangat otonomi daerah, serta mengurangi intervensi terlalu jauh dalam
pelaksanaan perekonomian. Selain itu pemerintah juga perlu mengubah
pendekatan yang berorientasi ke-proyek-an menjadi berorientasi pada
kebutuhan lokal alau pasar.
2. Pendekatan program yang bersifat sektoral
Dalam proses pembangunan daerah selama ini, upaya-upaya
pemecahan persoalan ekonomi masih bersifat sektoral serta tidak
terintegrasi dan terkoordinasi baik antara stakeholder yang terlibat
maupun kebijakan-kebijakan terkait. Karenanya diharapkan program PEL

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|5
dapat mengakomodir hal tersebut dengan memperbaiki interaksi dan
sistem koordinasi antar pihak-pihak yang terlibat. Pemerintah juga harus
memiliki fokus dalam pembangunan ekonomi, tidak mengintervensi
semua bidang. Selain itu, agar pembangunan di suatu daerah dapat
menunjang pembangunan di sektor ekonomi dan lerkait dengan PEL,
maka diperlukan:
 Fasilitas dan infrastruktur pendukung yang memadai
perekonomian/industri di daerah
 Kemudahan memperoleh ijin usaha
 Iklim ekonomi yang kondusif
 Image yang baik mengenai lokasi usaha
 Image tentang kota itu sendiri
 Kamanan yang terjamin
 Dukungan kelembagaan yang memadai
 Ketersediaan tenaga kerja baik jumlah maupun kualitas
 Aturan tentang lingkungan, kebijakan pajak dan retribusi dan lain-
lain.
3. Berorientasi pada pembangunan infrastruktur fisik
Perumusan pembangunan infrastruktur harus didahului dengan adanya
penilaian kebutuhan (need assessment) yang memadai. Pembangunan
tersebut akan menjadi sia-sia tanpa diikuti dengan peningkatan dan
perbaikan pada aspek penting lain dalam menjalankan usaha semisal
kelembagaan, teknologi, akses permodalan, akses pasar, dan
kemampuan kewirausahaan.
4. Ketergantungan yang besar pada investor lokal
Tingginya investasi asing tidak menjamin keberhasilan pembangunan
daerah, meski pada awalnya menunjukan pertumbuhan ekonomi. Jika
hasil investasi tersebut tidak diimbangi dengan perlindungan ekonomi
lokal, investasi asing yang pada umumnya hanya menguntungkan
perusahaan dan negara asalnya tersebut dapat mematikan ekonomi lokal
karena kalah bersaing dalam aspek permodalan, keterampilan, teknologi,
dan kemampuan wirausaha (enterpreneurship). Hukum terhadap
investasi asing juga harus ditegakkan sehingga kasus seperti peringanan
dan proteksi pajak ataupun penghindaran pajak melalui transfer pricing
dapat dihindari.

III. PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN STRATEGI PROGRAM LERD


Dalam merumuskan strategi program LERD, perlu dipahami terlebih dulu
kedudukan perumusan strategi, kegiatan dalam perumusan strategi, dan syarat
dalam merumuskan dan menetapkan strategi program LERD. Mengetahui
kedudukan perumusan strategi program LERD dalam tahapan pengelolaan
LERD penting untuk meyakinkan proses perumusan telah mengakomodir
tahapan-tahan pengelolaan LERD sebelumnya serta mempertimbangkan
implikasinya bagi keberjalanan tahapan-tahapan selanjutnya. Sedangkan
kegiatan dalam perumusan strategi berisi tindakan-tindakan yang harus

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|6
dilakukan dalam merumuskan strategi tersebut. Terakhir, syarat merupakan hal-
hal yang harus dipenuhi dalam merumuskan strategi program LERD.

III.1. Kedudukan Perumusan Strategi Program LERD dalam Tahapan


Pengelolaan LERD
Perumusan strategi program Local Economic Resources Development (LERD)
merupakan bagian dari tahapan pengelolaan LERD. Dalam kajian yang disusun
oleh Kementerian Pekerjaan Umum (2012), perumusan strategi termasuk dalam
tahapan kedua yakni perencanaan, tepatnya setelah tahapan persiapan dan
sebelum tahapan pelaksanaa, serta tahapan monitoring dan evaluasi.
Perumusan strategi ini merupakan langkah ke-6 dai 14 langkah. Kedudukan
perumusan strategi dalam tahapan pengelolaan LERD atau Pengembangan
Ekonomi Lokal (PEL) dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Tahapan dan Langkah dalam Pengelolaan PEL
Tahapan Utama dalam Langkah dalam Tahapan
Pengelolaan PEL
No. Langkah

Melakukan sosialisasi. penyebarluasan informasi dan


1. propaganda pendekatan PEL
Tahap I: Persiapan PEL Membentuk organisasi pelaksana PEL di daerah
2.

3. Melakukan anallsis terhadap kondisi saat ini

Mengidentifikasi dan menentukan kluster ekonomi sebagai


4. fokus PEL

Membentuk dan mengembangkan forum kemitraan multi-


Tahap II: Perencanaan 5. stakeholder PEL
PEL
Merumuskan dan menyusun strategi. agenda program, dan
6. rencana aksi PEL

Memastikan terpenuhinya kondisi bagi keberhasilan


7. pelaksanaan PEL

8. Meningkatkan dan memperkuat kapasitas stakeholder daerah

Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya


9. investasi baru dan berkembangnya usaha mikro, kecil, dan
menengah

Mengembangkan, memperluas pasar, dan melakukan promosi


Tahap III: Strategi dan 10. kluster ekonomi terpilih
Pendekatan dalam
11. Memperkuat forum kemitraan PEL yang telah terbentuk
Melaksanakan PEL
Mengembangkan dan memperkuat kapasitas, kemampuan,
12. dan ketrampilan produsen/usaha dan pekerja beserta
organisasinya

Membangun kerja sama antardaerah baik secara horizontal


13. maupun vertikal

Tahap IV: Monitoring dan Membangun sistem dan melaksanakan monitoring dan
14. evaluasi
Evaluasi (Monev)
(Sumber: Diolah dari Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|7
III.2. Syarat dalam Merumuskan dan Menetapkan Strategi Program
LERD
Strategi PEL merupakan dasar bagi perumusan dan penyusunan program dan
rencana kegiatan PEL yang lebih detail dan efisien sesuai visi, misi, dan tujuan
pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Berbagai pilihan strategi PEL
haruslah disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan strategi pembangunan
yang lebih luas yang ada pada masing-masing daerah yaitu RPJPD dan RPJMD.
Selain itu, idealnya strategi, agenda program, dan Rencana Aksi PEL harus
terinternalisasi dan terintegrasi ke dalam RPJMD dan Renstra SKPD terkait PEL.
Namun jika RPJMD sudah tersedia saat strategi PEL baru akan disusun, maka
strategi dan agenda program PEL dapat dibuat sebagai dokumen yang terpisah,
dengan tetap mencantumkan elemen-elemen berikut (Kementerian Pekerjaan
Umum, 2012):
1. Visi dan misi PEL
2. Tujuan dan indikator pencapaian tujuan PEL
3. Analisis pilihan kebijakan dan strategi PEL (misalnya: analisis SWOT)
4. Strategi dan agenda program utama PEL untuk periode lima tahun
5. Rencana aksi (action plan) PEL yang dirinci setiap tahun

Selain perumusan ke dalam dokumen rencana aksi, terdapat syarat-syarat lain


yang perlu diperhatikan dalam merumuskan dan menetapkan agenda program
dan kegiatan PEL yang akan dilakukan, yaitu (Kementerian Pekerjaan Umum,
2012):
a. Mengacu pada strategi PEL yang telah dipilih
Perumusan dan penetapan agenda program PEL yang akan
dilaksanakan harus mengacu pada strategi PEL yang telah dipilih pada
Tahap 1, yakni tahap persiapan.
b. Didasarkan pada hasil penilaian terhadap kebutuhan
Perumusan jenis program dan kegiatan PEL harus didasarkan pada
penilaian kebutuhan yang telah dilakukan sebelum tahhap penentuan
strategi PEL.
c. Melibatkan segenap stakeholder PEL terkait
Perumusan strategi PEL juga harus mengakomodir hasil masukan dari
berbagai stakeholder yang tergabung dalam forum kemitraan stakeholder.
Sehingga, hasil perumusan strategi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
terutama bagi pelaku usaha.

Sebelum menjalankan strategi dan pendekatan dalam program LERD, perlu


dipastikan bahwa sejumlah kondisi berikut ini telah terpenuhi (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2012):

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|8
a. Daerah harus memiliki visi yang jelas dan akurat dalam pembangunan
ekonominya.
b. Adanya persetujuan dari segenap stakeholder terkait dan pengesahan
oleh pemerintah daerah terhadap rencana strategi dan program PEL yang
telah disusun dalam bentuk peraturan perundangan yang berlaku.
c. Adanya dukungan dan ketersediaan anggaran keuangan yang cukup
untuk melaksanakan program-program PEL yang telah disusun.
d. Adanya keinginan politik dan kepemimpinan aktif dari pemerintah daerah,
terutama kepala daerah dan pimpinan SKPD yang terkait dengan kluster
PEL.
e. Aparat Pemda mau secara terus menerus meningkatkan pengetahuan
mengenai daerahnya, memahami permasalahan yang terjadi, dan
mendengarkan aspirasi yang datang dari bawah.
f. Adanya komitmen dari seluruh stakeholder utama PEL dan memastikan
tersedianya akses dan mekanisme bagi pelibatan mereka dalam proses
mengawal dan memantau penerapan kebijakan dan program-program
PEL yang telah disusun dalam dokumen Rencana Strategis PEL.
g. Adanya pemahaman di antara stakeholder lokal PEL bahwa integrasi,
jaringan kerja, dan keterkaitan antar-individu, antarsektor, dan
antardaerah merupakan inti dari pendekatan PEL.
h. Mengenali adanya perbedaan dalam masyarakat dari banyak aspek
(sosial, budaya, agama, politik, dan kepentingan).
i. Memahami bahwa ketersediaan infrastruklur dan fasilitas lainnya dalam
upaya mendorong program PEL akan dapat membuat perbedaan antara
program PEL yang sukses dan yang gagal
j. Adanya investasi yang signifikan pada pengembangan kualitas sumber
daya manusia, terutama aparat Pemda dan pelaku usaha.
k. Terjadinya investasi sektor swasta pada barang publik sehingga
kemampuan keuangan yang terbatas yang dihadapi pemerintah daerah
dalam penyediaan barang publik dapat terbantu.
l. Pemda mampu bertindak sebagai katalis bagi terbangunnya dan
berkembangnya kemitraan yang kuat dan efektif antara pemerintah,
pelaku usaha, masyarakat, dan stakeholder lainnya yang relevan dengan
PEL.

III.3. Kegiatan dalam Perencanaan Strategi Program LERD


Kegiatan yang dilakukan dalam merumuskan strategi program LERD terbagi atas
tiga kegiatan utama, yaitu (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012):
1. Menyiapkan Proses Perencanaan yang Partisipatif, dengan:
a. Menunjuk tim pelaksana dan penanggung jawab penyusunan dokumen
strategi, program dan rencana aksi PEL, oleh Tim Pelaksana PEL
b. Menjadikan forum kemitraan PEL sebagai media perencanaan
partisipatif dalam perumusan dokumen perencanaan strategis PEL

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


|9
c. Menyiapkan dan menyelenggarakan rancangan atau ToR
diskusi/lokakarya sesuai kebutuhan dan kondisi yang menjadi
perhatian tim.
d. Membentuk kelompok-kelompok perencana berdasarkan wilayah
(kelurahan/desa, kecamatan atau wilayah yang lebih luas) menurut
kesamaan karakteristik wilayah untuk memudahkan dalam perumusan
strategi dan program PEL
e. Membentuk sejumlah tim perencana sesuai pengelompokan pada butir
(d) dan satu tim perumus
2. Menjalankan Proses Perumusan dan Penyusunan Strategi, Agenda
Program, dan Rencana Aksi PEL Melalui Rangkaian Seminar, Diskusi
dan Workshop
Setiap stakeholder PEL di daerah harus dilibatkan dalam perumusan dan
penyusunan dokumen strategi, agenda program dan rencana aksi PEL.
Selain itu, setiap kelompok yang telah dibentuk dalam kegiatan harus
berpartisipasi melalui seminar, diskusi, dan workshop, dengan
memberikan kontribusi:
a. Menetapkan visi dan misi PEL
b. Menetapkan tujuan dan indikator pencapaian tujuan PEL
c. Melaksanakan analisis terhadap pilihan kebijakan dan strategi PEL
menggunakan analisis SWOT (Strengths. Weaknesses, Opportunities
and Threats) atau AHP (Analytical Hierarchy Process)
3. Menentukan Strategi Utama dan Program-Program PEL
Strategi PEL yang baik harus berasal atau disusun bersama antara
pemerintah dengan masyarakat serta stakeholder yang berkepentingan di
dalamnya. Selain itu diperlukan komunikasi yang aktif dengan stakeholder
terkait dalam mempertimbangkan kriteria-kriteria yang telah dibahas.
Apapun strategi yang dipilih, harus merujuk pada tujuan utama PEL yaitu
meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan baru bagi penduduk
setempat dan tentunya meningkatkan pendapatan. Adapun sub-kegiatan
yang harus dilakukan dalam penentuan strategi tersebut adalah:
a. Memilih dan menetapkan strategi utama PEL
b. Merumuskan dan menetapkan program-program utama PEL.

III.4. Kegiatan dalam Pelaksanaan Strategi dan Pendekatan Program


LERD
Pelaksanaan strategi dan pendekatan program LERD merupakan tahap ke-3 dari
keempat tahap pengelolaan program LERD atau PEL. Tahap ketiga yakni
pelaksanaan agenda program dan kegiatan dari perencanaan tahap sebelumnya.
Pada tahap ini, pelaksanaan bersifat fleksibel baik dari jenis dan volume kegiatan
disesuaikan dengan strategi dan agenda program PEL yang dipilih. Tahap ini

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 10
terbagi menjadi enam langkah utama yang akan dibahas berikut ini (Kementerian
Pekerjaan Umum, 2012):.

III.4.1. Meningkatkan dan Memperkuat Kapasitas Stakeholder Daerah


Kapasitas daerah yang dimaksud di sini adalah kapasitas pemerintah daerah dan
local leaders di daerah. Upaya memperkuat kapasitas tersebut bermula dari
kebutuhan melakukan reposisi peran pemerintah dalam pembangunan. Reposisi
berarti menempatkan kembali peran pemerintah daerah di dalam pembangunan
daerah, yakni sebagai manajer, fasilitator, dan sekaligus stimulator, bukan
eksekutor. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu melakukan sosialiasasi dan
pengembangan kapasitas terhadap staf pemerintahan daerah dan stakeholder
lokal lain yang terkait pelaksanaan agenda program PEL yang tercantum dalam
dokumen Renstra PEL. Stakeholder yang dimaksud adalah para
produsen/pengusaha (mikro, kecil, dan menengah), lembaga keuangan, lembaga
pendukung/pendamping usaha, lembaga pendidikan dan penelitian, media,
organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pengembangan atau
pemberdayaan masyarakat, serta kelompok berbasis masyarakat. Kegiatan
dalam tahap ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Meningkatkan Kapasitas Pimpinan dan Staf Pemda Melalui


Penyelenggaraan Seminar, Lokakarya, Pelatihan dan Studi Banding,
dengan cara:
a. Melakukan pemetaan dan penilaian (need assessment) terhadap
materi-materi terkait PEL yang dibutuhkan oleh pimpinan dan staf
pemda dengan menggunakan metode survei
b. Mengidentifikasi jenis dan materi yang perlu diberikan kepada
pimpinan dan staf Pemda dalam rangka peningkatan kapasitas
mereka dalam hal PEL
c. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, TOT, pelatihan, dan studi
banding

2. Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Melalui Penyelenggaraan


Seminar, Lokakarya, Pelatihan, dan Studi Banding, dengan:
a. Melakukan pemetaan dan penilaian (need assessment) terhadap
materi-materi terkait PEL yang dibutuhkan oleh masyarakat sesuai
perannya dalam PEL dengan menggunakan metode survei atau
Focus Group Discussion (FGD)
b. Mengidentifikasi jenis dan materi yang perlu diberikan kepada
masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas mereka
(pengetahuan dan ketrampilan) dalam menjalankan PEL
c. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, TOT, pelatihan, dan studi
banding

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 11
III.4.2. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif Bagi Tumbuhnya
Investasi Baru dan Berkembangnya Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah
1. Melakukan Deregulasi dan Kemudahan Perizinan, dengan:
a. Melakukan kajian evaluasi terhadap kebijakan dan peraturan yang
menghambat iklim investasi dan usaha
b. Memperbaiki sistem perizinan dalam memulai dan menjalankan usaha
dengan membangun sistem pelayanan satu atap atau One Stop
Services (OSS)

2. Menyediakan dan Memperkuat Infrastruktur (Lunak dan Keras) yang


Diperlukan Untuk Menunjang dan Memperlancar Efektifitas
Perekonomian, dengan:
a. Melakukan identifikasi terhadap persoalan penyediaan pelayanan
infrastruktur fisik oleh pemerintah daerah yang dihadapi oleh pelaku
usaha terutama UMKM (petani, nelayan, industri kecil dan menengah)
b. Memberikan prioritas pembangunan dan perbaikan pada infrastruktur
fisik yang mendukung kegiatan ekonomi, terutama fasilitas dasar
(jalan, jembatan, sarana angkutan/transportasi, listrik, komunikasi,
sistem drainase, sanitasi, air bersih, dll)
c. Mengembangkan sistem informasi yang mampu menyediakan
pelayanan informasi untuk mendukung kegiatan PEL

3. Memfasilitasi atau Menstimulasi Tersedianya Sumber-Sumber


Pembiayaan Usaha yang Terjangkau Terutama Bagi Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, dengan:
a. Menyediakan inforrnasi akses pengusaha mikro, kecil, dan menengah
terhadap sumber-sumber permodalan
b. Mendorong perbankan dan lembaga pendanaan lainnya dalam
penyediaan modal usaha dan modal kerja berbunga rendah dan
kompetitif bagi sektor produktif
c. Memfasilitasi terjadinya kemitraan antara pelaku usaha dengan sektor
usaha (BUMN dan swasta) yang memiliki dana program Corporate
Social Responsibility (CSR) bagi pengembangan usaha-usaha
produktif

4. Promosi Investasi Ke Dalam dan Ke Luar Daerah, dengan:


a. Menyediakan informasi dasar mengenai kondisi dan potensi daerah
yaitu sumber daya alam, sektor produksi, perdagangan, pelayanan
pendukung ekonomi, dan usaha, dukungan infrastruktur, pelayanan
administrasi, dan keuangan Pemda. Informasi ini dituangkan ke dalam
berbagai materi promosi yang efektif
b. Melakukan kampanye, promosi, dan pemasaran mengenai potensi
dan peluang investasi dan usaha di daerah melalui berbagai media
promosi yang efektif dan efisien, di dalam dan ke luar daerah

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 12
c. Secara aktif mempromosikan kota sebagai tempat yang baik dan
tepat untuk memulai bisnis atau sebagai sebuah lokasi yang tepat
bagi investasi baru

III.4.3. Mengembangkan, Memperluas Pasar, dan Melakukan Promosi


Kluster Ekonomi Terpilih
Agar tercapainya tujuan berjalan secara efektif, PEL mengharuskan pemilihan
strategi dan program yang akan menjadi fokus pembangunan ekonomi berbasis
pada kekuatan dan juga persoalan yang ada dalam masyarakat. Pemilihan
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah kriteria penting, yakni
kegiatan dari program yang dipilih mampu:
 Memanfaatkan potensi dan sumber day a lokal secara optimal
 Mampu memberikan multiplier effect yang cukup signifikan terhadap
daerah
 Potensial dalam memberikan manfaat ekonomi bagi rumah tangga,
kelompok miskin, dan kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.

Selain itu diperlukan usaha dorongan untuk mengembangkan kluster ekonomi


atau komoditas unggulan yang nantinya dipilih daerah. Jika kluster ekonomi yang
terpilih merupakan kluster komoditas, maka keberadaannya seharusnya memiliki
dampak langsung terhadap rumah tangga miskin dan memiliki potensi pada
peningkatan permintaan pasar dan penciptaan multiplier effect terhadap
perekonomian lokal. Adapun usaha dorongan dalam mengembangkan kluster
ekonomi tersebut adalah dengan cara:
 Memahami dan mengembangkan kondisi dan peluang pasar
 Melakukan diversifikasi usaha dan industri kluster

1. Pengembangan Peningkatan Produktivitas Kluster Ekonomi Terpilih


a. Mendorong dilakukannya riset mengenai berbagai aspek yang terkait
dengan peningkatan produktivitas dan daya saing misalnya teknologi
produksi, pengolahan, penyimpanan, dan pengemasan
b. Menyebarluaskan dan mempermudah akses produsen/usaha
terhadap hasil riset yang telah dilakukan
c. Memberikan pendampingan dalam penerapan teknologi.

2. Promosi Kluster untuk Pengembangan Pasar lokal, Regional, dan


Ekspor
a. Melakuan marketing intellegent
b. Mengembangkan strategi pemasaran dan rencana perluasan akses
pasar
b. Pembentukan suatu trading house

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 13
c. Pembentukan branding atau melakukan co-branding
d. Sertifikasi (higenitas dan kehalalan) dan hak paten produk
e. Penyusunan dan penyebarluasan direktori usaha/produk lokal melalui
media cetak dan media internet
f. Memfasilitasi forum kemitraan PEL dalam mempromosikan kluster
usaha/komoditas terpiilh dengan cara menghubungkan produsen lokal
dengan investor dan pasar baik pasar lokal, nasional, maupun ekspor.

3. Melakukan Diversifikasi Produk dalam Kluster


a. ldentifikasi keterkaitan ke belakang dan ke depan di dalam kluster
b. Penelitian dan pengembangan produk di dalam kluster
c. Mengembangkan keterkaitan ke depan dan ke belakang dari kluster
ekonomi yang terpilih untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang
signifikan.

III.4.4. Memperkuat Forum Kemitraan PEL yang Telah Terbentuk


Penguatan forum kemitraan bertujuan agar forum kemitraan PEL yang telah
terbentuk mampu berperan lebih besar dalam mendorong dan mempercepat
tumbuh dan berkembangmmya usaha. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan
adalah:

1. Mengembangan Kapasitas Anggota Forum Kemitraan, dengan:


a. Melakukan pemetaan dan penilaian (need assessment) terhadap
materi-materi terkait PEL yang dibutuhkan oleh anggota forum
kemitraan dengan menggunakan metode survei atau FGD
b. Mengidentifikasi jenis dan materi yang perlu diberikan kepada
anggota forum kemitraan dalam rangka peningkatan kapasitas
mereka dalam PEL
c. Menyelenggarakan seminar, lokakarya, TOT, pelatihan, studi banding,
dll.

2. Memastikan bahwa Forum Kemitraan PEL Berfungsi dan Efektif,


dengan cara:
a. Menyusun rencana aksi dan kegiatan forum kemitraan PEL
b. Memastikan bahwa forum kemitraan mengadakan pertemuan rutin
untuk membahas berbagai persoalan yang dihadapi terkait PEL
c. Memastikan adanya dukungan sumber daya dan dana untuk
menjalankan rencana aksi PEL
d. Mengembangkan sistem informasi dan komunikasi antara aggota
forum

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 14
III.4.5. Mengembangkan dan Memperkuat Kapasitas, Kemampuan,
dan Ketrampilan Produsen/Usaha dan Pekerja Beserta Organisasinya
Mengembangkan dan memperkuat kapasitas, kemampuan, dan ketrampilan
produsen/usaha dan pekerja beserta organisasinya dilakukan melalui
pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksud adalah kepada kelompok
produsen mikro dan kecil yang umumnya berasal dari golongan masyarakat
berpendapatan rendah. Pemberdayaan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan
pendapatan mereka, tetapi juga kapasitas serta perubahan dalam hubungan
kekuasaan, sehingga peran mereka dalam pembangunan akan lebih bermakna
dan berkelanjutan. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah:

1. Pengembangan Kapasitas Produsen, melalui:


a. Pengembangan kapasitas produsen dalam hal produksi dan pasca
produksi (pelatihan, magang, pendampingan dan studi banding)
b. Pengembangan kapasitas produsen dalam hal negosiasi dalam
perdagangan
c. Pengembangan kapasitas produsen dalam aspek manajemen.
operasi bisnis dan dan pengelolaan keuangan

2. Pengorganisasian Produsen dan Pelaku Usaha Lainnya, melalui:


a. Pengorganisasian produsen ke dalam kelompok atau asosiasi
b. Penguatan organisasi produsen melalui pendampingan organisasi

3. Meningkatkan Kapasitas, Kemampuan dan Ketrampilan Pekerja


a. Membangun ketrampilan dasar pekerja
b. Pelatihan usaha/ketrampilan
c. Menjamin kualitas pelayanan yang disediakan

4. Pengembangan Bisnis Melalui Pemberian Pelayanan Pendukung


Usaha
a. Mendorong dibentuknya sebuah asosiasi usaha lokal yang dapat
menyediakan konsultasi bisnis
b. Mendorong perusahaan konsultan usaha setempat atau LSM untuk
bekerja dan memberikan pelayanan bisnis yang dibutuhkan
c. Membangun sebuah ‘one-stop-shop’ misalnya pada bagian
perekonomian Pemda kota, untuk memastikan bahwa informasi yang
dibutuhkan oleh dunia usaha tersedia

5. Mendorong Inovasi dan Diversifikasi, dengan:


a. Memberikan· penghargaan kepada perusahaan yang melakukan
inovasi dan diversilikasi
b. Memberikan hibah khusus kepada perusahaan yang melakukan
inovasi dan diversifikasi
c. Mengembangkan hubungan kerjasama bisnis yang baik

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 15
III.4.6. Membangun Kerja Sama Antardaerah (Horizontal Maupun
Vertikal)
Langkah terkakhir dalam tahapan pelaksanaan strategi pengelolaan PEL adalah
membangun kerjasama antardaerah baik secara horizontal maupun vertikal.
Penerapan PEL sebagai salah satu program otonomi daerah, pada
kenyataannya bukanlah sebuah sistem ekonomi yang tertutup dan terisolir dari
daerah lainnya. Diperlukan kerjasama ekonomi lintas batas daerah dalam:
 Merespon berbagai tekanan yang datang baik dari dalam daerah itu
sendiri maupun dari luar daerah, nasional, amupun internasional. Hal ini
dikarenakan sifat pasar yang tidak pasti, dinamis, dan terus berubah
 Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan., dengan
membangun suatu wilayah (sejumlah kota dan kabupaten) ke dalam
sebuah visi bersama
 Menghindari konflik dan persaingan berlebihan antardaerah. Kerjasama
antardaerah jauh lebih menguntungkan dibanding membiarkan
persaingan terjadi
 Mempermudah aliran pergerakan barang dan jasa dari satu daerah ke
daerah lainnya
 Meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan dana
 Memungkinkan terjadinya pengelolaan dan pemanfaatan infrastruktur
secara bersama
Kerjasama antardaerah dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal.
Kerjasama horisontal dapat dilakukon antar-kabupaten, antar-kota atau antara
kota dan kabupaten. Sedangkan kerjasama vertikal dapat dibangun antara kota
atau kabupaten dengan provinsi atau dengan pusat. Kerjasama vertikal
diperlukan untuk menghindari konflik kepentingan atau kebijakan yang kontra
produktil bagi upaya-upaya pengembangan ekonomi lokal di suatu daerah.
Kerjasama vertikal juga diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan
menyangkut kepentingan kota dan kabupaten yang membutuhkan koordinasi di
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Adapun kegiatan yang perlu dilakukan
dalam membangun kerjasama antardaerah baik secara horizontal maupun
vertikal antara lain:
1. Melakukan Studi Identifikasi Mengenai Keterkaitan Ekonomi Lokal
dengan Daerah Atau Wilayah Sekitarnya, dengan cara:
a. Melakukan studi yang bertujuan melakukan identifikasi mengenai jenis
dan bentuk keterkaitan dalam ekonomi dan pasar dengan
daerah/wilayah sekitar
b. Melakukan analisis awal mengenai peluang membangun kerjasama
ekonomi dengan daerah atau wilayah sekitar

2. Membangun Kerjasama dengan Daerah Lain yang Diformalisasi


Melalui Sebuah Nota Kesepahaman, dengan cara:
a. Melakukan penjajagan atas kemungkinan membangun kerjasama
saling menguntungkan dengan daerah/wilayah sekitar berdasarkan
studi yang dilakukan pada kegiatan poin pertama
b. Memformalisasikan kerjasama ke dalam bentuk nota kesepahaman
(MOU)

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 16
REFERENSI :
Badrudin, Rudy. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen dan Location Quotient.
Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis. Volume 7, No.1 Juni 2012 hal.17-37.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Acuan Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal
untuk Kota dan Kabupaten. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum.

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 17
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 12:
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC
RESOURCES DEVELOPMENT

STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


| 18
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 19
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 20
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 21
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 22
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 23
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 24
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 25
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 26
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 27
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 28
STRATEGI PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 29
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 13
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 13:
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................ ii


Daftar Gambar....................................................................................................... ii
Daftar Tabel........................................................................................................... ii
I. Definisi Monitoring dan Evaluasi..................................................................... 1
II. Tahapan Monitoring dan Evaluasi dalam Strategi LERD ................................ 2
III. Pembahasan dan Waktu Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
dalam Strategi LERD...................................................................................... 5
Referensi ............................................................................................................... 6
Bahan Tayang ....................................................................................................... 7

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Perencanaan Strategis dalam Pengelolaan LERD..................... 1


Gambar 2. Siklus Pengelolaan PEL ....................................................................... 2

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahapan dan Langkah dalam Pengelolaan PEL ....................................2

ii
I. DEFINISI MONITORING DAN EVALUASI
UN-HABITAT (2015) mendeskripsikan monitoring sebagai sebuah proses
berkelanjutan dari pengumpulan informasi menggunakan penilaian kinerja (atau
indikator) untuk mengukur sebuah proyek atau proses. Atau dengan kata lain
adalah upaya ‘untuk mengobservasi’ atau ‘untuk mengecek kinerja’. Sedangkan
evaluasi adalah menggunakan informasi dari monitoring untuk menganalisa
proses, program, dan proyek untuk mengetahui apakah terdapat peluang untuk
mengubah strategi, program, dan proyek. Dalam tahapan implementasi strategi
LERD, evaluasi digunakan untuk mengetahui apakah aksi yang dilakukan sesuai
dengan tujuan strategi, efisiensi, dan/atau efektivitas atau tidak.

II. TAHAPAN MONITORING DAN EVALUASI DALAM STRATEGI LERD


UN-Habitat (2005) menggambarkan proses Local Economic Development
melalui siklus perencanaan strategis yang terdiri dari 10 tahapan, dimana tahap
monev dilakukan pasca implementasi rencana dan sebelum tahap penyesuaian
dan modidikasi. Berikut adalah tahapan dan siklus yang dimaksud:

1. Persiapan
2. Stakeholders dan
partisipasi
3. Analisis situasi
4. Visioning
5. Menetapkan
tujuan
6. Identifikasi dan
evaluasi pilihan
strategi
7. Perencanaan aksi
dan dokumentasi
strategi
8. Implementasi
rencana
9. Monitoring dan
evaluasi (monev)
Gambar 1. Siklus Perencanaan Strategis
10. Menyesuaikan
dan memodifikasi dalam Pengelolaan LERD

(Sumber: UN-Habitat, 2005)

Berbeda dengan tahapan dan langkah dalam pengelolaan PEL yang disusun
oleh UN-HABITAT, tahapan dalam pengelolaan PEL yang disusun oleh
Kementerian Pekerjaan Umum (2012) terbagi atas 4 tahapan yang masing-
masing terbagi atas langkah-langkah tertentu. Berikut ini adalah tahapan dan
langkah-langkah dalam pengelolaan PEL menurut Kementerian Pekerjaan
Umum (2012), dimana tahapan monev adalah tahap terakhir:

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|1
Tabel 1. Tahapan dan Langkah dalam Pengelolaan PEL
Tahapan Utama dalam Langkah dalam Tahapan
Pengelolaan PEL
No. Langkah

Melakukan sosialisasi. penyebarluasan informasi dan


1. propaganda pendekatan PEL
Tahap I: Persiapan Membentuk organisasi pelaksana PEL di daerah
2.

3. Melakukan anallsis terhadap kondisi saat ini

Mengidentifikasi dan menentukan kluster ekonomi sebagai


4. fokus PEL

Membentuk dan mengembangkan forum kemitraan multi-


5. stakeholder PEL
Tahap II: Perencanaan
Merumuskan dan menyusun strategi. agenda program, dan
6. rencana aksi PEL

Memastikan terpenuhinya kondisi bagi keberhasilan


7. pelaksanaan PEL

8. Meningkatkan dan memperkuat kapasitas stakeholder daerah

Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya


9. investasi baru dan berkembangnya usaha mikro, kecil, dan
menengah

Mengembangkan, memperluas pasar, dan melakukan promosi


10. kluster ekonomi terpilih
Tahap III: Pelaksanaan
11. Memperkuat forum kemitraan PEL yang telah terbentuk

Mengembangkan dan memperkuat kapasitas, kemampuan,


12. dan ketrampilan produsen/usaha dan pekerja beserta
organisasinya

Membangun kerja sama antardaerah baik secara horizontal


13. maupun vertikal

Tahap IV: Monitoring dan Membangun sistem dan melaksanakan monitoring dan
14. evaluasi
Evaluasi (Monev)
(Sumber: diolah dari Kementerian
Pekerjaan Umum, 2012)

Tahapan terakhir (ke-4) dalam


pengelolaan PEL adalah
monitoring dan evaluasi. Tahapan
ini pada prinsipnya dilakukan
sepanjang pelaksanaan PEL,
bukan hanya setelah tahapan
ketiga selesai dilaksanakan. Pada
tahap implementasi PEL, monev
memiliki fungsi manajemen yang
sangat panting. Hasil dari kegiatan
monev akan bermanfaat dalam:

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 2 PEL
Gambar 2. Siklus Pengelolaan
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2012)
 Menjadi pondasi dan masukan penting bagi unit/lembaga/organisasi/task
force PEL dan juga forum kemitraan PEL di daerah untuk mengidentifikasi
persoalan yang terjadi
 Memberikan arah yang jelas mengenai tindakan korektif yang parlu
dilakukan
 Memperbaiki kualitas palaksanaan PEL secara keseluruhan, baik yang
sedang berjalan maupun yang akan datang
 Mengetahui apakah strategi atau program tertentu yang dijalankan dalam tujuan
PEL dapat diperluas atau direplikasi ke daerah lain atau tidak.

Meski tahap monitoring dan evaluasi (monev) merupakan tahap terakhir dari
pengelolaan PEL, namun sebenarnya monev merupakan bagian integral dari
siklus pelaksanaan PEL yang dapat dilakukan kapanpun dalam masing-masing
tahapan. Hasil dari monev berupa data dan informasi akan menjadi pondasi dan
masukan penting bagi unit/lembaga/organisasi/task force PEL dan juga forum
kemitraan PEL di daerah untuk mengidentifikasi persoalan yang terjadi dan
memberikan arah yang jelas mengenai tindakan korektif yang parlu dilakukan.
Satu-satunya langkah dalam tahapan monev adalah membangun sistem dan
melaksanakan monitoring dan evaluasi, yang terbagi menjadi tiga kegiatan
utama yakni (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012):
1. Membangun sistem dan melaksanakan monitoring, dengan cara:
a. Membuat perencanaan kegiatan monitoring.
b. Membangun sistem monitoring dan memilih instrumen monitoring
yang efektif dan mudah digunakan oleh stakeholder PEL, termasuk
metode self-assessment.
c. Menentukan indikator-indikator kinerja proses dan pancapaian yang
tepat dan relevan.
d. Melakukan kegiatan monitoring (pangumpulan data) secara reguler
terhadap proses dan pancapaian output PEL, beserta permasalahan
yang terjadi dalam palaksanaan PEL.
e. Melakukan analisis terhadap data yang diparoleh dan menyiapkan
laporan hasil monitoring.
f. Mengkomunikasikan hasil monitoring kepada stakeholder PEL melalui
forum kemitraan.

2. Membangun metode dan melakukan evaluasi melalui riset atau studi,


dengan cara:
a. Membuat perencanaan kegiatan evaluasi. meliputi identifikasi
permasalahan, tujuan, framework, dan metode yang akan digunakan.
b. Menyiapkan dan melakukan pengumpulan data berdasarkan
framework dan metode yang telah ditentukan.
c. Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dan menyiapkan
laporan hasil evaluasi.
d. Mengkomunikasikan hasil evaluasi kepada stakeholder PEL terkait
melalui forum kemitraan.

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|3
3. Membuat dokumentasi kasus praktik yang baik dan profil sukses dari
pelaksanaan dan pencapaian PEL, dengan cara:
a. Mengidentifikasi kasus-kasus pelaksanaan dan pencapaian PEL yang
dinilai berhasil sehingga patut untuk disebarluaskan.
b. Mengidentifikasi profil atau tokoh yang dinilai berhasil berperan dalam
mendorong, mendukung, dan mempercepat pencapaian tujuan-tujuan
PEL.
c. Melakukan studi atau mengumpulkan informasi.
d. Menyusun laporan studi kasus atau profil sukses dan
menyebarluaskannya sehingga dapat menjadi sumber inspirasi dan
contoh bagi inisiatif penerapan PEL di daerah lain.

Selain tahapan LERD yang dikonsepkan oleh UN-HABITAT dan Kementerian


Pekerjaan Umum, juga terdapat tipe tahapan lainnya. Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) membagi proses penyusunan strategi pengembangan
ekonomi lokal ke dalam 11 tahapan, dimana pemantauan dan evaluasi
merupakan tahapan terakhir. Berikut adalah tahapan-tahapan yang dimaksud
(ILO, 2005):
1. Mengidentifikasi tantangan dan membuat prioritas kegiatan:
a. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
b. Mengidentifikasi peluang
c. Mengidentifikasi ancaman
d. Mengidentifikasi keunggulan kompetitif dari perekonomian lokal
2. Menulis rencana
3. Menetapkan jadwal kerja dan tenggat waktu perencanaan
4. Menyusun anggaran awal
5. Menetapkan bidang intervensi yang utama
6. Membahas skema strategi PEL dengan seluruh mitra dan aktor
pembangunan yang relevan
7. Meninjau dan merevisi
8. Mencari persetujuan akhir
9. Mendistribusikan rencana akhir kepada:
a. Pejabat senior pemerintah daerah;
b. Kementerian dan badan pengurus pusat yang relevan;
c. Pendonor dan LSM;
d. Kamar Dagang dan asosiasi profesional; dan
e. Tokoh-tokoh masyarakat.
10. Pelaksanaan
11. Pemantauan dan evaluasi

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|4
III. PEMBAHASAN DAN WAKTU PELAKSANAAN MONITORING DAN
EVALUASI DALAM STRATEGI LERD
Pada tahapan pemantauan dan evaluasi penyusunan strategi PEL, perlu
diadakan kajian resmi tentang strategi PEL minimal sekali setahun, yang
membahas persoalan-persoalan yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
a. Bagaimana Anda dapat melibatkan semua mitra
pembangunan/aktor/tingkatan pemerintahan dalam mengevaluasi dan
memperbaharui strategi?
b. Apakah bidang masalah dan kekurangan sumber daya yang telah
berhasil diidentifikasi dalam pelaksanaan DT (Diagnosa Teritorial) dan PK
(Pemetaan Kelembagaan) dapat diatasi dengan baik?
c. Apakah strategi PEL mencerminkan pelajaran yang telah dipelajari?
d. Apakah anggota forum lokal memahami tanggung jawab mereka masing-
masing? Apakah anggota-anggota tersebut sudah terlatih?
e. Apakah rencana tersebut tetap mencerminkan pembangunan landskap
sosial/ekonomi dari daerah tersebut? Apakah rencana tersebut
mencerminkan aktor atau proses baru?
f. Apakah langkah-langkah yang sedang diambil untuk menggabungkan
sistem pendekatan pembangunan ekonomi lokal ke dalam proses-proses
lain?

Di samping kajian tahunan, strategi PEL juga dapat dimodifikasi secara periodik.
Budiharsono (2015) menyatakan untuk melakukan monev secara berkala,
dimana monitoring dilakukan sekurang-kurangnya 3 bulan sekali, sedangkan
evaluasi dilakukan pada akhir tahun. Hasil dari monev berupa modifikasi atau
revisi harus dipastikan untuk dijelaskan kepada seluruh stakeholder yang terkait
dengan hasil perubahan strategi PEL. Berbeda dengan Budiharsono, ILO (2005)
membagi pelaksanaan monev secara periodik pada saat:
a. Setelah setiap pelatihan/intervensi kebijakan utama dilaksanakan;
b. Bila ada perubahan personil atau tanggung jawab mereka; dan
c. Bila ada perubahan kebijakan atau prosedur.

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|5
REFERENSI :
Budiharsono, Sugeng. 2015. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah untuk
Meningkatkan Daya Saing Daerah.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Acuan Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal
untuk Kota dan Kabupaten. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). 2005. Panduan Operasional -
Pengembangan Ekonomi Lokal dalam Situasi Pasca Krisis. Jakarta: ILO.
UN-HABITAT. 2005. Promoting Local Economic Development through Strategic
Planning - Volume 1: Quick Guide. Kenya: UN-HABITAT, Canada: EcoPlan
International Inc.

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|6
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 13:
PENDEKATAN MONITORING DAN
EVALUASI PROGRAM LOCAL ECONOMIC
RESOURCES DEVELOPMENT

PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM


LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|7
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|8
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
|9
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 10
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 11
PENDEKATAN MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
| 12
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 14
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS
PENGEMBANGAN VALUE ADDED)

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 14:
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT DI
KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................ ii


Daftar Gambar....................................................................................................... ii
I. Tinjauan Singkat Karakteristik Studi Kasus: Kota Cirebon .............................. 1
II. Pembahasan Strategi Pengelolaan LERD di Kota Cirebon............................. 3
II.1. Tahapan Pengembangan Ekonomi Lokal Kota Cirebon ....................... 3
II.2. Fokus Pengembangan Ekonomi Lokal Kota Cirebon
dengan Value Added............................................................................ 8
Referensi ............................................................................................................... 11
Bahan Tayang ....................................................................................................... 12

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kuliner Khas Cirebon yang Berpotensi


Menjadi Komoditi Unggulan PEL .......................................................... 2
Gambar 2. Objek Wisata Kota Cirebon yang Berpotensi
Menjadi Komoditi Unggulan PEL .......................................................... 3
Gambar 3. Heksagonal Nation Brand .................................................................... 5
Gambar 4. Oktagonal Merk Negara ....................................................................... 6
Gambar 5. Heksagonal Merk Daerah ..................................................................... 6

ii
I. TINJAUAN SINGKAT KARAKTERISTIK STUDI KASUS: KOTA
CIREBON
Wilayah Kota Cirebon terdiri dari 5 kecamatan dan 22 kelurahan dengan
luas 37.38 km2. Kota Cirebon terletak di di pesisir utara Pulau Jawa, Provinsi
Jawa Barat. Kota ini juga dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan
Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Letak geografisnya yang berada di
lintasan Jawa Barat dan Jawa Tengah tersebut memberikan keunggulan sendiri.
Selain sebagai kota transit bagi mereka yang bepergian, kota ini menjadi daerah
tujuan wisata dan bisnis. Beberapa tujuan wisata alam yang terkenal di Cirebon
adalah Telaga Remis, Gua Sunyaragi, Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan,
Situ Sedong, Bukit Gronggong, dll.
Kota Cirebon juga dikenal dengan sebutan “Kota Udang” serta “Kota Wali”. Di
masa Sunan Gunung Jati wilayah Kesultanan Islam Cirebon sangat luas bahkan
sampai Banten. Selain itu, kota Cirebon dikenal dengan hinterland-nya
(Kabupaten Cirebon, Kabupaten Inderamayu dan Kabupaten Kuningan) dimana
sejak abad ke-16 telah berkembang menjadi pusat kerajaan dan kebudayaan
Islam di Jawa bagian barat. Bahkan Cirebon telah menjalin hubungan dengan
mancanegara seperti Tiongkok dan negara-negara Timur Tengah.
Wilayah Cirebon terpisah menjadi dua pada zaman Belanda, yaitu kota praja
Cirebon dan kabupaten Cirebon. Kota Cirebon di rencanakan menjadi kota The
New Metropolitan di Jawa Barat dimana wilayah penyangganya tidak hanya
Ayumajakun (Indaramayu, Majalengka dan Kuningan), tapi juga sampai ke Tegal,
Brebes, Purwokerto, dan Pekalongan sesuai dengan rencana PKN Cirebon
Raya. Sebagai kota yang berada di lintasan jalur perekonomian bagian barat dan
Tengah Pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi Kota Cirebon cukup pesat. Namun,
seiring waktu peranan wilayah Cirebon semakin berkurang dan terpaku pada
area regionalnya saja.
Wilayah Cirebon memiliki sangat banyak potensi daerah yang belum
termanfaatkan secara optimal. Potensi tersebut antara lain (Budiharsono, 2010):
1. Potensi kestrategisan lokasi
Pusat wilayah Cirebon, yaitu Kota Cirebon hanya menempuh 3-4 jam
dari Jakarta atau 2 jam dari Bandung dengan menngunakan mobil. Serta
setara dengan 45 menit menggunakan pesawat udara dari Jakarta dan
terletak pada jalur perlintasan Jawa, Bali, Sumatera.
2. Potensi sejarah wilayah dan peninggalan sejarah
Cirebon memiliki sejarah panjang sebagai pusat kerajaan dan
kebudayaan Islam. Peninggalan sejarah yang monumental diantaranya
seperti Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton
Kacirebonan; Makam Sunan Gunung Jati; dan Sunyaragi.

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|1
3. Potensi seni dan kebudayaan
Seni dan kebudayaan yang dimaksud seperti Tari Topeng, Tarling, Acara
Mauludan dll.
4. Potensi sumber daya alam dan sumber daya buatan
Cirebon dianugerahi potensi alam dan buatan yang luas seperti pantai,
gunung, sungai, bendungan, pelabuhan, bandara, pelabuhan perikanan
dll.
5. Potensi sumber daya manusia
6. Potensi kuliner
Beberapa potensi kuliner yang terkenal dari Cirebon diantaranya nasi
jamblang, empal gentong, tahu gejrot dll.

Gambar 1. Kuliner Khas Kota Cirebon yang Berpotensi Menjadi Komoditi Unggulan PEL

(A) Nasi Jamblang, (B) Tahu Gejrot, dan (C) Empal Gentong

(Sumber: Budiharsono, 2010)

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|2
Gambar 2. Objek Wisata Kota Cirebon yang Berpotensi Menjadi Komoditi Unggulan PEL

(A) Keraton Kesepuhan, (B) Keraton Kanoman,

(C) Makam Sunan Gunung Jati, dan (D) Gua Sunyaragi

(Sumber: Budiharsono, 2010)

II. PEMBAHASAN STRATEGI PENGELOLAAN LERD DI KOTA CIREBON


Strategi pengelolaan LERD atau PEL berikut berfokus pada upaya
pengembangan ekonomi lokal Kota Cirebon untuk dapat kembali berperan kuat
dalam perekonomian internasional sebagai Kota Antar Bangsa (internasional
city). Strategi ini disusun oleh Budiharsono (2010) yang dipresentasikan pada
saat Workshop and Action Pembangunan Ekonomi Kota Cirebon Berwawasan
Lingkungan di Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon pada 1 Februari 2010.

II.1. TAHAPAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KOTA CIREBON

1. Membangun Komitmen
Diperlukan komitmen yang kuat dari Walikota dan para bupati dalam
menyukseskan implementasi program LERD, terutama dengan adanya
program/kegiatan serta anggarannya setiap tahunnya dalam rentang waktu
yang lama. Strong leadership (khususnya dari walikota dan bupati) amat
diperlukan dalam membangunan komitmen tersebut. Selain itu, perlu juga
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|3
membangun komitmen antara pemerintah, dunia usaha, masyarakat,
akademisi, organisasi masyarakat madani yang kuat dalam PEL. Untuk
mewujudkan PEL di kota Cirebon, dapat dibentuk forum seperti yang
dilakukan di Jawa Tengah (FEDEP = Forum for Economic Development and
Employment Promotion). Untuk menstimulasi kegiatan FEDEP pemerintah
kota/kab di Jawa Tengah memberikan dana stimulan sebesar Rp 50 Juta per
tahun. Dampak dari kebijakan anggaran tersebut dalam PEL bagi kab/kota
yang bersangkutan sangat besar, karena forum ini amat membantu baik bagi
pemerintah maupun juga pelaku usaha.

2. Menentukan Komoditi Unggulan


Penentuan komoditi unggulan dilakukan oleh seluruh stakeholder kunci PEL
di wilayah Cirebon, dengan mempertimbangkan potensi sumber daya yang
ada. Komoditi yang dipilih harus berorientasi kepada permintaan jangka
pendek dan jangka panjang. Komoditi tersebut bukan hanya untuk pasar lokal
dan regional, tetapi juga untuk pasar internasional. Komoditi unggulan yang
dapat dipilih oleh Kota Cirebon dan hinterland-nya antara lain adalah
pariwisata yang diintegrasikan dengan sektor lainnya, seperti kerajinan batik,
kerajinan rotan maupun wisata budaya misalnya Tari Topeng dan lain
sebagainya. Mengingat pariwisata antara satu daerah dengan daerah lainnya
saling terkait, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah, misalnya: Kota
Cirebon – Kabupaten Cirebon – Kabupaten Kuningan dan Kabupaten
Indramayu.

3. Membangun Local Branding


Pemasalahan yang terjadi saat ini adalah dengan adanya globalisasi
menyebabkan produk barang dan jasa yang ditawarkan relatif sama dalam
desain, kualitas, harga, dsb. Oleh karena itu perlu sesuatu yang unik dan
berbeda untuk meningkatkan daya saing (competitive advantage). Definisi
nation/local branding adalah pembentukan citra (secara internal dan
eksternal) untuk negara atau daerah atau beberapa daerah berdasarkan nilai-
nilai dan persepsi yang positif dan relevan. Pelaku utama local branding
adalah pembuat strategi dan dunia usaha.

Menurut Anholt (2005) dalam Budiharsono (2010), ada 6 faktor yang


mempengaruhi national branding, yaitu : ekspor, pariwisata, tata kelola,
investasi dan imigrasi, budaya dan warisan, dan manusia, yang disebutnya
dengan istilah Hexagonal Nation Brand (Kemerkan Nasional). Berikut ini
adalah gambar skematis Heksagonal Nation Brand:

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|4
Gambar 3. Heksagonal Nation Brand

(Sumber: Anholt (2005) dalam Budiharsono (2010))

Pariwisata merupakan salah satu aspek yang sangat membantu dalam


memasarkan merk nasional (nation brand) di dunia, karena pariwisata
merupakan salah satu perwujudan visual yang nyata dari suatu negara dan
dapat menggambarkan citra suatu negara. Pengelolaan pariwisata yang baik
akan berdampak terhadap kinerja lain dari suatu negara, misalnya para
investor akan menginvestasikan modalnya pada suatu negara karena tertarik
dengan pengelolaan pariwisatanya.
Pada banyak negara berkembang, seringkali produk yang dijualnya tidak
mempunyai merk. Oleh karena itu ekspor dengan brand sangat potensial
dalam membentuk pencitraan negara secara berkelanjutan. Banyak kasus
menunjukkan bahwa pertumbuhan yang cepat di abad ini terjadi karena
beberapa wilayah menjadi magnet bakat, investasi dan kegiatan bisnis. Brand
wilayah yang tepat dan kuat dapat menciptakan preferensi positif dan
menempatkannya pada daftar wilayah yang patut diperhatikan.
Budiharsono (2010) sedikit memodifikasi model yang dikembangkan Anholt
(2005) dengan menambahkan kebijakan luar negeri dan kepemimpinan ke-
dalam aspek penting lainnya. Unsur kebijakan luar negeri datang dari model
yang dikembangkan Mihalache dan Vukman (2005). Keduanya mengganti
unsur Tata Kelola dengan Kebijakan Dalam dan Luar Negeri. Unsur kebijakan
luar negeri menjadi sangat penting, karena suatu negara yang berdaulat
harus mempunyai kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif serta
independen. Selain itu, kebijakan luar negeri sangat penting dalam membuat
suasana yang baik, khususnya dalam hal pelayanan perizinan, penyediaan
sarana dan prasarana dasar dan pelayanan publik lainnya. Selain itu, unsur
kepemimpinan menurut Budiharsono (2010) sangat penting dalam
mempengaruhi nation branding. Sejarah membuktikan bahwa kepemimpinan
yang kuat mampu membentuk nation branding-nya dengan baik, seperti
Deng Xiao Ping di Cina, PM Manmohan Singh di India, Mahathir Muhammad
di Malaysia, dll. Penambahan kedua unsur ini membuat model Budiharsono

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|5
(2010) menjadi Oktagonal Merk Negara (Nation Brand Octagon), yang
digambarkan secara sistematis seperti gambar berikut:

Gambar 4. Oktagonal Merk Negara

(Sumber: Budiharsono, 2010)

Unsur-unsur pembentuk merk daerah berbeda dengan merk nasional, yaitu


hanya 6 unsur. Daerah tidak mempunyai kebijakan luar negeri, demikian juga
unsur pariwisata merupakan bagian yang diekspor, karena dapat merupakan
produk unggulan dari daerah tersebut. Karena hanya ada enam unsur maka
disebut dengan Heksagonal Merk Daerah (Region Brand Hexagon). Berikut
adalah gambar model Heksagonal Merk Daerah:

Gambar 5. Heksagonal Merk Daerah

(Sumber: Budiharsono, 2010)

Bagaimana Cara Membangun Local Branding?


Pembangunan local branding harus melibatkan semua pihak termasuk
pemerintah daerah, dunia usaha, aparat keamanan, artis, media, olah raga,
pendidikan, LSM dan konsultan. Diperlukan survei mengenai bagaimana
preverensi kota baik menurut masyarakat dalam dan luar negeri, serta
pemetaan kekuatan dan kelemahan daerah. Keseluruhan program harus
berdasarkan sesuatu yang positif dan relevan, serta harus dikoordinasikan
untuk ekspor, investasi dan pariwisata.
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|6
Program pembuatan local branding ini bisa berlangsung lama lebih dari 20
tahun. Penguatan local branding Indonesia sangat tepat mengingat kondisi
national branding Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2008, peringkat
national branding Indonesia ada di posisi 19 dari 20 negara di Asia atau
peringkat 168 untuk tingkat dunia. Sedangkan menurut nation brand index
pada tahun 2011 dari Future Brand, Indonesia berada pada posisi ke-76 dari
113 negara dan pada posisi ke-202 dari 235 negara menurut East West
Communication. Buruknya national branding Indonesia ini terutama
disebabkan oleh:
a. Produk yang ditawarkan baik barang dan jasa masih diragukan
kualitasnya, karena proses produksi maupun input produksinya tidak
mengikuti standar mutu yang ada.
b. Pemberitaan terus-menerus tentang terorisme yang dalam jangka
pendek maupun jangka panjang akan merusak citra bangsa dan
negara;
c. Tata kelola pemerintahan yang buruk (bad governance) dan tidak
bersihnya pemerintahan (dirty government). Hal ini ditunjukkan dengan
pengurusan perizinan yang masih sulit, pelayanan publik yang masih
rendah kualitasnya, dan korupsi yang sangat parah di berbagai
tingkatan;
d. Kondisi SDM dan penguasaan teknologi yang relatif masih sangat
rendah;
e. Moral kedisiplinan yang masih rendah;
f. Tingkat keamanan yang belum terjamin bagi kedatangan pengunjung
luar ke Indonesia;
g. Masih adanya konflik-konflik sosial baik horisontal maupun vertikal.

Contoh local branding yang dilakukan di negara lain diantaranya:


1. Bolzano-Bozen Italy
Pegunungan Alpen dan tempat wisata yang terintegrasi dengan
perkebunan apel merupakan salah satu kebanggaan daerah Bolzano-
Bozen, Italy, dimana buah apel dan stroberi merupakan komoditi
unggulan daerah ini.
2. Desa Spreewald, Berlin
Daerah wisata berupa rawa dan acar timun merupakan salah satu
komoditi unggulan Desa Spreewald, Berlin
3. Cai Bei, Vietnam-Kamboja
Potensi sumber daya alam serta unggulan pariwisata yang dimiliki Cai
Bei, Vietnam-Kamboja salah satunya adalah Sungai Mekong, dengan
wisata menyusuri sungai mekong sebagai local branding di Cai Bei

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|7
II.2. FOKUS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KOTA CIREBON DENGAN
VALUE ADDED
Budaya dan warisan seringkali dikenal dengan baik tetapi tidak dapat disalurkan
secara efisien menjadi nilai tambah yang bernilai jual, padahal elemen ini
menawarkan dimensi ketiga yang mencitrakan kekayaan, martabat,
kepercayaan, dan penghormatan dari negara lain serta kualitas hidup bagi yang
tinggal di dalamnya (Budiharsono, 2010). Berangkat dari potensi Kota Cirebon
yang sebelumnya dibahas bahwa belum dikembangkan secara optimal, maka
fokus pengembangan ekonomi lokal yang sesuai dengan Kota Cirebon adalah
melalui perbaikan dan peningkatan nilai tambah dari potensi-potensi tersebut,
tanpa mengesampingkan potensi lain yang belum tergali.
Kota Cirebon terkenal dengan sebutan “The Hidden Paradise Behind The Mask”
atau Surga Tersembunyi Dibalik Topeng. Hal ini seperti perumpamaan wajah-
wajah cantik wanita Cirebon di balik topeng saat menarikan Tari Topeng Cirebon.
Selain Tari Topeng, Cirebon juga dikenal dengan peninggalan sejarah, batik,
kerajinan rotan, pertanian, kuliner dan pemandangan laut dan pegunungan yang
sangat indah. Potensi yang sangat besar dan luar biasa ini merupakan aset bagi
pengembangan wilayah Cirebon, namun pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat harus bersama-sama bekerja untuk membangun agar wilayah
Cirebon benar-benar menjadi surga bagi pelancong domestik dan luar negeri.
Tahapan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai hal tersebut (tahapan
kegiatan ini tidak harus dilakukan secara berurutan dan juga dapat dilakukan
secara bersamaan) adalah sebagai berikut (Budiharsono, 2010):

a. Mengubah Mindset
Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa agar tercipta local
branding yang baik harus merubah pola pikir (mindset) masyarakat
berkelas internasional. Serta secara sadar harus memperbaiki mindset
tersebut. Perubahan mindset terutama dalam hal: kedisiplinan,
kebersihan, moral yang baik (tidak korupsi), kesopansantunan, keramah-
tamahan, dll.
b. Kerjasama Pemerintah-Swasta
Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak swasta dapat dilakukan
guna meningkatkan pemanfaatan potensi lokal yang
dimilikinya. Kerjasama dapat dilakukan dengan:
 Biro Perjalanan (misal ASITA) agar wilayah Cirebon dimasukkan
dalam bagian promosi maupun daerah tujuan wisata.
 Kerjasama dapat dilakukan juga dengan asosiasi hotel dan restoran
(misal PHRI) agar booklet/leaflet dan program kunjungan ke wilayah
Cirebon ada pada setiap hotel anggota PHRI.
 Kerjasama pemerintah wilayah Cirebon dengan maskapai
penerbangan agar bahan-bahan promosi wilayah Cirebon ada di
pesawat atau bahkan diputar dalam pesawat. Juga meminta
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|8
maskapai penerbangan tertentu (misal Air Asia) untuk membuat rute
Cirebon Malaysia atau Cirebon – Singapore.
 Kerjasama dengan asosiasi pengelola pariwisata (misal Grahawisri),
agar Kota Cirebon dipromosikan dalam event-event yang mereka
adakan.
c. Kerjasama Antar-Pemerintah
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Kota Cirebon memerlukan
dukungan dari daerah sekitarnya. Kerjasama untuk membangun
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) kota Cirebon dapat dilakukan
melalui:
 Pemerintah Pusat
1. Departemen perhubungan: Perpanjangan landasan bandara,
sehingga menjadi bandara internasional dan jalur KA Bandung-
Cirebon agar segera direalisasikan.
2. Departemen budaya dan pariwisata, departemen perdagangan
dan BKPM: Agar minta dipromosikan dalam event promosi
pariwisata, perdagangan dan investasi di luar negeri
 Pemerintah Provinsi
Meminta dukungan agar pemerintah pusat mau membangun bandara
internasional di Cirebon, relaisasi jalur KA Bandung – Cirebon, jalan
tol, turut mempromosikan Kota Cirebon di dalam dan luar negeri
dalam berbagai event promosi.
 Antar Pemerintah Kota/Kabupaten
Kota Cirebon dapat melakukan kerjasama dengan kabupaten-
kabupaten yang menjadi hinterland-nya atau bahkan melakukan
kerjasama dengan kota lain di mancanegara (sister city).
Kerjasama yang diperlukan antara lain, yaitu:
1. Kota Cirebon – Kabupaten Cirebon: Pengembangan obyek wisata
bersama khususnya untuk sentra produksi batik dan furnitur rotan,
wisata budaya (tari topeng) dan obyek wisata lainnya
2. Kota Cirebon – Kabupaten Kuningan: Kerjasama dalam
pengembangan obyek wisata, khususnya wisata pegunungan dan
waduk.
3. Sister City: Melakukan kerjasama khususnya dengan kota-kota di
luar negeri yang secara potensial akan menyumbang wisatawan
ke Cirebon (misalnya dengan Malaysia dan Brunei Darussalam –
baik dari wisatawan maupun aspek kesejarahan kerajaan
Cirebon), dengan Cina dan negara-negera Timur Tengah (Dubai
dan Qatar).

d. Promosi
Promosi amat penting dilakukan dengan berbagai cara baik di dalam
negeri maupun luar negeri. Jangan merasa puas dengan kondisi yang
telah dicapai saat ini. Promosi melibatkan seluruh stakeholder kunci
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
|9
terutama pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Cara promosi dapat
dilakukan melalui internet, eksebisi, pameran, festival, dll. Pemerintah
kota menyiapkan materi promosi dalam bentuk multimedia, booklet,
kelompok tari topeng, barang-barang yang akan dipromosikan, dll.
e. Memasukkan ke dalam Dokumen Perencanaan dan Anggaran
Agar PEL dapat berkelanjutan maka apa yang telah diuraikan di atas
dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran, seperti:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis
(RENSTRA) SKPD, RPKD dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Seluruh stakeholder terlibat dari mulai proses
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasinya.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa komitmen pengembangan


ekonomi lokal Kota Cirebon dan hinterland-nya dari stakeholder kunci sangat
diperlukan. Mengingat proses pengembangan ekonomi lokal merupakan proses
multistakeholder juga untuk mencapai keberhasilan memerlukan waktu yang
cukup lama. Untuk mempercepat pengembangan ekonomi lokal, dapat juga
meminta bantuan dari lembaga donor, namun harus dipastikan bahwa lembaga
donor tersebut harus mengikuti kemauan daerah, sesuai grand strategi
pengembangan ekonomi lokal yang dibuat, jadi bukan karena dorongan lembaga
donor (donors driven). Pengembangan wilayah Cirebon sebagai surga
pariwisata, bukanlah sesuatu yang mustahil selama terdapat komitmen dari
seluruh stakeholder kunci dan terdapat cita-cita yang sama, yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat wilayah Cirebon dan pengembangan ekonomi daerah
yang berkelanjutan.

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 10
REFERENSI :
Budiharsono, Sugeng. 2010. Pengembangan Ekonomi Lokal Wilayah Cirebon - The
Hidden Paradise Behind The Mask. Workshop and Action Pembangunan
Ekonomi Kota Cirebon Berwawasan Lingkungan. 1 Februari 2010. Kota Cirebon.
Sitompul, Nelson. 2015. 13 Wisata Populer dan Terbaru di Cirebon.
https://www.wisatania.com/tempat-populer-dan-terbaru-di-cirebon. 28 Oktober
2016 (00:33).

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 11
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 14:
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC
RESOURCES DEVELOPMENT DI
KOTA/KABUPATEN (FOKUS
PENGEMBANGAN VALUE ADDED)

CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT


DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 12
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 13
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 14
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 15
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 16
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 17
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 18
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 19
CONTOH KASUS LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
DI KOTA/KABUPATEN (FOKUS PENGEMBANGAN VALUE ADDED)
| 20
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 15
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN

1). Bahan Ajar


2). Copy Slides

i
BAHAN AJAR 15:
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN

DAFTAR ISI

Daftar Isi .......................................................................................................................... ii


Daftar Tabel ..................................................................................................................... ii
I. Pemrograman Kegiatan Local Economic Resources Development............................ 1
1. Pembentukan dan Penguatan Forum Stakeholder di Kabupaten/Kota ................. 2
2. Penentuan Komoditi Unggulan ............................................................................. 3
3. Penyusunan Rencana dan Anggaran................................................................... 4
4. Pelaksanaan LERD .............................................................................................. 4
5. Monitoring dan Evaluasi ....................................................................................... 9
II. Penganggaran Kegiatan Local Economic Resources Development ........................... 14
A. Bahan Pertimbangan ........................................................................................... 14
B. Hal yang Harus Dilakukan .................................................................................... 16
Referensi ......................................................................................................................... 28
Bahan Tayang................................................................................................................... 29

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Pelaksanaan Program LERD .............................................................. 1

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rencana Aksi Pelaksanaan LERD .................................................................. 10


Tabel 2. Sumber Pengumpulan Informasi Diagnosa Wilayah dan Pemetaan Institusi ... 17
Tabel 3. Penilaian Terhadap Pasar dan Kebutuhan-Kebutuhan Pembiayaan
(Sisi Permintaan) ............................................................................................. 19
Tabel 4. Penilaian Terhadap Pasar dan Kebutuhan-Kebutuhan Pembiayaan (Sisi
Persediaan) ..................................................................................................... 21
Tabel 5. Unsur-Unsur Analisis SWOT Berkaitan dengan Pembiayaan .......................... 22
Tabel 6. Unsur-Unsur Rencana Kerja Berkaitan dengan Pembiayaan ........................... 22

ii
Tabel 7. Contoh Matrik Program dan Kegiatan Pengembangan Ekonomi Lokal
dan Daerah dengan Komoditas Unggulan Karet di Kabupaten Banjar
Provinsi Kalimantan Selatan 2011-2015 .......................................................... 24
Tabel 8. Contoh Matrik Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian Target MDGs – 1
........................................................................................................................ 26
Tabel 9. Contoh Matrik Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian Target MDGs – 2
........................................................................................................................ 27

iii
I. PEMROGRAMAN KEGIATAN LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT
Budiharsono (2005) menyusun rencana aksi pelaksanaan program Pengembangan
Ekonomi Daerah dan Lokal (PELD) atau LERD. Pelaksanaan program tersebut disusun
untuk lima tahun dengan lima tahapan utama. Adapun kelima tahapan tersebut adalah:

1. Pembentukan dan penguatan forum stakeholder LERD


2. Kajian komoditi unggulan dan kawasan
3. Penyusunan rencana dan anggaran
4. Pelaksanaan LERD melalui klaster dan region branding
5. Monitoring dan evaluasi

Secara skematik tahapan pelaksanaan LERD tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Pelaksanaan Program LERD

Sumber: Budiharsono (2015)

Proses LERD adalah proses multistakeholder, oleh karena itu hal pertama yang
harus dilakukan adalah membangun komitmen dari seluruh stakeholder yang
terlibat, khususnya adalah kepala daerah, dunia usaha dan organisasi masyarakat
madani. Komitmen yang kuat dari kepala daerah dalam proses LERD, yang
diimplementasikan terutama dengan adanya program/kegiatan serta anggarannya
setiap tahunnya dalam rentang waktu yang lama. Selain komitmen, juga diperlukan
kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dari kepala daerah. Dengan
dibangunnya komitemen tersebut, nantinya akan terjalin kepercayaan (trust)
diantara stakeholder yang terlibat. Selanjutnya keterlibatan pemerintahan daerah
(ekskutif dan legislatif), dunia usaha dan organisasi masyarakat madani (akademisi,
LSM dll) dapat dikukuhkan dalam suatu organisasi kemitraan yang disebut Forum
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
|1
Stakeholder PELD atau Forum Stakeholder LERD. Preseden yang baik dari forum
stakeholder LERD adalah FEDEP (Forum for Economic Development and
Employment Promotion), yang sudah berjalan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah.

1. PEMBENTUKAN DAN PENGUATAN FORUM STAKEHOLDER DI


KABUPATEN/ KOTA
Berdasarkan pengalaman pembentukan forum stakeholder LERD di
daerah, maka ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan, yaitu:
 Identifikasi stakeholder kunci yang terlibat dengan menggunakan analisis
stakeholder sehingga akan diperoleh stakeholder kunci yang akan
terlibat dalam Forum Stakeholder. Kegiatan ini biasanya diinisiasi oleh
Bappeda dengan melibatkan stakeholder lainnya. Hal yang paling
penting agar forum ini dapat berjalan dengan baik adalah adanya local
champion, yaitu stakeholder yang dapat menggerakan dan memotivasi
forum tersebut untuk dapat berjalan dengan baik.
 Setelah diketahui stakeholder kunci yang terlibat dan local champion,
Bappeda setempat menginisiasi pembentukan Forum Stakeholder.
 Perlu pendampingan dalam proses pembentukan maupun penguatan
Forum Stakeholder.
 Organisasi ini tidak harus dipimpin oleh birokrat tapi bisa juga dari dunia
usaha. Seyogyanya sebagian besar anggota (lebih dari 50%) berasal
dari dunia usaha (pelaku usaha yang terlibat langsung, asosiasi bisnis
dan perbankan), sedangkan sisanya dari pemerintahan daerah,
akademisi, LSM, tokoh masyarakat, media masa dan pegiat seni
budaya.

Fungsi forum stakeholder LERD di kabupaten/kota tersebut berfungsi dalam:


a. Memberikan rekomendasi kepada kepala daerah atau daerah mengenai:
 Penguatan UMKM
 Penguatan klaster usaha
 Penguatan dunia usaha agar memiliki jejaring bisnis dengan mitra lainnya
baik di lingkup nasional maupun internasional
 Optimalisasi layanan publik dari pemerintah daerah kepada pelaku usaha
 Meningkatkan usaha untuk mencipkatakan iklim bisnis yang kondusif.
 Meningkatkan kinerja sektor publik
 Mempromosikan dan meningkan pemasaran produk-produk unggulan
dari daerah tersebut.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


|2
b. Meningkatkan kemitraan dan kerjasama antar stakeholder yang terlibat
dalam PELD baik dari dunia usaha, pemerintah, akademisi dan yang
lainnya.
c. Meningkatkan kinerja sistem yang ada melalui pendidikan dan pelatihan
(peningkatan kapasitas)
d. Melaksanakan monitoring dan evaluasi program-program PELD.

Pembiayaan untuk pelaksanaan forum LERD tersebut, berdasarkan


pengalaman dari Provinsi Jawa Tengah berasal dari Pemda dengan besaran
dari Rp.50 juta sampai Rp.100 juta/tahun. Pembiayaan merupakan insentif
untuk pelaksanaan rapat-rapat dan dikelola oleh Pemda (swa-kelola).

2. PENENTUAN KOMODITI UNGGULAN


Tahap ini meliputi kegiatan pengumpulan data dan informasi, serta analisis
data. Pengumpulan data dan informasi dilakukan secara partisipatif baik di
tingkat masyarakat maupun di tingkat birokrasi dan dunia usaha. Analisis data
meliputi analisis rantai nilai (value chain analysis) dan analisis pengembangan
wilayah serta analisis RALED. Untuk menentukan komoditi unggulan dapat
digunakan Analisis Location Quotient (LQ) atau Revealed Comparative
Advantage (RCA). Sedangkan untuk mengetahui kondisi komoditi unggulan dari
hulu ke hilir menggunakan Analisis Value Chain (VCA). Setelah diketahui
komoditi unggulan (bisa 1 sampai 3 komoditi unggulan prioritas), kemudian
dilakukan musyawarah dari forum stakeholder yang sudah dibentuk, untuk
menentukan komoditi unggulan daerah tersebut.
Umumnya untuk menentukan komoditi unggulan ini sangat sulit, karena merasa
bahwa daerah mampu mempunyai banyak komoditi unggulan. Namun
sebaiknya dalam menentukan komoditi unggulan memperhartikan beberapa
aspek berikut:
 Analisis RALED digunakan untuk menentukan status LERD pada suatu
daerah dan atribut pengungkit (leverage attribute) yang nantinya dijadikan
untuk menyusun Rencana Induk (Master Plan). Sedangkan analisis
pengembangan wilayah, khususnya dari segi keruangan dapat
menggunakan analisis sosiogram, skalogram dan Sistem Informasi Geografi
(SIG)
 Mempertimbangkan potensi sumber daya yang ada, yaitu: sumber daya
alam, sumber dalam manusia dan strategisitas lokasi daerah.
 Berorientasi kepada permintaan jangka pendek dan jangka panjang. Bukan
hanya untuk pasar lokal, regional, tetapi juga untuk pasar internasional.
 Komoditi unggulan yang dipilih harus diintegrasikan dengan sektor lainnya.
Pengembangan komoditi unggulan jangan hanya satu komoditi saja (single
commodity development), namun harus diintegrasikan dengan sektor
lainnya misalnya pariwisata.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


|3
3. PENYUSUNAN RENCANA DAN ANGGARAN
Tahap ini meliputi kegiatan penyusunan rencana LERD (klaster) industri kreatif
dan pengintegrasian rencana tersebut ke dalam dokumen perencanaan dan
penganggaran daerah. Dasar penyusunan rencana dan anggaran berdasarkan
hasil analisis VCA, Analisis RALED dan analisis pengembangan wilayah.
Rencana yang akan disusun meliputi:
a. Rencana Induk LERD di kabupaten/kota
b. Rencana Bisnis dan
c. Rencana Aksi
Berdasarkan hasil analisis tersebut dan telah memperhatikan RTRW Kabupaten
serta RPJMD dan Renstra SKPD. Penyusunan rencana dilakukan secara
partisipatif. Hal yang paling penting dalam penyusunan rencana induk ini adalah
bahwa rencana induk (sebaiknya dilegalkan dalam bentuk Perbup/Perwali, dan
sangat baik dalam bentuk Perda) nantinya dijadikan pedoman dalam
penyusunan rencana dan anggaran oleh seluruh SKPD, sehingga rencana
induk ini sebaiknya dapat dintegrasikan dengan dokumen perencanaan dan
anggaran daerah (RPJPD, RPJMD, RENSTRADA dan APBD).
Khusus untuk penyusunan rencana anggaran dalam rencana induk LERD di
kabupaten/kota ini seyogyanya menggunakan program financial matrix. Dalam
program financial matrix ini sudah dijelaskan tentang program dan kegiatan,
volume dan lokasi kegiatan, biaya/anggaran kegiatan dan penanggungjawab
kegiatan, baik dari pemerintah daerah, pemerintah provinsi,
kementerian/lembaga, donor maupun masyarakat. Program financial matrix
inilah yang akan dijual kepada stakeholder tersebut. Dalam penyusunan
program financial matriks harus mengundang seluruh stakeholder kunci
tersebut, dan yang diundang adalah orang yang mempunyai otoritas dalam
alokasi anggaran organisasi yang diwakilinya. Dalam program financial matrix
yang dimuat bukan hanya sekadar rencana dan anggarannya tetapi sudah
merupakan komitmen dari organisasi tersebut.
Setiap kegiatan dibuat TOR singkat, dan kemudian dipromosikan kepada
organisasi/lembaga yang tercantum dalam program financial matrix. Diperlukan
peran aktif dari seluruh organisasi pemerintahan yang ada untuk ‘menjemput
bola’ kepada organisasi-organisasi tersebut. Kepada SKPD yang memperoleh
dana dari stakeholder pemberi dana, diberikan insentif seperti yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo.
4. PELAKSANAAN LERD
Pelaksanaan LERD pada prinsipnya selain dengan memperkuat forum LERD,
juga dengan membangun klaster bisnis yang dilakukan oleh seluruh stakeholder
kunci, baik oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, donor agency
maupun organisasi masyarakat madani (akademisi, dll). Klaster merupakan
konsentrasi geografis perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada
sektor tertentu (Porter, 1998 dalam Budiharsono, 2005). Klaster diharapkan
dapat menghilangkan kendala-kendala dan inefisiensi untuk meningkatkan
produktivitas. Koordinasi pelaksanaan sebaiknya dilakukan oleh Forum
Stakeholder atau pengelola klaster agar terjadi keterpaduan dan keharmonisan
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
|4
dalam pelaksanaan pengembangan kawasan tersebut.
Globalisasi menyebabkan produk-produk yang dihasilkan oleh daerah-daerah
lain dalam suatu negara maupun dari negara-negara lain satu sama lainnya
mempunyai kemiripan dengan harga yang hampir sama. Oleh karena itu agar
produk suatu daerah memiliki keunikan biasanya dibangun suatu citra bahwa
daerah yang memproduksi suatu barang mempunyai keunikan tertentu baik dari
cara membuat maupun produk barang dan jasa yang dihasilkan. Proses
tersebut salah satunya dengan cara pemberian merek daerah (region branding),
jadi bukan hanya produk saja yang memiliki merek, melainkan juga daerah
produsennya.
Tahapan pengembangan klaster dan region branding adalah sebagai berikut:
1. Tahapan Pengembangan Klaster
 Sosialisasi klaster, mulai dari batasan klaster, kelembagaan klaster
hingga strategi pengembangan klaster. Hal ini diperlukan agar terjadi
kesepahaman mengenai klaster diantara pelaku usaha, instansi
pembina klaster dan lembaga-lembaga penunjang kegiatan klaster
sehingga baik usulan jenis produk unggulan/sentra dan program
pembinaan dapat tepat sasaran
 Mengidentifikasi berbagai produk unggulan daerah/sentra yang akan
berpotensi untuk dikembangkan melalui pendekatan klaster
 Melakukan survei lapangan untuk kepentingan validasi dan
pengumpulan data yang berhubungan kriteria produk unggulan yang
dapat dikembangkan melalui pendekatan klaster; seperti prospek pasar,
jumlah pengusaha, ketersediaan bahan baku, keterkaitan dengan usaha
lain
 Evaluasi secara obyektif untuk menentukan kelayakan produk unggulan
daerah/sentra yang diusulkan berdasarkan hasil survei
 Menetapkan produk unggulan daerah/sentra yang dapat dikembangkan
berbasis klaster.
 Membentuk manajemen klaster, dengan terlebih dahulu mencari local
champion yang merupakan penggerak klaster.
 Menyusun AD/ART klaster oleh manajemen klaster
 Menyusun rencana bisnis oleh manajemen klaster
 Pelaksanaan dan pembinaan klaster

2. Tahapan Region Branding


a. Mengkaji Citra Bangsa/Wilayah
 Pemerintah memulai proses pembangunan region branding dengan
mengkaji tentang citra bangsa/wilayah saat ini dalam rangka
memperkuat persepsi positif negara/wilayah tersebut dan menyaring
persepsi negatif.
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
|5
 Simon Anholt mengusulkan bahwa citra negara/wilayah didasarkan
kepada bagaimana negara/wilayah tersebut dikenal selama ini, siapa
yang mengetahuinya, dan dengan cara apa diketahuinya.

b. Membentuk Kelompok Kerja


 Proses membangun region branding merupakan kemitraan antara
publik-swasta dan melibatkan seluruh stakeholder kunci, dengan
pemain utama adalah pemerintah. Stakeholder lain seperti media,
pendidik, atlet, budayawan diajak dalam kelompok kerja ini.
 Hal yang paling utama dalam proses membangun branding ini
melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif.
 Proses membangun region branding adalah proses inklusif bukan
eksklusif, tapi kelompok kerja ini harus efektif dan efisien.

c. Mengidentifikasi Daya Saing Wilayah


Daya saing wilayah dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut:
 Natural Endowement: sumber daya alam, lokasi wilayah, sejarah
wilayah, obyek wisata, mentalitas manusianya (pekerja keras, bervisi
ke depan, masyarakat yang santun dan sopan, damai dsb)
 Aquired Endowment: barang publik, kualitas infrastrukur, tingkat
melek huruf, ketrampilan masyarakat, penguasaan bahasa asing,
hukum, kesehatan, pendidikan, perbankan dlsb.
 Mitigasi Resiko: posisi di tingkat internasional, risiko politik,
perjanjian internasional yang menguntungkan, sejarah kredit dan
asuransi yang tersedia untuk investor dan eksportir.
 Kondisi Ekonomi: tingkat pertumbuhan ekonomi, kebijakan ekonomi,
stabilitas moneter, akses terhadap kredit dan peluang pasar
internasional.

d. Mengidentifikasi Kelompok Sasaran


Menidentikasi kelompok sasaran dari region branding adalah salat satu
hal yang penting. Simon Anholt menyatakan bahwa mengidentifikasi
kelompok sasaran harus sejajar dengan tujuan dari region branding
seperti: mitra dagang, pasar ekspor, sekutu politik, mitra budaya,
mahasiswa dan pelaku bisnis. Namun, penting juga diperhatikan bahwa
kelompok sasaran lokal (target internal) dimasukkan dalam upaya
region, karena mereka kemudian akan menjadi brand ambassador
wilayah tersebut, misalnya dalam interaksi mereka dengan turis, investor
dan pengunjung lainnya.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


|6
e. Menentukan Pesan Utama dan Identitas Daerah
Suatu bangsa/wilayah tidak bisa menjadi segalanya bagi semua orang di
dunia dan dengan demikian harus mengembangkan pesan khusus yang
ditargetkan pada kelompok sasaran tertentu atau disebut juga dengan
pesan inti. Pesan inti harus jelas, konsisten dan kredibel juga harus
sejalan dengan identitas nasional/wilayah dan harus bermuatan ajakan
yang unik dan berkaitan dengan keunggulan kompetitif bangsa atau
wilayah tersebut. Pesan inti juga harus sejalan dengan aspirasi
masyarakat setempat.
Setiap nation/region branding harus memiliki pesan yang jelas dan
identitas yang berbeda. Identitas bangsa/wilayah merupakan sesuatu
hal yang dirasakan oleh kelompok sasaran tentang bangsa/wilayah
tersebut. Suatu negara/wilayah dapat menggunakan sejarah, budaya,
pengembangan teknologinya atau tonggak penting lainnya untuk
mengukir identitas unik untuk dirinya sendiri. Contoh: Mesir dengan
Piramidanya, Jepang dengan mobil kompak dan produk elektroniknya,
Jawa Tengah/Yogyakarta dengan Borobudurnya dlsb. Namun, negara
dapat memiliki banyak identitas dan ini menimbulkan tantangan besar
nation branding karena fakta bahwa banyak identitas dapat menciptakan
kebingungan dalam kelompok sasaran, misalnya, Amerika Serikat
mempromosikan identitas dari demokrasi yang stabil yang
mempromosikan perdamaian dan harmoni tapi juga ingin diidentifikasi
sebagai negara adidaya dalam hal kecakapan ekonomi dan militer.
f. Mengkaji Kesiapan
Region branding adalah proses yang mahal dan memakan waktu dan
memerlukan visi daerah yang strategis dan perencanaan jangka panjang
rinci. Program region branding pada umumnya memakan waktu antara
lima sampai dengan dua puluh tahun atau sampai berhasil. Hal ini juga
penting bagi otoritas region branding untuk memastikan buy-in dari
semua sektor ekonomi dan masyarakat umum di daerah tersebut dalam
rangka untuk menggalang dukungan yang maksimal. Otoritas region
branding harus memastikan bahwa sumber daya yang memadai harus
disediekan untuk melaksanakan dan mengelola kampanye region
branding.
g. Mengukur Kemajuan
Sama seperti proses apapun, setelah mulai menerapkan program region
branding, sangat penting untuk memantau proses untuk memastikan
bahwa semuanya berjalan sesuai rencana. Karena kompleksitas dan
faktor-faktor lingkungan yang selalu berubah, mungkin perlu untuk
mengambil tindakan korektif dalam bentuk penyesuaian program dan
anggaran. Monev region branding misalnya dengan menggunakan
Octagonal Branding untuk nation branding ataupun Hexagonal Branding
untuk region branding.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


|7
Keuntungan Region Branding
Region branding ini bermanfaat untuk badan promosi daerah, kelompok
sasaran dan masyarakat dari daerah tersebut. Secara rinci manfaat region
branding tersebut sebagai berikut:
a. Manfaat bagi Badan Promosi Daerah
 Memberikan fokus strategis yang lebih besar berdasarkan memenuhi
kebutuhan , keinginan dan keinginan khalayak kunci
 Memupuk pendekatan terpadu dan koperasi untuk membangun
reputasi kota dan menciptakan iklim usaha yang makmur dalam kota
 Menyediakan kerangka kerja pengambilan keputusan untuk
membangun sebuah identitas yang konsisten yang kuat untuk kota di
pasar utama dan menghindari pesan bertentangan dan berubah dan
gambar
 Hasil dalam pengembalian yang lebih tinggi atas investasi (ROI) dari
investasi pemasaran
 Menangkap kekuatan dan kepribadian tempat dalam cara yang
memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk menggunakan
pesan yang konsisten dan menarik yang serupa.
 Menyediakan payung pemersatu untuk menciptakan produk dan
pengembangan peluang bisnis kabupaten/kota.

b. Manfaat untuk Kelompok Sasaran


 Memberikan ketenangan pikiran dengan meningkatkan kepercayaan
dan mengurangi ketidakpastian dalam perencanaan mereka.
 Menetapkan perbedaan titik nilai yang jelas dalam benak pelanggan
 Menghemat waktu dan usaha dalam memutuskan
 Mencerminkan sesuatu yang baik kepada pelanggan yang berkaitan
dengan wilayah tersebut
 Menyentuh kebutuhan dan keinginan mereka
 Memberikan nilai tambah dan manfaat yang dirasakan.

c. Manfaat Bagi Masyarakat


 Menciptakan fokus pemersatu untuk membantu semua masyarakat,
dunia usaha, dan organisasi nirlaba yang bergantung pada reputasi
dan citra wilayah untuk semua atau bagian dari mata pencaharian
mereka.
 Menghasilkan peningkatan penghormatan dan pengakuan dikaitkan
dengan wilayah yang bersangkutan sebagai warga dan pengusaha.
 Mengoreksi hal-hal yang tidak akurat atau persepsi yang tidak
seimbang.
 Meningkatkan pendapatan stakeholder, margin keuntungan, dan
pajak.
 Meningkatkan kemampuan untuk menarik, merekrut, dan
mempertahankan orang-orang berbakat.
 Meningkatkan kebanggaan warga.
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
|8
 Memperluas ukuran ‘kue pembangunan’ bagi stakeholder setempat
untuk mendapatkan bagian yang lebih besar

5. MONITORING DAN EVALUASI


 Monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan secara berkala. Monitoring
dilakukan sekurang-kurangnya 3 bulan sekali, sedangkan evaluasi
dilakukan pada akhir tahun.
 Monev dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan stakeholder kunci.
 Tindak lanjut dari monev amat penting sebagai bagian perbaikan
pelaksanaan pada masa mendatang.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


|9
Local Economic Resources Development seyogyanya dilaksanakan secara rinci sejak perencanaannya selama umumnya lima tahun
masa pelaksananaan beserta evaluasinya. Akan lebih baik pelaksanaan LERD tersebut disesuaikan dengan kondisi sumber daya alam,
manusia dan lingkungannya. Perencanaan kegiatan LERD tersebut akan lebih mudah untuk dipantau dan dievaluasi serta lebih
terencana dengan bentuk penyajian melalui matrik, yang umumnya dikenal dengan matrik Rencana Aksi. Secara rinci rencana aksi
pelaksanaan LERD secara umum selama 5 tahun bagi suatu daerah ditunjukan dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Rencana Aksi Pelaksanaan LERD

Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Tahun ke-4 Tahun ke-5
No. Kegiatan
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

1. Pembentukan dan Penguatan


Stakeholder

a. Identifikasi stakeholder kunci dan local


√ √
champion

b. Rapat-rapat/FGD untuk pembentukan



forum stakeholder

c. Pembentukan forum stakeholder LERD


yang √
ditetapkan oleh peraturan kepala daerah

d. Penyusunan AD/ART dan rencana kerja



selama masa kepengurusan

e. Pelaksanaan rencana aksi dan peran


√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
forum

2. Penentuan Komoditi Unggulan

a. Analisis LQ/RCA √ √

b. Penentuan komoditi unggulan secara √ √


partisipatif dan penetapan oleh SK kepala

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 10
daerah/PERDA

c. Analisis Rantai Nilai √ √ √

d. Analisis RALED √ √ √

3. Penyusunan Rencana dan Anggaran

a. Penyusunan Rencana Induk √ √

b. Penyusunan Rencana Bisnis √ √

c. Penyusunan Rencana Aksi √ √

d. Penyusunan Program Financial Matrix √ √

e. Penetapan rencana induk berdasarkan


√ √
SK Kepala Daerah/PERDA

4. Membangun Klaster

a. Sosialisasi klaster kepada stakeholder


√ √
terkait

b. Mengidentifikasi berbagai produk


√ √
unggulan klaster

c. Melakukan survei ke lapangan


√ √
untuk kepentingan validasi

d. Evaluasi secara obyektif untuk


√ √
menentukan kelayakan produk unggulan

e. Menetapkan produk unggulan klaster √

f. Membentuk manajemen klaster √ √

g. Menyusun AD/ART klaster √ √

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 11
h. Menyusun rencana bisnis √ √

i. Pelaksanaan pembinaan klaster √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Pengembangan Region Branding

a. Mengkaji citra bangsa/daerah √ √

b. Membentuk POKJA √ √

c. Identifikasi daya saing √ √

d. Identitifikasi kelompok sasaran √ √

e. Menentukan pesan inti √ √

f. Mengkaji kesiapan √ √

g. Mengukur kemajuan √

h. Peluncuran dan pemeliharaan region


√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
branding

5. Monitoring dan Evaluasi PELD

a. Monitoring √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

b. Evaluasi √ √ √ √ √

6. Fasilitasi LERD oleh TA

a. Tenaga Ahli LERD √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

b. Pendamping LERD untuk PEMDA dan


√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
klaster

7. Pelatihan dan Studi Banding

a. Pelatihan dasar LERD √

b. Pelatihan VCA dan RALED √

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 12
c. Pelatihan penyusunan Master Plan √

d. Pelatihan pengembangan klaster dan



region branding

e. Pelatihan tentang OVOP/OTOP/Klaster √

f. Studi banding ke daerah yang LERD-nya


sudah maju seperti di Provinsi Jawa √
Tengah

g. Studi Banding ke negara-negara


tetangga yang pengembangan
klaster/OTOP sudah baik √

misalnya Thailand

h. Pelatihan kerjasama antar daerah dalam


bentuk regional management/regional √
marketing

Sumber: Budiharsono (2015)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 13
II. PENGANGGARAN KEGIATAN LOCAL ECONOMIC RESOURCES
DEVELOPMENT
Dalam pembahasan sebelumnya terkait pemrograman kegiatan LERD, dibahas
bahwa salah satu bentuk instrumen penganggaran LERD adalah dengan
menggunakan program financial matrix. Dalam program financial matrix ini dijelaskan
tentang program dan kegiatan, volume dan lokasi kegiatan, biaya/anggaran kegiatan
dan penanggungjawab kegiatan, baik dari pemerintah daerah, pemerintah provinsi,
kementerian/lembaga, donor maupun masyarakat umum. Pembahasan berikut
berikaitan dengan penganggaran program kegiatan LERD dalam bentuk akhir
berupa matrik. Sebelumnya, akan dibahas hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam
menyusun strategi penganggaran LERD.

A. BAHAN PERTIMBANGAN
Proses PEL mengakui pentingnya pendanaan untuk memperoleh dampak yang
segera. Namun, juga disadari perlunya memperluas cara-cara mobilisasi sumber
daya untuk kegiatan-kegiatan PEL, dengan fokus pada penghematan biaya yang
dapat dicapai dengan menguatkan kapasitas institusional, membangun jejaring
untuk pengerahan sumber-sumber daya yang lebih meluas, strategi-strategi
untuk merangsang dan meningkatkan investasi, dan meningkatkan akses untuk
memperoleh modal bagi usaha-usaha kecil menengah dan usaha-usaha mikro.
Penghematan yang tidak tampak dapat diperoleh dari penguatan institusi-institusi
sehingga dicapai alokasi sumber daya yang lebih efisien dan merata, serta
koordinasi kegiatan-kegiatan yang lebih baik di antara mitra-mitra pembangunan
yang mempunyai minat sektoral yang saling melengkapi atau yang seolah-olah
berbeda. Membangun jaringan, kemitraan dan strategi promosi regional yang
efektif juga dibutuhkan guna meningkatkan efektivitas proyek dan program.
Pembahasan berikut terutama terkait bagaimana meningkatkan akses langsung
terhadap pembiayaan dan sumber-sumber daya bagi usaha-usaha kecil dan
menengah dan bagaimana membiayai kegiatan Lembaga Pembangunan
Ekonomi Lokal (LPEL) atau Lembaga LERD itu sendiri.
1. Kredit untuk UKM
Meskipun kredit skala kecil dan menengah mempunyai potensi untuk membuka
banyak sekali kesempatan kerja, menumbuhkan usaha-usaha kecil dan memberi
penghasilan, penyediaan kredit tersebut seringkali dianggap oleh sumber-sumber
kredit komersial, memiliki biaya pengelolaan yang terlalu mahal. Kebanyakan
Usaha Kecil Menengah (UKM) kurang memiliki informasi tentang solusi-solusi
yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga kredit, lembaga-lembaga pembiayaan
mikro, dan mitra-mitra pembangunan nasional maupun internasional. Seringkali
hanya ada beberapa bank saja yang mampu atau mau memberi pinjaman kecil
kepada UKM atau usaha-usaha mikro, terutama karena alasan-alasan berikut:
 Pinjaman kecil melibatkan biaya-biaya yang relatif tinggi dalam
penyeleksian dan risiko;

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 14
 UKM sering tidak dapat memberi bukti kelayakan menerima kredit,
misalnya dalam bentuk sejarah perkreditan atau rencana bisnis yang
lancar;
 Pengusaha-pengusaha lokal sering tidak dapat memberi jaminan atas
kredit karena mereka miskin atau karena tidak ada kerangka hukum yang
jelas mengenai kepemilikan properti yang hendak diagunkan; dan
 Bank-bank biasanya lebih menyukai nasabah besar. Berurusan dengan
perusahaan-perusahaan besar pada umumnya melibatkan biaya yang
lebih sedikit dan memberi laba yang lebih aman karena nasabah besar
dapat memberi dokumentasi dan informasi yang lebih lengkap untuk
membuktikan kelayakan menerima kredit.
Pengalaman menunjukkan bahwa menciptakan beberapa skema pinjaman yang
inovatif dapat membantu peminjam-peminjam kecil memperoleh kredit dengan
lebih mudah. Ada tiga skema utama peminjaman, tergantung dari situasi dan
tradisi setempat, yaitu:

 Pemberian kredit langsung


Tidak adanya perantara memungkinkan kredit diberikan dengan tingkat
bunga yang sedang, sehingga pemberi kredit dapat melayani penduduk
yang paling membutuhkan. Namun demikian, gabungan antara tingkat
bunga rendah dan biaya operasi yang cukup tinggi membuat para
pemberi kredit yang menggunakan pendekatan ini mungkin akan
mengalami kesulitan memperbesar dana kredit mereka;
 Penyaluran kredit secara tidak langsung melalui lembaga keuangan
perantara
Ini memungkinkan lembaga memperluas cakupan geografisnya,
menghemat biaya dan meningkatkan partisipasi oleh lembaga perantara
yang menjadi anggota. Prosedur ini memakai tingkat bunga yang lebih
tinggi dibandingkan pemberian kredit langsung, tetapi biaya operasi
menjadi lebih rendah bagi LPEL atau Lembaga LERD; dan
 Penyaluran kredit tidak langsung melalui lembaga keuangan
perantara bukan anggota
Pemberi kredit menggunakan dananya sebagai jaminan atas pinjaman
yang diberikan oleh bank kepada peminjam, sehingga bank
menempatkan sumber dayanya sendiri tanpa menanggung risiko kredit.
Kebanyakan skema kredit menempatkan dana jaminan untuk leverage.
Pendekatan seperti ini mengisyaratkan bahwa lembaga mampu
menempatkan hubungannya dengan bank pada landasan yang kuat serta
profesional, dengan mengingat tujuan mereka masing-masing yang
sangat berbeda.

Melalui LPEL atau Lembaga LERD, kemitraan dari firma-firma lokal dapat
menempatkan diri mereka dengan baik untuk memanfaatkan kredit usaha yang

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 15
ada, kesempatan pengembangan dan pelatihan yang ada melalui pemerintah
dan mitra-mitra pembangunan yang lebih luas, dan terutama kemungkinan untuk
berpartisipasi dalam kontrak pembangunan/perbaikan prasarana dalam situasi
pasca krisis.
2. Pembiayaan Lembaga Pembangunan Ekonomi Lokal (LPEL)
Di lingkungan yang miskin institusi, tersedianya dana akan menentukan di mana
dapat dibentuk suatu forum atau diciptakan mekanisme koordinasi yang
dilembagakan. Adanya komitmen dari pihak-pihak yang berkepentingan sejak
awal adalah sangat penting karena keberhasilan LPEL dalam jangka panjang
tergantung kepada partisipasi yang luas, di mana hanya ada sedikit insentif
keuangan dalam jangka pendek. Dukungan pada awal pembentukan
kemungkinan besar tergantung pada dana yang diperoleh dari lembaga
pendanaan dan pada ikatan-ikatan yang dibina dan dipertahankan dengan mitra-
mitra lembaga.
Dengan berlalunya waktu, kegiatan-kegiatan pembiayaan sendiri menjadi kunci
keberlanjutan LPEL. Termasuk di sini kesempatan untuk menawarkan atau
mengontrakkan jasa-jasa keahlian profesional kepada ‘nasabah-nasabah’ publik
dan swasta, menetapkan biaya atas jasa konsultasi atau pelatihan, dan iuran
keanggotaan. Melalui kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan, LPEL
dapat mengembangkan kegiatan programnya, menjamin gaji untuk staf
permanen atau staf profesional, membentuk dana hibah, dan memberi
kesempatan serta dukungan kepada para konstituen mereka. Pendapatan dari
kegiatan adalah suatu keharusan jika LPEL ingin mengurangi atau
menghilangkan sama sekali ketergantungannya pada lembaga pendanaan.
Tidak semua kegiatan LERD membutuhkan anggaran yang besar. Yang mereka
perlukan adalah analisis, pemikiran strategis serta komitmen. Dengan melobi
masalah-masalah yang berhubungan dengan perekonomian lokal, kampanye-
kampanye yang demikian dapat berlangsung tanpa menyelenggarakan
lokakarya-lokakarya dan konferensi-konferensi yang mahal, asalkan ada
kemauan untuk menangani masalah secara tuntas. Beberapa LPEL dapat
tumbuh dengan baik karena berkonsentrasi hanya pada kegiatan inti saja, yang
barangkali berhubungan dengan konsultasi bisnis, jaringan, atau pembangunan
kapasitas, dan melaksanakannya dengan baik.

B. HAL YANG HARUS DILAKUKAN


Berikut ini adalah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyusun
anggaran kegiatan program LERD yang dikaji oleh ILO (2005).
1. Diagnosa
Berkaitan dengan pendekatan LERD, tersedianya sumber daya maupun
permintaan terhadap sumber daya guna mencapai sasaran strategi LERD perlu
diketahui secara pasti terlebih dahulu sebelum mengambil langkah lebih lanjut.
Maka, selama tahap diagnosa wilayah dan pemetaan institusi, pertanyaan-
pertanyaan dasar di bawah ini perlu dikemukakan:

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 16
 Mengidentifikasi Penyedia Kredit
Salah satu langkah yang pertama-tama harus diambil adalah mengidentifikasi
semua lembaga keuangan dan bank yang ada di sekitar daerah yang terkena
krisis, maupun dana yang tersedia melalui departemen-departemen
pemerintah, mitra-mitra nasional dan internasional yang memberi bantuan
untuk UKM dan dukungan kepada usaha-usaha mikro. Jasa-jasa keuangan
mikro apakah yang mereka tawarkan (misalnya, tabungan, kredit, pinjaman
perorangan, pinjaman kelompok, jaminan, asuransi mikro, sewa-beli mikro,
dan lain-lain)?
 Mengidentifikasi Permintaan Atas Kredit
Sebuah ‘peta’ yang baik dari situasi keuangan harus menunjukkan bahwa
kelompok sasaran yang dituju mempunyai cukup permintaan atas kredit
dengan harga yang dapat menutup biaya dari pemberi pinjaman dan
memungkinkan (calon) peminjam menginvestasikan pinjamannya sehingga
akan menguntungkannya. Keberadaan pengungsi-pengungsi merupakan
tantangan yang lebih besar, meskipun ada pengalaman dengan kedua
populasi.
Permintaan biasanya akan tinggi selama periode rekonstruksi, dan bersifat
responsif terhadap rangsangan ketersediaan kredit. Seringkali kendala terbesar
bagi pertumbuhan program adalah kurangnya modal pinjaman untuk memenuhi
permintaan. Informasi yang diperlukan untuk diagnosa wilayah dan pemetaan
institusi dapat dikumpulkan dari sumber-sumber berikut ini:
Tabel 2. Sumber Pengumpulan Informasi Diagnosa Wilayah dan Pemetaan Institusi

SEKTOR FORMAL SEKTOR INFORMAL

Bank umum Pemberi pinjaman uang

Serikat kredit Teman/sanak-saudara

Perusahaan sewa/sewa-beli Penyedia kredit

Bank pembangunan Pengadaan


(pertanian)

LSM-LSM (internasional) ROSCA/ASCRA

dll

Sumber: ILO (2005)

Analisis SWOT dan program tindakan harus mendahului pelaksanaan strategi ini.
Analisis SWOT dilakukan berdasarkan temuan-temuan dari proses Perangkat
diagnosa wilayah dan pemetaan institusi.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 17
2. Menumbuhkan Kepekaan
Upaya juga perlu dilakukan untuk mengerahkan dukungan dan memperluas
basis sumber daya keuangan melalui kemitraan dengan mitra-mitra
pembangunan nasional dan internasional. Berbagai Kamar Dagang, pusat-pusat
investasi, yayasan-yayasan, badan-badan usaha atau perorangan yang
mendukung pengembangan sektor swasta juga berpotensi untuk dijadikan rekan
kerjasama.
3. Mempromosikan Forum Lokal/Regional
Partisipasi perantara keuangan lokal akan memberi hasil yang lebih menjanjikan
dalam merancang suatu strategi keuangan lokal. Karena itu, keikutsertaan
mereka dalam forum lokal sangat penting. Tergantung dari hasil diagnosa
wilayah dan analisis SWOT, para pelaku lokal mungkin akan memutuskan untuk
memperbaiki sistem keuangan lokal melalui koordinasi yang lebih baik di antara
lembaga-lembaga keuangan dan non-keuangan, seperti program kredit yang
berbeda-beda dan layanan pengembangan usaha (LPU), pelatihan, dan lain-lain.
4. Merancang Strategi PEL
Tergantung bagaimana hasil langkah-langkah sebelumnya, forum lokal mungkin
akan memutuskan untuk menangani sendiri sistem keuangan lokal. Intervensi
yang demikian mungkin akan mencoba memperluas cakupan geografis dari jasa-
jasa keuangan atau meningkatkan koordinasi antara jasa-jasa keuangan yang
ada, institusi-institusi dan penyedia jasa Layanan Pengembangan Usaha (LPU).
Sumber daya tambahan dapat dikerahkan melalui dana pra-investasi atau
melalui penyatuan sumber-sumber daya dari luar, dan sebagainya.
Meningkatnya akses terhadap kredit dalam situasi pasca krisis dalam banyak hal
merupakan cerminan strategi dalam kondisi normal, tapi ada beberapa
perbedaan besar. Dalam situasi pasca krisis, strategi cenderung dijalankan
secara lebih fleksibel agar dapat menanggapi situasi yang berubah-ubah.
Program-program mungkin menawarkan tingkat bunga yang lebih rendah atau
masa tenggang waktu pembayaran (grace periods) pada tahap-tahap awal dan
kemudian menaikkannya begitu keadaan menjadi normal kembali. Mereka juga
sering kurang mempromosikan tabungan karena alasan-alasan keamanan,
inflasi, atau hukum.
Program juga dirancang agar bersifat responsif terhadap keadaan tertentu:
operasi ganda mungkin perlu diadakan apabila penduduk masih tetap terbelah,
dan program-program dapat memasukkan atau memisahkan kegiatan-kegiatan
kebutuhan dasar yang telah dimulai ketika ada situasi darurat. Terjalinnya
strategi pemberian bantuan dengan strategi ekonomi dapat terjadi sebentar-
sebentar setiap kali krisis muncul kembali. Yang jelas, konseling tambahan dan
masukan-masukan untuk pelatihan harus jadi bagian dari paket pendukungan.
Analisis SWOT mungkin berguna untuk menganalisis kebutuhan serta
keterbatasan akses pada sumber-sumber pembiayaan penduduk yang
bersangkutan. Ini kemudian dapat digunakan untuk membuat rancangan strategi
promosi untuk mengatasi keterbatasan yang ada serta membidik segmen
masyarakat yang tepat.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 18
Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa program-program jaminan kredit
mungkin merupakan alat paling efektif untuk meningkatkan sistem keuangan
lokal. Jika forum lokal memutuskan untuk memasukkan program jaminan kredit
sebagai bagian dari strategi PEL, maka harus dipertimbangkan langkah-langkah
berikut ini:
 Menemukan Perantara Keuangan yang Cocok
Diagnosa wilayah dan pembuatan peta institusi memberikan semua informasi
mengenai perantara-perantara keuangan yang ada pada saat ini di wilayah
tersebut. Hasil analisis SWOT akan membantu memilih perantara keuangan
yang cocok untuk membina kerjasama yang lebih erat dengan forum.
 Membuat Perjanjian Antara LPEL dan Perantara Keuangan
LPEL mempunyai peran penting dalam mengelola pembiayaan di dalam
program-program dukungan LERD. Karena itu, hubungan antara LPEL dan
para perantara keuangan lokal dan/atau dana di masa mendatang harus
ditetapkan sejelasjelasnya untuk memastikan hak-hak, tugas dan tanggung
jawab.
 Mendirikan Komite Kredit bersama
Perjanjian-perjanjian antara LPEL dan bank jelas menuntut agar bank
mengeluarkan pinjaman sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh
Lembaga. Untuk memastikan bahwa bank sepenuhnya terlibat dalam setiap
tahap pengelolaan kredit, maka disarankan untuk mendirikan suatu Komite
Kredit Bersama. LPEL hendaknya membantu mempersiapkan proyek,
menetapkan prioritas dan mengajukannya ke Komite Kredit. LPEL juga dapat
melakukan negosiasi dengan bank dan menetapkan prosedur-prosedur yang
paling cocok untuk kerjasama. Jika tidak mungkin membentuk dana jaminan,
LPEL dapat menggunakan bentuk jaminan yang klasik, atau rekening koran
biasa. Di sini pun LPEL akan merundingkan tingkat bunga atas dana kredit
yang harus lebih rendah dari kasus sebelum ini.
Berikut ini adalah matrik-matrik yang berisi hal-hal yang dapat memandu
dalam menyusun dan merumuskan penganggaran kegiatan program LERD.

Tabel 3. Penilaian Terhadap Pasar dan Kebutuhan-Kebutuhan Pembiayaan

(Sisi Permintaan)

PENILAIAN UMUM TERHADAP


Keci
PASAR DAN KEBUTUHAN Mikro Menengah Besar Sektor Daerah Pria Wanita Mengapa?
l
(PERMINTAAN)

Penilaian umum terhadap


pasardan kebutuhan
(Permintaan)

Jumlah & persentase usaha


yang memakai jasa-jasa
keuangan.

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 19
Jumlah usaha yang saat ini
tidak memakai jasa-jasa
keuangan

Jenis jasa keuangan yang


dipakai

Jenis jasa keuangan yang


tidak dipakai

Tingkat kepuasan pengusaha


terhadap pelayanan sekarang

Jasa-jasa mana yang paling


dibutuhkan?

Apa yang menjadi perhatian


utama(kecepatan transaksi,
jumlah, jadwal pembayaran
kembali, dan lain-lain)?

Apakah ada waktu-waktu


tertentu dalam setahun di
mana sebagian besar
rumahtangga akan mempunyai
banyak utang?

Bagaimana cara pelayanan


jasa yang diinginkan oleh
perusahaan?

Perusahaan yang menurun

Perusahaan yang sedang


maju.

Perusahaan-perusahaan yang
saling bekerja sama

Bagaimanakah kebutuhan
terhadap jasa keuangan

Lain-lain

Sumber: ILO (2005)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 20
Tabel 4. Penilaian Terhadap Pasar dan Kebutuhan-Kebutuhan Pembiayaan (Sisi Persediaan)

INFORMASI
Biaya Unsur
PENYEDIAAN Jasa Ciri-
Pasar Bidang Jasa Mut yang
JASA & Lembag yang ciri
Sasara Intervens (Suku u Harus
MANFAAT a Diberika Jas
n i Bunga Jasa Diperbaik
(PERSEDIAAN n a
) i
)

Lembaga 1

Lembaga 2

Lembaga x

INFORMASI UMUM

Bagaimana iklim ekonomi-makro saat ini?

Sebutkan budaya, sejarah, dan tradisi pasar keuangan lokal/nasional.

Metode pemberian pinjaman apa yang biasa dipakai?

Sumber kredit informal manakah yang biasa dipakai untuk anggota kelompok sasaran?

Bagaimana menetapkan jadwal pembayaran kembali?

Jenis asuransi dan pengelolaan risiko apa yang tersedia untuk aplikasi kredit?

Sumber jasa keuangan formal apa yang sering dipakai oleh anggota kelompok sasaran?

Apakah mengakses sumber ini sulit bagi perempuan? Jika ya, mengapa?

Sumber-sumber pembiayaan mana yang jaraknya setengah hari berjalan kaki dari lokasi
pelaksanaan proyek.

Apa alasan bank/lembaga keuangan lain untuk menolak memberi pinjaman kepada anggota
kelompok sasaran?

Jenis jaminan apa yang tersedia bagi kelompok sasaran?

Seberapa tinggikah biaya transaksi?

Seberapa sulitkah melakukan pemantauan dan tindak lanjutnya?

Apakah biaya operasional dan biaya yang berkaitan risiko dapat ditutup oleh bunga dan pemasukan
lain?

Bagaimana peraturan perundang-undangan mengenai program-program keuangan mikro?

Apakah ada pengarahan dari bank sentral untuk menyalurkan kredit kepada kelompok-kelompok
sasaran tertentu (yaitu kuota untuk sektor-sektor)

Apakah pernah ada kredit yang disubsidi di daerah lokasi proyek? Jika ya, apakah masih ada?
Apakah kelompok sasaran kami terlibat?

Apakah ada dana lain yang dibentuk oleh lembaga bantuan di daerah tersebut? Untuk kelompok
sasaran mana? Apakah efektif? Jika ya, mengapa? Jika tidak, mengapa tidak? Apakah ada
duplikasi?

Lain-lain

Sumber: ILO (2005)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 21
Tabel 5. Unsur-Unsur Analisis SWOT Berkaitan dengan Pembiayaan

UNSUR-UNSUR ANALISIS SWOT (PEMBIAYAAN) S W O T

Sistem keuangan yang ada di wilayah tersebut

Produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan

Produk-produk keuangan yang ditawarkan oleh sektor informal

Jumlah perusahaan yang memakai produk-produk keuangan

Ciri-ciri perusahaan yang menggunakan produk keuangan

Kemampuan manajerial lembaga-lembaga keuangan

Kemampuan manajerial calon nasabah di sektor keuangan

Tingkat komunikasi dan membagi pengetahuan dengan lembaga-


lembaga keuangan dan pemangku kepentingan lainnya (masyarakat
dunia usaha, penyedia LPU, pemerintah lokal, LSM, organisasi
jender, universitas, dan lain-lain)

Tingkat integrasi jasa keuangan dengan jasa non-keuangan

Tingkat persaingan di sektor keuangan

Tingkat akses ke jasa-jasa keuangan

Lain-lain

Sumber: ILO (2005

Tabel 6. Unsur-Unsur Rencana Kerja Berkaitan dengan Pembiayaan

UNSUR-UNSUR RENCANA KERJA BERKAITAN DENGAN PEMBIAYAAN Checklist

Membuat perjanjian koordinasi dengan berbagai program kredit

Mengenali dan mengerahkan sumber-sumber daya teknis tambahan melalui dana pra-
investasi

Mengenali dan mengerahkan sumber-sumber daya keuangan melalui sumber daya


eksternal

Mengenali dan mengerahkan dana dari sistem keuangan, dengan menciptakan


mekanisme-mekanisme baru seperti dana jaminan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi
lokal

Mengenali produk-produk dan jasa-jasa baru dan menyesuaikan yang lama.

Perlindungan nasabah:

 Memungkinkan penarikan tabungan

 Penjadwalan kembali pinjaman (tetapi tidak ada penghapusan utang)

 Pinjaman darurat

 Bantuan sosial/kemanusiaan

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 22
 Jasa pengiriman uang

 Kredit perumahan

Perlindungan portofolio

 Penjadwalan kembali utang-utang lama

 Kredit penyegaran aset

 Dana Krisis Keuangan Mikro

 Pelatihan staf dan insentif

 Koordinasi dengan penjamin/donor

Membuat keputusan mengenai instrumen keuangan yang paling cocok

Menetapkan perantara keuangan yang cocok

Membuat perjanjian antara LPEL dan para perantara keuangan

Membentuk komite kredit bersama

Lain-lain

Sumber: ILO (2005)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 23
Dalam pembahasan sebelumnya, Budiharsono (2005) menyebutkan bahwa salah satu bentuk instrumen penganggaran LERD adalah dengan
menggunakan program financial matrix yang berisi tentang program dan kegiatan, volume dan lokasi kegiatan, biaya/anggaran kegiatan dan
penanggungjawab kegiatan. Beikut ini adalah contoh-contoh bentuk financial matrix. Matrik berikut dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan daerah
baik kedetailannya maupun aspek-askpek penilaian di dalamnya.
Tabel 7. Contoh Matrik Program dan Kegiatan Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah dengan Komoditas Unggulan Karet

di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan 2011-2015


2011 2012 2013 2014 2015
HARGA APBN/ APBN APBN/ APBN/ APBN/
No Kegiatan VOL. SATUAN SATUAN PELAKSANA APBD /APB APBD APBD APBD APBD
(RP) APBD APBD APBD APBD
KAB DPRO KAB KAB KAB KAB
PROV V PROV PROV PROV

A. Perencanaan dan
Koordinasi Kegiatan

1 Penyusunan/revisi
45,00
masterplan 1 paket 45,000 BAPPEDA
0
pengembangan karet

2 Review kebijakan

pengembangan karet 1 paket 5,000 BAPPEDA


di dokumen RPJP dan
RPJMD

3 Pembentukan dan

operasional Pkja/Tim
25,00 25,00
5 tahun 25,000 BAPPEDA 25,000 25,000 25,000
Koordinasi 0 0
Perencanaan &
Pengembangan karet

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 24
4 Penyusunan profil

usaha komoditas
1 paket 40,000 BAPPEDA 40,000
perkebunan di
Kab.Banjar

5 Evaluasi progam dari 50,00


1 paket 50,000 BAPPEDA
kegiatan PELD 0

70,00 75,00
Sub Jumlah A. Perencanaan dan Koordinasi Kegiatan - 65,000 - - 25,000 - 25,000 -
0 0

Sumber: BAPPENAS (2012)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 25
Contoh berikut adalah matrik RAD Percepatan Pencapaian Target MDGs. Tabel berikut memuat tujuan program, target, indikator, target
pencapaian selama lima tahun, alokasi anggaran selama lima tahun, sumber-sumber pendanaan, dan pelaksana. Matrik ini dapat diadaptasi
untuk rencana aksi program LERD terutama untuk membantu merumuskan pendanaan, yakni dengan menghilangkan program dan kegiatan
nasional serta memodifikasi hal-hal yang perlu disesuaikan berdasarkan kebutuhan perumusan.
Tabel 8. Contoh Matrik Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian Target MDGs - 1

Sumber: BAPPENAS (2010)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 26
Tabel 9. Contoh Matrik Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian Target MDGs - 2

Sumber: BAPPENAS (2010)

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 27
REFERENSI:
BAPPENAS. 2010. Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan
MDGs di Daerah (RAD MDGs). Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
__________. 2012. Profil Kegiatan Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah Kabupaten
Banjar. Jakarta: Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,
Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, BAPPENAS.
Budiharsono, Sugeng. 2015. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah Untuk
Meningkatkan Daya Saing Daerah. Bogor: n/a
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). 2005. Pembangunan Ekonomi Lokal dalam
Situasi Pasca Krisis – Panduan Operasional. Jakarta: Organisasi Perburuhan
Internasional, ILO

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 28
BAHAN TAYANG MATERI AJAR 15:
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN

PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN


| 29
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 30
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 31
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 32
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 33
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 34
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 35
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 36
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 37
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 38
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 39
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 40
PEMROGRAMAN DAN PENGANGGARAN
| 41
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 16
FIELD TRIP

1). Bahan Ajar

i
BAHAN AJAR 16:
FIELD TRIP

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................... ii


Daftar Gambar ..................................................................................................... ii
I. Penjelasan dan Arahan Tugas ....................................................................... 1
Referensi ............................................................................................................... 3

ii
I. PENJELASAN DAN ARAHAN TUGAS
Materi diklat ini merupakan kegiatan praktikal bagi peserta diklat yang telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait Local Economic Resources
Development. Kegiatan ini merupakan arahan praktik lapangan ke suatu wilayah
yang hendak atau sedang mengaplikasikan program Local Economic Resources
Development (LERD). Kegiatan praktik ini terbagi kedalam dua sesi utama yakni:
 Sesi formal: Merupakan sesi pertama yang berisi penjelasan terhadap
tugas praktik lapangan yang akan dilakukan. Sesi ini diberikan secara
formal oleh pemateri diklat di dalam ruang kelas dan berlangsung selama
1 sesi belajar (2 jam pelajaran)
 Sesi informal: Merupakan sesi lanjutan yang terbagi atas kegiatan praktik
di lapangan berupa observasi dan pengumpulan data, serta kegiatan
selanjutnya yaitu diskusi kelompok secara informal. Kegiatan ini
dialokasikan selama 2 sesi belajar (4 jam pelajaran)

Adapaun arahan teknis terkait tugas yang diberikan secara garis besar adalah
sebagai berikut:
a. Pemateri memberikan review materi Local Economic Resources
Development (LERD) secara umum melalui presentasi
b. Pemateri memberikan penjelasan mengenai arahan praktik lapangan
yang diberikan melalui presentasi. Adapun arahan praktik lapangan
tersebut adalah:
1. Peserta diminta untuk berkelompok 4-5 orang (diutamakan berasal
dari perwakilan daerah yang sama)
2. Setiap kelompok akan meneliti potensi pengembangan program
LERD pada daerah studi yang sama (disesuaikan dengan pihak
penyelenggara diklat)
3. Waktu pengerjaan tugas (observasi pada daerah studi, diskusi
kelompok, dan pengerjaan proposal dan materi presentasi)
disesuaikan oleh masing-masing kelompok dengan tenggat waktu
penyelesaikan hingga jadwal presentasi akhir dan pengumpulan
proposal akhir
4. Peserta diminta untuk mengumpulkan materi penelitian terkait potensi
pengembangan yang mendukung kesuksesan program LERD pada
daerah studi melalui pengumpulan data-data sekunder serta data-data
primer dengan mewawancarai pihak SKPD daerah terkait serta
observasi langsung ke lapangan (mengunjungi tempat-tempat sentra
bisnis dan/atau potensi kegiatan ekonomi terkait seperti sentra industri
kerajian batik, tempat pengolahan batu bata, dll)
5. Peserta dihimbau untuk memanfaatkan dan mempraktikan poin-poin
pembelajaran dari materi-materi diklat yang telah diberikan, pada saat
melakukan studi lapangan
6. Peserta menganalisis temuan-temuan yang telah didapat melalui
diskusi kelompok

FIELD TRIP
|1
7. Luaran dari kegiatan praktik lapangan ini akan disusun dalam bentuk
proposal akhir serta dipresentasikan dalam presentasi akhir. Adapun
muatan luaran tersebut mencakup:
 Tujuan dan sasaran dari program LERD yang diterapkan pada
daerah studi
 Isu-isu penting yang berkaitan dengan penerapan program LERD
pada daerah studi
 Analisis strategi-strategi yang dapat diterapkan dalam mendukung
keberhasilan penerapan program LERD di daerah studi
 Identifikasi aktor-aktor yang terlibat dan berpotensi dalam
pengembangan ekonomi terkait pengelolaan program LERD pada
daerah studi
 Identifikasi aktor-aktor yang berpotensi dalam membina
tercapainya kesuksesan penerapan program LERD di daerah studi
 Identifikasi teknik pengembangan ekonomi yang diterapkan dalam
program LERD pada daerah studi
 Identifikasi ada atau tidaknya teknik khusus dalam pengembangan
ekonomi yang diterapkan
 Identifikasi evaluasi hasil analisis data-data sekunder dan data
primer yang ditemukan sebagai bahan pendukung penerapan
strategi program LERD di daerah studi kedepannya
8. Laporan akhir yang memuat analisis pilihan strategi program LERD
yang terbaik, akan diberikan kepada SKPD terkait sebagai bahan
masukan bagi pelaksanaan program LERD di daerah studi yang
bersangkutan
c. Tanya jawab terkait arahan tugas
d. Penutup

FIELD TRIP
|2
REFERENSI :
Febrian I.S. dan Tjokropandojo. 2014. SDM Manusia dan Kinerja Petani Sebagai Basis
Pengembangan Ekonomi Lokal - Studi Kasus: Desa Tegallega, Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A
SAPPK V1N2.

FIELD TRIP
|3
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 17
FGD, WORKSHOP, EXERCISE

1). Bahan Ajar

FGD, WORKSHOP, EXERCISE


|1
PENJELASAN DAN ARAHAN FGD DAN WORKSHOP TERKAIT STUDI
KASUS
Materi diklat ini merupakan kegiatan praktikal bagi peserta diklat yang telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait Local Economic Resources
Development. Materi ini juga merupakan lanjutan dari kegiatan Field Trip, berupa
kegiatan diskusi hasil studi lapangan dan latihan soal. Berikut adalah arahan
teknis terkait kegiatan yang dilakukan:
a. Peserta diminta untuk kembali berkelompok 4-5 orang sesuai dengan
kelompok Field Trip
b. Masing-masing kelompok diminta untuk untuk mendiskusikan kembali
hasil studi lapangan yang dilakukan sebelumnya
c. Peserta diminta melakukan diskusi persoalan dengan melakukan
pemetaan SWOT terhadap studi kasus yang diberikan
d. Peserta diperbolehkan mempergunakan alat elektronik untuk mencari
informasi tambahan terkait kondisi wilayah dari studi kasus yang diberikan
e. Hasil diskusi masing-masing kelompok dituliskan pada secarik kertas
f. Total waktu yang diberikan untuk melakukan diskusi adalah 1.5 jam
g. Setelah waktu diskusi selesai, masing-masing kelompok menjelaskan
hasil diskusinya masing-masing dengan memilih salah satu anggota
kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi
h. Peserta lain dapat memberikan tanggapan kepada kelompok lain selama
presentasi dilakukan
i. Peserta diminta untuk memberikan tanggapan mengenai keseluruhan
hasil presentasi kelompok, pada akhir presentasi dilakukan
j. Masing-masing perwakilan kelompok diberikan waktu untuk presentasi
hasil diskusi beserta pemberian masukan dari kelompok lainnya selama
maksimal 45 menit

Output atau luaran dari hasil simulasi ini berupa hasil diskusi masing-masing
kelompok dan hasil tanggapan pada saat presentasi, dalam bentuk pemetaan
SWOT awal atas studi lapangan yang telah dilakukan. Simulasi ini bertujuan
untuk memberikan gambaran kegiatan kepada peserta diklat terhadap proses
FGD pelaksanaan program LERD di lapangan.

I. EXERCISE
Bagian berikut ini merupakan exercise atau latihan bagi peserta diklat terkait
review pemahaman mengenai materi Local Economic Resources Development
yang telah diperoleh sejak awal hingga akhir kegiatan diklat. Peserta diharapkan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut menurut pemahaman dan
pendapatnya masing-masing. Hasil dari jawaban peserta tersebut akan menjadi
bahan masukan dan evaluasi bagi penyelenggara diklat serta salah satu bahan
penilaian bagi peserta diklat. Durasi pengerjaan latihan berikut adalah 1.5 jam.
Pada akhir sesi, dapat dilakukan pembahasan singkat mengenai pertanyaan-

FGD, WORKSHOP, EXERCISE


|2
pertanyaan yang diberikan (optional). Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan
yang perlu dijawab peserta diklat:
1. Jelaskan pemahaman Anda mengenai program Local Economic
Resources Development (LERD) dalam konteks kebijakan otonomi
daerah
2. Jelaskan kedudukan program LERD dalam sistem kebijakan skala
nasional di Indonesia
3. Jelaskan kedudukan program LERD dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional di Indonesia
4. Jelaskan pemahaman Anda mengenai kelembagaan terkait pengelolaan
program LERD
5. Jelaskan instrumen fiskal apa saja yang dapat dimanfaatkan daerah
dalam mendukung keberhasilan program LERD
6. Jelaskan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam merumuskan
perencanaan dan pelaksanaan rencana strategi LERD
7. Jelaskan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan pada saat monitoring dan
evaluasi program LERD

FGD, WORKSHOP, EXERCISE


|3
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT

MATERI POKOK 18
PENYUSUNAN PROPOSAL DAN PRESENTASI

1). Bahan Ajar

PENYUSUNAN PROPOSAL DAN PRESENTASI


|1
I. PANDUAN PENYUSUNAN PROPOSAL RENCANA AKSI STRATEGI
PROGRAM LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
1. Peserta terbagi kedalam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya yakni pada
materi diklat ke-18 (masing-masing kelompok beranggotakan 4-5 orang)
2. Peserta diminta membuat laporan hasil diskusi pada pertemuan diklat ke-18 dan ke-
19, berupa rencana aksi strategi LERD
3. Muatan laporan rencana aksi strategi LERD adalah:
a. Bab I: PENDAHULUAN
Berisi latar belakang persoalan, rumusan masalah, sasaran dan tujuan, serta
ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi.
b. Bab II: KAJIAN TEORI DAN REGULASI
Berisi pembahasan teori terkait program LERD serta kajian regulasi yang
digunakan dalam analisis persoalan atau berkaitan dengan pembahasan
persoalan
c. Bab III: GAMBARAN UMUM DAN RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN
Berisi gambaran umum karakteristik kawasan studi dan kajian kewilayahan
kawasan studi berkaitan dengan pengembangan program LERD di dalamnya
d. BAB IV: METODOLOGI ANALISIS
Berisi pembahasan mengenai jenis dan metode analisis yang digunakan di
dalam menganalisis persoalan studi kasus terkait pengembangan program
LERD.
e. BAB V: ANALISIS PERSOALAN
Berisi penjabaran hasil analisis terhadap strategi pengembangan program LERD
pada kawasan studi, berupa pilihan strategi program LERD yang paling sesuai
diterapkan pada kawasan studi, alasan pemilihan strategi, dan implikasinya bagi
pertumbuhan dan/atau perbaikan ekonomi kawasan studi. Serta berisi saran
terhadap proses monitoring dan evaluasi dari usulan strategi program LERD
yang ditawarkan.
f. BAB VI: RENCANA AKSI
Berisi pengejawantahan analisis persoalan ke dalam matriks rencana aksi.
g. BAB VII: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berisi kesimpulan dan saran lanjutan (atau perbaikan) terhadap hasil strategi
program LERD yang diusulkan.
4. Adapun ketentuan umum penulisan proposal antara lain:
a. Penulisan proposal diharapkan untuk mengaplikasikan materi-materi diklat yang
telah diajarkan.
b. Isi dari proposal diharapkan berupa muatan kontekstual, aplikatif, dan terstruktur.
Hindari pengulangan-pengulangan bahsan dan penulisan materi yang tidak
sesuai atau tidak dibutuhkan dalam upaya menemukan strategi pengembangan
program LERD yang dipilih.

PENYUSUNAN PROPOSAL DAN PRESENTASI


|2
c. Penulisan proposal merupakan hasil dari pemikiran anggota kelompok melalui
diskusi
d. Gunakan bahasa baku dan sistem penulisan referensi yang baik dan benar
e. Penulisan proposal diharapkan agar memperhatikan dan memastikan konsistensi
alur dan kesesuaian antara penggunaan teori, metode analisis, persoalan studi
kasus, serta hasil dan kesimpulan. Kesimpulan yang diberikan harus menjawab
tujuan utama dari studi kasus yang dilakukan.
f. Penulisan halaman proposal dibatasi 40-80 halaman dengan format penulisan
disesuaikan dengan kebutuhan dan standar keterbacaan.
5. Output utama dari penulisan atau isi proposal adalah:
a. Strategi program LERD yang diusulkan
b. Tabel rencana aksi program LERD yang diusulkan

II. PANDUAN PRESENTASI


1. Peserta diklat harap mempersiapkan materi presentasi dengan baik
2. Presentasi yang dilakukan merupakan hasil pemaparan isi proposal
3. Waktu presentasi masing-masing kelompok dibatasi hingga maksimum 35 menit
4. Presentasi dilakukan di depan kelas dengan menggunakan media microsoft windows
power-point ataupun media lain yang serupa
5. Peserta diklat dapat memanfaatkan media lain seperti papan tulis atau dengan
membagikan print-out presentasi kepada peserta atau kelompok lainnya
6. Muatan presentasi disampaikan secara singkat, padat, dan jelas, tanpa mengurangi
substansi dari materi yang disampaikan
7. Sesi diskusi dilakukan setelah seluruh kelompok peserta diklat selesai
menyampaikan presentasinya
8. Diskusi dipandu dan dimoderatori oleh pemateri diklat
9. Diskusi dilakukan selama maksimum 30 menit
10. Selama diskusi, peserta diklat dapat memberikan tanggapan, pertanyaan, atau
pernyataan terhadap kelompok lainnya
11. Pada akhir diskusi, pemateri diklat meminta tiga orang peserta diklat (secara
voluntrer) untuk menyampaikan kesimpulan hasil diskusi presentasi
12. Pemateri diklat memberikan pernyataan penutup terkait proses diskusi serta catatan-
catatan khusus lainnya yang dianggap perlu sebagai bahan evaluasi dari hasil
presentasi
13. Cetak copy dari materi proposal dan materi presentasi dikumpulkan kepada pemateri
diklat sebagai bahan dokumentasi.

PENYUSUNAN PROPOSAL DAN PRESENTASI


|3
BAHAN AJAR DIKLAT NON-GELAR
LOCAL ECONOMIC RESOURCES DEVELOPMENT
(LERD)

MATERI POKOK 19
PENUTUPAN DIKLAT

Pengertian dan Tujuan: Penutupan diklat adalah kegiatan yang dilakukan pada akhir atau hari
terakhir pelaksanaan diklat dengan tujuan untuk menutup secara resmi diklat, mendapatkan
laporan persiapan dan rencana pelaksanaan diklat dari pengelola serta memberikan
pembekalan kepada peserta serta harapan kepada peserta setelah mengikuti diklat.

Acara penutupan terdiri dari rangkaian acara:


1. Laporan dari panitia
2. Sambutan dari Pimpinan Pengelola
3. Sambutan dan arahan dari Pejabat Pusbindiklatren Bappenas
4. Pemberian sertifikat (bisa secara simbolis)
5. Pemberian penghargaan kepada peserta terbaik (bila diperlukan)
6. Post-test (bila diperlukan)

Bahan yang diperlukan untuk pembukaan:


1. Jadwal acara penutupan
2. Daftar nama peserta dengan kelulusannya
3. LCD
4. Audio
5. Laptop
6. Perangkat Sipena (DLS)
7. Informasi dan peralatan lainnya

Waktu: 1 sesi atau 2 jam pelajaran (90 menit)

Anda mungkin juga menyukai