M. Akbar
monci.green@gmail.com
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Akbar, M. 2017. Analisis Gaya Bahasa pada Novel Di Tepi Sungai Piedra Aku
Duduk dan Menangis Karya Paulo Coelho. Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Pembimbing I, Dra. Hj. Isnaini Leo Shanty, M.Pd., Pembimbing II, Legi
Elfitra, M.Pd.
Penelitian ini membahas tentang penggunaan gaya bahasa khususnya bahasa kias
atau majas pada novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya
Paulo Coelho. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu pustaka, baca, dan
catat.
Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan cara: 1. Mengumpulkan
data yang diperoleh dengan cara membaca teks novel secara keseluruhan dan
dicatat pada tabel instrumen penelitian, 2. Mengidentifikasi dengan cara
mengklasifikasi jenis data berupa gaya bahasa yang diperoleh, 3. Mendeskripsikan
hasil analisis dalam bentuk laporan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk
dan Menangis karya Paulo Coelho menggunakan gaya bahasa yang beragam.
Adapun ragam gaya bahasa yang terdapat pada novel tersebut antara lain; (1)
Gaya bahasa perbandingan: Hiperbola, Personifikasi, Perumpamaan, Metafora,
Simile, (2) Gaya bahasa perulangan: Mesodiplosis, Anafora, (3) Gaya bahasa
Sindiran: Sarkasme, (4) Gaya bahasa pertentangan: Litotes, Antitesis, dan (5)
Gaya bahasa penegasan: Paralelisme, Klimaks, Repetisi. Adapun gaya bahasa
metafora merupakan gaya bahasa yang paling mendominasi pada novel tersebut
sebanyak 44 buah.
PENDAHULUAN
1
bermasyarakat. Seseorang mengadakan interaksi menggunakan bahasa sehingga
bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi atau alat menyampaikan
wacana lain, misalnya dalam teks pidato, teks karya ilmiah, dan perundang-
undangan. Bahasa dalam karya sastra fiksi memiliki nilai imajinatif yang tinggi.
Penggunaan bahasa dalam karya sastra bukan hanya sekedar paham, tetapi
menimbulkan efek keindahan. Gaya bahasa sebagai salah satu unsur yang menarik
dalam sebuah bacaan karya sastra. Dikatakan demikian sebab, setiap pengarang
ke dalam tulisan.
novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis. Analisis terhadap novel
tersebut peneliti batasi pada segi gaya bahasa. Atas dasar itulah, peneliti
melakukan penelitian terhadap novel tersebut dengan judul “Analisis Gaya Bahasa
pada Novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis Karya Paulo
Coelho”.
2
BAHAN DAN METODE
Bahan sebagai objek kajian pada penelitian ini adalah gaya bahasa yang terdapat
pada novel “Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis” karya Paulo
Coelho. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho.
HASIL
Peneliti menganalisis gaya bahasa khususnya bahasa kias pada novel Di Tepi
Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho. Gaya bahasa atau
majas merupakan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk
tulisan atau lisan. Penggunaan gaya bahasa yang terdapat pada novel tersebut
Metafora, Simile, (2) Gaya bahasa perulangan: Mesodiplosis, Anafora, (3) Gaya
bahasa sindiran: Sarkasme, (4) Gaya bahasa pertentangan: Litotes, Antitesis, dan
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan
1. Hiperbola
Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang
hal.
3
1. ..., atau dalam seribu satu hal yang bagi kita tampak sama saja. (hal. 21)
3. Jantungku berdebar cepat, dan pengaruh anggur lenyap seketika. (hal. 50)
4. Seorang laki-laki yang basah kuyup dari kepala hingga kaki, mengadang di
6. Inilah pertama kalinya kami saling membisu begitu lama. (hal. 77)
7. “Pagi ini, aku meyakinkan diriku aku pencandu alkohol. Aku minum dari
8. “Lambat laun berita menyebar, dan ribuan orang mulai mendatangi tempat
10. Tak peduli kita pernah jatuh cinta satu, dua, ataukah lusinan kali dalam
kehidupan kita, kita selalu menghadapi situasi yang sama sekali baru. (hal.
93)
11. Kita harus menyambut cinta di mana pun kita menemukannya, meski itu
12. Ribuan kali ingin rasanya aku meraih tangannya, dan ribuan kali pula aku
4
13. “... Tuhan itu sama, meskipun Ia memiliki ribuan nama; tergantung kita
14. ..., namun jantungku berhenti saat ia mengatakan itu. (hal. 106)
16. “... Semua jalan yang kulalui selalu membawaku kembali kepadamu. ...”
(hal. 114)
17. “...Aku menemukan bahwa Tuhan amat sangat penting dalam hidupku, ...”
(hal. 115)
19. “... Mereka mengetahui segala sesuatu mengenai perkawinan dan cinta,
20. “... Ia bisa menempuh ribuan jalan dan memeluk banyak agama dan aliran –
namun ia tak akan menemukan Tuhan dengan cara itu. (hal. 151)
21. Kulihat di matanya ribuan kali ketika ia membayangkan saat ini, dan kulihat
22. Alam semesta menuntut kita untuk tidak membiarkan gelas-gelas jatuh ke
23. Di sini, Sungai Piedra pecah menjadi lusinan air terjun, anak sungai, danau,
24. Terowongan gelap itu menjelma menjadi salah satu pertunjukkan paling
5
26. “... Legenda mengatakan Sungai Piedra demikian dinginnya hingga apa pun
2. Personifikasi
Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya bahasa
1. Ketika itulah – seperti kata salah satu orang kudus – air sungai akan
memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api. (hal. 15)
2. Aku terkejut, karena musiknya seperti menghipnotis; suara lalu lintas pun
3. Anggur telah membebaskan lidahku. “Tapi hanya kalau kau memahami satu
sesuatu yang tidak diketahui – bahkan saat kita tidak menginginkannya dan
5. Akhirnya, seolah takdir ingin menunjukkan padaku bahwa kisah Yang Lain
itu sungguh ada – dan alam semesta selalu berkonspirasi untuk membantu
8. Hening yang mengatakan kita tak perlu lagi menjelaskan segala sesuatu
6
9. Namun anggur itu telah membebaskan lidahku, dan aku harus berkata-kata.
(hal. 78)
11. Kini kabut memiliki kehidupan dan kisahnya sendiri. (hal. 87)
89)
13. Dan setelah sepasang hati mereka mengatakan semua yang ingin
14. Cinta tak perlu didiskusikan;cinta memiliki suaranya sendiri dan berbicara
15. Hatiku mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan hatinya, dan kini hatiku
16. Hatiku berkata retakan di bendungan telah mengalirkan air, ... (hal. 94)
17. Aku tahu mulai saat ini cintalah yang akan memanduku – dan sejak aku
merasakan cinta untuk pertama kalinya saat kanak-kanak dulu, cinta telah
19. Mungkin aku perlu membiarkan jiwaku berbicara padaku – hatiku memiliki
21. “... Dia terus menerus meminta kita mengikuti mimpi-mimpi dan suara hati
7
3. Perumpamaan
perbandingan yang pada hakikatnya membandingkan dua hal yang berlainan dan
4. Metafora
Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.
8. Sekarang ia berjalan di sisiku dalam cahaya matahari pagi yang cerah. (hal.
52)
8
9. Aku memasang telinga baik-baik, mendengarkan suara-suara dari luar. (hal.
57)
10. “Jangan takut, Pilar. Jangan sampai terseret memainkan peran.” (hal. 57)
11. “Berhati-hatilah. Kalau kau memilih ikut permainan itu, kau akan selalu
12. Aku telah membayar harga cukup besar untuk sedikit hasil yang kudapat.
(hal. 60)
13. Tadi aku merasa seperti katak, dan sekonyong-konyongnya aku kembali
takkan ada apa pun di dunia ini yang bisa menghentikannya. (hal. 67)
15. “... Yang Lain berdiri di sudut kamar, mengawasiku, tapi aku takkan
16. “Sejak aku mengusir Yang Lain dari hidupku, Energi Ilahi mulai
17. Para dewa telah melemparkan dadu, dan mereka tidak bertanya apakah kita
18. Begitu mereka melemparkan dadu – kau pun terpilih. (hal. 72)
19. Para dewa melemparkan dadu dan membebaskan cinta dari sangkarnya.
(hal. 72)
20. Saat ini angin bertiup ke arah yang menguntungkan temanku. (hal. 72)
9
21. Kusadari aku mulai merasakan badai yang dibawa oleh angin cinta. (hal.
75)
24. Aku terkejut ketika merasakan tikaman rasa cemburu. (hal. 79)
25. Namun peperangan batinku tampaknya telah surut, dan aku tak ingin
26. Di bawah siraman cahaya lampu sumur itu tampak olehku, juga botol
28. Jika kita menolak cinta, kita akan mati kelaparan, karena kita tidak lagi
29. ... bahwa angin bertiup serentak ke segala penjuru, bahwa ia bahagia karena
sekali lagi aku bersedia mendengarkan apa yang ingin dikatakannya. (hal.
94)
30. ...; aku takkan dapat lagi menahankan angin yang bertiup dari relung-relung
31. Namun dulu cinta itu sulit, aku enggan mengarunginya. (hal. 96)
32. “... Kau bertanggung jawab atas keberadaanku di sini hari ini, mendaki
10
33. “... Kerajaan yang terpecah tak dapat mempertahankan diri dari musuh-
34. Sudah kucoba menolaknya; dan kini aku tahu betapa mudahnya cinta
35. Aku tidak akan bicara kepada sisi gelapku lagi,... (hal. 141)
36. Jatuh dari lantai tiga sama sakitnya dengan jatuh dari lantai seratus. (hal.
141)
37. “... Kini aku seolah terperangkap di tengah badai yang mengempasku ke
sana kemari, dan sepertinya aku tak dapat berbuat apa-apa.” (hal. 149)
39. “Dan dunia akan melempari orang-orang yang datang setelahnya dengan
40. Namun toh ia tetap bersikeras; berdebat dan berjuang hingga titik
43. Malam itu aku tidur di tanah yang membeku, ... (hal. 209)
44. Dan aku menangis hingga tak ada setitik air mata pun yang tersisa. (hal.
217)
5. Simile
Keraf (2004: 138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
11
1. Aku seperti kanak-kanak – gelisah, tegang karena aku tidak mengenal
2. Tapi aku memiliki alasan: aku tahu ia menyanyikan lagu itu sebagai
4. Namun seperti dewa-dewa, angin tak dapat diduga – dan jauh di lubuk hati,
5. “Aku pernah jatuh cinta sebelumnya. Rasanya seperti narkotik. ...” (hal. 74)
6. “... Kalau ia tak ada, kau merasa seperti pencandu yang selalu
membutuhkan morfin. Dan seperti halnya pencandu yang akan mencuri dan
7. Aku masih merasa bagai dalam rahim Ibu Bumi, berada di luar ruang dan
8. Aku terkejut oleh diriku sendiri, karena aku berdoa seperti kanak-kanak –
dan layaknya kanak-kanak, aku percaya doa kami akan dijawab. (hal. 133)
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002: 28) berpendapat bahwa gaya
bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu
12
1. Mesodiplosis
2. Anafora
Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa anaphora adalah repetisi yang berwujud
1. Benar, kita akan menderita, kita akan menghadapi masa-masa sulit, dan kita
2. “Apa yang kaulakukan dengan semua mukjizat yang Tuhan berikan dalam
3. Aku bisa saja memuji khotbahnya. Aku bisa saja mengatakan bosan berada
di tengan begitu banyak orang. Aku bisa saja melontarkan komentar konyol
tentang masa kecil kami atau mengatakan betapa bangga aku melihat dirinya
disana, begitu dikagumi orang. Aku bisa saja mengatakan aku harus segera
4. Aku tidak merasa bersalah, tidak merasa takut, tidak merasa malu. (hal.
41.)
13
6. Setelah itu kita makan malam di restoran yang bagus – tidak perlu tegang,
tidak perlu khawatir didatangi polisi, tidak perlu berpikir harus berlari
171)
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu
acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari
apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Gaya bahasa sindiran yang
terdapat pada novel tersebut merupakan gaya bahasa sarkasme. Keraf (2004: 143)
berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang
2. “Maksudmu, setelah dua ribu tahun mereka akhirnya mengerti bahwa sudah
sarkastis.(hal. 105)
14
penuh dendam yang menyalahkan manusia atas kematian Putra-Nya yang
1. Litotes
Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang
Siapalah aku ini, berbicara tentang kebebasan atau komitmen? (hal. 17)
2. Antitesis
Keraf (2004: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang
2. Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang
mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang
yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. (hal. 49)
4. “Karena di jalan itu kita bisa pergi entah ke surga ataupun neraka?” (hal.
78)
(hal. 79)
15
6. Meskipun dapat membawa kita ke neraka maupun surga, cinta selalu
7. Aku tahu mulai saat ini aku akan merasakan surga dan neraka, kebahagiaan
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya dalam
1. Paralelisme
tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku
2. Klimaks
Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya
menjadi api unggun, api ungun yang menjelma menjadi neraka. (hal. 95)
16
2. Saat-saat penantian menjelma menjadi ketegangan, ketegangan menjelma
(hal. 145)
3. Repetisi
Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata,
kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam
1. Aku ingin bertemu lagi dengannya; aku ingin mendengar suaranya. Aku
ingin duduk bersamanya di kafe dan mengenang masa lalu, saat kami
mengira dunia terlalu luas bagi siapa pun untuk dapat sungguh-sungguh
2. “Tidak, tidak, dia tidak mengembalikan apa pun,” sergah perempuan lebih
3. “Aku bisa membaca matamu. Aku dapat membaca hatimu. Kau akan jatuh
4. Ada banyak cara untuk bunuh diri. Orang-orang yang mencoba membunuh
5. Tapi tidak! Aku tak bisa. Atku tak ingin. (hal. 48)
17
7. Tidak, tidak, aku tak bisa membiarkan celah itu ada. Tak peduli sekecil apa
8. Aku tidak akan menyinggung topik itu lagi, aku tidak akan
9. Aku tidak mencari apa-apa – aku tidak mencari seorang pria dan jelas tidak
10. Aku telah dipaksa mengingkari banyak hal yang kuinginkan dan
11. “Aku memang tegang. Kusangka lelaki tua itu melapor ke polisi. Kusangka
ini tempat kecil, dan mereka tahu dimana kita berada. Kusangka tindakan
nekatmu makan siang di sini akan merusak liburan kita.” (hal. 60)
gugur, dan sinar matahari tidak menyengat. Mungkin lelaki tua itu
14. Rasanya bertahun-tahun aku mengalami hari yang sama, setiap pagi bangun
KESIMPULAN
Gaya bahasa yang terdapat pada novel meliputi: (1) Gaya bahasa perbandingan;
18
Gaya bahasa pertentangan; Litotes, Antitesis, dan (5) Gaya bahasa penegasan;
Gaya bahasa yang paling dominan yang terdapat pada novel tersebut adalah gaya
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nur. 2014. Analisis Unsur Intrinsik pada Novel Putri Sinyue Karya
Coelho, Paulo. 2012. Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis. Jakarta:
Press.
Ibrahim, Soleh. 2011. Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Mimpi Bayang Jingga
Surakarta.
Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marwandi, Said. 2013. Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Laila Majnun Karya
19
Moleong, L.J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan
Press.
Pranawa, Erry. 2005. Analisis Stilistika Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B
Ratna, N.K. 2009. Stilistika: Kajian Puistika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Wahyudi, Tri. 2011. Analisis Gaya Bahasa pada Novel Sang Pencerah Karya
Surakarta.
20