Anda di halaman 1dari 20

Analisis Gaya Bahasa Pada Novel “Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan

Menangis” Karya Paulo Coelho

M. Akbar

monci.green@gmail.com

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

ABSTRAK

Akbar, M. 2017. Analisis Gaya Bahasa pada Novel Di Tepi Sungai Piedra Aku
Duduk dan Menangis Karya Paulo Coelho. Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Pembimbing I, Dra. Hj. Isnaini Leo Shanty, M.Pd., Pembimbing II, Legi
Elfitra, M.Pd.
Penelitian ini membahas tentang penggunaan gaya bahasa khususnya bahasa kias
atau majas pada novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya
Paulo Coelho. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu pustaka, baca, dan
catat.
Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan cara: 1. Mengumpulkan
data yang diperoleh dengan cara membaca teks novel secara keseluruhan dan
dicatat pada tabel instrumen penelitian, 2. Mengidentifikasi dengan cara
mengklasifikasi jenis data berupa gaya bahasa yang diperoleh, 3. Mendeskripsikan
hasil analisis dalam bentuk laporan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk
dan Menangis karya Paulo Coelho menggunakan gaya bahasa yang beragam.
Adapun ragam gaya bahasa yang terdapat pada novel tersebut antara lain; (1)
Gaya bahasa perbandingan: Hiperbola, Personifikasi, Perumpamaan, Metafora,
Simile, (2) Gaya bahasa perulangan: Mesodiplosis, Anafora, (3) Gaya bahasa
Sindiran: Sarkasme, (4) Gaya bahasa pertentangan: Litotes, Antitesis, dan (5)
Gaya bahasa penegasan: Paralelisme, Klimaks, Repetisi. Adapun gaya bahasa
metafora merupakan gaya bahasa yang paling mendominasi pada novel tersebut
sebanyak 44 buah.

Kata kunci: Gaya bahasa, Novel

PENDAHULUAN

Kemampuan dalam berbahasa dibutuhkan untuk memudahkan seseorang dalam

berkomunikasi antar sesama pengguna bahasa, khususnya dalam kehidupan

1
bermasyarakat. Seseorang mengadakan interaksi menggunakan bahasa sehingga

terjadi komunikasi di antara sesama pengguna bahasa. Hal ini menunjukkan

bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi atau alat menyampaikan

hasil karya kepada orang lain.

Penggunaan bahasa dalam karya sastra tidaklah sama penggunaannya terhadap

wacana lain, misalnya dalam teks pidato, teks karya ilmiah, dan perundang-

undangan. Bahasa dalam karya sastra fiksi memiliki nilai imajinatif yang tinggi.

Penggunaan bahasa dalam karya sastra bukan hanya sekedar paham, tetapi

pemilihan kata yang mampu mengusik dan meninggalkan kesan terhadap

sensitivitas pembaca. Setiap kata yang digunakan oleh pengarang dapat

diinterpretasikan ke dalam berbagai pengertian. Setiap kata dan kalimat yang

dipilih pada umumnya dilakukan atas kesadaran yang bertujuan untuk

menimbulkan efek keindahan. Gaya bahasa sebagai salah satu unsur yang menarik

dalam sebuah bacaan karya sastra. Dikatakan demikian sebab, setiap pengarang

mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam mengungkapkan ide atau gagasanya

ke dalam tulisan.

Berdasakan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis

novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis. Analisis terhadap novel

tersebut peneliti batasi pada segi gaya bahasa. Atas dasar itulah, peneliti

melakukan penelitian terhadap novel tersebut dengan judul “Analisis Gaya Bahasa

pada Novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis Karya Paulo

Coelho”.

2
BAHAN DAN METODE

Bahan sebagai objek kajian pada penelitian ini adalah gaya bahasa yang terdapat

pada novel “Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis” karya Paulo

Coelho. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif kualitatif guna mendeskripsikan gaya bahasa yang digunakan pada

novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho.

HASIL

Peneliti menganalisis gaya bahasa khususnya bahasa kias pada novel Di Tepi

Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho. Gaya bahasa atau

majas merupakan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk

tulisan atau lisan. Penggunaan gaya bahasa yang terdapat pada novel tersebut

meliputi; (1) Gaya bahasa perbandingan: Hiperbola, Personifikasi, Perumpamaan,

Metafora, Simile, (2) Gaya bahasa perulangan: Mesodiplosis, Anafora, (3) Gaya

bahasa sindiran: Sarkasme, (4) Gaya bahasa pertentangan: Litotes, Antitesis, dan

(5) Gaya bahasa penegasan: Paralelisme, Klimaks, Repetisi.

A. Gaya Bahasa Perbandingan

Pradopo (2005: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah

bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan

mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti,

semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain.

1. Hiperbola

Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang

mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu

hal.

3
1. ..., atau dalam seribu satu hal yang bagi kita tampak sama saja. (hal. 21)

2. Beberapa orang yang lewat memandangnya dan tertawa, namun ia

mengabaikannya; akulah yang nyaris mati karena malu, berdiri di

sebelahnya. (hal. 27)

3. Jantungku berdebar cepat, dan pengaruh anggur lenyap seketika. (hal. 50)

4. Seorang laki-laki yang basah kuyup dari kepala hingga kaki, mengadang di

depan kami. (hal. 50)

5. Kekontrasan antara kegelapan di dalam kapel dan cahaya matahari yang

menyilaukan sejenak membutakanku. (hal. 58)

6. Inilah pertama kalinya kami saling membisu begitu lama. (hal. 77)

7. “Pagi ini, aku meyakinkan diriku aku pencandu alkohol. Aku minum dari

pagi sampai malam. ...” (hal. 77)

8. “Lambat laun berita menyebar, dan ribuan orang mulai mendatangi tempat

itu. ...” (hal. 85)

9. “Kisah itu menyebar, mula-mula ke seluruh Prancis dan setelahnya ke

seantero dunia. ...” (hal. 86)

10. Tak peduli kita pernah jatuh cinta satu, dua, ataukah lusinan kali dalam

kehidupan kita, kita selalu menghadapi situasi yang sama sekali baru. (hal.

93)

11. Kita harus menyambut cinta di mana pun kita menemukannya, meski itu

berarti berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu kekecewaan

dan kegetiran. (hal. 93)

12. Ribuan kali ingin rasanya aku meraih tangannya, dan ribuan kali pula aku

menahan diriku. (hal. 100)

4
13. “... Tuhan itu sama, meskipun Ia memiliki ribuan nama; tergantung kita

memilihkan sebuah nama untuk diri-Nya.” (hal. 104)

14. ..., namun jantungku berhenti saat ia mengatakan itu. (hal. 106)

15. Waktu seakan-akan berhenti. (hal. 112)

16. “... Semua jalan yang kulalui selalu membawaku kembali kepadamu. ...”

(hal. 114)

17. “...Aku menemukan bahwa Tuhan amat sangat penting dalam hidupku, ...”

(hal. 115)

18. ..., kau membuat ribuan rencana, ... (hal. 145)

19. “... Mereka mengetahui segala sesuatu mengenai perkawinan dan cinta,

namun tidak menikah. ...” (hal. 150)

20. “... Ia bisa menempuh ribuan jalan dan memeluk banyak agama dan aliran –

namun ia tak akan menemukan Tuhan dengan cara itu. (hal. 151)

21. Kulihat di matanya ribuan kali ketika ia membayangkan saat ini, dan kulihat

bayangan yang diciptakannya tentang kami. (hal. 181)

22. Alam semesta menuntut kita untuk tidak membiarkan gelas-gelas jatuh ke

lantai. (hal. 183)

23. Di sini, Sungai Piedra pecah menjadi lusinan air terjun, anak sungai, danau,

dan menghasilkan berbagai tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya. (hal. 190)

24. Terowongan gelap itu menjelma menjadi salah satu pertunjukkan paling

indah di muka bumi. (hal. 199)

25. Aku tak melihat apa pun ... (hal. 207)

5
26. “... Legenda mengatakan Sungai Piedra demikian dinginnya hingga apa pun

yang jatuh ke dalamnya – dedaunan, serangga, dan bulu burung – akan

berubah menjadi batu. ...” (hal. 216)

2. Personifikasi

Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya bahasa

kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

1. Ketika itulah – seperti kata salah satu orang kudus – air sungai akan

memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api. (hal. 15)

2. Aku terkejut, karena musiknya seperti menghipnotis; suara lalu lintas pun

menyurut, dan degup jantungku mulai tenang. (hal. 29)

3. Anggur telah membebaskan lidahku. “Tapi hanya kalau kau memahami satu

hal.” (hal. 44)

4. Kehidupan mengejutkan dan memerintahkan kita untuk bergerak menuju

sesuatu yang tidak diketahui – bahkan saat kita tidak menginginkannya dan

mengira tidak membutuhkannya. (hal. 62)

5. Akhirnya, seolah takdir ingin menunjukkan padaku bahwa kisah Yang Lain

itu sungguh ada – dan alam semesta selalu berkonspirasi untuk membantu

sang pemimpi – kami menemukan rumah tempat meningap, kamarnya

dilengkapi sepasang tempat tidur. (hal. 73)

6. Ya,pikiranku mengembara ke mana-mana. (hal. 75)

7. Hening kali ini bicara untuk dirinya sendiri. (hal. 77)

8. Hening yang mengatakan kita tak perlu lagi menjelaskan segala sesuatu

kepada satu sama lain. (hal. 77)

6
9. Namun anggur itu telah membebaskan lidahku, dan aku harus berkata-kata.

(hal. 78)

10. Kegelapan dan kabut membungkus kami sepenuhnya. (hal. 83)

11. Kini kabut memiliki kehidupan dan kisahnya sendiri. (hal. 87)

12. Mereka membiarkan hati meraka bercakap-cakap dalam keheningan. (hal.

89)

13. Dan setelah sepasang hati mereka mengatakan semua yang ingin

dikatakannya, mereka mulai berbagi rahasia-rahasia besar. (hal. 89)

14. Cinta tak perlu didiskusikan;cinta memiliki suaranya sendiri dan berbicara

untuk dirinya sendiri. (hal. 91)

15. Hatiku mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan hatinya, dan kini hatiku

merasa puas. (hal. 91)

16. Hatiku berkata retakan di bendungan telah mengalirkan air, ... (hal. 94)

17. Aku tahu mulai saat ini cintalah yang akan memanduku – dan sejak aku

merasakan cinta untuk pertama kalinya saat kanak-kanak dulu, cinta telah

menunggu untuk membimbingku. (hal. 96)

18. Bunyi organ berhenti, dan matahari bersembunyi di balik pegunungan,

seolah-olah keduanya diperintahkan oleh Tangan yang sama. (hal. 112)

19. Mungkin aku perlu membiarkan jiwaku berbicara padaku – hatiku memiliki

banyak keraguan dan membutuhkan banyak jawaban. (hal. 130)

20. Hari-hari berjalan sangat lambat, ... (hal. 145)

21. “... Dia terus menerus meminta kita mengikuti mimpi-mimpi dan suara hati

kita. ...” (hal. 151)

22. ... selain kegelapan yang membungkusku. (hal. 207)

7
3. Perumpamaan

Moeliono (1989: 175) berpendapat bahwa perumpamaan adalah gaya bahasa

perbandingan yang pada hakikatnya membandingkan dua hal yang berlainan dan

yang dengan sengaja kita anggap sama.

“Aku hanyalah mata rantai yang menghubungkanmu dengan masa lalumu.

...” (hal. 44)

4. Metafora

Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang

membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.

1. Sepertinya ia mengetahui segalanya; ia telah menumbuhkan sayap, dan kini

menjelajahi dunia. (hal. 16)

2. Sementara aku sendiri hanya berusaha menancapkan akarku. (hal. 16)

3. Wanita muda itu tersenyum masam dan mengalihkan pandangan,

mengakhiri percakapan itu. (hal. 19)

4. Kau mengubur dirimu di dalam gua karena takut kehilangan karunia-karunia

itu. (hal. 22)

5. Hatiku membunyikan tanda bahaya, dan segenap kebahagiaan yang baru

saja kurasakan berubah menjadi kebingungan. (hal. 35)

6. Dunia berbalik seratus delapan puluh derajat dan kembali ke tempat

seharusnya. (hal. 36)

7. “... Aku mengingatkan dirimu kepada akar-akarmu, dan itulah yang

membuatmu mengira kau mencintaiku. ...” (hal. 44)

8. Sekarang ia berjalan di sisiku dalam cahaya matahari pagi yang cerah. (hal.

52)

8
9. Aku memasang telinga baik-baik, mendengarkan suara-suara dari luar. (hal.

57)

10. “Jangan takut, Pilar. Jangan sampai terseret memainkan peran.” (hal. 57)

11. “Berhati-hatilah. Kalau kau memilih ikut permainan itu, kau akan selalu

kalah.” (hal. 58)

12. Aku telah membayar harga cukup besar untuk sedikit hasil yang kudapat.

(hal. 60)

13. Tadi aku merasa seperti katak, dan sekonyong-konyongnya aku kembali

menjadi putri. (hal. 62)

14. Waspadalah terhadap retakan di bendungan. Jika retakan itu muncul,

takkan ada apa pun di dunia ini yang bisa menghentikannya. (hal. 67)

15. “... Yang Lain berdiri di sudut kamar, mengawasiku, tapi aku takkan

membiarkan Yang Lain menguasaiku lagi – meskipun ia mencoba menakut-

nakutiku, mengingatkan bahwa tidak memikirkan masa depan adalah

tindakan riskan.” (hal. 71)

16. “Sejak aku mengusir Yang Lain dari hidupku, Energi Ilahi mulai

menunjukkan mukjizat-mukjizatnya.” (hal. 71)

17. Para dewa telah melemparkan dadu, dan mereka tidak bertanya apakah kita

ingin ikut bermain atau tidak. (hal. 72)

18. Begitu mereka melemparkan dadu – kau pun terpilih. (hal. 72)

19. Para dewa melemparkan dadu dan membebaskan cinta dari sangkarnya.

(hal. 72)

20. Saat ini angin bertiup ke arah yang menguntungkan temanku. (hal. 72)

9
21. Kusadari aku mulai merasakan badai yang dibawa oleh angin cinta. (hal.

75)

22. Aku mulai merasakan retakan di bendungan. (hal. 75)

23. Mungkin ia masih tenggelam di dalam lautan keheningan. (hal. 78)

24. Aku terkejut ketika merasakan tikaman rasa cemburu. (hal. 79)

25. Namun peperangan batinku tampaknya telah surut, dan aku tak ingin

memulainya lagi. (hal. 79)

26. Di bawah siraman cahaya lampu sumur itu tampak olehku, juga botol

anggur dan kedua gelas di bibirnya. (hal. 89)

27. Mencoba menilai cinta-cintanya di masa mendatang dengan peraturan-

peraturan yang diciptakan luka-lukanya di masa lalu. (hal. 93)

28. Jika kita menolak cinta, kita akan mati kelaparan, karena kita tidak lagi

memiliki keberanian untuk mengulurkan tangan dan memetik buah-buah

dari dahan-dahan pohon kehidupan. (hal. 93)

29. ... bahwa angin bertiup serentak ke segala penjuru, bahwa ia bahagia karena

sekali lagi aku bersedia mendengarkan apa yang ingin dikatakannya. (hal.

94)

30. ...; aku takkan dapat lagi menahankan angin yang bertiup dari relung-relung

jiwaku yang tersembunyi. (hal. 96)

31. Namun dulu cinta itu sulit, aku enggan mengarunginya. (hal. 96)

32. “... Kau bertanggung jawab atas keberadaanku di sini hari ini, mendaki

pegunungan kebenaran, jauh dari pegunungan buku-buku catatan dan

pelajaran. ...” (hal. 99)

10
33. “... Kerajaan yang terpecah tak dapat mempertahankan diri dari musuh-

musuhnya. ...” (hal. 119)

34. Sudah kucoba menolaknya; dan kini aku tahu betapa mudahnya cinta

menyulutkan api ke hati kita. (hal. 128)

35. Aku tidak akan bicara kepada sisi gelapku lagi,... (hal. 141)

36. Jatuh dari lantai tiga sama sakitnya dengan jatuh dari lantai seratus. (hal.

141)

37. “... Kini aku seolah terperangkap di tengah badai yang mengempasku ke

sana kemari, dan sepertinya aku tak dapat berbuat apa-apa.” (hal. 149)

38. “... Dan dunia akan melempari orang-orang yang mula-mula

memperkenalkan konsep itu dengan batu.” (hal. 170)

39. “Dan dunia akan melempari orang-orang yang datang setelahnya dengan

bunga.” (hal. 171)

40. Namun toh ia tetap bersikeras; berdebat dan berjuang hingga titik

penghabisan. (hal. 173)

41. Di sana sungai itu menyempit – seolah-olah kehabisan seluruh kebeliaan

dan energinya saat menyeberangi lembah. (hal. 190)

42. Tuhan menyembunyikan api neraka di tengah-tengah surga. (hal. 205)

43. Malam itu aku tidur di tanah yang membeku, ... (hal. 209)

44. Dan aku menangis hingga tak ada setitik air mata pun yang tersisa. (hal.

217)

5. Simile

Keraf (2004: 138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat

eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.

11
1. Aku seperti kanak-kanak – gelisah, tegang karena aku tidak mengenal

teman-teman barunya, dan cemburu karena ia lebih memperhatikan yang

lain dan bukannya aku. (hal. 23)

2. Tapi aku memiliki alasan: aku tahu ia menyanyikan lagu itu sebagai

jebakan. (hal. 63)

3. Ia membuatku mengingat kata-katanya, sama seperti aku akan mengingat

pelajaran yang akan diuji. (hal. 63)

4. Namun seperti dewa-dewa, angin tak dapat diduga – dan jauh di lubuk hati,

aku mulai merasakan sentuhannya. (hal. 72)

5. “Aku pernah jatuh cinta sebelumnya. Rasanya seperti narkotik. ...” (hal. 74)

6. “... Kalau ia tak ada, kau merasa seperti pencandu yang selalu

membutuhkan morfin. Dan seperti halnya pencandu yang akan mencuri dan

mempermalukan diri sendiri demi memenuhi kebutuhan mereka, kau pun

bersedia melakukan apa saja demi cinta.” (hal. 74)

7. Aku masih merasa bagai dalam rahim Ibu Bumi, berada di luar ruang dan

waktu. (hal. 87)

8. Aku terkejut oleh diriku sendiri, karena aku berdoa seperti kanak-kanak –

dan layaknya kanak-kanak, aku percaya doa kami akan dijawab. (hal. 133)

B. Gaya Bahasa Perulangan

Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002: 28) berpendapat bahwa gaya

bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu

yang diulang bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat.

12
1. Mesodiplosis

Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah repetisi di tengah-

tengah baris atau beberapa kalimat berurutan.

“Ia telah mencintai dan menderita karenanya, dan karenanya ia

membebaskan kita dari penderitaan. ...” (hal. 68)

2. Anafora

Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa anaphora adalah repetisi yang berwujud

pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.

1. Benar, kita akan menderita, kita akan menghadapi masa-masa sulit, dan kita

akan mengalami banyak kekecewaan – namun semua ini hanya sementara;

tidak akan meninggalkan bekas yang kekal. (hal. 21)

2. “Apa yang kaulakukan dengan semua mukjizat yang Tuhan berikan dalam

hidupmu? Apa yang kaulakukan dengan semua karunia yang Tuhan

limpahkan padamu? (hal. 22)

3. Aku bisa saja memuji khotbahnya. Aku bisa saja mengatakan bosan berada

di tengan begitu banyak orang. Aku bisa saja melontarkan komentar konyol

tentang masa kecil kami atau mengatakan betapa bangga aku melihat dirinya

disana, begitu dikagumi orang. Aku bisa saja mengatakan aku harus segera

pergi dan naik bus terakhir ke Zaragoza. (hal. 24)

4. Aku tidak merasa bersalah, tidak merasa takut, tidak merasa malu. (hal.

41.)

5. “Baiklah, aku sudah mengucapkan doaku. Aku sudah menyelesaikan apa

yang ingin kulakukan. Mari kita pergi.” (hal. 58)

13
6. Setelah itu kita makan malam di restoran yang bagus – tidak perlu tegang,

tidak perlu khawatir didatangi polisi, tidak perlu berpikir harus berlari

kembali ke mobil! ...” (hal. 67)

7. “Seharusnya dia tidak berada di sini. Seharusnya dia bersamamu.” (hal.

171)

8. “Tidakkah kaulihat, kaulah satu-satunya yang dapat menyelamatkannya?

Tidakkah kaulihat, dia mencintaimu dan bersedia melepaskan segalanya

demi dirimu?” (hal. 172)

C. Gaya Bahasa Sindiran

Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu

acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari

apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Gaya bahasa sindiran yang

terdapat pada novel tersebut merupakan gaya bahasa sarkasme. Keraf (2004: 143)

berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang

mengandung kepahitan dan celaan yang getir.

1. “Mengerikan benar caramu menggambarkan cinta,” ia berkata. (hal. 74)

2. “Maksudmu, setelah dua ribu tahun mereka akhirnya mengerti bahwa sudah

waktunya mengizinkan Yesus menjadi bagian dari gereja?” ujarku agak

sarkastis.(hal. 105)

3. “Mereka menghakimi dosa orang, meskipun mereka bisa saja melakukan

dosa yang sama. ...” (hal. 150)

4. “... Mereka mengancam kita dengan api neraka karena kesalahan-kesalahan

yang juga mereka lakukan. Mereka menggamarkan Allah sebagai makhluk

14
penuh dendam yang menyalahkan manusia atas kematian Putra-Nya yang

Tunggal.” (hal. 150)

D. Gaya Bahasa Pertentangan

Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan

dengan kata-kata yang ada.

1. Litotes

Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang

mengandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya.

Siapalah aku ini, berbicara tentang kebebasan atau komitmen? (hal. 17)

2. Antitesis

Keraf (2004: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang

mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-

kata atau kelompok kata yang berlawanan.

1. Ia bahkan mengundangku ikut serta dalam petualangan-petualangannya, ia

ingin berbagi ketakutan dan kemenangannya denganku. (hal. 34)

2. Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang

mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang

yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. (hal. 49)

3. Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya,

bukan sisi gelapnya. (hal. 51)

4. “Karena di jalan itu kita bisa pergi entah ke surga ataupun neraka?” (hal.

78)

5. “Kau keliru. Aku pernah kehilangan imanku dan menemukannya kembali.”

(hal. 79)

15
6. Meskipun dapat membawa kita ke neraka maupun surga, cinta selalu

membawa kita ke suatu tempat. (hal. 93)

7. Aku tahu mulai saat ini aku akan merasakan surga dan neraka, kebahagiaan

dan kegetiran, impian dan ketidakberdayaan; ... (hal. 96)

E. Gaya Bahasa Penegasan

Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya dalam

satu baris kalimat.

1. Paralelisme

Suyoto (2008:3) berpendapat bahwa paralelisme dapat diartikan sebagai

pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna.

Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah

tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku

mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan Sungai Piedra, biara,

gereja di Pegunungan Pyrenee, kabut, dan jalan-jalan yang kami lalui

bersama. (hal. 14)

2. Klimaks

Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya

bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin

meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.

1. Aku tidak lagi merasa dingin – aku dipenuhi kehangatan, kehangatan

percikan api yang menjelma menjadi kobaran, kobaran yang menjelma

menjadi api unggun, api ungun yang menjelma menjadi neraka. (hal. 95)

16
2. Saat-saat penantian menjelma menjadi ketegangan, ketegangan menjelma

menjadi ketakutan, ketakutan membuatmu malu menunjukkan kasih sayang.

(hal. 145)

3. Repetisi

Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata,

kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam

sebuah konteks yang nyata.

1. Aku ingin bertemu lagi dengannya; aku ingin mendengar suaranya. Aku

ingin duduk bersamanya di kafe dan mengenang masa lalu, saat kami

mengira dunia terlalu luas bagi siapa pun untuk dapat sungguh-sungguh

mengenalnya. (hal. 17)

2. “Tidak, tidak, dia tidak mengembalikan apa pun,” sergah perempuan lebih

muda yang duduk di sisi kananku. (hal. 19)

3. “Aku bisa membaca matamu. Aku dapat membaca hatimu. Kau akan jatuh

cinta. Dan menderita.” (hal. 30)

4. Ada banyak cara untuk bunuh diri. Orang-orang yang mencoba membunuh

raga melanggar aturan Tuhan. Yang mencoba membunuh jiwa juga

melanggar aturan Tuhan, meskipun kejahatan yang mereka lakukan tidak

senyata yang pertama. (hal. 39)

5. Tapi tidak! Aku tak bisa. Atku tak ingin. (hal. 48)

6. Aku tidak mengetahui ketakutan-ketakutannya, tapi aku mengenal

ketakutan-ketakutanku sendiri. Aku tidak membutuhkan ketakutan-

ketakutan baru – ketakutanku telah cukup. (hal. 48)

17
7. Tidak, tidak, aku tak bisa membiarkan celah itu ada. Tak peduli sekecil apa

pun. (hal. 49)

8. Aku tidak akan menyinggung topik itu lagi, aku tidak akan

membicarakannya lagi. (hal. 54)

9. Aku tidak mencari apa-apa – aku tidak mencari seorang pria dan jelas tidak

mencari cinta. (hal. 60)

10. Aku telah dipaksa mengingkari banyak hal yang kuinginkan dan

meninggalkan begitu banyak jalan yang terbentang bagiku. Aku telah

mengorbankan mimpi-mimpiku demi mimpi yang lebih besar – yakni jiwa

yang tenteram. (hal. 60)

11. “Aku memang tegang. Kusangka lelaki tua itu melapor ke polisi. Kusangka

ini tempat kecil, dan mereka tahu dimana kita berada. Kusangka tindakan

nekatmu makan siang di sini akan merusak liburan kita.” (hal. 60)

12. Mungkin mataharilah penyebabnya – tapi tidak, sekarang sedang musim

gugur, dan sinar matahari tidak menyengat. Mungkin lelaki tua itu

penyebabnya – tapi ia sudah pergi sejak tadi. (hal. 62)

13. Tidak, tidak, aku tidak bisa kembali. (hal. 188)

14. Rasanya bertahun-tahun aku mengalami hari yang sama, setiap pagi bangun

dengan cara yang sama, mengucapkan kata-kata yang sama, memimpikan

mimpi-mimpi yang sama. (hal. 192)

KESIMPULAN

Gaya bahasa yang terdapat pada novel meliputi: (1) Gaya bahasa perbandingan;

Hiperbola, Personifikasi, Perumpamaan, Metafora, Simile, (2) Gaya bahasa

perulangan; Mesodiplosis, Anafora, (3) Gaya bahasa Sindiran; Sarkasme, (4)

18
Gaya bahasa pertentangan; Litotes, Antitesis, dan (5) Gaya bahasa penegasan;

Paralelisme, Klimaks, Repetisi.

Gaya bahasa yang paling dominan yang terdapat pada novel tersebut adalah gaya

bahasa metafora. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 44 buah gaya bahasa

metafora pada novel tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Nur. 2014. Analisis Unsur Intrinsik pada Novel Putri Sinyue Karya

Chiung. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.

Semarang: IKIP Semarang Press.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Coelho, Paulo. 2012. Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Djayasudarma, Fatimah. 2010. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian

dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University

Press.

Ibrahim, Soleh. 2011. Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Mimpi Bayang Jingga

Karya Sanie B. Kuncoro. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Surakarta.

Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marwandi, Said. 2013. Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Laila Majnun Karya

Nizami. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang, Kep. Riau.

19
Moleong, L.J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan

Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Pranawa, Erry. 2005. Analisis Stilistika Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B

Mangunwijaya. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Ratna, N.K. 2009. Stilistika: Kajian Puistika Bahasa, Sastra, dan Budaya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.

Jakarta: Bumi Aksara.

Tarigan, H.G. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Wahyudi, Tri. 2011. Analisis Gaya Bahasa pada Novel Sang Pencerah Karya

Akmal Nasery Basral. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Surakarta.

Waluyo, H. J. 2011. Teori dan Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Hanindita Graha.

20

Anda mungkin juga menyukai