Anda di halaman 1dari 32

THE INFLUENCE OF HOAX IN WHATSAPP ON

POLITICAL PARTICIPATION IN ELECTION IN

WEST JAVA

PENGARUH HOAX DI WHATSAPP TERHADAP

PARTISIPASI POLITIK DALAM PEMILU DI JAWA

BARAT

Azzahra, Innayatul Ula, Juan Reivener, Kezia Waroi

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

azzahrarara255@gmail.com, inaayah.ula@gmail.com, juanbiu66@gmail.com,

keziawaroi@gmail.com

Abstrak. Penggunaan WhatsApp yang digunakan para kandidat politik dalam

melakukan kampanye untuk memperoleh suara dari pemilih, ternyata memiliki

sisi negatif berupa maraknya penyebaran berita bohong atau hoax. Banyaknya

berita bohong yang terkait dengan isu-isu politik meningkat terutama menjelang

Pemilihan Presiden. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

penyebaran hoax melalui aplikasi WhatsApp dapat mempengaruhi sikap dan

perilaku partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum. Teori yang digunakan

yakni berdasarkan teori jarum hipodermik yang mengasumsikan bahwa sebagian


besar kelompok oleh media dipengaruhi dengan cara dibombardir menggunakan

pesan-pesan yang dirancang untuk memunculkan respon yang diinginkan. Dalam

penelitian ini populasi yang diambil adalah warga Indonesia yang berdomisili di

Jawa Barat. Sedangkan sampel dari penelitian ini yakni warga di Jawa Barat

yang aktif menggunakan internet. Pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara menyebar kuisioner kepada beberapa sampel yang telah

ditentukan. Penelitian ini menggunakan statistik parametris dengan menguji

ukuran populasi melalui data sampel. Sedangkan untuk menguji hipotesis

digunakan uji regresi linear sederhana dengan melakukan uji normalitas, uji

linearitas dan uji heteroskesdastisitas.

Kata Kunci: Hoax, Kampanye, WhatsApp, Pemilu

Abstract. The use of WhatsApp, which is used by political candidates in

campaigning to get votes from voters, turns out to have a negative side in the

form of the widespread spread of fake news or hoaxes. The number of fake news

related to political issues increased especially in the lead up to the Presidential

Election. This study aims to determine the extent to which the spread of hoaxes

through the WhatsApp application can influence the attitudes and behavior of

voters' political participation in general elections. The theory used is based on the

hypodermic needle theory which assumes that most groups by the media are

affected by being bombarded using messages designed to elicit the desired

response. In this study, the population taken is Indonesian citizens who live in
West Java. While the sample of this study is residents in West Java who actively

use the internet. Data collection in this study was carried out by distributing

questionnaires to several predetermined samples. This study uses parametric

statistics by testing the population size through sample data. Meanwhile, to test

the hypothesis, a simple linear regression test was used by doing the normality

test, linearity test and heteroskesdasticity test.

Keywords: Hoax, Political Campaign, WhatsApp, Elections

Pendahuluan

Pemilihan umum di Indonesia dilakukan sebagai salah satu bentuk sistem

politik Indonesia yaitu demokrasi. Rakyat menjadi pembuat keputusan untuk bisa

memilih pemimpin mereka secara adil, jujur dan berkala dengan melakukan

pemungutan suara melalui pemilihan umum. Untuk memperoleh suara dan

menarik perhatian publik, setiap kandidat politik melakukan sebuah kegiatan

kampanye. Adanya terpaan perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat

metode yang dilakukan untuk berkampanye menjadi beragam dan mengalami

pergeseran dari media konvensional menjadi media digital. Statistik terkini

menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengakses internet di dunia ini telah

melebihi dua milyar empat ratus ribu, yang bila dipersentasekan akan menjadi

34% populasi dunia (Internet Statistik Dunia 2013). Selain itu, satu dari tujuh
orang di dunia ini memiliki Facebook profil dan hampir empat dari lima pengguna

Internet mengunjungi situs media sosial (Nielsen, 2012).

Para kandidat politik pun kini mulai melakukan penyesuaian terhadap

transformasi teknologi dan informasi yang cepat ini dengan gencar berkampanye

menggunakan media sosial. Maka tak heran jika kemudian segala informasi,

perang gagasan, bahkan visi misi dari setiap kandidat politik ditumpahkan di

media sosial (Wahyuni Bailussy, 2019). Sosial media memegang peran penting

dalam memfasilitasi elit politik untuk melakukan kampanye. Di Indonesia sendiri

pangsa terbesar pengguna internet adalah kelas menengah. Ini dikarenakan

kelompok ini memiliki keinginan yang kuat untuk bisa terkoneksi dengan berbagai

macam sosial media yang ada dari facebook hingga whatsapp. Media sosial adalah

tempat yang memiliki tingkat pengaruh tinggi dalam preferensi dan orientasi

public. Ruang siber lebih terasa efektifitasnya dibandingkan media-media

lainnya[ CITATION Ahm19 \l 1033 ] . Di Jakarta pada pemilihan gubernur 2012,

kampanye yang dilakukan pada sosial media calon gubernur dan wakil gubernur,

akun mereka dioperasikan oleh profesional (Saraswati, 2018). Arus informasi

melalui media sosial tidak mengenal adanya ruang dan waktu, serta batas usia.

Media telah mengalami transformasi besar selama dekade terakhir (Mangold dan

Faulds 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hani Noor Ilahi,

2018 tentang Wanita dan Pemrosesan Berita Hoax di WhatsApp, penyebaran hoax

melalui Whatsapp yang umum terjadi berupa pesan tentang penculikan anak yang

kemudian dibagikan di WhatsApp. Pesan tersebut berisi peringatan agar


mengawasi anak ketika di luar rumah serta foto seorang penculik dengan dua

orang anak yang tangan dan kakinya terikat. Namun dari pihak Kepolisian sendiri

telah memastikan bahwa berita atau kasus tersebut adalah palsu atau hoax. Dari

kasus hoax yang tersebar di WhatsApp tersebut, cenderung para wanita khususnya

seorang Ibu yang memproses pesan, menerima pesan dan kemudian

mengirimkannya lagi ke orang lain.

Ada beberapa faktor mengapa wanita terutama seorang ibu dengan mudah

menerima dan memproses pesan hoax yang didapatkan dari WhatsApp, terutama

pesan tentang kasus penculikan anak. Para Ibu cenderung lebih emosional

menanggapi pesan yang diterima tersebut, kemudian memiliki ketakutan yang

tinggi dan merasa terlibat dengan masalah tersebut karena menganggap hal

tersebut merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.

Hoax memiliki arti informasi bohong atau sesat yang sengaja disamarkan

supaya terlihat benar, sedangkan berita hoax adalah sebuah publikasi yang terlihat

seperti berita faktual yang didalamnya berisi kebohongan, fitnah, dan tidak

memiliki pola yang dapat diidentifikasi (Rasywir & Purwarianti, 2015). Dampak

dari pesan hoax diperkuat dengan adanya aplikasi pesan instan seperti WhatsApp,

yang dapat dengan mudah membuat penggunanya membagikan pesan. Apalagi

seperti kalimat "Saya mendapatkan ini dari grup lain” yang sering digunakan oleh

pengguna WhatsApp untuk menyebarkan informasi ketika sumber aslinya tidak

diketahui. Berdasarkan riset Masyarakat Telematika (Mastel), berita hoax tentang

politik mayoritas mendominasi penyebaran berita bohong pada tahun 2016.


Sebanyak 91,8% responden mengatakan bahwa mereka paling sering menerima

konten hoax tentang sosial politik. Hoax bisa menghancurkan personal branding,

dimana sosial media menyediakan tempat dan kesempatan untuk bisa memberikan

branding personal seorang kandidat calon[ CITATION Moh19 \l 1033 ] . Salah satu

contoh Branding adalah saat Barrack Obama menggunakan media sosial sebagai

media kampanye politiknya untuk bisa menjangkau lebih banyak supporter dan

mendapatkan hasil yang menakjubkan

Research gap yang digunakan dalam penelitian ini bersifat population

gap. Pada artikel jurnal yang menjadi rujukan, belum digunakan sampel penelitian

di Jawa Barat pada rentang usia 30-60 tahun. Penelitian difokuskan pada daerah

tersebut dikarenakan penggunaan internet yang sangat tinggi. Penelitian ini

dilakukan dengan tujuan untuk dapat mengetahui sejauh mana penyebaran hoax

melalui aplikasi WhatsApp dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seorang

pemilih dalam pemilihan umum. Dalam penelitian ini, populasi yang diambil

adalah seluruh warga Jawa Barat. Populasi darerah tersebut dipilih sebab menurut

APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), Jawa Barat merupakan

daerah dengan pemakaian internet terbesar di Indonesia dan berjumlah 16% dari

total penguna internet di Indonesia (ASOSIASI PENYELENGGARA JASA

INTERNET INDONESIA & Polling Indonesia, 2018). Dengan populasi yang

aktif dalam menggunakan internet, penelitian tentang pengaruh hoax terhadap

pemilihan umum akan lebih akurat.


RQ: Apa saja pengaruh hoax terhadap tindakan politik yang diambil

Hoax di WhatsApp

Dewasa ini banyak sekali yang menggunakan aplikasi WhatsApp sebagai

media pertukaran informasi, sehingga karena jumlah penggunanya yang banyak,

WhatsApp kemudian menjadi media yang rentan akan hoax. Mengapa WhatsApp

menjadi media yang sangat populer dan rentan dalam penyebaran hoax? Aplikasi

WhatsApp berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trisnani (2017) merupakan

aplikasi yang banyak dipilih oleh masyarakat baik individu, kelompok, organisasi

bahkan pemerintahan. WhatsApp memiliki banyak pengguna sebab masyarakat

menganggap bahwa aplikasi komunikasi berbasis internet tersebut lebih efektif

dan dapat dengan mudah membuat seseorang membagikan informasi kepada

individu ataupun kepada sebuah grup.

Menjelang pemilihan presiden yang berlangsung di tahun 2019,

penyebaran hoax kian meningkat. Setidaknya terdapat 53 pemberitaan hoax dan

324 pemberitaan hate speech yang disebutkan oleh Kementerian Komunikasi dan

Informatika yang berpengaruh terhadap pemilihan presiden tahun 2019 (Fajriyah,

2019). Kendati Penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok sudah ditangani oleh

kepolisian dan pilkada DKI Jakarta telah berakhir, namun penyebaran hoax terus

terjadi dan berbalik arah menjadi isu yang mengarah pada Jokowi. Penyebaran

hoax tersebut kemudian memecah belah masyarakat sehingga mereka saling

mencaci kandidat politik yang lain.


Menurut Laras Sekarasih PhD, (dosen Psikologi Media dari Universitas

Indonesia), penyebaran hoax tengah menjadi masalah yang lumayan serius di

Indonesia. Informasi hoax tersebar dengan cepat melalui WhatsApp misalnya.

Kebanyakan orang lebih percaya hoax jika informasinya itu sesuai dengan opini

atau sikap yang dimilikinya. Disaat ada informasi yang dapat mengafirmasi opini

dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya. Seseorang jika mendapatkan

informasi yang sesuai dengan yang dipercayainya, maka keinginan untuk

mengetahui kebenaran informasi terlebih dahulu menjadi berkurang. Karena

perasaan positif akan timbul pada diri seseorang ketika terafirmasi dengan apa

yang dipercayainya. Perasaan terafirmasi itu juga bisa menjadi pemicu seseorang

untuk meneruskan atau menyebarkan informasi hoax kepada orang lain.

Penyebaran hoax juga bisa dipengaruhi oleh anonimitas pesan hoax itu

sendiri. Anonimitas ini menimbulkan perspektif bahwa jika informasi yang

disebarkan itu salah, bukan jadi tanggung jawab orang tersebut karena orang

tersebut hanya sekadar membagikan lagi dari orang lain.

Siapapun bisa menjadi korban sesatnya informasi hoax. Apalagi berbicara

tentang media sosial, media digital dan sebagainya, kita harus bisa membedakan

antara kemampuan mengevaluasi informasi dengan kemampuan mengoperasikan

gadget. Seseorang yang melek teknologi atau gadget pun belum tentu melek

informasi. Oleh sebabnya, secara teoretis rentan atau tidaknya seseorang terhadap

hoax itu tergantung pada kemampuan individu dalam berpikir kritis, mengevaluasi
informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran dalam memanfaatkan

teknologi informasi[ CITATION TIM17 \l 1033 ]

Adanya fenomena hoax menimbulkan berbagai masalah di Indonesia.

Menurut Dewan Pers Indonesia, hoax telah memasuki tahap serius. Hoax yang

digunakan sangat beragam seperti satir untuk menyindir lawan kandidat politik

dan kemudian disebarluaskan ke khalayak. Pada awalnya masyarakat berusaha

mencari kebenaran atas adanya informasi yang tersebar di media mainstream

tersebut. Tetapi, hoax kemudian justru masuk ke dimensi lain media sosial dan

khalayak kemudian mengadopsi informasi tersebut begitu saja tanpa ada

klarifikasi yang lebih lanjut (Jemadu, 2017).

Tujuan dari penyebaran hoax pun tidak lain adalah untuk menarik suara

lebih banyak dengan menjatuhkan lawan politik, untuk mengambil hati dari

pemilih, sehingga mereka berpikir buruk terhadap lawan kandidat politik yang

lain. Dengan cara menyebarkan hoax, banyak masyarakat yang kemudian

terpengaruh dan menjadikan berita ini seolah-olah benar, sehingga mereka

berpikir negatif terhadap kandidat politik yang lain. Hoax juga merupakan cara

untuk menciptakan keributan dan turunnya minat dalam partisipasi politik agar

lawan politik mendapatkan status yang mereka inginkan.

Meskipun dampak hoax pada perilaku pemilu tidak secara langsung,

pertanyaan tentang bagaimana informasi yang terdistorsi diproses secara kognitif

harus dipertimbangkan. Pada pemilu 2019, beberapa perusahaan survei Indonesia

berpendapat bahwa hoax dapat mengurangi elektabilitas kandidat yang diincar.


Penyalahgunaan hoax untuk kepentingan politik tetap menjadi kemungkinan

dalam pemilu mendatang.

Pengaruh Hoax Terhadap Partisipasi Politik Dalam Pemilu

Pemilu merupakan pesta demokrasi yang harusnya dapat berlangsung

dengan riang dan juga damai. Tentunya pesta demokrasi tersebut memerlukan

partsipasi aktif masyarakat. Pada pemilu 2019, terjadi maraknya penyebaran hoax

yang mewarnai pesta demokrasi tesebut. Hal tesebut tentu sangat

mengkhawatirkan mengingat maraknya hoax menurut Anggota MPR dari Fraksi

PKB Daniel Johan dapat mempengaruhi psikologi masyarakat pemilih. Hoax yang

beredar dapat memecah belah masyarakat dan menimbulkan keributan yang

kemudian juga menyebabkan masyarakat menjadi apatis (Setiawan, 2019).

Akhirnya karena masyarakat bersikap apatis terhadap pemilu akibat maraknya

hoax yang beredar dan membuat masyarakat bingung, hal tersebut dapat membuat

partsisipasi masyarakat dalam pemilu menjadi turun. Tentu hal ini bukanlah hal

yang baik untuk kelangsungan demokrasi sebuah negara, sebab indikator dari

demokrasi yang baik adalah keterlibatan masyarakatnya yang aktif dalam

pemerintahan, salah satunya yakni partisipasi mereka dalam pemilu. Pemilu

merupakan momentum yang sangat baik harusnya bagi masyarakat untuk memilih

seorang pemimpin. Namun sayangnya, maraknya penyebaran hoax menjadikan

momentum tesebut tidak dapat berjalan dengan baik dan masyarakat tidak dapat

memanfaatkan momentum tersebut.[ CITATION Gir18 \l 1033 ]


Berita bohong atau yang biasa disebut hoax adalah spektrum fenomena

yang terdiri dari kepalsuan dan bahkan informasi nyata yang disebarkan secara

sengaja dan juga tidak sengaja untuk membingungkan. Penyebaran kampanye

disinformasi yang merajalela melalui platform teknologi telah menjadi perhatian

dalam pemilu baru-baru ini. Dengan 130 juta pengguna aktif, media sosial

menjadi aspek penting dalam politik Indonesia dan juga berita bohong. Pada

minggu-minggu terakhir menjelang pemilihan presiden dan legislatif pada 17

April, penyebaran berita bohong semakin meningkat. Menurut data Masyarakat

Anti-Fitnah Indonesia (MAFINDO), berita bohong yang populer disebut hoax

telah meningkat 61 persen antara Desember tahun lalu dan Januari 2019. Sebagian

besar hoax ditemukan di platform jejaring sosial Facebook. Kementerian

Komunikasi dan Informatika Indonesia melaporkan lebih dari 700 hoax terkait

pemilu pada Maret 2019.

Tujuan dari penyebaran hoax pun tidak lain adalah untuk menarik suara

lebih banyak dengan menjatuhkan lawan politik. Dengan cara ini pula, masyarakat

kemudian menjadi terpengaruh dan membuat berita ini seolah-olah benar,

sehingga mereka berpikir negatif terhadap lawan politiknya. Seperti contoh Pada

Pilkada Jakarta 2017, penggunaan hoax meningkat. Peredaran hoax semakin

intensif selama periode pemilu ketika ketegangan sektarian meningkat karena

pengadilan penistaan agama untuk Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, Gubernur

Jakarta saat itu (Varagur, 2016).


Dengan adanya penyebaran hoax yang marak terjadi maka perlu

diperhatikan bahwa tujuan dari penyebaran hoax itu sendiri digunakan oleh

seorang kandidat politik untuk mengambil hati dari pemilih. Hoax juga

merupakan cara untuk menciptakan keributan dan turunnya minat dalam

partisipasi politik agar seorang kandidat politik mendapatkan status yang mereka

inginkan terhadap lawan politiknya.

Hipotesis : Hoax dapat menciptakan keributan sehingga membuat minat

partisipasi politik menurun.

Metode Penelitian

Menurut (Margono, 2004) populasi adalah seluruh data yang menjadi

perhatian dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang ditentukan. Pada penelitian

ini populasi yang diambil adalah warga Jawa Barat. Menurut Badan Pusat

Statistik pada tahun 2020 berjumlah 2.510.103 juta jiwa dengan rentang umur 30-

60 tahun yang aktif di internet. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi. (Sugiyono, 2005). Untuk penentuan

jumlah sampel pada penelitian ini, peneliti menggunakan aplikasi G*Power dan

didapatkan hasil berjumlah 50 orang dengan dengan error probability 0.05 dan

power sebesar 0.95, berdomisili di Jawa Barat serta aktif menggunakan internet.
Serta tambahan 30 orang untuk mengurangi bias dan ketidaktepatan pada

penelitian. Sehingga total responden pada penelitian ini berjumlah 82 orang.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan Nonprobability Sampling dan

menggunakan teknik snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik

penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh

memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel (Sugiyono, 2001). Untuk

mengumpulkan data penelitian, diperlukan instrumen penelitian yang

menggunakan kuesioner online dari Google Form. Dalam penelitian ini, kuesioner

tertutup karena pertanyaan sudah dipersiapkan sebelumnya dan menggunakan

Skala Likert dimana setiap poin terdiri dari:

Tabel.1

· SS ( Sangat Setuju ) Point berjumlah 4

· S ( Setuju) Point berjumlah 3

· TS ( Tidak Setuju ) Point berjumlah 2

· ST ( Sangat Tidak Setuju ) Point berjumlah 1

Bentuk analisis data dalam penelitian kuantitatif terbagi menjadi dua, yaitu

pendeskripsian data melalui pengukuran statistik deskriptif dan melakukan uji

statistik inferensial.
Menurut (Ronald E. Walpole,1995) statistik deskripsi yakni metode yang

berhubungan dengan penyajian dan pengumpulan data. Penyajian data dalam

penelitian ini menggunakan tabel supaya akan lebih mudah dipahami dan

diinterpretasikan. Tabel statistika ini akan memberikan informasi terkait rata-rata

(mean), standart deviasi dan jumlah sampel pada objek penelitian.

Menurut (Nisfiannoor,2009) statistik inferensial yakni metode yang

berkaitan dengan analisis berupa pendugaan dan pengujian data pada sampel

untuk digunakan dalam pengeneralisasian sebuah populasi. Pada penelitian ini,

peneliti akan menggunakan statistik parametris, dimana peneliti akan menguji

ukuran populasi melalui data sampel. Analisis data yang digunakan pada

penelitian adalah analisis faktor dengan menggunakan Program Statistik Ilmu

Sosial (SPSS) versi 22. Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini berupa

hipotesis asosiatif, dimana peneliti ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh

yang signifikan dari variabel X (Hoax di Whatsapp) terhadap variabel Y

(Partisipasi Politik dalam Pemilu)

Hasil Penemuan dan Diskusi

Karakteristik Responden

Tabel 2. Karakteristik Responden

Profile Freq
Jumlah 82

Responden

Jenis Kelamin Laki-laki 29

Perempuan 53

Usia 30-60 82

Pendidikan SD 1

SMP 1

SMA 21

Diploma 3

Sarjana 43

Magister 12

Pekerjaan PNS 14

Ibu Rumah Tangga 17

Karyawan Swasta 5

Wirausaha 10
Dosen, Guru 24

Other 12

Screening Saya mengetahui SS 55

pengertian dari hoax


S 23

TS 2

STS 2

Saya melihat sumber


SS 29
keaslian informasi yang

saya terima di WhatsApp S 23

(sumber dari Kominfo,


TS 16
Kepolisian atau surat

kabar) STS 4

Suara saya saat pemilu SS 38

akan membuat perubahan


S 30

TS 9

STJ 5
Source: Research Result

Pada tabel satu dijelaskan karakteristik dari responden penelitian ini. Jumlah

seluruh responden dari penelitian ini sebanyak 82 responden. Dari 82 responden

tersebut terdapat sebanyak 35,4% responden laki-laki dan 64,6% responden

perempuan. Responden merupakan warga yang berdomisili di Jawa Barat dengan

rentang usia mulai dari 30-60 tahun dan aktif menggunakan internet.

Pendidikan terakhir dari responden didominasi oleh jenjang pendidikan

sarjana dengan persentase sebanyak 52%, kemudian sebanyak 25,6% didominasi

oleh jenjang SMA, jenjang pendidikan magister sebanyak 14,6%, diploma

sebanyak 3,6%, lalu jenjang SMP sebanyak 2,4%, dan jenjang SD sebanyak

1,4%. Berdasarkan dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa responden dari

penelitian ini mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang tinggi yang didominasi

oleh sarjana.

Sedangkan untuk pekerjaan dari responden sendiri yang paling dominan

yakni Dosen dan Guru sebanyak 29,2%, lalu responden yang bekerja sebagai Ibu

rumah tangga 20,7%, sebanyak 12,1% responden berprofesi sebagai wirausaha,

bekerja sebagai PNS sebanyak 17%, kemudian 6% yang bekerja sebagai

karyawan swasta, Sedangkan sebanyak 15% pekerjaan lainnya. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa responden dari penelitian ini memiliki profesi yang beragam.
Pada penelitian ini terdapat screening question yang digunakan untuk

mengetahui apakah responden memiliki pengetahuan terkait objek penelitian.

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada table 1, terdapat sebanyak 95,1%

responden yang sudah mengetahui pengertian hoax dan sebanyak 4,9% tidak

mengetahui pengertian dari hoax. Kemudian responden yang melakukan

pengecekan terhadap keaslian sumber informasi yang diterima di WhatsApp

sebanyak 75,65%, sementara sebanyak 24,3% tidak melakukan pengecekan

terhadap informasi yang diterima. Sedangkan responden yang setuju bahwa suara

mereka dalam pemilu akan membawa perubahan terdapat sebanyak 83% dan

sebanyak 17% tidak setuju bahwa suara mereka dapat membawa perubahan.

Pertanyaan pada kuisioner diambil dari beberapa referensi jurnal yang

akan dituliskan pada bagian berikut:

Items (Pertanyaan) Skala Pengu

Saya menggunakan WhatsApp hampir setiap hari Skala Lik


Saya menggunakan WhatsApp selama 1 sampai 4 jam dalam sehari Skala Lik
Saya menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi Skala Lik
Saya menggunakan WhatsApp untuk berbagi informasi Skala Lik
Saya membaca sebuah informasi yang saya terima di WhatsApp sampai
Skala Lik
selesai/akhir
Saya dapat mengetahui salah satu unsur dari 5W (siapa, dimana, kenapa, kapan
Skala Lik
dan apa) + H (bagaimana) dari informasi yang saya dapatkan di WhatsApp
Saya dapat mengetahui informasi yang saya terima adalah informasi yang positif,
Skala Lik
netral, maupun negatif (berita bohong/hoaks)
Saya mengetahui pengertian dari hoaks Skala Lik
Saya memeriksa keaslian foto (jika terdapat foto) dari informasi yang saya terima
Skala Lik
di WhatsApp
Saya melihat sumber keaslian informasi yang saya terima di WhatsApp (sumber
Skala Lik
dari Kominfo, Kepolisian atau Surat Kabar)
Saya sering mendiskusikan berita mengenai pemilu bersama keluarga, teman dan
Skala Lik
kerabat saya
Saya sering menaruh perhatian kepada berita tentang pemilihan umum Skala Lik
Saya lebih mengetahui informasi mengenai politik dan pemerintahan dibandingkan
Skala Lik
orang lain
Saya memahami sistem dan proses pemilihan umum Skala Lik
Saya tahu mengenai isu-isu penting kampanye politik dalam pemilihan umum Skala Lik
Saya tahu latar belakang kandidat politik di daerah saya Skala Lik

Suara saya saat pemilu akan membuat perubahan Skala Lik

Saya pernah membagikan komentar atau pikiran saya terhadap isu politik Yes-No Que

Saya mengajak orang lain untuk mengambil tindakan dalam isu politik Yes-No Que

Saya membagikan tautan atau artikel mengenai isu politik Yes-No Que

Saya mengajak orang lain untuk mengambil bagian dalam voting Yes-No Que
Pada pernyataan “Saya menggunakan WhatsApp hampir setiap hari” hingga

“Saya melihat sumber keaslian informasi yang saya terima di WhatsApp (sumber

dari Kominfo, Kepolisian atau Surat Kabar)” [ CITATION IYK20 \l 1033 ] diambil

dari artikel Pengaruh Intensitas Pengunaan WhatsApp dan Tingkat Literasi

Media Terhadap Perilaku Penyebaran Hoax. Pernyataan “Saya sering

mendiskusikan berita mengenai pemilu bersama keluarga, teman dan kerabat

saya” hingga “Suara saya saat pemilu akan membuat perubahan” [ CITATION

LWi18 \l 1033 ]

Pernyataan “Saya pernah membagikan komentar atau pikiran saya

terhadap isu politik” hingga “Saya mengajak orang lain untuk mengambil bagian

dalam voting” [ CITATION SLe18 \l 1033 ] diambil dari artikel Social

Distraction? Social Media Use and Political Knowledge in Two U.S.

Presidential Elections dari jurnal Computers in Human Behavior. Pernyataan

pada nomor 1 hingga 10 mencakup variabel hoax di WhatsApp dan pernyataan

nomor 11 hingga 21 mencakup variabel partisipasi politik dalam pemilu.

Terdapat total 21 pertanyaan pada kuisioner yang dibagikan lewat Gform. Yang

kemudian akan dianalisis hasilnya untuk mengetahui pengaruh hoax di WhatsApp

terhadap Partisipasi Politik Pemilih dalam Pemilu.

Seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiarjdo bahwa partisipasi politik

merupakan kegiatan individu atau sekelompok orang yang aktif ikut serta dalam

kehidupan politik, baik secara langsung atau tidak langsung dimana keikutsertaan

tersebut mempengaruhi kebijakan pemerintah (policy public). Salah satu kegiatan

partisipasi politik tersbut yakni memberikan suara dalam pemilihan umum.


Partisipasi masyarakat secara aktif dalam pemilu merupakan hal yang sangat

penting dan mendasar, mengingat bahwa hal tersebut memilki tujuan untuk

mendorong aktifnya kegiatan demokrasi di suatu Negara. Keterlibatan

masyarakat yang aktif juga menjadi sebuah indikator dari berhasilnya

keberlangsungan penyelenggaraan pemilu [ CITATION Gir18 \l 1033 ]

Uji Validitas

Tabel.3 Validitas Pengaruh Hoax Di Whatsapp Terhadap Partisipasi Politik Dalam

Pemilu Di Jawa Barat

r tabel menggunakan alpha


Item r hitung Keterangan
0,05 (N= 0,3610)
X1.1 ,489 0,361 Valid
X1.2 ,495 0,361 Valid
X1.3 ,716 0,361 Valid
X1.4 ,097 0,361 Valid
X1.5 ,338 0,361 Valid
X1.6 ,484 0,361 Valid
X1.7 ,565 0,361 Valid
X1.8 ,476 0,361 Valid
X1.9 ,436 0,361 Valid
X1.10 ,556 0,361 Valid
Y1.1 ,518 0,361 Valid
Y1.2 ,652 0,361 Valid
Y1.3 ,617 0,361 Valid
Y1.4 ,407 0,361 Valid
Y1.5 ,605 0,361 Valid
Y1.6 ,604 0,361 Valid

Source: Data Processing by SPSS 22


Data yang benar akan menyimpukan keadaan yang sebenarnya. Suatu data

dapat dikatakan baik apabila data instrument diuji dengan uji validitas. Validitas

instrumen mempermasalahkan sejauh mana pengukuran tepat dalam mengukur

apa yang hendak diukur. [ CITATION Feb18 \l 1033 ]. Berdasarkan kriteria dengan

menggunakan df atau degree of freedom, dengan rumus n-2 didapat (n=28 dengan

sig 5%) sehingga, r tabel didapatkan 0,361. Maka dari itu, semua pertanyaan

kuesioner telah valid karena r hitung > r tabel. Instrumen dapat mengukur

Pengaruh Hoax Di Whatsapp Terhadap Partisipasi Politik Dalam Pemilu Di Jawa

Barat.

Uji Reliabilitas

Tabel.4 Reliabilitas Pengaruh Hoax Di Whatsapp Terhadap Partisipasi Politik

Dalam Pemilu Di Jawa Barat

Cronbach's Alpha N of Items


X 0,777 10
Cronbach's Alpha N of Items
Y 0,805 7

Source: Data Processing by SPSS 22

Reliabilitas mempermasalahkan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat

dipercaya. Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapa

kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama, diperoleh

hasil pengukuran yang relatif sama [ CITATION Feb18 \l 1033 ]. Suatu data

instrument dapat dikatakan reliabel jika nilai Cronbach’s Alpha menghasilkan

angka yang mendekati angka 1. Untuk nilai Hoax di Whatsapp (X) didapatkan
nilai 0,777 dan nilai Partisipasi Politik Pemilih Dalam Pemilu (Y) 0,805. Sehingga

hasilnya 0,777 dan 0,805 mendekati 1, Maka, dapat dikatakan bahwa data

instrument X dan Y reliabel.

Uji Normalitas

Tabel.5. Normalitas Pengaruh Hoax Di Whatsapp Terhadap Partisipasi Politik

Dalam Pemilu Di Jawa Barat

Tabel 2. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized Residual
N 50
Normal Parametersa,b Mean ,0000000
Std. 4,26966462

Deviation
Most Extreme Absolute 0,098
Positive 0,078
Differences Negative -0,098
Test Statistic 0,098
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.

Source: Data Processing by SPSS 22

Tujuan dari dilakukannya uji normalitas adalah agar bisa mengetahui

apakah distribusi dari data hasil pengamatan sesuai dengan kajian teoritis terbukti

at normal atau tidak. Untuk mengetahui distribusi data tersebut dilakukan pada

SPSS dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov Test [ CITATION Ade17 \l 1033

].

Pada tabel 5 uji normalitas, didapatkan nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,200.

Dalam uji normalitas, nilai signifikan disebut juga sebagai nilai residual
berdistribusi normal. Suatu data dapat dikatakan normal apabila nilai

signifikansinya lebih dari 0,05. Jadi, karena nilai signifikansi dari data penelitian

ini lebih besar daripada 0,05, maka itu artinya data Y1 dari penelitian ini

merupakan data berdistribusi normal sehingga dapat melanjutkan untuk uji

regresi. Uji normalitas biasanya digunakan sebagai salah satu analisis agar peneliti

bisa melakukan uji regresi. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memastikan

bahwa data penelitian yang dilakukan normal agar selanjutnya dapat melakukan

uji regresi.

Uji Regresi

Tabel 6. Regresi Pengaruh Hoax Di Whatsapp Terhadap Partisipasi Politik Dalam

Pemilu Di Jawa Barat

Coefficientsa
Standardized

Unstandardized Coefficients Coefficients


Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 9,325 4,799 1,943 ,058
Hoax ,325 ,142 ,314 2,293 ,026
a. Dependent Variable: Partisipasi

Source: Data Processing by SPSS 22

Dari tabel 5 diperoleh nilai signifikan 0,026 yang berarti nilai signifikan tersebut

kurang dari 0,05 yang berarti tolak H0. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa

hoax di WhatsApp memiliki pengaruh terhadap partisipasi politik


Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa

hoax di WhatsApp memiliki pengaruh terhadap partisipasi politik dalam pemilu di

Jawa Barat. Analisis data yang dihasilkan dari penelitian ini juga valid dan

reliabel. Setiap hasil dari pertanyaan kuesioner yang disebarkan kepada responden

valid karena r hitung > r tabel. Sedangkan untuk instrumen data penelitian nilai

Hoax di Whatsapp (X) didapatkan nilai sebesar 0,777 dan nilai Partisipasi Politik

Pemilih Dalam Pemilu (Y) sebesar 0,805, keduanya mendekati 1 sehingga dapat

dikatakan reliabel. Dengan adanya penyebaran hoax yang digunakan oleh

kandidat politik untuk menarik hati pemilih, penyebaran hoax di WhatsApp juga

dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik yang kemudian dapat menciptakan

keributan di masyarakat sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi minat dalam

partisipasi politik masyarakat di Jawa Barat. Kurangnya pengecekan sumber

informasi yang diterima di WhatsApp dan juga ketidakpercayaan masyarakat

bahwa suaranya dalam pemilu dapat membawa perubahan juga menjadi salah satu

alasan yang membuat mereka rentan terpengaruh hoax.

Melihat hasil dari penelitian ini, pemerintah perlu melakukan langkah-

langkah yang tepat untuk dapat mengantisipasi dan menangani terjadinya

penyebaran hoax dalam pemilu. Masyarakat pun perlu meningkatkan tingkat

literasi dan melakukan pengecekan serta verifikasi sumber informasi untuk

memastikan bahwa informasi yang mereka terima merupakan informasi yang

benar adanya dan bukan hoax. Sehingga mereka tidak akan mudah terpengaruh

dengan adanya hoax yang tersebar dan nantinya pemilu yang diadakan dapat
menjadi pesta demokrasi yang sehat dan juga damai. Untuk penelitian selanjutnya,

peneliti mungkin dapat menambah jumlah responden tidak hanya terbatas pada

rentang usia 30-60 tahun, mengingat masyarakat dibawah usia tersebut pun

banyak yang menggunakan internet dan besar kemungkinan juga rentan terpapar

hoax tanpa melakukan pengecekan dan verifikasi sumber informasi yang diterima.

Cakupan daerah untuk penelitian selanjutnya juga bisa lebih luas, tidak terbatas

hanya di daerah Jawa Barat saja, namun juga di beberapa daerah Indonesia

lainnya.

Ucapan Terima Kasih

Dengan selesainya penelitian ini, kami mengucapkan terimakasih kepada

Pak S. Kunto Adi Wibowo M.Comn., Ph.D.; Ibu Benazir Bona Pratamawaty

S.I.Kom., M.I.Kom.; dan Pak Ikhsan Fuady, S.P., M.Si., selaku dosen Mata

Kuliah Metode Survey Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran,

yang telah membimbing penelitian kami ini. Kami ucapkan terima kasih pula pada

responden yang sudah membantu dan berpartisipasi sehingga penelitian kami ini

boleh selesai.
Daftar Pustaka

A. Ghana Pratama, and T. Pradekso, "Pengaruh Terpaan Berita Hoaks dan


Persepsi Masyarakat Tentang Kualitas Pemberitaan Televisi Berita
Terhadap Intensitas Menonton Televisi Berita," Interaksi Online, vol. 6, no.
4, pp. 1-13, Aug. 2018.

Aliya, F. N. (2019). FACTOR ANALYSIS OF PERSONAL BRANDING


FORMING OF PSSI FORMER GENERAL PERSON EDY
RAHMAYADI. Profetik Jurnal Komunikasi, 45-46.

Aminah, A., & Sari, N. (2019). Dampak Hoaks di Media Sosial Facebook
Terhadap Pemilih Pemula. Jurnal Komunikasi Global, 8(1), 51–61.
https://doi.org/10.24815/jkg.v8i1.13565

Anam, M. K., & Nurhayati. (2019). CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS OF


GUS IPUL’S POLITICAL ADVERTISING IN 2018 EAST JAVA
REGIONAL ELECTION. Profetik Jurnal Komunikasi, 262.

Aprillia, M., & Rafni, A. (2019). Analisis Isu Pemilihan Presiden 2019 Di Media
Sosial Whatsapp Mahasiswa Universitas Negeri Padang. Journal of Civic
Education, 1(4), 451-463. https://doi.org/10.24036/jce.v1i4.332

ASOSIASI PENYELENGGARA JASA INTERNET INDONESIA & Polling


Indonesia. (2018). PENETRASI & PROFIL PERILAKU PENGGUNA
INTERNET INDONESIA. ASOSIASI PENYELENGGARA JASA
INTERNET INDONESIA.

Berinsky, A. J., & Lenz, G. S. (2010). Education and Political Participation:


Education and Political Participation:. Political Behavior, 357–373.
Brady, H. E., Verba, S., & Schlozman, K. L. (1995). Beyond Ses: A Resource

Model of Political Participation. The American Political Science Review,

271-294.

Carpini, M. X., & Keeter, S. (1993). Measuring Political Knowledge: Putting First

Things First. American Journal of Political Science, Vol. 37, No. 4.

Conge, P. J. (1988). The Concept of Political Participation: Toward a Definition.


241-249.

Damanik, E. L. (2019). Middle Class, WhatsApp, and Political Orientation: The


Election of North Sumatera Governor, 2018. 208(Icssis 2018), 49–57.
https://doi.org/10.2991/icssis-18.2019.11

Edson C. Tandoc Jr., Zheng Wei Lim & Richard Ling (2018) Mendefinisikan
"Fake News", Digital Journalism, 6: 2, 137-153, DOI: 10.1080 /
21670811.2017.1360143 https://doi.org/10.1080/21670811.2017.1360143

Enchikova, E., Neves, T., Mejias, S., Kalmus, V., Cicognani, E., & Ferreira, P. D.

(2019). Civic and Political Participation of European Youth: Fair

Measurement in Different Cultural and Social Contexts. frontiers in

education, 4.

Engagement, C. C. (2003). The Civic Mission of Schools. ” New York and


Washington, D.C.

Faul, F., Erdfelder, E., Buchner, A., & Lang, A.-G. (2009). Statistical power
analyses using G*Power 3.1: Tests for correlation and regression
analyses. Behavior Research Methods, 41, 1149-1160.
Fingkel, S. E. (2002). Civic Education and the Mobilization of Political

Partisipation in Developing Democraties. The Journl of Politics , 994-

1020.

Galston, W. A. (2001). Political Knowledge, Political Engagement, and Civic

Education. Annual Review of Political Science, 4:217–34.

Galston, W. A. (2004). Civic Education and Political Participation. Political


Science and Politics, 263–266.
Hillygus, D. S. (2005). THE MISSING LINK: Exploring the Relationship
Between Higher Education and Political Engagement. Political Behavior,
Vol. 27, No. 1, 25-47.

Huang, H. (2015). A War of (Mis)Information: The Political Effects of Rumors


and Rumor Rebuttals in an Authoritarian Country. Political Effects of
Rumors and Rumor Rebutals, 291-299.

Hui, J. Y. (2019). WhatsApp targets fake news in lead-up to Indonesian elections.


February, 1–3.

Hui, J.Y. (2020). Social Media and the 2019 Indonesian Elections: Hoaks Takes
the Centre Stage. Southeast Asian Affairs 2020(1), 155-171.
https://www.muse.jhu.edu/article/754745.

Karelino, I. Y. (2020). Pengaruh Intensitas Pengunaan WhatsApp dan Tingkat


Literasi Media Terhadap Perilaku Penyebaran Hoax. xviii-xxix.
Lee, S., & Xenos, M. (2018). Social Distraction? Social Media Use and Political
Knowledge in Two U.S. Presidential Elections. . Computers in Human
Behavior, 9-24.
Margono, S. (2000). Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Mayer, A. K. (2011). Does Education Increase Political Participation? The
Journal of Politics, 633-645.
Mehrad Jafar, Zohre Eftekhar, Marzieh Goltaji .(2020). Vaccinating Users against
the Hypodermic Needle Theory of Social Media: Libraries and Improving
Media Literacy. vol 18, No 1. 
https://ijism.ricest.ac.ir/index.php/ijism/article/view/1625.
Miller, M. K., & Orr, S. K. (2008). Experimenting with a “Third Way” in Political
Knowledge Estimation. Public Opinion Quarterly, 72(4), 768–780.

P. Natalie., & W.T. Yue. (2019). What about WhatsApp? A systematic review of
WhatsApp and its role in civic and political engagement.
https://journals.uic.edu/ojs/index.php/fm/article/view/10417/8322

Palmer, C. D. (2008). Reconsidering the Effects of Education on Political

Participation. The Journal of Politics, 612-631.

Persson, M. (2013). Ulasan Artikel: Pendidikan dan Partisipasi Politik. British


Journal of Political Science, 689–703.

Petersen, M., Osmundsen, M., & Arceneaux, K. (2020, May). The “Need for
Chaos” and Motivations to Share Hostile Political Rumors.
https://doi.org/10.31234/osf.io/6m4ts

Political, E., & Discourse, L. A. W. (2019). A PRÁVNÍ DISKURZ. 6(4).

Quintelier, E. (2010). The effect of schools on political. Research Papers in

Education, 137–154.

Pratama, A. (2017). Model Simulasi Antrian Dengan Metode Kolmogorov-


Smirnov Normal Pada Unit Pelayanan. Jurnal Edik Informatika, 27-28.
R. Gustavo., M. Philipe., S.Hugo., M. Hohnnatan., V.Marisa. (2019).

(Mis)Information Dissemination in WhatsApp: Gathering, Analyzing and

Countermeasures. https://doi.org/10.1145/3308558.3313688
Reichert, F. (2016). How Internal Political Efficacy Translates Political
Knowledge Into Political Participation. Europe's Journal of Psychology,
12(2): 221–241.
Sandrino, G. (2018, February 23). Kompas.com. Retrieved from
nasional.kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/17152991/partisipasi-
politik-masyarakat-dalam-pemantauan-pemilu
Sholikin, A. (2019). Cyberspace : RUANG PUBLIK BARU BAGI AKTIVITAS
POLITIK MUHAMMADIYAH. Profetik Jurnal Komunikasi, 157.

Solis, A. (2013). Does Higher Education Cause Political Participation?: Evidence


From a Regression Discontinuity Design. Working Paper 2013:13.

Sosiawan, E. A., & Wibowo, R. (2019). Kontestasi Berita Hoaks Pemilu Presiden
Tahun 2019 di Media Daring dan Media Sosial. 133–142.

Sugiyono. (2001). Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. (2004). Metode penelitian Kwalitatif, dan R&D. Jakarta : Alfabet.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. (2017). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Utami, D. (2019). Dampak Berita Hoaks Di Media Sosial Dalam Mempengaruhi


Opini Mahasiswa Pada Saat Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden
Republik Indonesia Tahun 2019. Jurnal S1 Ilmu Politik, 4.
https://fisipuntan.org/jurnal/index.php/aspirasi/article/view/1663/1450

Utami, P. (2019). Hoaks in Modern Politics. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
22(2), 85. https://doi.org/10.22146/jsp.34614

Van Deth, J. W. (2014). A conceptual map of political participation. Acta Politica,

Vol. 49, 3, 349–367.


Willnat, L., & Tamam, E. (2018). Online Media and Political Participation: The
Case of Malaysia. . Mass Communication in Society, 568-570.
Yusup, F. (2018). UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS. Jurnal Ilmiah
Kependidikan , 17.

Anda mungkin juga menyukai