Anda di halaman 1dari 7

MARATIBUL MAHABBAH

(TINGKATAN CINTA)

1. TATAYYUM

Tingkatan cinta tertinggi adalah tatayyum (keterikatan total – total


enthrallment). Bentuk keterikatan yang terjadi di sini adalah penghambaan
(enslavement). Jadi, tatayyum itu adalah cinta yang menimbulkan rasa ingin
menghamba. Karena ujungnya penghambaan, maka objek tatayyum hanya boleh
Allah. Muslim tidak boleh menghamba kepada selain Allah

kan?

Perhatikan kata dasar enslavement, yakni slave, yang berarti budak. Bahasa
halusnya hamba atau abdi, sedangkan bahasa kasarnya budak. Di dalam Al Quran
sering disebutkan memerdekakan hamba sahaya – hamba sahaya di sana
maksudnya budak. Hamba itu budak (slave). Maka itu, perwujudan tatayyum adalah
menerima dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Tuan/Pemilik (master/Rabb),
sedangkan kita adalah abdi-Nya, hamba-Nya, budak-Nya.

Perhatikan Q.S. Adz-Dzariyat:56. “Tidaklah kuciptakan manusia dan jin


melainkan untuk mengabdi kepadaku”. Jika kita perhatikan Q.S. Al Fatihah:1, atribut
Allah yang pertama tersebut adalah Rabb, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam”. Mengabdi. Abdi. Kita diciptakan tak lain untuk menjadi budak Allah. Di sinilah
bagian sulitnya.

Bagian inilah yang menjadi problematika mendasar umat Islam saat ini.
Kenapa? Adalah mudah bagi seorang Muslim, atau bahkan non Muslim sekalipun,
untuk menerima bahwa Allah itu Ar-Rahmaan, atau Ar-Rahiim, atau Al-Malik, atau
Al-Ghaffaar, atau sederetan Asma-ul-Husna lainnya. Yang demikian itu merupakan
sesuatu yang mudah untuk diterima. Namun, banyak sekali Muslim, Muslim
sekalipun ya, yang sulit menerima bahwa ia adalah budak Tuhan-Nya. Apa buktinya?
Sekarang coba kita pikirkan perbedaan antara orang merdeka dengan budak. Orang
merdeka bisa melakukan apa saja yang dia inginkan. Lain halnya dengan budak.
Mereka tidak bisa seperti itu; mereka mengerjakan apa yang tuannya perintahkan,
mereka tidak akan mengerjakan apa yang dilarang oleh tuannya. Demikianlah
Muslim seharusnya. Muslim itu terikat dengan keyakinannya, terikat dengan Allah,
secara total, dalam aqidah juga syariat. Muslim yang tatayyumnya pada Allah,
Muslim yang sadar bahwa ia adalah budak Tuhan-Nya, hanya akan melaksanakan
sesuatu yang direstui Allah dan menjauhi apa yang dibenci Allah. Sama kan
gejalanya seperti orang jatuh cinta? Orang jatuh cinta akan melakukan apapun yang
membuat kekasihnya senang.

Nah, kenapa hal ini disebut bagian sulit – karena hanya segelintir orang saja
yang bisa seperti ini. Ketika dosen memberikan soal, terus yang bisa ngerjain hanya
sedikit, berarti kan soalnya sulit. Inilah soal tersulit untuk para Muslim: menerima
dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Tuan/Pemilik (master), sedangkan kita adalah
budak-Nya.

Namun, jika kita berhasil melewati soal ini, ganjarannya sepadan dengan
kesulitannya: ketenangan hidup di dunia dan surga di akhirat.

2. 'ISYQ

Yang kedua adalah 'isyq: cinta yang menimbulkan rasa hormat, patuh, ingin
membela, ingin mengikuti, dan ingin mencontoh, namun tidak sampai menghamba.
Cinta ini hanya milik Rasulullah. Allah telah menjadikan Rasul-Nya suri teladan yang
paling baik, sebagaimana dikatakan dalam Q.S. Al Ahzaab: 21 “Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...”. Tidak perlu
dijelaskan lagi ya, seperti apa Rasulullah itu hingga bisa jadi suri teladan; kita semua
tahu. Tugas kita sekarang, sebagai perwujudan 'isyq, adalah mengikuti sunnah-
sunnah Rasul. Kalau dilihat dari perwujudannya, dapat disimpulkan bahwa tatayyum
dan 'isyq merupakan manifestasi terbaik dari syahadatain.

Sekarang kita beranalogi. Ketika kita mencintai seseorang, secara otomatis,


kita juga akan mencintai orang-orang yang sikapnya baik kepada orang yang kita
cinta itu. Sebagai contoh: orang tua. Kita semua cinta kan sama orang tua kita?
Karena cinta kita pada orang tua, maka kita juga mencintai saudara dan teman-
teman orang tua kita. Kita menghormati mereka, kita berbicara sopan pada mereka,
kita jamu mereka dengan baik saat bertamu. Itu sunnatullah manusia. Maka itu, jika
kita benar-benar mencintai Allah, kita pasti juga mencintai Rasul-Nya. Jika tatayyum
kita pada Allah, maka 'isyq pada Rasul adalah suatu keniscayaan. Allah paham
sunnatullah manusia ini, makanya Dia berfirman dalam Q.S. Ali Imran:31
“Katakanlah (Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,”.
Oleh karenanya, 'isyq bisa digunakan sebagai salah satu pembeda nyata antara
orang yang benar-benar beriman dengan orang yang hanya pura-pura (munafik).
Lihat bagaimana tindakan Abdullah bin Ubay bin Salul, gembongnya kaum munafik
di Madinah, saat Perang Uhud – dia pulang meninggalkan Rasulullah. Kalau dia
benar-benar beriman, maka dia tidak akan pergi begitu saja, sebagaimana sahabat-
sahabat yang lain.

Allah mengungkapkan kebohongan orang-orang munafik di dalam Al Qur-an


melalui satu kata: Yatsrib. Lokasi tepatnya adalah Q.S. Al Ahzaab:13 “Dan (ingatlah)
ketika segolongan di antara mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak
ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu"...”.Al Ahzaab termasuk Surah
Madaniyyah, turun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Kita tahu setelah Rasulullah
datang ke Madinah, nama “Yatsrib” diganti menjadi “Madinah”. Lalu mengapa
tersebut “Yatsrib”? Bukankah seharusnya “Madinah” - karena surah ini turun setelah
nama kota ini berubah menjadi Madinah - ? Sekarang kita lihat topik sentral ayat ini.
Ayat ini berbicara tentang sikap kaum munafik saat Madinah dikepung oleh musuh
pada Perang Khandaq. Mereka menyangka kemenangan ada di tangan mereka,
hingga tampaklah sifat aslinya,”Hai penduduk Yatsrib...”. Kata “Yatsrib” yang mereka
lontarkan menandakan kalau hati mereka masih ada di zaman dulu, di zaman ketika
Rasul belum datang – seperti yang kita tahu, Abdullah bin Ubay bin Salul hendak
dijadikan raja Yatsrib, namun batal karena kedatangan Rasulullah, yang semenjak
itu, secara default, pemimpin Madinah adalah Rasul (yang menjadi penyebab
kebencian mereka pada Rasul). Jika mereka memang benar-benar berada di pihak
Rasul, mencintai Rasul, seharusnya mereka mengatakan,”Hai penduduk Madinah...”
- karena nama Madinah itu sendiri mencerminkan, melambangkan peristiwa
kedatangan Rasul ke kota itu.
3. SYAUQ

Syauq dan shababah, keduanya merupakan cinta yang terjadi pada sesama
Muslim, namun dampak yang ditimbulkan berbeda: syauq memunculkan rasa
mawaddah wa rahmah, sedangkan shababah melahirkan ukhuwah islamiyah.

Mawaddah artinya cinta, rahmah artinya kasih sayang. Lebih spesifik lagi,
mawaddah berarti cinta yang berasal dari pernikahan; rahmah adalah kasih sayang
yang diberikan kepada keturunan.

Sebuah pelajaran tentang cinta lawan jenis bisa dipetik di sini. Perhatikan
Q.S. Al Hujuraat:7 “Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan
keimanan itu indah di dalam hatimu...”. Saat seorang pria sedang dalam fase
jahiliyahnya, mungkin dia pernah suka, atau mungkin berpacaran dengan wanita
yang pakaiannya serba minim, atau tidak menutup aurat. Namun, saat pria ini
kembali pada Allah, cinta pada keimanan, menjadi ikhwan yang tatayyumnya pada
Allah, rasa sukanya berubah, kini pada akhwat. Wanita-wanita yang berjilbab lebar
sekarang lebih indah di matanya. Itulah, dijadikan keimanan itu indah dalam hatimu.
Ketika kita condong pada Allah, Allah putarbalikkan kesukaan kita pada hal-hal yang
dekat dengan iman. Dan karena sekarang dia patuh pada Tuhannya, maka ia
langsung nikahi akhwat tersebut. Q.S. Ar Ruum:21 “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang...”. Artinya, tanpa pernah bertemu pun, tanpa
pernah bertatap muka pun, tanpa pernah mengetahui nama sebelumnya, Allah akan
jadikan cinta di sepasang suami istri.

4. SHABABAH

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, shababah adalah cinta yang


melahirkan ukhuwah islamiyah, persaudaraan islami, persaudaraan yang berbasis
aqidah. Q.S. Al Hujuraat:10 “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara...”.
Ingat apa yang dibahas pada 'isyq. Jika kita cinta Allah, maka niscaya kita cinta
Rasulullah. Begitupun juga, jika kita cinta Allah, maka niscaya kita cinta pada Muslim
yang mencintai Allah. Makanya, ada hadist begini:
“Kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kamu
sekalian tidak akan beriman sebelum saling mencintai.”

Contoh terbaik yang bisa kita ambil terkait ukhuwah islamiyah adalah
generasi terbaik umat ini, yakni Muhajirin dan Anshar. Bisa kita baca buktinya di Q.S.
Al Hasyr:9 “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai
orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”. Di Sirah, di bagian Perang
Badar, ketika adik Mush'ab digiring oleh seorang Anshar (tertawan), jadi ketika
digiring itu dia berpapasan dengan Mush'ab, lalu bilang,”Tega sekali kau berbuat
seperti ini pada saudaramu”; Mush'ab jawab,”Kamu bukan saudaraku, dia
(menunjuk orang Anshar) saudaraku.” Sebuah bukti bahwa ukhuwah islamiyah lebih
tinggi dari persaudaraan yang berlandaskan pada ikatan darah.

5. 'ALAQAH

Adalah cinta pada hal-hal yang tak bernyawa, semisal harta benda,
kekuasaan, karir, popularitas, peringkat, dll. 'Alaqah berarti pelengkap/tambahan,
hanya pelengkap, hanya tambahan. Wujud 'alaqah terbatas pada pemanfaatan atau
pendayagunaan saja. Bentuk tindakan pemanfaatan di sini ada 2: memelihara dan
memberi.

Terkait maintain, ada 3 ayat:

Q.S. Al Baqarah: 60 “...Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah,


dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

Q.S. Al A'raaf:74 “...maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu


merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”

Q.S. Al Qashash:77 “...dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari


(kenikmatan) duniawi... dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.”
Ada sebuah pola di sini. Meskipun kalimatnya berbeda, intinya adalah
“janganlah kamu melupakan nikmat-nikmat Allah”. Agak berbeda di Q.S. 2:60;
namun saat Allah berkata “makan dan minumlah rezeki yang diberikan Allah...”,
sesungguhnya yang berucap itu sedang mengingatkan kita pada rezeki Allah kan?
Lihat aksi selanjutnya: “janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”. Artinya,
janganlah kita merusak untuk mengeruk harta lebih banyak.

Pertanyaan besarnya sekarang adalah bagaimana caranya menumbuhkan


tatayyum? Lihat di sana: PENGETAHUAN.

Artinya: belajar. Sumber pelajaran yang direkomendasikan di sini adalah Al


Quran, Sirah dan doa. Al Quran adalah pedoman hidup, sedangkan Sirah adalah
tuntunan kita dalam mengikuti Rasul – ibaratnya mata kuliah, Al Quran dan Sirah itu
textbook-nya. Berdasarkan pengalaman, sumber paling ampuh yang memicu
tatayyum adalah Al Quran, dengan cara memahami keindahan Al Quran. Ingat,
keindahan. Pesan Al Quran bisa kita dapatkan melalui terjemahannya, namun untuk
mendapatkan sisi indahnya, kita perlu menyelami kosakata Arabnya. Sebutannya
linguistic analysis: kita menafsirkan suatu ayat dengan cara menganalisis kata-kata
pembentuk ayat tersebut. Contohnya seperti yang sudah saya sebutkan tadi, antara
Yatsrib dan Madinah, terus akhaahum-nya Syu'aib, pola ayat-ayat di bab maintain
dan give, dll. Bahkan dikatakan kalau bahasa Arab itu merupakan salah satu
keajaiban Al Quran. Mungkin, jika Al Quran diturunkan dalam bahasa lain, tidak akan
seindah ini. Bukan maksudnya membatasi kemampuan Allah dalam menciptakan
sesuatu yang indah, namun betapa sempurnanya Allah menyusun skenario sehingga
Rasul-Nya yang terakhir berasal dari bangsa Arab, dan karena itulah Al Quran turun
dalam bahasa Arab.

Pengetahuan yang semakin banyak akan melahirkan aksi yang lebih terarah.
Ingat zaman sebelum komputer belum ada?

Manusia menggunakan abacus, atau sempoa, atau alat hitung manual


lainnya. Ketika manusia mengetahui mesin hitung yang baru, yaitu komputer, yang
notabene lebih cepat dan akurat, maka manusia berlomba-lomba mengembangkan
komputer. Perkembangan teknologi mengarah ke komputer, bukan lagi sempoa,
apalagi abacus. Dari yang awalnya mainframe sebesar lapangan bola, sekarang
sudah seukuran kantong baju. Nah, serupa dengan ini, ketika kita mengenal Allah
lebih banyak, maka aksi kita akan terarah pada ibadah kepada-Nya. Dampaknya,
kuantitas atau kualitas ibadah kita meningkat. Ketika beribadah, sebenarnya saat itu
kita sedang mendekatkan diri kita pada Allah (termasuk doa; dengan berdoa, kita
merasakan kalau Allah bersama kita, Allah di dekat kita). Normalnya, ketika kita
sering dekat dengan seseorang, kesana kemari barengan, ngapain aja barengan,
maka akan muncul rasa yang lebih dalam; yang awalnya teman, ter-upgrade jadi
sahabat. Iya toh? Begitupun dengan Allah. Semakin sering kita dekat dengan-Nya,
maka lama kelamaan akan tumbuh tatayyum itu di hati kita. Di titik inilah, kita
menjadi Muslim yang lebih baik dari sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai