Anda di halaman 1dari 34

ATKWS IN

TAGAMAKRISH
HAN NEC
AMBON

1
-

MODUL 3 GEREJA

PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN


PROFESI GURU (PPG) DALAM
JABATAN TAHUN 2019 PENDIDIKAN
AGAMA KRISTENI

Disusun oleh : Onisimus Amtu,


M.Pd Reviewer : Dr. S.B. Warella,
M.Pd.K
112
KEGIATAN BELAJAR 4
GEREJA DAN TANTANGAN MILLENIUM
Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan
Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan perspektif
Alkitabiah
yang menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan, dan mendorong partisipasi
dengan
berkategori advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten),
“mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.
Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan
1. Menelaah perkembangan dan kemajuan di era millennium
2. Menganalisis paradigma pendidikan di era disrupsi
3. Menganalisis tantangan dan harapan gereja di era millenium
4. Menelaah pendidikan Kristen sebagai strategi menghadapi era milenium
Pokok-Pokok Materi
1. Perkembangan dan kemajuan di era millennium
2. Paradigma pendidikan di era disrupsi
3. Tantangan dan harapan gereja di era millenium
4. Pendidikan Kristen sebagai strategi menghadapi era milenium
Uraian Materi
1. Perkembangan dan Kemajuan di Era Milenium
a) Era Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri menjadi satu momen sejarah yang memutar-balik kehidupan manusia
baik dalam sosial, ekonomi dan budaya. Revolusi industri pertama kali terjadi di abad
17-18
dimana dimulainya dengan penemuan mesin uap, yang kemudian hal ini
mempengaruhi dalam
bidang pertanian, pertambangan dan transportasi. Penggunaan mesin dalam
manufaktur telah
menggantikan tenaga hewan dan manusia yang selama ini menjadi sumber alat atau
tenaga
kerja dalam produksi, sehingga memberikan dampak signifikan dalam pendapatan
masyarakat yang kemudian sangat berdampak atas aspek ekonomi, sosial, dan
budaya.
Revolusi industri kedua, dimulai di awal abad 19 yang ditandai dengan produksi massal
dan
penemuan serta penggunaan listrik, yang juga kemudian disertai penemuan dan
pengembangan
pesawat, mobil, dan jaringan telepon. Setelah itu, sekitar tahun 1960an, revolusi industri
ketiga
dimulai yang sering disebut sebagai revolusi komputer atau digital, hingga penggunaan
113
internet. Dari perkembangan ketiga revolusi industri yang memiliki karakteristik masing-
masing, maka saat ini dunia telah masuk dalam revolusi industri keempat.
Istilah “Revolusi Industri 4.0” bermula dari ungkapan seorang ekonom Jerman Klaus
Schwab. Dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution. Dalam IR 4.0
kita
dapat menemukan dengan mudah perkembangan teknologi yang luar biasa yang
ditandai
dengan artificial intelligence, Internet of Things (IoT) dan hyperconnectivity. Dalam
masa ini,
penggunaan robot semakin meluas untuk melengkapi kebutuhan hidup manusia, baik
dalam
pekerjaan, bisnis bahkan sampai urusan seks, misalnya robot seks yang merupakan
produk
artifisial intelegence yang akan di produksi massal oleh China. Di Indonesia sendiri
sudah
sangat familiar dengan bisnis online, baik dalam jual beli, promosi, transportasi,
perbankan dan
beragam fasilitas lainnya, semua sistem teknologi ini menggunakan koneksi data yang
sangat
canggih (Kadarmanto 2018).
Revolusi Industri adalah perubahan besar, secara cepat, dan radikal yang
mempengaruhi
kehidupan corak manusia sering disebut revolusi. Istilah revolusi biasanya digunakan
dalam
melihat perubahan politik atau sistem pemerintahan. Namun, Revolusi Industri di Inggris
pada
hakikatnya adalah perubahan dalam cara pembuatan barang-barang yang semula
dikerjakan
dengan tangan (tenaga manusia) kemudian digantikan dengan tenaga mesin. Dengan
demikian,
barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif
singkat.
Industri 4.0 adalah nama trend otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi
pabrik.
Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan, dan
komputasi
kognitif. Industri 4.0 menghasilkan "pabrik cerdas".
Di dalam pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik,
menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak
terpusat.
Lewat Internet untuk segala (IoT), sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerja sama
dengan
satu sama lain dan manusia secara bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan
internal dan
lintas organisasi disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai.
Revolusi Industri 4.0 akan memberikan tantangan dan peluang yang sangat besar bagi
pembangunan sebuah bangsa. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke -
4 di
dunia, akan menghadapi tantangan yang lain yaitu apa yang dinamakan bonus
demografi.
Bonus demografi merupakan kondisi di mana populasi usia produktif lebih banyak dari
usia nonproduktif. Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami puncak bonus
demografi pada
2030 mendatang. Oleh karena usia produktif (umur 16-64) sebanyak 70 % penduduk
Indonesia
tentu akan memberikan tantangan kepada banyak pihak, pemerintah dan masyarakat,
untuk
mengelola dengan benar semua potensi tersebut. Kondisi yang demikian, adanya
revolusi
Industri 4.0 dan bonus demografi, memiliki banyak keuntungan bagi bangsa dan
negara, namun
114
juga tantangan yang tidak sedikit. Era Industri 4.0 akan terus menghadirkan banyak
perubahan
yang tak bisa dibendung. Karena itu, ada urgensinya jika negara perlu berupaya
maksimal dan
lebih gencar memberi pemahaman kepada semua elemen masyarakat tentang hakikat
era
Industri 4.0 dengan segala konsekuensi logisnya. Langkah ini penting karena belum
banyak
yang berminat memahami Industri 4.0. Sementara jumlah masyarakat yang melek
teknologi
begitu besar dan akan melakoni beberapa perubahan itu, tetapi kepedulian pada
tantangan di era
digitalisasi dan otomasi sekarang ini pun terbilang minim (Budiono 2018).
b) Era Disrupsi
Dewasa ini zaman sudah semakin berkembang, zaman dimana daya saing serta
tantangan
menjadi lebih lebih tinggi dari sebelumnya. Era ini disebut juga dengan era disrupsi.
Menurut
KBBI disrupsi adalah hal yang tercabut dari akarnya. Apabila diartikan dalam bahasa
sehari-
hari maka dapat berarti perubahan yang mendasar atau fundamental. Era disrupsi ini
merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya
dilakukan
di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia
bisnis.
Kemunculan transportasi gadget / daring adalah salah satu dampaknya yang paling
populer di
Indonesia.
Era disrupsi dijadikan hambatan dan keuntungan bagi para pelaku bisnis yang ada di
Indonesia. Karena era disrupsi juga dijadikan sebagai era digitalisasi, dimana seluruh
aktifitas
/kegiatan menggunakan daring atau media internet. Hal ini menjadikan para pelaku
bisnis
market leader harus pintar mencari celah atau solusi bagaimana cara menjadikan era
disrupsi
ini sebagai keuntungan bagi mereka. Hal yang terjadi dalam era disrupsi:
Penghematan biaya bisnis secara fisik karena bisnisnya dilakukan pada dunia maya
dan
menjadi lebih simple
Menjadikan kualitas produk dari bisnis tertentu menjadi lebih baik dengan
perkembangan
yang pesat
Era disrupsi menciptakan pasar baru sehingga bisnis yang selama ini tertutup dapat
terbuka
kembali
Produk atau layanan pada era disrupsi lebih mudah di akses dan dipilih seperti online
shop
dimana kita hanya membuka took melalui didunia maya lalu memesan serta
mengaksesnya
dari internet
Era disrupsi membuat segala hal sekarang menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih
menghemat waktu dan lebih akurat.
115
c) Strategi Beradaptasi di Era Disrupsi
Berikut cara kita beradaptasi dengan era disrupsi karena disrupsi itu merupakan suatu
perubahan dalam lingkungan bisnis, dan tentunya adaptasilah yang dapat menjadi
solusinya.
Berikut adalah cara yang dapat dilakukan oleh bisnis dalam menghadapi era disrupsi ini
agar
bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan gulung tikar.
▪ Memantau perubahan trend dalam bisnis = hal ini harus dilakukan untuk melihat
inovasi
apa saja yang dibuat pesaing lain agar bisnis kita tidak tertinggal dan mati. Contoh,
suatu
perusahaan telfon genggam, mereka berfikir bahwa perusahaan mereka telah diatas
angina.
Nyatanya, para pesaingnya telah membuat teknologi yang lebih canggih, dan
perusahaan
tersebut mengalami penurunan kualitas yang jauh. Informasi dari Memantau perubahan
trend dapat digunakan untuk melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari
disrupsi
dapat diminimalisir, atau bahkan bisa jadi agent of disruption, yaitu pelaku bisnis yang
menjadi pemain dalam disrupsi.
▪ Riset = agar memantau perubahan trend yang dilakukan hasilnya dapat lebih
meyakinkan,
maka harus dilakukan dengan riset. Karena dengan riset informasi yang didapat dapat
dipertanggungjawabkan mengenai kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan
secara
ilmiah. Oleh karena itu bisnis di era ini harus memiliki fungsi riset, yang biasa
dinamakan
R&D (research & development).
▪ Pengelolaan terhadap resiko = lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya akan
menjadi
pemicu dari resiko bisnis. Oleh karena itu, bisnis harus selalu dapat mengelola disrupsi
sebagai suatu pencegahan dalam resiko, dan bisa dikatakan bahwa disrupsi itu harus
dikelola dengan baik agar bisa dijadikan peluang bisnis.
▪ Inovasi = pelaku bisnis tentu harus terus menerus berinovasi karena era disrupsi
dapat
berubah dengan sangat cepat sehingga pelaku bisnis tidak boleh melakukan
penundaan
inovasi dan terus berfikir maju agar bisnis nya dapat terus berkembang
▪ Partnership = era disrupsi pada masa ini membuat bisnis sulit untuk bertempur sendiri
karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses bisnis sudah terinklusi. Oleh
karena
itu solusinya adalah dengan melakukan kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai
dari
sisi input sampai output dalam supply chain agar bisnis menjadi lebih efektif dan efisien.
Dan membuat perusahaan memiliki hubungan baik dengan pihak lain untuk terus
berkembang dan berinovasi tinggi.1
1 https://www.kompasiana.com/

116
d) Generasi Era Millenial
Generasi Millenium adalah istilah yang disematkan kepada anak-anak yang lahir di
abad
ke XX atau diera awal tahun 2000-an ke atas. Mengapa disebut generasi millenium?
Karena
abad XX (20) dikenal dengan kemajuan zaman yang sangat pesat dimulai dari
perkembangan
teknologi yang sudah amat maju ketimbang tahun 1900. Di abad XX sudah tidak
dielakan lagi
perkembangan teknologi informasi maupun komunikasi mempengaruhi secara
keseluruhan
sendi-sendi kehidupan. Tidak ada lagi batasan geografis, tidak ada lagi batasan wilayah
(tetorial) antar negara, apa yang dikatakan sebagai dunia ini tidak selebar daun kelor
benar
adanya jika ditinjau dari kemajuan yang dapat dirasakan di abad XX.
Generasi millenium adalah sekelompok manusia yang tahun lahirnya bersamaan,
angkatan lahirnya diera/tahun yang hampir bersamaan yang juga memiliki kesamaan
dalam
menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang sudah sangat berbeda dengan
abad 1900.
Bagi generasi millenium di Indonesia mereka akan menemui era keterbukaan baik dari
sudut
pandang politik maupun juga segi kesempatan yang sama bagi semuanya. Sekarang
generasi
millenium sudah dimanjakan dengan kemajuan informasi dan komunikasi ditambah
dengan
kemajuan pembangunan yang digerakkan hampir di seluruh daerah-daerah di
Indonesia.
Mereka generasi millenium akan dimudahkan dengan pembangunan yang masif dari
segi
fasilitas, infrastruktur hingga pendidikan dan tentunya kesehatan. Jadi tidak ada alasan
lagi
mereka yang lahir di era millenium tidak dapat mengembangkan segala potensi dan
sumber
daya yang ada yang mereka miliki yang pemerintah sediakan. Perkembangan teknologi
&
informasi membuat perbedaan yang amat mendasar dipandang dari segi kemudahan
dalam
mendapatkan akses ilmu pengetahuan hingga ke sudut lain dari dunia ini.2
Generasi millenial adalah generasi yang lahir dari tahun 1981 hingga 1994 (bahkan ada
yang mengatakan sebelum tahun 2000). Mereka ini adalah orang-orang di usia
produktif dan
konsumen yang dominan saat ini. Jumlah generasi millenial di dunia kerja mencapai 50
persen
dan diperkirakan tahun 2030, generasi ini akan menguasai 75 persen lapangan kerja
global. Di
Indonesia sendiri, generasi ini mencapai 34.45 persen populasi. Bisa dikatakan
generasi Y
adalah generasi yang tidak bisa lepas dari teknologi. Sementara dibanding generasi
sebelumnya
(generasi X, yang lahir antara tahun 1965-1980), penggunaan teknologi masih belum
meluas
karena generasi X lahir di awal-awal orang kenal PC, cable TV, disket, MTV mulai
booming di
jaman itu.3
2 https://fachriadha55.blogspot.com 3 http://www.astaga.com/news/
117
e) Ciri-Ciri Generasi Millenial4
Generasi millenial tentu memiliki ciri yang berbeda dari generasi sebelumnya. Berikut
ciri-ciri generasi millenial :
1) Generasi millenial lebih suka pemimpin yang memberi teladan; banyak otoritas dan
tidak
transparan dalam perusahaan bikin para millennial tidak betah bekerja. Mereka lebih
memerlukan pemimpin sebagai mentor, dibanding sebagai atasan yang otoriter.
2) Generasi millenial tidak peduli hierarki dalam bekerja; hierarki bagi millennial hanya
sekadar formalitas yang diperlukan untuk keabsahan sebuah perusahaan. Dalam
bekerja,
mereka lebih menyukai kolaborasi tanpa perlu segan saat bekerja atau bertukar pikiran
dengan leader, manager level, atau pekerja senior.
3) Generasi millennial dan tantangan; jangan berikan karyawan millenial pekerjaan rutin
yang
itu-itu saja dalam jangka waktu yang lama. Sifatnya yang mudah bosan justru menjadi
poin
positif saat kita melihatnya sebagai generasi penyuka tantangan. Memberikan
tantangan
kerja, beasiswa, atau workshop singkat di luar negeri akan menjadi pertimbangan
menarik
untuk mereka bertahan di perusahaan.
4) Generasi millennial suka bekerja keras dan berpikiran positif; berdasarkan penelitian
yang
dibahas di World Economic Forum 2017, 43% dari mereka yang disebut pekerja keras
adalah generasi millennial, sedangkan 57% lainnya adalah Generasi X. Sebanyak
70%-nya
optimis terhadap masa depannya.
5) Generasi millennial dan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan; generasi
Millennial akan membangun suasana kerja yang nyaman karena itu membuat mereka
lebih
semangat bekerja. Selain itu, fasilitas kantor yang menyenangkan akan membuat
mereka
bekerja lebih produktif.
2. Paradigma Pendidikan di Era Disrupsi
Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana
pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat
cepat,
fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan
baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan
disruptif.
Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial
masyarakat,
hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Tidak
diragukan lagi,
disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan. Munculnya inovasi
aplikasi
teknologi seperti Uber atau Gojek akan menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang
pendidikan.
4 https://www.dbs.com

118
Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial
Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat
saling
berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip ini menandai
dimulainya
demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk
memanfaatkan dunia
teknologi dengan produktif. Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang
dirancang
untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di
bidang
pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual. Sebab, AI
mampu
melakukan pencarian informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya dengan
cepat,
akurat, dan interaktif.
Baik MOOC maupun AI akan mengacak-acak metode pendidikan lama. Kegiatan
belajar-
mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola
pembelajaran digital
yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam,
dan
menyeluruh. Evolusi pembelajaran yang ditawarkan oleh MOOC dan AI akan
memunculkan
pertanyaan kritis, "Masih relevankah peran guru ke depan?" Kini, guru tidak mungkin
mampu
bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hafalan, hitungan, hingga
pencarian
sumber informasi.
Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita karena tidak
pernah lelah melaksanakan tugasnya. Karena itu, fungsi guru bergeser lebih
mengajarkan nilai-
nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai
itulah
yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita
akan
suram. Guru perlu untuk memulai mengubah cara mereka mengajar, meninggalkan
cara-cara
lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat. Teknologi
digital
dapat membantu guru belajar lebih cepat dan lebih efektif untuk berubah dan
berkembang.
Mereka akan lebih cakap mengubah pelajaran yang membosankan dan tidak inovatif
menjadi pembelajaran multi-stimulan sehingga menjadi lebih menyenangkan dan
menarik.
Pertanyaannya adalah apakah guru-guru saat ini telah disiapkan untuk menghadapi
perubahan
peran ini? Ini bukan hanya persoalan mengganti kelas tatap muka konvensional
menjadi
pembelajaran daring. Namun yang lebih penting adalah revolusi peran guru sebagai
sumber
belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan
inspirator
mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa yang
dibutuhkan pada
masa depan. Hal ini memerlukan inisiatif pemerintah untuk menata ulang arah
kebijakan
pendidikannya mulai dari paradigma, kurikulum, assessment hingga sistem rekrutmen
serta
metode pengembangan profesionalitas guru di pendidikan dasar ataupun pendidikan
tinggi.
Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan pada
masa
depan. Misalkan kurikulum dan assessment, sistemnya masih berorientasi penguasaan
materi
119
akibatnya pengajaran guru lebih berorientasi pada peningkatan nilai akademis siswa.
Orientasinya bukan pada aspek karakter atau kompetensi yang dibutuhkan di abad
ke-21,
seperti berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga pemecahan masalah.
Karena
itu, perombakan kebijakannya harus komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
Di hulu, paradigma pendidikannya harus digeser dari pendidikan yang
menstandardisasi
ke pendidikan berbasis keunikan individu. Paradigma yang baru ini tidak menuntut
capaian
belajar yang diseragamkan, tetapi diberi ruang untuk tumbuh secara berbeda.
Sedangkan di
hilir, guru dikembangkan untuk lebih melek teknologi digital serta memiliki ketrampilan
mengajar 'metakognisi', yakni mengajarkan siswa bagaimana cara belajar yang benar
agar dapat
menjadi pembelajar mandiri pada era persaingan yang kompetitif. Dalam taksonomi
Bloom
yang direvisi David Krathwohl tahun 1991, ranah metakognisi meliputi enam tingkatan
kecerdasan akademis, yakni mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi,
dan mencipta (creating).
Sistem pengajaran saat ini tidak dirancang untuk menjalankan enam tingkatan
kecerdasan
metakognisi itu. Pembelajaran metakognisi mensyaratkan ekosistem belajar positif yang
mampu memfasilitasi siswa mengenali dirinya sendiri serta mampu mengelola perilaku
dan
karakter diri. Untuk itu, peran guru lebih untuk membimbing siswa mengembangkan
bakat atau
potensi yang dimiliki. Perubahan mendasar pada peran tersebut menuntut sistem
perencanaan
guru yang baru agar mutu dan profesionalitas guru sesuai tuntutan pendidikan ke
depan.
Kinerja guru bukan semestinya hanya diukur pada uji kompetensi guru yang lebih
bersifat
teoritis dan administratif, melainkan kemampuannya untuk menghadirkan ekosistem
pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan. Ekosistem tersebut akan
membuat siswa
bergairah dalam belajar serta gigih dalam memenangkan pertarungan pada abad
digital. Dan
ekosistem itu membutuhkan guru dengan mindset baru, kaya inovasi atau konten
pembelajaran,
fleksibel, serta adaptif terhadap perubahan dunia yang sangat cepat.
Pendidikan menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa, karena bangsa yang maju
dipastikan
maju pula bidang pendidikan bangsanya. Era modern yang terkenal dengan era digital,
global
dan instan ini, di butuhkan dasar keimanan yang kuat pada pribadi-pribadi anak-anak
bangsa.
Agar mereka tidak mudah tergoda, tertipu, terbawa arus, hingga tergerus oleh hal-hal
yang
negatif dan menjadi budaknya hawa nafsu mereka belaka. Untuk menghadapi
tantangan dan
sekaligus peluang ke depan, maka pendidikan keimanan di tanamkan pada pendidikan
pertama
madrasah kubra dan pendidikan keluarga harus kuat.
Keimanan itu ibarat suatu pohon akarnya menancap ke dalam bumi, ia tidak mudah
tumbang oleh angin, banjir, bahkan longsor, tetap kokoh berdiri. Sedangkan batang dan
cabangnya menjulang tinggi ke langit, bagaimana keluarga menjadi contoh dalam
pendidikan
120
bersosialisasi, persahabatan, cinta ilmu pengetahuan dan mencintai sesama mahluk. Di
luar
keluarga (lembaga pendidikan), ia mendapatkan bahwa sekolah adalah sebagai
organisasi kerja
ilmu pengetahuan, apapun yang ada di sekolah adalah merupakan rangkaian
pendidikan
mendapatkan ilmu pengetahuan. Di sekolah juga ia merasakan seperti keluarga besar
seperti
yang ia rasakan dalam keluarganya sendiri.
Kadang sekolahpun menjadi seperti tempat berobat bagi para peserta didik yang
sedang
bermasalah, dokter yang dapat membaca dan menganalisa penyakit pasiennya benar,
akan
memberikan obat cocok dan tidak pernah kambuh lagi. Semuanya di terapkan dengan
peraturan
kedisiplinan seperti perusahaan atau bahkan seperti sebuah perusahaan uang
mewajibkan
karyawannya masuk tepat waktu, mengerjakan tugas dengan baik agar mendapatkan
reward
yang baik pula. Dari pendidikan seperti di atas yang dibutuhkan abad ini, maka produk
pendidikannya adalah:
▪ Visioner, yaitu mampu membangun visi bagi Negara dan bangsa, lembaga atau di
mana saja
ia berada dalam pekerjaan apa saja.
▪ Mampu menjadi pelayan yang baik dalan jabatan apapun, menjadi mentor, pelatih,
instruktur, dan memiliki rasa saling memiliki saling ketergantungan satu dengan yang
lainnya.
▪ Dalam satu waktu dapat mengkoordinasikan banyak hal, tentu dapat bekerja sama
dengan
yang lain atau bawahannya.
▪ Berani mengambil resiko dalam pekerjaan yang dilakukannya.
▪ Tentu akan menjadi pemikir sistem, baik dari kejadian, isu maupun data yang ada, dan
tentu
akan menjadi agen suatu perubahan.
Dari kelima hal di atas bahwa pendidikan untuk menghadapi masa depan, agar
anak-anak
bangsa mereka nanti dapat hidup pada zamannya di masa depan. Menjadi manusia
baru,
paripurna, berpikir global, bijak dan bajik, cinta tanah air dan bangsanya, karena itu
merupakan
ciri keimanan seseorang. Sesungguhnya pendidikan dalam belajar adalah bagaimana
membelajarkan anak, mereka dapat belajar dengan tenang dan berpikir dengan bebas.
Kemudian ia akan dapat melakukan sesuatu dari ilmu yang telah di dapatnya, maka ia
tidak
akan meniru orang lain karena pada hakikatnya manusia di dunia ini tidak ada yang
sama satu
sama lain, ia akan menjadi diri sendiri. Selanjutnya ia akan dapat belajar untuk bidang
apa saja
yang ditekuninya, dan dapat hidup bersama dalam satu komunitas atau kelompok.5
3. Tantangan dan Harapan Gereja di Era Millenium
Globalisasi juga dapat menembus "dinding-dinding Gereja", yang berupa
dinding-dinding
denominasi dan bahkan dinding-dinding umat. Maksudnya adalah bahwa globalisasi
5 https://www.kompasiana.com/
121
memungkinkan penyebaran modernisasi yang menembusi kehidupan Gereja tanpa
dapat
dicegah atau dibendung. Misalnya budaya modern dengan mudah telah merasuki
rumah-rumah
para anggota Gereja melalui teknologi satelit. Benar bahwa budaya modern juga
membawa
dampak positif, namun tidak jarang pula membawa dampak negatifnya. Dalam
menghadapi
budaya modern ini Gereja seyogianya tidak tinggal diam, tetapi harus menghadapinya
secara
aktif. Menghadapi secara aktif mempunyai makna bahwa Gereja secara aktif
memanfaatkan
hal-hal yang positif yang dibawa oleh globalisasi, tetapi sebaliknya secara aktif pula
menghindari hal-hal yang negatifnya.
Berbicara tentang dampak negatifnya, di sini perlu digarisbawahi bahwa munculnya
budaya modern tidak jarang mengakibatkan timbulnya reaksi negatif terhadapnya
misalnya dan
orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang masih ingin mempertahankan
budaya
lamanya. Dapat terjadi bahwa orang-orang atau kelompok-kelompok tersebut menolak
budaya
modern dan mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya sukunya.
Upaya
sedemikian tidak selalu jelek. Namun dalam keadaan tertentu, misalnya dalam keadaan
yang
ekstrim, dapat saja terjadi upaya sedemikian akan membawa akibat yang negatif.
Contoh
konkretnya adalah bahwa di tengah-tengah upaya untuk menolak budaya modern dan
mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya suku tidak jarang orang
akan
dipengaruhi kembali oleh agama suku yang menjadikannya satu budaya suku. Kalau
hal itu
terjadi, hasilnya adalah jelas bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari suatu suku
tertentu
akan dipengaruhi kembali oleh agama sukunya. Dalam kadar tertentu dapat terjadi
suatu bentuk
kekristenan yang "kulitnya adalah Kristen, sedang isinya adalah kafir".
Proses terjadinya "global village" di atas sesungguhnya mempunyai peranan penting
bagi
kehidupan Gereja bila Gereja mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
kehidupan dalam
"global village" -- yang di dalamnya orang tidak menekankan misalnya latar belakang
batas-
batas kesukuan dan denominasi yang sering menyemangati orang untuk menjadi
fanatik itu -
agaknya perlu diberlakukan dalam kehidupan Gereja-gereja. Kehidupan semacam
itulah yang
antara lain mendorong Gereja-gereja belajar untuk tidak menekankan misalnya
perbedaan
kesukuan dan denominasinya. Hal ini selaras dengan perkembangan yang terjadi
dalam
kehidupan ekumenis di antara Gereja-gereja sedunia, dengan salah satu cirinya yaitu
mulai
menanggalkan pemikiran absolutisme (dalam hal ini pemikiran yang memutlakkan
dirinya
sebagai Gereja yang paling benar) dan pemikiran thriompalismenya (dalam hal ini
pemikiran
yang menyatakan bahwa dirinya satu-satunya yang merupakan "sorga di bumi").
Ciri semacam itu membawa konsekuensi bahwa Gereja-gereja -- dalam semangat dan
usaha bersama - mulai mengusahakan dan membangun teologi bersama. Kalau hal ini
terjadi -
yang memang telah terjadi pada banyak Gereja - maka tidak mustahil bahwa hasilnya
akan
122
mewarnai banyak hal dalam kehidupan Gereja, misalnya perbedaan-perbedaan latar
belakang
kesukuan, corak Kekristenan, (rumusan) pengakuan iman, (pemahaman) pekabaran
Injil, dan
pengorganisasian diri di antara Gereja-gereja tidak harus diperuncing dan dijadikan
pemicu
pertengkaran di antara mereka. Itulah salah satu contoh konkret dalam menjawab
globalisasi
secara aktif. Namun ada pula contoh yang justru menyatakan hal yang sebaliknya. Hal
itu
tampak dalam kenyataan bahwa masih terdapat banyak Gereja yang menjadikan
dirinya sama
dengan dunia dan kehilangan jati dirinya atau bahkan melarikan dirinya dari upaya
menghadapi
ketegangan dengan budaya modern dan teknologi canggih yang ada di sekitarnya.
Proses terjadinya "global village" seperti itu juga menantang Gereja-gereja di Indonesia
-
demikian juga Gereja-gereja di dunia - untuk lebih memberi tekanan pada kesatuan dan
kerukunan umat manusia; termasuk di dalamnya membeda-bedakan umat beragama
yang satu
dari yang lainnya. Bila hal semacam itu terjadi, maka tidak ayal akan terjadi juga saling
terbuka, saling memahami, saling mengenal, dan saling menghargai satu sama lain.
Kenyataan
sedemikian sangat diperlukan untuk upaya penegakan perdamaian di atas bumi ini.
Di samping menjawab secara aktif tantangan di atas, Gereja-gereja di Indonesia juga
harus menjawab secara sama tantangan-tantangan lain yang diangkat ke permukaan
oleh proses
globalisasi. Tantangan-tantangan dimaksud berupa masalah-masalah sebagai berikut.
a) Masalah aktual di era globalisasi - masalah yang menyangkut pekabaran Injil;
khususnya
yang menyangkut keselamatan utuh manusia, dan masalah yang menyangkut politik
pula;
khususnya yang menyangkut kebebasan manusia - adalah masalah penegakan
hak-hak
asasi manusia. Disebut masalah aktual, oleh karena dewasa ini di banyak tempat di
dunia
terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Karena itu masalah tersebut menjadi
masalah
dunia. Sejalan dengan berita Injil, yaitu bahwa Allah melalui Yesus Kristus telah secara
asasi menegakkan keselamatan utuh bagi manusia dan makhlukNya yang lain, Gereja-
gereja tidak bisa tidak wajib menjawab masalah tersebut secara aktif. Itu berarti bahwa
Gereja-gereja wajib mengaktualisasikan jawabannya itu dalam pemikiran dan tindakan
yang mengarah kepada penegakan hak-hak asasi manusia.
b) Masalah aktual lainnya di era yang sama yang harus dijawab secara aktif oleh
Gereja-
gereja adalah masalah penegakan demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara
adil dan
bijak. Masalah yang menyangkut tanggung jawab Kristen di bidang politik ini, ternyata
tidak hanya menjadi masalah di beberapa negara totaliter tertentu saja - misalnya
negara-
negara Blok Timur beberapa tahun yang lalu dan Myanmar sekarang ini - tetapi telah
menjadi masalah dunia. Dengan demikian, kepedulian Gereja-gereja terhadap
penegakan
demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara adil dan bijak harus ditingkatkan dan
123
diaktualisasikan, terutama melalui pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan
nabiahnya
terhadap para pemegang kekuasaan.
c) Masalah yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan manusia, terutama
yang
berhubungan dengan penuntasan jurang jarak antara orang-orang kaya dan
orang-orang
miskin. Masalah yang tidak terlepas dari upaya suatu bangsa untuk melakukan
pembangunan diri ini, menantang Gereja-gereja untuk memikirkan secara mendalam
tentang penatalayanan kristianinya, merencanakan secara matang penatalayanan
tersebut,
dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Hal itu pada hakikatnya
merupakan
upaya Gereja-gereja untuk menjawab masalah tersebut, terutama untuk menjawab
kemiskinan yang hebat di negara-negara dunia ketiga di samping hutang yang
bertumpuk
negara-negara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Dalam kaitannya
dengan
hal ini -- khususnya dengan kedudukan banyak pengusaha besar Kristen -
Gereja-gereja
juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pembinaan yang tepat dan
tanggung
jawab terhadap mereka agar upaya mereka baik yang bersifat lokal, regional dan
nasional
maupun internasional dapat juga ikut bertanggung jawab untuk menjawab hal-hal
diatas.
d) Masalah yang menyangkut upaya pelestarian lingkungan kini telah menjadi perhatian
dan
pergumulan serius bagi umat manusia. Adapun masalah yang menyangkut upaya
pelestarian lingkungan dapat mengambil bentuk bermacam-macam, di antaranya
adalah
masalah makin menipisnya sumber-sumber energi dari bumi, di samping masalah
terganggunya lingkungan hidup sebagai akibat merajalelanya pelbagai polusi. Masalah
seperti itu pada hakikatnya kini telah menjadi masalah umat manusia; masalah dunia.
Dalam kaitannya dengan itu, Gereja-gereja di Indonesia -- bersama lembaga-lembaga
lain
yang non gerejawi - ditantang untuk memberikan tindakannya.
e) Masalah berikutnya adalah masalah pengatasan dampak negatif dari teknologi tinggi.
Dampak negatif tersebut antara lain mengambil wujud kekosongan batin manusia dan
humanisasi, pengangguran dan jurang jarak antara yang kaya dan yang miskin. Di
samping
itu, terdapat pula masalah-masalah lain yang muncul dari adanya "global economy" dan
masalah-masalah yang dapat timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata "global
economy",
sebagai akibat dari adanya "global village", akan memberikan peluang bagi manusia
untuk
menerima tawaran pelbagai pilihan, di samping menumbuh kembangkan materialisme,
sekularisme, dan rasionalisme. Berkenaan dengan hal ini, ada sinyalemen bahwa di
lingkungan umat Kristen atau di kalangan anggota Gereja terdapat kecenderungan,
pada
materialisme, sekularisme, dan egosentrisme.
Masalah-masalah yang dapat timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata dapat dijelaskan
sebagai berikut. Adalah kenyataan bahwa pada masa lampau, sebelum runtuhnya Uni
Sovyet,
124
terjadi perlombaan senjata nuklir antara negara-negara blok Barat dan negara-negara
blok
Timur. Umat manusia seluruh dunia jelas merasa ngeri terhadap akibat digunakannya
senjata
nuklir tersebut, karena dapat mengantar umat manusia pada kepunahan dirinya dan
peradabannya yang telah dibangun berabad-abad itu. Benar bahwa kini perlombaan
senjata
telah berakhir, namun ancaman-ancaman penggunaan senjata nuklir sesungguhnya
belum
lenyap. Dalam konteks semacam ini jelas Gereja-gereja di Indonesia - bersama-sama
dengan
Gereja-gereja sedunia - terpanggil untuk memberikan jawaban yang bersifat redemtif
terhadap
masalah yang timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata tersebut.
Jawaban terhadap tantangan-tantangan di atas bagi Gereja-gereja di Indonesia pada
hakikatnya merupakan pengejawantahan dari tanggung jawabnya dalam
mengaktuali-sasikan
misinya terhadap umat manusia dan sekaligus terhadap dunia. Untuk itulah maka
Gereja-gereja
di Indonesia di era globalisasi tidak boleh menjadi kelompok-kelompok manusia yang
eksklusif
dan yang mengisolasikan dirinya dari tantangan-tantangan yang muncul dari
globalisasi. Hal itu
dapat dimengerti, sebab Gereja-gereja - bahkan seluruh umat manusia - dituntut untuk
tidak
mempedulikan kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan pihak-pihak lain
(baca
pula: kelompok-kelompok lain, bangsa-bangsa lain, dan bahkan generasi umat manusia
masa
datang). Jikalau "amanat" seperti itu tidak dipenuhi, maka Gereja-gereja pada
hakikatnya
mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke dalam
dunia;
mengingkari misinya sendiri.
Jawaban Gereja-gereja di Indonesia atas tantangan-tantangan tersebut sudah barang
tentu
diletakkan pada harapan Gereja-gereja sendiri, yaitu harapan pada Allah yang
senantiasa
melakukan karya keselamatan-Nya pada masa lampau, masa kini, dan masa depan itu.
Karena
itu, maka Gereja-gereja pada hakikatnya mengingkari eksistensinya sebagai yang
berada di
dunia dan sekaligus diutus ke dalam dunia, mengingkari misinya sendiri.
Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir, perlu dikemukakan bahwa ada pula
harapan
Gereja-gereja yang berkaitan dengan (globalisasi dan) dampak positif globalisasi itu
sendiri.
Untuk jelasnya dapatlah dikemukakan contoh konkretnya. Seperti telah dimaklumi
bahwa
globalisasi membawa manusia kepada sikap terbuka terhadap sesamanya dari latar
belakang
apapun. Dalam kaitannya dengan hal ini Gereja-gereja mempunyai kedudukan yang
kokoh.
Mengapa demikian halnya? Karena dalam hal ini Gereja-gereja dapat di potret sebagai
suatu
kehidupan agamawi (religius) yang berpusat pada iman dan penghayatan
penyelamatan yang
dikerjakan oleh Allah atas manusia. Kemudian, pada gilirannya, penyelamatan tersebut
menempatkan seluruh umat manusia di bawah satu kategori yang sama dengan tiga
kualifikasi.
Ketiga kualifikasi yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut.
125
a) Pertama, bahwa segenap manusia mempunyai kemuliaan (martabat) yang sama,
yang
terletak di dalam hal bahwa (semua) manusia diciptakan menurut gambar Allah.
Kesegambaran dengan Allah itu sendiri pada hakikatnya menyatakan bahwa secara
eksistensial manusia terhubung dengan Allah, yang karenanya manusia menjadi satu-
satunya makhluk yang adalah partner (mitra) eksistensial Allah.
b) Kedua, bahwa segenap manusia berada dalam kehinaan yang sama, dalam arti
bahwa
segenap manusia berada di bawah kondisi dosa (baca pula: berada dalam kondisi tidak
selamat) dan bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu melepaskan
diri
dari kondisi dosa (baca pula: menyelamatkan dirinya sendiri).
c) Ketiga, segenap manusia karena kemuliannya menjadi obyek kasih Allah. Dengan
wataknya yang demikian ini - yang secara esensial membedakan dirinya dari kehidupan
agamawi manapun juga - Gereja-gereja mempunyai kiblat universal sebagai yang
memang
harus terjadi.
Dalam kaitannya dengan hal yang disebut terakhir, Gereja-gereja sesungguhnya dapat
memainkan peranan penting dalam mendorong perkembangan mental manusia,
khususnya
mental manusia Indonesia, dalam rangka memanfaatkan lajunya globalisasi, terutama
dalam
rangka upaya menuju kepada masyarakat manusia yang global. Sudah barang tentu
hal yang
dikemukakan terakhir wajib dilihat dalam perspektif umat Allah yang mengalami proses
pembaharuan total itu (Wahyu 21:1-8). Dalam hal ini, sekali lagi, tampak bahwa
harapan
terjadinya masyarakat manusia yang global seperti itu diletakkan pada kuasa Allah
sendiri. Hal
ini tidak berarti bahwa Gereja-gereja tidak boleh mengerahkan sumber daya dan
sumber-
sumber lainnya. Bahkan Gereja-gereja harus mengelola semuanya itu bagi upayanya
menjawab
tantangan-tantangan yang disebutkan di atas.6
Dengan memahami kondisi millenium ke-III sebagai millenium akhir zaman yang
ditandai sebagai masa yang sukar sulit maka dengan berpedoman kepada
kepemimpinan Yesus
berikut ini akan dikemukakan bentuk atau corak kepemimpinan yang diharapkan dapat
menjawab tantangan kepemimpinan gereja masa kini. Kepemimpinan yang mampu
mempertahankan spiritualitas sebagai kunci kepemimpinan Gereja di zaman modem
ini. Setiap
pemimpin gereja harus mampu membuktikan dengan kata dan tindakan bahwa ia
adalah
pemimpin rohani. Kepemimpinan yang mampu menjembatani dua kutub yang
berjauhan yaitu
antara sorga dan dunia dengan prioritas yang seimbang tanpa mengorbankan salah
satu di
antaranya.
6 YayasanLembaga SABDA. Gereja di Indonesia Dalam Era Globalisas. Jurnal Pelita Zaman. Vol. 8 No.2
Tahun 1993. Sumber: https://alkitab.sabda.org/
126
Kepemimpinan yang bisa bertahan hidup (survive) di tengah-tengah dunia yang
mengglobal dengan daya persaingan yang ketat. Untuk itu dibutuhkan
pemimpin-pemimpin
yang mempunyai nilai tambah sehingga masih dapat dikategorikan sebagai pemimpin-
pemimpin yang unggul. Kepemimpinan yang mampu melihat dan menggunakan
perbedaan-
perbedaan persepsi bahkan doktrin sebagai sarana untuk membina kerjasama yang
lebih efektif.
Kepemimpinan yang sadar waktu sehingga tidak membuang-buang kesempatan
dengan sibuk
mengurus hal-hal yang sepele dan mengabaikan kesempatan-kesempatan emas yang
ditawarkan. Kepemimpinan yang mampu memanfaatkan IPTEK modem, sehingga tidak
merupakan pemimpin yang ditinggalkan oleh zamannya. Kita sekarang sedang berada
pada
kecenderungan era urbanisasi modern di mana bukan orang-orang desa
berbondong-bondong
datang ke kota tetapi gaya hidup kota yang dipacu oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan
teknologi modern akan mendesak dan menyusup sampai ke desa-desa dengan gaya
dunia
modern yang berkembang di kota-kota (Anggu 2005).
Zaman sekarang gereja berada dalam dunia yang mengalami perubahan yang cepat
dan
masif. Perubahan terjadi begitu dinamis dan cepat dengan segala masalah yang
muncul. Jika
situasi berubah, maka manusia yang hidup dalam situasi juga terus mengalami
perubahan.
Perubahan-perubahan ini tentu saja berdampak dalam seluruh segi kehidupan,
termasuk
pemahaman tentang Tuhan. Pemberita firman adalah salah satu orang yang mendapat
mandat
memberikan pemahaman Tuhan dengan seluruh eksistensinya kepada umat. Oleh
karena itu
dalam pemberitaan firman tidak boleh kalah dengan perubahan yang terjadi bahkan
harus
memanfaatkan setiap perubahan yang terjadi. Memanfaatkan perubahan yang terjadi
bukan
berarti sekedar mengikuti arus dunia ini, namun bagaimana pemberita firman bisa
membuat
jemaat memiliki kehidupan doa, antusiasme dan keberanian untuk hidup dalam terang
Tuhan di
dunia yang terus berubah ini. Penyebab perubahan yang cepat ini disebabkan adanya
Revolusi
Industri 4.0 yang mulai diperkenalkan pada tahun 2011 di Jerman. Tidak bisa tidak,
semua
umat manusia tetap harus mengikuti trend perubahan ini, jika tidak maka dia akan
tertinggal
dan akan mengalami kesulitan kehidupan.
Trend otomasi ini akan semakin mencapai puncaknya di Indonesia pada masa yang
disebut bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2030 nanti.
Trend
Revolusi Industri 4.0 bisa jadi akan memunculkan virtual church, sedangkan bonus
demografi
yang akan dialami Indonesia akan menjadi peluang dalam pemberitaan firman. Oleh
karena itu
gereja, dalam hal ini pemberita firman, harus memanfaatkan setiap perubahan yang
terjadi dan
menggunakan setiap peluang yang ada sehingga firman tersampaikan secara kreatif
namun
tetap biblika untuk menumbuhkan kerohanian umat Tuhan. Revolusi Industri menandai
terjadinya titik balik besar dalam sejarah dunia, hampir setiap aspek kehidupan
sehari-hari
127
dipengaruhi oleh Revolusi Industri, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan
penduduk
dan pendapatan rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya
(Budiono
2018).
4. Pendidikan Kristen Sebagai Strategi Menghadapi Era Milenium
Di era milenium ini pada dasarnya membutuhkan manusia-manusia yang unggul.
Manusia yang unggul tersebut bukanlah manusia yang kuat sebagaimana dalam hukum
rimba
dimana yang kuatlah yang menang. Namun, manusia yang unggul tersebut adalah
manusia
yang dengan mental dan intelektualnya dia bisa menyelesaikan segala problem hidup
yang
dimiliki, untuk itu yang menjadi pertanyaan adalah seperti apakah sosok manusia di era
milineum tersebut? Menurut Attali (Danin, 2003) 7 bahwa ketika memasuki era milenium
ketiga, mereka akan tersegmentasi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok
pemenang
(the winners) dan kelompok pecundang (the losers).
Kelompok pemenang adalah mereka yang terdidik, otonom secara pribadi,
berketerampilan, berdaya adaptabilitas tinggi, memiliki kemampuan ekonomi yang kuat,
dan
menguasai multiakses. Mereka tidak lagi dibelenggu oleh pergulatan untuk memenuhi
kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan, layanan kesehatan, dan juga
rekreasi.
Sebaliknya, kelompok pecundang adalah mereka yang berekonomi lemah,
berpendidikan
rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, akses informasi yang terbatas,
rendah diri,
berdaya suiai rendah, kondisi gizi dan kesehatan yang memprihatinkan, dan tempat
bermukim
yang seadanya.
Maka adapun cara yang dapat dilakukan untuk menjadi seorang pemenang di era
millenium ini adalah menjadi seorang pembelajar. Pembelajar adalah sosok manusia
yang
memiliki kesiapan dalam menghadapi era milenium sebab ia mampu terus
mengembangkan
keahlian yang dimilikinya melalui sifat dan sikapnya yang terdiri dari : (1) rasa ingin tahu
yang
begitu besar; (2) memiliki optimisme yang tinggi; (3) memiliki keikhlasan dalam
melakukan
segala hal; (4) konsisten dengan apa yang menjadi prinsip serta tujuan yang ingin ia
capai; (5)
memiliki pandangan kedepan atau dalam hal ini berpandangan visoner; (6) memiliki
kecerdasan spiritual yang dengan ini ia mampu mengendalikan berbagai macam
ketimpangan
dalam hidupnya; (7) memiliki kecerdasan emosional yang dengan ini ia mampu
menyemimbangkan berbagai elemen dalam hidupnya; (8) kecerdasan intelektual yang
dengan
ini ia mampu berpikir secara komprehensif tentang apa dan bagaimana melakukan
sesuatu
dalam hidupnya.8
7 Dani Sudarwan. 2003. Menjadi Komunitas Pembelajar. Jakarta : Bumi Aksara 8

https://www.kompasiana.com/
128
Di sinilah jendela masuknya peran sekaligus penguatan pendidikan Kristen di era
revolusi
industri 4.0. Pendidikan Karakter Kristen bukan hanya dipandang sebagai bagian dari
pendidikan akan tetapi merupakan jiwa dari pendidikan itu sendiri; sehingga Kristen
memiliki
hakikat dan pengertian sendiri akan arti serta makna pendidikan. Salah satu orientasi
pendidikan dari perspektif Kristen adalah “Healing and Develop”. Artinya keberadaan
para
peserta didik, bukan hanya diisi dengan ilmu secara kognitif, namun pendidikan sebagai
kendaraan simultan untuk mengalami pemulihan secara utuh, terutama menemukan jati
dirinya
dihadapan Tuhan. Selanjutnya pendidikan harus mampu menggali serta
mengembangkan
berbagai potensi dan talenta yang Tuhan telah tanam di dalam dirinya.
Sebab bagaimanapun juga banyak yang mempercayai bahwa sumber segala
pengetahuan
berasal dari Tuhan dan untuk memperolehnya dimulai dengan memiliki sikap takut akan
Tuhan
(Amsal 1:7). Jadi, dengan tingginya keyakinan yang dibangun atas dasar iman kepada
Yesus
Kristus tidak berarti juga membatasi ruang gerak seseorang sehingga berakibat pada
miskin
secara wawasan pengetahuan, teknologi dan sains. Sebab jika merujuk pada sejarah
masa
lampau, justru kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi secara signifikan
ketika
berawal dari adanya reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther pada abad XV.
Keberadaan
gereja saat itu tidak lagi mengatur negara dalam konteks politik sehingga sangat
dirasakan
adanya “kebebasan” dan salah satu keberhasilannya adalah manusia mendapatkan
ruang untuk
berkarya seluas-luasnya.
Itu sebabnya baik sekolah, gereja dan keluarga merupakan tri pusat lembaga/ institusi,
berperan sebagai wadah untuk membangun, membina serta mengembangkan softskill
generasi
milenial di era revolusi industri 4.0 yang berbasis kepada nilai-nilai ajaran Kristus
tentunya.
Secara teknikal baik guru, orang tua dan hamba Tuhan secara konsisten mampu
menunjukkan
figur keteladan, sedangkan dalam hal komunikasi mampu membangun suatu
keakraban dan
bukan ketakutan.Yang terpenting pula keyakinan para peserta didik semakin meningkat,
teguh
dan tidak mudah patah semangat.
Sebab salah satu efek yang cukup menganggu dalam inovasi distruptif adalah teknologi
semakin menggantikan peran manusia sehingga dibutuhkan adanya
penyesuaian-penyesuaian.
Dan karena adanya penyesuaian maka akan membuat setiap individu berpotensi
mengalami
krisis. Ini hanyalah sebuah contoh namun sekaligus sebuah realitas yang sebenarnya
ingin
mengajak supaya Pendidikan Karakter Kristen harus peka terhadap gejala perubahan-
perubahan yang terjadi di tengah-tengah sosial masyarakat.
Mandat profetik dalam Perjanjian Lama (PL) pada prinsipnya merupakan fungsi jabatan
para nabi yang telah dipilih dan di panggil oleh Allah, yang pekerjaannya adalah
menyampaikan perkataan (firman) Allah. Louis Berkhof menjelaskan pengertian nabi
dalam
129
PL bahwa “nabi adalah seseorang yang melihat banyak hal, yaitu orang yang mendapat
wahyu,
yang melayani Tuhan, terutama sebagai seorang utusan, dan yang berbicara dalam
nama-Nya.”
Karena statusnya sebagai jurubicara Allah, maka seseorang yang menjadi nabi bukan
atas dasar
keinginan diri semata, namun hakekatnya adalah panggilan Allah. Bahwa Allah
memanggil dan
memilih diantara umat-Nya, pribadi yang Allah kehendaki untuk menjadi penyambung
lidah

Allah. Di sini dapat dilihat bahwa panggilan ilahi adalah dasar seseorang menjadi nabi

Allah,
karena memiliki tugas untuk memberitakan wahyu Allah Mandat profetik dalam konteks
umat
Allah secara umum, “adalah menentang formalitas, menekankan kewajiban-kewajiban
moral,
mendorong perlunya pelayanan kerohanian, dan menyatakan perlunya kebenaran
dalam hidup
umat Allah.” Dimana, mereka harus hidup menghadapi penyembah baal, raja yang
berlaku
tidak adil dan menindas bangsa-Nya, raja yang tidak mengandalkan TUHAN.
Karena itulah, “Para nabi adalah pendidik sosial di zamannya. Mereka memanggil umat
Allah, para pemimpin, dan bangsa-bangsa lain untuk mempertanggungjawabkan gaya
hidup
mereka”. Di dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah Nabi Agung, karena Sang
Pemilik
firman yang menyampaikan firman itu sendiri, maka jabatan sebagai Nabi Agung itu
adalah
milik Yesus Kristus. Dia adalah Nabi Agung dan final. Misi utama-Nya adalah
menyatakan
Allah sendiri, dan Dia mengklaim bahwa di dalam pribadi dan karya-Nya Allah sendiri
hadir
dan mendirikan kembali kerajaan-Nya di bumi. Seorang nabi berbicara firman Allah
hanya
dibawah kendali Roh Kudus, dan disisi lain dia adalah seorang yang telah jatuh,
berdosa dan
penuh kelemahan. Tetapi Yesus yang adalah Tuhan, Firman yang telah menjadi daging,
berbicara didalam otoritas-Nya sendiri.
Ini juga memperjelas bahwa Yesus Kristus bukan lagi sebagai pembawa pesan atau
penyambung lidah Allah, karena Dia adalah Allah. Yesus Kristus memberitakan akan
akhir
zaman dan keselamatan final yang Allah sediakan, karena itu pemberitaan-Nya adalah
memproklamasikan keselamatan eskatologis, dimana kedatangan Kristus adalah
penggenapan
pengharapan Perjanjian Lama dan klimaks dari pembaharuan jabatan kenabian. Dalam
pelayanan-Nya, Ia dengan lantang menyuarakan mandat profetik dalam
menjungkirbalikkan
tatanan kemunafikan yang telah merusak para ahli Taurat dan Israel umat-Nya. Karena
itu
ekspektasi Yesus Kristus kepada para murid-Nya agar memiliki karakteristik yang
kontras
dengan para ahli Taurat.9
Di tengah gempuran perkembangan teknologi di era revolusi industri, pendidikan
Kristen
memiliki mandat yang berfungsi sebagai “nabi” yaitu menyuarakan kebenaran Allah
sesuai
dengan kapasitas dan bidang yang ada. Kesetiaan kepada kebenaran Injil akan
menempatkan
9 Peran Pendidikan Karakter Kristen di Era Revolusi Industri 4.0 Sumber: https://www.skketapang.org/
130
pendidikan Kristen memiliki karakteristik sebagai pendidikan profetik dimana Robert W.
Pazmino menjelaskan bahwa “pendidikan profetik menuntut para personil dan
komunitas iman
untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya berdasarkan norma-norma dan
perintah yang
alkitabiah sehingga dosa, ketidakadilan, dan penindasan menjadi terlihat dengan jelas,
juga
kehidupan keluarga atau komunitas akan cenderung di kritisi dari pada diafirmasi.
Ini menegaskan bagaimana pendidikan Kristen bertindak sebagai yang mengasuh para
reformator untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap melakukan reformasi atas berbagai
aspek
kehidupan. Pendidikan Kristen menjadi wadah pembentukan bagi para “nabi”, yang
memperlihatkan signifikansi dari pendidikan Kristen sebagai locus dalam melahirkan
dan
mengasuh nara didik sebagai reformator yang mampu menerangi dan menggarami
seluruh
aspek kehidupan di dunia ini dengan menyuarakan suara kenabian (profetik).”
Dalam model pendidikan Kristen profetik, di sini menempatkan sekolah dan lembaga
pembelajaran memiliki peran untuk mempersiapkan orang-orang muda yang memiliki
Injil
kebenaran sebagai fondasi kehidupan, dan menyadari tugas pemberitaannya dalam
masyarakat
yaitu mandat profetik. Dalam mempersiapkan, mendidik dan melatih orang muda
menjadi
pembawa berita kebenaran Allah sehingga perlu menanamkan perspektif alkitabiah
dalam
memandang segala sesuatu. Inilah yang dimaksud Smith dengan pemahaman
perspektif Kristen
yang utuh, maka akan ada banyak orang muda yang bukan hanya memiliki
keterampilan dan
pengetahuan namun juga memiliki worldview Kristen sehingga dapat melihat setiap
vokasi dari
perspektif Kristen. Tentunya hal ini merupakan perwujudan mandat profetik melalui
pendidikan Kristen.
Tantangan teknokultural bagi generasi internet, telah membawa pada permasalahan
pengacakan kepribadian, dimana tantangan teknokultural tersebut telah mengaburkan
identitas
diri sebagai hakekatnya manusia, baik dalam pengembangan pribadi individu dan relasi
sosial.
Hal ini searah dengan apa yang dijelaskan oleh David F. Wells yang melihat bahwa
generasi
muda lebih menemukan nlai-nilai mereka ditempat-tempat hiburan, teman sebaya, film
dan
fantasi tayangan video yang menghias secara acak dunia batin, sehingga menjadi
pribadi yang
tidak lagi menemukan kebenaran obyektif untuk menentukan bagaimana kehidupan
seharusnya

dijalani. Dalam kondisi dan situasi inilah kehadiran pendidikan Kristen dituntut

menampilkan
suatu pembeda dengan pendidikan pada umumnya. Secara hakiki pendidikan Kristen
memiliki
mandat untuk membawa para peserta didik mengenal kasih Kristus yang menjadi
perpanjangan
tangan Tuhan untuk memberitakan kasih Tuhan dan membawa peserta didik dalam
pengenalan
akan Tuhan sehingga mengalami pembaharuan identitas diri sebagai gambar Allah.
Pendidikan
Kristen dalam kebenaran injil yang akan menata kembali kepribadian dan karakter
sebagai
131
human being. Pendidikan Kristen menolong untuk seseorang mengalami pemulihan
identitas
diri, sehingga dapat membangun relasi dan kehidupan dengan sesama. Menyadari
dirinya
sebagai gambar Allah, ciptaan Allah dengan segala keunikan atributnya. Ini akan
menolong
seseorang untuk memiliki karakter yang ditransformasi dalam karya salib Kristus.
Dengan
identitas yang dipulihkan, maka seseorang akan sadar dan tahu apa yang akan menjadi
respon
terhadap permasalahan yang semakin bertumbuh subur.
Dengan memahami identitas sebagai “gambar” Allah, ini menjadi keyakinan esensial
yang akan menolong untuk menyikapi perkembangan zaman, sehingga tantangan yang
semakin
pelik dan canggih tetap memiliki kebutuhan yang sama tentang keyakinan esensial.
Disinilah
signifikansi peran pendidikan kristen yang bercorak profetik, yaitu membawa berita injil
pertobatan. Karena itu Injil harus menjadi dasar membangun seluruh konsep
pendidikan,
supaya rahasia agung Injil dapat ditemukan peserta didik dalam seluruh proses
pembelajaran.
Dengan pemulihan identitas diri, maka worldview peserta didik perlu dibangun kerangka
pikir yang membentuk pemahaman tentang manusia seutuhnya. Sehingga dapat
mengenal
dirinya sendiri dengan berbagai potensi yang telah Tuhan karuniakan, mengenal
sumber
kehidupan, dari mana dan untuk apa kehidupan? Dengan demikian peserta didik
menemukan
makna kehidupan dan mengetahui posisinya untuk dapat memberdayakan segala
potensi yang
telah Tuhan berikan. Hal ini merupakan fondasi untuk membangun identitas diri yang
tangguh
dalam diri seorang peserta didik supaya memiliki kematangan kepribadian dan karakter,
sehingga mampu menyikapi secara bijak semua perkembangan tantangan teknologi di
era saat
ini. Untuk itulah pendidikan Kristen memiliki fungsi yang menjadi tempat pengasuhan
“bayi-
bayi” yang kelak menjadi duta untuk menyuarakan mandat profetik dalam segala aspek
kehidupan dengan segala potensi, keahlian dan berbagai aspek yang telah ditanamkan
oleh
pendidikan Kristen.
Dalam fungsi pengasuhan tersebut, artinya pendidikan holistik dan integratif merupakan
model yang diterapkan. Tentunya ini akan menjadi tantangan tersendiri dalam
menyikapi
model pembelajaran jarak jauh (online learning) yang sudah banyak diterapkan di
negara maju
sebagai respon atas model pembelajaran heutagogi di era revolusi industri 4.0 ini.
Dimana
model pembelajaran ini lebih mengedepankan pada keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran
mandiri dan bergelut dengan teks-teks melalui sumber pembelajaran online. Karena itu
Starke
mengusulkan pentinya kebutuhan sokongan pribadi yang mensupport dan mentor di
lokal,
untuk dapat menyediakan fondasi yang kuat bagi goal vokasi. Hal ini tidak mungkin
tercapai
jika dalam proses pembelajaran peserta didik tidak terlibat dalam pementoran untuk
pemecahan
masalah, dunia nyata.
132
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi pendidikan Kristen khususnya
perguruan tinggi yang melaksanakan pembelajaran jarak jauh, untuk tetap
mempertahankan
model pendidikan dan pembinaan yang holistik dan integratif, untuk menyediakan
instrument
pembelajaran yang memenuhi hal tersebut, baik dalam proses pembelajaran hingga
assessment.
Mengingat hal ini merupakan alternatif yang sudah dipertimbangkan dan dilakukan,
namun
membutuhkan kajian mendalam supaya proses pembelajaran mampu membawa
peserta didik
untuk memiliki kekuatan identitas diri, mengalami transformasi dan bukan sekedar
pencarian
gelar akademik semata.
Secara mendasar didalam konsep mandat profetik kita telah menemukan bagaimana
pendidikan Kristen memiliki panggilan untuk menyuarakan kebenaran. Tentunya cara
menyerukan kebenaran dalam konteks pendidikan bisa jadi sedikit berbeda bentuk
dengan
mandat profetik dalam bentuk pelayanan lainnya. Jika didalam fondasi kenabian, para
nabi
menyuarakan keadilan dan kebenaran dalam dimensi sosial politik pada masa itu lalu
bagaimana relevansinya untuk masa kini? Terlebih lagi di era ini, lebih menekankan
pada
pembelajaran dengan model atau pendekatan heutagogi, yang menempatkan peserta
didik
sebagai pusat pembelajaran ditambah lagi dengan pengetahuan yang sudah digali
informasinya
oleh peserta didik dan dapat memperoleh data pembelajaran diluar kelas.
Keaktifan peserta didik merupakan karakteristik dari model pembelajaran saat ini, hal ini
dimungkinkan karena peserta didik telah memiliki banyak sumber pembelajaran yang
dapat
diperoleh dengan mudah melalui sumber data online. Pemikiran di atas meletakkan
dasar yang
relatif abstrak untuk melihat mandat profetik didalamnya, namun prinsip keterlibatan
aktif
(engaged learning) dengan keempat dimensinya menjadi pendekatan yang menjawab
di
konteks era ini. Mandat profetik dalam pendidikan Kristen yang secara jelas
menyatakan untuk
menyuarakan kebenaran, tentunya tidak cukup hanya menjadikan slogan untuk
berpusat pada
Injil Kristus sebagai kebenaran Allah, namun slogan tersebut juga harus membawa
keterlibatan
aktif pembelajar atas permasalahan yang terjadi dalam masyarakat untuk menunaikan
mandat
profetik dalam pendidikan Kristen, sehingga pembelajar sungguh-sungguh menyatu
dengan
kehidupan dan permasalahan dunia sesungguhnya. Menindaklanjuti pemikiran diatas,
dalam
bagian ini ingin melihat refleksi dan tindakan terhadap komitmen iman dalam konteks
pendidikan tinggi Kristen. Dalam hal ini, Merril Ewert mengkategorikan ada empat
model
pendidikan Kristen, yaitu: Minimalist, Cloister, Activist, Engaged.
✓ Pertama, Minimalist dikategorikan sebagai institusi pendidikan Kristen yang rendah
dalam
refleksi dan rendah untuk bertindak. Dalam kategori ini, pendidikan Kristen berdalih
memelihara keberadaan kekristenannya tetapi gagal untuk mengikutsertakan peserta
didik
dalam menguji komitmen inti iman mereka.
133
✓ Kedua, Cloister mengutamakan pada refleksi. Mindset ini memfokuskan energi
mereka
untuk mempersiapkan peserta didik untuk masa depan melalui refleksi alkitabiah dan
teologis. Memfokuskan perhatian terutama kepada keyakinan yang benar, selebrasi
nilai-
nilai inti, memelihara keagamaan dan identitas budaya, tetapi diskoneksi dari konteks
sosial-kultural. Intitusi demikian menolong peserta didik untuk menguji nilai-nilai inti,
worldview dan merayakan fondasi kultural institusi (denominasi). Namun mereka sedikit
sekali memperdulikan sebuah perjumpaan kesatuan untuk menjangkau yang lain atau
melayani.
✓ Ketiga, Activist, kategori ini sangat aktif dalam tindakan pelayanan menjangkau
masyarakat tetapi rendah dalam refleksi, untuk meluangkan waktu menguji keyakinan
dan
nilai-nilai kekristenan dan komitmen yang sebenarnya menjadi dasar pelayanan.
Berpikir
kritis dan refleksi pemikiran bukan menjadi karakteristik intitusi dalam kategori ini.
✓ Keempat, Engaged “Person”, intitusi yang menguji keyakinan dasar dan komitmen
iman,
dan kemudian dengan penuh tujuan melakukan pelayanan dan penjangkauan sebagai
keunikan pemikiran Kristen. Peserta didik belajar untuk berpikir dalam kerangka
kekristenan dan juga diikutsertakan mentor pengajar dalam penyelesaian masalah di
masyarakat (Kadarmanto 2018).
Berikut ini adalah link video yang memuat informasi yang berkaitan dengan isu
perkembangan
teknologi di era revolusi industry 4.0 yang terjadi Indonesia saat ini. Ketika menonton
video
ini, Anda diharapkan mampu membuat konstruksi pemahaman dan melakukan diskusi
sesuai
dengan relevansi teori yang dipelajari.
https://youtu.be/L8YKHH0Jtr8
134
Tugas Selamat, Anda telah menyelesaikan Kegiatan Belajar 4 tentang Gereja dan

Tantangan
Millenium. Agar Anda dapat lebih memahami materi yang terdapat pada Kegiatan
Belajar 4,
kerjakan tugas-tugas berikut.
1. Buatlah info grafik mengenai perkembangan dan kemajuan di era millenium
2. Bandingkan dan diskusikan paradigma pendidikan sebelum era millenium ke-3 dan
paradigma pendidikan di era disrupsi dewasa ini.
3. Diskusikan mengenai tantangan-tantangan dan harapan-harapan yang menjadi
pergumulan
gereja di era millenium.
4. Diskusikan strategi yang ditempu lembaga-lembaga pendidikan Kristen menghadapi
persaingan ketat di era millenium.

Anda mungkin juga menyukai