Anda di halaman 1dari 23

KEGIATAN BELAJAR 1

GEREJA DAN TANTANGAN


MILLENIUM

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan
perspektif Alkitabiah yang menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan, dan
mendorong partisipasi dengan berkategori advance materials secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana”
(penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.

Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menelaah perkembangan dan kemajuan di era millennium
2. Menganalisis paradigma pendidikan di era disrupsi
3. Menganalisis tantangan dan harapan gereja di era millenium
4. Menelaah pendidikan Kristen sebagai strategi menghadapi era milenium

Pokok-Pokok Materi

1. Perkembangan dan kemajuan di era millennium


2. Paradigma pendidikan di era disrupsi
3. Tantangan dan harapan gereja di era millenium
4. Pendidikan Kristen sebagai strategi menghadapi era milenium

Urain Matero

1. Perkembangan dan Kemajuan di Era Milenium


a. Era Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri menjadi satu momen sejarah yang memutar-balik
kehidupan manusia baik dalam sosial, ekonomi dan budaya. Revolusi industri
pertama kali terjadi di abad 17-18 dimana dimulainya dengan penemuan mesin
uap, yang kemudian hal ini mempengaruhi dalam bidang pertanian,

1
pertambangan dan transportasi. Penggunaan mesin dalam manufaktur telah
menggantikan tenaga hewan dan manusia yang selama ini menjadi sumber alat
atau tenaga kerja dalam produksi, sehingga memberikan dampak signifikan
dalam pendapatan masyarakat yang kemudian sangat berdampak atas aspek
ekonomi, sosial, dan budaya. Revolusi industri kedua, dimulai di awal abad 19
yang ditandai dengan produksi massal dan penemuan serta penggunaan listrik,
yang juga kemudian disertai penemuan dan pengembangan pesawat, mobil, dan
jaringan telepon. Setelah itu, sekitar tahun 1960an, revolusi industri ketiga
dimulai yang sering disebut sebagai revolusi komputer atau digital, hingga
penggunaan internet. Dari perkembangan ketiga revolusi industri yang memiliki
karakteristik masing-masing, maka saat ini dunia telah masuk dalam revolusi
industri keempat.
Istilah “Revolusi Industri 4.0” bermula dari ungkapan seorang ekonom
Jerman, Klaus Schwab. Dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial
Revolution. Dalam IR 4.0 kita dapat menemukan dengan mudah perkembangan
teknologi yang luar biasa yang ditandai dengan artificial intelligence, Internet of
Things (IoT) dan hyperconnectivity. Dalam masa ini, penggunaan robot semakin
meluas untuk melengkapi kebutuhan hidup manusia, baik dalam pekerjaan,
bisnis bahkan sampai urusan seks, misalnya robot seks yang merupakan produk
artifisial intelegence yang akan di produksi massal oleh China. Di Indonesia
sendiri sudah sangat familiar dengan bisnis online, baik dalam jual beli, promosi,
transportasi, perbankan dan beragam fasilitas lainnya, semua sistem teknologi ini
menggunakan koneksi data yang sangat canggih (Kadarmanto 2018).
Revolusi Industri adalah perubahan besar, secara cepat, dan radikal yang
mempengaruhi kehidupan corak manusia sering disebut revolusi. Istilah revolusi
biasanya digunakan dalam melihat perubahan politik atau sistem pemerintahan.
Namun, Revolusi Industri di Inggris pada hakikatnya adalah perubahan dalam
cara pembuatan barang-barang yang semula dikerjakan dengan tangan (tenaga
manusia) kemudian digantikan dengan tenaga mesin. Dengan demikian, barang-
barang dapat dihasilkan dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif

2
singkat. Industri 4.0 adalah nama trend otomasi dan pertukaran data terkini
dalam teknologi pabrik. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk
segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif. Industri 4.0 menghasilkan
"pabrik cerdas".
Di dalam pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi
proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat
keputusan yang tidak terpusat. Lewat Internet untuk segala (IoT), sistem siber-
fisik berkomunikasi dan bekerja sama dengan satu sama lain dan manusia secara
bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan internal dan lintas organisasi
disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai. Revolusi
Industri 4.0 akan memberikan tantangan dan peluang yang sangat besar bagi
pembangunan sebuah bangsa. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk
terbesar ke - 4 di dunia, akan menghadapi tantangan yang lain yaitu apa yang
dinamakan bonus demografi.
Bonus demografi merupakan kondisi di mana populasi usia produktif lebih
banyak dari usia nonproduktif. Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami
puncak bonus demografi pada 2030 mendatang. Oleh karena usia produktif
(umur 16-64) sebanyak 70 % penduduk Indonesia tentu akan memberikan
tantangan kepada banyak pihak, pemerintah dan masyarakat, untuk mengelola
dengan benar semua potensi tersebut. Kondisi yang demikian, adanya revolusi
Industri 4.0 dan bonus demografi, memiliki banyak keuntungan bagi bangsa dan
negara, namun juga tantangan yang tidak sedikit. Era Industri 4.0 akan terus
menghadirkan banyak perubahan yang tak bisa dibendung. Karena itu, ada
urgensinya jika negara perlu berupaya maksimal dan lebih gencar memberi
pemahaman kepada semua elemen masyarakat tentang hakikat era Industri 4.0
dengan segala konsekuensi logisnya. Langkah ini penting karena belum banyak
yang berminat memahami Industri 4.0. Sementara jumlah masyarakat yang
melek teknologi begitu besar dan akan melakoni beberapa perubahan itu, tetapi
kepedulian pada tantangan di era digitalisasi dan otomasi sekarang ini pun
terbilang minim (Budiono 2018).

3
b. Era Disrupsi
Dewasa ini zaman sudah semakin berkembang, zaman dimana daya saing
serta tantangan menjadi lebih lebih tinggi dari sebelumnya. Era ini disebut juga
dengan era disrupsi. Menurut KBBI disrupsi adalah hal yang tercabut dari
akarnya. Apabila diartikan dalam bahasa sehari-hari maka dapat berarti
perubahan yang mendasar atau fundamental. Era disrupsi ini merupakan
fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya
dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berkembang pada
perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi gadget / daring adalah
salah satu dampaknya yang paling populer di Indonesia.
Era disrupsi dijadikan hambatan dan keuntungan bagi para pelaku bisnis
yang ada di Indonesia. Karena era disrupsi juga dijadikan sebagai era digitalisasi,
dimana seluruh aktifitas /kegiatan menggunakan daring atau media internet.
Hal ini menjadikan para pelaku bisnis market leader harus pintar mencari celah
atau solusi bagaimana cara menjadikan era disrupsi ini sebagai keuntungan bagi
mereka. Hal yang terjadi dalam era disrupsi:
 Penghematan biaya bisnis secara fisik karena bisnisnya dilakukan pada
dunia maya dan menjadi lebih simple
 Menjadikan kualitas produk dari bisnis tertentu menjadi lebih baik dengan
perkembangan yang pesat
 Era disrupsi menciptakan pasar baru sehingga bisnis yang selama ini
tertutup dapat terbuka kembali
 Produk atau layanan pada era disrupsi lebih mudah di akses dan dipilih
seperti online shop dimana kita hanya membuka took melalui didunia maya
lalu memesan serta mengaksesnya dari internet
 Era disrupsi membuat segala hal sekarang menjadi serba smart. Lebih pintar,
lebih menghemat waktu dan lebih akurat.
c. Strategi Beradaptasi di Era Disrupsi
Berikut cara kita beradaptasi dengan era disrupsi karena disrupsi itu
merupakan suatu perubahan dalam lingkungan bisnis, dan tentunya adaptasilah

4
yang dapat menjadi solusinya. Berikut adalah cara yang dapat dilakukan oleh
bisnis dalam menghadapi era disrupsi ini agar bisnis tidak kehilangan
pelanggannya atau bahkan gulung tikar.
 Memantau perubahan trend dalam bisnis = hal ini harus dilakukan untuk
melihat inovasi apa saja yang dibuat pesaing lain agar bisnis kita tidak
tertinggal dan mati. Contoh, suatu perusahaan telfon genggam, mereka
berfikir bahwa perusahaan mereka telah diatas angina. Nyatanya, para
pesaingnya telah membuat teknologi yang lebih canggih, dan perusahaan
tersebut mengalami penurunan kualitas yang jauh. Informasi dari
Memantau perubahan trend dapat digunakan untuk melakukan adaptasi
dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi dapat diminimalisir, atau bahkan
bisa jadi agent of disruption, yaitu pelaku bisnis yang menjadi pemain dalam
disrupsi.
 Riset = agar memantau perubahan trend yang dilakukan hasilnya dapat
lebih meyakinkan, maka harus dilakukan dengan riset. Karena dengan riset
informasi yang didapat dapat dipertanggungjawabkan mengenai kesahihan
dan keabsahannya, karena dilakukan secara ilmiah. Oleh karena itu bisnis di
era ini harus memiliki fungsi riset, yang biasa dinamakan R&D (research &
development).
 Pengelolaan terhadap resiko = lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya
akan menjadi pemicu dari resiko bisnis. Oleh karena itu, bisnis harus selalu
dapat mengelola disrupsi sebagai suatu pencegahan dalam resiko, dan bisa
dikatakan bahwa disrupsi itu harus dikelola dengan baik agar bisa dijadikan
peluang bisnis.
 Inovasi = pelaku bisnis tentu harus terus menerus berinovasi karena era
disrupsi dapat berubah dengan sangat cepat sehingga pelaku bisnis tidak
boleh melakukan penundaan inovasi dan terus berfikir maju agar bisnis nya
dapat terus berkembang
 Partnership = era disrupsi pada masa ini membuat bisnis sulit untuk
bertempur sendiri karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses

5
bisnis sudah terinklusi. Oleh karena itu solusinya adalah dengan melakukan
kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai dari sisi input sampai output
dalam supply chain agar bisnis menjadi lebih efektif dan efisien. Dan
membuat perusahaan memiliki hubungan baik dengan pihak lain untuk
terus berkembang dan berinovasi tinggi.1
d. Generasi Era Millenial
Generasi Millenium adalah istilah yang disematkan kepada anak-anak yang
lahir di abad ke XX atau diera awal tahun 2000-an ke atas. Mengapa disebut
generasi millenium? Karena abad XX (20) dikenal dengan kemajuan zaman yang
sangat pesat dimulai dari perkembangan teknologi yang sudah amat maju
ketimbang tahun 1900. Di abad XX sudah tidak dielakan lagi perkembangan
teknologi informasi maupun komunikasi mempengaruhi secara keseluruhan
sendi-sendi kehidupan. Tidak ada lagi batasan geografis, tidak ada lagi batasan
wilayah (teritorial) antar negara, apa yang dikatakan sebagai dunia ini tidak
selebar daun kelor benar adanya jika ditinjau dari kemajuan yang dapat
dirasakan di abad XX.
Sekarang generasi millenium sudah dimanjakan dengan kemajuan informasi
dan komunikasi ditambah dengan kemajuan pembangunan yang digerakkan
hampir di seluruh daerah-daerah di Indonesia. Mereka generasi millenium akan
dimudahkan dengan pembangunan yang masif dari segi fasilitas, infrastruktur
hingga pendidikan dan tentunya kesehatan. Jadi tidak ada alasan lagi mereka
yang lahir di era millenium tidak dapat mengembangkan segala potensi dan
sumber daya yang ada yang mereka miliki yang pemerintah sediakan.
Perkembangan teknologi & informasi membuat perbedaan yang amat mendasar
dipandang dari segi kemudahan dalam mendapatkan akses ilmu pengetahuan
hingga ke sudut lain dari dunia ini.2
Generasi millenial adalah generasi yang lahir dari tahun 1981 hingga 1994
(bahkan ada yang mengatakan sebelum tahun 2000). Mereka ini adalah orang-

1 https://www.kompasiana.com/
2 https://fachriadha55.blogspot.com

6
orang di usia produktif dan konsumen yang dominan saat ini. Jumlah generasi
millenial di dunia kerja mencapai 50 persen dan diperkirakan tahun 2030,
generasi ini akan menguasai 75 persen lapangan kerja global. Di Indonesia
sendiri, generasi ini mencapai 34.45 persen populasi. Bisa dikatakan generasi Y
adalah generasi yang tidak bisa lepas dari teknologi. Sementara dibanding
generasi sebelumnya (generasi X, yang lahir antara tahun 1965-1980),
penggunaan teknologi masih belum meluas karena generasi X lahir di awal-awal
orang kenal PC, cable TV, disket, MTV mulai booming di jaman itu.3

e. Ciri-Ciri Generasi Millenial4


Generasi millenial tentu memiliki ciri yang berbeda dari generasi
sebelumnya. Berikut ciri-ciri generasi millenial :
1) Generasi millenial lebih suka pemimpin yang memberi teladan; banyak
otoritas dan tidak transparan dalam perusahaan bikin para millennial tidak
betah bekerja. Mereka lebih memerlukan pemimpin sebagai mentor,
dibanding sebagai atasan yang otoriter.
2) Generasi millenial tidak peduli hierarki dalam bekerja; hierarki bagi
millennial hanya sekadar formalitas yang diperlukan untuk keabsahan
sebuah perusahaan. Dalam bekerja, mereka lebih menyukai kolaborasi tanpa
perlu segan saat bekerja atau bertukar pikiran dengan leader, manager level,
atau pekerja senior.
3) Generasi millennial dan tantangan; jangan berikan karyawan millenial
pekerjaan rutin yang itu-itu saja dalam jangka waktu yang lama. Sifatnya
yang mudah bosan justru menjadi poin positif saat kita melihatnya sebagai
generasi penyuka tantangan. Memberikan tantangan kerja, beasiswa, atau
workshop singkat di luar negeri akan menjadi pertimbangan menarik untuk
mereka bertahan di perusahaan.
4) Generasi millennial suka bekerja keras dan berpikiran positif; berdasarkan
penelitian yang dibahas di World Economic Forum 2017, 43% dari mereka

3 http://www.astaga.com/news/
4 https://www.dbs.com

7
yang disebut pekerja keras adalah generasi millennial, sedangkan 57%
lainnya adalah Generasi X. Sebanyak 70%-nya optimis terhadap masa
depannya.
5) Generasi millennial dan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan;
generasi Millennial akan membangun suasana kerja yang nyaman karena itu
membuat mereka lebih semangat bekerja. Selain itu, fasilitas kantor yang
menyenangkan akan membuat mereka bekerja lebih produktif.

2. Paradigma Pendidikan di Era Disrupsi


Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di
mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear.
Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan
lama untuk menciptakan tatanan baru. Disrupsi menginisiasi lahirnya model
bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya
luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga
pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Tidak
diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi sistem
pendidikan.
Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu menjawab kebutuhan
pendidikan pada masa depan. Misalkan kurikulum dan assessment, sistemnya
masih berorientasi penguasaan materi akibatnya pengajaran guru lebih
berorientasi pada peningkatan nilai akademis siswa. Orientasinya bukan pada
aspek karakter atau kompetensi yang dibutuhkan di abad ke-21, seperti berpikir
kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga pemecahan masalah. Karena
itu, perombakan kebijakannya harus komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
Di hulu, paradigma pendidikannya harus digeser dari pendidikan yang
menstandardisasi ke pendidikan berbasis keunikan individu. Paradigma yang
baru ini tidak menuntut capaian belajar yang diseragamkan, tetapi diberi ruang
untuk tumbuh secara berbeda. Sedangkan di hilir, guru dikembangkan untuk
lebih melek teknologi digital serta memiliki ketrampilan mengajar 'metakognisi',

8
yakni mengajarkan siswa bagaimana cara belajar yang benar agar dapat menjadi
pembelajar mandiri pada era persaingan yang kompetitif.
Sistem pengajaran saat ini tidak dirancang untuk menjalankan enam
tingkatan kecerdasan metakognisi itu. Pembelajaran metakognisi mensyaratkan
ekosistem belajar positif yang mampu memfasilitasi siswa mengenali dirinya
sendiri serta mampu mengelola perilaku dan karakter diri. Untuk itu, peran guru
lebih untuk membimbing siswa mengembangkan bakat atau potensi yang
dimiliki. Perubahan mendasar pada peran tersebut menuntut sistem
perencanaan guru yang baru agar mutu dan profesionalitas guru sesuai tuntutan
pendidikan ke depan. Kinerja guru bukan semestinya hanya diukur pada uji
kompetensi guru yang lebih bersifat teoritis dan administratif, melainkan
kemampuannya untuk menghadirkan ekosistem pendidikan yang
memanusiakan dan memerdekakan.
Pendidikan menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa, karena bangsa yang
maju dipastikan maju pula bidang pendidikan bangsanya. Era modern yang
terkenal dengan era digital, global dan instan ini, di butuhkan dasar keimanan
yang kuat pada pribadi-pribadi anak-anak bangsa. Agar mereka tidak mudah
tergoda, tertipu, terbawa arus, hingga tergerus oleh hal-hal yang negatif dan
menjadi budaknya hawa nafsu mereka belaka. Untuk menghadapi tantangan
dan sekaligus peluang ke depan, maka pendidikan keimanan di tanamkan pada
pendidikan pertama madrasah kubra dan pendidikan keluarga harus kuat.
Keimanan itu ibarat suatu pohon akarnya menancap ke dalam bumi, ia tidak
mudah tumbang oleh angin, banjir, bahkan longsor, tetap kokoh berdiri.
Sedangkan batang dan cabangnya menjulang tinggi ke langit, bagaimana
keluarga menjadi contoh dalam pendidikan bersosialisasi, persahabatan, cinta
ilmu pengetahuan dan mencintai sesama mahluk. Di luar keluarga (lembaga
pendidikan), ia mendapatkan bahwa sekolah adalah sebagai organisasi kerja
ilmu pengetahuan, apapun yang ada di sekolah adalah merupakan rangkaian
pendidikan mendapatkan ilmu pengetahuan. Di sekolah juga ia merasakan
seperti keluarga besar seperti yang ia rasakan dalam keluarganya sendiri.

9
Kadang sekolahpun menjadi seperti tempat berobat bagi para peserta didik
yang sedang bermasalah, dokter yang dapat membaca dan menganalisa penyakit
pasiennya benar, akan memberikan obat cocok dan tidak pernah kambuh lagi.
Semuanya di terapkan dengan peraturan kedisiplinan seperti perusahaan atau
bahkan seperti sebuah perusahaan uang mewajibkan karyawannya masuk tepat
waktu, mengerjakan tugas dengan baik agar mendapatkan reward yang baik
pula. Dari pendidikan seperti di atas yang dibutuhkan abad ini, maka produk
pendidikannya adalah:
 Visioner, yaitu mampu membangun visi bagi Negara dan bangsa, lembaga
atau di mana saja ia berada dalam pekerjaan apa saja.
 Mampu menjadi pelayan yang baik dalan jabatan apapun, menjadi mentor,
pelatih, instruktur, dan memiliki rasa saling memiliki saling ketergantungan
satu dengan yang lainnya.
 Dalam satu waktu dapat mengkoordinasikan banyak hal, tentu dapat bekerja
sama dengan yang lain atau bawahannya.
 Berani mengambil resiko dalam pekerjaan yang dilakukannya.
 Tentu akan menjadi pemikir sistem, baik dari kejadian, isu maupun data yang
ada, dan tentu akan menjadi agen suatu perubahan.
Dari kelima hal di atas bahwa pendidikan untuk menghadapi masa depan,
agar anak-anak bangsa mereka nanti dapat hidup pada zamannya di masa
depan. Menjadi manusia baru, paripurna, berpikir global, bijak dan bajik, cinta
tanah air dan bangsanya, karena itu merupakan ciri keimanan seseorang.
Sesungguhnya pendidikan dalam belajar adalah bagaimana membelajarkan
anak, mereka dapat belajar dengan tenang dan berpikir dengan bebas. Kemudian
ia akan dapat melakukan sesuatu dari ilmu yang telah di dapatnya, maka ia tidak
akan meniru orang lain karena pada hakikatnya manusia di dunia ini tidak ada
yang sama satu sama lain, ia akan menjadi diri sendiri. Selanjutnya ia akan dapat

10
belajar untuk bidang apa saja yang ditekuninya, dan dapat hidup bersama dalam
satu komunitas atau kelompok.5

3. Tantangan dan Harapan Gereja di Era Millenium


Globalisasi juga dapat menembus "dinding-dinding Gereja", yang berupa
dinding-dinding denominasi dan bahkan dinding-dinding umat. Maksudnya
adalah bahwa globalisasi memungkinkan penyebaran modernisasi yang
menembusi kehidupan Gereja tanpa dapat dicegah atau dibendung. Misalnya
budaya modern dengan mudah telah merasuki rumah-rumah para anggota
Gereja melalui teknologi satelit. Benar bahwa budaya modern juga membawa
dampak positif, namun tidak jarang pula membawa dampak negatifnya. Dalam
menghadapi budaya modern ini Gereja seyogianya tidak tinggal diam, tetapi
harus menghadapinya secara aktif. Menghadapi secara aktif mempunyai makna
bahwa Gereja secara aktif memanfaatkan hal-hal yang positif yang dibawa oleh
globalisasi, tetapi sebaliknya secara aktif pula menghindari hal-hal yang
negatifnya.
Kehidupan semacam itulah yang antara lain mendorong Gereja-gereja belajar
untuk tidak menekankan misalnya perbedaan kesukuan dan denominasinya. Hal
ini selaras dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan ekumenis di
antara Gereja-gereja sedunia, dengan salah satu cirinya yaitu mulai
menanggalkan pemikiran absolutisme (dalam hal ini pemikiran yang
memutlakkan dirinya sebagai Gereja yang paling benar) dan pemikiran
thriompalismenya (dalam hal ini pemikiran yang menyatakan bahwa dirinya
satu-satunya yang merupakan "sorga di bumi"). Kenyataan sedemikian sangat
diperlukan untuk upaya penegakan perdamaian di atas bumi ini. Di samping
menjawab secara aktif tantangan di atas, Gereja-gereja di Indonesia juga harus
menjawab secara sama tantangan-tantangan lain yang diangkat ke permukaan
oleh proses globalisasi. Tantangan-tantangan dimaksud berupa masalah-masalah
sebagai berikut.

5 https://www.kompasiana.com/

11
a) Masalah aktual di era globalisasi - masalah yang menyangkut pekabaran Injil;
khususnya yang menyangkut keselamatan utuh manusia, dan masalah yang
menyangkut politik pula; khususnya yang menyangkut kebebasan manusia -
adalah masalah penegakan hak-hak asasi manusia. Itu berarti bahwa Gereja-
gereja wajib mengaktualisasikan jawabannya itu dalam pemikiran dan
tindakan yang mengarah kepada penegakan hak-hak asasi manusia.
b) Masalah aktual lainnya di era yang sama yang harus dijawab secara aktif oleh
Gereja-gereja adalah masalah penegakan demokrasi dan pengoperasian
kekuasaan secara adil dan bijak. Dengan demikian, kepedulian Gereja-gereja
terhadap penegakan demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara adil dan
bijak harus ditingkatkan dan diaktualisasikan, terutama melalui pernyataan-
pernyataan dan tindakan-tindakan nabiahnya terhadap para pemegang
kekuasaan.
c) Masalah yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan manusia,
terutama yang berhubungan dengan penuntasan jurang jarak antara orang-
orang kaya dan orang-orang miskin. Hal itu pada hakikatnya merupakan
upaya Gereja-gereja untuk menjawab masalah tersebut, terutama untuk
menjawab kemiskinan yang hebat di negara-negara dunia ketiga di samping
hutang yang bertumpuk negara-negara dunia ketiga kepada negara-negara
dunia pertama.
d) Masalah yang menyangkut upaya pelestarian lingkungan kini telah menjadi
perhatian dan pergumulan serius bagi umat manusia. Adapun masalah yang
menyangkut upaya pelestarian lingkungan dapat mengambil bentuk
bermacam-macam, di antaranya adalah masalah makin menipisnya sumber-
sumber energi dari bumi, di samping masalah terganggunya lingkungan
hidup sebagai akibat merajalelanya pelbagai polusi.
e) Masalah berikutnya adalah masalah pengatasan dampak negatif dari
teknologi tinggi. Dampak negatif tersebut antara lain mengambil wujud
kekosongan batin manusia dan humanisasi, pengangguran dan jurang jarak
antara yang kaya dan yang miskin.

12
Jawaban terhadap tantangan-tantangan di atas bagi Gereja-gereja di
Indonesia pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari tanggung
jawabnya dalam mengaktuali-sasikan misinya terhadap umat manusia dan
sekaligus terhadap dunia. Untuk itulah maka Gereja-gereja di Indonesia di era
globalisasi tidak boleh menjadi kelompok-kelompok manusia yang eksklusif dan
yang mengisolasikan dirinya dari tantangan-tantangan yang muncul dari
globalisasi. Hal itu dapat dimengerti, sebab Gereja-gereja - bahkan seluruh umat
manusia - dituntut untuk tidak mempedulikan kepentingannya sendiri,
melainkan juga kepentingan pihak-pihak lain (baca pula: kelompok-kelompok
lain, bangsa-bangsa lain, dan bahkan generasi umat manusia masa datang).
Jikalau "amanat" seperti itu tidak dipenuhi, maka Gereja-gereja pada hakikatnya
mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke
dalam dunia; mengingkari misinya sendiri.
Jawaban Gereja-gereja di Indonesia atas tantangan-tantangan tersebut sudah
barang tentu diletakkan pada harapan Gereja-gereja sendiri, yaitu harapan pada
Allah yang senantiasa melakukan karya keselamatan-Nya pada masa lampau,
masa kini, dan masa depan itu. Karena itu, maka Gereja-gereja pada hakikatnya
mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke
dalam dunia, mengingkari misinya sendiri.
Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir, perlu dikemukakan bahwa ada
pula harapan Gereja-gereja yang berkaitan dengan (globalisasi dan) dampak
positif globalisasi itu sendiri. Untuk jelasnya dapatlah dikemukakan contoh
konkretnya. Seperti telah dimaklumi bahwa globalisasi membawa manusia
kepada sikap terbuka terhadap sesamanya dari latar belakang apapun. Dalam
kaitannya dengan hal ini Gereja-gereja mempunyai kedudukan yang kokoh.
Mengapa demikian halnya? Karena dalam hal ini Gereja-gereja dapat di potret
sebagai suatu kehidupan agamawi (religius) yang berpusat pada iman dan
penghayatan penyelamatan yang dikerjakan oleh Allah atas manusia. Kemudian,
pada gilirannya, penyelamatan tersebut menempatkan seluruh umat manusia di

13
bawah satu kategori yang sama dengan tiga kualifikasi. Ketiga kualifikasi yang
dimaksudkan itu adalah sebagai berikut.
a) Pertama, bahwa segenap manusia mempunyai kemuliaan (martabat) yang
sama, yang terletak di dalam hal bahwa (semua) manusia diciptakan menurut
gambar Allah. Kesegambaran dengan Allah itu sendiri pada hakikatnya
menyatakan bahwa secara eksistensial manusia terhubung dengan Allah,
yang karenanya manusia menjadi satu-satunya makhluk yang adalah partner
(mitra) eksistensial Allah.
b) Kedua, bahwa segenap manusia berada dalam kehinaan yang sama, dalam
arti bahwa segenap manusia berada di bawah kondisi dosa (baca pula: berada
dalam kondisi tidak selamat) dan bahwa manusia dengan kekuatannya
sendiri tidak mampu melepaskan diri dari kondisi dosa (baca pula:
menyelamatkan dirinya sendiri).
c) Ketiga, segenap manusia karena kemuliannya menjadi obyek kasih Allah.
Dengan wataknya yang demikian ini - yang secara esensial membedakan
dirinya dari kehidupan agamawi manapun juga - Gereja-gereja mempunyai
kiblat universal sebagai yang memang harus terjadi.
Dalam kaitannya dengan hal yang disebut terakhir, Gereja-gereja
sesungguhnya dapat memainkan peranan penting dalam mendorong
perkembangan mental manusia, khususnya mental manusia Indonesia, dalam
rangka memanfaatkan lajunya globalisasi, terutama dalam rangka upaya menuju
kepada masyarakat manusia yang global. Sudah barang tentu hal yang
dikemukakan terakhir wajib dilihat dalam perspektif umat Allah yang
mengalami proses pembaharuan total itu (Wahyu 21:1-8). Dalam hal ini, sekali
lagi, tampak bahwa harapan terjadinya masyarakat manusia yang global seperti
itu diletakkan pada kuasa Allah sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa Gereja-gereja
tidak boleh mengerahkan sumber daya dan sumber-sumber lainnya. Bahkan

14
Gereja-gereja harus mengelola semuanya itu bagi upayanya menjawab
tantangan-tantangan yang disebutkan di atas.6
Dengan memahami kondisi millenium ke-III sebagai millenium akhir zaman
yang ditandai sebagai masa yang sukar sulit maka dengan berpedoman kepada
kepemimpinan Yesus berikut ini akan dikemukakan bentuk atau corak
kepemimpinan yang diharapkan dapat menjawab tantangan kepemimpinan
gereja masa kini. Kepemimpinan yang mampu mempertahankan spiritualitas
sebagai kunci kepemimpinan Gereja di zaman modem ini. Setiap pemimpin
gereja harus mampu membuktikan dengan kata dan tindakan bahwa ia adalah
pemimpin rohani. Kepemimpinan yang mampu menjembatani dua kutub yang
berjauhan yaitu antara sorga dan dunia dengan prioritas yang seimbang tanpa
mengorbankan salah satu di antaranya.
Kepemimpinan yang bisa bertahan hidup (survive) di tengah-tengah dunia
yang mengglobal dengan daya persaingan yang ketat. Untuk itu dibutuhkan
pemimpin-pemimpin yang mempunyai nilai tambah sehingga masih dapat
dikategorikan sebagai pemimpin-pemimpin yang unggul. Kepemimpinan yang
mampu melihat dan menggunakan perbedaan-perbedaan persepsi bahkan
doktrin sebagai sarana untuk membina kerjasama yang lebih efektif.
Kepemimpinan yang sadar waktu sehingga tidak membuang-buang kesempatan
dengan sibuk mengurus hal-hal yang sepele dan mengabaikan kesempatan-
kesempatan emas yang ditawarkan. Kepemimpinan yang mampu memanfaatkan
IPTEK modem, sehingga tidak merupakan pemimpin yang ditinggalkan oleh
zamannya (Anggu 2005).
Zaman sekarang gereja berada dalam dunia yang mengalami perubahan yang
cepat dan masif. Perubahan terjadi begitu dinamis dan cepat dengan segala
masalah yang muncul. Jika situasi berubah, maka manusia yang hidup dalam
situasi juga terus mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini tentu saja
berdampak dalam seluruh segi kehidupan, termasuk pemahaman tentang

6 Yayasan Lembaga SABDA. Gereja di Indonesia Dalam Era Globalisas. Jurnal Pelita Zaman. Vol. 8 No.2
Tahun 1993. Sumber: https://alkitab.sabda.org/

15
Tuhan. Pemberita firman adalah salah satu orang yang mendapat mandat
memberikan pemahaman Tuhan dengan seluruh eksistensinya kepada umat.
Oleh karena itu dalam pemberitaan firman tidak boleh kalah dengan perubahan
yang terjadi bahkan harus memanfaatkan setiap perubahan yang terjadi.
Memanfaatkan perubahan yang terjadi bukan berarti sekedar mengikuti arus
dunia ini, namun bagaimana pemberita firman bisa membuat jemaat memiliki
kehidupan doa, antusiasme dan keberanian untuk hidup dalam terang Tuhan di
dunia yang terus berubah ini.
Trend otomasi ini akan semakin mencapai puncaknya di Indonesia pada
masa yang disebut bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun
2020-2030 nanti. Trend Revolusi Industri 4.0 bisa jadi akan memunculkan virtual
church, sedangkan bonus demografi yang akan dialami Indonesia akan menjadi
peluang dalam pemberitaan firman. Oleh karena itu gereja, dalam hal ini
pemberita firman, harus memanfaatkan setiap perubahan yang terjadi dan
menggunakan setiap peluang yang ada sehingga firman tersampaikan secara
kreatif namun tetap biblika untuk menumbuhkan kerohanian umat Tuhan.
Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar dalam sejarah dunia,
hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh Revolusi Industri,
khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan
rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya (Budiono
2018).
Simak video berikut sesuai Kegiatan Belajar 4 Tentang Gereja dan Tantangan
Millenium. Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=zu5oUqF5_x8

4. Pendidikan Kristen Sebagai Strategi Menghadapi Era Milenium


Di era milenium ini pada dasarnya membutuhkan manusia-manusia yang
unggul. Manusia yang unggul tersebut bukanlah manusia yang kuat
sebagaimana dalam hukum rimba dimana yang kuatlah yang menang. Namun,
manusia yang unggul tersebut adalah manusia yang dengan mental dan
intelektualnya dia bisa menyelesaikan segala problem hidup yang dimiliki, untuk

16
itu yang menjadi pertanyaan adalah seperti apakah sosok manusia di era
milineum tersebut? Menurut Attali, ketika memasuki era milenium ketiga,
mereka akan tersegmentasi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok
pemenang (the winners) dan kelompok pecundang (the losers).7
Maka adapun cara yang dapat dilakukan untuk menjadi seorang pemenang
di era millenium ini adalah menjadi seorang pembelajar. Pembelajar adalah
sosok manusia yang memiliki kesiapan dalam menghadapi era milenium sebab
ia mampu terus mengembangkan keahlian yang dimilikinya melalui sifat dan
sikapnya yang terdiri dari : (1) rasa ingin tahu yang begitu besar; (2) memiliki
optimisme yang tinggi; (3) memiliki keikhlasan dalam melakukan segala hal; (4)
konsisten dengan apa yang menjadi prinsip serta tujuan yang ingin ia capai; (5)
memiliki pandangan kedepan atau dalam hal ini berpandangan visoner; (6)
memiliki kecerdasan spiritual yang dengan ini ia mampu mengendalikan
berbagai macam ketimpangan dalam hidupnya; (7) memiliki kecerdasan
emosional yang dengan ini ia mampu menyemimbangkan berbagai elemen
dalam hidupnya; (8) kecerdasan intelektual yang dengan ini ia mampu berpikir
secara komprehensif tentang apa dan bagaimana melakukan sesuatu dalam
hidupnya.8
Itu sebabnya baik sekolah, gereja dan keluarga merupakan tri pusat lembaga/
institusi, berperan sebagai wadah untuk membangun, membina serta
mengembangkan softskill generasi milenial di era revolusi industri 4.0 yang
berbasis kepada nilai-nilai ajaran Kristus tentunya. Secara teknikal baik guru,
orang tua dan hamba Tuhan secara konsisten mampu menunjukkan figur
keteladan, sedangkan dalam hal komunikasi mampu membangun suatu
keakraban dan bukan ketakutan.Yang terpenting pula keyakinan para peserta
didik semakin meningkat, teguh dan tidak mudah patah semangat.
Sebab salah satu efek yang cukup menganggu dalam inovasi distruptif adalah
teknologi semakin menggantikan peran manusia sehingga dibutuhkan adanya

7 Dani Sudarwan. 2003. Menjadi Komunitas Pembelajar. Jakarta : Bumi Aksara


8 https://www.kompasiana.com/

17
penyesuaian-penyesuaian. Dan karena adanya penyesuaian maka akan membuat
setiap individu berpotensi mengalami krisis. Ini hanyalah sebuah contoh namun
sekaligus sebuah realitas yang sebenarnya ingin mengajak supaya Pendidikan
Karakter Kristen harus peka terhadap gejala perubahan-perubahan yang terjadi
di tengah-tengah sosial masyarakat.
Mandat profetik dalam Perjanjian Lama (PL) pada prinsipnya merupakan
fungsi jabatan para nabi yang telah dipilih dan di panggil oleh Allah, yang
pekerjaannya adalah menyampaikan perkataan (firman) Allah. Louis Berkhof
menjelaskan pengertian nabi dalam PL bahwa “nabi adalah seseorang yang
melihat banyak hal, yaitu orang yang mendapat wahyu, yang melayani Tuhan,
terutama sebagai seorang utusan, dan yang berbicara dalam nama-Nya.” Karena
statusnya sebagai jurubicara Allah, maka seseorang yang menjadi nabi bukan
atas dasar keinginan diri semata, namun hakekatnya adalah panggilan Allah.
Bahwa Allah memanggil dan memilih diantara umat-Nya, pribadi yang Allah
kehendaki untuk menjadi penyambung lidah Allah.
Di sini dapat dilihat bahwa panggilan ilahi adalah dasar seseorang menjadi
nabi Allah, karena memiliki tugas untuk memberitakan wahyu Allah Mandat
profetik dalam konteks umat Allah secara umum, “adalah menentang formalitas,
menekankan kewajiban-kewajiban moral, mendorong perlunya pelayanan
kerohanian, dan menyatakan perlunya kebenaran dalam hidup umat Allah.”
Dimana, mereka harus hidup menghadapi penyembah baal, raja yang berlaku
tidak adil dan menindas bangsa-Nya, raja yang tidak mengandalkan TUHAN.
Karena itulah, “Para nabi adalah pendidik sosial di zamannya. Mereka
memanggil umat Allah, para pemimpin, dan bangsa-bangsa lain untuk
mempertanggungjawabkan gaya hidup mereka”. Di dalam Perjanjian Baru,
Yesus Kristus adalah Nabi Agung, karena Sang Pemilik firman yang
menyampaikan firman itu sendiri, maka jabatan sebagai Nabi Agung itu adalah
milik Yesus Kristus. Dia adalah Nabi Agung dan final. Misi utama-Nya adalah
menyatakan Allah sendiri, dan Dia mengklaim bahwa di dalam pribadi dan
karya-Nya Allah sendiri hadir dan mendirikan kembali kerajaan-Nya di bumi.

18
Seorang nabi berbicara firman Allah hanya dibawah kendali Roh Kudus, dan
disisi lain dia adalah seorang yang telah jatuh, berdosa dan penuh kelemahan.
Tetapi Yesus yang adalah Tuhan, Firman yang telah menjadi daging, berbicara
didalam otoritas-Nya sendiri.
Ini juga memperjelas bahwa Yesus Kristus bukan lagi sebagai pembawa
pesan atau penyambung lidah Allah, karena Dia adalah Allah. Yesus Kristus
memberitakan akan akhir zaman dan keselamatan final yang Allah sediakan,
karena itu pemberitaan-Nya adalah memproklamasikan keselamatan eskatologis,
dimana kedatangan Kristus adalah penggenapan pengharapan Perjanjian Lama
dan klimaks dari pembaharuan jabatan kenabian. Dalam pelayanan-Nya, Ia
dengan lantang menyuarakan mandat profetik dalam menjungkirbalikkan
tatanan kemunafikan yang telah merusak para ahli Taurat dan Israel umat-Nya.
Karena itu ekspektasi Yesus Kristus kepada para murid-Nya agar memiliki
karakteristik yang kontras dengan para ahli Taurat.9
Di tengah gempuran perkembangan teknologi di era revolusi industri,
pendidikan Kristen memiliki mandat yang berfungsi sebagai “nabi” yaitu
menyuarakan kebenaran Allah sesuai dengan kapasitas dan bidang yang ada.
Kesetiaan kepada kebenaran Injil akan menempatkan pendidikan Kristen
memiliki karakteristik sebagai pendidikan profetik dimana Robert W. Pazmino
menjelaskan bahwa “pendidikan profetik menuntut para personil dan komunitas
iman untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya berdasarkan norma-
norma dan perintah yang alkitabiah sehingga dosa, ketidakadilan, dan
penindasan menjadi terlihat dengan jelas, juga kehidupan keluarga atau
komunitas akan cenderung di kritisi dari pada diafirmasi.
Ini menegaskan bagaimana pendidikan Kristen bertindak sebagai yang
mengasuh para reformator untuk menjadi pribadi-pribadi yang siap melakukan
reformasi atas berbagai aspek kehidupan. Pendidikan Kristen menjadi wadah
pembentukan bagi para “nabi”, yang memperlihatkan signifikansi dari
pendidikan Kristen sebagai locus dalam melahirkan dan mengasuh nara didik

9 Peran Pendidikan Karakter Kristen di Era Revolusi Industri 4.0 Sumber: https://www.skketapang.org/

19
sebagai reformator yang mampu menerangi dan menggarami seluruh aspek
kehidupan di dunia ini dengan menyuarakan suara kenabian (profetik).”
Dalam model pendidikan Kristen profetik, di sini menempatkan sekolah dan
lembaga pembelajaran memiliki peran untuk mempersiapkan orang-orang muda
yang memiliki Injil kebenaran sebagai fondasi kehidupan, dan menyadari tugas
pemberitaannya dalam masyarakat yaitu mandat profetik. Dalam
mempersiapkan, mendidik dan melatih orang muda menjadi pembawa berita
kebenaran Allah sehingga perlu menanamkan perspektif alkitabiah dalam
memandang segala sesuatu. Inilah yang dimaksud Smith dengan pemahaman
perspektif Kristen yang utuh, maka akan ada banyak orang muda yang bukan
hanya memiliki keterampilan dan pengetahuan namun juga memiliki worldview
Kristen sehingga dapat melihat setiap vokasi dari perspektif Kristen. Tentunya
hal ini merupakan perwujudan mandat profetik melalui pendidikan Kristen.
Dalam kondisi dan situasi inilah kehadiran pendidikan Kristen dituntut
menampilkan suatu pembeda dengan pendidikan pada umumnya. Secara hakiki
pendidikan Kristen memiliki mandat untuk membawa para peserta didik
mengenal kasih Kristus yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk
memberitakan kasih Tuhan dan membawa peserta didik dalam pengenalan akan
Tuhan sehingga mengalami pembaharuan identitas diri sebagai gambar Allah.
Pendidikan Kristen dalam kebenaran injil yang akan menata kembali
kepribadian dan karakter sebagai human being. Pendidikan Kristen menolong
untuk seseorang mengalami pemulihan identitas diri, sehingga dapat
membangun relasi dan kehidupan dengan sesama. Menyadari dirinya sebagai
gambar Allah, ciptaan Allah dengan segala keunikan atributnya. Ini akan
menolong seseorang untuk memiliki karakter yang ditransformasi dalam karya
salib Kristus. Dengan identitas yang dipulihkan, maka seseorang akan sadar dan
tahu apa yang akan menjadi respon terhadap permasalahan yang semakin
bertumbuh subur.
Dengan memahami identitas sebagai “gambar” Allah, ini menjadi keyakinan
esensial yang akan menolong untuk menyikapi perkembangan zaman, sehingga

20
tantangan yang semakin pelik dan canggih tetap memiliki kebutuhan yang sama
tentang keyakinan esensial. Disinilah signifikansi peran pendidikan kristen yang
bercorak profetik, yaitu membawa berita injil pertobatan. Karena itu Injil harus
menjadi dasar membangun seluruh konsep pendidikan, supaya rahasia agung
Injil dapat ditemukan peserta didik dalam seluruh proses pembelajaran.
Dengan pemulihan identitas diri, maka worldview peserta didik perlu
dibangun kerangka pikir yang membentuk pemahaman tentang manusia
seutuhnya. Sehingga dapat mengenal dirinya sendiri dengan berbagai potensi
yang telah Tuhan karuniakan, mengenal sumber kehidupan, dari mana dan
untuk apa kehidupan? Dengan demikian peserta didik menemukan makna
kehidupan dan mengetahui posisinya untuk dapat memberdayakan segala
potensi yang telah Tuhan berikan. Hal ini merupakan fondasi untuk membangun
identitas diri yang tangguh dalam diri seorang peserta didik supaya memiliki
kematangan kepribadian dan karakter, sehingga mampu menyikapi secara bijak
semua perkembangan tantangan teknologi di era saat ini. Untuk itulah
pendidikan Kristen memiliki fungsi yang menjadi tempat pengasuhan “bayi-
bayi” yang kelak menjadi duta untuk menyuarakan mandat profetik dalam
segala aspek kehidupan dengan segala potensi, keahlian dan berbagai aspek
yang telah ditanamkan oleh pendidikan Kristen.
Dalam fungsi pengasuhan tersebut, artinya pendidikan holistik dan integratif
merupakan model yang diterapkan. Tentunya ini akan menjadi tantangan
tersendiri dalam menyikapi model pembelajaran jarak jauh (online learning) yang
sudah banyak diterapkan di negara maju sebagai respon atas model
pembelajaran heutagogi di era revolusi industri 4.0 ini. Dimana model
pembelajaran ini lebih mengedepankan pada keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran mandiri dan bergelut dengan teks-teks melalui sumber
pembelajaran online. Karena itu Starke mengusulkan pentinya kebutuhan
sokongan pribadi yang mensupport dan mentor di lokal, untuk dapat
menyediakan fondasi yang kuat bagi goal vokasi. Hal ini tidak mungkin tercapai

21
jika dalam proses pembelajaran peserta didik tidak terlibat dalam pementoran
untuk pemecahan masalah, dunia nyata.
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi pendidikan Kristen
khususnya perguruan tinggi yang melaksanakan pembelajaran jarak jauh, untuk
tetap mempertahankan model pendidikan dan pembinaan yang holistik dan
integratif, untuk menyediakan instrument pembelajaran yang memenuhi hal
tersebut, baik dalam proses pembelajaran hingga assessment. Mengingat hal ini
merupakan alternatif yang sudah dipertimbangkan dan dilakukan, namun
membutuhkan kajian mendalam supaya proses pembelajaran mampu membawa
peserta didik untuk memiliki kekuatan identitas diri, mengalami transformasi
dan bukan sekedar pencarian gelar akademik semata.
Secara mendasar didalam konsep mandat profetik kita telah menemukan
bagaimana pendidikan Kristen memiliki panggilan untuk menyuarakan
kebenaran. Tentunya cara menyerukan kebenaran dalam konteks pendidikan
bisa jadi sedikit berbeda bentuk dengan mandat profetik dalam bentuk
pelayanan lainnya. Jika didalam fondasi kenabian, para nabi menyuarakan
keadilan dan kebenaran dalam dimensi sosial politik pada masa itu lalu
bagaimana relevansinya untuk masa kini? Terlebih lagi di era ini, lebih
menekankan pada pembelajaran dengan model atau pendekatan heutagogi, yang
menempatkan peserta didik sebagai pusat pembelajaran ditambah lagi dengan
pengetahuan yang sudah digali informasinya oleh peserta didik dan dapat
memperoleh data pembelajaran diluar kelas.
Keaktifan peserta didik merupakan karakteristik dari model pembelajaran
saat ini, hal ini dimungkinkan karena peserta didik telah memiliki banyak
sumber pembelajaran yang dapat diperoleh dengan mudah melalui sumber data
online. Mandat profetik dalam pendidikan Kristen yang secara jelas menyatakan
untuk menyuarakan kebenaran, tentunya tidak cukup hanya menjadikan slogan
untuk berpusat pada Injil Kristus sebagai kebenaran Allah, namun slogan
tersebut juga harus membawa keterlibatan aktif pembelajar atas permasalahan
yang terjadi dalam masyarakat untuk menunaikan mandat profetik dalam

22
pendidikan Kristen, sehingga pembelajar sungguh-sungguh menyatu dengan
kehidupan dan permasalahan dunia sesungguhnya. Menindaklanjuti pemikiran
di atas, dalam bagian ini ingin melihat refleksi dan tindakan terhadap komitmen
iman dalam konteks pendidikan tinggi Kristen. Dalam hal ini, Merril Ewert
mengkategorikan ada empat model pendidikan Kristen, yaitu: Minimalist,
Cloister, Activist, Engaged.
a) Minimalist dikategorikan sebagai institusi pendidikan Kristen yang rendah
dalam refleksi dan rendah untuk bertindak. Dalam kategori ini, pendidikan
Kristen berdalih memelihara keberadaan kekristenannya tetapi gagal untuk
mengikutsertakan peserta didik dalam menguji komitmen inti iman mereka.
b) Cloister mengutamakan pada refleksi. Mindset ini memfokuskan energi
mereka untuk mempersiapkan peserta didik untuk masa depan melalui
refleksi alkitabiah dan teologis. Memfokuskan perhatian terutama kepada
keyakinan yang benar, selebrasi nilai-nilai inti, memelihara keagamaan dan
identitas budaya, tetapi diskoneksi dari konteks sosial-kultural. Intitusi
demikian menolong peserta didik untuk menguji nilai-nilai inti, worldview
dan merayakan fondasi kultural institusi (denominasi). Namun mereka
sedikit sekali memperdulikan sebuah perjumpaan kesatuan untuk
menjangkau yang lain atau melayani.
c) Activist, kategori ini sangat aktif dalam tindakan pelayanan menjangkau
masyarakat tetapi rendah dalam refleksi, untuk meluangkan waktu menguji
keyakinan dan nilai-nilai kekristenan dan komitmen yang sebenarnya
menjadi dasar pelayanan. Berpikir kritis dan refleksi pemikiran bukan
menjadi karakteristik intitusi dalam kategori ini.
d) Engaged “Person”, intitusi yang menguji keyakinan dasar dan komitmen
iman, dan kemudian dengan penuh tujuan melakukan pelayanan dan
penjangkauan sebagai keunikan pemikiran Kristen. Peserta didik belajar
untuk berpikir dalam kerangka kekristenan dan juga diikutsertakan mentor
pengajar dalam penyelesaian masalah di masyarakat (Kadarmanto 2018).

23

Anda mungkin juga menyukai