Anda di halaman 1dari 62

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

“ ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PERILAKU


KEKERASAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BARUAH
GUNUANG”
PROPOSAL PENELITIAN

MAISARAH

NIM : 183110180

JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Penulisan proposal penelitian
ini dibuat untuk memberikan asuhan keperawata jiwa pada pasien dengan prilaku
kekerasan diwilayah kerja Puskesmas Baruah Gunuang kecamatan Bukit Barisa,
kabupaten Lima Puluh Kota. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
proposal penelitian ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh
karena itu saya mengucapkan terimakasih pada :

1. Ibu Heppi Sasmita, M. Kep, Sp.Jiwa dan Ibu Hj. Murniati Muchtar,
SKM.M.Biomed, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan KTI ini.
2. Bapak Dr. Burhan Muslim, SKM, M. Si selaku direktur Poltekkes Kemenkes
Padang.
3. Ibu Ns. Sila Dewi Anggreni, M.Kep, Sp. KMB selaku Ketua Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Padang.
4. Ibu Ns. Heppi Sasmita, M. Kep, Sp. Jiwa selaku Ketua Prodi D III
Keperawatan Padang Poltekkes Kemenkes Padang yang telah membantu
dalam usaha memperoleh data yang diperlukan.
5. Ibu Hendrawati, S.St selaku Pimpinan Puskesmas Baruah Gunuang yang telah
membantu dalam usaha memperoleh data yang saya butuhkan.
6. Ibu atau bapak dosen dan staf yang telah membimbing dan membantu saya
selama perkuliahan di Jurusan Keperawatan Padang .
7. Orang tua tercinta Ayahanda Bulkaini S.Pd dan ibunda Efninangsih S.Pd yang
tiada henti mendo’akan serta memberikan dukungan sebesar besarnya demi
kelancaran tugas akhir penulis ini.
8. Selanjutnya kepada kedua saudara kandung penulis yaitu saudara Andika
Befni Pratama S.Pd dan saudari Putri Anugrah S.Pd.
9. Teman teman yang telah memberikan semangat serta dukungan.

i
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha kuasa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga proposal penelitian ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan, bagi saya sendiri, bagi
lingkungsn tempat penelitian ini dilakukan dan bagi pembaca atau peneliti
selanjutnya.
Padang, 2 Januari 2021

Penulis

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal penelitian berjudul “Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien dengan


Perilaku Kekerasan di Wilayah Kerja Puskesmas Baruah Gunuang
Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Lima Puluh Kota” telah diperiksa dan
di setujui untuk dipertahankan didepan dewan penguji sidang proposal penelitian
studi DIII Keperawatan Padang, Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Padang.

Padang , Februari 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Heppi Sasmita, M. Kep, Sp.Jiwa Hj. Murniati Muchtar, SKM.M.Biomed

NIP.19701020 19903 2 00 2 NIP. 19621122 198302 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi DIII Keperawatan Padang

Heppi Sasmita, M. Kep, Sp.Jiwa

NIP.19701020 19903 2 00 2

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR i

LEMBAR PERSETUJUAN ii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Prilaku Kekerasan 8


1. Definisi Prilaku Kekerasan 8
2. Rentang Respon Marah 9
3. Pohon Masalah 12
4. Rentang Respon Marah 12
5. Tanda dan Gejala Prilaku Kekerasan 13
B. Konsep Dasar Keluarga 14
1. Defenisi 14
2. Tipe Tipe Keluarga 15
3. Ciri Ciri Keluarga 16
4. Tugas Keluarga 16
5. Faktor yang Mempengaruhi Keluarga dalam Merawat Pasien 19
C. Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa 21
1. Pengkajian 21
2. Diagnosa Keperawatan 29
3. Intervensi Keperawatan 30
4. Implementasi Keperawatan 36
5. Evaluasi Keperawatan 36

BAB III METODE PENELITIAN

iv
A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian 38
B. Tempat dan Waktu Penelitian 38
C. Populasi dan Sampel 38
D. Instrumen Pengumpulan data 39
E. Langkah Pengumpulan Data 40
F. Analisis 41

DAFTAR PUSTAKA 42

v
DAFTAR GAMBAR

2.1 Bagan respons marah

2.2 Bagan pohon masalah perilaku kekerasan.

vi
Daftar Tabel

Tabel 3.1 Tabel skrining pasien skizofernia dengan perilaku kekerasan.

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembaran konsultasi proposal penelitian pembimbing I

Lampiran 2 Lembaran konsultasi proposal penelitian pembimbing II

Lampiran 3 Lembaran surat izin pengambilan data dari institusi Poltekkes


Kemenkes Padang

Lampiran 4 Lembar skrining pasien skizofernia dengan masalah perilaku


kekerasan

viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ganguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama
dinegara Negara maju, modern dan industry, yaitu penyakit degenerative,
kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Gangguan jiwa itu sendiri adalah
suatu ketidak mampuan serta invalidas tidak baik secara individu maupun
kelompok yang akan menghambat pertumbuhan pada individu dan
lingkungan, karna ketidak produktifan dan ketidak efesienannya (Fita,
2019).

Menurut National Institute of Mental Health (NIMH), gangguan jiwa


mencapai 13% dari jumlah penyakit keseluruhan dan diperkirakan akan
berkembang menjadi 25% ditahun 2030. Kejadian terseut akan
memberikan andil meningkatnya prevelensi gangguan jiwa dari tahun
ketahun diberbagai Negara. (Nadek, 2019) Data dari World Health
Organization (WHO) bahwa prevalensi orang yang mengalami gangguan
jiawa mencapai 450 juta orang, dimana sepertiganya berada dinegara
berkembang. Prevelensi ODGJ berat diindonesia adalah 1,7 per 1000 dan
ODGJ ringan sekitar 6% dari total populasi (Kemenkes, 2013). National
Institude of Mental Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk
warga Negara Amerika Serikat tahun 2004 memperkirakan 26,2%
penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa
(NIHM, 2011). Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu masalah
kesehatan yang signifikan didunia, termasuk di Indonesia. Menurut WHO
(2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang
terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena
dimensia.

Gangguan jiwa berat atau psikosis adalah gangguan jiwa yang ditandai
oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau titikan (insight) yang
buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi,
ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah

1
laku aneh, atau agresivitas atau katatonik. Berdasarkan data yang telah
diperoleh, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia
mencapai 1,7 per mil (Riskesdas, 2013).

Data Riskesdas Tahun 2018 menyebutkan bahwa prevalesi gangguan jiwa


berat di Indonesia telah terjadi peningkatan. Pravelensi gangguan jiwa
berat tahun 2013 sebanyak 1,7 per mil, pada tahun 2018 menjadi 7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak berada di Bali, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Aceh dan Jawa Tengah. Sedangkan
propinsi Sumatra Barat sendiri merupakan peringkat ke sembilan yang
mencapai 1,9 juta. Di Sumatra Barat angka perilaku kekerasan juga
mengalami peningkatan, dari 2,8% meningkat menjadi 3,9% (Riskesdas,
2013)

Di Indonesia dengan berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial


dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa
terus bertambah yan g berdampak pada penambahan beban negara dan
penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang (Kemenkes RI,
2016). Salah satu bentuk masalah gangguan jiwa yang dialami sebagian
besar pasien adalah perilaku kekerasan. Pasien dapat melakukan prilaku
kekerasan kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri.
Meskipun belum ada data pasti, namun diprediksikan Indonesia akan
menjadi wilayah yang sangat rentan untuk mengalami ledakan angka
gangguan jiwa untuk jenis prilaku kekerasan ditahun tahun mendatang.
Prilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan, yang dapat membahayakan secara fisisk baik terhadap diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Bagi masyarakat modern sumber
stress atau stressor juga mengalami perubahan, tidak hanya dari upaya
pemenuhan kebutuhan atau ancaman fisik, tetapi juga akibat dari
perselisihan, persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan
diperlakukan tidak adil dan cemas (Nadek, 2019).

Prilaku kekerasan atau amuk juga dapat disebabkan oleh frustasi, takut,
manipilasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik

2
emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga
menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian, dan
ketergantungan terhadap orang lain. klien dengan perilaku kesehatan dapat
melakukan tindakan tindakan berbahaya bagi dirinya, orang lain, maupun
lingkungannya. Seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot,
membakar rumahdan lainnya. Sehingga klien dengan perilaku kekerasan
beresiko untuk mencederai dirinya, orang lain dan lingkungannya (Varera,
2017).

Tanda dan gejala prilaku kekerasan ada yang menimbulkan kerusakan,


tetapi ada juga yang dia seribu bahasa, gejala atau perubahan perubahan
yang timbul pada pasien dala keadaan marah diantaranya, terjadi
perubahan fisiologik (tekanan darah meningkat, denyut nadi dan
pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, kadang
kadang konstipasi), sedangkan perubahan emosional (mudah tersinggung,
tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah tampak tegang, kehilangan kontrol diri
saat mengamuk) perubahan prilaku (agresif, menarik diri, bermusuhan,
sinis, curiga, ngamuk, nada suara keras dan kasar,menyerang serta
memberontak) dan tindakan kekerasan atau amukan yang ditunjukan dapat
kepada diri sendiri, orang lain maupun pada lingkungan sekitar
(Muhith,2015).

Dampak dari perilaku kekerasan menurut Prabowo (2014), bila tidak


mendapat penangggulangan yang tepat maka dapat menyebabkan resiko
tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencedarai
merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai dan
membahayai diri, orang lain dan lingkungan. Melihat dampak dan
kerugian yang ditimbulkan, maka untuk penanganan pasien dengan
prilaku kekerasan diperlukan tenaga profesional, salah satunya yaitu
tenaga keperawatan jiwa .

Keperawatan jiwa itu sendiri merupakan pelayanan keperawata profesional


yang didasarkan pada ilmu perilaku. Terapi keperawatan jiwa dimulai
dengan proses pendekatan keperawatan untuk meningkatkan, mencegah,

3
mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa pasien, jadi
keperawatan jiwa adalah proses interpersoanl untuk meningkatkan dan
mempertahankan perilaku sehingga pasien dapat berfungsi secara utuh.

Untuk mengatasi terjadinya dampak lanjut dari perilaku kekerasan


tersebut, maka diperlu peranan perawat. Menurut Budiono (2016), peranan
perawat diartikan sebagai perilaku yang diharapkan oleh pasien atau klien
terhadap perawat sesuai dengan tugasnya. Menurut Berman et al (2016),
adapun peran perawat adalah sebagai pemberi asuhan, komunikator,
pendidik,advokad klien konselor, agen pengubah, pemimpin, manajer,
manajer khusus, serta konsumen penelitian dan pengembangan karir
keperawatan.

Hasil dari penelitian Rifi Susanti, dkk (2018) tentang Hubungan


Pengetahuan dan Motivasi Terhadap Pasien Gangguan Jiwa, didapatkan
pasien jiwa dengan Halusinasi 339 (38,69%), prilaku kekerasan sebanyak
254 (28,99%) pasien, isolasi sosial 102 (11,64%) pasien, deficit
keperawatan diri 96 (10,95%) pasien dan Harga Diri Rendah 62 (7,07%)
pasien. Dari data tersebut terdapat data dari pasien dengan perilaku
kekerasan berada pada posisi kedua dengan persentase 28,9%.

Hasil penelitian Wardani, Kardiatu, dan Nofia (2015) tentang “Faktor


Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan Pasien dengan Perilaku
Kekerasan Diruang Rawat Jalan Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat”
pada 96 responden didapatkan beberapa faktor yang mempengaruhi
kekambuhan pasien perilaku kekerasan yaitu faktor klien (putus obat),
faktor dukungan keluarga, dan faktor lingkungan masyarakat. Dengan
terdapatnya faktor faktor ini pada pasien dengan perilaku kekerasan, akan
mempengaruhi kekambuhan pasien.

Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lima


Piluh Kota tahun 2018, bahwa wilayah Puskesmas Baruah Gunuang
Berada diposis kedua dari 13 puskesmas dengan jumlah pasien jiwa
mencapai 75 orang, yang terdiri dari halusinasi sebesar 49,77%, gangguan

4
proses pikir : waham sebesar 4,66%, perilaku kekerasan sebesar 20,9%,
isolasi sosial sebesar 8,70%, gangguan konsep diri : hargadiri rendah
8,02%, defisit perawatan diri sebesar 3,66%, dan resiko bunuh diri sebesar
5,27%. Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa
persentase gangguan jiwa, prilaku kekerasan khususnya memiliki
persentase tertinggi kedua setelah halusinasi, yaitu sebesar 20,92.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas


Baruah Gunuang pada bulan Desember 2020 didapatkan hasil wawancara
dengan pemegang program jiwa di Puskesmas Baruah Gunuang kabupaten
50 Kota, bahwa kebanyakan klien yang datang kepuskesmas adalah pasien
yang sama dengan tahun sebelumnya. Dan untuk pasien perilaku
kekerasan biasanya datang kepuskesmas secara rutin untuk malakukan
kontrol. Pasien yang datang kadang sendiri, namun lebih sering ditemani
keluarga pasein. Menurut salah satu perawat yang ada di Puskesmas
Baruah Gunung Kabupaten 50 Kota, upaya yang telah dilakukan adalah
memberikan kunjungan kerumah pasien untuk memberikan asuhan
keperawatan jiwa dan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara
merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan. Hal ini rutin
dilakukan sebanyak sebulan sekali atau sekali 3 bulan, tergantung kondisi
pasien. Namun terkadang juga terdapat kendala karna kurangnya
dukungan baik dari keluarga pasien ataupun pasien itu sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara dengan klien dan keluarga prilaku kekerasan


mengatakan, klien sering marah marah tanpa sebab, kadang saat marah
klien juga memukul dan melempar benda yang ada disekitarnya dan
kemudian merasa lega dan puas setelah melakukan itu. Klien dan keluarga
rutin kontrol ke puskesmas untuk mengambil obat. Menurun klien sendiri
upaya yang dilakukan klien untuk mengontrol marahnya hanya dengan
menarik napas dalam dan memukul bantal. Sedangkan keluarga pasien
mengaku masih kurang paham mengenai perawatan serta tentang cara
mengontrol marah pada pasien. Keluarga juga kadang merasa takut ketika
akan berhadapan dengan pasien, takut terkena amukan dan amarah pasien.

5
Keluarga mengatakan klien hanya takut pada ayahnya, sedangkan ayah
dari klien sudah meninggal sejak 6 tahun yang lalu, hal ini juga membuat
klien semakin tak dapat mengontrol marahnya.

Hasil wawancara dengan keluarga pasien, yang memiliki anggota keluarga


dengan gangguan jiwa, apalagi perilaku kekerasan merupaka hal yang
tidak biasa, karna pasien dapat merasa marah kapan saja, selain itu pasien
juga sangat sensitif, sehingga keluarga harus selalu berhati hati untuk
menjaga perasaan pasien agar tidak terjadi perubahan mood, yang
akhirnya akan menimbulkan amarah dan berujung perilaku kekerasan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk


mengangkat kasus tentang Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien dengan
Perilaku Kekerasan yang berintegrasi pada Keluarga di Wilayah Kerja
Puskesmas Baruah Gunuang.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan Asuhan Keperawatan Klien Resiko Prilaku


Kekerasan (RPK) Terintegrasi dengan Keluarga Di Wilayah Kerja
Puskesmas Baruh Gunuang Sumatra Barat.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien dengan


Perilaku Kekerasan yang Terintegrasi pada Keluarga di Wilayah Kerja
Puskesmas Baruh Gunuang Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten
Lima Puluh Kota pada tahun 2021.

2. Tujuan khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian asuhan keperawatan jiwa pada
pasien dengan perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas
baruah gunuang kecamatan bukit barisan, kabupaten lima puluh
kota tahun 2021.

6
b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa asuhan keperawatan jiwa pada
pasien dengan perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas
baruah gunuang kecamatan bukit barisan, kabupaten lima puluh
kota tahun 2021.
c. Mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan jiwa pada pasien
dengan perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas baruah
gunuang kecamatan bukit barisan, kabupaten lima puluh kota
tahun 2021.
d. Mendeskripsikan tindakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien
dengan perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas baruah
gunuang kecamatan bukit barisan, kabupaten lima puluh kota
tahun 2021.
e. Mendeskripsikan evaluasi hasil asuhan keperawatan jiwa pada
pasien dengan perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas
baruah gunuang kecamatan bukit barisan, kabupaten lima puluh
kota tahun 2021.
f. Mendeskripsikan pendokumentasian asuhan keperawatan jiwa
pada pasien dengan perilaku kekerasan di wilayah kerja
puskesmas baruah gunuang kecamatan bukit barisan, kabupaten
lima puluh kota tahun 2021.

D. Manfaat
1. Bagi Peneliti

Hasil dan proses penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan


dan pengalaman nyata bagi peneliti asuhan keperawatan jiwa pada
pasien dengan perilaku kekerasan.

2. Bagi Mahasiswa Keperawatan Poltekkes Kemenkes RI Padang


Diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan tambahan pembelajaran
diinstitusi Prodi Keperawtan Padang khususnya bagi mahasisiwa
dalam penerapan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan
perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas baruah gununag.

7
3. Bagi Pimpinan Puskesmas Baruah Gunuang

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan masukan bagi


Pimpinan Puskesmas Baruah Gunuang beserta petugas pelayanan
kesehatan dalam meningkatkan kualitaspenerapan asuhan keperawatan
jiwa pada pasien dengan perilaku kekerasan.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya


Diharapkan dapat memberikan masukan bagi penelitian berikutnya
untuk menambah wawasan, pengetahuan dan data dasar penelitian
selanjutnya dalam penerapan asuhan keperawatan jiwa pada pasien
dengan perilaku kekerasan.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Resiko Prilaku Kekerasan


1. Defenisi

Prilaku kekerasan adalah suatu keadaaan hilangnya kendali perilaku


seseorang yang diarahakn pada diri sendiri, orang lain atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri
unruk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri.
Perilaku kekerasan padaorang lain adalah tindakan agresif yang
ditujukan untuk melukai orang lain atau membunuh orang lain.
Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat bnerupa perilaku merusak
lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada
dilingkungan. Pada dasarnya pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa
sebagaian besar adalah pasien yang melakukan perusakan pada
lingkungan dan melakukan kekerasan dirumah.

Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respon marah yang


paling mal adaptif yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel
yang timbul sebagi respon terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak
terpenuhi) yang dirasakan sebagi ancaman. Amuk merupakan respon

9
kemarahan yang paling maladaptive yaitu ditandai dengan perasaan
marahdan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya control, yang
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain artau lingkungan.

Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah orang yang


mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan
perkembangan, dan kualitas hidup sehingga memiliki resiko
mengalami gangguan jiwa. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan
perasaan yang teermenifestasi, dalam bentuk sekumpulan gejala atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalani fungsi seseorang sebagai
seorang manusia.

Menurut Keliat, (2011), perlaku kekerasan adalah suatu perilaku yang


bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Ilerdman (2012) mengatakan bahwa resiko perilaku kekerasan
merupakan perilaku yang diperluhatkan oleh individu. Bentuk
ancaman bisa fisik, emosional atau seksual yang ditujukan padaorang
lain. Sehingga dapat disimpulkan juga, perilaku kekerasan merupakan :

a. Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan


yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (diejek/dihina).
b. Ungkapan perasaaan terhadap perasaan yang tidak menyenangkan
(kecewa, keinginan, keinginan tidak tercapai, tidak puas)
c. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada
diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis

Meliputi factor Herediter yaitu adanya anggota keluarga yang


sering memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan,
adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa,

10
adanya riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan NAPZA (Naarkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya)

2) Factor Psikologis

Pengalaman marah meruapakan respon psikologis terhadap


stimulus eksternal, internal, maupun lingkungan. Prilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi
terjadi apabila ada keinginan indivudu untuk mencapai sesuatu
menemui kegagalan atau terhambat. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui berperilaku kontruksif, maka yang akan
muncul adalah individu tersebut akan berperilaku desduktrif.

3) Faktor Sosiokultural

Teori Lingkungan Sosial (Social Environmeny Theory)


menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi
sikap individu dalam mengeksprsikan marah. Norma budaya
dapat mendukung individu untuk berespon asertif atau agresif.
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung melalui
proses sosialisasi (social learning thery)

4) Psikoanalisis

Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan


hasil dari dorongan insting (instinctual drives)

5) Perilaku (Behavioral)
a) Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan ganggguan
belajar menyebabkan kegagalan kemampuan dalam
berespons positif terhadap frustasi.

11
b) Penekanan emosi berlebihan (over rejection ) padaanak
anak atau godaaan (seduction) orang tua mempengaruhi
kepeercayaan (trust) dan percaya diri (self esteem)individu.
c) Perilaku kekerasan diusia muda, baik korban kekerasan
pada anak (child abuse) atau mengobservasi kekerasan
dalam keluarga memengaruhi penggunaan kekerasan
sebagai koping.
6) Sosial Kultural
a) Norma

Norma merupakan control masyarakat pada kekerasan. Hal


ini mendefenisikan ekspresi prilaku kekerasan yang
diterima atau tidak diterima akan menimbulkan sanksi.
Kadang control sosial yang sangat ketat (strict) dapat
menghambat ekspresi marah yang sehat dan dapat
menyebabkan marah yang tidak sehat dan menyebabkan
individu memilih cara maladaptiflainnya.

b) Budaya asertif dimasyarakat membantu individu untuk


berespons padamarah yang tidak sehat.

Factor yang dapat menyebabkan timbulnya agresifitas atau


prilaku kekerasan yang maladaptive antara lain sebagi
berikut :

1. Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan.


2. Status dalam perkawinan.
3. Hasil dari orang tua tunggal (single parent)
4. Pengangguran.
5. Ketidakmampuan mempertahankan hubungan
interpersonal dan struktur keluarga dalam sosial
cultural.
b. Faktor Presipitasi

12
Factor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain. Stressor dapat
merupakan penyebab yangberasal dari dalam maupun luar
induvidu.

Factor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau


hubungan dengan orang yang dicintai atau brarti ( putus pacar,
perceraian, kematian), kehilangan rasa cinta, kekhawatiran
terhadap penyakit fisik dll. Sedangkan factor luar individu meliputi
serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu rebut, kritikan
yang mengarah padapenghinaan, tindakan kekerasan.

3. Rentang Respons Marah

Respon marah berfluktuasi sepanjang respon adaptif dan maladaptive :

Respon adaptif Rspon maladaptive

Asertif Pasif Perilaku Kekerasan

Gambar 2.1 rentang respons marah (musmini, 2019).

Dalam setiap orang terdapat fasilitasuntuk berperilaku pasif, asertif


dan sgresif perilaku kekerasan. (musmini, 2019)

13
a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu
mengungkapkan atau menyatakan rasa marah atau tidak setuju
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain sehingga perilaku ini
dapat menimbulkan kelegaan pada individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu
untuk mengungkapkan peng diarasaan marah yang sedang dialami,
dilakukan dengan tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku kekerasan merupakan dari kemarahan yang
sangat tinggi atau ketakutan (panik).

Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemarahan yang dapat mengarah pada prilaku kekerasan. Respon rasa
marah dapat diekspresikan secara eksternal (perilaku kekersan)
maupun internal (depresi dan penyakit fisik).

Mengespresikan marah dengan perilaku konstruktif, mengguanakan


kata kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati
oranglain, akan member ikan perasaan lega, menurun ketegangan
sehingga perasaan marah dapat teratasi. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya disebabkan
individu sedang merasa takut. Cara demikian tida menyelesaikan
masalah, bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan
dan perilaku destruktif.

Perilaku yang tidak asertif seperti menekan rasa marah dilakukan


individu seperti pura pura tidak marah atau melarikan diri dari
perasaan marahnya sehingga rasamarah tidak terungkap. Kemarahan
demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu
saat akan menimbulkan perasaan destruktif yang ditujukan pada
dirisendiri (Muhith, 2015).

4. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Menurut buku Kepeerawatan Jiwa Komprehensif tahun 2016, tanda


dan gejala perilaku kekerasan dapat dilihat sebagai berikut :

14
a. Data Subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman.
2) Ungkapan kata kata kasar.
3) Ungkapan ingin melukai atau memukul.
b. Data Objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam.
3) Mengatupkan rahang dengan kuat.
4) Mengepalkan tangan.
5) Bicara kasar.
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak.
7) Mondar mandir.
8) Melempar atau memukul benda/orang lain.
B. Konsep Dasar Keluarga
1. Defenisi

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karna


hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka
hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi antara satu sama lain dan
didalam perannya masing masing serta mempertahankan kebudayaan.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari


kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan yinggal
disatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan
melalui pertalian darah, adobpsi, atau perkawinan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa defenisis dari keluarga merupakan


sekumpulan orang yang tinggal satu rumah yang terikat oleh ikatan
perkawinan dan mempunyai ikatan darah (Jihan, 2017).

2. Tipe Tipe Keluarga

Menurut Gusti (2013) tipe keluarga dibagi menjadi 2 tipe yaitu


tradisional dan non tradisional dimana tipe tradisional ialah :

15
a. Keluarga inti, keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak
yang diproleh dari keturunannya atau adposi atau keduanya.
b. Keluarga besar (Extended family) adalah keluarga inti ditambah
anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah
(kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, dll).
c. Keluarga bentukan kembali (Dyadic family) adalah keluarga baru
yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan
pasangannya.
d. Orang tua tunggal (Singgle parent family) adalah keluarga yang
terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat
perceraian atau ditinggal pasangannya.
e. The single adult living alone adalah orang dewasa yang tinggal
sendiri tanpa pernah menikah.
f. The unmarried teenage mother, adalah ibu dengan anak tanpa
perkawinan.
g. Keluarga usila (Niddle age/Aging Couple), adalah suami sebagai
pencari uang, istri dirumah atau kedua-duanya bekerja atau tinggal
di rumah, anakanaknya sudah meninggalkan rumah karena sekolah
/ perkawinan / meniti karir.

Sedangkan tipe non tradisonal adalh sebagai berikut :

a. Commune family, adalah lebih satu keluarga tanpa pertalian darah


hidup serumah.
b. Orang tua (ayah dan ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan
anak hidup bersama dalam satu rumah tangga.
c. Homoseksual adalah dua individu yang sejenis hidup bersama
dalam satu rumah tangga.

3. Ciri-ciri Keluarga

Menurut Robert Iver dan Charles Horton yang dikutip dari (Setiadi,
2008) ciriciri keluarga adalah sebagai berikut : keluarga merupakan

16
hubungan perkawinan, keluarga bentuk suatu kelembagaan yang
berkaitan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau
dipelihara, keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (Nomen
Clatur) termasuk perhitungan garis keturunan, keluarga mempunyai
fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggotanya berkaitan
dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan
anak, dan keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau
rumah tangga.

4. Tugas Keluarga

Menurut Mubarak, dkk (2009) keluarga dapat melaksanakan perawatan


atau pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan
keluarga, yaitu sebagai berikut :

a. Mengenal masalah kesehatan

Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-


perubahan yang dialami oleh anggota keluarganya. Perubahan
sekecil apa pun yang dialami anggota keluarga, secara tidak
langsung akan menjadi perhatian keluarga atau perlu mencatat
kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar
perubahannya.

Keluaraga diharapkan mampu mengenal perubahan-peeubahan yang


dialami oleh anggota keluarga, karena keluarga merupakan lini
utama untuk menemukan tanda dan gejala klien gangguan jiwa
risiko perilaku kekerasan, sehingga klien pada gangguan jiwa cepat
mendapatkan tindakan dan tidak memperburuk keadaanya.

b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat

Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari


pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
pertimbangan diantara anggota keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan sebuat tindakan. Tindakan kesehatan yang

17
dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan
yang sedang terjadi dapat dikurangi atau teratasi. Jika keluarga
mempunyai keterbatasan dalam mengambil keputusan, maka
keluarga dapat meminta bantuan kepada orang lain di lingkungan
tempat tinggalnya.

Setelah keluarga mampu mengenal masalah maka diharapkan


keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk klien,
dengan memeriksakan klien gangguan jiwa risiko perilaku
kekerasan ke pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah
Sakit Jiwa terdekat, agar klien cepat mendaptakan penanganan.

c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit

Sering kali keluarga mengambil tindakan yang tepat, tetapi jika


keluarga masih merasa mengalami keterbatasan, maka anggota
keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh
tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih baik
parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan
kesehatan atau dirumah apabila keluarga telah memiliki
kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama.

Setelah klien menjalani pengobatan dan melakukan perawatan di


pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa risiko perilaku
kekerasan dapat bisa kembali pulih dan kembali berfungsi di
masyarakat, namun upaya-upaya tersebut tidak akan bertahan lama
tanpa adanya dukungan keluarga, sehingga keluarga diharapkan
mampu memberikan perawatan pada anggota keluarga yang
mengalami risiko perilaku kekerasan.

d. Mempertahankan suasana rumah yang sehat

Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung, dan bersosialisasi


bagi anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki
waktu yang lebih banyak berhubungan dengan lingkungan tempat

18
tinggal. Oleh karena itu, kondisi rumah harus dapat menunjang
derajat kesehatan bagi anggota keluarga.

Keluarga diharapkan mampu menciptakan suasana sehat seperti


suasana yang tenang dan menyenangkan serta menghindarkan klien
dengan barang-barang yang dapat membahayakan pada saat klien
kambuh seperti tali-temali, benda tajam dan benda pecah belah yang
dapat melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar.

e. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat

Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan


kesehatan keluarga atau anggota keluarga harus dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada disekitarnya. Keluarga
dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga keperawatan
untuk memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya,
sehingga keluarga dapat bebas dari segala macam penyakit.

Saat mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan


kejiwaan anggota keluarga diharapkan keluarga mampu
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada disekitar, sehingga klien
segera mendapatkan penanganan agar tidak memperburuk kondisi
dari klien gangguan jiwa risiko perilaku kekerasan.

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Keluarga Dalam


Merawat Klien Gangguan Jiwa Risiko Perilaku Kekerasan

Menurut (Yundari. 2018) faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga


merawat klien gangguan jiwa :

a. Pengetahuan

19
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang teradap objek melalui indera yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (Notoatmodjo, 2014
dalam Yundari 2018).

Pengetahuan menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan


keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan kejiwaan risiko perilaku kekerasan dimana semakin tinggi
pengetahuan seseorang, maka semakin tinggi kemampuan
menerima dan memahami tentang informasi perawatan anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa risiko perilaku kekerasan,
sebaliknya jika pengetahuan keluarga rendah maka dapat
mengalami kesulitan untuk menerima dan memahami tentang
informasi perawatan anggota keluarga yang sakit. Berdasarkan hal
ini pengetahuan merupakan hal yang penting agar keluarga dapat
mempraktekan cara perawatan anggota keluarga dengan gangguan
jiwa, untuk mencegah kekambuhan.

b. Pekerjaan/Ekonomi

Pekerja di sector informal(swasta) juga mempengaruhi pengetahuan


seseorang karena bekerja di sector informal tidak harus memiliki
pendidikan yang tinggi sehingga mereka hanya mendapatkan
pengetahuan dari lingkungan hidup sehari-hari.

Jika keluarga memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan


pendapatan yang tinggi maka keluarga dapat memberikan
perawatan yang baik kepada anggota keluarga nya yang sakit
dengan support ekonomi yang memadai, contohnya dapat
membawa klien ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas

20
yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa atau rumah sakit jiwa,
sedangkan jika pendapatan nya rendah keluarga bisa saja tidak
membawa klien ke fasilitas pelayanan kesehatan karena support
ekonomi yang tidak memadai, tetapi pendapatan tinggi ataupun
rendah tidak sepenuhnya mempengaruhi klien dibawa ke fasilitas
pelayanan kesehatan, tergantung pada pengetahuan dan stigma yang
dimiliki oleh keluarga.

c. Sikap/budaya

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari


seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap ini merupakan
kesiapan atau kesedian untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. (Notoatmodjo, 2014)

Salah satu sikap dan budaya yang mempengaruhi kemampuan


keluarga merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa ialah
stigma masyarakat dimana orang dengan gangguan jiwa dianggap
berbeda dan dikucilkan, diasingkan dengan cara dipasung dan
dikurung akibat dari stigma tersebut orang dengan gangguan jiwa
menanggung konsekuensi kesehatan dan sosio-kultural, seperti
pemasungan dan penanganan yang tidak maksimal sehingga
memperberat dan memperparah kondisi.

Jadi berdasarkan uraian di atas keluarga menjadi suatu pijakan


dalam upaya merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Pengetahuan sangat mempengaruhi peran keluarga dalam
bertindak, pengetahuan yang baik tentang cara perawatan angota
keluarga dengan gangguan jiwa akan menimbulkan peran yang baik
seperti memberikan dukungan emosional keluarga dalam hal
memotivasi pasien untuk sembuh ataupun menumbuhkan harapan
dan optimisme, pengawasan minum obat serta upaya pencegahan
kekambuhan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
(Yundari, 2018).

21
Faktor-faktor menyebabkan seseorang berperan ada enam alasan,
yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, orang penting sebagai
refensi, sumber daya dan kebudayaan. Peran keluarga dalam
perawatan pasien gangguan jiwa ini diwujudkan dengan cara
meningkatkan fungsi afektif yang dilakukan dengan memotivasi,
menjadi pendengar yang baik, membuat senang, memberi tanggung
jawab dan kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi asuhan
(Stuart, 2016 dalam Yundari 2018).

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

Asuhan keperawatan adalah tindakan mandiri perawat professional


melalui kerja sama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun
tenaga kesehatan lainnya. Standar asuha keperawatan terdiri dari lima
tahap standar yaitu : 1) pengkajian, 2) diagnosa, 3) perencanaan, 4)
implementasi, 5) evaluasi (Muhith, 2015: 2).

a. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas klien

Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak


dengan klien tentang: nama perawat, nama panggilan, nama
pasien, nama panggilan pasien, tujuan, waktu, tempat pertemuan,
topik yang akan dibicarakan, tanyakan dan catat umur, jenis
kelamin, agama, alamat lengkap, tanggal masuk, dan nomor
rekam medik.

b. Alasan Masuk

Alasan klien masuk biasanya pasien sering mengungkapkan kalimat


yang bernada ancaman, kata- kata kasar, ungkapan ingin memukul
serta memecahkan perabotan rumah tangga. Pada saat berbicara
wajah pasien terlihat memerah dan tegang, pandangan mata tajam,
mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, biasanya

22
tindakan keluarga pada saat itu yaitu dengan mengurung pasien atau
mamasung pasien. Tindakan yang dilakukan keluarga tidak dapat
merubah kondisi ataupun prilaku pasien.

c. Faktor predisposisi

Pasien prilaku kekerasan biasanya sebelumnya pernah mendapatkan


perawatan di rumah sakit. Pengobatan yang dilakukan masih
meninggalkan gejala sisa. Biasanya gejala yang timbul merupakan
akibat trauma yang dialami pasien yaitu penganiayaan fisik,
kekerasan didalam keluarga atau lingkungan, tindakan kriminal
yang pernah disaksikan, dialami ataupun melakukan kekerasan
tersebut.

d. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu: pemeriksaan tanda-tanda


vital didapatkan tekanan darah, nadi, dan pernafasan, biasanya
pasien prilaku kekerasan tekanan darah meningkat, denyut nadi dan
pernapasan akan meningkat ketika klien marah.

e. Psikososial
1) Genogram

Genogram dibuat tiga generasi yang menggambarkan hubungan


klien dengan keluarganya dan biasanya pada genogram akan
terlihat ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa,
pola komunikasi klien, pengambilan keputusan dan pola asuh.

2) Konsep Diri
a) Citra Tubuh

Biasanya klien prilaku kekerasan menyukai semua bagian


tubuhnya, tapi ada juga yang tidak.

b) Identitas Diri

23
Biasanya klien prilaku kekerasan tidak puas terhadap
pekerjaan yang sedang dilakukan maupun yang sudah
dikerjakannya.

c) Peran diri

Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki masalah dalam


menjalankan peran dan tugasnya.

d) Ideal Diri

Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki harapan yang


tinggi terhadap tubuh, posisi, status peran, dan kesembuhan
dirinya dari penyakit.

e) Harga Diri

Biasanya klien prilaku kekerasan memiliki harga diri yang


rendah.

3) Hubungan Sosial

Biasanya klien prilaku kekerasan tidak mempunyai orang


terdekat tempat ia bercerita dalam hidupnya, dan tidak mengikuti
kegiatan dalam masyarakat.

4) Spiritual
a) Nilai dan keyakinan

Biasanya pasien prilaku kekerasan meyakini agama yang


dianutnya dengan melakukan kegiatan ibadah sesuai dengan
keyakinannya

b) Kegiatan ibadah

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan kurang (jarang)


melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

24
c) Status Mental
1. Penampilan

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan penampilan


kadang rapi dan kadang-kadang tidak rapi. Pakaian diganti
klien ketika ia dalam keadaan yang normal.

2. Pembicaraan

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan berbicara dengan


nada yang tinggi dan keras

3. Aktifitas Motorik

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan aktifitas motorik


klien tampak tegang, dan agitasi (gerakan motorik yang
gelisah), serta memiliki penglihatan yang tajam jika
ditanyai hal-hal yang dapat menyinggungnya.

4. Alam Perasaaan

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan alam perasaan


klien terlihat sedikit sedih terhadap apa yang sedang
dialaminya.

5. Afek

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan selama


berinteraksi emosinya labil. Dimana klien mudah
tersinggung ketika ditanyai hal-hal yang tidak
mndukungnya, klien memperlihatkan sikap marah dengan
mimik muka yang tajam dan tegang.

6. Interaksi selama wawancara

25
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan bermusuhan,
tidak kooperatif, dan mudah tersinggung serta . Biasanya
pasien dengan prilaku kekerasan defensif, selalu berusaha
mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.

7. Persepsi

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan tidak ada


mendengar suara-suara, maupun bayangan-bayangan yang
aneh.

8. Proses atau arus fikir

Biasanya klien berbicara sesuai dengan apa yang


ditanyakan perawat, tanpa meloncat atau berpindah-pindah
ketopik lain.

9. Isi Fikir

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih memiliki


ambang isi fikir yang wajar, dimana ia selalu menanyakan
kapan ia akan pulang dan mengharapkan pertemuan dengan
keluarga dekatnya.

10. Tingkat Kesadaran

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan tingkat


kesadaran klien baik, dimana ia menyadari tempat
keberadaanya dan mengenal baik bahwasanya ia berada
dalam pengobatan atau perawatan untuk mengontrol emosi
labilnya.

11. Memori

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan daya ingat


jangka panjang klien baik, dimana ia masih bisa
menceritakan kejadian masa-masa lampau yang pernah

26
dialaminya, maupun daya ingat jangka pendek, seperti
menceritakan penyebab ia masuk ke rumah sakit jiwa.

12. Tingkat kosentrasi dan berhitung


Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan yang pernah
menduduki dunia pendidikan, tidak memiliki masalah
dalam hal berhitung, (penambahan maupun pengurangan).
13. Kemampuan penilaian

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih memiliki


kemampuan penilaian yang baik, seperti jika dia disuruh
memilih mana yang baik antara makan dulu atau mandi
dulu, maka dia akan menjawab lebih baik mandi dulu.

14. Daya tarik diri

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan menyadari


bahwa dia berada dalam masa pengobatan untuk
mengendalikan emosinya yang labil.

f. Kebutuhan persiapan pulang


1) Makan

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan yang tidak memiliki


masalah dengan nafsu makan maupun sistem pencernaannya,
maka akan menghabiskan makanan sesuai dengan porsi makanan
yang diberikan.

2) BAB/BAK

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih bisa BAK/BAB


ketempat yang disediakan atau ditentukan seperti, wc ataupun
kamar mandi.

3) Mandi

27
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan untuk kebersihan diri
seperti mandi, gosok gigi, dan gunting kuku masih dapat
dilakukan seperti orang-orang normal, kecuali ketika emosinya
sedang labil.

4) Berpakaian

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masalah berpakaian


tidak terlalu terlihat perubahan, dimana klien biasanya masih bisa
berpakaian secara normal.

5) Istirahat dan tidur

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan untuk lama waktu


tidur siang dan malam tergantung dari keinginan klien itu sendiri
dan efek dari memakan obat yang dapat memberikan ketenangan
lewat tidur. Untuk tindakan seperti membersihkan tempat tidur,
dan berdoa sebelum tidur maka itu masih dapat dilakukan klien
seperti orang yang normal.

6) Penggunaan obat

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan menerima keadaan


yang sedang dialaminya, dimana dia masih dapat patuh makan
obat sesuai frekuensi, jenis, waktu maupu cara pemberian obat
itu sendiri.

7) Pemeliharaan kesehatan

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan menyatakan keinginan


yang kuat untuk pulang, dimana ia akan mengatakan akan
melanjutkan pengobatan dirumah maupun kontrol ke puskesmas
dan akan dibantu oleh keluarganya.

8) Aktivitas didalam rumah

28
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan masih bisa diarahkan
untuk melakukan aktivitas didalam rumah, seperti: merapikan
tempat tidur maupun mencuci pakaian.

9) Aktifitas diluar rumah

Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan Ini disesuaikan


dengan jenis kelamin klien dan pola kebiasaan yang biasa dia
lakukan diluar rumah.

g. Mekanisme koping

Biasanya pada pasien dengan prilaku kekerasan, data yang


didapatkan saat wawancara pada pasien, bagaimana pasien
mengendalikan diri ketika menghadapi masalah:

1) Koping adaptif
a) Bicara dengan orang lain
b) Mampu menyelesaikan masalah
c) Teknik relaksasi
d) Aktifitas kontruksif
e) Olahraga
2) Koping maladaptive
a) Minum alcohol
b) Reaksi lambat/berlebihan
c) Bekerja berlebihan
d) Menghindar
e) Mencederai diri

h. Masalah psikososial dan lingkungan

29
Biasanya pasien dengan prilaku kekerasan akan mengungkapakan
masalah yamg menyebabkan penyakitnya maupun apa saja yang
dirasakannya kepada perawat maupun tim medis lainnya, jika
terbina hubungan yang baik dan komunikasi yang baik serta
perawat maupun tim medis yang lain dapat memberikan solusi
maupun jalan keluar yang tepat dan tegas.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan ditetapkan sesuai data yang didapatkan,


walaupun saat ini tidak melakukan prilaku kekerasan tetapi pernah
melakukan atau mempunyai riwayat prilaku kekerasan dan belum
mempunyai kemampuan mencegah/ mengontrol prilaku kekerasan
tersebut (keliat, 2009: 131).

Pohon Masalah Prilaku Kekerasan

Pohon masalah adalah rangkaian peristiwa yang menggambarkan


urutan kejadian masalah pada pasien sehingga dapat mencerminkan
psiko dinamika terjadinya gangguan jiwa. Pohon masalah pada
perilaku kekerasan dapat berupa :

Resiko Bunuh Diri Effect

Perilaku Kekerasan Cor

Harga Diri Rendah Causa

Gambar 2.2 Pohon Masalah Prilaku Kekerasan : ( Prabowo,2014).

a. Masalah utama (Core Problem) adalah prioritas masalah dari


beberapa masalah yang ada pada pasien. Masalah utama bisa

30
didapatkan dari alasan masuk atau keluhan utama saat itu (saat
pengkajian).
b. Penyebab (Causa) adalah satu dari beberapa masalah yang
merupakan penyebab masalah utama, masalah ini dapat pula
disebabkan oleh salah satu masalah yang lain, demikian
seterusnya.
c. Akibat (Effect) adalah salah satu dari akibat beberapa masalah
utama, akibat ini dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya
akibat akibat yang lain dan berkelanjutan.

Diagnosa keperawatan diterapkan sesuai dengan data yang didapat,


walaupun saat tidak melakukan perilaku kekerasan tetapi pernah
melakukan atau mempunyai riwayatperilaku kekerasan dan belum
mampu untuk mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan tersebut.
Menurut Muhith (2015), diagnosa keperawatan yang muncul adalah
sebagai berikut:

a. Prilaku Kekerasan
b. Harga Diri Rendah.

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk pasien menurut


imran (2016) adalah

a. Tujuan
1) Pasien dan keluarga dapat mengidentifikasi penyebab prilaku
kekerasan.
2) Pasien dan keluarga dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku
kekerasan.
3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.

31
4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukan.
5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah atau mengontrol
perilaku kekerasan.
6) Pasien dapat mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik, spiritual, sosial dan dengan terapi psikofarma.
b. Tindakan
1) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu pertimbangan,
agar pasien dapat merasa aman dan nyaman saat berinteraksoi
dengan perawat. Tindakan yang harus dilakukan dalam rangka
membina hubungan saling percaya adalah :
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
2) Diskusikan pada pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan
yang lalu
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
d) Diskusikan tanda adan kejala perilaku kekerasan secara
spiritual.
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
4) Diskusikan bersama pasien perilaku yang biasa dilakukan pada
saat marah secara :
a) Verbal

32
b) Terhadap orang lain
c) Terhadap diri sendiri
d) Terhadap lingkungan.
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6) Diskusikan pada pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara :
a) Fisik : pukul bantal, tarik napas dalam
b) Obat
c) Spiritual : shalat, berdoa sesuai keyakinan pasien.
7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik:
a) Latihan napas dalam dan pukul bantal-kasur
b) Susun latihan jadwal napas dalam.
8) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial atau
verbal
a) Latih pasien untuk mengungkapkan rasa marah secara verbal:
menolakdengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan
perasaan dengan baik.
b) Susun latihan mengungkapkan marah secara verbal
9) Latih pasien mengontrol prilaku kekerasan secara spiritual
a) Latih mengontrol marah secara spiritual : shalat, berdo’a
b) Buat jadwal latihan shalat dan berdo’a
10) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan atuh minum
obat
a) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar ( benar nama pasien, benar nama obat, benar cara
minum obat, benar waktu minum obat dan benar dosis
minum obat )disertai dengan penjelasan guan obat dan akibat
berhenti minum obat.
b) Susun jadwal minum obat secara teratur
11) Ikut serta pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi
Persepsi mengontrol Perilaku Kekerasan.

33
Strategi tindakan pelaksanaan pada pasien menurut irman (2016),
yaitu :

a. Startegi Pelaksanaan 1 : pengkajian dan latihan napas dalam dan


memukul kasur atau bantal
1) Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejalaperilaku
kekerasan yang dilakukan.
2) Mendiskusikan akibat perilaku kekerasan yang dilakukan.
3) Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
fisik, obat, verbal atau spiritual.
4) Menjelaskan latihan cara mengontrol perilaku kekersan secara
fisik yaitu tarik napas dalam, dan memukul kasur dan bantal.
5) Memasukkan latihan fisik kedalam jadwal pasien.

b. Strategi Pelaksanaan 2 : Latihan patu minum obat


1) Mengevaluasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
2) Mengevaluasi kemapuan melakukan tarik napas dalam dan
pukul kasur atau bantal.
3) Menanyakan manfaat yang dirasakan pasien dan berikan
pujian.
4) Menjelaskan latihan yang selanjutnya yaitu latihan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan obat.
5) Menjelaskan 6 benar minum obat, yaitu benar nama, jenis,
dosis, waktu, cara dan kontiniutasminum obat dan dampak jika
tidak rutin minum obat.
6) Masukkan minum obat kejadwal pasien bersama dengan
latihan fisik.
c. Strategi Pelaksanaan 4 : Latihan cara spiritual
1) Mengevaluasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
2) Memvalidasi kemampuan pasien melakukan teknik naps
dalam, pukul kasur atau bantal, minum obat dengan patuh dan
benar.
3) Menanyakan manfaat dan memberikan pujian.

34
4) Menjelaskan latihan yang selanjutnya yaitu latihan cara
mengontrol periaku kekerasan secara verbal ( mengungkapkan,
meminta dan menolak dengan benar).
5) Memasukkan latihan secara verbal kedalam jadwal pasien.
d. Strategi Pelaksanaan 4: latihan cara spiritusl
1) Mengevaluasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
2) Memvalidasi kemampuan pasien melakukan teknik napas
dalam, pukul kasur atau banatl, minum obat dengan patuh dan
benar, dan latihan cara verbal.
3) Menanyakan manfaat dan memberikan pujian. Memberikan
4) latihan yang selanjutnya yaitu latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan secara spiritual dengan memilih 2 kegiatan.
5) Memasukkan latihan sevara spiritual kedalam jadwal latihal
pasien.

Startegi tindakan pelaksanaan pada keluarga pasien menurut Pusat


Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (2012),yaitu :

a. Strategi pelaksanaan 5 : Cara merawata pasien dan latihan napas


dalam dan memukul bantal atau kasur.
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan saat merawat pasien.
2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, dan prosesterjadinya
perilaku kekerasan.
3) Menjelaskan cara merawat pasien prilaku kekerasan.
4) Melatih cara merawat perilaku kekerasan yaing pertama yaitu
dengan cara latihan cara napas dalam dan memukul bantal atau
kasur.
5) Menganjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan
pujian.

b. Strage pelaksanaan 6 : Latihan cara memberi minum obat


1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala
perilaku kekerasan.

35
2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam merawat atau
melatih pasiensecara fisik, yaitulatihan cara napas dalam dan
memukul bantal atau kasur, lalu memberikan pujian.
3) Menjelaskan 6 benar cara memberikan obat.
4) Melatih cara memberikan bimbingan minum obat.
5) Menganjurkan membantu pasien melakukan kegiatan atau
latihan sesuai jadwal dan memberi pujian.

c. Strategi pelaksanaan 7 : Latihan cara sosial atau verbal


1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala
perilaku kekerasan pasien.
2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam merawat atau
melatih pasien cara fisik, yaitu latihan cara napas dalam dan
memukul bantal atau kasur, dan memberikan obat,
memberikan pujian.
3) Menjelaskan cara mengontrol amarah dengan cara verbal yaitu
dengan meminta, menolak dan mengungkapkan perasaan
dengan benar.
4) Melatih cara verbal atau sosial.
5) Menganjurkan membantu pasien melakukan kegiatan atau
latihan sesuai jadwal dan memberikan pujian.

d. Strategi pelaksanaan 8 : latihan cara spiritual


1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala
perilaku kekerasan pasien.
2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam merawata atau
melatif pasien cara fisik, yaitu latihan cara napas dalam dan
memukul bantal atau kasur, memberikan obat dan latihan cara
verbal atau sosial dan berikan pujian.
3) Menjelaskan cara mengontrol mara dengan cara spiritual.
4) Melatih cara spiritual.
5) Menjelaskan follow up ke puskesmas dan tanda kambuh.

36
6) Mengidentifikasi kendala atau kesulitan dalam melakukan
latihan.
Diagnosa Keperawatan Harga Diri Rendah
a. Tindakan Keperawatan Untuk Pasien
1) SP 1 Pasien :
Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien, membantu pasien menilai kemampuan yang masih
dapat digunakan, membantu pasien memilih dan menetapkan
kemampuan yang akan dilatih, melatih kemampuan yang
sudah dipilih dan menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan
yang telah dilatih dalam rencana harian.
2) SP 2 Pasien :
Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan
kemampuan pasien. Latihan dapat dilanjutkan untuk
kemampuan lain sampai semua kemampuan dilatih. Setiap
kemampuan yang dimiliki akan meningkatkan harga diri
pasien.
b. Tindakan Keperawatan Pada Keluarga
1) SP 1 Keluarga :
Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam
merawat pasien di rumah, menjelaskan tentang pengertian,
tanda dan gejala harga diri rendah, menjelaskan cara merawat
pasien harga diri rendah dan memberikan kesempatan kepada
keluarga untuk mempraktikkan cara merawat.
2) SP 2 Keluarga :
Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien harga
diri rendah langsung pada pasien.

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melakukan tindakan keperawatan yang

37
sudah direncanakan, perawata perlu memvalidasi apakah tindakan
keperawatan masih dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien saat ini.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan pada pasien dan anggota keluarga yang
mengalami kekerasan menurut Imran (2016) adalah :
a. Evaluai kemampuan pasien risko perilaku kekerasan berhasil
apabila pasien dapat :
1) Menyebutkan penyebab, tanda dan gegala perilaku kekerasan,
perilaku kekerasan yang bisa dilakukan dan akibat dari perilaku
kekerasan.
2) Mengontrol perilaku kekerasan secara teratur sesuai jadwal :
a) Secara fisik, yaitu teknik napas dalam dan pukul bantal atau
kasur.
b) Secara sosial atau verbal, yaitu menolak, meminta dan
mengungkapkan perasaan dengan cara yang baik.
c) Secara spiritual.
d) Terapi psikofarmaka.

b. Evaluasi kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga


dengan resiko perilaku kekerasan dapat berhasil apabila dapat :
1) Mengenal masalah yang dirasakan saat merawat pasien,
(pengertian, tanda dan gejala dan proses terjadinya perilaku
kekerasan)
2) Mencegah terjadinya perilaku kekerasan.
3) Mendukung sikap yang menunjukan menundukung dan
menghargai pasien.
4) Memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perasaan
marah.
5) Menciptakan suasana dan lingkungan keluarga yang
mendukung pasien mengontrol perasaan marah.

38
6) Mengevaluasi manfaat asuhan keperawatan dalam mencegah
perilaku kekerasan psien .
7) Melakukan follow up ke puskesmas, mengenal tanda kambuh
dan melakukan rujukan.

39
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dengan berbentuk studi


kasus. Desain penelitian Deskriptif adalah desain yang disusun untuk
memberikan gambaran secara sistematis tentang informasi ilmiah yang
berasal dai subjek penelitian. Menurut Nursalam (2015) studi kasus
merupakan rancangan yang mencakup pengkajian satu unit penelitian
secara intensif untuk mendeskripsikan bagaimana penerapan asuhan
keperawatan jiwa pada pasien dengan prilaku kekerasan yang terintegritas
pada keluarga di wilayah kerja puskesmas Baruah Gunuang .

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Baruah


Gunuang, karna berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Lima Puluh Kota, wilayah kerja Puskesmas Baruah Gunuang
merupakan daerah dengan tingkat PK ke 2 se kabupaten. Waktu penelitian
dimulai dari bulan 27 Desember 2020-15 Mei 2021.

C. Populasi Dan Sampel


1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang


ditetapkan (Nursalam, 2015). Rencana populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien skizofernia yang mengalami masalah perilaku
kekerasan diwilayah kerja puskesmas baruah gunuang. Pasien
skizofernia yang mengalami perilaku kekerasan yang tercatat di
kecamatan bukit barisan dua bulan terakhir yaitu bulan November dan
Desember tahun 2020 sebanyak 6 orang.

2. Sampel

40
Sampel yaitu subjek penelitian yang dipilih melalui sampling,
terjangkau dan dapat dipergunakan (Nursalam, 2015). Sampel
penelitian adalah satu orang pasien gangguan jiwa dengan prilaku
kekerasan.

Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah :

Kriteria inklusi

Kriteria inklusi yaitu kriteria yang menentukan subjek penelitian yang


mewakili sampel penelitian dan memenuhi kriteria sampel

a. Pasien dan keluarga menyetujui untuk menjadi responden


b. Pasien pernah dirawat ata u rawat jalan di rumah sakit
c. Pasien masih berkunjung untuk pengobatan ke Puskesmas Baruah
Gununag selama satu tahun terakhir

Kriteria eksklusi

a. Pasien yang mengalami gangguan pendengaran dan tidak bisa


berbicara.
b. Pasien tidak kooperatif, yaitu tidak mengikuti latihan secara penuh.
c. Pasien dalam keadaan gelisah

Rencana cara pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan


menggunakan simple random sampling yaitu teknik pengambilan sampel
secara acak dengan cara mengundi setiap anggota atau unit dari populasi
yang empunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2010).

D. Intrument Pengumpulan Data

Pada penelitian ini instrumen yang digunakan dalam wawancara adalah


format tahapan proses keperawatan dasar yaitu format pengkajian
keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaaan keperawatan,
implementasi keperawatan, evaluasi keperawatan.

41
1. Format skrining dan format pengkajian keperawatan dasar terdiri dari :
identitas pasien,identifikasi penanggung jawab, riwayat kesehatan,
kebutuhan dasar, pemeriksaan fisik, data psikologis, data ekonomi
sosial, data spiritual, lingkungan tempat tinggal, pemeriksaan
laboratorium, dan terapi pengobatan.
2. Format analisa data terdiri dari : nama pasien, nomor rekam medik,
data, masalah dan etiologi.
3. Format diagnosa keperawatan terdiri dari : nama pasien, nomor rekam
medik, diagnosa keperawatan, tanggal dan paraf ditemukannya
masalah serta tanggal dan paraf dipecahkannya masalah.
4. Format rencana asuhan keperawatan terdiri dari : nama pasien, nomor
rekam medik,diagnosa keperawatan.
5. Format implementasi keperawatan terdiri dari : nama pasien, nomor
rekam medik, hari dan tanggal, diagnosa keperawatan, implementasi
keperawatan, dan paraf yang melakukan implementasi keperawatan
6. Format evaluasi keperawatan terdiri dari : nama pasien, nomor rekam
medik, hari dan tanggal, diagnosa keperawatan, evaluasi keperawatan
dan paraf yang mengevaluasi tindakan keperawatan.

Pemeriksaan fisik dengan alat berupa stetoskop, tensi meter dan


termometer,observasi dengan menggunakan lembar pengkajian
pemeriksaan fisik, dokumentasi dengan lembaran pengkajian data
penunjang.

E. Cara Pengumpulan Data


1. Wawancara

Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan


mewawancarai lansung responden yang akan diteliti. Alat yang
digunakan yaitu format tahapan proses keperawatan dasar dari
pengkajian sampai evaluasi. Wawancara yang dilakukan pada
responden yaitu tentang data dan keluhan yang dirasakan responden,
riwayat kesehatan, aktivitas /kebutuhan sehari hari ,data

42
psikologis,data spritual serta data lain yang dibutuhan terkait dengan
kondisi responden saat ini.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang akan dilakukan yaitu dengan melakukan


pemeriksaan langsung untuk melihat perubahan atau hal hal yang tidak
sesuai dengan keadaan normal. Pemeriksaan dilakukan dengan
pemeriksaan head to toe dengan teknik inspeksi,palpasi,perkusi, dan
auskultasi.

3. Studi Dokumentasi

Pengumpulan data penelitian ini menggunakan dokumen dari rumah


sakit untuk menunjang penelitian yang akan dilakukan seperti data
program pengobatan, data dari puskesmas dan informasi dari keluarga
pasien.

4. Observasi

Dalam observasi ini, peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan


sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian seperti
keadaan umum pasien, eskpresi pasien saat berkomunikasi dan
kegiatan yang dilakukan pasien sehari-hari.

F. Jenis-Jenis Dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari


responden meliputi : identitas pasien, riwayat kesehatan pasien.

b. Data Sekunder

43
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
langsung dari keluarga dan diperoleh dari Medical record
Puskesmas Andalas.

2. Cara Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi,


pemeriksaan fisik, dan mempelajari data penunjang. Sumber data
adalah pasien, keluarga atau orang terdekat, tim kesehatan secara
catatan lain.

G. Prosedur Penelitian

Adapun langkah-langkah prosedur penelitian yang akan dilakukan oleh


peneliti adalah:

1. Peneliti meminta izin penelitian dari institusi asal peneliti yaitu


Poltekkes Kemenkes RI Padang.
2. Peneliti mendatangi Dinas Kesehatan Kota Padang dan menyerahkan
surat izin penelitian dari institusi ke ruangan Kepala Dinas Kesehatan
Kota Padang.
3. Meminta surat rekomendasi ke Puskesmas Andalas kota Padang.
4. Meminta izin kepada Kepala Puskesmas Andalas Padang.
5. Mendatangi partisipan untuk dilakukan skrinning
6. Pemilihan sampel dari 3 orang dengan teknik purposive sampling
7. Kemudian menyesuaikan dengan kriteria yang ada didapatkan 3 orang
pasien.
8. Dari 3 orang pasien dipilih 1 orang secara acak untuk dijadikan sampel
penelitian
9. Setelah didapatkan 1 orang pasien, peneliti mendatangi responden dan
menjelaskan tujuan penelitian.
10. Informed Consent diberikan kepada responden.
11. Responden diberikan kesempatan untuk bertanya.
12. Responden menandatangani Informed consent, peneliti meminta waktu
responden untuk melakukan asuhan keperawatan.

44
13. Analisa Data

Data yang telah didapat dari hasil pengkajian dikelompokkan menjadi


subjektif dan objektif. Hasil analisa tersebut dirumuskan untuk
penegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan panduan SDKI dan
menyusun rencana keperawatan, melaksanakan implementasi
keperawatan, evaluasi keperawatan dan dokumentasi keperawatan.
Hasil analisa akan dinarasikan dan dibandingkan dengan hasil
penelitian yang terkait mengenai asuhan keperawatan jiwa pada pasien
dengan perilaku kekerasan yang terintegrasi pada keluarga pasien.
Analisa yang dilakukan adalah untuk menentukan adakah kesesuaian
teori dengan kondisi responden.

45
DAFTAR PUSTAKA

Abd.Nasir, dkk. 2011. Metodologi penelitian Kesehatan.


Yogyakarta: Nuha Medika

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing interventions


Classification.USA: Elservier Mosby

Davies, Teifion. 2009. ABC Kesehatan Mental. Jakarta : EGC

Dermawan, Deden .2013. Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan


Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Tim Gosyen Publishing.

Dinas Kesehatan Kota Padang. 2015. Data Program Kesehatan Jiwa


Kota Padang periode Januari s/d Desember tahun 2015. Padang.

Dwi, A.S., dan Prihantini. 2015. Pengaruh Terapi Psikoreligi


Terhadap Penurunan Prilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia Di Rumah Sakit Daerah Surakarta. Jurnal Terpadu
Ilmu Kesehatan, Vol 4, No 1, 72-77, Mei 2015. Diambil dari:
http://.portalgaruda.org/article.doc. (8 April 2018)

Erlina, dkk. 2010. Determiana Terhadap Timbulnya Skizofrenia


Pada Pasien Rawat Jalan Di RS. Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang
Sumbar. Jurnal Berita
Kedokteran Masyarakat. 26 (2): 63-70. (8 April 2018)

Hasmila, dan Wildan. 2015. Faktor Predisposisi Penderita


Skizofrenia Di Poli Klinik Rumah Sakit Jiwa Aceh. Idea
Nursing Journal, Vol. VI No. 2, 2015. (8 April 2018)

46
Herman, Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Instalasi Rekam Medis. 2016. Laporan Kegiataan Tahun 2016 dan


Program Kerja Tahun 2017. Rumah Sakit Jiwa Prof H.B
Saanin Padang

Kamahi, P., dkk. 2015. Pengaruh Penerapan Asuhan Keperawatan


Pada Klien Halusinasi Terhadap Kemampuan Klien
Mengontrol Halusinasi Di RSKD DADI Makasar. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis, Volume 5 Nomor 6 Tahun 2015.
(5 April 2018)

Keliet, B. A. 2009. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Modul Pelatihan


Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. . 2016. Peran
Keluarga
Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta

Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


CV Andi Offset

Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification. USA:


Elservier Mosby

Prabowo, Ade. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika

Puja, Yeka. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Prilaku


Kekerasan Diruangan Merpati Rumah Sakit Jiwa Hb Saanin
Padang. Politeknik kesehatan Padang

Rikesdas. 2013. Badan Peneitian dan Pengembangan Kesehatan


Kementrian Kesehatan RI

Rifi. Susansi, dkk. 2014. Hubungan Pengetahuan dan Motivasi


Pasien
Gangguan Jiwa di RSUD Karimu Riau. E-Journal keperawatan
Universitas Riau 9 januari 2018

47
Shofiyah, Erni. 2015. Harga Diri Pada Klien Gangguan Jiwa yang
Menjalani
Rawat Jalan Di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Kota
Mojokerto.
Laporan Penelitian. (8 April 2018)

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R dan D.


Bandung: Alfa Beta

Sumiarta, Dyah, dkk. 2013. Penurunan Prilaku Kekerasan Pada


Klien Skizofrenia.
http://ejournal.ui.Id/index.php/jkp/article/view. Diakses pada
tanggal 22 Desember 2017 pukul 13.30 WIB

Sumirta, I.N., dkk. 2014. Relaksasi Napas dalam Terhadap


Pengendalian
Marah klien dengan Prilaku Kekerasan. Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Denpasar

Suryni. 2015. Mengenal Gejala dan Penyebab Gangguan Jiwa.


Disampaikan pada Seminar Nasional “Stigma Terhadap Orang
Gangguan Jiwa” Bem
Psikologi UNJANI. (8 April 2018)

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan


Indonesia definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan:
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

UU Nomor 18 Tahun 2014 pasal 1 (ayat 1 & 3) Tentang Kesehatan


Jiwa.

Wahyuni, Sri. 2016. Pemberian Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Harga Diri
Rendah. Repositori Universiti Of Riau. Diambil
dari:
Http:///responsitory. Unri.ac.id/ (5 April 2018)

Yusuf, AH, dkk. 2015. Buku Ajar Kesehatan Jiwa, Jakarta :


Salemba Medika.

48
49
50
51
52
Lembar skrining

Tabel 1. Format Skrining Pasien Skizofernia dengan Perilaku Kekerasan

Nama :
Umur :
NIK :
Hasil Pemeriksaan

Suhu :
Tekanan Darah :

Perilaku Ya Tidak
1. Apakah klien sering marah marah tanpa alasan yang
jelas?
2. Apakah saat berbicara klien menggunakan nada
tinggi dan intonasi yang keras?.
3. Suka berkata kata kasar.
4. Apak mata klien tampak memerah tanpa ada riwayat
tertentu ?
5. Apakah klien sering gelisah, mondar mandir atau
tidak bisa diam?
6. Apakah saat marah klien suka melempar atau
memukul benda atau orang?
7. Apakah saat marah klien bisa menngendalikan diri
atau emosi?
8. Apakah klien memiliki pandangan yang tajam tanpa
ada penyebab tertentu?
9. Apakah klien suka mengatupkan rahang secara kuat?
10. Apakah saat marah klien suka mengepalkan tangan
seperti akan memukul?

53

Anda mungkin juga menyukai