SKRIPSI
Oleh:
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
i
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..............................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
ABSTRAK .............................................................................................................
ABSTRACT ............................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................
ii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 43
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban
Gempa (Badan Standardisasi Nasional, 2019)................................... 9
Tabel 2.2 Faktor Keutamaan Gempa (Badan Standarisasi Nasional, 2019)...... 11
Tabel 2.3 Klasifikasi Situs (Badan Standarisasi Nasional, 2019)...................... 14
Tabel 2.4 Koefisien Situs, Fa (Badan Standarisasi Nasional, 2019).................. 15
Tabel 2.5 Koefisien Situs, Fv (Badan Standarisasi Nasional, 2019)............. .... 15
Tabel 2.6 Nilai Parameter Periode Pendekatan Ct dan x............................... .... 16
Tabel 2.7 Koefisien untuk batas atas periode yang dihitung (Cu).................. 17
Tabel 2.8 Beban Hidup pada Lantai Gedung (PPPURG,1987)..................... .... 20
Tabel 2.9 Berat Sendiri Bahan Bangunan Gedung (PPPURG, 1987)........... 21
Tabel 2.10 Berat Sendiri Komponen Gedung (PPPURG, 1987)..................... .... 22
Tabel 2.11 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada
Tingkat Kinerja Struktur (ATC-40, 1996 ).................................... .... 30
Tabel 2.12 Batasan Deformasi Menurut ATC-40................................................ 35
Tabel 2.13 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada
Tingkat Kinerja Struktur (FEMA 356, 2000)................................ .... 39
Tabel 2.14 Penelitian Terdahulu...................................................................... .... 41
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Lokasi Proyek Hotel 10 Lantai di Jalan Mayor Jendral S.Parman, Kota
Samarinda, Kalimantan Timur....................................................... 5
Gambar 2.1 Skema Urutan Kejadian Gempa Bumi (Widodo, 2013)..................... 8
Gambar 2.2 Ss, Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget.. .... 13
Gambar 2.3 S1, Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget....... 13
Gambar 2.4 Grafik Spektrum Respons Desain.................................................. .... 17
Gambar 2.5 Peta Transisi periode Panjang TL, wilayah Indonesia.................... .... 18
Gambar 2.6 Respon Struktur Akibat Gempa ( Widodo, 2012).......................... .... 24
Gambar 2.7 Kurva Kriteria Level Kinerja (ATC-40, 1996).............................. .... 29
Gambar 2.8 Ilustrasi Kurva Kapasitas (ATC-40, 1996)......................................... 31
Gambar 2.9 (a) Kurva Kapasitas (b) Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996
Hal 8-12)........................................................................................ .... 32
Gambar 2.10 (a) Respon Spektrum Standar (b) Respon Spektrum (ATC-40,
1996 : Hal 6-8)............................................................................... .... 33
Gambar 2.11 Titik Kinerja Struktur pada Tingkat Redaman Struktur
(ATC-40, 1996 : 6-10)................................................................... .... 34
Gambar 2.12 Sendi Plastis pada Balok da Kolom (Dewobroto, 2007)................... 36
Gambar 2.13 Tingkat Kinerja Gempa Berbasis PDB, FEMA 273.................... .... 38
Gambar 2.14 Tingkatan Plastifikasi Sendi Plastis Elemen (Tavio dan Wijaya,
2018).............................................................................................. .... 39
Gambar 3.1 (a) Gambar Tampak Kanan dan (b) Gambar Tampak Depan (Shop
Drawing, 2020)................................................................................... 42
Gambar 3.2 Permodelan 3D Gedung Hotel di ETABS........................................... 43
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian...................................................................... 43
v
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi, karena
terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik besar dunia, yaitu: lempeng Hindia-
Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ketiganya saling bertemu di wilayah Indonesia dan
membentuk jalur-jalur pertemuan lempeng yang kompleks. Karena sifat gempa bumi
yang tidak dapat diprediksi maka diperlukan suatu tindakan pencegahan guna
meminimalisir timbulnya kerugian dan korban jiwa salah satunya dengan merencanakan
bangunan tahan gempa. Dengan demikian, diharapkan bangunan mampu menerima
gaya gempa pada level tertentu tanpa terjadi kerusakan yang signifikan pada strukturnya
atau apabila struktur bangunan harus mengalami keruntuhan mampu memberikan
perilaku nonlinear pada kondisi pasca-elastik sehingga tingkat keamanaan bangunan
terhadap gempa dan keselamatan jiwa penghuninya lebih terjamin.
Dengan keterbatasan lahan di Indonesia yang saat ini semakin berkurang sedangkan
jumlah pembangunannya semakin meningkat menyebabkan banyak dibangunnya
gedung-gedung yang tinggi. Namun, semakin tinggi suatu struktur maka semakin rawan
pula terhadap gempa bumi. Maka diperlukan penetapan level kinerja untuk sebuah
perencanaan struktur bangunan guna mengetahui kondisi bangunan pasca gempa
sehingga dapat meminimalisir adanya kerusakan pada struktur bangunan tersebut.
Bangunan bertingkat tinggi seperti gedung perkantoran, hotel atau apartemen pada
umumnya mempunyai lobi yang luas yang berada pada lantai dasar yang desain
kolomnya lebih tinggi dibandingkan dengan lantai atasnya. Dengan adanya gempa,
karena kolom bagian bawah lebih lemah, maka keruntuhan akan terjadi pada kolom
bawah. Hal ini menyebabkan kerusakan parah pada struktur bangunan yang membuat
bangunan runtuh atau terpaksa harus diruntuhkan karena tidak mungkin dilakukan
perbaikan.
1
Perencanaan struktur bangunan menjadi faktor yang berpengaruh dalam menentukan
keamanan dan ketahanan bangunan dalam menahan atau menerima beban yang bekerja.
Khususnya struktur bangunan gedung beton bertulang yang umum digunakan di
Indonesia, harus didesain dengan mempertimbangkan pengaruh gempa terhadap
struktur sehingga bangunan dapat digunakan dengan nyaman dan aman. Suatu
bangunan harus direncanakan untuk dapat memberikan kinerja minimal life safety,
dimana bangunan diperbolehkan mengalami kerusakan namun tidak mengalami
keruntuhan. Dengan demikian, kemungkinan timbulnya korban jiwa dapat
diminimalisasi.
Salah satu konsep terbaru untuk perencanaan bangunan tahan gempa yaitu
menggunakan konsep Perencanaan Berbasis Kinerja (Performance Based Design).
Perencanaan ini memberikan gambaran perilaku inelastis struktur terhadap gempa dan
pola keruntuhannya yang dinyatakan secara jelas dalam bentuk kurva. Salah satu
pendekatan analisis yang dapat digunakan adaah Analisis Statik Non-Linear atau
Analisis Pushover yang ditentukan dengan Metode Spektrum Kapasitas berdasarkan
Applied Technology Council (ATC 40, 1996) dan Metode Koefisien Perpindahan
berdasarkan Prestandard and Commentary for the Seismic Rehabilitation of
Buildings (FEMA 356, 2000). Analisis ini dilakukan dengan memberikan beban statik
secara terus menerus di tiap lantainya hingga struktur mengalami keruntuhan pada batas
tertentu sehingga diketahui perilaku struktur setelah tercapainya batas keruntuhan dan
tingkat kerusakan yang terjadi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pushover untuk mengetahui perilaku inelastic
struktur saat terjadi gempa sehingga diperoleh pola keruntuhan dan perpindahan saat
diberikan beban gempa pada stuktur Proyek Hotel di Jalan Mayor Jendral S.Parman,
Samarinda yang memiliki luas kurang lebih 365 m2 dan terdiri dari 10 lantai. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program Extended Three Dimensional
Analysis of Building Systems (ETABS) untuk membuat permodelan gedung yang diteliti.
2
1.2. Tujuan Penelitian
Manfaat yang bisa diperoleh dari analisis ini adalah untuk mengetahui berapa besar
gaya maksimum yang dapat ditahan struktur serta pola keruntuhan dan perpindahan saat
diberikan beban gempa pada stuktur Proyek Hotel di Jalan Mayor Jendral S.Parman,
Samarinda.
1. Bagaimana kurva kapasitas dan kurva kapasitas spektrum yang dihasilkan dari
Analisis Pushover?
2. Bagaimana kriteria level kinerja struktur gedung hotel berdasarkan ATC-40 dan
FEMA 356 dengan menggunakan program bantu ETABS?
3. Bagaimana skema distribusi sendi plastis yang dihasilkan dari Analisis Pushover?
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini akan fokus
membahas mengenai pola keruntuhan yang dihasilkan dari analisis pushover. Ruang
lingkup penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang:
3
1. Struktur gedung berfungsi sebagai hotel yang terdiri dari 10 lantai termasuk
retaining wall dan atap.
2. Struktur gedung merupakan gedung beton bertulang
3. Struktur yang digunakan adalah struktur beton, meliputi :
a. Struktur potral beton bertulang.
b. Pelat lantai beton bertulang.
c. Atap dengan spandek baja ringan.
4. Pembebanan Gedung meliputi :
a. Beban gravitasi berupa beban mati, hidup dan hujan sesuai kombinasi
pembebanan SNI 1727:2013 dan pertimbangan perhitungan pembebanan sesuai
dengan Pedoman Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPPIUG,
1987).
b. Beban lateral, berupa beban gempa sesuai dengan SNI 1726-2019.
5. Kriteria kinerja mengacu pada ATC 40 dan FEMA 356.
6. Perilaku struktur dianalisis dengan menggunakan analisis pushover dengan bantuan
program ETABS.
Adapun denah lokasi dapat dilihat pada Gambar 1.1 di bawah ini.
4
Lokasi Proyek
Gambar 1.1 Lokasi Proyek Hotel 10 Lantai di Jalan Mayor Jendral S.Parman, Kota
Samarinda, Kalimantan Timur
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan masalah, batasan
masalah dan lokasi penelitian serta memuat sistematika penulisan.
5
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan deskripsi tentang tahapan penelitian dan diagram alir tahapan
penelitian yang membahas tentang tata cara pengerjaan penelitian yang dilaksanakan
dari awal dimulainya hingga penelitian selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat semua literatur yang benar-benar diacu dalam skripsi dan yang
pernah dibaca maupun dipelajari oleh penulis dan terkait dengan laporannya.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, gempa bumi adalah peristiwa
bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai
dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi. Akumulasi energi penyebab
terjadinya gempa bumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi
yang dihasilkan dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempa bumi sehingga
efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Beberapa karakteristik gempa
bumi antara lain berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, akibatnya dapat
menimbulkan bencana, berpotensi terulang lagi, belum dapat diprediksi dan tidak dapat
dicegah, tetapi akibat yang ditimbulkan dapat dikurang.
Menurut Hartuti (2009), gempa bumi dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori
berdasarkan proses terjadinya yakni sebagai berikut :
1. Gempa tektonik, yaitu gempa yang terjadi akibat tumbukan antar lempeng di lapisan
litosfer kulit bumi oleh tenaga teknonik.
2. Gempa vulkanik, yaitu gempa yang terjadi akibat aktivitas gunung berapi sehingga
hanya berdampak pada daerah sekitar gunung berapi tersebut.
3. Gempa runtuhan, yaitu gempa yang terjadi karena runtuhan tanah atau batuan.
Gempa ini sering terjadi di kawasan tambang akibat runtuhnya dinding tambang
yang mengakibatkan getaran yang bersifat lokal.
4. Gempa jatuhan, yaitu gempa yang terjadi akibat dari jatuhnya benda langit seperti
meteor.
5. Gempa buatan, yaitu gempa yang sengaja dibuat oleh manusia. Gempa ini berasal
dari kegiatan manusia seperti percobaan peledakan nuklir bawah tanah ataupun
ledakan dinamit di bawah permukaan bumi yang menimbulkan efek getaran.
7
Menurut Suharjanto (2013), sebagian besar gempa bumi disebabkan dari pelepasan
energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempeng yang bergerak.
Dengan kata lain bahwa gempa tektonik merupakan gempa dengan intensitas yang
sering bila dibandingkan dengan klasifikasi gempa lainnya. Gempa bumi biasanya
terjadi pada daerah perbatasan lempengan. Adapun skema urutan terjadinya gempa
bumi yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Menurut Uniform Building Code (UBC, 1997), umumnya suatu bangunan dikatakan
sebagai bangunan tahan gempa apabila memenuhi kriteria berikut :
1. Struktur yang direncanakan harus memiliki kekakuan lateral yang mencukupi
untuk dapat mempertahankan kondisi elastis ketika menerima beban gempa.
2. Struktur yang direncanakan harus dapat menahan beban gempa menengah tanpa
terjadinya kerusakan pada elemen struktural. Kerusakan pada elemen
nonstruktural diperbolehkan untuk terjadi.
3. Struktur yang direncanakan diperbolehkan untuk mengalami kerusakan pada
8
elemen strukturalnya ketika menerima beban gempa besar. Namun struktur
keseluruhan tidak diperbolehkan mengalami keruntuhan.
Tabel 2.1 Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung Untuk Beban
Gempa (Badan Standardisasi Nasional, 2019)
Jenis Pemanfaatan Kategori Risiko
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko rendah terhadap
jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak
dibatasi untuk, antara lain:
- Fasilitas pertanian, perkebunan perternakan, dan perikanan I
- Fasilitas sementara
- Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam
kategori risiko I, III, IV termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor
- Pasar
- Gedung perkantoran II
- Gedung apartemen/ rumah susun
- Pusat perbelanjaan/ mall
- Bangunan industri
9
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko tinggi terhadap
jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak
dibatasi untuk:
- Bioskop
- Gedung pertemuan
- Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit
gawat darurat
- Fasilitas penitipan anak
- Penjara
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non gedung, tidak termasuk kedalam kategori risiko III
IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi
yang besar dan/atau gangguan massa terhadap kehidupan
masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak
dibatasi untuk:
- Pusat pembangkit listrik biasa
- Fasilitas penanganan air
- Fasilitas penanganan limbah
- Pusat telekomunikasi
10
menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran.
Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang
penting, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk:
- Bangunan-bangunan monumental
- Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
- Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
fasilitas bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas pemadam kebakaran, ambulan, dan kantor polisi,
serta garasi kendaraan darurat
- Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan
tempat perlindungan darurat lainnya IV
- Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan
fasilitas lainnya untuk tanggap darurat. Pusat pembangkit energi
dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan
darurat
- Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki
penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun
listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau
struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam
kebakaran yang disyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan
darurat.
11
2.3.2 Kombinasi Beban
Struktur harus dirancang sedemikian hingga kuat yang telah direncanakan sama atau
melebihi dari pengaruh beban-beban terfaktor dengan kombinasi sebagai berikut:
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5R
3. 1,2D + 1,6R + (L atau 0,5W)
4. 1,2D + W + L + 0,5R
5. 0,9D + W
6. 1,2D + Ev + Eh + L
7. 0,9D - Ev + Eh
Dimana:
D = Dead Load
L = Live Load
R = Rain Load
W = Wind Load
Ev = Pengaruh beban gaya seismik vertikal
Eh = Pengaruh gaya seismik horizontal
Menurut SNI 1726:2019, bahwa parameter Ss (percepatan batuan dasar pada perioda
pendek) dan S1 (percepatan batuan dasar pada perioda 1 detik) harus ditetapkan
masing-masing dari respons spektral percepatan 0,2 detik dan 1 detik dalam peta gerak
12
tanah seismik dengan kemungkinan 2 persen terlampaui dalam 50 tahun menurut
parameter respons spektral percepatan gempa maksimum yang dipertimbangkan
risiko tertarget (MCER), dan dinyatakan dalam bilangan desimal terhadap
percepatan gravitasi. Adapun peta yang digunakan untuk mendapatkan nilai Ss
dapat dilihat dilihat pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 sebagai berikut :
13
Tipe kelas situs harus ditetapkan sesuai dengan definisi pada Tabel 2.3 sebagai berikut.
Dimana :
ῡs = kecepatan rambat gelombang geser rata-rata pada regangan geser yang kecil
N = tahanan penetrasi standar rata-rata
Su = kuat geser niralir rata-rata
Berdasarkan sifat-sifat tanah pada situs, maka harus diklasifikasikan sebagai kelas situs
SA, SB, SC, SD, SE dan SF. Bila sifat-sifat tanah tidak teridentifikasi secara jelas
sehingga tidak bisa ditentukan kelas situsnya, maka kelas situs SE dapat digunakan
kecuali jika pemerintah/dinas yang berwenang memiliki data geoteknik yang dapat
menentukan kelas situs SF.
Untuk menentukan respon spektral percepatan gempa MCER di permukaan tanah, maka
diperlukan suatu faktor amplifikasi seismik pada perioda 1,2 detik dan perioda 1 detik.
Faktor Amplifikasi tersebut meliputi Fa yaitu faktor amplifikasi terkait percepatan pada
periode pendek dan Fv yaitu faktor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili
14
getaran perioda 1 detik. Untuk mencari nilai Fa dan Fv dilakukan dengan melihat pada
Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 sebagai berikut:
Parameter spektrum respon percepatan pada periode pendek (SMS) dan periode 1 detik
(SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, harus ditentukan dengan
rumus sebagai berikut :
15
Dimana :
SS = parameter respon spektral percepatan gempa terpetakan untuk periode pendek;
S1 = parameter respon spektral percepatan gempa terpetakan untuk periode1,0 detik.
Setelah didapatkan nilai SMS dan SM1 perlu dihitung parameter percepatan spektral
desain untuk periode pendek (SDS) dan pada periode 1 detik (SD1) yang harus
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
2
SDS = SMS..................................................................................................2.3
3
2
SD1 = SM1.................................................................................................. 2.4
3
Periode getar struktur pendekat atau fundamental period (Ta) merupakan kelengkapan
yang penting untuk diketahui dalam proses perancangan struktur tahan gempa untuk
menentukan besarnya beban gempa yang akan dimasukkan dalam perhitungan struktur.
Periode Fundamental pendekat dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut dan nilai
Ct dan x dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Dimana :
16
Dari hasil analisis struktur harus ditinjau dengan syarat sebagai berikut dan nilai Cu
dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Dimana :
Tabel 2.7 Koefisien untuk batas atas padaperiode yang dihitung (Cu)
Untuk mendapatkan grafik spektrum respon maka harus mengikut ketentuan sebagai
berikut :
a. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, spektrum respons percepatan desain (Sa),
harus diambil dari persamaan :
T
Sa = SDS 0,4 0,6 ................................................................................2.5
T0
b. Untuk periode yang lebih besar dari Ts, dan lebih kecil dari atau sama dengan Ts,
17
spektrum respons percepatan desain (Sa), sama dengan SDS;
c. Untuk periode yang lebih besar dari Ts, tetapi lebih kecil dari atau sama dengan TL,
respon spektral percepatan desain (Sa), harus diambil dari persamaan :
SD1
Sa = ....................................................................................................... 2.6
T
d. Untuk periode yang lebih besar dari TL, spektrum respons percepatan desain (Sa),
harus diambil dari persamaan :
棸
................................................................................................ 2.7
Keterangan :
SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada periode pendek;
SD1 = parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1 detik;
T = periode getar fundamental struktur
SD 1
T0 = 0,2
SDS
SD 1
TS =
SDS
TL = Peta transisi periode Panjang yang ditunjukan pada Gambar yang nilainya diambil
dari Gambar 2.5
Berdasarkan ketentuan yang telah diikuti, maka akan diperoleh grafik spektrum respons
seperti pada Gambar 2.4 di bawah ini :
18
Gambar 2.4 Grafik Spektrum Respons Desain
19
beban-beban yang bekerja pada sistem struktur. Beban-beban yang bekerja pada suatu
struktur ditimbulkan secara langsung oleh gaya-gaya alamiah dan buatan manusia.
Secara umum, struktur bangunan dikatakan aman dan stabil apabila mampu menahan
beban gravitasi dan beban lateral yang bekerja pada bangunan tersebut.
20
8. Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam No. 500 kg/m2
4,5,6 dan 7
Lantai ruang pelengkap dari yang disebut dalam No. 3,4,5,6 dan 250 kg/m2
7
9. Lantai untuk pabrik, bengkel, Gudang, perpustakaan, ruang arsip,
toko buku, toko besi, ruang alat-alat dan ruang mesin, harus
400 kg/m2
direncanakan terhadap beban hidup yang ditentukan tersendiri
dengan minimum
10. Lantai Gudang parker bertingkat :
- untuk lantai bawah 800 kg/m2
- untuk lantai tingkat lainnya 400 kg/m2
11. Balkon-balkon yang menjorok bebas keluar harus direncanakan
terhadap beban hidup dari lantai ruang yang berbatasan, dengan 300 kg/m2
minimum
21
5. Batu pecah 1.450 kg/m3
6. Besi tuang 7.250 kg/m3
7. Beton (1) 2.200 kg/m3
8. Beton bertulang (2) 2.400 kg/m3
9. Kayu (Kelas 1) (3) 1.000 kg/m3
10. Kerikil, koral (kering udara sampai lembab, tanpa diayak) 1.650 kg/m3
11. Pasangan batu merah 1.700 kg/m3
12. Pasangan batu belah, batu bulat, batu gunung 2.200 kg/m3
13. Pasangan batu cetak 2.200 kg/m3
14. Pasangan batu karang 1.450 kg/m3
15. Pasir (kering udara sampai lembab) 1.600 kg/m3
16. Pasir (jenuh air) 1.800 kg/m3
17. Pasir kerikil, koral (kering udara sampai lembab) 1.850 kg/m3
18. Tanah, lempung dan lanau (kering udara sampai lembab) 1.700 kg/m3
19. Tanah, lempung dan lanau (basah) 2.000 kg/m3
20. Timah hitam (timbel) 11.400 kg/m3
22
5. Langit-langit dan dinding (termasuk rusuk-rusuknya, tanpa
penggantung langit-langit atau pengaku), terdiri dari :
- semen abses (etemik dan bahan lain sejenis), dengan tebal 11 kg/m2
maksimum 44 mm 10 kg/m2
- kaca, dengan tebal 3-5 mm
6. Langit kayu sederhana dengan balok kayu, tanpa langit-langit
dengan bentang maksimum 5 m dan untuk beban hidup 40 kg/m2
maksimum 200 kg/m2
7. Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan bentang
maksimum 5 m dan jarak minimum 0,80 m 7 kg/m2
8. Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidang 50 kg/m2
atap
9. Penutup atas sirap dengan reng dan usuk/kaso, per m2 bidang 40 kg/m2
atap
10. Penutup asap seng gelombang (BLJS-25) tanpa gordeng 10 kg/m2
11. Penutup lantai dari ubin semen portland, teraso dan beton, tanpa
adukan, per cm tebal 24 kg/m2
c. Beban Hujan
Menurut PPURG 1987, beban air hujan yaitu sebesar (40-0,8 α) kg/m2 dimana α
adalah sudut kemiringan atap dengan derajat ketentuan bahwa beban tersebut
tidak perlu diambil lebih besar dari 20 kg/m2 dan tidak perlu ditinjau kemiringan
atapnya apabila lebih besar dari 50o.
a. Beban Angin
Menurut SNI 1727:2013, beban angin adalah semua beban yang bekerja pada
gedung atau bagian gedung yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara.
Beban angin terjadi akibat pengaruh struktur yang memblok aliran angin,
sehingga energi kinetik angin akan dikonversi menjadi tekanan energi potensial,
yang menyebabkan terjadinya beban angin. Menurut SNI 1726:2019 beban
23
angin dan beban seismik tidak perlu ditinjau secara bersamaan.
b. Beban Gempa
Menurut PPPURG (1987), gempa bumi adalah fenomena getaran yang
berkaitan dengan kejutan pada kerak bumi yang mengakibatkan beban kejut
yang menjalar dalam bentuk gelombang. Beban gempa adalah semua beban
yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang menirukan pengaruh dari
gerakan tanah akibat gempa. Adapun aturan yang membahas mengenai beban
gempa adalah SNI 1726:2019.
Saat gedung menerima beban gempa, maka yang akan memikul base shear. Base shear
tiap lantai merupakan fungsi dari massa (m) dan kekakuan (k) pada tiap lantai tersebut.
Base shear akan mendistribusikan pada setiap lantai dan mengakibatkan tiap lantai
bergeser/displacement dari kedudukan semula. Gaya geser dasar akibat gempa bumi,
dalam arah yang ditetapkan harus ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
V = Cs . W....................................................................................................2.6
SDS
Cs
R .. ............................................................................ 2.9
Ie
24
Dimana :
Cs = koefisien respon seismik
Saat gaya gempa bekerja, maka gedung akan merespon beban gempa tersebut dan
apabila beban gempa tersebut melebihi kemampuan/kapasitas gedung, maka gedung
akan berperilaku in-elastis apabila sifat struktur cukup daktail. Begitupun sebaliknya,
gedung akan langsung hancur apabila sifat struktur kurang daktail. Respon struktur
akibat gempa dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Menurut SNI 2847:2013, beton adalah campuran semen portland atau semen hidrolis
lainnya, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan
(admixture). Seiring dengan penambahan umur, beton akan semakin mengeras dan
akan mencapai kekuatan rencana (f’c) pada usia 28 hari. Beton memliki daya kuat
tekan yang baik oleh karena itu beton banyak dipakai atau dipergunakan untuk
pemilihan jenis struktur terutama struktur bangunan, jembatan dan jalan. Sedangkan
beton bertulang adalah beton yang menggunakan tulangan yang direncanakan
25
berdasarkan asumsi bahwa kedua material bekerja bersama-sama dalam menahan gaya
yang bekerja.
26
2.7 Perkembangan Teknologi Desain Tahan Gempa
Menurut Tavio & Usman Wijaya (2018), dalam desain struktur bangunan tahan gempa,
ada tiga konsep desain dan perbedaannya yaitu :
1. Konsep desain layan, diutamakan kemampuan layan, kontrol pada tegangan yang
terjadi. Konsep ini hanya memastikan kapasitas material, defleksi dan vibrasi,
untuk beban layan di dalam batas izin tetapi tidak untuk kekuatan dan kekakuan.
2. Konsep desain ultimit (desain berbasis gaya/ force based design), diutamakan
kekuatan, kontrol pada regangan. Konsep ini hanya memastikan faktor keamanan
tertentu terhadap kelebihan beban di dalam struktur atau penampang.
3. Konsep desain berbasis kinerja (performance based design), diutamakan keamanan,
kontrol pada deformasi dan kinerja yang lain harus memenuhi persyaratan. Konsep
ini memastikan struktur mampu memenuhi kapasitas layan dan kapasitas ultimit
serta memenuhi tingkat kinerja yang ditentukan.
Performance Based Design (PBD) atau yang lebih dikenal dengan Performance Based
Earthquake Engineering (PBEE) merupakan salah satu konsep mendesain bangunan
dengan menetapkan terlebih dahulu tingkat kinerja bangunan yang diharapkan terjadi
pada saat struktur dilanda gempa. Tingkat kinerja (performance) ini merupakan suatu
pilihan yang harus ditentukan oleh perencanaan struktur pada tahap awal, dimana
tingkat kinerja ini dapat dievaluasi dari beberapa kondisi batas. Kondisi batas ini
bersifat fleksibel, karena merupakan kesepakatan dari pihak perencana struktur dengan
pihak yang memiliki bangunan (owner). Hal ini membuat pihak pemilik dan pihak
perencana dapat memiliki kebebasan dalam menentukan tingkat kinerja struktur
bangunan yang akan dibangun.
Elemen utama dari performance based design adalah demand dan capacity. Demand
adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh struktur, dapat digambarkan sebagai beban
gempa. Pada setiap elemen struktur besarnya demand secara kuantitatif adalah
kombinasi pembebanan maksimum yang terjadi pada elemen tersebut. Sedangkan
capacity adalah kapasitas yang dimiliki oleh struktur.
27
Pada akhir proses desain, target tersebut dijadikan parameter minimum yang harus
dipenuhi. Tingkatan kinerja struktur dapat diketahui dengan melihat kerusakan struktur
saat terkena gempa rencana dengan periode ulang tertentu. Dalam desain struktur
berbasis kinerja, kinerja struktur direncanakan sesuai dengan tujuan dan kegunaan suatu
bangunan, dengan pertimbangan faktor ekonomis terhadap perbaikan bangunan saat
terjadi gempa tanpa mengesampingkan keselamatan terhadap pengguna bangunan.
Secara singkat proses perencanaan dimulai dengan membuat desain awal bangunan
kemudian melakukan simulasi kinerja terhadap beberapa beban gempa. Lalu bila hasil
simulasi masih di bawah parameter minimum yang ditentukan diawal, akan dilakukan
re-design sehingga kinerja bangunan dapat sesuai target. PBSD juga dapat diterapkan
untuk memperkuat (upgrading) bangunan yang sudah ada.
Menurut Boby dkk (2017), ada dua metode yang umumnya digunakan dalam
perfomance based design yaitu sebagai berikut :
1. Analisis dinamik riyawat waktu (time history) yaitu suatu analisis untuk
menentukan riwayat waktu respons dinamik struktur gedung terhadap gerakan
tanah akibat gempa dari rekam Accelerograms (perekaman akselerasi gerakan dasar
bumi pada saat terjadi gempa) yang diangkakan sebagai gerakan tanah masukan.
Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan
Gedung (SNI 1726-2012) diisyaratkan paling sedikit tiga gerak tanah yang harus
sesuai dengan analisis.
2. Analisis static non linear (analisis pushover) yaitu suatu analisis untuk mengetahui
pola keruntuhan pada suatu struktur akibat gempa dengan memberikan beban
lateral secara berangsur-angsur sehingga struktur mengalami pelelehan pasca
gempa kemudian dikelompokkan sesuai kategori bangunan pada tingkat kinerja
struktur menurut ATC-40 dan FEMA 356.
Menurut Reza dkk (2017), analisis statik non linear (pushover) merupakan salah satu
komponen yang umum digunakan dalam performance based design yang menjadi
sarana dalam mencari kapasitas dari suatu struktur. Dasar dari analisis pushover
28
sebenarnya sangat sederhana yaitu memberikan pola beban statik tertentu dalam arah
lateral yang ditingkatkan secara bertahap pada suatu struktur sampai struktur tersebut
mencapai target displacement tertentu atau mencapai pola keruntuhan tertentu. Dari
hasil analisis tersebut dapat diketahui nilai-nilai gaya geser dasar untuk perpindahan
lantai atap tertentu. Nilai-nilai yang didapatkan tersebut kemudian dipetakan menjadi
kurva kapasitas dari struktur. Selain itu, analisis pushover juga dapat memperlihatkan
secara visual perilaku struktur pada saat kondisi elastis, plastis dan sampai mencapai
batas ijin simpangan dan terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen strukturnya.
Meskipun dasar dari analisis ini sangat sederhana, tetapi informasi yang dihasilkan akan
menjadi berguna karena mampu menggambarkan respon inelastis bangunan ketika
mengalami gempa. Analisis ini memang bukan cara yang terbaik untuk mendapatkan
jawaban terhadap masalah-masalah analisis maupun desain, tetapi merupakan suatu
langkah maju dengan memperhitungkan karakteristik respon non-linier yang dapat
dipakai sebagai ukuran performance suatu bangunan pada waktu digoncang gempa kuat.
Menurut Pranata (2006), adapun tujuan analisis pushover adalah untuk mengevaluasi
perilaku seismik struktur terhadap beban gempa rencana, yaitu memperoleh nilai faktor
daktilitas aktual dan faktor reduksi gempa aktual struktur, memperlihatkan kurva
kapasitas dan memperlihatkan skema kelelehan (distribusi sendi plastis) yang terjadi.
Menurut Tavio & Usman Wijaya (2018), kinerja struktur adalah tingkat performa suatu
struktur terhadap gempa rencana. Tingkatan performa struktur dapat diketahui dengan
melihat tingkat kerusakan pada struktur saat terkena gempa rencana dengan periode
ulang tertentu, oleh karenanya tingkat kinerja struktur akan selalu berhubungan dengan
biaya perbaikan terhadap bangunan tersebut. Dalam desain strutkur berbasis kinerja
biasanya kinerja struktur di desain sesuai dengan tujuan dan kegunaan bangunan,
dengan mempertimbangkan faktor ekonomis terhadap perbaikan bangunan saat terjadi
gempa tanpa mengesampingkan keselamatan terhadap pengguna bangunan. Ada dua
cara yang sering digunakan untuk menentukan kinerja struktur yaitu Metode Spektrum
Kapasitas mengacu pada ATC 40 dan Metode Koefisien Perpindahan mengacu pada
FEMA 356.
29
Menurut Dewobroto (2006), kondisi kerusakan yang terjadi pada level kinerja berguna
sebagai perkiraan seberapa besar kerusakan itu terjadi dan presentase biaya dan waktu
yang diperlukan untuk proses perbaikan. Informasi ini tentunya sekedar gambaran
perkiraan, meskipun demikian sudah mencukupi untuk mengambil keputusan yang
sebaiknya dilakukan terhadap analisis bangunan tersebut.
Menurut ATC-40, yang menjadi acuan bagi perencanaan berbasis kinerja maka kategori
kriteria-kriteria struktur tahan gempa tertera pada Tabel 2.11 dan kurva kriteria level
kinerja yang tertera pada Gambar 2.7 sebagai berikut :
Tabel 2.11 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada Tingkat
Kinerja Struktur (ATC-40, 1996 )
30
SP-2 Damage Control Transisi antara Immediate Occupancy SP-1 dan Life
(Kontrol Kerusakan) Safety SP-3 yaitu bangunan masih mampu menahan
gempa yang terjadi, resiko korban jiwa manusia sangat
kecil.
SP-3 Life Safety (Aman Bangunan mengalami kerusakan tetapi tidak
untuk Dihuni) diperkenankan mengalami keruntuhan yang
menyebabkan korban jiwa manusia (resiko korban jiwa
sangat rendah). Setelah terjadi gempa bangunan dapat
berfungsi kembali setelah dilakukan perbaikan
komponen struktural maupun non-struktural.
SP-4 Limited Safety Transisi antara SP-3 dan SP-4 dan tidak
(Keamanan Terbatas) memperhitungkan aspek ekonomis dalam perbaikan
pasca gempa.
SP-5 Structural Stability Struktur pasca gempa mengalami kerusakan hingga di
(Stabilitas Struktur) batas ambang keruntuhan total maupun parsial.
Komponen struktur penahan beban gravitasi masih
bekerja meskipun keseluruhan kestabilan sudah di
ambang keseluruhan.
SP-6 Not Considered Kinerja bangunan yang tidak dibahas, tetapi hanya
(Tidak Diperhitungkan) untuk melakukan evaluasi seismik non struktural atau
retrofit.
a. Kurva Kapasitas
Kurva kapasitas yang diperoleh dari analisis pushover yaitu dengan memberikan beban
lateral statik tertentu pada struktur, lalu ditingkatkan secara bertahap hingga struktur
mencapat batas tertentu atau mengalami kegagalan sruktur. Respon struktur terhadap
pemberian beban lateral yang diberikan secara bertahap tadi dicatat dan menghasilkan
kurva hubungan antara gaya geser dasar atau base shear “V” dan perpindahan pada
atap roof displacement “Ʌatap”. Hubungan tersebut kemudian dipetakan menjadi suatu
kurva yang dinamakan kurva kapasitas struktur. Adapun gambar dari kurva kapasitas
yang dapat dilihat pada Gambar 2.8 di bawah ini.
31
Gambar 2.8 Ilustrsi Kurva Kapasitas (ATC-40, 1996)
2
N
( w1i1) / g
1 N i 1 .................................................................2.13
N
( wi / g ) ( wii1 ) / g
2
i 1 i 1
V /W
Sa ............................................................................................. 2.14
1
atap
Sd
PF 1roof .1 ........................................................................................2.15
32
Dimana :
PF1 = faktor partisipasi modal pada mode pertama
α1 = modal koefisien masa pada mode pertama
wi/g = massa pada tingkat ke-I
ϕ i1 = amplitudo mode-1 pada tingkat ke-I
N = tingkat N, tingkat tertinggi pada proporsi utama struktur
V = gaya geser dasar
W = berat bangunan (berat sendiri dan beban hidup)
Ʌroof = perpindahan atap
Sa = spektra percepatan
Sd = spektra perpindahan
Kemudian setiap titik pada kurva kapasitas V dan Ʌroof, dikonversi ke titik Sa da Sd,
sehingga kurva dapat dilihat pada Gambar 2.9 sebagai berikut.
Gambar 2.9 (a) Kurva Kapasitas (b) Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996 : Hal 8-12)
b. Demand Spectrum
33
Sd) dengan menggunakan persamaan berikut sehingga diperoleh kurva demand
spektrum seperti pada Gambar 2.10.
T2
Sd Sa.( g ) ............................................................................................ 2.16
4 2
Dimana :
Sa = spektra percepatan, m
Sd = spektra perpindahan, g
g = percepatan gravitasi (9,81 m/s2)
T = periode getar fundamental, detik
(a) (b)
Gambar 2.10 (a) Respon Spektrum Standar (b) Respon Spektrum ADRS (ATC-40, 1996 :
Hal 6-8)
c. Performance Point
Selanjutnya grafik spektrum kapasitas dan spektrum demand di plot dalam satu grafik
ADRS. Dalam grafik tersebut akan ada titik perpotongan antara spektrum kapasitas dan
spektrum demand yang disebut sebagai titik kerja atau performance point yang dapat
dilihat pada Gambar 2.11 sebagai berikut.
34
Gambar 2. 11 Titik Kinerja Struktur pada Tingkat Redaman Struktur (ATC-40, 1996 :
Hal 6-10)
d. Batasan Deformasi
Deformasi lateral pada saat performance point harus diperiksa terhadap nilai simpangan
total maksimum dan simpangan inelastis maksimum untuk mendapatkan tingkat kinerja
yang dapat dilihat pada Tabel 2.12 sebagai berikut.
35
Simpangan total maksimum didefinisikan sebagai simpangan antar tingkat (interstory
drift) pada perpindahan di titik kinerja. Sedangkan simpangan inelastis maksimum
proporsi simpangan total maksimum di luar titik leleh efektif dari struktur. Besarnya
simpangan total maksimum dan simpangan inelastis maksimum dihitung dengan
menggunakan persamaan :
Dimana :
Dt = Target displacement (m)
D1 = Displacement pertama (m)
H = Tinggi bangunan (m)
36
Gambar 2.12 Sendi Plastis pada Balok dan Kolom (Dewobroto, 2007)
Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356) merupakan suatu pendekatan yang menyediakan
perhitungan numerik langsung dari perpindahan global maksimum pada sturktur. Penyelesaian
dilakukan dengan memodifikasi respons elastis dari sistem struktur SDOF ekuivalen
dengan faktor modifikasi C0, C1, C2 dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global
maksimum (elastis dan inelastis) yang disebut sebagai target perpindahan (T).
棸 ………………………………..…. .棸9
Dimana:
T = target perpindahan
Te = waktu getar alami efektif
C0 = faktor modifikasi untuk mengubah perpindahan spektral menjadi perpindahan
atap/puncak. Umumnya menggunakan faktor partisipasi ragam pertama
berdasarkan Tabel 3-2 dari FEMA 356
C1 = faktor modifikasi untuk menghubungkan perpindahan inelastic maksimum
dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastic linear.
C1 = 1,0 untuk Te ≥ Ts, …………………… 2.20
棸 t棸 .
棸 untuk Te < Ts…………………… 2.21
C1 = waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respon spektrum pada titik
dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian kecepatan
konstan.
R = rasio kuat elastic perlu terhadap kuat leleh terhitung
37
t
………………………………………… .
t棸
棸 ………………………………..2.23
Drift Aktual =
T ……………………………………………….2.24
H …
Berdasarkan FEMA 356, kinerja bangunan struktur saat terjadi gempa dapat dilihat
pada Gambar 2.13.
38
Gambar 2.13 Tingkat Kinerja Gempa Berbasis PBD, FEMA 356
Tingkat kinerja pada FEMA 356 ini secara garis besar sama dengan tingkat kinerja
ATC-40. Adapun kondisi bangunan pasca gempa dapat dilihat pada Tabel 2.13 sebagai
berikut.
Tabel 2.13 Kondisi Bangunan Pasca Gempa dan Kategori Bangunan pada Tingkat
Kinerja Struktur (FEMA 356, 2000)
39
gempa. Pada komponen nonstruktural, peralatan dan isi
gedung umumnya masih aman, tetapi secara
operasional tidak dapat bekerja karena kegagalan
mekanik atau kurangnya utilitas.
Life Safety (LS) Bangunan mengalami beberapa kerusakan komponen
struktur dan kekuatan serta kekakuannya berkurang.
Struktur masih mempunyai kekuatan cukup untuk
memikul beban-beban yang terjadi pada ambang
keruntuhan. Komponen nonstruktural masih ada tetapi
tidak dapat berfungsi dan dapat digunakan kembali
apabila telah melakukan perbaikan.
Collapse Prevention (CP) Kondisi dimana merupakan batas kemampuan dari
struktur dimana struktural dan nonstruktural sudah
mengalami kerusakan yang parah, namun stuktur tetap
berdiri dan tidak runtuh, struktur sudah tidak lagi
mampu menahan gaya lateral.
Secara umum, kurva hubungan gaya dan perpindahan serta karakteristik sendi plastis
sudah built-in pada program ETABS. Adapun tingkatan plastifikasi sendi plastis
elemen terlihat pada Gambar 2.14 sebagai berikut.
Gambar 2.14 Tingkatan Plastifikasi Sendi Plastis Elemen (Tavio dan Wijaya, 2018)
40
Pada Gambar 2.14 dapat dijelaskan bahwa :
A = Merupakan kondisi dimana belum ada pembebanan sehingga belum terjadi
plastifikasi pada sendi plastis
B = Merupakan kondisi dimana elemen mulai mengalami leleh pertama kali
IO = Merupakan tahapan seteleh leleh (plastis) dengan tingkat kinerja pada elemen
Immediately Ocupancy
LS = Elemen pada level kinerja Life Safety (kondisi plastis)
CP = Elemen pada level kinerja Collapse Prevention (kondisi hampir runtuh)
C = Merupakan kapasitas ultimit dari elemen
D = Kekuatan sisa dari elemen
E = Merupakan batas dimana elemen sudah mengalami keruntuhan
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian
sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian
yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan
judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis mengangkat beberapa
penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis.
Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal terkait dengan
penelitian yang dilakukan penulis yang tertera pada Tabel 2.14 sebagai berikut.
41
Wisnumurti, dan Performance Based Design gedung Immediate Occupancy atau
Ari Wibowo (Studi Kasus Gedung B segera huni dimana didapatkan nilai Sd
(2016) Program Teknologi dan Sa sebesar 0,0209 dan 0,125.
Informasi dan Ilmu
Komputer Universitas
Brawijaya)
Perbedaan : Menentukan kinerja batas layanan dan batas ultimit dengan metode ATC 40,
menggunakan program bantu SAP2000 dan pembebanan tidak dicantumkan
3. Rido Jonathan Static Nonlinear Pushover Penelitian ini membandingkan kedua
F.M. (2017) Analysis Untuk nilai Sa dan Sd yang berbeda. Dari hasil
Performance Based Design penelitian, struktur bangunan tersebut
Pada Gedung Pascasarjana termasuk kedalam kategori Immediate
Fakultas MIPA UGM Occupancy (IO).
Perbedaan : Objek penelitian hanya terdiri dari 6 lantai, menggunakan program bantu SAP2000 dan
menggunakan peraturan gempa SNI 1726:2012
4. Fitri, Muttaqin Analisis Pushover Terhadap Penelitian ini mengevaluasi respon
dan Afifuddin Respon Struktur Dengan struktur akibat pengaruh penggunaan
(2018) Menggunakan Base Isolator base isolator jenis elastomeris rubber
bearing yang terdiri dari beberapa lapisan
karet alam atau sintetik. Dari hasi
penelitian, Penggunaan base isolator
dengan pada struktur gedung dapat
memperbesar periode alami struktur dan
menghasilkan kinerja struktur berada
pada level Damage Control.
Perbedaannya : Penelitian menggunakan base isolator sebagai pereduksi beban gempa, menggunakan
Program Bantu SAP2000 dan menggunakan SNI 1726:2012
5. Isna Khairatun Analisis Pushover pada Penelitian ini menganalisis respon
Jannah (2019) Struktur Baja dengan struktur pada rangka baja konsentrik dan
Bresing Menggunakan ekstrensik pada Hotel yang ada di
SAP2000 Balikpapan. Dari hasil penelitian, struktur
bangunan tersebut termasuk kedalam
kategori Immediate Occupancy (IO).
Perbedaan : Penelitian menggunakan struktur baja, program bantu SAP2000 dan menggunakan SNI
1726:2012
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada gedung baru yang sedang dalam proses pembangunan.
Struktur gedung beton bertulang yang terdiri dari 10 Lantai (termasuk base berupa
retaining wall dan atap). Lokasi gedung terletak di Kota Samarinda dengan wilayah
gempa II yang berdiri pada kondisi tanah lunak (SE). Adapun gambar tampak dan
permodelan 3D gedung dengan ETABS tertera pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2
sebagai berikut :
(a) (b)
Gambar 3.1 (a) Gambar Tampak Kanan dan (b) Gambar Tampak Depan
(Shop Drawing, 2020)
43
Gambar 3.2 Permodelan 3D Gedung Hotel di ETABS
Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.3 sebagai berikut.
Mulai
Studi Literatur
44
A
Perhitungan Pembebanan :
Beban Mati, Beban Hidup, Beban Hujan dan Beban Gempa
Selesai
Data Primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber
aslinya yang berupa wawancara ataupun hasil observasi dari suatu objek. Adapun data
45
primer yang dikumpulkan penulis yaitu data-data kombinasi beban yang digunakan di
program bantu ETABS untuk mendapatkan kurva kapasitas, nilai performance point,
skema distribusi sendi plastis sehingga dapat menentukan level kinerja sturktur.
Data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui media perantara
atau data yang diperoleh dan dicatat oleh orang lain. Data sekunder umumnya berupa
catatan, bukti yang telah ada atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak
dipublikasikan secara umum. Adapun data sekunder yang didapatkan penulis yaitu
sebagai berikut :
Pada tahap ini, penulis mengumpulkan studi literatur yang didapatkan dari buku, jurnal
ilmiah maupun penelitian terkait sebelumnya. Dengan adanya referensi ini akan
mempermudah penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Adapun studi literatur yang
menjadi referensi penulis antara lain :
1. Analisis Struktur dengan menggunakan Program ETABS
46
2. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan
Non Gedung (SNI 1726:2019)
3. Tata Cara Pembebanan untuk Rumah dan Gedung (SNI 1727- 2013)
4. Pedoman Peraturan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung (PPPURG 1987)
5. Applied Technology Council for Seismic Evalution and Retrofit of Concrete
Building Volume 1 (ATC 40)
6. Prestandard and Commentary for the Seismic Rehabilitation of Buildings
(FEMA 356)
7. Buku, jurnal-jurnal maupun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan analisis
pushover.
47
d. Input beban mati, beban hidup, beban hujan dan beban gempa untuk mengetahui
banyak kombinasi pembebanan dan besar gaya dalam yang terjadi pada elemen
struktur.
e. Membuat Case Pushover arah x-x dan y-y untuk menentukan posisi titik pusat
massa bangunan.
f. Melakukan analisis pushover untuk mengetahui mekanisme runtuh dari struktur
dengan menempatkan sendi plastis pada balok dan kolom agar dapat melihat
perilaku lelehnya.
g. Menentukan displacement control yang akan ditinjau, lalu struktur diberikan gaya
dorong lateral secara bertahap dan semakin besar sampai displacement control
tercapai.
h. Rekam setiap gaya lateral dan displacement menghasilkan kurva kapasitas dan
diubah ke dalam format ADRS sehingga didapatkan performance point.
i. Mengambil hasil dari analisis pushover dan menentukan level kinerja struktur yang
mengacu pada ATC-40 dan FEMA 356.
48
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Civil Engineer, 2000. FEMA 356 Prestandard and Commentary
for the Seismic Rehabilitation of Buildings. Federal Emergency Management
Agency, Washington, D.C.
Applied Technology Council, 1996. ATC-40 Seismic Evaluation and Retrofit of
Concrete Buildings. Vol 1. Redwood City California, USA.
Anisa Febriana dkk. Analisis Pushover Untuk Performance Based Design (Studi Kasus
Gedung B Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Universitas
Brawijaya), 2016. Universitas Brawijaya, Malang.
Badan Standarisasi Nasional. 2019. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung (SNI 1726:2019). Badan Standarisasi Nasional,
Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. Beban minimum untuk perancangan bangunan
gedung dan struktur lain (SNI 1727:2013). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. Persyaratan beton struktural untuk bangunan
gedung (SNI 2847:2013). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Boby Culius Ertanto dkk, 2017. Performance Based Design Bangunan Gedung Untuk
Level Kinerja Operasional. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Departemen Pekerjaan Umum. 1987. Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia
Untuk Rumah Dan Gedung (PPPURG 1987). Yayasan Badan Pekerjaan Umum,
Jakarta.
Dewobroto Wiryanto, 2006. Evaluasi Kinerja Bangunan Baja Tahan Gempa dengan
SAP2000. Universitas Pelita Harapan, Jakarta
Dewobroto Wiryanto. 2007. Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan SAP200 Edisi Baru.
PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Fitri Hasdanita dkk, 2018. Analisis Pushover Terhadap Respon Struktur dengan
Menggunakan Base Isolator. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Hartuti, E. R. 2009. Buku Pintar Gempa. Diva Pers, Yogyakarta
Isna Kairatun, 2019. Analisis Pushover Pada Struktur Baja Dengan Bresing
Menggunakan SAP2000. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil, Universitas
Mulawarman, Samarinda
49
Nissa Zahra dkk, 2014. Analisis Kinerja Struktur Pada Gedung Bertingkat Dengan
Analisis Pushover Menggunakan Software ETABS (Studi Kasus : Bangunan Hotel
di Semarang). Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Pranata,Y.A, 2006. Evaluasi Kinerja Gedung Beton Bertulang Tahan gempa
dengan Pushover Analysis (sesuai ATC-40, FEMA 356 dan FEMA 440).
Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Reza Dwipa Sandhi dkk, 2017. Kajian Analisis Pushoveruntuk Performance Based
Design Pada Gedung Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik (Fisip) Universitas
Brawijaya (Study Of Analysis Pushover For Performance Based Design On
Faculty Of Social And Political Sciences Building Of Brawijaya University).
Universitas Brawijaya, Malang.
Ridho Jonathan .F.M, 2017. Static Nonlinear Pushover Analisys Untuk Performance
Based Design Pada Gedung Pascasarjana Fakultas MIPA UGM. Universitas
Brawijaya, Malang.
Schueller, Wolfgang. 2001. Struktur Bangunan Bertingkat Tinggi. PT Refika Aditama,
Bandung
Suharjanto, 2013, Rekayasa Gempa (Dilengkapi dengan analisis beban gempa
sesuai SNI 03-1726:2002). Kepel Press, Yogyakarta
Tavio & Usman Wijaya, 2018. Desain Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja
(Performance Based Design). Andi, Yogyakarta
Tjokrodimuljo & Kardiyono, 2007. Teknologi Beton. Biro Penerbit KMTS FT UGM,
Yogyakarta
Uniform Building Code, 1997. Structural Engineering Design Provisions,Volume 2,
ICBO, U.S.A.
Widodo & Pawirodikromo, 2013. Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan. Penerbit
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Zainal Arifin dkk, 2015. Analisis Struktur Gedung POP Hotel Terhadap Beban Gempa
Dengan Metode Pushover Analysis. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil,
Universitas Lampung, Lampung
http://balai3.denpasar.bmkg.go.id/tentang-gempa. Diakses pada 20-04-20
50