Anda di halaman 1dari 25

UNDANG – UNDANG KEFARMASIAN

ASPEK HUKUM NARKOTIKA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
ANABEL G70115054
LUSI LESTARI G70117164
YUNITA SARI G70118003
MARIA N. SIA G70118105
NIRWANA G70118107
NURUL ANNISA DWI NINGSH G70119004
GHITA SRI NITA G70119005
NURUL FATIAH FITRIANA G70119018
MEGA PRATIWI BASIR G70119044
AZIZAH SABRINA G70119057
NUR SAIDA G70119070
JAYA I. MADINA G70119084
MOH. SYAUQI G70119123
I NYOMAN ARIEL LAGOA G70119136
BAYU KHRESNA MADANI G70119143

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
DAFTAR ISI
SAMPUL........................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN..............................................................................................
A. Pengertian Narkotika dan Efeknya............................................................3
B. Hukum Narkotika.......................................................................................5
C. Penyebaran Narkotika di Kalangan Masyarakat........................................8
D. Penegakkan Hukum terhadap Kejahatan Narkotika................................13
E. Peran Apoteker Terkait Penyebaran Narkotika Di Indonesia..................17
BAB III : PENUTUP......................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................19
B. Saran.........................................................................................................19
DAFTAR ISI...................................................................................................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hidayah dan rahmat-Nya
yang diberikan kepada kami berupa Kesehatan rohani dan jasmani sehingga Kami
dapat menyelesaikan Makalah Undang - Undang Kefarmasian yang berjudul “Aspek
Hukum Narkotika“, yang dapat diselesaikan dengan baik.

Tidak lupa kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum
sempurna, oleh karena itu untuk memperbaiki makalah ini kami mengharapkan
kritik - kritik dan saran - saran yang membangun. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya, serta dapat
dimanfaatkan dengan baik untuk menjadi pedoman bagi mata kuliah undang -
undang kefarmasian selanjutnya. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Palu, 21 Februari 2021

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera
dan damai berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut pula peningkatan
secara terus-menerus di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk
ketersediaan narkoba sebagai obat, di samping usaha pengembangan ilmu
pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran
sehingga ketersediaannya perlu melalui kegiatan produksi dan impor.

Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional


diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal,
yang dilakukan melalui berbagai upaya kesehatan, di antaranya penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Meskipun narkoba sangat diperlukan
untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun bila disalahgunakan atau
digunakan sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan
peredaran narkoba secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan
perorangan ataupun masyarakat, khususnya generasi muda.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sampai ke tingkat yang sangat


mengkhawatirkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 50% penghuni LAPAS
(Lembaga Pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba. Berita criminal di
media massa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita tentang
penyalahgunaan narkoba. Korban narkoba meluas ke semua lapisan masyarakat
dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang, supir angkot, anak
jalanan, pekerja, dan lain sebagainya. Kejahatan narkoba merupakan kejahatan

1
international (International Crime), kejahatan yang terkoorganisir (Organize
Crime), mempunyai jaringan yang luas, mempunyai dukungan dana yang besar
dan sudah menggunakan teknologi yang canggih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu narkotika dan bagaimana efeknya ?
2. Bagaimana penyebaran narkotika di kalangan masyarakat ?
3. Apa hukum narkotika ?
4. Bagaimana penegakkan hukum terhadap kejahatan narkotika ?
5. Peran apoteker terkait penyebaran narkotika di Indonesia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu narkotika dan bagaimana efeknya
2. Untuk mengetahui penyebaran narkotika di kalangan masyarakat
3. Untuk mengetahui hukum narkotika
4. Untuk mengetahui penegakkan hukum terhadap kejahatan narkotika
5. Untuk mengetahui peran apoteker terkait penyebaran narkotika di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Narkotika dan Efeknya


NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Narkotika
disebut juga sebagai obat-obatan anastesi, penggunaan narkotika dapat
mengakibatkan kehilangan kesadaran karena pengaruh sistem susunan saraf
pusat. Narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman yang dapat
menyebabkan hilang kesadaran dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat
tinggi menimbulkan ketergantungan, contohnya heroin. Narkotika golongan II
adalah narkotika yang memiliki khasiat pengobatan dan sering digunakan sebagai
obat alternatif tapi sebagai pilihan yang terakhir, contohnya morfin. Berdasarkan
Undang-Undang No.5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Zat adiktif adalah bahan yang dapat
menimbulkan kerugian bagi seseorang yang menggunakannya akibat timbulnya
ketergantungan psikis seperti golongan alkohol, nikotin dan sebagainya. Jenis-
jenis NAPZA antara lain heroin, morfin, ganja, ekstasi, sabusabu, obat penenang,
dan alkohol.

Penyalahgunaan NAPZA di dunia terus mengalami kenaikan dimana hampir


12% (15,5 juta jiwa sampai dengan 36,6 juta jiwa) dari pengguna adalah pecandu
berat. Menurut World Drug Report tahun 2012, produksi NAPZA meningkat
salah satunya diperkiraan produksi opium meningkat dari 4.700 ton di tahun
2010 menjadi 7.000 ton di tahun 2011 dan menurut penelitian yang sama dari sisi

3
jenis narkotika, ganja menduduki peringkat pertama yang disalahgunakan di
tingkat global dengan angka pravalensi 2,3% dan 2,9% per tahun

Kasus penyalahgunaan NAPZA di Indonesia dari tahun ke tahun juga terus


mengalami kenaikan dimana pada tahun 2008 ada sebanyak 3.3 juta (3.362.527)
dengan pravalensi 1,99% menjadi pada tahun 2011 menjadi 4 juta (4.071.016)
dengan pravalensi 2,32% dan diprediksikan angka tersebut akan terus mengalami
kenaikan pada tahun 2015 menjadi 5,1 juta (5.126.913) dengan pravalensi 2,8%.
Diketahui 5,3% di antaranya adalah kalangan pelajar dan mahasiswa.

Penyalahgunaan NAPZA biasa didasari atas beberapa hal yang menyebabkan


seseorang menjadi penyalahguna NAPZA. Pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari faktor individu
seperti pengetahuan, sikap, kepribadian, jeins kelamin, usia, dorongan
kenikmatan, perasaan ingin tahu, dan untuk memecahkan persoalan yang sedang
dihadapi. Kelompok kedua berasal dari lingkungannya seperti pekerjaan,
ketidakharmonisan keluarga, kelas sosial ekonomi, dan tekanan kelompok

Penyalahgunaan NAPZA sangat memberikan efek yang tidak baik dimana bias
mengakibatkan adiksi (ketagihan) yang berakibat pada ketergantungan. Menurut
Hawari, hal tersebut terjadi karena sifat-sifat narkoba yang menyebabkan :
1) Keinginan yang tidak tertahankan (an over powering desire) terhadap zat yang
dimaksud dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.
2) Kecendrungan untuk menambahkan takaran atau dosis dengan toleransi tubuh.
3) Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala-gejala kejiwaan, seperti kegelisahan, kecemasan, depresi,
dan sejenisnya.
4) Ketergantungan fisik yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala fisik

4
Efek mengonsumsi narkotika adalah ;
1) Otak dan syaraf dipaksa untuk bekerja di luar kemampuan yang sebenarnya
dalam keadaan yang tidak wajar
2) Peredaran darah dan Jamtung dikarenakan pengotoran darah oleh zat-zat yang
mempunyai efek yang sangat keras, akibatnya jantung di rangsang untuk
bekerja di luar kewajiban.
3) Pernapasan tidak akan bekerja dengan baik dan cepat lelah sekali
4) Penggunaan lebih dari dosis yang dapat ditahan oleh tubuh akan
mendatangkan kematian secara mengerikan.
5) Timbul ketergantungan baik rohani maupun jasmani sampai timbulnya
keadaan yang serius karena putus obat.

Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan


terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat
rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong
yang lama dalam keadaan yang masih sadar serta menimbulkan adiksi atau
kecanduan. Yang dimaksud Narkotika dalam UU No. 22 /1997 adalah Tanaman
Papever, Opium mentah, Opium masak, seperti Candu, Jicing, Jicingko, Opium
obat, Morfina, Tanaman koka, Daun koka, Kokaina mentah, Ekgonina, Tnaman
Ganja, Damar Ganja, Garamgaram atau turunannya dari morfina dan kokaina.

Sehingga dapat disimpulkan, Narkotika adalah obat atau zat yang dapat
menenangkan syaraf, mengakibatkan ketidaksadaran, atau pembiusan,
menghilangkan rasa nyeri dan sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau
merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan adiksi
atau kecanduan, dan yang ditetapkan oleh Menteri kesehatan sebagai Narkotika.

B. Penyebaran Narkotika di Kalangan Masyarakat


Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat
hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari

5
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba
yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan
tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat para orang
tua, ormas,pemerintah khawatir akan penyebaran narkoba yang begitu meraja
rela.

Upaya pemberantas narkoba pun sudah sering dilakukan namun masih sedikit
kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun
dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus
narkoba. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah
penyalahgunaan Narkoba pada anak-anak yaitu dari pendidikan keluarga. Orang
tua diharapkan dapat mengawasi dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi
Narkoba.

Menurut kesepakatan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga
disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi
kesehatan reproduksi (termasuk HIV/AIDS dan narkoba) dan dilindungi secara
fisik maupun mental. Namun realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan
kesepakatan tersebut, sudah ditemukan anak usia 7 tahun sudah ada yang
mengkonsumsi narkoba jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia 8 tahun
sudah memakai ganja, lalu di usia 10 tahun, anak-anak menggunakan narkoba
dari beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya
(riset BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia).

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian narkoba


oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305.
Data ini begitu mengkhawatirkan karena seiring dengan meningkatnya kasus
narkoba (khususnya di kalangan usia muda dan anak-anak, penyebaran
HIV/AIDS semakin meningkat dan mengancam. Penyebaran narkoba menjadi
makin mudah karena anak SD juga sudah mulai mencoba-coba mengisap rokok.

6
Tidak jarang para pengedar narkoba menyusup zat-zat adiktif (zat yang
menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya.

Hal ini menegaskan bahwa saat ini perlindungan anak dari bahaya narkoba masih
belum cukup efektif. Walaupun pemerintah dalam UU Perlindungan Anak nomor
23 tahun 2002 dalam pasal 20 sudah menyatakan bahwa Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (lihat lebih lengkap di UU
Perlindungan Anak). Namun perlindungan anak dari narkoba masih jauh dari
harapan.

Narkoba adalah isu yang kritis dan rumit yang tidak bisa diselesaikan oleh hanya
satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya masalah individu namun masalah
semua orang. Mencari solusi yang tepat merupakan sebuah pekerjaan besar yang
melibatkan dan memobilisasi semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan komunitas lokal. Adalah sangat penting untuk bekerja
bersama dalam rangka melindungi anak dari bahaya narkoba dan memberikan
alternatif aktivitas yang bermanfaat seiring dengan menjelaskan kepada anak-
anak tentang bahaya narkoba dan konsekuensi negatif yang akan mereka terima.

Anak-anak membutuhkan informasi, strategi, dan kemampuan untuk mencegah


mereka dari bahaya narkoba atau juga mengurangi dampak dari bahaya narkoba
dari pemakaian narkoba dari orang lain. Salah satu upaya dalam penanggulangan
bahaya narkoba adalah dengan melakukan program yang menitikberatkan pada
anak usia sekolah (school-going age oriented).

Di Indonesia, perkembangan pencandu narkoba semakin pesat. Para pencandu


narkoba itu pada umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia
tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Pada awalnya, pelajar yang
mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan perkenalannya dengan rokok.

7
Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang wajar di
kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat,
apalagi ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang
sudah menjadi pencandu narkoba. Awalnya mencoba, lalu kemudian mengalami
ketergantungan.

C. Hukum Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika disahkan pada tanggal 12
Oktober 2009 di Jakarta oleh Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono. UU 35
tahun 2009 tentang Narkotika diundangkan Menkumham Andi Mattalatta pada tanggal
12 Oktober 2009 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya, Undang-Undang Nomor
35 tahun 2009 tentang Narkotika ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143. Penjelasan Atas UU 35 tahun 2009 tentang
Narkotika ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5062.
Menurut UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika memiliki tujuan untuk:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna
dan pecandu Narkotika.

Dasar hukum undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah :


a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi
Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085)

8
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances, 1988 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 ) (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673 )

Ruang lingkup (Pasal 5)


Pengaturan Narkotika dalam Undang Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan :
a. Narkotika
b. Prekursor narkotika

Rencana kebutuhan tahunan (Pasal 9)


- Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Untuk keperluan ketersediaan Narkotika, disusun Rencana kebutuhan
tahunan Narkotika.

Produksi narkotika (Pasal 11-12)


- Menkes memberi izin khusus sesuai Peraturan Perundang-undangan
- Narkotika Gol I dilarang diproduksi / digunakan dalam proses produksi,
kecuali jumlah terbatas untuk kepentingan ilmu pengetahuan
- Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan
baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan
rencana kebutuhan tahunan Narkotika Tata cara diatur oleh Menkes

Penyimpanan dan pelaporan (Pasal 14)


(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah

9
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga
ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya

Importasi narkotika (Pasal 16)


(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri
untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau
penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat
terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Izin khusus (Pasal 18)


(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi
milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang -undangan untuk melaksanakan ekspor
Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain
dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.

10
Surat persetujuan ekspor (Pasal 19)
(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri
untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari
negara pengimpor.

(Pasal 20)
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah
negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.

(Pasal 21)
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui
kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.

Peredaran (Pasal 35)


Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan
perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 36 ayat (1)


Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan
izin edar dari Menteri

Pasal 36 ayat (23)


Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) arus melalui pendaftaran pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan

11
Penyaluran (Pasal 39)
(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin
khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.

Pasal 40 ayat (1)


Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. Pedagang besar farmasi tertentu
b. Apotek
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu dan
d. Rumah sakit.
Pasal 40 ayat (2)
Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya
b. apotek
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
d. rumah sakit dan
e. lembaga ilmu pengetahuan.
Pasal 40 ayat (3)
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
a. Rumah sakit pemerintah
b. Pusat kesehatan masyarakat dan
c. Balai pengobatan pemerintah tertentu

Tujuan pengaturan (Pasal 48)


Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:

12
a. Melindungi masyarakat daribahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika
b. Mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika dan
c. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika
Rencana kebutuhan tahunan Pasal (50) ayat (1)
Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika untuk
kepentingan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal (52)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran,
pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan
peraturan pemerintah

D. Penegakkan Hukum terhadap Kejahatan Narkotika


Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh
aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan Hakim. Penegakan
hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap
meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam
kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin
meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Ketentuan
perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan
diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum
dapat diredakan. Kasus-kasus terakhir ini telah banyak bandar-bandar dan
pengedar narkoba tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain
seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah
operasinya. Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana
pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan
perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang
teragenda dalam program pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini
tergabung dalam kebijakan sosial (social policy). Salah satu bagian dari

13
kebijakan sosial ini adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy), termasuk di dalamnya kebijakan legislatif (legislative policy).
Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Keberadaan Undang-Undang Narkotika yakni Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah
Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika. Pembentukan
UndangUndang Narkotika diharapkan dapat menanggulangi peredaran gelap dan
penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan sarana hukum pidana atau
penal.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga


merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana dapat dikatakan merupakan bagian
dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu,
usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)
pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat (social welfare). Kebijakan hukum pidana menjadi sangat wajar bila
merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Ini berarti pengertian social policy telah mencakup
social welfare policy dan social defence policy2 Pada hakekatnya, kebijakan
hukum pidana (penal policy, criminal policy, atau strafrechtpolitiek) merupakan
proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total. Menurut
Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan
dalam hal-hal:
a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum
pidana;

14
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan kondisi
masyarakat;
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum
pidana;
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan
Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, terdapat empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang
dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana.
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur jenis-jenis
sanksi yang diberikan pada tindak pidana narkotika antara lain:
a. Tindak Pidana Orang Tua / Wali dari Pecandu Narkotika Narkotika yang
Belum Cukup Umur (Pasal 128)
b. Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi (Pasal 130)
c. Tindak pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana
Narkotika (Pasal 131)
d. Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Permufakatan Jahat Melakukan
Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor (Pasal 132)
e. Tindak Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, Memaksa dengan
Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (Pasal 133)
f. Tindak Pidana bagi Pecandu Narkotika yang Tidak Melaporkan Diri (Pasal
134)
g. Tindak Pidana bagi Pengurus Industri Farmasi yang Tidak Melaksanakan
Kewajiban (Pasal 135).
h. Tindak Pidana terhadap Hasil-Hasil Tindak Pidana Narkotika dan/atau
Prekursor Narkotika (Pasal 137)

15
i. Tindak Pidana terhadap Orang yang Menghalangi atau Mempersulit
Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara (Pasal 138)
j. Tindak Pidana bagi Nahkoda atau Kapten Penerbang yang Tidak
Melaksanakan Ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 (Pasal 139)
k. Tindak Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN yang Tidak
Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti (Pasal 140)
l. Tindak Pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang Tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 91 Ayat(1) (Pasal 141)
m. Tindak Pidana bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil Pengujian
(Pasal 142)
n. Tindak Pidana bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak Benar (Pasal
143)
o. Tindak Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan Tindak
Pidana (Pasal 144)
p. Tindak Pidana yang dilakukan Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga
Ilmu Pengetahuan, Pimpinan Industri Farmasi, dan Pimpinan Pedagang
Farmasi (Pasal 147)

Pasal 136 UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berupa narkotika dan
prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika
baik itu aset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud atau tidak berwujud
serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika
dirampas untuk negara. Pasal 146 juga memberikan sanksi terhadap warga
negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun menjalani
pidana narkotika yakni dilakukan pengusiran wilayah negara Republik Indonesia
dan dilarang masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan
pada Pasal 148 bila putusan denda yang diatur dalam undang-undang ini tidak
dibayarkan oleh pelaku tindak pidana narkotika maka pelaku dijatuhi penjara
paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

16
E. Peran Apoteker Terkait Penyebaran Narkotika Di Indonesia
Semua hal yang berhubungan dengan obat-obatan merupakan tanggung jawab
seorang Farmasis. Seorang Farmasis sendiri umumnya di sebut seorang apoteker.
Apoteker adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang
kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan bidang lain
yang masih berkaitan dengan bidang kefarmasian.

Apoteker merupakan salah satu profesi di bidang kesehatan yang berhubungan


dengan kepentingan kemanusiaan, kepentingan kemanusiaan yang dimaksud di
sini adalah seorang Apoteker mampu memberikan arahan, pelayanan, dan
bimbingan kepada masyarakat agar mereka dapat menggunakan sediaan farmasi
secara baik dan benar, karena sediaan farmasi bukanlah sediaan yang bisa
digunakan begitu saja tanpa bimbingan seorang yang profesional.

Dari penjelasan ini dapat dibuktikan bahwa Apoteker bukan hanya seorang yang
menjaga sebuah apotek, lebih dari itu dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 1992
tanggung jawab seorang Farmasis atau Apoteker meliputi pembuatan,
pengadaan, penyediaan, pengembangan, distribusi obat dan bahan obat. Obat-
obat ini juga meliputi kosmetik, obat tradisonal, dan bahkan alat-alat kesehatan
yang juga menjadi tanggung jawab seorang yang bergelut di bidang Farmasi atau
Apoteker.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.

Hal ini berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pada perkembangan saat ini,

17
narkotika tidak hanya digunakan dalam bidang farmasi saja, tetapi sudah terjadi
penyalahgunaan narkotika. Hal ini sering kali ditemukan pada kalangan remaja
hingga masyarakat usia dewasa.

Sebagai bagian dari tenaga kesehatan dan garda terdepan bagi akses masyarakat
terhadap obat, maka Apoteker dapat berkontribusi secara signifikan dalam
mengidentifikasi dan mencegah penyalahgunaan obat. Melihat berbagai
kemungkinan akses masyarakat terhadap obat yang bisa disalah-gunakan, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan:
1. Aktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahayanya
penyalahgunaan obat, lebih baik dengan cara yang sistematik dan terstruktur.
2. Mewaspadai adanya kemungkinan resep-resep yang palsu dan ganjil,
terutama resep-resep yang mengandung obat psikotropika/narkotika. Hal ini
memerlukan pengalaman yang cukup dan pengamatan yang kuat. Jika
terdapat hal-hal mencurigakan, dapat berkomunikasi dengan dokter penulis
resep yang tertera dalam resep tersebut untuk konfirmasi.
3. Menjunjung tinggi  etika profesi dan mengutamakan keselamatan pasien
dalam mengelola narkotika, psikotropika dan perkursor farmasi. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Membatasi penyerahan obat narkotika dan psikotropika
b. Menyimpan  narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di  gudang,
ruangan, atau lemari khusus yang memenuhi persyaratan keamanan
c. Membatasi akses dan membuat prosedur khusus untuk pengambilan obat
narkotika,psikotropika dan perkursor farmasi
d. Melakukan pelaporan stok secara rutin
e. Memusnahkan obat sesuai prosedur

Semua ini dapat dilakukan jika apoteker berpegang teguh untuk menjalankan
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) kepada masyarakat.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman yang dapat menyebabkan
hilang kesadaran dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika disebut juga
sebagai obat-obatan anastesi, penggunaan narkotika dapat mengakibatkan
kehilangan kesadaran karena pengaruh sistem susunan saraf pusat.
Penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) di dunia terus
mengalami kenaikan dimana hampir 12% (15,5 juta jiwa sampai dengan 36,6 juta
jiwa) dari pengguna adalah pecandu berat. Kasus penyalahgunaan NAPZA di
Indonesia dari tahun ke tahun juga terus mengalami kenaikan. Penyalahgunaan
NAPZA sangat memberikan efek yang tidak baik dimana bias mengakibatkan
adiksi (ketagihan) yang berakibat pada ketergantungan. Hingga kini penyebaran
narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk
dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Upaya pemberantas narkoba pun sudah sering dilakukan
namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan
remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang
terjerumus narkoba. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah
penyalahgunaan Narkoba pada anak-anak yaitu dari pendidikan keluarga.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memiliki beberapa
tujuan diantaranya yaitu menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika,
telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat
putusan Hakim. Penegakkan ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal
terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam
kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin

19
meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Pasal 136
UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berupa narkotika dan prekursor
narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika baik itu
aset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud atau tidak berwujud serta
barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika
dirampas untuk negara. Semua hal yang berhubungan dengan obat-obatan
merupakan tanggung jawab seorang Apoteker. Dalam UU No. 23 Tahun 1992
dijelaskan bahwa tanggung jawab seorang Farmasis atau Apoteker meliputi
pembuatan, pengadaan, penyediaan, pengembangan, distribusi obat dan bahan
obat. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pada perkembangan saat ini,
narkotika tidak hanya digunakan dalam bidang farmasi saja, tetapi sudah terjadi
penyalahgunaan narkotika. Hal ini sering kali ditemukan pada kalangan remaja
hingga masyarakat usia dewasa. Sebagai bagian dari tenaga kesehatan dan garda
terdepan bagi akses masyarakat terhadap obat, maka Apoteker dapat
berkontribusi secara signifikan dalam mengidentifikasi dan mencegah
penyalahgunaan obat diantaranya yaitu mewaspadai adanya kemungkinan resep-
resep yang palsu dan ganjil, terutama resep-resep yang mengandung obat
psikotropika/narkotika, Melakukan pelaporan stok secara rutin serta
memusnakan obat sesuai prosedur.

B. Saran
Sebaiknya pembaca tidak hanya menjadikan makalah ini sebagai acuan dalam
memperdalam pengetahuan mengenai Narkotika khususnya pada pembahasan
berkaitan dengan Aspek Hukum Narkotika. Akan tetapi, mencari informasi
tambahan yang terkait melalui berbagai sumber lain agar lebih mengerti dan
memahami tentang ruang lingkup Aspek Hukum Narkotika

20
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, M.P, Humaedi, S, Santoso, M,B. (2017). Penyalahgunaan Obat di Kalangan


Remaja (Adolescent Subtance Abuse). Jurnal Penelitian dan PPM, 4(2): 339-
345.
Andriyani, T. 2011. Upaya Pencegahan Tindak Penyalahgunaan Narkoba di
Kalangan Mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya. Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis,
(4) : 113-121.
Azmiyati, SR, dkk. 2014. Gambaran penggunaan NAPZA pada anak jalanan di Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS), 9 (2): 137-143.
Badri M. Implementasi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Dalam Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 13 (3): 7-12.
Barda Nawawi Arief, Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Eleanora, F.N, (2011). Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan
dan Penanggulangannya. Jurnal Hukum Vol. XXV (1) : 439-452.
Eleanora, N, F.(2016).Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan
dan Penanggulangannya. Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular Jakarta
Fransiska,N,E. 2018, BAHAYA PENYALAHGUNAAN NARKOBA SERTA
USAHA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGANNYA (Suatu
Tinjauan Teoritis); FH Universitas MPU Tantular Jakarta.
Hasibuan, A, A. (2017). Narkoba dan Penanggulangannya. Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Imran, A. (2018). Narkoba : Ancam Generasi Muda. Berkeley : University of
California.
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis, dan
Praktik, Bandung : PT Alumni

21
Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non
Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka
Bangsa Press.
Mardani. H. 2008, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Pidana Nasional, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persad
Soemoardjo. (2009). Selamatkan Generasi Muda Indonesia Dari Penyalahgunaan
Narkotika. Jakarta Pusat : Yayasan Titian Bhakti Jendral Oerip Soemoardjo.

22

Anda mungkin juga menyukai