Anda di halaman 1dari 14

DEKONSTRUKSI TOKOH GAJAH MADA DALAM NOVEL PERANG

BUBAT KARYA AAN MERDEKA PERMANA

DECONSTRUCTION OF GAJAH MADA FIGURE


IN PERANG BUBAT NOVEL BY AAN MERDEKA PERMANA

Sarip Hidayat
Balai Bahasa Jawa Barat
Jalan Sumbawa, Nomor 11, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Telepon (022) 4205468, Faksimile (022) 4218743
Pos-el: mohsyarifhidayat@gmail.com

Naskah diterima: 22 September 2018; direvisi: 9 Desember 2018; disetujui: 14 Desember 2018

Permalink/DOI: 10.29255/aksara.v30i2.317.237-250

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sejumlah upaya yang dilakukan pengarang
dan pemaknaan dari penginterpretasian tokoh Gajah Mada dalam novel yang berjudul
Perang Bubat. Rumusan masalahnya adalah bagaimana cara Aan Merdeka Permana
menginterpretasikan tokoh Gajah Mada dalam novelnya dan apa makna yang dapat
diperoleh dari upaya pengarang tersebut. Teori yang digunakan untuk menganalisis novel
ini adalah teori dekonstruksi. Melalui teori ini, data dalam novel akan dianalisis melalui
kehadiran sejumlah oposisi biner yang berkaitan dengan tokoh Gajah Mada dalam novel dan
menghubungkannya dengan narasi besar tentang Gajah Mada dalam teks-teks sumber-sumber
sejarah yang telah dikenal selama ini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif
yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sejumlah upaya yang
dilakukan pengarang dalam menginterpretasikan tokoh Gajah Mada. Simpulan yang dapat
dikemukakan adalah (1) upaya pengarang dalam menginterpretasikan tokoh Gajah Mada
adalah dengan cara menciptakan informasi baru mengenai tokoh Gajah Mada berdasarkan
logika penceritaan novel; (2) makna yang diperoleh dari upaya interpretasi ini adalah bahwa
tidak ada interpretasi tunggal terhadap suatu fenomena.

Kata Kunci: dekonstruksi, interpretasi, Perang Bubat, oposisi, makna

Abstract
This study aims to find a number of efforts made by the author and the meaning of the
interpreter of the figure of Gajah Mada in a novel entitled Perang Bubat. The formulation
of the problem is how does Aan Merdeka Permana interpret the figure of Gajah Mada in
his novel and what meaning can be obtained from the author’s efforts? The theory used
to analyze this novel is the theory of deconstruction. Through this theory, the data in the
novel will be analyzed through the presence of a number of binary opposition relating to
the character of Gajah Mada in the novel and linking it with a grand narrative about Gajah
Mada in the texts of historical sources that have been known so far. The research method
used is qualitative descriptive. The results of the study showed that there were a number of
efforts made by the author in interpreting the figure of Gajah Mada. The conclusions that
can be put forward are (1) the author’s efforts in interpreting the character of Gajah Mada
is by creating new information about the character of Gajah Mada based on the logic of

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 237
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

storytelling; (2) the meaning obtained from the effort of this interpretation is that there is
no single interpretation of a phenomenon.

Keywords: deconstruction, interpretation, Perang Bubat, opposition, meaning

How to cite: Hidayat, S. (2018). “Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya
Aan Merdeka Permana”. Aksara, 30(2), 237—250 (DOI: 10.29255/aksara.v30i2.317.237-250).

PENDAHULUAN tidak dalam mengubah pandangan masyarakat


Salah satu sumber penceritaan yang diambil oleh terhadap sejarah. Hal ini sejalan dengan
pengarang ketika menulis sebuah karya sastra pernyataan Kuntowijoyo berikut ini.
adalah peristiwa sejarah. Akan tetapi, seseorang
yang akan menulis karya sastra berdasarkan “Pengarang novel sejarah dapat menggunakan
masa lampau yang luas untuk menolak atau
peristiwa sejarah ini perlu memahami berbagai
mendukung suatu interpretasi atau gambaran
ketentuan di samping kebebasannya sebagai
sejarah yang sudah mapan. Karya-karya
pengarang. Artinya, tidak serta merta seorang Solzhenitsyn misalnya menolak gagasan
pengarang menjadikan fakta sejarah yang ada historical optimism tentang transformasi
menjadi bagian dalam karyanya. Setidaknya masyarakat di bawah cita-cita komunisme di
ia harus menelusuri terlebih dahulu fakta itu Rusia dengan menampilkan sebuah alternatif
secara lebih komprehensif agar ditemukan gambaran, atau historical truth yang lain.
Cara-cara membenarkan diri dan membuat
sebuah sudut pandang yang benar-benar teruji
gambaran sejarah menurut versi sepihak
dan memiliki alasan atau argumen yang kuat
ini sudah dikenal pula dalam historiografi
mengenai pentingnya fakta sejarah tersebut tradisional” (Kuntowijoyo, 2006, hlm. 178).
diungkapkan dalam karyanya.
Mengenai fakta sejarah ini, Kuntowijoyo Pernyataan Kuntowijoyo tersebut
(2006, hlm.178) mengatakan bahwa novel mengindikasikan adanya upaya untuk tidak
sejarah yang secara sengaja menggunakan sepenuhnya mempercayai sejarah mapan. Ada
peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai sisi lain dari sejarah yang dapat diubah, dikritisi,
ikatan kepada historical truth, sekalipun bahkan didekonstruksi oleh pengarang. Hal
kebenaran sejarah itu juga bersifat relatif. Terkait ini bisa jadi karena selama ini kita tidak
dengan relativitas kebenaran dalam sejarah ini, mempercayai adanya kebenaran mutlak. Apalagi
pengarang memiliki kebebasan untuk memilih jika sejarah yang diyakini selama ini masih
berbagai sumber sejarah sepanjang sumber terbuka kemungkinan untuk diubah. Misalnya
tersebut relevan dan teruji validitasnya dalam karena sumber sejarah yang digunakan belum
pencarian kebenaran tersebut. sepenuhnya valid dalam pengujian.
Ketika sumber sejarah yang ada belum Hal seperti itulah yang terjadi ketika
mampu menjadi pintu masuk bagi pengungkapan beberapa pengarang, seperti Hariadi (2006),
kebenaran masa lampau yang diyakini semua Aksan (2005), dan Permana (2009) mencoba
pihak, pengarang dapat saja terus berikhtiar menjadikan sebuah peristiwa sejarah yang
untuk ikut serta menemukan kebenaran tersebut. sebenarnya belum mapan, yaitu Perang Bubat
Caranya adalah dengan menghadirkan sumber dijadikan bahan dalam penulisan karyanya.
alternatif untuk menguji kebenaran yang selama Peristiwa ini dikatakan belum mapan sebagai
ini diyakini oleh masyarakat umum. Terlepas sebuah kebenaran sejarah karena memang data
nantinya apakah hal tersebut akan berhasil atau pendukung atau sumber sejarahnya sendiri

238 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 237— 250 (Sarip Hidayat) Deconstruction of Gajah Mada Figure in Perang Bubat Novel by Aan Merdeka Permana

masih menjadi perdebatan. ajalnya. Adapun Gajah Mada dianggap sebagai


Pada akhirnya, pemaknaan terhadap orang yang paling bertanggung jawab terhadap
peristiwa ini dapat bermacam-macam, kejadian ini karena peristiwa ini tidak diharapkan
tergantung kepada maksud dari si pengarang sama sekali oleh Prabu Hayam Wuruk.
maupun pemahaman pembacanya terhadap Peristiwa di lapangan Bubat tersebut menjadi
kode-kode sastra maupun budaya yang hadir noda hitam yang mencoreng kewibawaan
di dalam teks sastra. Terkait dengan hal ini, Majapahit. Bisa jadi karena hal itulah maka
Faruk (2014) mengatakan bahwa “Tanda baru dalam kitab Nagarakretagama tidak tertulis
punya makna apabila ada kode. Tapi kode itu peristiwa tragis tersebut. Nagarakretagama
sendiri bermacam-macam, berlipat-ganda, dan adalah kitab keraton yang berisi pujian-pujian
berkembang biak ke sana kemari sesuai dengan terhadap raja dan keberhasilan Majapahit
hukum diferensiasi yang tidak habis-habisnya. sebagai sebuah kerajaan besar di Nusantara.
Pada akhirnya, makna itu sendiri tidak pernah Wajar jika peristiwa-peristiwa seperti Perang
jelas dan mungkin memang tidak ada secara Bubat yang membuat malu kerajaan tidak
substansial.” dimunculkan ke permukaan. Peristiwa ini
Berdasarkan pernyataan Faruk tersebut, malah muncul dalam kitab-kitab yang ditulis
sebuah peristiwa sejarah akan memiliki di luar keraton, seperti Pararaton, Kidung
banyak interpretasi jika tanda-tanda dan kode Sunda, Kidung Sundayana, atau bahkan dalam
baru dihadirkan dalam teks. Hal itu akan Kakawin Gajahmada (Pradotokusumo, 1986).
memunculkan pula banyak interpretasi yang Penjelasan lebih lanjut terkait hal ini dapat
pada akhirnya bermuara pada makna yang tidak dilihat misalnya dalam tulisan Hernawan (2011)
lagi tunggal. Demikian halnya yang terjadi tentang penceritaan peristiwa Perang Bubat
dalam pemaknaan terhadap peristiwa Perang dalam literatur Majapahit.
Bubat, terutama tentang sang Mahapatih, Gajah Berbagai versi mengenai peristiwa
Mada. ini hadir tidak hanya dari kitab-kitab awal
Dalam beberapa sumber sejarah, seperti sebagai sumber sejarah, tetapi juga penafsiran-
Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, penafsiran dari para ahli sejarah saat ini. Salah
maupun Carita Parahyangan (Abdurrahman satu penafsiran terbaru dikemukakan oleh
dkk., 1991) dikisahkan bahwa suatu ketika Prabu sejarawan Universitas Indonesia, Agus Aris
Hayam Wuruk berkeinginan untuk meminang Munandar dalam bukunya yang berjudul Gajah
putri kerajaan Sunda, yaitu Dyah Pitaloka Mada: Biografi Politik (Munandar, 2010) yang
sebagai istrinya. Lamarannya kepada Maharaja dalam beberapa bagiannya berusaha menjawab
Linggabuwana kemudian diterima dengan baik pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan
dan Maharaja pun berangkat ke Majapahit Gajah Mada, termasuk keterlibatannya dalam
untuk melaksanakan rencana pernikahan Perang Bubat.
putrinya. Akan tetapi, rencana pernikahan Sebelum hadirnya buku tersebut, dalam
ini gagal akibat suatu kesalahpahaman yang dunia sastra telah hadir pula beberapa karya
bahkan kemudian mengakibatkan terjadinya bergenre novel yang mengisahkan peristiwa
perang tidak seimbang antara utusan kerajaan ini. Dalam catatan penulis terdapat tiga novel
Sunda dengan para prajurit Majapahit. terbaru yang dibuat oleh tiga orang berbeda
Peristiwa yang berlangsung di daerah yang berusaha mengisahkan kembali peristiwa
Bubat ini kemudian dikenal dengan Peristiwa ini. Sebagai sebuah novel, kisah ini tidak
Bubat atau Perang Bubat. Dalam peristiwa terlepas dari penambahan unsur-unsur fiksi
ini seluruh rombongan dari Sunda menemui sehingga sudut pandang terhadap Perang Bubat

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 239
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

menjadi lebih subjektif. Ketiga pengarang yang ini adalah mendeskripsikan dan mengungkapkan
menggunakan Perang Bubat sebagai latar novel bagaimana cara Aan Merdeka Permana
mereka adalah Hermawan Aksan dalam novel menginterpretasikan tokoh Gajah Mada dalam
Diah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit novelnya dan apa makna yang dapat diperoleh
(Aksan, 2005), Langit Kresna Hariadi dalam dari upaya pengarang tersebut.
novel Gajah Mada: Perang Bubat (Hariadi, Untuk menjawab rumusan masalah tersebut,
2006), dan Aan Merdeka Permana dalam novel peneliti menggunakan teori dekonstruksi.
Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Dalam kajian sastra, dekonstruksi sebenarnya
Gajah Mada dan Dyah Pitaloka (Permana, lebih banyak digunakan untuk menelusuri
2009). jejak-jejak yang selama ini terabaikan atau
Meskipun ketiga novel ini mengisahkan bahkan tidak dihiraukan dalam pemaknaan
peristiwa yang sama, dalam penceritaannya suatu teks secara keseluruhan. Melalui strategi
setiap pengarang memiliki sudut pandang pembacaan dekonstruksi, makna-makna baru
berbeda. Perbedaan ini dapat dipahami karena bisa muncul dari berbagai hal yang selama ini
ketiga pengarang ini berasal dari latar belakang terpinggirkan atau tidak menjadi bagian penting
budaya yang berbeda di samping perbedaan dalam pembentukan struktur pemaknaan.
dalam menuangkan ide ceritanya (Hidayat, Dalam suatu pembacaan dekonstruksi
2015). terhadap teks, Derrida (Culler, 1983, hlm.
Di antara ketiga novel ini, karya yang 85--86) mengatakan bahwa hal pertama
ditulis Aan Merdeka Permana (Selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan oposisi
ditulis AMP) dapat dikatakan kontroversial yang telah ada sebelumnya di dalam teks.
karena berani mengungkapkan hal yang Selanjutnya oposisi tersebut kemudian
berbeda mengenai peristiwa ini dan terutama dibalikkan hierarkinya sehingga menemukan
menghadirkan pencitraan baru terhadap sosok sejumlah paradoks. Paradoks inilah yang
Gajah Mada. Meskipun dalam novelnya nantinya menjadi bahan untuk menginterpretasi
sejak awal telah dituliskan bahwa novel yang sejumlah pemaknaan terhadap suatu teks
ditulisnya bukan novel sejarah, interpretasi yang menolak adanya pemaknaan tunggal.
AMP terhadap kisah ini tidak dapat diterima Akan tetapi, membalikkan hierarki tersebut
begitu saja bahkan kemudian menuai berbagai hanyalah langkah saja. Hal yang lebih penting
tanggapan. menurut Derrida adalah menggunakan gerakan
Menarik untuk dikaji adalah bagaimana ganda, ilmu ganda, penulisan ganda, dan
upaya AMP dalam membentuk sosok Gajah mempraktikkan pembalikan dari oposisi klasik
Mada sehingga berbeda dengan pandangan dan perpindahan sistem yang umum. Dengan
umum selama ini. Upaya yang dilakukan oleh kata lain, seorang praktisi dekonstruksi bekerja
AMP adalah mencoba untuk berseberangan dalam persyaratan sistem tetapi untuk kemudian
dengan narasi besar tentang Gajah Mada melanggar sistem tersebut (Culler, 1983, hlm.
secara khusus, dan wacana di seputar Perang 85--86).
Bubat secara umum. Hal inilah yang kemudian Melalui alat bantu teori dekonstruksi
menjadi tantangan bagi peneliti untuk tersebut, tujuan penelitian yang ingin dicapai
menemukan sejumlah alasan atau argumen adalah menemukan sejumlah upaya yang
yang menjadi pendukung keberanian AMP dilakukan pengarang menginterpretasikan
dalam menghadirkan makna baru tentang sepak tokoh Gajah Mada. Tujuan lainnya adalah untuk
terjang Gajah Mada dalam Perang Bubat. mendapatkan makna dari upaya interpretasi
Rumusan permasalahan dalam penelitian tersebut. Makna ini diharapkan dapat bermanfaat

240 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 237— 250 (Sarip Hidayat) Deconstruction of Gajah Mada Figure in Perang Bubat Novel by Aan Merdeka Permana

dalam memahami narasi besar tentang Perang tampaknya belum dilakukan oleh peneliti
Bubat dan sosok Gajah Mada. lain. Padahal, dalam novel ini tampak adanya
Makna yang dimaksud dalam hal ini perbedaan informasi antara yang diceritakan
sebagaimana yang diungkapkan Derrida bahwa pengarang dengan informasi yang selama ini
pencarian makna dalam dekonstruksi bukanlah ada dalam buku-buku sejarah. Berdasarkan
akhir dari distinctions ‘pembedaan’, bukan kenyataan tersebut, penelitian dekonstruksi
ketidakpastian makna dari para pembaca. terhadap novel Perang Bubat karya AMP ini
Permainan makna adalah hasil dari apa yang memiliki posisi tersendiri dalam penelitian-
disebut Derrida “the play of the world”, yaitu penelitian tentang Perang Bubat dalam karya
ketika umum selalu menyediakan koneksi, sastra.
korelasi, dan konteks lebih lanjut (Culler, 1983,
hlm. 134). METODE
Penelitian terdahulu tentang novel Metode yang digunakan dalam penelitian ini
Perang Bubat karya AMP tampaknya belum adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif.
banyak dilakukan. Adapun penelitian terkait Metode ini digunakan dalam ilmu-ilmu sosial
novel Perang Bubat pernah dilakukan oleh untuk menemukan pemahaman yang lebih
(Hidayat, 2015). Hal yang diteliti dalam tesis mendalam terhadap suatu fenomena. Tujuan
tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya utamanya adalah untuk mendeskripsikan
menemukan pandangan dunia orang Sunda fenomena yang ada dalam sumber data
berdasarkan kisah Perang Bubat dalam tiga penelitian dan menemukan makna dari analisis
novel tentang Perang Bubat. Hal yang berbeda terhadap fenomena tersebut.
antara penelitian tersebut dengan penelitian Sumber data penelitian ini adalah novel
yang dilakukan ini adalah dari sisi teori yang karya Aan Merdeka Permana berjudul Perang
digunakan dan fokus permasalahan yang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah
berbeda meskipun menggunakan data yang Mada dan Dyah Pitaloka (Permana, 2009).
hampir sama. Karena perbedaan teori dan Novel ini diterbitkan oleh Qanita pada tahun
metode yang digunakan, pembahasan dalam 2009. Alasan menggunakan novel ini sebagai
kedua penelitian ini menjadi berbeda. sumber data penelitian adalah karena di
Peneliti lain seperti Nurrosida (2010) dalamnya terkandung sejumlah informasi yang
lebih memilih membandingkan struktur novel berbeda jika dibandingkan dengan novel-novel
Dyah Pitaloka karya Hermawan Aksan dengan sejenis yang menggunakan peristiwa Perang
novel Perang Bubat karya Yoseph Iskandar. Bubat sebagai bahan penceritaannya.
Teori sastra bandingan pun dilakukan pula oleh Adapun yang menjadi data penelitian ini
Asmalasari (2010) dalam artikelnya berjudul adalah bagian teks novel berupa kutipan. Untuk
“Peristiwa Bubat dalam Novel Perang Bubat mendapatkan kutipan-kutipan ini, peneliti
Karya Yoseph Iskandar dan Novel Gajah Mada: melakukan teknik pengumpulan data berupa
Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi pembuatan sekuen. Sekuen adalah peristiwa
(Kajian Sastra Bandingan)”. Adapun Baehaqi kecil di dalam teks yang menjadi penggerak
(2015) menggunakan novel Hermawan Aksan terbentuknya teks novel secara keseluruhan.
berjudul Niskala untuk meneliti peristiwa Seluruh sekuen dalam novel ini dianalisis
Perang Bubat melalui pendekatan resepsi dan ditentukan sejumlah sekuen yang akan
sastra. menjadi landasan dalam membongkar upaya
Di sisi lain, penelitian dekonstruksi dekonstruksi pengarang terhadap peristiwa
terhadap novel Perang Bubat karya AMP ini Perang Bubat.

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 241
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

Proses pemilihan sekuen dihubungkan selama ini. Disebut gelap karena jika
dengan tatacara pembacaan dekonstruksi dibandingkan dengan Prabu Hayam Wuruk,
terhadap teks sastra, yaitu mencari oposisi Prabu Linggabuana, maupun Dyah Pitaloka yang
biner yang ada di dalam teks. Setelah itu terlibat dalam peristiwa Perang Bubat, sosok
menghubungkannya dengan wacana Perang Gajah Mada belum terlalu jelas asal usulnya.
Bubat secara umum. Selanjutnya, peneliti Akan tetapi, di dalam novel ini, pengarang
melakukan penggalian terhadap kemungkinan memberikan informasi yang berhubungan
adanya upaya pemutarbalikkan hierarki dari dengan asal usul Gajah Mada sebagaimana
oposisi tersebut baik berupa kehadiran dominasi diungkapkannya dalam kutipan berikut.
maupun hadirnya paradoks berdasarkan oposisi
biner yang telah ditentukan itu. Pada tahap Dulu, lima atau mungkin enam tahun silam,
pemuda Mada dari Banten datang ke Kawali.
selanjutnya, peneliti mencoba memaknai setiap
Dia ingin mengabdi ke sebuah negeri besar
upaya pendekonstruksian oleh pengarang dalam
bernama Sunda. Prabu Lingga Buana baru
karyanya. Upaya mendeskripsikan hasil analisis saja diwastu atau dilantik sebagai raja ke-31
dilakukan dalam bagian pembahasan untuk menggantikan Prabu Ragamulya. Kerajaan
melihat makna yang dihadirkan pengarang yang memiliki rentang panjang perjalanan,
dalam karyanya. sejak tahun 669 Masehi, menurut pemuda
keturunan Cina bernama Ma Hong Foe atau
belakangan dikenal sebagai Mada, tentulah
HASIL DAN PEMBAHASAN
merupakan kerajaan besar yang kuat, baik
Dalam pengisahan terhadap peristiwa Perang
kuat kehidupan kemasyarakatannya maupun
Bubat yang dilakukan oleh AMP, peneliti ketentaraannya (Permana, 2009, hlm. 41--
menemukan sejumlah oposisi biner. Oposisi 42).
biner tersebut hadir dalam teks untuk merespon
adanya pemaknaan yang selama ini telah Kutipan tersebut memberikan informasi
menjadi pemahaman umum. Dari sejumlah kepada pembaca bahwa tokoh Mada pernah
oposisi biner yang ditemukan, dalam penelitian datang, menetap, dan berinteraksi dengan
ini, peneliti akan lebih menitikberatkan kepada masyarakat di kerajaan Sunda. Disebutkan
oposisi biner yang berhubungan dengan tokoh pula bahwa pemuda Mada berasal dari Banten.
Gajah Mada. Beberapa oposisi biner tersebut Dalam kutipan tersebut bahkan disebutkan
adalah sebagai berikut. nama sesungguhnya adalah Ma Hong Foe.
Adapun nama Ramada merupakan panggilan
gelap >< terang dari masyarakat Sunda kepadanya. Bahkan
berkuasa >< tidak berkuasa
akhirnya Ramada mendapatkan nama panjang
bersalah >< tidak bersalah
berdasarkan kepandaian yang dimilikinya,
tetapi tidak mau menyebutkan asal-usulnya.
Ketiga oposisi tentang Gajah Mada tersebut
Pemuda biasa, tutur bahasa dan dialeknya
berhubungan dengan asal usul Gajah Mada,
sama dengan kebanyakan orang, kulitnya
posisi mahapahit yang diemban Gajah Mada,
hampir-hampir berwarna sawo matang, pemuda
dan tanggung jawab Gajah Mada. Ketiga hal
tegap berhidung agak kembung, pekerja keras
tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini.
dan tak kenal lelah. Dikenal sebagai orang
cerdas, punya banyak gagasan, dan sanggup
Asal Usul Gajah Mada
melahirkan hal-hal baru, bisa memasak ikan
Oposisi biner gelap >< terang berhubungan
hingga mengukir dinding.
dengan asal usul Gajah Mada yang dipahami

242 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 237— 250 (Sarip Hidayat) Deconstruction of Gajah Mada Figure in Perang Bubat Novel by Aan Merdeka Permana

Orang Kawali menyebutnya Ramada. Karena kaputren pun, pemuda Ramada kerap keluar-
tidak mau menyebutkan asal usulnya namun masuk sebab putri mahkota bernama Dyah
memiliki kepandaian khusus kemudian Pitaloka Citraresmi juga memerlukannya.
diberi nama lengkap Jaya Sakhsena Rakshi “Apakah engkau bisa mengukir pintu, Kakang
Ramadashena (Permana, 2009, hlm. 45). Mada?”
“Akan saya coba, Nyimas.”
Asal usul kehidupan keluarganya di Banten Pemuda Ramada benar mengukir daun pintu
hanya disebutkan sekilas. Dalam novel ini di kaputren. Daun pintu kamar Putri Dyah
Pitaloka, diberinya hiasan-hiasan amat indah
pengarang menulis bahwa leluhur Gajah Mada
sebab dibuat dengan sepenuh jiwa (Permana,
datang ke Nusantara sebagai pelarian dan jemu
2009, hlm. 45).
pada kekuasaan (Permana, 2009, hlm. 42).
Informasi lain terkait asal usul Gajah Mada Kutipan di atas menginformasikan kepada
adalah alasannya untuk datang ke Kerajaan pembaca tentang posisi pemuda Ramada yang
Sunda. Dalam novel ini diceritakan bahwa dekat dengan istana, bahkan dengan para
kedatangan Ramada ke Kerajaan Sunda adalah penghuninya, termasuk putri kerajaan, Dyah
untuk berbakti kepada sebuah kerajaan besar. Pitaloka. Hal ini menjadi sebab mengapa di
Berdasarkan cerita ayahnya sewaktu di Banten, kemudian hari Ramada merasakan ikatan batin
ia mendapatkan informasi bahwa Sunda dengan kerajaan Sunda.
adalah kerajaan yang dimaksud. Maka dari itu Kedekatannya dengan keluarga kerajaan
ia bertekad untuk mengabdi di kerajaan ini. Sunda mengindikasikan bahwa sebenarnya
Tekad tersebut kemudian dibuktikannya dengan pemuda Ramada dapat diterima keberadaannya
melakukan perjalanan menuju Sunda. di kalangan Istana. Sosoknya menjadi sosok
Pengarang menyebutkan bahwa perjalanan yang dibutuhkan, bukan hanya oleh kerajaan
Ramada tersebut melewati berbagai tempat, karena pekerjaannya, melainkan pula oleh
yaitu dari Karangantu, Banten, Ramada anggota keluarga kerajaan yang menginginkan
menuju ke Kerajaan Muararebes di pinggir pendapatnya tentang berbagai hal.
kali Ciliwung. Dari situ ia melewati Dalam beberapa kesempatan misalnya,
Cileungsi terus ke Tanjungpura (Karawang), Dyah Pitaloka meminta Ramada untuk
Sagalaherang (Subang), Tanjungsiang, kerajaan mengungkapkan pendapatnya mengenai
Sumedanglarang, Sindangkasih, Talaga, dan kehidupan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan
bergerak ke selatan menuju Kawali sebagai berikut.
pusat pemerintahan Kerajaan Sunda (Permana,
2009, hlm. 43). Hidup ini tak selamanya lurus. Artinya,
Informasi lain terkait dengan keberadaan tidak semua yang kita cita-citakan akan bisa
Gajah Mada di Kerajaan Sunda adalah terjadinya kita raih. Ada kalanya, kita menginginkan
sesuatu, tetapi yang kita dapatkan bukan hal
jalinan asmara antara dirinya dengan Dyah
itu. Atau bisa juga cita-cita itu kita dapatkan,
Pitaloka. Menariknya, informasi ini oleh
namun mesti melalui kelokan-kelokan yang
pengarang ditulisnya dengan gaya sorot amat susah dan terkadang melawan bahasa”
balik. Berikut adalah contoh kutipan tentang (Permana, 2009, hlm. 46).
hubungan Dyah Pitaloka dengan Ramada.
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa
Semakin hari, pemuda Ramada semakin betah pemuda Ramada memiliki pandangan yang luas
tinggal di lingkungan istana. Apalagi dia diberi
tentang kehidupan. Apa yang diungkapkannya
keleluasaan keluar-masuk lingkungan istana
kepada Dyah Pitaloka bisa jadi berasal dari
tanpa memerlukan izin-izin khusus. Ke wilayah

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 243
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

pengalaman hidupnya selama ini. Karena dirinya sadar bukan berasal dari
Pelajaran tentang kehidupan yang diberikan golongan yang sederajat, terlebih sindiran
kepada Dyah Pitaloka dalam kutipan tersebut sang Prabu Linggabuana yang demikian telak
seolah-olah cerminan kehidupan Ramada. Kisah menusuk hatinya, Ramada harus merelakan
hidupnya di kemudian hari bahkan merupakan dirinya untuk membuang perasaan itu dengan
perwujudan dari pelajaran tersebut. Adapun jalan menghindar dari Dyah Pitaloka.
pelajarannya untuk memahami perbedaan Setelah memutuskan untuk meninggalkan
diutarakan Ramada ketika Dyah Pitaloka kerajaan Sunda, Ramada kemudian melanjutkan
memintanya untuk memberi alasan mengenai perjalanannya dengan tekad awal mengabdi
kehadiran berbagai macam ikan dalam kolam kepada kerajaan besar. Maka sampailah ia di
di sekitar kaputren. Majapahit dan meniti karier sejak menjadi
Pelajaran tentang ikan ini akhirnya menjadi prajurit rendahan sampai kemudian menjadi
penyebab Ramada memutuskan untuk keluar mahapatih dan mengucapkan sumpahnya yang
dari kerajaan Sunda. Hal itu terjadi setelah terkenal, Amukti Palapa.
dirinya merasa tersindir oleh ucapan Sang Hampir seluruh kerajaan di Nusantara telah
Prabu Linggabuana yang mempersoalkan ia tundukkan. Hal ini untuk membuktikan cita-
pelajaran tentang ikan itu. citanya. Namun, dalam novel ini sebenarnya
Gajah Mada mengatakan bahwa semua yang
“Ikan mas adalah ikan mas dan ikan impun dilakukannya dilandasi oleh kekecewaan yang
tetap ikan impun,” kata-kata terakhir sang
diterimanya sewaktu ia berada di Kerajaan
Prabu seolah datang dari jauh. Serasa sayup-
Sunda.
sayup saja namun amat membenam di dada
(Permana, 2009, hlm. 57).
Terus terang, kiprahnya selama ini sebetulnya
lebih diprakarsai oleh perasaan sakit hati.
Perkataan sang Prabu tersebut dimaknai
Basandewa Mada merasa sakit hati sebab
Ramada sebagai bentuk ketidaksukaan hubungan tahun-tahun belakangan, dia serasa dilecehkan
dirinya dengan Dyah Pitaloka yang diibaratkan oleh ayahanda Putri Dyah Pitaloka (Permana,
antara ikan impun dengan ikan mas. Ia merasa 2009, hlm. 85).
bahwa di lingkungan tersebut dirinya sudah
tidak mendapatkan tempat. Padahal hubungan Pencapaiannya selama itu sebagai
dirinya dengan Dyah Pitaloka layaknya pemuda mahapatih di Kerajaan Majapahit adalah bentuk
dan pemudi yang memendam perasaan yang pembuktian bahwa dirinya salah dinilai oleh
sama. Pengarang menggambarkannya sebagai sang Prabu Linggabuana. Kini posisinya berada
berikut ketika mereka sedang bercengkrama. di tempat terhormat sebagai orang nomor dua
di kerajaan besar, Majapahit. Tentunya hal
Hanya tatapan dua pasang mata yang tersebut menyiratkan bahwa kedudukannya
membangkitkan gejolak jiwa. Bergemuruh. kini sudah setara dengan pembesar-pembesar
Bergetar. Dan penuh tekanan (Permana, 2009,
negeri lain, utamanya Sunda.
hlm. 77).
Karier yang gemilang sebagai mahapatih
tentu tidak diperoleh begitu saja. Dalam
Kutipan tersebut mengisyaratkan bahwa
perjalanannya ke Majapahit ia telah menempa
Ramada dan Dyah Pitaloka memiliki perasaan
diri dengan berbagai ilmu. Ia berguru kepada
yang sama, cinta yang tak mampu diucapkan
setiap tokoh yang dia temui di sepanjang
namun terasa getarannya melalui sikap dan
jalan. Tokoh ilmu kewiraan, tokoh ilmu
perhatian yang ditunjukkan oleh keduanya.
ketatanegaraan, dan tokoh ilmu kewibawaan

244 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 237— 250 (Sarip Hidayat) Deconstruction of Gajah Mada Figure in Perang Bubat Novel by Aan Merdeka Permana

didatanginya untuk dimintai pengetahuan Majapahit. Mengenai hal ini, Farchan dan
mereka. Firdaus Syam (2015) menulis tentang tafsir
Yang menjadi bahan pertanyaan dari novel kekuasaan menurut Gajah Mada. Artinya,
ini adalah mengenai waktu kedatangan Gajah sebagai mahapatih, sejumlah keputusan besar
Mada ke Majapahit. Kutipan dalam novel telah diambil oleh Gajah Mada dalam rangka
mengatakan sebagai berikut. perluasan kerajaan.
Dalam perdebatan setelah terjadinya
Pemuda Ramada datang ke Majapahit di saat perang bubat, sebagai Mahapatih yang memiliki
raja belia bernama Sang Rajasanagara atau
kekuasaan tertinggi setelah raja, mestinya
kemudian dikenal sebagai Hayam Wuruk baru
Gajah Mada berada di dalam posisi yang
saja dilantik, menggantikan sang ibu Tribuana-
tunggadewi (Permana, 2009, hlm. 85). menentukan. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku
di sini. Sebagai Mahapatih, Ia justru terpojok
Jika kita bandingkan dengan sumber oleh sumpahnya sendiri untuk mempersatukan
sejarah, informasi ini menjadi terasa sangat Nusantara. Semuanya berawal dari keinginan
mengganggu karena dalam sumber sejarah Prabu Hayam Wuruk yang bertentangan dengan
dikatakan bahwa Gajah Mada telah berada di sumpahnya tersebut.
Majapahit jauh sebelum Raja Hayam Wuruk Suatu ketika Prabu Hayam Wuruk
berkuasa. Dalam bukunya, Munandar menulis menginginkan seorang istri sebagai pendamping
bahwa Gajah Mada telah mengabdi kepada di kerajaannya. Dalam novel ini diceritakan
tiga penguasa Majapahit, yaitu Raja Hayam bahwa Hayam Wuruk kemudian terpesona oleh
Wuruk dan dua raja sebelumnya. Namun lagi- kecantikan Dyah Pitaloka. Dari mana Hayam
lagi sebagaimana dikatakan pengarangnya Wuruk mengetahui hal ini? Cerita dalam novel
bahwa ini bukanlah novel sejarah, seharusnya kemudian berusaha untuk membuat sebabnya.
ada alasan dari pengarang mengenai bagian Ternyata informasi tentang kecantikan sang
ini. Yang dapat ditemukan dalam novel putri tersebut berasal dari gambar yang diam-
adalah bahwa ini merupakan upaya dari diam diambilnya dari kamar Gajah Mada.
mengarang untuk mendukung jalinan cerita Sewaktu ditanya oleh para pembesar kerajaan,
yang diinginkannya. Hayam Wuruk mengatakan berikut ini.
Dibandingkan dengan sumber sejarah yang
“Aku sudah dapatkan gambarnya. Gadis itu
membahas asal usul Gajah Mada yang masih
amat cantik. Sepertinya dia diturunkan dari
terus diteliti, novel ini menghadirkan beberapa
Swargamaniloka.”
kemungkinan interpretasi dan pemaknaan baru “Aku dapatkan dari sang Mahapatih.”
tentang sosok Gajah Mada. Berbagai informasi Dengan agak terkejut, Mahapatih Mada
yang dimunculkan tentang asal usul tokoh ini melihat ke arah junjungannya.
dalam penceritaan novel tampak memiliki “Tempo hari aku pernah bilang kalau aku
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. menginginkan gambar seorang gadis cantik.
Ya, sekadar untuk hiasan dinding di peraduanku
Setidaknya alasan tersebut dapat dilihat dari
saja. Namun belakangan, seorang dayang
sisi sebab-akibat sebuah peristiwa dalam novel
istana yang ditugasi membersihkan ruangan
dapat terjadi. kamar Mahapatih Mada, menemukan sebuah
gambar perempuan muda yang mahacantik.
Kedudukan Gajah Mada sebagai Dayang melaporkan, lalu aku perintahkan agar
Mahapatih Majapahit dayang menyerahkan gambar itu kepadaku.
Oposisi berkuasa >< tidak berkuasa ditujukan Maafkan Mada aku tak bilang secuil pun,” kata
sang Prabu melirik dan tersenyum (Permana,
kepada Gajah Mada yang menjadi Mahapatih

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 245
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

2009, hlm. 90). Tundukkanlah seluruh negeri yang ada di


Nusantara. Jadikan mereka negeri bawahan
Apa yang dilakukan Prabu Hayam Wuruk Majapahit. Kecuali Sunda. Dengan mereka,
sebagaimana terungkap dalam kutipan di atas bahkan aku ingin mengentalkan kembali
kekerabatan (Permana, 2009, hlm. 96).
tak kuasa ditentang oleh Gajah Mada. Sebagai
pembantu Raja, ia seakan tidak ingin menentang
Kekerabatan yang dimaksud oleh Hayam
setiap kemauan sang Raja. Urusan percintaan
Wuruk adalah bahwa cikal bakal berdirinya
kini tampaknya menjadi urusan yang kesekian.
Majapahit tidak bisa dilepaskan dari sejarah
Sepanjang sang Raja tidak mengganggu
masa lalu para leluhurnya, terutama pendiri
sumpahnya untuk mempersatukan Nusantara,
Majapahit yang awalnya justru merupakan
Gajah Mada tetap setia kepada rajanya meskipun
keluarga Kerajaan Sunda.
harus mengorbankan perasaannya sendiri.
Setelah Hayam Wuruk memutuskan
Karena keinginan Prabu Hayam Wuruk
untuk tetap dengan keinginannya, diutuslah
untuk memperistri Dyah Pitaloka dirasakannya
Gajah Mada untuk menyampaikan pinangan
akan menjadi penghalang bagi cita-citanya
kepada Prabu Linggabuana. Di Kerajaan
untuk mempersatukan Nusantara di bawah
Sunda sendiri, Prabu Linggabuana kemudian
bendera Majapahit, Gajah Mada menentang
menyetujui lamaran tersebut. Namun demikian,
keinginan sang Raja tersebut.
ada perdebatan di lingkungan Kerajaan Sunda
Bila Paduka mengangkat permaisuri dari mengenai keinginan Hayam Wuruk untuk
Sunda atau negeri mana pun, berarti sumpah melaksanakan pernikahan di Majapahit. Sampai
hamba tidak akan berjalan dengan mulus.” kemudian mengarah kepada pandangan orang
“Mengapa?” Sunda yang menganggap bahwa keinginan
“Mengangkat permaisuri dari negeri lain, tersebut didasarkan pada toleransi antarbudaya
hanya punya arti bahwa kita mengakui
yang berbeda.
kedaulatan mereka sebagai negeri sejajar”
(Permana, 2009, hlm.96).
“Iya betul. Kita semua memiliki ciri sabumi
cara sadesa. Tapi yang disebut kita tentu
Alasan yang dikemukakan Gajah Mada bukan semata orang Sunda. Orang Jawa
bisa jadi benar dalam tataran kepentingan pun punya adat semacam itu yang mungkin
Negara. Namun, dilihat dari urutan peristiwa berlainan dengan kita. Apalah salahnya bila
dalam novel bisa saja keberatan Gajah Mada kita menghormati adat mereka dengan cara
karena rasa cintanya terhadap Dyah Pitaloka. mengikuti tata yang mereka inginkan?” kata
Purohita Ragasuci.
Penggalan kisah hidupnya ini sayangnya tidak
“Bahwa orang Wilwatikta meminta begitu,
diketahui oleh siapapun di kalangan orang-orang
mungkin saja mereka penyembah Hindu.
Majapahit. Maka, ia lebih memilih memendam Dalam agama Hindu, adat perkawinan adalah
perasaannya dan menjadikan Sumpah Palapa mempelai perempuan datang ke mempelai
sebagai alasan utama penolakannya. pria. Namun mereka juga tak seutuhnya
Mengenai hal ini, Prabu Hayam Wuruk mempertahankan tradisi Hindu, sebab mereka
mempersalahkan Gajah Mada yang tidak juga menghormati adat orang Sunda. Mereka
tak meminta pihak perempuan meminang sebab
mengetahui sejarah Majapahit secara
dalam adat Sunda tak ada pihak perempuan
keseluruhan. Ada alasan tertentu yang
meminang pihak pria. Itulah sebabnya, mereka
menyebabkan Prabu Hayam Wuruk berani menghormati tradisi kita dengan cara pihak
memperistri Dyah Pitaloka. pria meminang kepada pihak perempuan.
Kurasa ini adil dalam saling menghormati di

246 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 237— 250 (Sarip Hidayat) Deconstruction of Gajah Mada Figure in Perang Bubat Novel by Aan Merdeka Permana

antara perbedaan adat,” kata Purohita Ragasuci menyerang prajurit Sunda memang bukan
(Permana, 2009, hlm. 116). Gajah Mada melainkan Patih Purwodi yang
adalah juga paman Prabu Hayam Wuruk.
Berdasarkan kutipan tersebut terungkap Sebagai Mahapatih kerajaan besar, Gajah
bahwa ada perbedaan pandangan di antara Mada memiliki kedudukan yang sangat
dua kerajaan tentang posisi perempuan penting. Akan tetapi, dalam peristiwa Perang
dalam peminangan. Perbedaan ini memicu Bubat, kedudukan tersebut ternyata memiliki
pertentangan di dalam keluarga Kerajaan Sunda kelemahan. Konspirasi di antara bawahan dan
karena berdasarkan keyakinannya, mereka pihak-pihak lain mampu menjungkirbalikkan
menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh anggapan tersebut. Artinya, dalam situasi
pihak Kerajaan Majapahit tidak sesuai dengan tertentu, seseorang yang berkuasa ternyata bisa
adat peminangan yang selama ini dipegang juga tidak berkuasa. Gajah Mada pun tidak bisa
teguh oleh masyarakat Sunda. mengelak dari hal itu.
Melalui diskusi dan pandangan dari pihak
penasihat, dalam hal ini Purohita Ragasuci, Tanggung Jawab Gajah Mada dalam
diputuskan bahwa pihak Sunda akan mengikuti Perang Bubat
kemauan pihak Majapahit. Meskipun demikian, Oposisi bersalah >< tidak bersalah dapat
di dalam keluarga kerajaan Sunda sendiri tidak kita telusuri dari perbincangan para tokoh di
sepenuhnya yakin dengan keputusan tersebut. Majapahit tentang siapa yang bertanggung
Maka telah menjadi kenyataan sejarah jawab atau patut dipersalahkan atas kejadian
bahwa rombongan pengantin dari Sunda yang menimpa rombongan Sunda di Bubat.
kemudian berangkat menuju Majapahit. Sebagai orang yang paling bertanggung
Diceritakan bahwa rombongan kemudian jawab atas keamanan negara dan kedudukannya
berkemah di sekitar Bubat sambil menunggu sebagai mahapatih, Gajah Mada kemudian
penjemputan dari keluarga Kerajaan Majapahit. dipersalahkan oleh para patih bawahannya.
Namun, yang datang ternyata bukanlah Prabu Meskipun Gajah Mada merasa bahwa ia tidak
Hayam Wuruk melainkan prajurit Majapahit memerintahkan prajurit untuk mengepung
yang menerima mereka dan justru menganggap rombongan Sunda, sebagai mahapatih ia
mereka akan memberikan upeti sebagai tanda harus mengakui bahwa itu tidak lepas dari
takluk terhadap Majapahit. Hal ini membuat keputusannya dan akhirnya harus siap ber­
rombongan Sunda terusik harga dirinya. Sampai tanggung jawab atas peristiwa tersebut.
kemudian mereka bersumpah mempertahankan Akhirnya, Mahapatih Gajah Mada rela
kehormatan sebagai orang Sunda dan berani menjadi tumbal untuk menjaga kewibawaan
mati demi membela kehormatannya tersebut. negara. Hal ini tidak terlepas dari berbagai
Maka terjadilah pertempuran yang tidak desakan dan pemikiran bahwa jika hal ini tidak
seimbang antara pihak Sunda dengan Majapahit dilakukan maka kemungkinan situasi antara
karena di satu sisi rombongan Sunda datang kedua belah pihak akan lebih buruk lagi. Alasan
ke Majapahit tidak untuk berperang, tetapi tersebut dikemukakan oleh salah seorang patih
untuk melangsungkan pernikahan. Di sisi dalam kutipan berikut.
lain, Majapahit mengerahkan sebagian besar
tentaranya untuk mengepung rombongan Sunda. “Gusti Mahapatih mau tidak mau harus berani
Itulah puncak terjadinya peristiwa Bubat. bertanggung jawab atas semua ini. Gusti
Dalam novel ini diceritakan bahwa Mahapatih harus berani mengatakan bahwa
sesungguhnya yang memerintahkan untuk peristiwa di Bubat benar-banar kesalahan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 247
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

dirinya secara pribadi dan bukan kesalahan Pemaknaan


negara. Bila negara yang bertanggung jawab, Jika selama ini masyarakat kadung menilai
akan terjadi perang besar antara dua negara. bahwa yang bersalah dalam peristiwa Bubat
Namun, bila peristiwa Bubat hanya ditimpakan
adalah Gajah Mada, melalui representasinya
kepada kesalahan pribadi, orang-orang Sunda
hanya akan menyalahkan seseorang. Dalam
tentang Gajah Mada melalui Ramada, pengarang
hal ini, mungkin Gusti Mahapatih Mada,” kata seolah ingin mengatakan bahwa peristiwa Bubat
Patih Logenda (Permana, 2009, hlm. 312). bukan sekadar sebuah peristiwa yang selesai
dalam satu waktu melainkan berhubungan
Nasib Gajah Mada dalam cerita ini ternyata dengan latar belakang terjadinya peristiwa
tidak selesai sampai di sana karena rakyat tersebut.
Majapahit kemudian menuntut agar Gajah Tidak lengkapnya peristiwa Bubat
Mada diturunkan jabatannya dari mahapatih. diceritakan dalam berbagai sumber sejarah
Di akhir cerita, nasib Gajah Mada ternyata membuka peluang bagi siapa pun untuk
hampir sama dengan Dyah Pitaloka yang tidak mencari bukti baru dalam hal mencari kronologi
diketahui keberadaannya. Akhir yang terbuka peristiwa tersebut. Jika ahli sejarah maupun
ini memberi peluang kepada pembaca untuk arkeologi mendasarkannya pada bukti-bukti
menafsirkan ulang kedua tokoh ini. nyata, berupa kitab ataupun peninggalan-
Dalam dekonstruksi, oposisi yang peninggalan arkeologi, AMP berusaha mencari
diperhadapkan dan awalnya membentuk bukti lain di berbagai tempat dan berbagai
hierarki selanjutnya dijungkirbalikkan dan sumber yang mengarahkannya kepada peristiwa
membentuk paradoks. Gajah Mada yang Bubat. Maka sumbernya pun menjadi berbeda
selama ini diketahui memiliki peran yang karena ia memilih mencarinya di berbagai cerita
sangat penting dalam kejayaan Majapahit rakyat yang telah turun temurun disampaikan
ternyata tak sekuat yang dibayangkan. Dalam oleh para leluhur kepada generasi selanjutnya
akhir hidupnya, posisinya dijungkirbalikkan dan ternyata ia menemukannya di berbagai
menjadi orang yang tidak memiliki kekuatan tempat antara Kawali sampai dengan wilayah
apa-apa. Orang yang selama ini memiliki kuasa di sekitar Trowulan yang selama ini diyakini
pada akhirnya tidak mampu mempertahankan sebagai pusat pemerintahan Majapahit saat
kekuasaan tersebut. itu. Itulah yang kemudian menjadi salah satu
Setiap oposisi yang diperhadapkan sumber penceritaannya dalam novel.
tentang Gajah Mada menimbulkan sejumlah Dalam hal ini, AMP juga seolah tidak
pertanyaan baru tentang cara sang tokoh yakin dengan sumber yang selama ini menjadi
dalam memperlakukan posisinya tersebut dan sumber utama sejarah tentang Perang Bubat,
tujuan sang pengarang dalam membentuk yaitu Kitab Nagarakretagama karangan Mpu
strategi penceritaan tentang tokoh Gajah Mada. Prapanca, Kidung Sunda, Kidung Sundayana,
Pertanyaan-pertanyaan tersebut misalnya dapat maupun Carita Parahyangan. Subjektivitas
berupa tentang kebenaran asal usul Gajah dari sumber-sumber ini tentu masih sangat
Mada, posisi Gajah Mada sebagai Mahapatih kuat karena bukankah sumber-sumber ini
yang ternyata tak sekuat yang dibayangkan, atau dikategorikan sebagai bagian dari karya sastra
bersalah-tidak bersalahnya Gajah Mada dalam lama. Adapun karya sastra, dalam pandangan
Perang Bubat. Pertanyaan-pertanyaan itulah studi sejarah bukanlah sebagai sumber primer.
yang kemudian memunculkan pemaknaan baru Tidak adil juga kemudian jika cerita rakyat
yang dapat diungkapkan. yang merupakan bagian dari karya sastra lama
dipinggirkan peranannya sebagai sumber

248 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 237— 250 (Sarip Hidayat) Deconstruction of Gajah Mada Figure in Perang Bubat Novel by Aan Merdeka Permana

sejarah. Dengan kata lain, pengarang ingin hal yang ditemukan dalam upaya ini, yaitu
memberikan wawasan kepada kita bahwa kisah adanya perbedaan dalam penceritaan tentang
ini masih dapat diinterpretasikan lebih lanjut. asal-usul Gajah Mada, kedudukan Gajah Mada
Tentu harus diberikan berbagai argumen yang sebagai Mahapatih, dan tanggung jawab Gajah
mendukung interpretasi tersebut dan pengarang Mada dalam peristiwa Perang Bubat. Ketiga hal
telah memberikan buktinya kepada kita. tersebut dijadikan jalan masuk bagi pengarang
Makna yang diperoleh dari analisis ini untuk menciptakan informasi mengenai sosok
tidak mengacu kepada makna umum yang Gajah Mada yang berbeda dengan informasi
selama ini diketahui berdasarkan bukti sejarah. yang selama ini diyakini kebenarannya dalam
Sebuah peristiwa sejarah yang masih simpang- sejarah.
siur dalam pembuktiannya memiliki potensi Kedua, makna yang diperoleh dari
untuk dimaknai ulang. upaya interpretasi ini adalah bahwa tidak ada
Pemaknaan ini bukan sekadar menentang interpretasi tunggal terhadap suatu fenomena.
pemaknaan ataupun kebenaran yang telah ada Sepanjang memiliki alasan yang cukup kuat
di dalam benak masyarakat. Upaya pencarian sebagai dasar pembuktian suatu kebenaran
kebenaran ini untuk memberi pemahaman sejarah, pemaknaan suatu peristiwa sejarah
bahwa ada sisi-sisi lain yang kadang luput dari dapat bermacam-macam bahkan berpotensi
pembicaraan tentang hal-hal kecil yang dapat untuk mengubah kebenaran sejarah yang sudah
mengubah sejarah suatu peristiwa. mapan.
Gajah Mada yang selama ini posisinya
begitu diagungkan dalam referensi sejarah DAFTAR PUSTAKA
ternyata memiliki sisi lain yang menyebabkan
dirinya tidak memiliki kuasa dan pasrah Abdurrahman dkk. (1991). Carita Parahiyangan
menerima akibat dari perbuatan yang tidak Karya Pangeran Wangsakerta. Jakarta:
Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
dilakukannya. Sosok Mahapatih dari sebuah
kerajaan besar ternyata tidak memiliki latar Aksan, H. (2005). Dyah Pitaloka: Senja di
belakang yang jelas sehingga menyebabkan Langit Majapahit. Yogyakarta: C@
informasi tentang dirinya pun menjadi tidak Publishing (PT Bentang Pustaka).
jelas pula. Hal inilah yang menyebabkan masih
adanya kemungkinan berbagai interpretasi Asmalasari, D. (2010). “Peristiwa Bubat
tentang sepak terjangnya, baik sebagai individu dalam Novel Perang Bubat Karya Yoseph
Iskandar dan Novel Gajah Mada: Perang
maupun sebagai mahapatih.
Bubat Karya Langit Kresna Hariadi
(Kajian Sastra Bandingan).” Metasastra:
SIMPULAN Jurnal Penelitian Sastra, 3(2), hlm. 106-
Berdasarkan hasil pembahasan tentang upaya -108.
dekonstruksi pengarang terhadap tokoh Gajah
Mada, peneliti akhirnya menyimpulkan dua Baehaqi, I. (2015). “Resepsi Cerita Perang
hal berikut. Bubat Dalam Novel Niskala Karya
Hermawan Aksan”. Transformatika,
Pertama, upaya pengarang dalam
11(2), 61–71. https://doi.org/10.31002/
menginterpretasikan tokoh Gajah Mada transformatika.v11i2.100.
adalah dengan cara menciptakan informasi
baru mengenai tokoh Gajah Mada berdasarkan Culler, J. (1983). On Deconstruction: Theory
logika penceritaan novel. Setidaknya, ada tiga and Criticism After Structuralism. New
York: Cornel University Press.

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 249
Dekonstruksi Tokoh Gajah Mada dalam Novel Perang Bubat Karya Aan Merdeka Permana (Sarip Hidayat) Halaman 237 — 250

Farchan, Y., & Firdaus S. (2015). “Tafsir Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat
Kekuasaan Menurut Gajah Mada”. Jurnal Yogyakarta: Tiara Wacana.
Politik, 11(01), 1589–1600. Retrieved
from http://journal.unas.ac.id/politik/ Munandar, A. A. (2010). Gajah Mada: Biografi
article/view/119. Politik. Jakarta: Komunitas Bambu.

Faruk. (2014). “Dekonstruksionisme dalam Nurrosida, D.H. (2010). “Perang Bubat da-
Studi Sastra.” dalam Teori Penelitian lam Novel Perang Bubat karya Yoseph
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Iskandar dan Dyah Pitaloka: Senja di
Langit Majapahit karya Hermawan Ak-
Hariadi, L.K. (2006). Gajah Mada, Perang san: Sebuah Kajian Sastra Bandingan.”
Bubat. Solo: Tiga Serangkai. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Hernawan, W. (2011). “Perang Bubat dalam
Literatur Majapahit”. Wawasan, 34(1), Permana, A.M. (2009). Perang Bubat: Tragedi
35–43. Retrieved from http://digilib. di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan
uinsgd.ac.id/3718/1/Perang Bubat dalam Dyah Pitaloka. Bandung: Qanita.
Literatur Majapahit.pdf.
Pradotokusumo, P.S. (1986). Kakawin Gajah
Hidayat, S. (2015). “Pandangan Orang Sunda Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin
dalam Tiga Novel tentang Perang Bubat”. Abad ke-20 Suntingan Naskah serta
Metasastra, 8(1), 105--120. https:// Telaah Struktur, Tokoh, dan Hubungan
doi.org/http://dx.doi.org/10.26610/ Antarteks. Bandung: Binacipta.
metasastra.2015.v8i1.104-120.

250 , Vol. 30, No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Anda mungkin juga menyukai