Anda di halaman 1dari 9

PRIYAYI DAN KAWULA DALAM PASAR KARYA

KUNTOWIJOYO

Priyayi and Kawula in The Novel Entitled Pasar Written by Kuntowijoyo

Ratun Untoro

Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara, Jalan Diponegoro Nomor 25 Manado


Telepon: 081340419415, Pos-el: ratununtoro@yahoo.com

Naskah masuk: 8 Agustus 2011—Revisi akhir: 30 April 2012

Abstrak: Penelitian ini hendak mengungkap priyayi dan kawula dalam Pasar, sebuah novel karya
Kuntowijoyo. Konsep bibit (keturunan), bebet (kekayaan), dan bobot (pengetahuan) yang digunakan
sebagai kriteria untuk menjadi priyayi, di zaman modern ini harus kembali ditinjau. Selain priyayi terpelajar,
ada dua jenis priyayi lain menurut Kuntowijoyo, yaitu priyayi yang bekerja pada raja dan priyayi yang
bekerja untuk kerajaan. Penelitian ini menggunakan metode analisis konten dalam membedah novel Pasar
dengan tujuan untuk mencari kriteria dan jenis gelar priyayi yang bisa diraih seseorang meski ia tidak
mempunyai bibit dan bebet priyayi. Hasil penelitian pada novel ini menegaskan bahwa pendidikan dapat
meningkatkan kelas sosial seseorang sebagaimana yang telah Kuntowijoyo definisikan sebagai priyayi
terpelajar.
Kata kunci: Priyayi (kelas atas), priyayi terpelajar, Pasar, Kuntowijoyo

Abstract: The research is intended to reveal the priyayi and kawula concept in the novel of Pasar,
by Kuntowijoyo. Three modalities of bibit (descendant), bebet (wealth), and bobot (knowledge)
used as a criterion to become priyayi, in this modern epoch have tobe evaluated. Besides educated
priyayi, Kuncoro also divides two other kinds of priyayi ,namely, priyayi who works for the king
and the other who works for the kingdom (government). This research applies the content analysis
method in order to find the criteria and type priyayi title which can be reached by someone who
does not have the priyayi’s bibit and bebet. The result of the research on this novel asserts that
education can improve someone’s standard as Kuntowijoyo defined as educated priyayi.
Key words: Priyayi (upper class), educated priyayi, Pasar, Kuntowijoyo

1. Pendahuluan
Pasar karya Kuntowijoyo adalah novel dalam Pasar ini? Apakah mengarah pada
tentang kehidupan. Di dalamnya terdapat hubungan tuan—hamba? Apa yang
cerita kehidupan manusia dengan berbagai membedakan priyayi dengan kawula?
seluk beluknya. Tokoh-tokoh dalam novel ini Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul
berelasi dengan tokoh lain sesuai dengan saat peneliti membaca novel Pasar
kedudukan sosialnya. Sikap dan tingkah sehubungan dengan keingintahuan peneliti
laku para tokoh menggambarkan posisi terhadap konsep priyayi dan kawula di Jawa.
sosialnya. Posisi dan kedudukan sosial itu Ketertarikan peneliti terhadap konsep
mengarah pada hubungan patron—klien priyayi dan kawula sebenarnya muncul saat
(tuan—hamba) yang dalam konsep Jawa membaca empat novel, yaitu Gadis Tangsi
terkenal dengan istilah priyayi—kawula. karya Suparto Brata, Gadis Pantai karya
Bagaimanakah hubungan priyayi—kawula Pramoedya Ananta Toer, Pengakuan Pariyem

83
METASASTRA, Vol. 5 No. 1, Juni 2012: 83—91

karya Linus Suryadi Ag, dan terakhir Pasar untuk kerajaan, dan priyayi terpelajar. Van
karya Kuntowijoyo. Sebagai orang yang den Berg membedakan arti kata priyayi di
tidak begitu paham mengenai konsep Surakarta dan di Yogyakarta. Di Surakarta
priyayi—kawula, peneliti mengalami dan sebagian besar di Jawa Tengah serta
kebingungan saat membaca tiga novel Madura, kata priyayi diberi arti abdi dalêm,
tersebut. Di dalam Gadis Tangsi, Suparto yang selanjutnya berarti ‘orang yang
Brata menggambarkan kekasaran kawula berkedudukan dan terpandang’. Di
dan kemudian mempertemukannya dengan Yogyakarta, kata priyayi hanya berarti
kehalusan priyayi. Pandangan seperti ini bangsawan yang terdiri atas priyayi abdi
membuat Suparto Brata berusaha dalem dan priyagung: bangsawan tingkat
“memperbaiki” kehidupan kawula. Dalam tinggi (Darsiti, 1989:340—342). Penelitian
Gadis Pantai, terdapat cerita tentang bendoro yang mengungkap priyayi dan kawula dalam
(priyayi) yang suka kentut, kawin cerai, dan Pasar karya Kuntowijoyo (2002) ini mengacu
menelantarkan wanita-wanita bekas pada priyayi kecil, yaitu priyayi karena
istrinya. Tindakan dan tingkah laku bendoro jabatan pada administrasi pemerintahan.
dalam Gadis Pantai ini sulit dipahami oleh Istilah non-priyayi dalam penelitian ini
wong cilik yang selalu menganggap seorang digunakan untuk menyebut golongan selain
bendoro adalah orang yang sempurna, sabar, priyayi. Di dalamnya terdapat wong cilik.
berpendidikan tinggi, baik tingkah laku dan Meskipun mereka orang-orang terpelajar,
tutur katanya serta layak diberi pengabdian pegawai negara, dan orang kaya, dalam
yang lebih. Namun, cerita dalam Gadis penelitian ini mereka tidak dianggap sebagai
Pantai mengubah pandangan wong cilik priyayi. Istilah non-priyayi sendiri mengikuti
terhadap bendoro. Hal itu berbeda bahkan apa yang ditulis Quinn untuk menyebut
berlawanan dengan pandangan wong cilik golongan lawannya priyayi (Quinn, 1984).
dalam Pengakuan Pariyem dan Pasar. Sementara itu, Geertz (1960) menyebut
Legowo-nya Pariyem ketika dihamili oleh golongan lawan priyayi dengan petani yang
anak bendoro-nya tanpa sebuah pernikahan, mewakili wong cilik. Sementara, peneliti lain
kerelaan Paijo dimaki-maki dan dimarahi menyebut wong cilik sebagai golongan oposisi
oleh Pak Mantri sangat berbeda dengan priyayi (Kartodirjo, 1987; Koentjaraningrat,
Gadis Pantai yang merasa sengsara dan 1994; Ahimsa, 2001).
tertekan ketika dinikahi seorang bendoro
Kuntowijoyo sebagai pengarang novel
meski hidup bergelimang harta.
sekaligus sebagai pencetus jenis priyayi
Ketertarikan sekaligus kebingungan terpelajar di antara dua jenis priyayi lain
peneliti itulah yang mengantarkan pada ditengarai akan mengarahkan jalan cerita
penelitian priyayi dan kawula dalam novel sesuai dengan teorinya. Oleh karena itu,
Pasar. penelitian mengenai priyayi dan kawula
dalam novel Pasar ini diharapkan mampu
2. Landasan teori mempertegas jenis-jenis priyayi sesuai
dengan teorinya. Bagaimana pengarang
2.1. Pengertian membandingkan derajat kepriyayian dengan
Para peneliti membagi priyayi menjadi kelas sosial yang lain seperti pedagang dan
beberapa golongan yang secara garis besar seniman turut menjadi perhatian dalam
oleh Palmier dibagi menjadi dua golongan, penelitian ini.
yaitu priyayi keturunan bangsawan atau 2.2. Analisis Konten
priyayi luhur dan priyayi karena jabatan
pada administrasi pemerintahan atau Penelitian ini menggunakan analisis
priyayi kecil (Kartodirdjo, 1987:7). konten. Analisis konten merupakan model
Kuntowijoyo (2004:45) sendiri membagi kajian sastra yang tergolong baru. Kebaruan
priyayi menjadi tiga, yaitu priyayi yang dapat dilihat dari sasaran yang hendak
bekerja pada raja, priyayi yang bekerja diungkap. Analisis konten digunakan

84
RATUN UNTORO: PRIYAYI DAN KAWULA DALAM PASAR KARYA KUNTOWIJOYO

apabila peneliti hendak mengungkap, dapat menarik pada peneliti analisis konten.
memahami, dan menangkap pesan karya Hal ini tergantung hal-hal apa saja yang
sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan menjadi harapan peneliti, tentang
tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah kemungkinan apa saja yang bisa dipetik dari
membangun konsep yang akan diungkap, karya sastra, dan sejumlah nilai yang
baru memasuki karya sastra. hendak diimplementasikan dalam
Pada dasarnya analisis konten dalam kehidupan.
bidang sastra tergolong upaya pemahaman Di samping itu, meskipun analisis
karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek konten bergerak pada masalah nilai, tak
yang melingkupi di luar estetika struktur berarti aspek-aspek sastra harus diabaikan.
sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan Analisis konten tetap memperlakukan karya
dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra sastra sebagai karya seni. Kendati peneliti
yang menarik perhatian analisis konten harus melakukan kutipan-kutipan yang
cukup banyak, antara lain: memuat nilai tertentu, kutipan tersebut
tetap diberlakukan sebagai bagian yang tak
a. pesan moral/ etika, terpisahkan dengan keseluruhan karya.
b. nilai pendidikan (didaktif), Oleh karena itu, ketika menyemaikan pesan
dalam karya, pengarang tentu memiliki
c. nilai filosofis, alasan dalam kaitannya dengan konteks
cerita/estetika secara menyeluruh.
d. nilai religius, dan
Aspek penting dari analisis konten
e. nilai kesejarahan. adalah bagaimana hasil analisis tersebut
dapat diimplikasikan kepada siapa saja.
Peneliti baru memanfaatkan analisis
Oleh karena yang akan terungkap adalah
konten apabila hendak mengungkap
isi atau makna karya sastra, peneliti wajib
kandungan nilai tertentu dalam karya
memprediksikan, siapa saja yang mungkin
sastra. Hal tersebut didasarkan pada
dapat memanfaatkan hasil kajiannya.
beberapa pandangan bahwa karya sastra
Pesan-pesan karya sastra tersebut harus
yang bermutu adalah karya yang mampu
disosialisasikan kepada siapa saja. Tanpa
mencerminkan pesan positif bagi
implikasi yang jelas, sebenarnya kajian
pembacanya. Namun demikian, dialektika
analisis konten menjadi kurang bermanfaat.
karya sastra juga sering mengungkapkan
Manfaat yang diprediksikan sebaiknya
hal-hal hitam sebagai bandingan, maka
disertai langkah-langkah yang jelas,
peneliti tak perlu terjebak pada masalah nilai
sehingga bukan sekadar basa-basi saja.
hitam dan putih. Yang penting, pesan-pesan
yang terangkum dalam karya sastra tersebut 2.3. Karakteristik analisis konten sastra
terpahami secara keseluruhan. Isi karya
memuat makna yang adiluhung. Makna Analisis konten adalah strategi untuk
dalam analisis konten biasanya bersifat menangkap pesan karya sastra. Tujuan
simbolik. Jadi, tugas analisis konten tak lain analisis konten adalah membuat inferensi.
adalah mengungkap makna simbolik yang Inferensi diperoleh melalui identifikasi dan
tersamar dalam karya sastra. Hal ini berarti penafsiran. Inferensi juga berdasarkan
semakin bagus pengarang memainkan konteks yang melingkupi karya sastra.
simbol-simbol kehidupan melalui estetika, Untuk itu peneliti analisis konten harus
akan menantang peneliti analisis konten. mempunyai target tertentu, seperti untuk
mengetahui nilai-nilai moral sastra
Yang perlu diketahui, bahwa mutakhir. Dengan demikian, peneliti harus
penggunaan analisis konten tidak terbatas membangun konsep tentang nilai-nilai dan
pada karya-karya klasik yang konon sastra mutakhir. Konsep ini akan
diasumsikan bernilai tinggi. Karya-karya memperjelas langkah selanjutnya, sampai
yang dihasilkan oleh selain pujangga pun,

85
METASASTRA, Vol. 5 No. 1, Juni 2012: 83—91

pengambilan data. deskripsi, (e) analisis dilakukan secara


Penelitian analisis konten dalam bidang kualitatif.
sastra berangkat dari aksioma bahwa
penulis ingin menyampaikan pesan secara 3. Pembahasan
tersembunyi kepada pembaca. Pesan itu
merupakan isi (makna) yang harus dilacak. 3.1. Gadis Tangsi dan Gadis Pantai sebuah
Penelitian ini merupakan cara strategis perbandingan
untuk mengungkap dan memahami Seperti terungkap dalam pendahuluan,
fenomena sastra, terutama untuk membuka penelitian mengenai priyayi dalam Pasar ini
tabir-tabir sastra yang berupa simbol. Hal ini terinspirasi oleh empat bacaan antara lain
cukup beralasan karena setiap pemanfaatan Gadis Tangsi karya Suparto Brata (2004) dan
bahasa oleh sastrawan sebenarnya memuat Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
simbol-simbol dan makna. (2003). Sebagai gambaran mengapa kedua
Analisis konten dalam sastra novel tersebut menginspirasi pembahasan
mendasarkan pada tiga asumsi penting. tentang priyayi dalam Pasar karya
Karya sastra adalah fenomena komunikasi Kuntowijoyo, berikut ini pembahasan
pesan terselubung yang di dalamnya tentang priyayi dalam Gadis Tangsi dan
memuat hal berharga bagi pembaca. Kajian Gadis Pantai.
sastra semacam ini, secara epistemologis, Dalam Gadis Tangsi, Suparto Brata,
merupakan penelitian yang banyak seorang priyayi pengarang, tetap
menggunakan paham positivistik. Analisis menjunjung tinggi ideologi priyayi dan
harus berdasarkan pada prinsip masih mengagungkan kehidupan priyayi
obyektivitas, sistematis, dan general. sebagai standar norma dan nilai hidup yang
Obyektivitas ditempuh melalui bangunan baik. Gadis Tangsi menceritakan kehidupan
teoretik berupa konstruk analisis yang seorang gadis di sebuah tangsi militer yang
handal. Sistematis dengan memanfaatkan ingin sekali menjadi priyayi dan bangga
langkah-langkah yang jelas. General dengan status priyayi yang telah
berdasarkan konteks karya sastra secara disempurnakan dengan menikahi priyayi
menyeluruh untuk memperoleh inferensi. keraton. Hal ini sangat berbeda jika
Analisis isi memang dapat dibandingkan dengan Gadis Pantai. Kedua
memanfaatkan sajian data kuantitatif novel itu bercerita tentang kehidupan
maupun kualitatif. Namun, dalam bidang seorang gadis dari masyarakat bawah (wong
sastra sebagian besar data diperoleh secara cilik). Keduanya juga bercerita tentang
kualitatif. Dengan demikian, komponen petualangan si gadis di lingkungan priyayi.
penting dalam analisis ini adalah adanya Keduanya pun menikah dengan seorang
masalah yang akan dikonsultasikan lewat priyayi. Namun, kedua novel itu diciptakan
teori. Oleh karena itu, karya sastra yang akan oleh dua orang yang berbeda, Suparto Brata
dibedah lewat analisis konten harus dan Pramoedya Ananta Toer. Orang yang
memenuhi syarat-syarat, yaitu memuat nilai- disebut pertama adalah seorang priyayi
nilai dan pesan yang jelas. bangsawan dari keraton Surakarta
Prosedur analisis konten dalam bidang sedangkan yang kedua adalah anak seorang
sastra hendaknya memenuhi syarat-syarat : guru dari daerah Blora. Anak Blora ini
(a) teks sastra perlu diproses secara sistematis terkenal dengan penolakannya atas
dengan menggunakan teori yang telah feodalisme. Oleh karena perbedaan itu,
dirancang sebelumnya, (b) teks tersebut kedua novel pun sangat bertolak belakang.
dicari unit-unit analisis dan dikategorikan Gadis Tangsi bercerita tentang kebanggaan
sesuai acuan teori, (c) proses analisis harus dan kebahagiaan seorang wanita yang
mampu menyumbang pada pemahaman hidup di kalangan priyayi dan menjadi istri
teori, (d) proses analisis berdasarkan pada seorang priyayi. Gadis Pantai memuat cerita

86
RATUN UNTORO: PRIYAYI DAN KAWULA DALAM PASAR KARYA KUNTOWIJOYO

tentang kesedihan dan kesengsaraan kelas-kelas masyarakat asor yang kasar dan
seorang wanita yang menjadi istri seorang susah diatur melalui lambang-lambang
priyayi. Karya Pramoedya itu mengungkapkan keunggulan (Quinn, 1995:148). Selain itu,
pertentangan priyayi—rakyat (Teeuw, 1997: ada upaya untuk menanamkan ideologi
224), “Mengerikan, Bapak, mengerikan priyayi yang konservatif dan elite. Hal seperti
kehidupan priyayi ini” (GP: hlm.182); ini oleh Niels Mulder disebut sebagai
“seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayiisme, yaitu bersikap dan bertingkah
priyayi” (GP: hlm.186—187). Gadis Pantai laku seperti seorang anggota kelas atas
melambangkan penduduk kampung yang masyarakat Jawa (Mulder, 2001:54).
dibodoh-bodohkan dan tak berdaya, yang Mengimitasi perilaku para priyayi adalah
badan-jiwanya dikuasai oleh elit kekotaan kebutuhan mutlak dan merupakan tindakan
Jawa, wakil setempat raja-raja tradisional terpuji (Suhartono, 2001:49). Lebih jauh
Jawa. Kesamaan kedua novel itu adalah Sartono Kartodirjo mengungkapkan:
adanya bayang-bayang kekuatan dan Di dalam dunia kerajaan, orientasi kawula
kekuasaan yang lebih besar lagi, yaitu or- terbatas pada apa yang ada di dalam kerajaan
ang Belanda. Memperhatikan Tineke saja. Orientasi di luar kerajaan dapat
Hellwig (2003) yang telah meneliti dikatakan tidak ada dan kalaupun ada
ketakberdayaan wanita dan penyerahan kondisinya juga serupa dengan kerajaan
pada nasib, seperti tergambar dalam sastra Vorstenlanden (daerah yang dikuasai raja:
Indonesia, terlihat bahwa kekuasaan priyayi Jogja—Solo). Oleh karena itu, orientasi pada
terhadap rakyat dan kekuasaan lelaki atas raja atau kerajaan adalah satu-satunya
perempuan menjadikan lelaki priyayi loyalitas. Orientasi ke Vorstenlanden
berkuasa pangkat dua atas Teyi dan Gadis merupakan keharusan. Vorstenlanden
Pantai. Dengan demikian, bagaimana merupakan pusat arah yang harus diikuti
terjajahnya Teyi dan Gadis Pantai oleh bukan hanya dalam pemerintahan, tetapi juga
kekuasaan Belanda dapat dibayangkan. termasuk bahasa, etika, tingkah laku yang
Perbandingan kedua novel ini kiranya dapat dicakup dalam budaya istana
menarik untuk dikaji lebih dalam. Gadis (Kartodirjo, 1987).
Tangsi dan Gadis Pantai memuat pandangan
dan pemikiran pengarangnya atas kelas Dengan demikian dapat dikatakan
sosial. bahwa apa yang dilakukan Putri Parasi
kepada Teyi merupakan salah satu usaha
Pembahasan atas Gadis Tangsi memuat
menanamkan loyalitas kawula kepada
hubungan priyayi dengan non-priyayi yang
kerajaan. Dalam Gadis Tangsi, Putri Parasi
menunjukkan hubungan atas—bawah, patron—
adalah gadis priyayi kraton yang berusaha
klien. Hubungan patron—klien, berarti dari
menanamkan nilai-nilai kehidupan kraton
atas turun berupa pengayoman, sedangkan
(baca: priyayi) kepada Teyi, sang Gadis
dari bawah harus melakukan pelayanan
Tangsi yang berasal dari kawula. Hal itu
(Suhartono, 2001:58). Kedua belah pihak
bertentangan dengan apa yang diceritakan
saling membutuhkan dan hidup bersama
dalam Gadis Pantai. Gadis pantai yang
dalam masyarakat. Patron memberikan
akhirnya dicampakkan dari dunia priyayi
sesuatu yang protektif dan bersifat indi-
setelah melahirkan merupakan tindakan
vidual, sedangkan klien melakukan
kejam seorang priyayi. Pengarang Gadis
penghormatan dan loyalitas. Di dalam novel
Pantai yang terang-terangan menolak
itu terlihat bahwa Suparto Brata lebih
feodalisme nyata-nyata membuat cerita
berpihak pada tatanan kehidupan priyayi
tentang keganasan priyayi.
termasuk cara hidup dan kesempurnaan
perilaku priyayi yang harus ditiru non- Dua novel tersebut membuat pembaca
priyayi. Hal ini sejalan dengan ideologi novel berpikir kembali mengenai dunia priyayi
priyayi yang berhubungan dengan yang telah disuguhkan oleh dua pengarang
pengendalian—pemeliharaan kendali atas yang berbeda latar belakang. Pembaca

87
METASASTRA, Vol. 5 No. 1, Juni 2012: 83—91

memerlukan pandangan dunia dan 2002:186).


pengalaman batin yang luas agar dapat
Demikian perasaan Paijo terhadap or-
memahami maksud kedua pengarang. Hal
ang kaya yang dianggapnya kurang berbudi.
itu menjadi landasan berpikir saat membaca
Makian, kejengkelan, dan wejangan hanya
Pasar karya Kuntowijoyo. Berikut ini
dia terima dengan ikhlas jika keluar dari
pembahasan mengenai priyayi dalam Pasar.
mulut Pak Mantri, atasannya. Kasan Ngali
3.1. Priyayi dan kawula boleh kaya, boleh memberi uang, makanan,
dan harta benda lain kepadanya, tetapi
Ahimsa (2001:315) setidaknya pernah bukan berarti bisa membeli martabat Paijo.
berpikiran bahwa priyayi tulen adalah yang
Sekali. Ya, baru sekali itu Paijo pulang dari
mempunyai semangat pengabdian serta
rumah Kasan Ngali dengan sakit hati yang
kesediaannya memperhatikan nasib wong
dalam. Ia telah dipermainkan oleh orang kaya
cilik ditambah dengan perhitungan bibit,
itu. Apa hakmu mempermainkan orang, Kasan
bébét, dan bobot. Perubahan status Paijo dari
Ngali. Kalau aku buruhmu, bolehlah. Kalau
wong cilik/kawula menjadi priyayi perlu
aku makan gajimu, biarlah. Tidak, engkau tak
mendapat perhatian khusus.
hak untuk memarahi semacam itu…!
Paijo adalah tukang karcis yang
menarik uang dari para pedagang di pasar.
Dia adalah satu-satunya pembantu mantri Mendapat marah Kasan Ngali menyakitkan
pasar. Pendidikan Paijo rendah, hal itu hati, tetapi mendapat marah Pak Mantri bisa
sering dijadikan alasan Pak Mantri menyenangkan. Sekalipun Pak Mantri sering
memarahinya. “Ah, orang itu kalau kurang memarahi pula, bahkan mengancamnya akan
pendidikan…” (Pasar, 2002:8). Paijo sering mengeluarkan, dirinya masih menghormati
dimarahi jika pekerjaannya dianggap tidak kepalanya itu. Kasan Ngali? Hhh! Tidak ada
memuaskan Pak Mantri. Sebaliknya, Paijo hak untuk menyakiti hati! Mentang-mentang
selalu berusaha sekuat tenaga agar dapat kaya! Kehormatan itu tak bisa dibeli dengan
mengabdi dengan baik. Segala perintah Pak uang. Ketahuilah (Pasar, 2002:185)
Mantri adalah kewajiban yang harus Sikap Paijo itu secara implisit
dikerjakan dengan tulus dan ikhlas. menunjukkan pandangannya bahwa Pak
Meskipun sering memarahi, Pak Mantri Mantri, meskipun tidak kaya adalah orang
adalah orang yang tidak pernah memukul. bermartabat dan mempunyai sifat priyayi
Menurut keyakinan Pak Mantri, seorang yang lebih tinggi dari Kasan Ngali. Paijo
priyayi seperti dirinya tidak pantas berlaku tidak silau oleh harta benda. Kedudukan
kasar apalagi terhadap kawula. Pak Mantri Pak Mantri sebagai mantri pasar dan dirinya
selalu berpakaian rapi karena dia adalah sebagai pembantu lebih mulia daripada
priyayi. Pak Mantri mempunyai gelimang harta.
pengetahuan yang tinggi. Meskipun kadang Pandangan dan setiap perkataan Pak
tak mengerti, Pak Mantri sering memberi Mantri selalu dianggap benar oleh Paijo
wejangan tentang hakikat hidup dan karena Pak Mantri lebih mriyayeni dari pada
kehidupan. yang lain.
Paijo bangga menjadi pembantu man- “…itu namanya, orang bodoh jadi mangsa
tra, sehingga ia merasa mempunyai orang pandai, orang miskin jadi mangsa or-
kedudukan lebih tinggi dibandingkan ang kaya, “Paijo menyela.
dengan para pedagang pasar. Bahkan,
“itu betul, di hutan boleh terjadi. Tidak boleh
dengan Kasan Ngali, seorang pedagang
di sini! Manusia beradab tidak akan. Engkau
kaya, Paijo merasa lebih bermartabat.
boleh tak percaya aku, Jo. Tetapi kebenaran
Orang boleh berbeda dalam pangkat, ini mesti kauakui!”
kekayaan, umur, namun, yang menentukan
Pendapat Pak Mantri itu betul sama sekali
rendah mulianya ialah budi (Pasar,
bagi Paijo (Pasar, 2002:141)

88
RATUN UNTORO: PRIYAYI DAN KAWULA DALAM PASAR KARYA KUNTOWIJOYO

Bagi Paijo, tingkah laku, ucapan, dan itu semata-mata menjaga kewibawaannya
pendapat seorang bendoro, seorang priyayi, sebagai priyayi. Segala yang ia lakukan
seorang Pak Mantri adalah baik dan ideal, terhadap orang lain pada hakikatnya bukan
sehingga pantas ditiru dan dijadikan standar untuk orang lain melainkan untuk
kehidupan yang baik. Hal itu ia sadari betul mendapatkan efek positif terhadap
hingga akhirnya Paijo yang bodoh dan tolol pribadinya.
mampu menyerap ilmu hasil wejangan dan Kasan Ngali sebagai pedagang kaya
umpatan Pak Mantri. Keberhasilan itu sering berpakaian seadanya. Kaos hijau
menjadikan ia seorang priyayi baru berlengan warna putih dan celana kolor
menggantikan Pak Mantri. komprang putih. Sebagai pedagang, ia selalu
Sedangkan menurut Pak Mantri, mempunyai perhitungan yang cermat soal
sebagai priyayi ia harus senantiasa terlihat keuangan. Ia meniru cara hidup orang Cina,
tenang, sabar, dan mampu menghadapi dan tidak suka dengan gaya hidup orang
segala cobaan. Pakaiannya yang rapi dan Jawa. “Itulah orang Jawa! Mau enaknya! Tidak
bersih harus selalu ditunjukkan demi seperti Cina!.......orang Jawa itu tidak suka
menjaga kehormatan priyayi. Menghadapi bekerja keras. Tidak mau menanggung resiko”
sesuatu dengan amarah hanya akan (2002: 306).
mengurangi kewibawaannya. Kesalahan Meski demikian, ada hal menarik yang
orang lain dianggapnya sebagai dilakukan Kasan Ngali, yaitu saat dia jatuh
ketidakmengertian tentang jalan pikiran cinta (lagi) kepada pegawai Bank Pasar.
seorang priyayi. Hal ini dapat terlihat dalam Pakaian komprang yang selalu dikenakan
jalan pikiran Pak Mantri setiap menghadapi ditanggalkan dan diganti pakaian seperti
suatu masalah. priyayi, seperti Pak Mantri, yaitu topi,
…tetapi jangan berburuk sangka, itu tidak tongkat, dan kacamata. Secara implisit
boleh. Ia tak berani menyebut nama orang itu kejadian ini menunjukkan pengakuan
sebelum jelas. Usahakan menenangkan Kasan Ngali bahwa orang yang terhormat
pikiran sebelum bertindak. Mengurus atau priyayi selalu identik dengan pakaian
pembangkangan orang pasar, mengurus rapi. Praja atau tindakan pantas yang sangat
pemakan burung dara memerlukan pikiran penting bagi Pak Mantri dan sangat dibenci
sebelum bertindak, memerlukan ketenangan Kasan Ngali diakuinya sebagai alat ampuh
jiwa. Sebab, bukankah Ciptoning, pikiran untuk menjaga gengsi dan harga diri. Segala
jernih juga, yang mengalahkan raksasa? harta dan kekayaannya terkuras habis
Hanya hati yang bening mengalahkan si untuk meningkatkan gaya hidup dan gengsi,
pemurka (Pasar, 2002:55) praja, agar dapat mendapatkan wanita.
Tindakan Kasan Ngali ini membuktikan
Sebagai priyayi, Pak Mantri tidak pantas
bahwa pedagang meskipun kaya bukanlah
berhubungan langsung dengan kawula.
priyayi. Selain harta, masih banyak syarat
Segala sesuatunya harus melalui Paijo,
yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang
pembantunya. Dia hanya berhubungan
priyayi. Usaha Kasan Ngali “membeli”
langsung dengan orang-orang besar lain,
seorang gadis dengan hartanya tidak
seperti kepala polisi dan camat. Hal itu
berhasil. Priyayi palsu yang berhias harta
untuk menjaga kewibawaan dan
tidak pernah berhasil menjadi priyayi tulen
kehormatan priyayi. Sebagai priyayi, Pak
karena tidak mempunyai bibit, bébét, dan
Mantri merasa harus mempunyai
bobot yang memadai.
pengetahuan luas tentang hakikat hidup,
cakap dalam bertindak, berbudi pekerti yang Keinginan Kasan Ngali mengawini
luhur, dan suka menolong orang yang gadis pegawai Bank Pasar yang gagal
sedang kesusahan. “Orang berpangkat harus dialihkan kepada seorang wanita pemain
berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang ketoprak. Meskipun gagal juga, pengalihan
kesusahan harus bisa membantu” (2002: 344). keinginan ini dapat dimaknai bahwa gadis
Meskipun demikian, segala yang ia lakukan pegawai bank mempunyai kedudukan

89
METASASTRA, Vol. 5 No. 1, Juni 2012: 83—91

sosial lebih tinggi daripada wanita pemain Kawula memandang dirinya sebagai or-
ketoprak (seniman). Hal ini memang sesuai ang yang harus mengabdi dan setia kepada
dengan pendapat Kartodirdjo (1987:7) yang priyayi. Selalu ikhlas menerima apapun
menyatakan bahwa ada golongan priyayi perlakuan priyayi terhadap dirinya. Kawula
karena jabatan pada administrasi selalu memandang bahwa apa yang
pemerintahan atau priyayi kecil. Pegawai diucapkan dan dilakukan priyayi adalah
Bank Pasar adalah priyayi kecil, sedangkan baik, ideal, dan pantas dijadikan norma
seniman bukanlah priyayi. hidup. Pandangan kawula terhadap priyayi
Kegagalan Kasan Ngali dapat dimaknai tersebut membuat kawula mengidam-
sebagai kegagalan seorang saudagar idamkan kehidupan priyayi. Dalam bahasa
menjadi priyayi. Kegagalan itu terutama Kuntowijoyo (2004), kawula mempunyai
disebabkan karena Kasan Ngali hanya mentalitas sendiri. Di bawah sadar, kawula
meniru pakaian priyayi. Bukankah seorang memperlakukan dirinya sebagai orang yang
priyayi harus mempunyai segudang ilmu rendah, kasar, dan bodoh sehingga ada satu
pengetahuan, sikap dan tingkah laku yang impian untuk menjadi pandai, kaya, dan
terhormat? Oleh kawula, priyayi selalu berkuasa seperti halnya para priyayi. Kawula
dianggap sebagai orang yang sempurna, menjadi mimikri priyayi.
sabar, berpendidikan tinggi, baik tingkah Priyayi memandang dirinya sebagai or-
laku dan tutur katanya serta layak diberi ang yang harus bertindak dan bersikap hati-
pengabdian yang lebih. Jadi, bukan karena hati demi menjaga ke-priyayi-annya.
harta atau pakaiannya. Hubungannya dengan kawula adalah
Lain halnya dengan Paijo. Di akhir memberi, tetapi terdapat bayang-bayang
cerita, ia diangkat menjadi mantri pasar bahwa pemberian itu dalam rangka
menggantikan Pak Mantri, menjadi priyayi! mempertahankan martabat ke-priyayi-
Tanpa harta, tanpa kekayaan, Paijo bisa annya. Kehidupan para priyayi lebih baik
menjadi priyayi. Awalnya, ia hanya tekun dari kawula, keinginan kawula untuk bisa
mendengarkan dan mempelajari wejangan seperti priyayi, dan usaha kawula untuk
yang diberikan Pak Mantri. Apa yang ia menyempurnakan tiruan ke-priyayi-annya
dengarkan dan pelajari rupanya ia terapkan dalam novel ini mengingatkan pada jenis
dalam tingkah lakunya. Dengan demikian, novel priyayi yang berkembang tahun 1920-
sikap dan tingkah laku Paijo meniru seorang an dan 1930-an (Quin, 1995). Novel priyayi
priyayi berhasil mengangkat martabatnya. ditengarai dengan keunggulan priyayi atas
kawula dan menekankan kelaziman dan
Ke-priyayi-an Paijo tidak berdasar pada
kebenaran priyayi serta keeksklusifan dalam
bibit, yaitu keturunan. Ia bukan keturunan
masyarakat. Seperti telah terungkap dalam
bangsawan atau priyayi. Namun, ia menjadi
penjabaran sikap dan perilaku priyayi dan
priyayi karena bébét, yaitu kepandaian. Bobot
kawula di atas, novel ini memberikan tekanan
atau kekayaanpun ia tak punya. Ke-priyayi-
pada halusnya pemurnian ke-priyayi-an
annya ia peroleh semata-mata karena
sebagai kategori moral dan estetika,
pendidikan nonformal yang ia terima dari
terutama dengan penjabaran watak dan
Pak Mantri dan disempurnakan oleh
penampilan fisiknya.
jabatannya sebagai mantri pasar. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sartono (1987) Seorang pedagang atau orang kaya,
bahwa pekerjaan dan pendidikan turut meski memiliki harta melimpah, ia tidak
memengaruhi ke-priyayi-an seseorang. dapat menjadi priyayi. Hal ini membuktikan
bahwa ke-priyayi-an tidak bisa dibeli dengan
3.2 Ke-priyayi-an dalam Pasar harta. Kasan Ngali, pedagang kaya itu jelas
Ulasan ketiga tokoh itu, Paijo, Pak bukan priyayi mengingat perkataan dan
Mantri dan Kasan Ngali memberi simpulan tingkah laku yang kasar dan pakaian tidak
mengenai ke-priyayi-an sebagai berikut. rapi. Ia mempunyai banyak pegawai, tetapi
pegawai-pegawai tersebut tidak

90
RATUN UNTORO: PRIYAYI DAN KAWULA DALAM PASAR KARYA KUNTOWIJOYO

menghormati Kasan Ngali layaknya seorang cilik memantapkan ketulenan priyayi. Bébét
priyayi. Ia hanyalah tuan dalam lingkup atau harta yang pada awalnya turut
ekonomi, bukan tuan dalam konsep sosial. memengaruhi derajat ke-priyayi-an, dalam
Lain halnya dengan penghormatan Paijo novel ini telah dikikis bahkan tidak lagi
kepada Pak Mantri. Di mata Paijo, Pak dipertimbangkan. Kuntowijoyo, pengarang
Mantri adalah tuan dalam konsep sosial novel ini, ingin menggeser peran harta
karena tidak hanya memberi upah secara dalam menentukan derajat ke-priyayi-an
ekonomi, tetapi juga memberi “upah” sosial karena hal itu akan mengarah pada
berupa wejangan-wejangan kehidupan. kapitalisme. Pengarang yang juga seorang
guru besar ingin menegaskan bahwa
4. Simpulan pendidikan baik formal maupun
nonformallah yang bisa mengangkat derajat
Novel ini hendak menegaskan sekaligus seseorang. Priyayi bukan lagi monopoli
mendegresi pemahaman bahwa priyayi kaum bangsawan apalagi kaum berduit
hanya dapat diperoleh dari bibit yang sering “membeli” derajat dengan uang.
(keturunan). Di zaman modern, pendidikan Paijo naik pangkat menjadi priyayi karena
dan pekerjaanlah yang menentukan ke- telah mendapat pendidikan dari Pak Mantri.
priyayi-an seseorang. Semangat pengabdian Ia berhak menjadi pegawai administrasi
serta kesediaan memperhatikan nasib wong karena mumpuni dan telah mempunyai
bekal ilmu. Inilah yang disebut oleh
Kuntowijoyo sebagai golongan priyayi

terpelajar.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi’s-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Galang Press.
Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Darsiti Soeratman. 1989. “Kehidupan Keraton Surakarta 1830—1939”. Disertasi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Geertz, Clifford.1960. The Religion of Java. Chicago/London: University of Chicago Press.
Hellwig Tineke. 2003. In the Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Desantara.
Kartodirdjo, Sartono. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Kuntowijoyo. 2002. Pasar. Yogyakarta: Bentang Budaya.
---Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900—1915. Jogjakarta: Ombak.
Mulder, Niels. 2001. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKis.
Quinn, George. 1995. Novel Berbahasa Jawa. Terjemahan Raminah Baribin. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Suhartono. 2001. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota. Michigan University:
Institute for Research and Empowerment.
Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
91

Anda mungkin juga menyukai