TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman tebu termasuk salah satu anggota dari Familia Graminae, sub familia
Andropogonae.Banyak ahli berpendapat bahwa tanaman tebu berasal dari Irian, dan dari sana
menyebar ke kepulauan indonesia yang lain, Malaysia, Filipina, Thailand, Burma dan India.Dari
India kemudian dibawa ke Iran sekitar tahun 600 M dan selanjutnya oleh orang-orang Arab
dibawa ke Mesir, Maroko, Spanyol dan Zanzibar. Beberapa peneliti yang lain berkesimpulan
bahwa tanaman ini berasal dari India berdasarkan catatan-catatan kuno dari negeri tersebut. Bala
tentara Alexander the Great mencatat adanya tanaman di negeri itu ketika mencapai India pada
tahun 325 SM (Tjokroadikoesomo dan Baktiar, 2005)Dari perkembangan zaman, tanaman tebu
terus ditemukan dengan varietas warna pada batang tebu yang berbeda- beda. komposisi batang
tebu terdiri dari monosakarida 0,5% - 1,5%, sukrosa 11% - 19%, zat organic abu 0,5% - 1,5%,
sabut (selulosa, pentosane) 11% - 19%, asam organic 0,15%, bahan lain lilin, zat warna, ikatan
N, air 65-75% (Yuwono, S.S & Waziiroh E., 2017). Berikut ini gambar tanaman tebu yang
secara umum sering dijumpai dapat dilihat pada gambar :
(Sumber :
www.TeknologiPertanian.com)
Gambar 1.Tanaman Tebu
Pembuatan minuman sari tebu ini pun sangat mudah, cukup dengan menggunakan mesin
press untuk menggiling tebu maka sari tebu pun bisa langsung dikonsumsi, adapun proses
pembuatan sari tebu ini adalah: batang tebu awalnya dibelah menjadi dua bagian, setelah itu
baru dimasukkan ke dalam mesin pemeras. Mesin inilah yang memeras air tebu hingga hanya
tertinggal ampas batangnya. Cairan yang keluar dari perasan batang akan langsung keluar
otomatis melalui kran yang tersambung dengan mesin, tetapi jika selama produksi tebu
mengalami penundaan untuk pengolahan akan berpengaruh pada penyusutan kadar sukrosa
sebanyak 14,3% pada tanaman tebu yang akan menyebabkan inversi dan akan menyebabkan
timbulnya mikroorganisme, sehingga tebu menjadi rusak dan tidak dapat diolah menjadi sari
tebu. (Setyo S, 2015).
Tebu adalah tanaman tropis yang mirip sifatnya dengan sorgum. Pemanenan tebu
bertujuan untuk memproduksi batang tebu yang memiliki kandungan sukrosa yang tinggi,
dengan rentang kandungan 10-15% dari total nira tebu. Kebanyakan sukrosa disimpan di bagian
dalam batang tebu yang kemudian diekstrak, juga mengandung antioksidan, dan komponen
lainnya yang terkandung di dalam batang tebu (Koge, dkk., 2003). Tebu mengandung flavonoid
seperti apigenin dan luteoledin. Akar dan batangnya digunakan di klinik kesehatan untuk
perawatan kulit dan infeksi kandung kemih, juga baik untuk bronkitis, gangguan hati, dan
kehilangan kemampuan memproduksi susu, batuk dan anemia. Komponen phenol dalam sari
tebu secara parsial (Pallavi, dkk., 2012).
1. Batang
Batang tanaman tebu beruas-ruas, dari bagian pangkal sampai pertengahan, ruasnya
panjang-panjang, sedangkan dibagian pucuk ruasnya pendek. Tinggi batang antara 2–5
meter, tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Pada pucuk
batang tebu terdapat titik tumbuh yang mempuyai peranan penting untuk pertumbuhan.
Batang dengan mata tunas pada ruas, dibawah ruas berlilin (Steenis, Den Hoed dan Eyma,
2005).
2. Daun
Daun tanaman tebu adalah daun tidak lengkap, karena terdiri dari helai daun dan
pelepah daun saja, sedang tangkai daunnya tidak ada. Panjang helaian daun adalah antara 1
sampai 2 meter, sedangkan lebarnya 4-7 cm, ujungnya meruncing, tepinya seperti gigi dan
mengandung kersik yang tajam (Sastrowijono, 1987).
3. Akar
Akar tanaman tebu adalah serabut, hal ini sebagai salah satu tanda bahwa tanaman ini
termasuk kelas Monocotyledone. Akar tebu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akar stek dan
akar tunas. Akar stek disebut pula akar bibit yang masa hidupnya tidak lama. Akar ini
tumbuh pada cincin akar dari stek batang. Sedangkan akar tunas merupakan pengganti akar
bibit. Pertumbuhan akar ada yang tegak lurus ke bawah, ada yang mendatar dekat permukaan
tanah (Steeniset al., 2005).
4. Bunga
Bunga tebu merupakan bunga majemuk yang tersusun atas mulai dengan pertumbuhan
terbatas. Panjang bunga majemuk 70-90 cm. Setiap bunga mempunyai tiga daun kelopak,
satu daun mahkota, tiga benang sari dan dua kepala putik (Sinaga, 2011).
Ordo : Poles
Genus :Saccharum
Bahan tambahan secara umum didefinisikan sebagai bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan,
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahakan ke dalam
makanan (Cahyadi,2008). Menurut BPOM (Cahyadi, 2008) bahan tambahan pangan adalah
bahan yang ditambahakan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik
yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi. Peraturan Menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, terdiri dari golongan BTP yang diizinkan diantaranya
yaitu antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih & pematang telur,
pengemulsi, pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa & aroma, dan
sekuestran.
Pemanis dikelompokkan menjadi dua, yaitu pemanis alami dan pemanis sintesis.
Keduanya merupakan senyawa yang memberikan persepsi rasa manis, tetapi tidak atau hanya
sedikit mempunyai nilai gizi (Wijaya, 2011). Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 (Perka BPOM) pemanis alami terdiri
dari sorbitol, mannitol, isomalt, glikosida steviol, maltiol, laktiol, silitol, dan eritritol. Pemanis
alami dicerna dan masuk ke dalam siklus metabolisme tubuh untuk kemudian diubah menjadi
kalori , kalori yang berlebihan dan tidak terpakai akan disimpan sebagai lemak (Wijaya, 2011).
Pemanis buatan terdiri atas asesulfam-k, aspartam, siklamat, sakarin, sukralosa, dan neotam
(Perka BPOM). Bahan pemanis sintesis yang diperbolehkan menurut Permenkes nomor 722
adalah sakarin, aspartame, siklamat, dan sorbitol. Pemanis sintetik tidak dapat dicerna oleh tubuh
manusia sehingga tidak berfungsi sebagi sumber energi. Oleh karena itu orang-orang yang
memiliki penyakit diabetes mellitus (kencing manis) biasanya mengkonsumsi pemanis sintetik
sebagai pengganti pemanis alami (gula). (Wijaya, 2011)
Sakarin ditemukan oleh Fahbelrg dan Remsen pada tahun 1897. Sakarin pertama kali
digunakan sebagai antiseptic dan pengawet, tetapi sejak tahun 1900 digunakan sebagai pemanis.
Sakarin adalah pemanis tidak berkalori. Intensitas rasa manis sakarin yaitu 200-700 kali sukrosa.
Selain rasa manis, sakarin juga mempunyai rasa pahit yang disebabkan oleh kemurnian yang
rendah dari proses sintesis. Perubahan kecil pada struktur kimia dapat mengubah rasa suatu
senyawa termasuk pada sakarin, yang semula rasanya manis dapat berubah menjadi pahit
ataupun menjadi tidak berasa. Sakarin merupakan salah satu pemanis buatan yang memiliki
struktur dasar sulfinida benzoat. Sakarin dalam perdagangan berbentuk kristal putih tak berbau,
berasa manis dan bersifat larut dalam air.
Sakarin secara luas digunakan sebagai pengganti gula karena mempunyai sifat stabil,
nilai kalori rendah, dan harga relatif murah. Penggunaan sakarin biasanya dicampur dengan
bahan pemanis lain seperti siklamat atau aspartame. Hal itu dimaksudkan untuk menutupi rasa
tidak enak dari sakarin dan memperkuat rasa manis. Aspartame memiliki rasa manis dengan
mutu serupa dengan kelompok gula dan tidak memiliki rasa ikutan (after taste). Sedangkan pada
sakarin dan siklamat menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan bertambahnya
bahan pemanis. Rasa pahit tersebut diduga terkait struktur molekulnya, karena dengan
pemurnian yang bagaimanapun tidak dapat menghilangkan rasa pahit (Cahyadi, 2006).
Acceptable Daily Inatake (ADI) atau asupan harian untuk sakarin tidak boleh melebihi 5
mg/kg berat badan. Batas maksimum penggunaan sakarin di Indonesia bedasarkan kategori
pangan gula dan sirup yaitu 300 mg/kg (Perka BPOM No.4 Tahun 2014). Beberapa penelitian
mengenai dampak konsumsi sakarin terhadap tubuh manusia masih menunjukkan hasil yang
konvensional. Hasil penelitian Nasional Academy of Science tahun 1968 menyatakan bahwa
konsumsi sakarin oleh orang dewasa sebanyak 1 gram atau lebih rendah tidak menyebabkan
terjadinya gangguan kesehatan. Pada tahun 1977 Canadas Health Protection Branch melaporkan
bahwa sakarin bertanggung jawab terhadap terjadinga kanker kandung kemih. Sejak saat itu
sakarin dilarang digunakan di Canada (Wisnu ,2006). Efek negatif sakarin tidak menimbulkan
efek langsung seketika tetapi akan berakumulasi dalam tubuh manusia sedikit demi sedikit.
Secara umum sakarin akan menimbulkan dampak dermatologis terhadap anak-anak yang
mempunyai alergi terhadap sulfamat dan akan memicu tumbuhnya tumor yang bersifat
karsinogenik. (Arisman,2009) .
Validasi adalah suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan,
proses, prosedur, kegiatan, system, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam
produksi dan pengawasan akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan (BPOM, 2006).
Validasi metode analisis adalah suatu rangkaian proses yang telah ditetapkan untuk
membuktikan bahwa suatu metode yang digunakan sesuai untuk penerapan analisis tertentu
(USP XXVIII, 2005). Parameter-parameter validasi analisis meliputi presisi, akurasi, batas
deteksi, batas kuantifikasi, spesifisitas dan linearitas.
1. Selektivitas/spesifikasi
2. Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis untuk memberikan respon secara langsung
atau dengan bantuan transformasi matematika yang proporsional dengan kadar analit sampel
(USP XXVII, 2004).
LOD adalah jumlah analit terkecil yang dapat menimbulkan respon yang signifikan
dibandingkan blanko.Sedangkan LOQ adalah jumlah analit terkecil yang dapat digunakan
dalam presisi dan akurasi tertentu (Erliani, 2006).
4. Presisi
Presisi menyatakan derajat kesesuaian hasil pengujian, jika prosedur dilakukan berulang-
ulang dapat dinyatakan dalam derajat reproducibility atau repeatability (USP XXVIII, 2005).
5. Akurasi
Akurasi adalah tingkat kedekatan antara hasil pengujian dengan prosedur yang sedang
divalidasi terhadap nilai sebenarnya. Akurasi di ukur sebagai banyaknya analit yang
diperoleh kembali pada suatu pengukuran pada suatu sampel (FI V, 2014). Parameter
akurasi yaitu % recovery yang dapat ditentukan dengan menghitung berapa persen analit
yang ditambah dapat ditemukan kembali pada sampel (Yuwono et al, 2005).
Prinsip dari analisis spektroskopi sendiri yaitu cahaya dari spectrometer yang
terdisfraksi menggunakan difraktometer (cermin/prisma), sehingga cahaya terbagi
menjadi dua dengan intensitas yang sama. Sebagaian cahaya melalui pelarut dengan
intensitas sebesar I0dan sebagain lagi melalui sampel dengan intensitas I (Mukti, 2012).
Dasar analisis kuantitatif senyawa obat dengan spektrofotometri UV- VIS adalah
hukum Lambert- Beer menyatakan bahwa ada hubungan antara absorbansi dengan
konsentrasi senyawa obat.Hukum Lambert- Beer diformulasikan dengan persamaan
berikut :
A = Ɛ.b.c
Keterangan :
A : absorbansi/serapan
B : tebal kuvet ( cm )
C : konsentrasi ( M )
Arisman , 2009, Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan, Jakarta: EGC
BPOM, 2014, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.4 Tahun 2014
tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis , Badan
Pengawas Obat dan Makanan : Jakarta
BPOM, 2016, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.8 Tahun 2016
tentang Persyaratan Bahan Tambahan Pangan Campuran, Badan Pengawas Obat dan
Makanan : Jakarta
Day,R.A., and Underwood A.L., 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, 6th edition, Penerbit
Erlangga,Jakarta,396-397
Erliani W, 2010, Penetapan Kadar Aspartam pada Minuman Berenergi X Serbuk dengan
Metode Kromatografi Cair Kinerja (KCKT), Skripsi tidak dipublikasikan, Surabaya,
Fakultas Farmasi Universitas Surabaya
Gandjar; Ibnu, Gholib dan Rohman, A. ( 2012) Analisis obat secara spektrofotometri dan
Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Gandjar & Rohman., 2007.Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,49 -50 ,
223 – 252
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal.419, 425.
Leni K, 2017. Analisis Natrium Sakarin pada Minuman Sari Tebu yang Dijual di
Kecamatan Tenggilis Mejoyo Surabaya secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
(Skripsi). Surabaya, Fakultas Farmasi Universitas Surabaya
Peraturan Menteri Kesehatan No.722 Tahun 1988 tentang Bahan Tambahan Pangan,
1988, Jakarta: Sekretaris Jendral Kementrian Kesehatan.
Setyo, S., 2015 Buku Pintar Tanaman Obat Dengan Bermacam Khasiat, Penerbit Widya
Aneka Bandung.
Sucipto, C.D. 2015. Keamanan Pangan Untuk Kesehatan Manusia. Yogyakarta. Gosyen
Publishing
Suharman, & Mulja, H. M., 1995, Analisis Instrumental, Airlangga University Press,
Surabaya, 18-26.
Suwarto, Yuke, O., Silvia, H., 2014. Top 15 Tanaman Perkebunan, Jakarta : Penebar
Swadaya, 248.
The United State Pharmacopeia Convention. 2005. The United States Pharmacopoeia
(USP), 27th edition, United States
Van Steenis, C.G.G.J.., Hoed, D.D., Bloembergen, S., and Eyma, P.J., 2005, Flora untuk
Sekolah di Indonesia, diterjemahkan oleh Moeso Surjowinoto, Soenarto Hardjosuwarno,
Soerjo Sodo Adisewojo, Wibisono, Margono Partodidjojo, Soemantri Wirjahardja,
Cetakan VII, 280, 281, PT Pradnya Pramita, Jakarta.