Anda di halaman 1dari 17

Seledri

Apium graveolens L.

Sri Indrayani
260110160130
Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran
SELEDRI (Apium graveolens L.)

I. Uraian Tanaman
1.1 Klasifikasi Tanaman Seledri
Klasifikasi seledri berdasarkan Herbarium Medanense (MEDA) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Apiales
Suku : Apiaceae
Marga : Apium
Jenis : Apium graveolens L.

1.2 Sinonim
Celery, smallage (Inggris), han-ch’in, qincai (Cina), Seleri (Italia), Selinon,
Parsley (Jerman).

1.3 Nama Daerah


Seledri di Indonesia dikenal dengan nama daerah, Sumatera : seledri, Jawa
: saladri, selderi, salari, daun sop, daun soh, sadri, sederi (Depkes, 1995).
1.4 Nama Simplisia
Nama Simplisia Apii graveolentis Herba (herba seledri), Apii graveolentis
Radix (akar seledri), Apii graveolentis folium (daun seledri) Apii graveolentis
fructus (buah seledri) (Dalimartha, 2000).

1.5 Deskripsi Tanaman


Seledri adalah tanaman sayuran yang batangnya pendek, daunnya berlekuk
dan bertangkai daun panjang. Seledri merupakan tanaman yang mempunyai
daun majemuk menyirip, ganjil, pangkal daun runcing dan tepinya beringgit.
Tanaman ini tingginya ± 15 cm dengan lebar daun 2 – 3 cm dan panjang tangkai
daun 2 cm (Soewito, 1991). Seledri merupakan tanaman dataran tinggi yang
tumbuh pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Pada dataran rendah
seledri juga dapat tumbuh, namun ukuran batangnya lebih kecil dibandingkan
dengan yang ditanam di dataran tinggi. Tanah yang sesuai untuk pertumbuhan
seledri adalah tanah yang mengandung humus tinggi, tanah lempung berpasir
atau lempung berdebu, kisaran pH tanah antara 5,6 - 6,7 (Ashari, 1995).
Tanaman seledri bisa mencapai umur 1 – 2 tahun, tinggi dapat
mencapai 0,8 meter, tanaman berbau khas jika diremas. Berakar tunggang,
batang bersegi nyata, berlubang, tidak berambut. Daun majemuk menyirip
ganjil, beranak daun tiga, anak daun melebar, pangkal berbentuk segitiga
terbalik, hijau mengkilat, ujung daun bergerigi, pangkal tangkai daun
umumnya melebar. Perbungaan berupa bunga majemuk payung, dengan atau
tanpa tangkai tetapi panjangnya tidak lebih dari 2 cm, tangkai bunga 2 – 3
mm, daun mahkota putih – kehijauan atau putih– kekuningan (BPOM, 2010).
Menurut Soewito (1991), seledri termasuk dalam famili Umbeliflorae.
Menurut jenisnya, tanaman ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Seledri daun (Apium graveolens L. Var Scalinum Alef)
Jenis ini tumbuh di tanah yang agak kering dan yang digunakan
adalah daunnya. Cara yang digunakan untuk memanennya adalah
dengan dicabut.
2. Seledri potong (Apium graveolens L. Var. Sylvestre Alef)
Seledri jenis ini lebih suka tumbuh di tanah yang mengandung pasir
atau kerikil serta basah tetapi tidak sampai tergenang. Cara memetiknya
adalah dengan cara dipotong.
3. Seledri berumbi (Apium graveolens L. Var. Rapaceum Alef)
Jenis seledri berumbi ini tumbuh di tanah yang gembur dan banyak
mengandung air. Bentuk batangnya membesar bagaikan umbi. Bagian
yang paling umum digunakan adalah bagian umbi dan batang.
Di antara ketiga golongan seledri tersebut yang banyak ditanam di Indonesia
adalah seledri daun (Apium graveolens L. Var Scalinum Alef). Tanaman seledri
dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 – 3 bulan setelah penaburan benih.
Setelah dicabut akarnya, kemudian dicuci bersih dan diletakkan di tempat yang
teduh (Soewito, 1991).
Menurut Ashari (1995), di daerah tropis seperti Indonesia, tanaman seledri
kurang besar ukuran batangnya sehingga seluruh bagian tanaman digunakan
sebagai sayur. Seledri banyak mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin C,
dan berkalori tinggi. Selain sebagai sayuran, seledri juga dapat digunakan
sebagai obat-obatan terutama untuk tekanan darah tinggi. Daunnya juga bisa
digunakan sebagai bahan kosmetika.

1.6 Habitat
Tumbuh di dataran rendah maupun tinggi pada ketinggian 1000 – 1200 m
diatas permukaan laut. Perkebunan seledri di Indonesia terdapat di
SumateraUtara (Brastagi) dan Jawa Barat. Terdapat juga di Eropa (Inggris
dan Rusia Selatan), Asia Barat, Afrika Utara dan Selatan, Amerika Selatan,
Amerika Utara dan Argentina (BPOM, 2010).
II. Identifikasi
2.1 Kandungan Kimia
Herba seledri mengandung flavonoid, saponin, tannin 1% minyak
atsiri 0,033%, flavor-glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, asparagines,
zat pahit, vitamin A, vitamin B, vitamin C. Setiap 100% herba seledri
mengandung air sebanyak 93 ml, protein 0,9 gr, lemak 0,1 gr, karbohidrat 4
gr, serat 0,9 gr kalsium 50 mg, besi 1 mg, fosfor 40 mg, yodium 150 mg,
kalium 400 mg, magnesium 85 mg, vitamin A 130 IU, vitamin C 15 mg,
riboflavin 0,5 mg, tiamin 0,3 mg dan nikotinamid 0,4 mg. Di dalam akar
seledri mengandung asparagin, manit, zat pati, lender, minyak atsiri,
pentosan, glutamine, dan tirosin. Sedangkan pada biji mengandung apiin,
minyak menguap, apigenin dan alkaloid (Dalimartha, 2005).

2.2 Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan mengamati
bentuk, bau dan rasa dari daun seledri segar dan serbuk simplisia daun seledri.

(Sumber: Skripsi Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol


Daun Seledri (Apium Graveolens L.) Terhadap Tikus
Jantan Yang Diinduksi ƛ-Karagenan)
2.3 Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia
daun seledri. Serbuk simplisia daun seledri diletakkan di atas kaca
objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan
kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop (Depkes, 2008).

(Dinding sel selderi)

(Sel parenkim seledri)


(Sel kolenkim seledri)

(Makroskopi seledri)

III. Preparasi Sampel


3.1 Pembuatan Simplisia
Daun seledri yang telah dikumpulkan dicuci bersih dengan
air mengalir, kemudian ditiriskan lalu disebarkan diatas kertas
perkamen, kemudian dipotong-potong, lalu ditimbang. Kemudian
dikeringkan dalam lemari pengering dengan suhu 40ºC sampai
kering. Bahan ditimbang. Bahan yang telah kering disimpan
dalam kantung plastik kedap udara ditempat yang terlindungi
dari sinar matahari (Depkes, 1985).

3.2 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia


Pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun seledri
meliputi pemeriksaan makroskopik dan organoleptik, pemeriksaan
mikroskopik, penetapan kadar air simplisia, penetapan kadar sari
larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan
kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam.

3.3 Penetapan Kadar Air Simplisia


Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi
(destilasi toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat
penampung, pendingin, tabung penyambung, dan tabung penerima.
Cara kerja:
Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu
alas bulat, lalu destilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena
dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air
pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke
dalam labu tersebut dimasukkan 5g serbuk simplisia yang telah
ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit.
Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang
2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian
kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah
semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan
toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung
penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan
toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian
0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan
kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar
air dihitung dalam persen (WHO, 1998).
3.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan
dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform (2,5
ml kloroform dalam air sampai 1 liter) menggunakan labu
bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, 20 ml filtrat dipipet,
diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata
yang telah ditara dan dipanaskan pada suhu 105ºC sampai
bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam
persen (Depkes, 2008).

3.5 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol


Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan
dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95%
menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6
jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, 20
ml filtrat dipipet, diuapkan sampai kering dalam cawan penguap
(Depkes, 2008).

3.6 Penetapan Kadar Abu Total


Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan
ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang
telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar
perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada
suhu 60 o C selama 3 jam kemudian didinginkan dan
ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu total
dihitung dalam persen (Depkes, 2008).

3.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam


Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total
dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit,
bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring
melalui kertas saring bebas abu kemudian dicuci dengan air
panas dalam kurs porselen. Residu dan kertas saring dipijarkan
pada suhu 60oC sampai bobot tetap, kemudian didinginkan
dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam
dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Depkes,
2008).

3.8 Pemeriksaan Skrinning Fitokimia


Skrining fitokimia serbuk simplisia daun seledri meliputi
pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tannin,
glikosida, dan steroid/triterpenoid.

3.8.1 Pemeriksaan Flavonoid


Sebanyak 0,5 g simplisia disari dengan 10 ml metanol, lalu
direfluks selama 10 menit. Kemudian disaring panas – panas melalui
kertas saring kecil berlipat. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air.
Setelah dingin ditambahkan 5 ml eter, dikocok hati-hati dan
didiamkan. Lapisan metanol diambil, lalu diuapkan pada suhu 40
oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring. Filtrat
digunakan untuk uji flavonoida dengan cara sebagai berikut :
a. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering,
sisa dilarutkan dalam 1 sampai 2 ml etanol 96%, lalu
ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N,
didiamkan selama 1 menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida
pekat, dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah
intensif, menunjukkan adanya flavonoida.

b. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering,


sisa dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,1 g
serbuk magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi
warna merah jingga, menunjukkan adanya flavonoida
(Depkes,1995).

3.8.2 Pemeriksaan Alkaloid


Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian
ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling,
dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan
dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji
alkaloida: diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan
0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi :
1. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer
2. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat
3. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan
pada paling sedikit dua dari tiga percobaan di atas (Depkes,
1995).

3.8.3 Pemeriksaan Saponin


Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml
air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10
detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak
kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1
tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes,
1995).

3.8.4 Pemeriksaan Tanin


Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan
selama 2 menit dalam 100 ml air suling lalu didinginkan dan
disaring. Pada filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III)
kolrida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau
kehitaman menunjukkan adanya tannin (Fransworth, 1966).

3.8.5 Pemeriksaan Glikosida


Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 2 g, lalu disari
dengan 20 ml campuran etanol 95% dengan air (7:2) dan 10
ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan
disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan
25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit
lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol
dan kloroform (2:2), dilakukan sebanyak 2 kali. Sari air
dikumpulkan dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50
oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml methanol. Larutan sisa
digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 ml larutan percobaan
dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air.
Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch.
Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat
pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin berwarna
ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Depkes,
1995).

3.8.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid


Sebanyak 1g serbuk simplisia dimaserasi dengan eter 20 ml
selama 2 jam, disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan
penguap. Pada sisa ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida
dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Lieberman- Bourchard),
diteteskan pada saat akan mereaksikan sampel uji. Apabila terbentuk
warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida sedangkan
warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya
triterpenoid (Harborne, 1996).
IV. Analisis
4.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Salah satu senyawa flavonoid yang turut berperan sebagai
kandungan aktif antihipertensi adalah apigenin, suatu flavon dengan
gugus hidroksi bebas pada atom karbon nomor 5,7 dan 4’ (Duke,
2001). Dalam rangka program standarisasi sediaan fitofarmaka yang
mengandung daun seledri telah dilakukan standarisasi sediaan
kapsul dengan apigenin sebagai parameter kadar dan ditetapkan
secara KLT-densitometri, sesuai dengan ketentuan Departemen
Kesehatan tentang parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat.

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik


Hasil pemeriksaan karakteristik dari serbuk simplisia
daun seledri (Apium graveolens L.) dapat diliat pada Tabel
dibawah ini:

Tabel menunjukkan kadar air pada simplisia tumbuhan daun


seledri sebesar 8,66%, kadar tersebut memenuhi persyaratan umum
yaitu lebih kecil dari 10%. Kadar air yang lebih besar dari 10%
dapat menjadi media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya
(Depkes, 1985).
Kadar sari yang larut dalam air yang diperoleh dari
simplisia daun seledri (Apium graveolens L.) adalah sebesar
40,33%, kadar tersebut memenuhi persyaratan yaitu tidak kurang
dari 7%.
Kadar sari yang larut dalam etanol yang diperoleh dari
simplisia daun seledri (Apium graveolens L.) adalah sebesar
19,22%, kadar tersebut memenuhi persyaratan yaitu tidak kurang
dari 6%.
Penetapan kadar sari yang larut dalam air menyatakan
jumlah zat yang tersari dalam pelarut air seperti glikosida, gula,
gom, protein, enzim, zat warna dan asam-asam organik, sedangkan
penetapan kadar sari yang larut dalam etanol menyatakan jumlah
zat yang tersari dalam pelarut etanol seperti glikosida,
antrakinon, steroid, flavonoid, klorofil saponin, tanin dan yang larut
dalam jumlah sedikit yaitu lemak (Depkes, 1995).
Penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam
bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa simplisia tidak
mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan
karena dapat berbahaya (toksik) bagi kesehatan. Penetapan kadar
abu total menyatakan jumlah kandungan senyawa anorganik
dalam simplisia misalnya Mg, Ca, Na, Zn dan K. Kadar abu
tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar senyawa
anorganik yang tidak larut dalam asam misalnya silikat. Abu
total terbagi dua yaitu abu fisiologis dan abu non fisiologis. Abu
fisiologis adalah abu yang berasal dari jaringan tumbuhan itu
sendiri sedangkan abu non fisiologis adalah sisa setelah
pembakaran yang berasal dari bahan-bahan luar yang terdapat pada
permukaan simplisia (WHO, 1998).
Kadar abu total simplisia daun seledri diperoleh sebesar
7,33%, kadar tersebut memenuhi persyaratan yang tertera pada
Materia Medika Indonesia (MMI) yaitu tidak lebih dari 8%.
Kadar abu yang tidak larut dalam asam yang diperoleh dari
simplisia daun seledri adalah sebesar 1,0%. Kadar tersebut
memenuhi persyaratan yang tertera pada Materia Medika
Indonesia (MMI) yaitu tidak lebih dari 1%.
4.3 Hasil Skrining Fitokimia
Hasil skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia
diperoleh simplisia mengandung alkaloid, penambahan pereaksi
Bourchardat tidak terbentuk endapan, namiun penambahan
pereaksi Mayer dan Dragendroff terbentuk endapan. Alkaloida
positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit dua
dari tiga percobaan tersebut (Depkes, 1995) ; mengandung
flavonoid, terbentuknya warna jingga pada lapisan amil alkohol
; mengandung glikosida, penambahan pereaksi Molish dan asam
sulfat pekat membentuk cincin ungu; mengandung saponin,
terbentuknya busa lebih besar dari 1 cm yang stabil dengan
pengocokkan dengan air panas dan tidak hilang pada
penambahan HCl 2 N (Depkes, 1995); mengandung tanin,
penambahan FeCl3 memberikan warna hijau (Fransworth,
1966); mengandung steroid, penambahan pereaksi Liebermann-
Burchad membentuk warna hijau (Robinson, 1995). Hasil skrining
fitokimia simplisia dapat dilihat pada Tabel dibawah ini :

V. Khasiat
Seledri berkhasiat dapat mengurangi rasa nyeri pada penyakit
rheumatoid arthritis, lambung, serta antikejang, selain itu dapat
menurunkan tekanan darah karena bersifat diuretik, menurunkan kadar
asam urat darah, memiliki aktivitas antidiare, dan memicu enzim
pencernaan sehingga nafsu makan meningkat. Untuk pemakaian luar,
seledri banyak digunakan untuk perawatan rambut (Mursito, 2002).
Hasil penelitian di Jerman dan Cina pada tahun 1970-1980
menunjukkan bahwa minyak atsiri yang terdapat dalam seledri mempunyai
efek terhadap sistem saraf pusat sebagai antispasmodinamik dan
antikonvulsan (Hariana, 2011).

Daftar Pustaka
Ashari, S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press, Jakarta.
BPOM RI. (2010). Acuan Sediaan Herbal. Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI. Halaman 37-39.
Dalimartha, S. (2000). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid II.
Jakarta: Trubus Agriwidya. Halaman 173.
Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia.Edisi III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Halaman
9.
Depkes RI. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Halaman 4.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Halaman 333-337.
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Halaman 10-12.
Depkes RI. (2008). Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Halaman 169-171, 175.
Fransworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical
Schreening of Plant. Journal of Pharmaceutical Sciences.
Halaman 262-263.
Hariana, A. (2011). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3.
Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 54.
Herbarium Medanese. (2013). Identifikasi Tumbuhan. Medan :
Universitas Sumatera Utara.
Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan
Jantung. Jakarta : Penebar Swadaya. Halaman: 90.
Soewito. 1991. Bercocok Tanam Seledri. Titik Terang: Jakarta.
World Health Organization. (1998). Quality Control Methods
for Medicinal Plants Materials. England: World Health
Organization. Halaman 32-35.

Anda mungkin juga menyukai