Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN


PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KALI RUNGKUT SURABAYA

Oleh :

RAPI DHIRA DENTASARI


NIM : P27820118028

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO
TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nutrisi merupakan salah satu hal terpenting dalam mendukung tumbuh

kembang anak. Nutrisi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang tidak baik

akan menimbulkan permasalahan gizi seperti gizi kurang, gizi buruk, dan

obesitas [ CITATION Gun11 \l 14345 ]. kurangnya pemenuhan kebutuhan nutrisi

pada balita menjadi masalah kesehatan yang sangat serius terkait peningkatan

resiko mortalitas dan morbiditas. Kasus gizi buruk merupakan salah satu

perhatian di Indonesia. Gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur,

tetapi yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah kelompok bayi dan balita,

terutama pada usia balita [ CITATION mar10 \l 14345 ] .

Gizi kurang pada balita akan membawa dampak yang negatif baik dari

segi pertumbuhan maupun perkembangan. Akibat dari balita mengalami gizi

kurang dan gizi buruk adalah penurunan daya tahan tubuh sehingga anak rentan

terhadap penyakit infeksi. Salah satu infeksi yang disebabkan oleh gizi buruk

adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) menjadi salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi

menular di dunia. Penyakit ISPA Merupakan penyakit yang sering terjadi pada

anak dengan kelompok umur 1-4 tahun [CITATION Dep13 \l 14345 ].

Menurut data UNICEF tahun 2017 terdapat 92 juta (13,5%) balita dunia

mengalami underweight, 151 juta (22%) balita mengalami stunting dan 51 juta

(7,5%) balita mengalami wasting. Keadaan status gizi pada balita di Indonesia
sudah mengalami perbaikan, hal ini tercermin dari penurunan kekurangan gizi

(underweight) pada anak balita dari 19,6% pada tahun 2013 menjadi 17,7%

pada 2018. Prevelensi status gizi (BB/U) balita usia 0-59 bulan mengalami gizi

buruk di wilayah Jawa Timur sebesar 4,9% pada tahun 2013 menjadi 3,3% pada

tahun 2018. Sedangkan balita yang mengalami gizi kurang di wilayah Jawa

Timur sebesar 14,2% pada tahun 2013 menjadi 13,4% pada tahun 2018.

Prevelensi status gizi (BB/U) balita usia 0-59 bulan yang mengalami gizi buruk

di wilayah Surabaya sebesar 4,6% pada tahun 2013 menjadi 2,57% pada tahun

2018. Sedangkan balita yang mengalami gizi kurang di wilayah Surabaya

sebesar 14,2% pada tahun 2013 menjadi 10,33% pada tahun 2018 [CITATION

Din18 \l 14345 ]

Menurut Word Helath Organization (WHO) tahun 2017 pneumonia

menyumbang 15% dari semua kematian anak dibawah usia 5 tahun, dengan

angka kematian 808.694 anak di dunia. Berdasarkan riset kesehatan dasar

prevelensi ISPA di Indonesia tahun 2013 pada balita sebesar 13,3% dan

mengalami penurunan menjadi 7,8% pada tahun 2018, di wilayah jawa timur

prevelensi ISPA pada balita sebesar 15,6% pada tahun 2013 menjadi 12,9% pad

atahun 2018 Sedangkan di wilayah kota Surabaya sebesar 15,8% pada tahun

2013 menjadi 31,40% pada tahun 2018. [CITATION Din18 \l 14345 ].

Pada tahap perkembangannya, balita mengalami periode emas atau

golden age periode yang merupakan periode kritis yang terjadi satu kali dalam

kehidupan anak, karena pada masa ini tidak kurang 100 miliyar sel otak siap

untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat berkembang secara optimal di


kemuadian hari. Pada priode ini anak sedang dalam proses pembentukan dirinya

sehingga kecukupan nutrisi berperan penting dalam proses tumbuh kembang

anak[ CITATION Wau16 \l 14345 ] . Balita dengan gizi kurang, akan mengalami

penurunan system pertahanan dan antibody sehingga balita lebih mudah

terserang infeksi seperti batuk, pilek meskipun balita sudah mendapatkan

imunisasi lengkap [ CITATION And11 \l 14345 ] . Anak dengan gizi buruk akan

mengalami kekurusan, lemah dan rentan terserang infeksi. Hal ini disebabkan

system kekebalan tubuh yang berkurang pada anak. Status gizi yang buruk akan

mempengaruhi respon tubuh dalam pembentukan antobodi dan limfosit terhadap

adanya kuman penyakit. Pembentukan ini memerlukan kecukupan protein dan

karbohidrat sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibody dan

limfosit terhambat [ CITATION Nad16 \l 14345 ]. Anak dengan gizi kurang akan

lebih mudah terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bahkan

serangannya lebih lama dibandingkan dengan anak gizi normal akibat daya

tahan tubuh yang kurang [ CITATION Mar10 \l 14345 ]. Gejala ISPA yang tidak

segera ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit lain seperti otitis

media, pneumonia, faringitis dan penyakit infeksi lainnya [ CITATION Mar17 \l

14345 ]

Salah satu terobosan yang dilakukan kementrian kesehatan untuk

menjadikan SDM unggul adalah melalui peningkatan sasaran pemberian

makanan tambahan (PMT) untuk balita kurus, upaya pendidikan gizi dalam

peningkatan ASI Eksklusif, pemberian makanan bayi dan anak (PMBA) dan

promosi pedoman gizi seimbang [ CITATION Kem19 \l 14345 ]


Pencegahan penularan ISPA dapat dilakukan dengan imunisasi. Cara lain

yang utama adalah menjaga daya tahan tubuh lewat perilaku hidup sehat,

termasuk mengkonsumsi makanan bergizi seimbang dan cukup istirahat.

[ CITATION Mar17 \l 14345 ]

Menurut uraian diatas, maka peneliti perlu melakukan penelitian

mengenai Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapsan

Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskemas Kali Rungkut, Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut

“Bagaimana Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) pada Balita?”

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara status gizi dengan

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kalirungkut Surabaya

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi status gizi pada balita berdasarkan BB/U di wilayah kerja

Puskesmas Kalirungkut Surabaya

2. Mengidentifikasi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Kalirungkut Surabaya

3. Menganalisa hubungan status gizi berdasarkan BB/U dengan kejadian ISPA

pada balita di wilayah kerja puskesmas Kalirungkut Surabaya

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah ilmu dan pengalaman peneliti dibidang

kesehatan khususnya tentang “hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA

1.4.2 Bagi tempat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan memberikan

masukan strategi pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menurunkan kejadian

ISPA pada balita

1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan

sebaga bahan perbandingan referensi bagi perkembangan ilmu keperawatan

berkaitan dengan hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita

1.4.4 Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dalam menjalankan

pemenuhan gizi pada balita dalam mengurangi resiko kejadian ISPA


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak

2.1.1 Pengertian Anak Usia Balita

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah-satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang

memiliki peranan strategis dan mempunyai cita-cita dan sifat khusus, memerlukan

pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang

[ CITATION Sup16 \l 14345 ]

Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Dalam proses berkembang

anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri

fisik pada semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisiknya sama, demikian pula

pada perkembangan kognitif adakalanya cepat atau lambat. Perkembangan konsep

diri sudah ada sejak bayi akan tetapi belum terbentuk sempurna dan akan

mengalami perkembangan seiring bertambahnya usia anak. Pola koping juga

sudah terbentuk sejak bayi di mana bayi akan menangis saat lapar [ CITATION Yul16

\l 14345 ]

Anak bawah lima tahun atau sering disingkat anak balita adalah anak yang

berusia diatas 1 tahun atau dibawah lima tahun atau dengan perhitungan bulan 12-

59 bulan (kemenkes RI, 2015). Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua
yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga tahun yang dikenal dengan balita

dan anak usia lebih dari 3 tahun dampai lima tahun yang dikenal dengan usia

prasekolah [ CITATION pro17 \l 14345 ]

Balita adalah anak dengan usia dibawah lima tahun dengan karakteristik

pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan

berat badan naik 2 kali berat lahir dan tiga kali berat badan lahir pada umur 1

tahun dan menjadi empat kali pada umur 2 tahun [ CITATION Sep12 \l 14345 ]

2.1.2 Konsep tumbuh kembang anak usia balita

1. Pertumbuhan

Pertumbuhan (growth) merupakan proses perubahan dalam besar, jumlah

ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur

menggunakan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter),

umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh)

[ CITATION Eng18 \l 14345 ]

Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan

mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Setelah lahir

terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel-

sel otak masih berlangsung; dan terjadi pertumbuhan serabut serabut syaraf dan

cabang-cabangnya, sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak yang

kompleks[ CITATION Kem16 \l 14345 ]

Pada anak usia toddler umumnya mengalami perkembangan fisik yaitu

akan terjadi pertambahan tinggi rata-rata 6,35 cm setiap tahun dan pertambahan

berat badan 2,5 – 3,6 kg setiap tahun (Soetjiningsih dalam Septina, 2016) .
Menurut Allen & Martoz dalam Septina (2016), pada usia 1 tahun berat badan

akan bertambah kira-kira 0,13 – 0,25 kg per bulan, sehingga rata-rata berat

badannya 9,6 – 12,3 kg. Tinggi badan akan bertambah sekitar 5 – 7,6 cm per

tahun sehingga kurang lebih tingginya 81,3 – 88,9 cm. Pada usia 2 tahun, berat

badan akan bertambah kira-kira 0,9 -1,1 kg per tahun sehingga rata-rata berat

badannya 11,8 – 14,5 kg (Septina, 2016). Tinggi badan akan bertambah sekitar

7,6 – 12,7 cm per tahun sehingga kurang lebih tingginya 86,3 – 96,5 cm (Septina,

2016).

2. Perkembangan

Perkembangan (development) merupakan bertambahnya kemampuan

(skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang

teratur dan dapat diramalkan, sebagi hasil dari proses pematangan [ CITATION

Eng18 \l 14345 ]. Perkembangan pada masa balita ditunjukkan dengan kemampuan

berbicara, dari hanya mampu mengucapkan satu kata, duat kata hingga lancar

berbicara.

a. Perkembangan motoric kasar

Perkembangan motoric kasar balia meliputi [ CITATION Soe12 \l 14345 ]:

1) Usia 0-1 tahun

a) Mengangkat kepala 450 dan dada ditumpu lengan pad awaktu tengkurap

b) Menggerakkan kepala dari kiri/kanan ke tengah

c) Berbalik dari tengkurap ke terlentang

d) Mengangkat kepala setinggi 900 pad ausia 3-6 bulan

e) Mempertahankan kepala tetap tegak dan stabil


f) Duduk sendiri pada usia 6-9 bulan

g) Belajat berdiri, memegang mainan dan mendekati seseorang

2) Usia 1-2 tahun

a) Berdiri tanpa pegangan

b) Membungkuk untuk memungut mainan kemudian berdiri kembali

c) Berjalan mundur 5 langkah

d) Berjalan tanpa terhuyung-huyung

3) Usia 2-3 tahun

a) Naik tangga tanpa dibantu

b) Dapat bermain dan menendang bola kecil

4) Usia 3-4 tahun

a) Berdiri dengan satu kaki 2 detik

b) Melompat dengan kedua kaki diangkat

c) Mengendarai sepeda roda 3

5) Usia 4-5 tahun

a) Berdiri pada satu kaki selama 6 detik

b) Melompat dengan satu kaki

c) Menari

b. Perkembangan motori halus

Perkembangan motoric halus pada balita meliputi [ CITATION Soe12 \l 14345 ]:

1) Usia 0-3 bulan

a) Menahan barang yang dipegang


b) Menggapai mainan yang digerakkan

c) Menggapai kearah objek yang tiba-tiba dijauhkan dari pandangannya

2) Usia 3-6 bulan

a) Menggenggam pensil

b) Meraih benda yang ada dalam jangkauannya

c) Memegang tangannya sendiri

3) Usia 6-9 bulan

a) Memindahkan benda dari 1 tangan ke tangan lainnya

b) Meungut dua benda, masing-masing tangan memegang satu benda pada

saat bersamaan

c) Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup

4) Usia 9-12 bulan

a) Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan yang diinginkan

b) Menggenggam erat pensil

c) Memasukkan benda ke mulut

5) Usia 12-18 bulan

a) Menumpuk dua buah kubus

b) Memasukkan kubus ke dalam kotak

6) Usia 18-24 bulan

a) Bertepuk tangan, melambai-lambai

b) Menumpuk empat buah kubus

c) Memungut benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk

d) Mengelindingkan bola kearah sasaran


7) Usia 24-36 bulan

a) Mencoret-coret pensil pada kertas

8) Usia 36-48 tahun

a) Menggambar garis lurus

b) Menumpuk 8 kubus

9) Usia 48-60 bulan

a) Menggambar tanda silang

b) Menggambar lingkaran menggambar orang dengan 3 bagian tubuh

(kepala, badan, lengan)

c. Bahasa

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembnagan anak,

karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan aau kelainan pada

sistem lainnya, seperti kemampuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan

lingkungan di sekitar anak. Rangsangan sensoris yang berasal dari pendengaran

dan penglihatan merupakan rangsangan sensori yang sangat penting dalam

perkembangan bahasa. Tahapan perkembangan bahasa pada balita adalah sebagai

berikut: [ CITATION Soe12 \l 14345 ]

1) 2-4 bulan : cooing, menoleh kearah pembicara

2) 4-9 bulan : babbling (mengulang konsonan/kombinasi vocal)

3) 6 bulan : respon terhadap suara

4) 9-12 bulan : menunjuk

5) 10-16 bulan : menunjuk bagian-bagian tubuh atau memahami kata-kata

tunggal
6) 18-24 bulan : memahami kalimat sederhana

7) 24-30 bulan : Pengertiannya bagus terhadap percakapan yang sudah

familiar pada keluarga

8) 24-30 bulan : Percakapan melalui tanya jawab

9) 30-42 bulan : Mampu bercerita pendek, atau mampu bertanya

“mengapa”

10) 36-48 bulan : Pengertiannya bagus terhadap kata-kata yang belum

familiar, Mampu membuat kalimat yang sempurna

11) 5 tahun : Mampu memproduksi konsonan dasar dengan benar

2.2 Konsep status gizi pada Balita

2.2.1 Definisi status gizi

Gizi adalah zat atau senyawa yang terdpaat dalam pangan yang terdiri atas

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya yang

bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia (Kemenkes, 2013)

gizi adalah suatu unsur makanan yang dikonsumsi secara normal melelui

proses digesti, absorbs, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran

zat-zat yang tidak digunakan untuk perkembangan kehidupan, pertumbuhan dan

fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energy. [ CITATION Pro11 \l

14345 ]

Statu gizi (nutritional status) adalah keadaan yang diakibatkan oleh

keseimbangan antara asupan zat gizi dari makanan dengan kebutuhan zat gizi

yang diperukan untuk metabolisme tubuh. Status gizi seseorang tergantung dari

asupan gizi dan kebutuhannya, jika antara asupan gizi dengan kebutuhan tubuhnya
seimbang, maka akan menghasilkan status gizi baik. Kebutuhan asupan gizi setiap

individu berbeda antarindividu, hal ini tergantung pada usia, jenis kelamin,

aktivitas, berat badan ,dan tinggi badan. [CITATION Par17 \l 14345 ]

Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi. Status gizi adalah ekspres dari keadaan-keadaan

keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu [ CITATION Sup16 \l 14345 ]

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akbat konsumsi makanan

dan penggunaan zat, dimana zat gizi sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber

energy, pertumbuhan, pemeliharaan jaringan tubuh dan pengaturan proses tubuh.

(Auliya dalam [ CITATION Sep18 \l 14345 ]Penilaian status gizi balita dapat diukur

berdasarkan pengukuran antropometri yang terdiri dari variabel umur, berat badan

dan tinggi badan. [ CITATION Sep18 \l 14345 ]

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa status gizi

adalah ukuran derajat rasio pemenuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang

diperoleh dari makanan yang berdampak pada fisik dan dapat diukur dengan

antropometri.

2.2.2 Kebutuhan gizi balita

Balita mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat dari segi

pertumbuhan fizik, perkembangan psikomotor, mental dan sosial. Pertumbuhan

fizik balita perl memperoleh asupan gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah

yang cukup dan berkualitas baik untuk mendukung pertumbuhan. Kebutuhan gizi

pada anak dianataranya energy, protein, lemak, air, hidrat arang, vitamin dan

mineral: [ CITATION And12 \l 14345 ]


1. Energy

Kebuthan energy pada masa balita dalam sehari untuk tahun pertama

sebanyak 100200 kkal/kg BB. Setiap tiga tahun pertambahan umut, ebutuhan

energy turun 10 kkal/kg BB. Energy yang digunakan oleh tubuh adalah 50%

atau 55 kkal/kg BB per hari untuk metabolisme basal, 5-10% untuk specific

dynamic action, 12 % atau 15-25% kkal/kg BB per hari untuk aktifitas fisik

dan 10% terbuang melalui feses. Zat gizi yang mengandung energy terdiri

dari karbohidrat, lemak, dan protein. Jumlah energy yang dianjurkan didapat

dari 50-60% karbohidrat, 25-35% lemah dan 10-15% protein

2. Protein

Pemberian protein disarankan sebanyak 2-3 g/kg BB untuk bayi dan 1,5-2

g/kg BB untuk anak. Pemberian protein dianggap adekuat apabila

mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah cukup, mudah dicerna

dan diserap oleh tubuh. Protein yang diberikan haru sebagian berupa protein

berkualitas tinggi seperti protein hewani.

3. Air

Air merupakan zat gizi yang sanagt penting bagi bayi dan anak. Kebutuhan

air pada usia 12 bulan sebesar 120-135 mg/kg/BB/hari, pada usia 2-3 tahun

sebesar 115-125 ml/kg/BB/hari sedangan pada usia 4-5 tahun sebesar 100-

110 ml/kg/BB/hari

4. Lemak
Kebutuhan lemak yang dianjurkan yaitu sebesar 15-20% energy total basal

yang berasal dari lemak. Konsusi lemak pad ausia 6 bulan sebanyak 35% dari

jumlah energy seluruhnya masih dianggap normal

5. Hidrat arang

Konsmsi hidrat arang dianjurkan 60-70 energi totoal basal. Pada ASI dan

sebagian susu formula bayi 40-50% kandungan kalori berasal dari hidrat dan

tidak ada ketentuan tentang kebutuhan minimal, karena glukosa dalam

sirkulasi dapat dibentuk dari protein dan gliserol.

6. Vitamin dan mineral

Anak sering mengalami kekurangan vitamin A,B, dan C sehingga anak perlu

mendpaatkan 1- 1 ½ mangkuk atau 100-150 gram sayur perhari. Pilih buah

yang berwarna kekuningan atau jingga seperti papaya, pisang, nanas dan

jeruk

7. Kebutuhan gizi mineral makro

Kebutuhan gizi mineral mikro yang lebih dibutuhkan saat usia balita antara

lain:

a. Zat besi (Fe)

Zat besi berperan dalam berbagai reaksi oksidasi reduksi. Balita usia satu

tahun dengan berat badan 10kg harus mengkonsumsi 30% zat besi yang

berasal dari makanan

b. Yodium
Yodium berperan dalam perubahan karoten menjadi bentuk aktif vitamin A,

sintesis protein dan sbsorbsi karbohidrat dari saluran cerna. Angka kecukupan

yodium untuk balita 70-120µg/kg BB

c. Zink

Berperan dalam proses metabolisme asam nukleat dan sintesis protein. Selain

itu zink berfungsi sebagai pertumbuhan sel, replikasi sel, mematangkan

fungsi organ reproduksi, penglihatan, kekebalan tubuh, pengecapan dan selera

makan. Balita dianjurkan mengkonsumsi zink 10 mg/hari

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pad balita

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemanfaatan zat gizi oleh tubuh,

yaitu faktor primer dan faktor sekunder. (Almatsier, 2010 dalam [CITATION Par17 \l

14345 ]

1. Faktor primer

Faktor primer adalah faktor asupan makanan yang dapat menyebabkan zat

gizi tidak cukup atau berlebihan. Hal ini disebabkan oleh susunan makanan

yang dikonsumsi tidak tepat baik kualitas maupun kuantitas. Hal ini dpaat

disebabkan oleh beberapa hal berikut :

a. Kurangnya ketersediaan pangan dalam keluarga, sehingga keluarga tidak

memperoleh makanan yang cukup untuk dikonsumsi anggota keluarga.

b. Kemiskinan, ketidakmampuan keluarga untuk menyediakan makanan

yang cukup bagi anggota keluarganya. Kemiskinan ini berkaitan dengan

kondisi sosial dan ekonomi dari wilayah tertentu.


c. Pengetahuan yang rendah tentang pentingnya zat gizi untuk kesehatan.

Pengetahuan gizi mempengaruhi ketersediaan makanan keluarga,

walaupun keluarga mempunyai keuangan yang cukup, tetapi karena

ketidaktahuannya tidak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan yang

cukup. Banyak keluarga lebih mengutamakan hal-hal yang tidak

berkaitan dengan makanan, misalnya lebih mengutamakan membeli

perhiasan, kendaraan, dan lainnya.

d. Kebiasaan makan yang salah, termasuk adanya pantangan pada makanan

tertentu. Kebiasaan terbentuk karena kesukaan pada makanan tertentu,

misalnya seseorang sangat suka dengan makanan jeroan, hal ini akan

menjadi kebiasaan (habit) dan akan mempunyai efek buruk pada status

gizinya.

2. Faktor sekunder

Faktor sekunder adalah faktor yang mempengaruhi pemanfaatan zat gizi

dalam tubuh. Zat gizi tidak mencukupi kebutuhan disebabkan adanya

gangguan pada pemanfaatan zat gizi. Seorang sudah mengkonsumsi makanan

dalam jumlah yang cukup, tetapi zat gizi tidak dapat dimanfaatkan optimal.

Berikut ini beberapa contoh dari faktor sekunder, antara lain :

a. Gangguan pada pencernaan makanan seperti gangguan pada gigi geligi,

alat cerna atau enzim, yang menyebabkan makanan tidak dapat dicerna

dengan sempurna, sehingga zat gizi tidak dapat diabsorbsi dengan baik

dan menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh.


b. Gangguan penyerapan (absorbsi) zat gizi seperti parasit atau penggunaan

obatobatan tertentu. Anak yang menderita cacing perut akan menderita

kekurangan gizi, karena cacing memakan zat gizi yang dikonsumsi anak,

akibatnya anak tidak dapat tumbuh dengan baik.

c. Gangguan pada metabolisme zat gizi. Keadaan ini umumnya disebabkan

gangguan pada lever, penyakit kencing manis, atau penggunaan obat-

obatan tertentu yang menyebabkan pemanfaatan zat gizi terganggu.

d. Gangguan ekskresi, akibatnya terlalu banyak kencing, banyak keringat,

yang dapat mengganggu pada pemanfaatan zat gizi

UNICEF (dalam[ CITATION Sho17 \l 14345 ]) mengemukakan bahwa

faktor-faktor penyebab kurang gizi dapat dilihat dari penyebab langsung dan

tidak langsung serta pokok permasalahan dan akar permasalahan. Faktor

penyebab langsung meliputi makanan tidak seimbang dan infeksi, sedangkan

faktor penyebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan dikeluarga, pola

pengaushan anak serta pelayanan kesehatan anak dan lingkungan

Faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak balita di

perkotaan adalah tingkat sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan orang tua

dan tinggi badan orang tua, sedangkan di perdesaan faktor yang berhubungan

adalah status sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan orang tua,

pemanfaatan pelayanan kesehatan dan angka kecukupan konsumsi protein.

Kehidupan didaerah perkotaan lebih tergantung pada pendapatan yang

dicapai dibanding dengan sektor pertanian dan sumber daya alam. Persentase

perempuan perkotaan yang mendapatkan pendapatan diluar rumah lebih


banyak sedangkan jumlah anggota keluarga lebih sedikit, sahingga

pengasuhan anak terjangkau. Selain itu didaerah perkotaan lebih besar

ketersediaan pangan, perumahan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja.

Listrik, air dan sanitasi rata-rata lebih luas tersedia daripada di daerah

pedesaan (fuada, dkk, 2011 dalam [ CITATION Sho17 \l 14345 ]

2.2.3 Penilaian status gizi pada balita

menilai status gizi dapat dilakukan melalui beberapa metode pengukuran,

tergantung pada jenis kekurnagan gizi. Hasil penilaian status gizi dapat

menggambarkan berbagai tingkat kekurangan gizi, misalnya status gizi yang

berhubungan dengan tingkat kesehatan, atau berhubungan dengan penyakit

tertentu. Terdapat beberapa metode dalam penilaian status gizi, antara lain :

[CITATION Par17 \l 14345 ]

1. Metode antropometri

Metode antropometri dapat diartikan sebagai mengukur fisik dan bagian

tubuh manusia. Jadi antropometri adalah pengukuran tubuh atau bagian tubuh

manusia. Dalam menilai status gizi dengan metode antropometri adalah

menjadikan ukuran tubuh manusia sebagai metode untuk menentukan status

gizi. Konsep dasar yang harus dipahami dalam menggunakan antropometri

untuk mengukur status gizi adalah konsep dasar pertumbuhan.


Standart antopometri anak didasarkan pada parameter berat badan dan

panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi : [ CITATION

Per20 \l 14345 ]

a. Berat badan menurut umur (BB/U)

Indeks BB/U menggambarkan berat badan relative dibandingkan dengan

umur anak

b. Panjang /tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U)

Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau

tinggi badan anak berdasarkan umurnya

c. Berat badan menurut panjang/tinggi badan (BB/PB atau BB/TB

Indeks BB/PB ata BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan anak

sesuai terhadap terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya

d. Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U)

Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan katgogri gizi buruk, gizi

kurang, gizi baik, beresiko gizi lebih dan obesitas.

Umur yang digunakan pada standart ini merupakan umur yang dihitung dalam

bulan penuh, sebagai contoh bila umur anak 2 bulan 29 hari maka dihitung

sebagai umur 2 bulan. Indeks Panjang Badan (PB) digunakan pada anak umur 0-

24 bulan yang diukur dengan posisi terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur

dengan posisi berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan

0,7 cm. Sementara untuk indeks Tinggi Badan (TB) digunakan pada anak umur di

atas 24 bulan yang diukur dengan posisi berdiri. Bila anak umur di atas 24 bulan
diukur dengan posisi terlentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan

mengurangkan 0,7 cm.

Tabel.2.1 Kategori dan ambang batas status gizi anak


Indeks Kategori status gizi Ambang batas
(Z-score)
berat badan sangat <-3 SD
kurang (severely
Berat badan menurut underweight)
umur (BB/U) anak usia Berat badan kurang -3SD sd <- 2 SD
0- 60 bulan (underweight)
Berat badan normal -2 SD sd +1 SD
Risiko berat badan lebih >+1 SD
Sangat pendek (severely <-3 SD
stunted)
Panjang badan atau
Pendek (stunted) -3 SD sd <- 2 SD
tinggi badan menurut
umur (PB/U atau TB/U Normal -2 SD sd +3 SD
anak usia 0-60 bulan Tinggi >+3 SD

Gizi buruk (severely <-3 SD


wasted)
Berat badan menurut Gizi kurang (wasted) -3 SD sd <-2 SD
panjang badan atau Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
tinggi badan (BB/TB Beresiko gizi lebih >+ 1 SD sd + 2 SD
atau BB/TB) anak (possible risk of
usia 0-60 bulan overweight)
Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd + 3 SD
Obesitas (obese) >+3 SD
Gizi buruk (severely <-3 SD
wasted)
Gizi kurang (wasted) -3 SD sd <-2 SD
Indeks massa tubuh Gizi baik (normal) -2SD sd +1SD
menurut umur (IMT/U) Beresiko gizi lebih >+1 SD sd + 2 SD
anak usia 0-60 bulan (possible risk of
overweight)
Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd +3 SD
Obesitas (obese) <-3 SD
Gizi buruk (severely <-3 SD
thinness )
Indeks massa tubuh
Gizi kurang (thinness) -3 SD sd <- 2 SD
menurut umur (IMT/U)
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
anak usia 5-18 tahun
Gizi lebih (overweight) +1 SD sd +2 SD
Obesitas (obese) >+2 SD
2. Metode laboratorium

Metode laboratorium mencakup dua pengukuran yaitu uji biokimia dan uji

fungsi fisik. Uji biokimia adalah mengukur status gizi dengan menggunakan

peralatan laboratorium kimia. Tes biokimia mengukur zat gizi dalam cairan tubuh

atau jaringan tubuh atau ekskresi urin. Misalnya mengukur status iodium dengan

memeriksa urin, mengukur status hemoglobin dengan pemeriksaan darah dan

lainnya. Tes fungsi fisik merupakan kelanjutan dari tes biokimia atau tes fisik

3. Metode klinis

Pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui

ada tidaknya gangguan kesehatan termasuk gangguan gizi yang dialami

seseorang. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya

melalui kegiatan anamnesis, observasi, palpasi, perkusi, dan/atau auskultasi.

1) Anamnesis adalah kegiatan wawancara antara pasien dengan tenaga

kesehatan untuk memperoleh keterangan tentang keluhan dan riwayat

penyakit atau gangguan kesehatan yang dialami seseorang dari awal sampai

munculnya gejala yang dirasakan. Anamnesis dapat dilakukan dengan dua

cara yaitu

a. Auto-anamnesis yaitu kegiatan wawancara langsung kepada pasien

karena pasien dianggap mampu tanya jawab.


b. Allo-anamnesis yaitu kegiatan wawancara secara tidak langsung atau

dilakukan wawancara/tanya jawab pada keluarga pasien atau orang yang

mengetahui tentang pasien. Allo-anamnesis dilakukan karena pasien

belum dewasa (anakanak yang belum dapat mengemukakan pendapat

terhadap apa yang dirasakan), pasien dalam keadaan tidak sadar karena

berbagai hal, pasien tidak dapat berkomunikasi atau pasien yang

mengalami gangguan jiwa.

2) Observasi/pengamatan adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara

melakukan pengamatan pada bagian tubuh tertentu untuk mengetahui adanya

gangguan kekurangan gizi. Misalnya mengamati bagian putih mata untuk

mengetahui anemi, orang yang menderita anemi bagian putih matanya akan

terlihat putih tanpa terlihat arteri yang sedikit kemerahan.

3) Palpasi adalah kegiatan perabaan pada bagian tubuh tertentu untuk

mengetahui adanya kelainan karena kekurangan gizi. Misalnya melakukan

palpasi dengan menggunakan kedua ibu jari pada kelenjar tyroid anak untuk

mengetahui adanya pemerbesaran gondok karena kekurangan iodium.

4) Perkusi adalah melakukan mengetukkan pada bagian tubuh tertentu untuk

mengetahui reaksi yang terjadi atau suara yang keluar dari bagian tubuh yang

diketuk.

5) Auskultasi adalah mendengarkan suara yang muncul dari bagian tubuh untuk

mengetahui ada tidaknya kelainan tubuh.

2.2.4 Dampak gizi buruk pada balita


Terdapat beberapa hal mendasar yang dapat terjadi akibat gizi kurang :

[CITATION Par17 \l 14345 ]

1. Gangguan pertumbuhan

Akibat kekurangan asupan gizi pada masa pertumbuhan adalah anak

tidak dapat tumbuh optimal dan pembentukan otot terhambat. Protein berguna

sebagai zat pembangun, akibat kekurangan protein otot menjadi lembek dan

rambut mudah rontok. Anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang

status sosial ekonomi menengah ke atas, rata-rata mempunyai tinggi badan

lebih dari anakanak yang berasal dari sosial ekonomi rendah

2. Produksi tenaga berkurang

Kekurangan zat gizi sebagai sumber tenaga, dapat menyebabkan kekurangan

tenaga untuk bergerak, bekerja, dan melakukan aktivitas. Orang akan menjadi

malas, merasa lelah, dan produktivitasnya menurun

3. Gangguan Pertahanan tubuh (tambahan jurnal)

Protein berguna untuk pembentukan antibodi, akibat kekurangan

protein sistem imunitas dan antibodi berkurang, akibatnya anak mudah

terserang penyakit seperti pilek, batuk, diare atau penyakit infeksi yang lebih

berat. Daya tahan terhadap tekanan atau stres juga menurun.

Untuk meningkatkan imunitas tubuh diperlukan peningkatan asupan

protein lebih dari sebelumnya. Selain energi protein, vitamin dan mineral juga

berperan dalam meningkatkan imunitas tubuh. Kekurangan zat gizi mikro


dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan akut [ CITATION

Sum20 \l 14345 ].

Zat gizi (makanan) memiliki efek kuat untuk reaksi kekebalan tubuh

dan resistensi terhadap infeksi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil

peelitian akhir-akhir ini yang memperlihatkan bahwa melalui perbaikan gizi,

hormone anabolic dapat mengatur daya tahan (resistensi) hopes terhadap

infeksi bateri. Keadaan Kurang Energi Protein (KEP). Ketahanan tubuh

menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan

keseimbangan yang terganggu da akan mudah terjadi infeksi. Slaah satu

determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah

status gizi [ CITATION Sep20 \l 14345 ]

4. Gangguan Struktur dan fungsi otak

Kekurangan gizi pada waktu janin dan usia balita dapat berpengaruh

pada pertumbuhan otak, karena sel-sel otak tidak dapat berkembang. Otak

mencapai pertumbuhan yang optimal pada usia 2-3 tahun, setelah itu menurun

dan selesai pertumbuhannya pada usia awal remaja. Kekurangan gizi

berakibat terganggunya fungsi otak secara permanen, yang menyebabkan

kemampuan berpikir setelah masuk sekolah dan usia dewasa menjadi

berkurang.

5. Gangguan perilaku

Anak-anak yang menderita kekurangan gizi akan memiliki perilaku

tidak tenang, cengeng, dan pada stadium lanjut anak bersifat apatis. Demikian
juga pada orang dewasa, akan menunjukkan perilaku tidak tenang, mudah

emosi, dan tersinggung.

2.3 Konsep ISPA

2.3.1 Definisi ISPA

Menurut Depkes RI (2014) infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah

penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan staau lebih dari

saluran pernapasan mulai dari hidung (saluran pernapasan atas ) hingga alveoli

(saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan seperti sinus, rongga, telinga

tengah dan pleura.

ISPA adalah infeksi saluran yang terjadi pada pernafasan dengan gejala

sakit tenggorokan, beringus (rinorea), batuk, pilek, sakit kepala, mata merah, suhu

tubuh meningkat (Mumpuni, 2016)

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau acute repiratory infection

(ARI) merupakan sitilah yang meliputi tiga unsur yaitu [ CITATION Mas17 \l 14345 ]

1. Infeksi merupakan masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit

2. Saluran pernapasan yaitu organ yang terdiri dari hidung hingga alveoli serta

organ adneksanya (sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura)

3. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlangsunh dalam kurun waktu 14 hari. Batas

14 hari diambil sebagai penunjuk proses akut walaupun pada beberapa

penyakit proses tersebut dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.3.2 Etiologi ISPA


Etiologic ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus maupun jamur

[ CITATION Mar10 \l 14345 ]. Bakteri penyabab ISPA tersering adalah Heamephilus

influenza (20%) dan Steptococcus Pneumonia (50%). Bakteri penyebab lain

adalah Staphylococcus aureaus dan Klebsiella Penumonia, sedangkan virus yang

sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial virus (RSV) dan

influenza

2.3.3 Patofisiologi ISPA

Kejadian ISPA diawali dengan adanya infeksi antara bakteri dan flora

normal di saluran nafas. Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola

kolonisasi bakteri. Timbul mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi

udara, inspirasi dirongga hidung, refleksi batuk, refleksi epiglottis, pembersihan

mukosilier dan fagositosis. Karena penurunan daya tahan tubuh klien maka

bakteri pathogen dapat melewati mekanisme system pertahanan tersebut, sehingga

mengakibatkan terjadinya invasi didaerah-daerah saluran pernapasan atas maupun

bawah yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala dan gejala ISPA

lainnya [ CITATION Mar14 \l 14345 ]


Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda

yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission)

dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada

penderita ISPA yang telah terinfeksi virus atau bakteri penyebab ISPA melalui

sekresi berupa saliva atau sputum. ISPA dapat menular melalui beberapa cara,

sebagai berikut: (Rosana, 2016)

1. Transmisi droplet

Droplet berasal dari orang (sumber) yang telah terinfeksi atau yang telah

menderita ISPA. Droplet dapat keluar selama terjadinya batuk, bersin dan

berbicara. Penularan terjadi bila droplet yang mengandung mikroorganisme

ini tersembur dalam jarak dekat (<1 m) melalui udara dan terdeposit di

mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau faring karena droplet dapat

melayang melalui udara

2. Kontak langsung

Bersentuhan dengan bagian tubuh yang terdapat pathogen, sehingga pathogen

berpindah ke tubuh yang bersentuhan.

2.3.4 Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA menurut anatominya dapat dibedakan menjadi 2 bagian

yaitu ISPA atas dan ISPA bawah [ CITATION Mar10 \l 14345 ]

1. ISPA atas (Acute Upper Respiratory Infections)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring. ISPA atas yang perlu

diwaspadai adalah radang saluran tenggorokan atau Pharingitis dan radang

telinga tengah atau otitis.


2. ISPA bawah ( Acute Lower Respiratory Infections)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai

dengan alveoli. Penyakit-penyakit yang tergolong infeksi saluran pernafasan

akut (ISPA) bagian bawah: Laringitis, Asma Bronchial, bronchitis akut

maupun kronik, Bronco Penumonia atau Pneumonia

Klasifikasi ISPA berdasarkan klasifikasi umur dibedakan menjadi 2 yaitu

golongan umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur 2 bulansampai 5 tahun

[ CITATION Mar10 \l 14345 ]

1. ISPA berdasarkan golongan umur kurang dari 2 bulan, yaitu:

a. Pneumonia berat

Bila disertai napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah

b. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak disertai dengan tarikan dinding dada bagian bawah dan

pernapasan cepat

2. ISPA berdasarkan golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, yaitu sebagai

berikut:

a. Pneumonia berat

Bila disertai sesak napas dan tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam pada saat anak menarik napas

b. Pneumonia sedang

Disertai napas cepat . batas napas cepat yaitu :

1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50x/menit atau lebih

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40x/menit atau lebih


c. Bukan pneumonia

Balita tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat.

Klasifikasi ISPA berdasarkan tingkat keparahannya adalah : [ CITATION Dep121 \l

14345 ]

1. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek

dan sesak

2. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39C dan

bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok

3. ISPA berat

Gejala meliputi penurunan kesadaran, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu

makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah

2.3.5 Gejala ISPA

Gejala nasopharyngitis lebih parah pada balita dan anak-anak daripada

orang dewasa. Pada umumnya demam, terutama pada anak kecil. Anak yang lebih

besar memiliki demam ringan, yang muncul pada waktu sakit. Pada anak-anaka 3

bula sampai 3 tahun, demam tiba-tiba terjadi dan berkaitan dengan marah, geliah,
nafsu makan menurun, dan penurunan aktifitas. Peradangan hidung dapat

menyebabkan sumbatan saluran, shingga harus membuka mulut ketika bernafas.

Mutah dan diare mungkin juga bisa muncul. [ CITATION Har12 \l 14345 ]

Gejala awal pada anak yang lebih tua adalah kekeringan dan iritasi saluran

hidung dan faring, diikuti bersin, sensasi dingin, nyeri otot, keluar cairan hidung

dan kadang batuk. Peradangan hidung dapat menyebabkan iritasi kulit pada

hidung. Penyakit ini memiliki batas tersendiri dan biasanya sembuh 4 sampai 10

hari tanpa komplikasi. Kadang-kadang demam berulang dan seorang anak

mungkin mengalami otitis media, ini biasanya terjaid di awal atau setelah

nasofaringitis sebelumnya. Pneumonia jarang terjadi namun bisa saja pada balita. [

CITATION Har12 \l 14345 ]

2.3.6 Faktor resiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Faktor yang meningkatkan kejadian dan kematian karena ISPA, dapat dibagi

menjadi 2 , yaitu faktor host dan faktor agent :

1. Faktor host

a. Jenis kelamin

terdapat hubungan yang cukup signifikan antara jenis kelamin dengan

tingkat kejadian ISPA, jenis kelamin balita perempuan memiliki risiko

yang lebih tinggi terjadi penyakit ISPA dibandingkan dengan balita

berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena daya tahan

tubuh balita berjenis kelamin laki-laki lebih baik daripada balita

perempuan. [ CITATION Has20 \l 14345 ]


b. Status imunisasi

imunisasi seperti difteri dan campak yang diberikan bukan untuk

menambah kekebalan tubuh balita secara langsung terhadap serangan

kejadian ISPA, melainkan hanya dapat mencegah faktor yang dapat

memicu terjadinya ISPA. Walaupun balita telah medapatkan imunisasi

lengkap namun insiden ISPA balita masih tinggi yang disebabkan karena

belum maksimalnya pemberian vaksin yang dapat secara langsung

mencegah terjadinya ISPA seperti imunisasi Campak dan DPT [ CITATION

Nas201 \l 14345 ]

c. Umur

ISPA balita terjadi akibat belum optimlnya kekebalan tubuh secara

alamiah. System kekebalan tubuh dalam tubuh seseorang berperan dalam

melawan bakteri maupun infeksi virus yang masuk ke dalam tubuh

seseorang. kondisi tubuh yang lemah dapat meningkatkan resiko

seseorang mengalami infeksi. Kondisi ini sering terjadi pada anak-anak

dan lansia akibat menurunnya fungsi organ yang dapat melemahkan

antibody. Sedangkan pada usia dewasa sudah terjadi kekebalan alamiah

optimal yang terbentuk dari pengalaman terjadi infeksi sebelumnya.

[ CITATION Nas201 \l 14345 ]

d. status gizi

Balita dengan kekurangan protein akan menyebabakan menurunnya

ketahanan tubuh dan virulensi pathogen sehingga akan menyebabkan


mudahnya terserang penyakit serta terganggunya keseimbangan tubuh.

[ CITATION Nas201 \l 14345 ].

Status gizi baik pada Balita mempengaruhi daya tahan tubuh dan

kekebalan tubuh terhadap serangan infeksi bakteri maupun virus yang

dapat menyebabkan ISPA. Selain itu, status gizi baik mampu

meningkatkan imunitas, dan meningkatkan aktifitas leukosit untuk

mefagosit maupun membunuh kuman. Sementara itu, jika keadaan gizi

menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga

kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi

menurun termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi

komplemen, dan juga menyebabkan kekurangan mikronutrien. Status gizi

yang buruk menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan dalam

pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan

dan varulensi patogen lebih kuat, sehingga menyebabkan ketahanan dan

keseimbangan terganggu dan memicu terjadinya infeksi. Kejadian ISPA

pada Balita dengan status gizi kurang dapat terjadi karena masuknya

bakteri yang mudah menembus otot-otot pernafasan, sehingga mudah

terkena ISPA [ CITATION Arn20 \l 14345 ]

e. Pemberian ASI ekslusif

Pemberian ASI dapat mengurangi berbagai penyakit pada bayi.

Pemberian ASI eksklusif mempunyai hubungan dalam kejadian ISPA

pada balita. Hal ini disebabkan oleh kadungan kolostrom pada ASI yang

banyak mengandung antibody yang salah satunya BALT yang


menghasilkan antibody terhadap infeksi pernapasan dan sel darah putih,

serta vitamin A yang dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi

dan alergi [ CITATION Sab19 \l 14345 ]

2. Faktor agent

Bakteri penyabab ISPA tersering adalah Heamephilus influenza (20%) dan

Steptococcus Pneumonia (50%). Bakteri penyebab lain adalah

Staphylococcus aureaus dan Klebsiella Penumonia, sedangkan virus yang

sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial virus (RSV) dan

influenza [ CITATION Mar10 \l 14345 ]

2.3.7 Komplikasi ISPA

Apabila penyakit ISPA tidak diobati dan jika disertai dengan malnutrisi,

maka penyakit tersebut akan menjadi berat dan akan menyebabkan terjadinya

bronchitis, pneumonia, otitis mdia, sinusitis, gagal napas, cardiac arrest, syok

(Marni,2014). Faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba austachi

(kardiyudiani & Susanti, 2019)

Komplikasi yang dapat timbul dari penyakit ISPA (Rahajoe,2008 dalam

Wulandari dan Erawati, 2016):

a. Otitis media akut

b. Rinosinusitis

c. Pneumonia

d. Epistaksis

e. Konjungtivitis
f. Faringitis

2.3.8 Pencegahan ISPA

secara umum infeksi saluran pernapasan akut pada balita dapat dicegah dengan cara

sebagai berikut [CITATION Eiy16 \l 14345 ]

1. Melakukan imunisasi sesuai usia anak yang disarankan, sehingga bayi, balita

dan anak memiliki kekebalan terhadap berbagai serangan penyakit

2. Menjaga asupan makanan dan nutrisi

3. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar

4. Menjauhkan bayi, balita dan anak dari asap rokok, tembakau dan polusi udara

lain

5. Menghindari bayi, balita dan anak dari seseorang yang tengah menderita ISPA

2.3.9 Penatalaksanaan ISPA

Pengobatan ISPA pada bayi, balita dan anak secaa umum bisa dilakukan dirumah.

Berikut beberapa caranya: dengan memberikan obat yang sifatnya aman dan alami

pada balita, sedangkan bayi sebaiknya segera dibawa ke dokter. Jika demam, bayi

yang berusia 2 bulan seger diperiksakan ke dokter. Penderita ISPA memerlukan

banyak asupan makanan bergizi, balita perlu diberikan makanan sedikit demi sedikit,

tetapi rutin dan berulang, sedangkan untuk bayi yang masih menyusui diutuhkan ASI

ekslusif dari ibu. Agar penderita ISPA tidak kekurangan cairan, berilah air yang

lebih banyak dari biasanya baik air putih maupun sari buah. Asupan minuman yang

banyak akan membenatu menjegah dehidrasu dan mengencerkan dahak [CITATION

Eiy16 \l 14345 ]. Kemudian untuk penanganan ISPA bisa ditentukan berdasarkan

penyebab dari ISPA tersebut antara lain:


1. ISPA yang disebabkan oleh alergi: cara yang paling tepat dengan menghindari

zat-zat yang menimbulkan alergi tersebut. Tablet anti alergi biasanya

diresepkan oleh dokter untuk menghentikan reaksi alergi tersebut

2. ISPA disebabkan oleh virus: biasanya ISPA yang disebabkan oleh virus ini

tidak memerlukan pengobatan, yang diperlukan hanya istirahat, minum yang

banyak dan makan makanan yang sehat. Dengan istirahat yang secukupnya,

biasanya gejala mulai berkurang seelah 2-3 hari berlalu.

3. ISPA disebabkan oleh bakteri dan jamur. ISPA jenis ini memerlukan antibiotic

atau anti jamur untuk membunuh kuman tersebut. Penggunaan obat-obat

tersebut harus menggunakan resep dokter untuk mendapatkan hasil yang

maksimal dan mengurangi resiko munculnya efek yang tidak diinginkan.

2.4 Kerangka konseptual (dinarasikan)

2.5

Dampak gizi kurang pada


Faktor yang mempengaruhi status balita :
Status gizi
gizi pada balita : Gangguan Pertumbuhan
(BB/U) :
Faktor primer Produksi tenaga
Gizi sangat
Kurangnya ketersediaan pangan berkurang
kurang
dalam kelaurga Gangguan struktur dan
Gizi kurang
Kemiskinan fungsi otak
Gizi normal
Pengetahuan yang rendah Gangguan Perilaku
Gizi lebih
Kebiasaan makan yang salah Gangguan Pertahanan
Faktor sekunder tubuh
Gangguan pada pencernaan makanan
Gangguan penyerapan (absorbsi)
Gangguan metabolisme zat gizi
Faktor yang mempengaruhi kejadian
ISPA
Faktorpada
yangbalita:
mempengaruhi kejadian
Faktor host
ISPA pada balita: ISPA pada balita:
Status
Faktorgizi
host ISPA ringan
Status gizi ISPPA sedang
Jenis kelamin ISPA berat
Status imunisasi
Umur
Pemberian ASI eksklusif
Faktor agent
Tidak terjadi
Pencegahan ISPA : Komplikasi ISPA
Imunisasi antara lain :
Menjaga asupan OMA
makanan dan nutrisi Rinosiusitis
Menjaga kebersihan Pneumonia
lingkungan Epistaksis
Hindari balita dari asap Konjungtivitis
rokok Faringitis

//

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang akan dicapai pada penelitian

ini maka jenis penelitian ini adalah analitik kolerasional yaitu suatu metode
penelitian yang berupaya mencari hubungan antara variable dan melakukan

analisis terhadap data yang telah terkumpul (Sastroasmoro & Ismail, 2011).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan antara status

nutrisi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kalirungkut,

Surabaya. Design penelitian yang dilakukan adalah design cross sectional study

yaitu design penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi

data dalam satu kali pada satu waktu yang dilakukan pada variable terikat dan

variable bebas. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hubungan anatara

variabel satu dengan variabel lainnya (Sastroasmoro & Ismail, 2011).

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah jumlah anggota dari suatu himpunan yang ingin diketahui

karakteristiknya berdasarkan inferensi atau generalisasi (Sudibyo & Rustika,

2013). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Kalirungkut, Surabaya berjumlah …. Balita

3.2.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian dari balita

yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kali Rungkut Surabaya. Dengan kriteria

sebagai berikut :

1. Anak berusia 2-5 tahun


2. Balita dengan status gizi normal, gizi kurang dan gizi buruk

3. Orang tua bersedia untuk diteliti

4. Kooperatif

Adapun sampel dihitung dengan rumus slovin (Nursalam,2017):

N
n= 2
1+ N ( d )
Keterangan :

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

d : tinkgat signifikan (P), P adalah perkiraan proporsi, jika tidak diketahui

dianggap 0,05

3.2.3 Teknik Sampling

Sampling merupakan proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat

mewakili populasi yang ada [ CITATION Nur171 \l 14345 ]. Pengambilan sampling

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik Probability Sampling

dengan jenis simple random sampling. Probability Sampling adalah teknik

pengambian sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur

(anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Dalam hal ini setiap

anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel.

Sedangkan simple random sampling adalah pengambilan anggota sampel dari

populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam

populasi tersebut [ CITATION Sug13 \l 14345 ]


3.3 Variabel Penelitian

variabel adalah suatu perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai

beda terhadap suatu benda, manusia dan lain-lain [ CITATION Nur17 \l 14345 ].

3.3.1 Variabel independen (variabel bebas)

Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau

timbulnya variabel dependent[ CITATION Not10 \l 14345 ]. variabel independen

pada penelitian ini adalah status gizi balita

3.3.2 Variabel dependen (variabel terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas

[ CITATION Not10 \l 14345 ] Variabel dependen pada penelitian ini adalah infeksi

saluran pernapasan akut pada balita

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penentuan sifat yang akan dipelajari sehingga

menjadi variable yang dapat diukur [ CITATION Sug12 \l 14345 ]

Variabel Definisi Parameter Alat ukur Skala Skor


Operasional
Independen: ukuran derajat 1. Berat Timbang nominal 1. Berat badan
status gizi rasio pemenuhan badan an injak, sangat kurang
balita gizi yang 2. Umur dan (Z score ˂ - 3
dibutuhkan pada KMS SD)
anak usia 2-5 2. Berat badan
tahun yang kurang (Z score
diperoleh dari -3 SD sd ˂ -2
makanan yang SD)
berdampak pada 3. Berat badan
fisik dan diukur normal (Z score
dengan -2 SD sd +1 SD)
antropometri 4. Berat badan
yaitu indeks lebih (Z score ˃
BB/U +1 SD)
Dependen: frekuensi infeksi Tanda Kuesione Ordinal 1. ISPA ringan
kejadian saluran atau r dan jika batuk pilek
Infeksi pernapasan akut gejala terdiag- 2. ISPA sedang,
Saluran yang ditandai ISPA nosa oleh jika batuk pilek
Penrnapasa dengan adanya dokter demam
n Akut batuk, pilek, 3. ISPA berat,
(ISPA) serak, demam, jika batuk
baik disertai pilek, demam,
napas cepat atau nafas cepat
sesak napas, yang
berlangsung 14
hari yang telah di
diagnosa oleh
dokter

3.5 Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di puskesmas Kalirungkut, Surabaya yang

dilaksanakan pada bulan februari 2021 hingga maret 2021 sesuai dengan kalender

akademik program studi DIII Keperawatan Soetomo Surabaya

3.6 Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan

penimbang berat badan. Pengumpulan data dimulai dengan mengurus surat

perizinan untuk melakukan penelitian, setelah itu mencari responden untuk

dijadikan subjek penelitian. Responden yang akan dijadikan subjek penelitian

yaitu berdasarkan kriteria responden yang telah ditentukan. Setelah mendapatkan

responden, peneliti menjelaskana tentang maksud dan tujuan dari penelitian

tersebut kepada responden. Setelah mendapatkan izin penelitian tahap selanjutnya

adalah melakukan penelitian dengan jumlah responden yang sudah ditentukan

untuk dijadikan subjek penelitian, Kemudian meminta persetujuan dari subjek

penelitian dengan mengisi inform consent, setelah itu peneliti dapat membagikan

kuesioner untuk mengidentifikasi status gizi dengan kejadian ISPA Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan berat badan dengan menggunakan penimbang berat badan.

3.7 Teknik Dan Instrument Pengumpulan Data

3.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

pengisian kuesioner. Responden diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi

pertanyaan kemudian diisi dengan tanda chek list (√). Kemudian setelah itu

dilakukan pemeriksaan berat badan pada responden.

3.7.2 Instrument Pengumpulan Data

Instrument pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data penelitian [ CITATION Not10 \l 14345 ] . Alat yang digunakan

untuk pengumpulan data penelitian ini adalah kuesioner yaitu daftar pertanyaan

yang telah disusun dengan baik dan matang.


3.8 Pengelolaan dan Analisa Data

3.8.1 Pengelolaan Data

Menurut notoadmojo (2010) tahap-tahap pengelolaan data adalah sebagai

berikut:

1. Edititing

Editing bertujuan untuk mengecek dan perbaikan isi formulir atau

kuesioner. Apakah jawaban dalam lembar tersebut sudah lengkap, jelas,

relevan dan konsisten. Sehingga jika tidak dpaat segera dilengkapi oleh

peneliti

2. Coding

Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data

angka atau bilangan

3. Entry

Pada proses ini dilakukan dengan memasukkan data ke dalam program atau

software komputer.

4. Cleaning

Pengecekan kembali kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,

ketidaklengkapan dan sebaginya, kemudian dilakukan pembetulan atau

koreksi

3.9 Analisis Data

3.9.1 Pengukuran berat badan berdasarkan umur

Berat badan diukur meggunakan timbangan injak, umur dihitung

1. Berat badan sangat kurang ( Z score ˂ - 3 SD)


2. Berat badan kurang (Z score -3 SD sd ˂ -2 SD)
3. Berat badan normal (Z score -2 SD sd +1 SD)
4. Berat badan lebih (Z score ˃ +1 SD)

3.9.2 Kuesioner kejadian ISPA

1. ISPA ringan jika batuk pilek

2. ISPA sedang, jika batuk pilek demam

3. ISPA berat, jika batuk pilek, demam, nafas cepat

Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisis dengan menggunakan uji

korelasi Sperman Rho utuk menentukan ada atau tidaknya hubungan status gizi

dengan kejadian ISPA pada balita.

1. Jika hasil signifikan < 0,05 maka H1 diterima, artinya terdapat hubungan

antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita

2. Jika hasil signifikan > 0,05 maka H0 ditolak, artinya tidak ada hubungan

antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita

Seluruh teknik pengolahan data uji korelasi Sperman Rho menggunakan program

SPSS. [CITATION Placeholder1 \l 1033 ]

3.10 Etika Penelitian

Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan memperhatikan dan menekankan

pada masalah-masalah etika. Etika yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut

[ CITATION Hid10 \l 14345 ] :

1. Lembar informed consent

Informed consent merupakan lebar persetujuan antara peneliti dengan

responden. Lembar ini diberikan kepada responde sebelm penelitian agar

dapat mengetahui maksud penelitian. Inform consent juga bermanfaat sebagai

bukti bahwa penelitian ini valid serta mendapat persetujuan dari responden.
Dalam penelitian ini lembar informed consent diberikan kepada responden

sebelum memberikan kuesioner penelitian.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama responden,

ciri-ciri fisik serta identitas lain yang mungkin dapat mengidentifikasi

responden secara pasti, tetapi lembar pengumpulan data tersebut diberi kode

khusus.

3. Confidentiality (kerahasian)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin

kerahasiaan oleh peneliti, hal ini juga snagat bermanfaat untuk menjaga

privasi responden sebagai objek penelitian. Dalam penelitian ini hasil

pengisisan kuesioner responden dirahasiakan dimana tidak ada orang lain

yang mengetahui selain peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani , M. & Wirjatmadi, B., 2012. Peanan Gizi dalam Siklus Kehidupan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group .
Andy, 2011. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.
Ardinasari, E., 2016. Buku Pintar Mencegah dan Mengobati Penyakit Bayi &
Anak. Jakarta: Bestari.
Arny, Putri, L. A. R. & Abadi, E., 2020. Hubungan Status Gizi dan Paparan Asap
Rokok Dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tinanggea. Promotif : Jurnal Kesehatan Masyarakat , 10(1),
pp. 73-77.
Depkes RI, 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI, 2013. Infeksi Saluran Pernapasan AKut (ISPA). Jakarta: s.n.
Depkes RI, 2017. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI, 2018. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Enggar, 2018. Biologi Dasar Manusia & Pengantar Asuhan Kebidanan.
Yogyakarta: Pustaka Panasea.
Gunawan, G., Fadlyana, E. & Rusmil, K., 2011. Hubungan Status Gizi dan
Perkembangan Anak Usia 1-2 Tahun. Sari Pediatri, 13(2), pp. 142-146.
Hartono, R. & Rahmawati, D., 2012. ISPA Gangguan Pernafasan Pada Anak.
Yogyakarta: Nuha Medika .
Hasan, M. & The, F., 2020. Analisis Deskriptif ISPA pada Anak dan Balita di
Pulau Moti. Techno : Jurnal Penelitian , 9(1), pp. 382-388.
Hidayat, A., 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Jakarta:
Health Books .
Kemenkes RI, 2016. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi
Dini Tumbuh Kembang Anak. [Online]
Available at: http://e-cinta.com/uploads/resource/Buku_SDIDTK_Bab_I-
V.pdf
[Accessed 4 november 2020].
Kemenkes RI, 2019. Kemenkes Tingkatkan Status Gizi Masyarakat. [Online]
Available at:
https://www.kemkes.go.id/article/view/19081600004/kemenkes-
tingkatkan-status-gizi-masyarakat.html
[Accessed 22 oktober 2020].
Mardiah , W., Mediawati & Setyorini, D., 2017. Pencegahan Penularan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut dan Perawatannya pada Balta di Rumah di
kabupaten Pangandaran. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks untuk
Masyarakat , 6(3), pp. 258-261.
marimba H, 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisaaasi Dasar pada
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika.
Marni, 2014 . Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit dengan Gangguan
Pernapasan. Yogyakarta: Gosyen Publishing .
Maryunani, A., 2010. Ilmu Kesehatan dalam Kebidanan. Jakarta : Trans Info
Media.
Masriadi, 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT. Raja Gravindo.
Nadila , F., murdoyo, Widiastuti , E. & Anggraini, D. I., 2016. Manajemen Anak
Gizi Buruk Tipe Marasmus dengan TB Paru. J Medula Unila , 6(1), pp.
36-42.
Nasution, A. S., 2020. Aspek Individu Balita dengan Kejadian ISPA di Kelurahan
Cibabat Cimahi. Amerta Nutrition, 4(2), pp. 103-108.
Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta .
Nursalam, 2017. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika .
Permenkes RI, 2020. Standar Antropometri Anak. [Online]
Available at:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__2_Th_20
20_ttg_Standar_Antropometri_Anak.pdf
[Accessed 4 november 2020].
Proverawati, A., 2011. Ilmu Gizi Untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan.
Yogyakarta : Nuha Medika.
proverawati, A. & Wati , E. K., 2017. Ilmu Gizi Untuk Keperawatan & Gizi
Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika .
Sabri, R., Effendi, I. & Aini, N., 2019. Faktor yang Mempengaruhi Tingginya
Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten
Aceh Tenggara. Scientific Periodical of Public Health and Coastal, 1(2),
pp. 69-82.
Septiani, E., 2020. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Agung Kabupaten Ogan Komering
Ulu Tahun 2019. Jurnal Masker Medika , 8(1), pp. 233-239.
Septiari, 2012. Mencetak balita Cerdas dengan Pola Asuh Orang Tua.
Yogyakarta: Nuha Medika .
Septikasari, M., 2018. Status Gizi Anak dan Faktor yang Mempengaruhi.
Yogyakarta : UNY Press 2018.
Sholikah , A., Rustiana, E. R. & Yuniastuti, A., 2017. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Pedesaan dan Perkotaann.
Public Health Perspective Journal , 2(1), pp. 9-18.
Soetjiningsih , 2012 . Perkembangan Anak Sejak Pertumbuhan Sampai Dengan
Kanak-kanak Akhir. Jakarta : Rendra Media Grup .
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Sumarmi, S., 2020. Kerja Harmoni Zat Gizi dalam Meningkatkan Imunitas
Tubuh. Amerta Nutrition , 4(3), pp. 250-256.
Supariasa, I. d. N., Bachyar , B. & Ibnu, F., 2016. Penilaian Gizi. Jakarta : EGC.
Wauran , C. G., 2016. Hubungan Status Gizi dengan Perkembangan Motorik
kasar pada Anak Usia 1-3 Tahun di Kelurahan Bitung Kecamatan
Amurang Kabupaten Minihasa Selatan. Jurnal Keperawatan , 4(2).
Yuliastati & Arnis , A., 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan :
Keperawatan Anak. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan .

Anda mungkin juga menyukai