Anda di halaman 1dari 28

TUGAS

3 CONTOH JURNAL GAWAT DARURAT

DOSEN PEMBIMBING
NS. FERNANDO MONGKAU, S.KEP

DISUSUN OLEH :
KIFO LEFRIKO LELEH
P01909010218

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES GRAHA MEDIKA KOTAMOBAGU
2020
PENGALAMAN PERAWAT UNIT GAWAT DARURAT (UGD) PUSKESMAS
DALAM MERAWAT KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

1 2 3
Bintari Ratih Kusumaningrum , Indah Winarni , Setyoadi , Kumboyono3, Retty Ratnawati3
1
Program Magister Keperawatan Peminatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Universitas
2
Brawijaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
3
Program Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Pengembangan pelayanan Puskesmas menjadi Puskesmas Perawatan akan memberikan pengalaman dan perasaan
yang berbeda pada setiap perawat di Puskesmas yang mengalami perubahan tersebut. Pengembangan Puskesmas
tersebut ditunjukkan dengan adanya pelayanan Unit Gawat Darurat 24 jam yang dapat menangani pasien gawat
darurat dan kecelakaan. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengeksplorasi pengalaman perawat UGD Puskesmas
dalam merawat korban kecelakaan lalu lintas. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak enam orang perawat Puskesmas Beji
Kota Batu. Hasil analisis dengan metode deskriptif terhadap hasil wawancara menghasilkan suatu makna yaitu
merasakan ketidakberdayaan pada saat merawat korban kecelakaan lalu lintas di UGD Puskesmas, dan merasakan
respon emosional pada proses berubah. Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa sistem
pelayanan puskesmas telah berubah menjadi lebih kompleks tetapi perubahan itu tidak diikuti dengan perubahan
dari sumber daya yang membangun sistem tersebut. Kepala Puskesmas sebaiknya lebih memperhatikan pegawainya
sebagai pembangun sistem agar dapat lebih optimal dalam penanganan pasien.

Kata kunci : Unit Gawat Darurat Puskesmas, kecelakaan lalu lintas, pengalaman perawat, fenomenologi

ABSTRACT

The development of new community health center in delivering comprehensive care have an impact on the workload
of nurses. These development clearly marked by the existence of emergency unit which run 24 hours. The purpose of
this study was to explore the experience of emergency nurses in community health center caring for victims of traffic
accidents. Qualitative research design was used in this research method with descriptive phenomenological
approach. Six participants from Beji community health center nurses were participated in this study. The results from
interview indicated that experiences of emergency unit Community health Center nurses lay in two themes there are
feeling of powerlessness when caring for victims of traffic accidents in the emergency health center, and feel the
emotional response to the process of change. Conclusions obtained from this research is the system has been
changed to be more complex, but the change was not followed by a change of the resources were build the system.
The head of community health center should pay more attention to their employees as system builders in order to
optimize the management of patients.

Key words : Community Health Centers, emergency unit, nurse experience, phenomenology

Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol : 1, No. 2, Nopember 2013; Korespondensi : Bintari Ratih Kusumaningrum,
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; Jl. Veteran Malang. Telp: 0341-569117
pswt 126. Email : bintarirk@gmail.com

www.jik.ub.ac.id
83
PENDAHULUAN Puskesmas.
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah yang menjadi Penelitian ini penting untuk dilakukan karena setiap
perhatian publik akhir-akhir ini. Kecelakaan lalu lintas manusia memiliki respon yang berbeda dari setiap
menjadi penyebab kedua dari kematian yang terjadi perubahan, Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi
pada orang di usia muda (McIlvenny, 2006). Menurut lebih dalam mengenai pengalaman perawat UGD
Kemenkes RI (2012) kecelakaan terjadi sebanyak Puskesmas merawat korban kecelakaan lalu lintas untuk
104.024 kasus, jumlah terbanyak terjadi di Propinsi Jawa mengungkapkan fenomena yang terjadi karena
timur. Naddumba (2008) menyebutkan bahwa Public perubahan puskesmas tersebut.
health menjadi alternatif solusi untuk penanganan
korban kecelakaan lalu lintas pada Negara yang tidak Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
memiliki sistem Emergency Medical Services (EMS). pengalaman perawat UGD Puskesmas dalam merawat
Indonesia merupakan Negara yang tidak memiliki sistem korban kecelakaan lalu lintas. Manfaat yang diharapkan
EMS secara resmi. Terdapat beberapa layanan ambulan yaitu sebagai masukan dalam penentuan kebijakan oleh
gawat darurat tetapi hanya di kota-kota besar, sehingga pihak yang terkait yaitu dinas kesehatan dan puskesmas
untuk daerah yang terpencil sulit untuk mendapatkan mengenai aspek psikologis perawat sendiri dalam
akses perawatan pra rumah sakit (Pitt & Pusponegoro, memberikan perawatan kepada pasien terkait dengan
2005). Adanya fenomena tersebut puskesmas atau peran sebagai perawat komunitas dan gawat darurat.
primary health care center sebagai ujung tombak utama
METODE
pelayanan kesehatan pada masyarakat diharapkan juga
dapat berperan menangani kondisi gawat darurat pada Metode penelitian yang digunakan adalah desain
korban kecelakaan lalu lintas (Mubarak & Chayatin, penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
2009). deskriptif. Lokasi penelitian di Puskesmas Beji Dinas
Kesehatan Kota Batu. Penelitian dilakukan selama enam
Fenomena yang tergambar pada puskesmas saat ini bulan. Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini
adalah bahwa fungsi puskesmas telah berkembang. yaitu sebanyak 6 orang perawat dengan tingkat
Puskesmas pada awalnya menekankan pada kegiatan pendidikan D3 keperawatan dan dengan pengalaman
promosi pendidikan kesehatan karena banyaknya kerja antara 6 tahun dan 20 tahun.
penyakit akibat perilaku tidak sehat pada masyarakat.
Memasuki zaman kemerdekaan Indonesia konsep Data dikumpulkan dengan metode wawancara
kesehatan masyarakat bergeser menjadi upaya mendalam semi terstruktur dengan waktu 25-50 menit
pelayanan kesehatan masyarakat yang menekankan dan direkam dengan alat perekam. Hasil wawancara di
pada preventif dan kuratif dimana kedua aspek tersebut transkripsikan kemudian dianalisis menggunakan
tidak dapat dipisahkan (Mubarak & Chayatin, 2009). metode Colaizzi yaitu menggambarkan fenomena yang
diteliti, mengumpulkan deskripsi partisipan terhadap
Perubahan jenis pelayanan kesehatan tersebut fenomena, membaca semua deskripsi partisipan,
memberikan tantangan tersendiri bagi perawat untuk memunculkan setiap makna yang muncul dari setiap
menyiapkan lingkungan yang telah berubah. Perubahan pernyataan signifikan, mengatur makna yang muncul
tersebut memerlukan penggabungan pengetahuan dan dalam bentuk kelompok tema, menuliskan deskripsi
ketrampilan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan yang sudah jenuh, kembali ke partisipan untuk validasi,
dan ketrampilan yang didapatkan saat ini untuk dapat jika ada data baru saat validasi maka digabungkan
digunakan saat ini dan di masa depan (Pearson & Care, dengan deskripsi data yang telah ada (Speziale &
2002). Carpenter, 2007)
Puskesmas Beji merupakan salah satu puskesmas di
Kota Batu yang berada di pinggir jalan raya rawan HASIL
kecelakaan lalu lintas. Pelayanan di puskesmas meliputi Hasil analisis data menunjukkan bahwa tema yang
preventif dan kuratif dimana salah satu pelayanan muncul antara lain merasakan ketidakberdayaan pada
kuratifnya adalah Unit Gawat Darurat (UGD). Fenomena saat merawat korban kecelakaan lalu lintas di UGD
tersebut tentunya memberikan respon pada perawat Puskesmas, dan merasakan respon emosional pada
sebagai sumber daya manusia dalam organisasi lingkup proses berubah.

Jurnal Ilmu Keperawatan - Volume 1, No. 2, Nopember 2013


84
Tema 1. Ketidakberdayaan perawat pada saat pernyataan dari tiga partisipan berikut ini:
merawat korban kecelakaan lalu lintas
“..Paliing yaa sharing (berbagi ilmu) sama
Tema kedua dari pengalaman perawat UGD Puskesmas temen-temen. Temen-temen itu kan banyak
dalam merawat korban kecelakaan lalu lintas adalah yang dari RS a.. yang masih muda-muda itu kan
ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan ini berarti suatu keluaran dari RS biasanya kita omong-omongan
keadaan yang kurang adanya kekuatan, tidak mampu kalo ada gini-gini diapakan…” (Partisipan 2)
bertindak, kurangnya kekuatan untuk menjadi efektif,
“…Jadi kita cuma browsing-browsing, gitu kan
dan tidak berdaya dalam waktu yang lama.
ga sah, ga ono ijasah e, ga diakui kalo tau-tau
Ketidakberdayaan juga dapat diartikan sebagai persepsi
seperti itu…” (Partisipan 1)
bahwa tindakan yang dilakukan sendiri tidak berdampak
efektif. Dalam tema ini terdapat sub tema yaitu kurang “…Saya sering dari otodidak dari dulu ya belajar
pengetahuan, takut membahayakan pasien, kehilangan sendiri, terus liat dari pas dibimbing dokter,
otoritas, takut tuntutan hukum, dan kurang insentif. dokter yang mbantu terus saya sendiri,
memede-medekan diri. Dari informal, dari liat …
Sub tema 1. Kurang pengetahuan teorinya ya sedikit-sedikit tau, yaa itu mede-
medekan diri, dengan risiko…” (Partisipan 3)
Dalam konteks ini kurang pengetahuan berarti perawat
belum cukup memiliki pengetahuan tentang
Sub tema 2. Takut Membahayakan Pasien
penanganan pasien kecelakaan lalu lintas. Perawat
Sub tema kedua yang menyebabkan ketidakberdayaan
merasa kurang pengetahuan dalam pembaruan
perawat adalah takut membahayakan pasien. Makna ini
pengetahuan atau update pengetahuan. Penyebabnya
muncul bahwa partisipan tidak mengetahui penanganan
adalah tidak ada pelatihan lanjutan seperti BTLS, BLS,
pada kondisi pasien dengan luka berat sehingga mereka
PPGD, serta semua perawat memiliki sertifikat pelatihan
ingin segera membawa pasien ke rumah sakit yaitu
yang telah kadaluarsa yang lebih 5 tahun yang diwakili
merujuk pasien ke rumah sakit. Perawat mengatakan
oleh pernyataan tiga orang partisipan berikut ini.
hal itu perlu di rujuk karena di Puskesmas tidak ada
“…. Kalo ga ada dokternya itu kita yang peralatan untuk membantu menegakkan diagnosa
bingung…kalo sore malem itu loo yang diajak seperti foto rontgen dan CT scan. Selain itu dari segi
ngomong nggak ada, kadang kan juga.. saya kemampuan perawat merasa tidak mampu merawat
pelatihannya PPGD (pertolongan Pertama kasus tersebut karena untuk kasus tersebut
gawat darurat) tok…. tahun 2006-2007,yo wes membutuhkan perawatan lanjutan. Makna ini
ilmunya sudah berkembang yo, sudah ga laku didapatkan dari ungkapan semua partisipan berikut ini:
lagi, ga valid paling ilmune…” (P2)
“..kalo kasus cidera kepala sering sih, cuma ya
Pernyataan partisipan 2 menggambarkan bahwa kalo saya lihat cuma robek biasa sih, robek
bingung mencerminkan suatu ketidakberdayaan dalam abrasi, kayak gitu kalo memang sudah parah
hal melakukan tindakan. Perawat tersebut meng- sampe keluar darah dari telinga atau kesadaran
gantungkan diri ke dokter karena dokter lebih bayak sudah menurun kebanyakan kita rujuk…”
pengetahuannya dibanding dengan dirinya yang (Partisipan 5)
pelatihannya sudah lama dan sudah tidak baru. “Apapun dengan cedera kepala kalo mbendhol
(benjol) di kepala harus dikirim (mengatakan
Ketidakberdayaan dari segi kurangnya pengetahuannya
dengan tegas)…” (Partisipan 2)
juga memotivasi mereka untuk mencari solusi. Solusi
yang mereka lakukan adalah dengan mencari informasi Takut membahayakan pasien juga muncul dari
sendiri melalui pencarian diinternet, mendapatkan pernyataan partisipan saat partisipan merasa cemas
pengetahuan dan ketrampilan secara autodidak yaitu saat merujuk, takut terjadi apa-apa dengan pasien, dan
belajar sendiri, mencari sendiri, dan berusaha kuatir kalau meninggal. Cemas dalam konteks ini adalah
meyakinkan diri sendiri untuk bisa melakukan perawat merasa takut jika tidak bisa mengatasi, takut
ketrampilan itu, berbagi pengetahuan dengan perawat jika korbannya parah dan takut membahayakan pasien
yang masih baru yang pernah kerja di rumah sakit, dan seperti yang diungkapkan oleh lima partisipan berikut
diberi informasi oleh dokter. Makna ini didapatkan dari ini:

www.jik.ub.ac.id
85
“…panik, opo yo (apa ya). maksud'e kan hanya denger kan jadi dokternya kan cuma
(maksudnya) biar ga terjadi apa - apa maksud'e ngira-ngira ya rujuk ya ginikan kasi terapi ini.
(maksudnya) itu opo ya… stres..” (Partisipan 2) Kalo kita salah menganamnese kan dokternya
juga salah terapi kan…” (Partisipan 4)
… yaa kuatir .. yang jelas ya kuatir.. Kuatirnya
yaa… kalo pas dirujuk meninggal.. (Partisipan 3) “…telpon dulu.. wes(sudah) ribet kan, yang
penting pasiennya dulu ditangani, nunggu
“..Kalo nanti ada apa-apa, kalo mati..”
telpon dulu, wes (sudah) terlalu lama banyak
(Partisipan 6)
buang waktu..” (Partisipan 4,5)
“..Kalo kondisi merujuk itu memang stres, kalo
Tindakan yang diperintahkan oleh dokter sebagian besar
saya sendiri merasakan stres…” (P5)
adalah tindakan medis dan semuanya dikerjakan oleh
“…pingin cepet-cepet nyampe… jadi kalo disana perawat. Mereka terlalu sering mengerjakan tindakan
cepet nyampe biar cepet ditangani…” (P4) medis sehingga menganggap bahwa tindakan medis
yang didelegasikan ke perawat adalah tindakan
Sub tema 3. Kehilangan Otoritas keperawatan mandiri. Anggapan itu menunjukkan
Kehilangan otoritas ini muncul sebagai sub tema karena bahwa partisipan tidak memahami perbedaan tindakan
dari ungkapan partisipan menunjukkan bahwa perawat mandiri keperawatan dan tindakan delegasi sehingga
tidak mempunyai otonomi atau wewenang untuk muncul persepsi bahwa perawat boleh melakukan hal
menentukan tindakannya dan pengambilan keputusan. itu. Kondisi tersebut mengesankan bahwa perawat
Hal ini disebabkan oleh adanya aturan bahwa setiap ada pembantunya dokter karena hanya menerima tugas dari
kasus harus menelepon dokter, dan dokter sebagai dokter dan jarang melakukan tindakan keperawatan.
penentu pasien itu dirujuk atau tidak. Sehingga tindakan Kondisi ini dibuktikan dengan pernyataan partisipan 4
yang sering dilakukan oleh perawat adalah tindakan berikut ini:
medis atas perintah dokter seperti menjahit luka,
“Ee kalo hecting (jahit luka)si semua yang
memberikan cairan infus, dan meresepkan obat.
ngerjakan perawat, hecting, infus, incise itu
Kehilangan otoritas menjadi sub tema dari perawat, meski dokternya ada biasanya tetep
ketidakberdayaan perawat karena perawat dituntut perawat, rawat luka combus (luka bakar) itu
untuk dinas sore dan malam tanpa adanya dokter tetapi perawat. Dokternya cuma ini ini ini, obat, terapi
semua tindakan dibebankan kepada perawat, sehingga udah… Kalo menurut saya sih itu tindakan
perawat merasa tidak berdaya. mandiri, karena kan perawat kan boleh
Partisipan merasa tidak puas dengan aktivitas konsultasi melakukan itu, ilmunya kita punya, untuk rawat
yang mereka lakukan dengan cara komunikasi dengan luka hecting kan kita bisa juga” (Partisipan 4)
dokter melalui telepon. Mereka merasa ragu akan “Kalo di RS kan mungkin dokter butuh perawat,
penangkapan informasi yang diterima oleh dokter perawat butuh dokter, klo di sini.. ya.. gimana
seperti yang diungkapkan oleh 4 partisipan berikut ini. ya. Jadi kita ke dokter masih.. (nunduk nunduk
“…kalo telpon dokternya… “GCS seperti ini, seperti menundukkan kepala jika bertemu
seperti ini, pasiennya seperti ini gimana dok?” atasan), lebih kayak hormat. Jadi kita kesannya
(Partisipan 2) kita itu mbantu…” (Partisipan 4)

“…dulu itu mau dibikin setiap kali ada Sub tema 4. Takut Tuntutan Hukum
tindakankan kan harus lapor…ke dokter jaga..
Makna takut terhadap tuntutan hukum muncul karena
emmm.. ya opo ya mbak sebagai petugas itu
partisipan mengungkapkan pernyataan bahwa
kadang lapor tok tapi kita yang suruh ngerjakan
dokumentasi sebagai bukti pertanggungjawaban.
kan tetep a, ya sekedar lapor malihan, hasilnya
Dokumentasi dalam konteks asuhan keperawatan
akan sekedar lapor.. jadi emmm apa kadang-
berarti pencatatan secara tertulis mulai dari hasil
kadang ya selesai tindakan kita baru memberi
pengkajian sampai evaluasi pasien yang dirawat.
tau..” (Partisipan 1)
Dokumentasi merupakan bukti legal dari tindakan
“….kalo ada pasien kan kita lebih banyak kita perawat karena saat ini masyarakat semakin kritis.
yang menganalisa, o begini begini.. dokternya Seperti yang diungkapkan oleh Partisipan 1 berikut ini.

Jurnal Ilmu Keperawatan - Volume 1, No. 2, Nopember 2013


86
“misalnya ada complain keluarga…kita wes lagi , liburnya diganti hari berikutnya…capek
(sudah) nulis di buku, telpon dokter, kan banyak sii…remek (lelah sekali) (tertawa), tapi uda biasa
yang tahu kejadiannya jadi bisa dipertanggung- sih, temen-temen juga gitu..”( Partisipan 4)
jawabkan.” (Partisipan 1)
“…saya kalo memang jaga UGD ya jaga UGD.
“..konsultasi ke dokter kalau ada pasien.. Karena Kalo pas ngepaskan sama program itu lo yang
ada tanggung jawab dan tanggung gugat.. repot, kaya pas abis jaga malam terus besok ada
Nanti kalo ada apa-apa tanggung jawab rapat, jaga malam terus besoknya ada
personal.. Kalau tidak sesuai prosedurnya, supervise, kebetulan saya kan pegang program
tanggungan pribadi. Lhaa yo emoh (ya tidak imunisasi, jadi yaa agak repot…”( Partisipan 3)
mau)..” (Partisipan 1)
“.. masyarakat kita kan kritis sekarang.. kalo kita PEMBAHASAN
gak rujuk nanti salah..” (Partisipan 6) Ketidakberdayaan Perawat Dalam Merawat Korban
Kecelakaan Lalu Lintas
Sub tema 5. Kurang insentif Pada studi ini salah satu penyebab ketidaberdayaan
Kurang insentif dalam konteks ini adalah perawat perawat dalam merawat korban kecelakaan lalu lintas
merasa tidak mendapatkan imbalan yang pantas dari adalah kurang pengetahuan perawat dalam perawatan
tugas yang mereka jalankan. Kurangnya insentif korban kecelakaan lalu lintas. Kurangnya pengetahuan
memberi dampak pada perawat antara lain kecewa, perawat dapat menambah rasa ketidakberdayaan
marah, dan tidak dihargai. Pada konteks kurang insentif mereka. Studi oleh Raatikainen (1994) pada 179
ini perawat tidak puas dengan insentif yang diterima perawat rumah sakit di Finlandia menunjukkan bahwa
karena disamakan dengan pegawai puskesmas yang lain perawat yang tidak berdaya memiliki pengetahuan yang
yang beban dan risiko kerjanya tidak sama seperti yang kurang tentang kebutuhan pasiennya sehingga kurang
diungkapkan oleh partisipan berikut ini. mampu untuk membuat keputusan klinis. Banning
(2007) juga menyebutkan bahwa untuk membuat suatu
“…yo males yo mbak, kita ga melulu dari UGD
keputusan klinis dalam kondisi gawat darurat
kan ada rawat inapnya, lha rawat inap kan
dibutuhkan pengetahuan yang memadai. Hal ini tidak
kasus e macem-macem ada yang menular ada
terjadi di Indonesia saja, Mahfouzh et al ( 2007)
yang biasa.. kita yoo jadi apa yo terpapar lah
menyebutkan bahwa di South Western Saudi Arabia di
terpapar sembarang kalir ga ono… ga ada imbal
distrik Abha terdapat 28 Puskesmas dimana dokter tidak
baliknya.. (terpapar segala macam penyakit
mengetahui dengan pasti kasus yang dihadapi true
tetapi tidak ada balasannya)” (P2)
emergency atau tidak.
Tema 2. Merasakan respon emosional dalam proses Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat merasa
berubah takut dan cemas jika membahayakan pasien. Kecemasan
Kondisi multi peran dan adanya proses perubahan yang mereka alami karena takut terjadi perburukan
pelayanan memberikan respon emosional yang memiliki pada pasien, atau pasien meninggal. Keadaan dimana
tahapan. Tahapan tersebut muncul dalam sub tema mereka takut membahayakan pasien adalah salah satu
yaitu pada awalnya merasa kelelahan dan pada akhirnya cara perawat menjalankan perannya sebagai advokat
mampu menerima perubahan. Multi peran dalam pasien. Menurut American Nurses Association, (2011)
konteks ini bermakna perawat memiliki peran yang tidak membahayakan pasien artinya, mencegah pasien
menuntut di untuk bekerja di UGD dan di masyarakat mengalami cedera lebih lanjut dan penularan infeksi,
atau komunitas. Sehingga perawat tidak hanya bekerja menghindari kesalahan dalam merawat pasien.
pada pagi hari saja setapi harus bekerja secara shift di
Penyebab ketidakberdayaan perawat yang lain adalah
UGD dan di Puskesmas. Sub tema kelelahan didapatkan
seringnya mereka mendapat perintah dari dokter
dari ungkapan partisipan berikut ini
sehingga mereka kehilangan otoritas. Salah satu
“…Kalo dines malam, pagi masuk, malam masuk penyebab ketidakberdayaan mereka adalah seringnya
besoknya libur, jadi istilahnya masuk 6 hari mereka mendapat perintah dari dokter sehingga mereka
kerja, hari ini kerja 2 kali besok libur,…Jadi abis kehilangan otoritas. Perintah tindakan mereka dapatkan
dines malam terus da kegiatan turun lapangan dari komunikasi melalui telepon. Perawat menilai
harus datang, jadi abis dines malam nerus kerja konsultasi melalui telepon ini tidak efektif sehingga

www.jik.ub.ac.id
87
menyebabkan perawat bingung dan merasa repot. keputusan sendiri tetapi melakukan tindakan sesuai
Kondisi ini di ungkapkan juga oleh Curtis (2001) dengan delegasi yang diberikan oleh dokter.
komunikasi yang tidak efektif antara perawat dan dokter
Kurangnya insentif memberi dampak pada perawat
atau tenaga kesehatan lain dapat menimbulkan stres
antara lain kecewa, marah, dan tidak dihargai. Perawat
dan kejadian yang tidak diinginkan. Stres yang terjadi
sebenarnya dalam merawat harus hadir sepenuhnya
dapat menimbulkan efek yang buruk pada perawat dan
untuk pasien baik secara fisik maupun emosi (Finlayson,
tenaga kesehatan lainnya. Efek tersebut antara lain
2010). Tetapi pada kenyataannya kurangnya insentif ini
turunnya motivasi, menurunnya kemampuan memecah-
membuat perawat hanya sekedar merawat, tanpa
kan masalah, dan penurunan kualitas pelayanan.
melibatkan aspek emosi. Mereka mengungkapkan hal
Kehilangan otoritas ini juga dapat disebabkan oleh ini dengan ungkapan “nggak ngoyo, asal-asalan” dalam
kurang pengetahuan perawat. Boström et al (2012) bahasa Indonesia berarti tidak bersungguh-sungguh.
menyebutkan bahwa otoritas perawat merupakan Padahal sebagai perawat di unit gawat darurat perawat
tantangan masa depan untuk perawat Puskesmas juga sebagai konselor untuk membantu klien mengenali
karena otoritas dibutuhkan untuk membuat keputusan masalah serta bagaimana mengatasi masalahnya
dan melakukan pengkajian, dimana untuk melakukan itu dengan melibatkan aspek emosi, intelektual, dan
semua dibutuhkan pengetahuan. dukungan psikologis (Potter & Perry, 2005).

Seringnya mereka melakukan tindakan atas perintah


Merasakan respon emosional dalam proses berubah
dokter tersebut membuat mereka merasa menjadi
Penambahan pelayanan Puskesmas menjadi Puskesmas
pembantu dokter. Menurut Gaventa`s theory of power
perawatan dengan UGD 24 jam menunjukkan adanya
and powerlessness (1980) permasalahan psikologis
suatu perubahan. Perubahan itu membawa dampak
perawat adalah menjadi pembantu setia dari dokter,
bagi individu yang mengalami. Sesuai dengan Teori
selain itu adanya pengaruh nilai patriarki dari profesi
Transisi oleh Meleis (2010) bahwa kondisi transisi
medis (Dykema, 1985). Nilai patriarki adalah suatu nilai
membutuhkan suatu pengetahuan agar berdampak
adanya kekuasaan penuh dari profesi medis ke profesi
pada hasil perubahan. Jika pengetahuan tidak
perawat sehingga perawat merasa sebagai pembantu
mencukupi maka hasil yang diharapkan tidak sesuai. Hal
dokter yang tidak memiliki wewenang. Hasil penelitian
ini terjadi pada perawat puskesmas dimana mereka
oleh Boström et al (2012) juga menunjukkan bahwa
dituntut untuk melayani pasien gawat darurat tetapi
perawat Puskesmas dalam membuat keputusan merasa
pengetahuan mereka tentang kegawatdaruratan kurang
tidak nyaman dan merasa diabaikan oleh profesi lain.
dan tidak ada pelatihan rutin untuk meningkatkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat sangat pengetahuan dan ketrampilan mereka.
menjaga tindakannya agar tidak melanggar hukum
Perubahan pelayanan puskemas juga membuat peran
dengan cara berkonsultasi dengan dokter tentang obat perawat menjadi berubah. Perawat memiliki peran
dan tindakan yang dilakukan. Konsultasi dilakukan ganda dimana harus bekerja di puskesmas sebagai
terutama jika dinas sore dan malam karena tidak ada pengelola program dan juga harus dinas di UGD
dokter yang berada di puskesmas, dokter jaga hanya mengikuti shift pagi, sore, malam. Kondisi tersebut
dihubungi untuk konsultasi melalui telpon. dapat diamati sebagai perubahan organisasional. Meleis
Pramesti (2013) menjelaskan bahwa adanya konsultasi (2010) menyebutkan perubahan organisasional meliputi
dan pendelegasian ini merupakan hubungan hukum perubahan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan
antara dokter dan perawat. Konsultasi merupakan salah klien dan pekerja yang merawat mereka, dalam hal ini
satu hubungan rujukan dalam hal ini adalah rujukan perawat juga mengalami perubahan tersebut.
medis yaitu konsultasi penderita untuk keperluan Perubahan organisasional pada saat itu merupakan
pengobatan, diagnostic, tindakan operatif dan lain-lain kondisi unfreezing yaitu langkah pertama dalam teori
(Mubarak & Chayatin, 2009). Konsultasi ke dokter ini perubahan menurut Lewin (Kritsonis, 2005). Perawat di
juga merupakan bentuk rujukan medis secara internal paksa untuk berubah dari perawat yang hanya dinas
antar petugas kesehatan. Menurut Pramesti (2013) pagi dinas di Poli dan perawat di komunitas harus
dalam hubungan rujukan perawat dapat melakukan berdinas juga di UGD dalam shift pagi, sore, dan malam.
tindakan sesuai keputusannya sendiri, sementara pada Untuk mencapai tahap unfreezing ini perawat juga
hubungan delegasi perawat tidak dapat mengambil diberikan pelatihan tentang kegawatdaruratan sebagai

Jurnal Ilmu Keperawatan - Volume 1, No. 2, Nopember 2013


88
cara untuk mempersiapkan perawat dalam menghadapi yang dilakukan adalah melembagakan kondisi
perubahan. Hal ini sesuai dengan teori Lewin dalam keseimbangan melalui proses formal maupun informal
Kritsonis (2005) bahwa salah satu tindakan untuk (Kritsonis, 2005). Dalam penelitian ini cara yang
membantu pross unfreezing adalah dengan dilakukan adalah dengan pembuatan SOP yang
mempersiapkan pekerja menghadapi perubahan. Tetapi dilakukan oleh perawat dan dokter di Puskesmas Beji
pada kenyatannya, pemberian pelatihan itu tidak karena tidak ada SOP resmi dari dinas kesehatan, selain
dilakukan secara berkelanjutan, sehingga mereka itu juga membuat jadwal dinas di UGD dan pengelolaan
merasa kurang update dalam pengetahuan yang dapat program.
menyebabkan mereka tidak berdaya.
Proses perubahan yang dialami oleh perawat puskesmas
Langkah kedua dari proses perubahan adalah dari sebelum ada UGD sampai ada UGD memberikan
movement. Pada langkah ini yang penting adalah respon emosional. Respon emosional tersebut dialami
menggerakan target ke tingkat keseimbangan yang secara bertahap. Respon emosional terhadap
baru. Tiga kegiatan yang dapat membantu di dalam perubahan yang dihadapi oleh perawat di UGD
langkah ini antara lain meyakinkan pekerja bahwa Puskesmas Beji saat ini yaitu mereka sudah sampai pada
kondisi status quo tidak menguntungkan untuk mereka tahap penerimaan dan dalam fase refreezing. Hal ini
dan mendukung mereka untuk melihat masalah dari terjadi karena proses perubahan telah berjalan selama
cara pandang yang baru, bekerja bersama untuk sepuluh tahun.
pencarian baru, informasi yang relevan, pemimpin yang
kuat juga dapat mendukung perubahan (Kritsonis, Implikasi keperawatan
2005). Pengalaman perawat UGD Puskesmas dalam merawat
korban kecelakaan lalu lintas merupakan pengalaman
Dalam penelitian ini setelah ada UGD perawat berusaha
yang kompleks. Implikasi secara teori adalah
beradaptasi dengan peran baru dan dengan jadwal yang
permasalahan yang dihadapi oleh perawat UGD
berbeda serta ada respon-respon emosional dari
Puskesmas berbeda dengan perawat yang bekerja di
perubahan itu. Perawat yang sebelumnya bekerja santai
UGD rumah sakit. Dari segi sistem ada perubahan
hanya sampai jam 1 di poli sekarang harus bergiliran
konsep pelayanan puskesmas dari promotif menjadi
dinas sore dan malam dimana tidak ada dokter yang
promotif kuratif dengan adanya UGD 24 jam yang
stand by di UGD. Komunikasi dengan dokter dilakukan
menuntut perawat untuk dinas 24 jam, tetapi
melalui telepon. Respon yang ditunjukkan oleh perawat
perubahan sistem itu tidak diikuti dengan perubahan
antara lain merasa lebih lelah dan bingung karena jika
yang membangun sistem itu sendiri, seperti sumber
jaga malam ketika besoknya ada program ke masyarakat
daya manusia. Implikasi secara praktik memberikan
maka perawat harus masuk pagi. Kebingungan yang
gambaran bahwa dalam menjalani perubahan banyak
dirasakan pada proses movement ini juga disebabkan
permasalahan yang dihadapi oleh perawat sehingga
oleh tidak adanya dokter jaga yang stand by di UGD.
diperlukan kebijakan dinas kesehatan dalam memenuhi
Perawat merasa takut tidak bisa melakukan tindakan
kebutuhan masyarakat tentang kesehatan dan juga
apa-apa jika ada kasus kecelakaan lalu lintas yang parah.
kebutuhan perawat agar dapat memberikan pelayanan
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan pada
kesehatan yang tepat kepada masyarakat.
langkah ini adalah bekerja bersama mencari solusi
(Kritsonis, 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan KESIMPULAN
bahwa untuk mengatasi tidak adanya dokter maka
Pengalaman perawat UGD Puskesmas dalam merawat
perawat harus menelepon dokter jika ada pasien. Tetapi
korban kecelakaan lalu lintas terdiri dua tema besar
pada kenyataannya perawat merasa keberatan jika
yaitu ketidakberdayaan perawat dalam merawat korban
harus menelepon dan tidak puas dengan proses
kecelakaan lalu lintas dan merasakan respon emosional
menelepon karena dokter tidak berada ditempat dan
dalam proses berubah. Tema tersebut muncul sebagai
tidak tahu kondisi yang sebenarnya.
akibat dari adanya perubahan konsep pelayanan
Langkah ketiga dari proses perubahan adalah refreezing puskesmas dari promotif menjadi promotif kuratif
yaitu pembekuan kembali atau mempertahankan dengan adanya UGD 24 jam yang menuntut perawat
kondisi yang telah berubah. Kondisi ini terjadi dimana untuk dinas 24 jam. Tetapi perubahan sistem itu tidak
perubahan ini dipertahankan untuk mencegah pekerja diikuti dengan perubahan yang membangun sistem itu
kembali ke kondisi keseimbangan yang lama. Tindakan sendiri, seperti sumber daya manusia.

www.jik.ub.ac.id
89
SARAN masyarakat. Adanya kesamaan setiap ungkapan
Perlu dilakukan pembenahan sistem pelayanan partisipan menunjukkan bahwa perlu adanya penelitian
kesehatan yang dapat memfasilitasi perawat maupun lanjutan dengan partisipan yang bervariasi tingkan
tenaga kesehatan yang lain agar dapat berkembang dan pendidikannya dan pengalaman kerjanya.
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan untuk

DAFTAR PUSTAKA Eastern Mediterranean Health Journal, 13: 103-


112.
American Nurses Association (2011) The nursing
process. http://nursingworld.org/ diunduh pada McIlvenny, S( 2006) Road Traffic Accidents- A
14 Juli 2013 challenging epidemic. Sultan Qaboos Univ Med J.
Banning, M. (2007). A review of clinical decision making: 6(1): 3-5
models and current research. J. Clinical Nursing Meleis,A (2010) Transition Theory In Tomey, A. M. &
17(2):187-195 Alligood, M. R. (Eds.) Nursing theory and their
Boström, E, Hörnster, A, Persson, C, Rising, I, Fiscer, RS. work. Philadelphia, Mosby.
(2012) Clinical challenges and ongoing role Mubarak, WI & Chayatin, N (2009) Ilmu keperawatan
changes for primary health-care nurses. British komunitas pengantar dan teori. Buku 1. Jakarta :
Journal of Community Nursing 17(2):68-74. Salemba Medika.
Curtis, K. (2001) Nurses' experiences of working with Naddumba, EK (2008) Musculoskeletal Trauma Services
trauma patients. Nursing Standard, 16 :33-38. in Uganda. Clin Orthop Relat Res 466:2317–2322
Dykema, LL (1985) Gaventa`s theory of power and Pearson, CL & Care WD (2002) Meeting the continuing
powerlessness: application to nursing. education needs of rural nurses in role transition.
Occupational Health Nursing 33(9): 443-446 Journal Of Continuing Education in Nursing 33(4):
Finlayson, L. (2010) One nurse’s experience of providing 174-179
care while working within an overcrowded Pitt & Pusponegoro (2005) Prehospital care in Indonesia
emergency department – an autoethnographic Emerg Med J 22:144-147
study. Waikato Institute of Technology.
Pramesti, AA Intan (2013) tanggung jawab hukum dalam
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012) Profil
hubungan dokter perawat ojs.unud.ac.id diunduh
data kesehatan Indonesia tahun 2011.
14 Juli 2013
http://www.depkes.go.id diunduh tanggal 22
Februari 2013. Potter & Perry (2005) Buku ajar Fundamental
keperawatan konsep, proses dan praktik volume
Kritsonis, A (2005) Comparison of Change Theories .
1. Jakarta : EGC
International Journal Of Management, Business,
and Administration 8(1):1-7 Raatikainen, R (1994) Power or the lack of it in nursing
care. J Adv Nurs. 19(3):424-32.
Mahfouz, A. A, Abdelmoneim, M.Y. Khan, Daffalla, A. A.,
Diab, M. M., El-Gamal, M. N. & Al-Sharif, A. I. Speziale & Carpenter (2007) Qualitative research in
(2007) Primary health care emergency services in nursing advancing the humanistic imperative.
Abha district of southwestern Saudi Arabia. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

Jurnal Ilmu Keperawatan - Volume 1, No. 2, Nopember 2013


90
Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

EFEKTIFITAS EARLY WARNING SCORE


DALAM DETEKSI KEGAWATDARURATAN DI TRAUMA CENTER
RUMKITAL DR. MIDIYATO S TANJUNGPINANG

Linda Widiastuti1, Ani Rafikoh2, Budi Rahayu3, Zulkarnain4

STIKES HANG TUAH TANJUNGPINANG


KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

Email : lindawidiastuti078@gmail.com

ABSTRACT

Pengenalan secara dini tanda dan gejala perburukan klinis pada pasien di Trauma Center
merupakan faktor utama demi kelangsungan hidup dan memperbaiki prognosis. Anamnesis
dan pemeriksaan fisis singkat diperlukan untuk mendapatkan data yang akurat agar
intervensi oleh tim medis reaksi cepat dapat dilakukan segera, sehingga mencegah
perburukan klinis menjadi gagal sirkulasi, gagal napas, atau henti kardiopulmonal. Early
warning score (EWS) merupakan salah satu alat atau sistem skoring menggunakan
karakteristik pasien yang dapat mendeteksi perburukan klinis pada pasien yang paling
berguna atau ‘optimal’ untuk kasus kegawatdaruratan. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis efektifitas EWS dalam deteksi kegawatdaruratan di Trauma Center Rumkital
Dr. Midiyato S Tanjungpinang. Metode penelitian menggunakan desain quasi eksperimen
pre-post test design dan pengambilan sampel dengan cara purposive sampling melibatkan
40 responden yang terbagi 2 kelompok yaitu 1 kelompok intervensi dan 1 kelompok kontrol
masing-masing berjumlah 20 responden. Hasil penelitian mayoritas responden (30%)
responden berusia 35-39 tahun, berjenis kelamin pria (65%), Kegawatdarurat prioritas 2
(55%). Hasil uji beda berpasangan didapatkan ada perbedaan yang signifikan
kegawatdaruratan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok EWS (p=0,004). Hasil
uji regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa EWS memberikan efektif terhadap
kegawatdaruratan (p=0,018). Kesimpulan penelitian bahwa EWS efektif terhadap
kegawatdaruratan di Trauma Center. Penelitian ini merekomendasikan perlu penelitian
lebih lanjut terkait dengan faktor resiko lain yang mempengaruhi kegawatdaruratan seperti
jenis cedera atau penyakit, hasil pemeriksaan penunjang, kegawatdaruratan pada anak.
Perawat dapat mengembangkan Early Warning Scores untuk mendeteksi
kegawatandaruratan.

Key word : Early Warning Scores, Kegawatdaruratan

Refference (2010- 2016)

Latar Belakang darurat haruslah benar-benar efektif


Penanganan gawat darurat ada dan efisien. Hal ini mengingatkan
filosofinya yaitu Time Saving it’s Live pada kondisi tersebut pasien dapat
Saving. Artinya seluruh tindakan yang kehilangan nyawa hanya dalam
dilakukan pada saat kondisi gawat hitungan menit saja. Berhenti nafas 2-

p-ISSN : 2086 - 9703 775 e-ISSN : 2621 - 7694


Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

3 menit pada manusia dapat telah divalidasi untuk digunakan di


mengakibatkan kematian yang fatal. bagian gawat darurat dan unit akut
(Sutawijaya, 2009). masuk.
Dalam pelayanan keperawatan Di dunia telah diperkenalkan
gawat darurat keperawatan dan tim sistem scoring pendeteksian dini atau
medis lainnya dituntut untuk peringatan dini untuk mendeteksi adanya
memberikan pelayanan yang cepat perburukan keadaan pasien dengan
karena waktu adalah nyawa penerapan Early Warning Scores. EWS
(Timesaving is life saving). Selain itu telah diterapkan banyak Rumah sakit di
ada beberapa faktor seperti Inggris terutama National Health
keterlamabatan penanganan kasus Service, Royal College of Physicians
gawat daarurat antara lain karakter yang telah merekomendasikan National
pasien, penempatan staf, ketersediaan Early Warning Score (NEWS) sebagai
stretcher, petugas kesehatan, waktu standarisasi untuk penilaian penyakit
ketibaan pasien, pelaksanaan akut, dan digunakan pada tim
menejemen, strategi pemeriksaan dan multidsiplin (NHS Report, 2012).
penanganan yang dipilih, merupakan Early Warning Scoring
pertimbangan untuk menentukan System adalah sebuah sistem skoring
konsep waktu tanggap penanganan fisiologis yang umumnya digunakan
kasus dirumah sakit (Yoel et al dalam di unit medikal bedah sebelum pasien
We Ode Nur 2012). Karena kondisi mengalami kondisi kegawatan.
kegawatdaruratan dapat terjadi Skoring EWSS disertai dengan
dimana saja dan kapan saja, kematian algoritme tindakan berdasarkan hasil
karena trauma dapat terjadi sesaat skoring dari pengkajian pasien.
setelah kejadian, dalam perjalan (Duncan & McMullan, 2012).
kerumah sakit maupun saat dirumah Early warning scores lebih
sakit (HIPGABI, 2014). berfokus kepada mendeteksi
Dorothe et all, (2011) kegawatan sebelum hal tersebut
menyatakan bahwa pelayanan cepat dan terjadi. Sehingga diharapkan dengan
pengobatan yang efektif merupakan awal tatalaksana yang lebih dini, kondisi
meningkatkan kelangsungan hidup yang mengancam jiwa dapat
pasien. Pasien sakit kritis harus tertangani lebih cepat atau bahkan
diidentifikasi dengan cepat, sehingga dapat dihindari, sehingga output yang
pengobatan yang relevan dapat dimulai dihasilkan lebih baik (Firmansyah,
tanpa penundaan. Sistem triase berbeda 2013).

p-ISSN : 2086 - 9703 776 e-ISSN : 2621 - 7694


Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

Trauma Center Rumkital Dr. pada dua atau lebih kelompok. Kelompok
Midiyato S Tanjungpinang merupakan tersebut diobservasi sebelum dan sesudah
satu-satunya Taruma Center di intervensi (Polit & Hungler, 2010).
Tanjungpinang sebagai pusat rujukan Pengukuran variabel dependen dilakukan
bagi kegawatdaruratan. Tantangan dalam pre-post design, artinya sebelum dan
mencegah henti kardiopulmoner terletak sesudah intervensi. Pada penelitian ini
pada kemampuan penyedia layanan responden dibagi menjadi dua kelompok
kesehatan mengidentifikasi tanda-tanda yaitu kelompok intervensi dan kelompok
awal perburukan klinis dan intervensi. kontrol. Populasi penelitian ini semua
Terdapat pendekatan yang dapat pasien yang berkunjung ke Trauma
digunakan, ‘early warning score’ untuk Center Rumkital dr. Midiyato S
tingkat keparahan penyakit yang Tanjungpinang mulai bulan April sampai
menggabungkan parameter klinis dengan bulan Juni 2017. Rata-rata pasien
menjadi skor tunggal. Pasien dengan skor yang berkunjung setiap hari ke Trauma
lebih besar dari ambang batas Center Rumkital dr. Midiyato S
diidentifikasi dan dirujuk ke tingkat Tanjungpinang adalah 20 orang. Teknik
perawatan yang lebih tinggi. Berdasarkan pengambilan sampel secara purposive
hal-hal tersebut, peneliti tertarik sampling. Penelitian dilaksanakan pada
melakukan penelitian untuk mengetahui April – Juni 2017.
efektifitas EWS dalam deteksi Pada populasi tersebut dilakukan seleksi
kegawatdaruratan di Trauma Center terhadap pasien gawat darurat
Rumkital Dr. Midiyato S Tanjungpinang. berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi penelitian
Tujuan Penelitian a. Pasien dengan prioritas 1 dan prioritas
Penelitian ini bertujuan untuk 2
mengetahui Penelitian ini bertujuan b. Usia antara 26 – 65 tahun
untuk mengetahui efektifitas EWS dalam
deteksi kegawatdaruratan di Trauma
Center Rumkital Dr. Midiyato S
Tanjungpinang.

Metode Penelitian Kriteria eksklusi


Desain penelitian nonequivalent control a. Pasien mengalami gangguan
group pretest – posttest yaitu desain mental/jiwa
penelitian yang memberikan perlakuan b. Pasien dengan prioritas 3

p-ISSN : 2086 - 9703 777 e-ISSN : 2621 - 7694


Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

c. Usia > 65 tahun


Usia
15
26-34 3
30
35-39 6
10
40-44 2
25
45-49 5
15
50-54 3
5
55-59 1
Jenis kelamin
13 65
Pria
7 35
Wanita
Kegawatdarurat
Prioritas 1 9 45
Prioritas 2 11 55
20 100
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan
sebagian besar (30%) responden berusia
35-39 tahun, berjenis kelamin pria
(65%), Kegawatdarurat prioritas 2
(55%).

Tabel 4.2.
Hasil Uji Beda Berpasangan deteksi
kegawatdaruratan Sebelum dan Sesudah
Tabel 2.1 Tabel Penilaian NEWS Intervensi pada Kelompok Intervensi
Royal College of Physician. National Sesu
Sebelu Nilai
Early Warning Score: Kegawatd dah
m p
Standardising the assesment of acute- aruratan Mea
Mean value
illness severity in the NHS Report of a n
working party. London: RCP, 2012. Tekanan 130/
150/90
Darah 80
Nadi 117 85
Suhu 38,9 36,4
Tingkat
Kesadaran 0,004
Composme 4 8
ntis 9 7
Somnolen 5 5
Apatis 2 0
Stupor
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan terhadap
kegawatdaruratan sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok EWS dengan
Hasil Penelitian nilai p value = 0,004 (< 0,05).

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden Tabel 4.3.


menurut Usia, Jenis Kelamin dan Hasil Uji Beda Berpasangan deteksi
Kegawatdaruratan 2017 (n=20) kegawatdaruratan Sebelum dan Sesudah
Variabel f % pada Kelompok Kontrol
Kegawatd Sebel Sesu Nilai
aruratan um dah p value

p-ISSN : 2086 - 9703 778 e-ISSN : 2621 - 7694


Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

Mea Mea umumnya digunakan di unit medikal


n n
bedah sebelum pasien mengalami kondisi
Tekanan 160/1 150/
Darah 00 90 kegawatan. Skoring EWSS disertai
Nadi 105 96 dengan algoritme tindakan berdasarkan
Suhu 38,2 37,8
Tingkat hasil skoring dari pengkajian pasien.
Kesadaran 0,116 (Duncan & McMullan, 2012).
Composme 6 7
ntis 12 11 Early warning scores lebih berfokus
Somnolen 1 1 kepada mendeteksi kegawatan sebelum
Apatis 1 1
Stupor hal tersebut terjadi. Sehingga diharapkan
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan dengan tatalaksana yang lebih dini,
tidak ada perbedaan yang signifikan
terhadap kegawatdaruratan sebelum dan kondisi yang mengancam jiwa dapat
sesudah pada kelompok kontrol dengan tertangani lebih cepat atau bahkan dapat
nilai p value = 0,116 (< 0,05).
dihindari, sehingga output yang
Tabel 4.4 dihasilkan lebih baik (Firmansyah,
Hasil Uji Beda Independen Mann-
Whitney Antara Kegawatdaruratan 2013).
Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Penggunaan Early Waring Scores sangat
Kontrol
Nilai p value berkaitan erat dengan peran perawat yang
Kegawatdaruratan
EWS melakukan observasi harian tanda-tanda
Kelompok Kontrol 0,018
Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan Ada vital. Perawat melaksanakan asuhan
perbedaan yang signifikan terhadap keperawatan, sebagai care giver
kegawatdaruratan antar kelompok EWS
dengan kelompok kontrol dengan nilai p memberikan pelayanan dengan
value = 0,018 (<0,05). melakukan pengkajian harian serta
memonitoring keadaan pasien, ketika
Pembahasan
terjadi perburukan keadaaan, orang
Early Warning Scores terhadap
pertama yang mengetahui adalah perawat
kegawatdaruratan
oleh karena itu disebut Early Warning
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan ada
Scores. Sistem scoring sederhana
perbedaan yang signifikan terhadap
digunakan untuk pengukuran fisiologis
kegawatdaruratan sebelum dan sesudah
ketika pasien tiba, atau yang sedang
intervensi pada kelompok EWS dengan
dipantau di rumah sakit. Enam parameter
nilai p value = 0,004 (< 0,05).
fisiologis sederhana ini membentuk dasar
Kesimpulan yang diperoleh ada
dari sistem skor yaitu Frekuensi
perbedaan yang signifikan antara EWS
pernafasan, saturasi oksigen, suhu,
dengan kegawatdaruratan.
tekanan darah sistolik, Frekuensi Nadi
Early Warning Scoring System adalah
dan Level kesadaran (AVPU = Alert,
sebuah sistem skoring fisiologis yang

p-ISSN : 2086 - 9703 779 e-ISSN : 2621 - 7694


Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

Verbal, Pain, Unrespone). Atau sering penggunaannya masih terbatas. Satu


disebut dalam pemeriksaan Tanda-tanda penelitian melaporkan terdapat hubungan
Vital. antara nilai EWS yang tinggi dengan
Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut kemungkinan yang lebih besar untuk
nadi, respirations dll) yang rutin direkam dirujuk ke Intensive Care Unit (ICU).
di rumah sakit. Dengan Early Warning Kurang dari 1% (0,23%) pasien yang
Scores, setiap tanda penting dialokasikan mempunyai skor 0-2 dipindahkan ke ICU
nilai numerik dari 0 sampai 3, dengan dibandingkan dengan 80% pasien yang
bagan kode warna pengamatan (Skor 0 mempunyai skor 9. Analisis regresi
yang paling diinginkan dan Skor 3 adalah logistik dilakukan untuk menentukan
paling tidak diinginkan). Nilai dari hubungan antara EWS dan ICU dengan p
masing-masing score ditambahkan value 0,01 (< 0,05).
bersama dan di jumlahkan. Hasil dari Di Indonesia melalui RSCM sudah
total score merupakan nilai peringatan mengembangkan Early Warning Scores
awal. pada semua perawat di awal tahun 2014.
Penanganan yang cepat dan tepat dapat Hasil uji coba 100% perawat merasa
meminimalisir akan kejadian kompikasi NEWS dapat digunakan dalam
dan kematian. Perawat sebagai pelaksana pelayanan, dan 75% perawat dapat
petugas yang pertama dalam respon time melakukan analisis hasil TTV dengan
‘in-hospital’. Harus menghindari NEWS. Dengan parameter yang diukur
keterlambatan penanganan yang dapat adalah kemudahan penggunaan formulir
menyebabkan keterpurukan status NEWS. Nursing Early warning scores
kesehatan pada seseorang yang sakit lebih berfokus kepada mendeteksi
dengan keadaan kritis. “Time Saving is kegawatan sebelum hal tersebut terjadi.
Life Saving (respon time diusahakan Sehingga diharapkan dengan tatalaksana
sesingkat mungkin), The Right Patient, to yang lebih dini, kondisi yang mengancam
The Right Place at The Right Time, with jiwa dapat tertangani lebih cepat atau
The Right Care Provider.“ Menurut bahkan dapat dihindari, sehingga output
Dorothe et all (2011) : Pelayanan cepat yang dihasilkan lebih baik (Firmansyah,
dan pengobatan yang efektif merupakan 2013).
awal meningkatkan kelangsungan hidup Daftar Pustaka
pasien. Duncan, K., & McMullan, C. (2012).
Early Warning System.
Menurut Rismala Dewi (2016) hasil
Philadelphia: Lippincott
penelitian mendapatkan efektifitas, Williams & Wilkins.
Fox, A., & Elliott, N. (2015). Early
validitas, dan reliabilitas EWS yang
Warning Scores: A Sign of

p-ISSN : 2086 - 9703 780 e-ISSN : 2621 - 7694


Jurnal Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017

Deterioration in Patients and Rosmanto Joni, (2011), Angka Kematian


Systems. Nursing Management, dirumah sakit, ada apa dengan
22 (1), 26-31. doi: nya ? [web log messagge].
http://dx.doi.org/10.7748/nm.22. Diakses dari website
1.26.e1337 http://www.foxitsoftware.com
Firmansyah (2013), NEWSS: Nursing tanggal 07 mei 2016 jam 21.45
Early Warning Scoring System, WIB.
TMRC RSCM, (online), Royal College of Physicians.(2012),
(https://www.scribd.com/doc/18 National Early Warning Score
4093556/NEWSS-Nursing- (NEWS): Standardising the
Early-Warning-Scoring- System assessment of acuteillness
diakses tanggal 07 mei 2016, jam severity in the NHS. Report of a
09.15 WIB.) working party. London: RCP.
HIPGABI (2014), Materi Pelatihan ISBN 978-1-86016-471-2
Emergency Nursing Basic Siboro Tomsal (2013), Hubungan
Trauma Cardiac Life Support. Pelayanan Perawatan Dengan
Jakarta : Penulis. Tingkat Kepuasan Pasien di
IGD RSCM, (2015), Buku Program Ruang Unit Gawat Darurat
Emergency Summit, National Rumah Sakit Advent Bandung,
preparedness for medical Universitas Advent Bandung;
Emergency and disaster Where Wahyudi Payzar, Indiriati dan Bahyaki,
are we now?. Jakarta : HIPGABI (2014), Gambaran Skor
Indonesia. Pediatric Early Warnig Score
Musliha, (2010), Keperawatan Gawat (PEAWS) Pada Pola Rujukan
Darurat, Plus Contoh Askep Pasien Anak Di Instalasi Gawat
Dengan pendekatan NANDA Darurat, Universitas Riau : JOM
NIC NOC, Yogyakarta: Nuha PSIK Vol.1.2
Medika
National Clinical Effectiveness Comitee,
(2013), National Early Warning
Score, National clinical
guideline No. 1, Ireland : RCP.
ISSN 2009-6259
Nanna Martin jensen, Rikke Maale,
Seren Steeman, Bo Belhage &
Hans Perrid. (2012).
Nurseadministered Early
Warning Score System Can Be
Used for Emergency
Departemen Triage. Danish
Medical Bulletin,
2014;58(6):A4221
Richa A. Sofyanti, (2014), Hubungan
pelayanan keperawatan gawat
darurat dengan tingkat kepuasan
pasien di Intalasi gawat darurat
RSSN Bukit Tinggi. Retrived
From
http://jurnal.umsb.ac.id/wp-
content/uploads/2014/09/Jurnal-
Richa-pdf.pdf diakses tanggal 07
mei 2016 jam 21.00 WIB.

p-ISSN : 2086 - 9703 781 e-ISSN : 2621 - 7694


P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

STUDI FENOMENOLOGI: MAKNA PENGALAMAN PERAWAT


DALAM MERAWAT PASIEN LUKA BAKAR FASE EMERGENCY DI
INSTALASI GAWAT DARURAT RSUP SANGLAH

Phenomenology.Study : The Meaning of the Experience of Nurses Perform Emergency


Phase of Burn Care in the Emergency Room

I Kadek Artawan1, Indah Winarni2, Heri Kristianto3


1,2,3
Program Studi Magister Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Jalan Veteran Malang 65145
1
e-mail : kadekartawan27@gmail.com

ABSTRAK

Luka bakar merupakan salah satu jenis trauma dengan masalah yang kompleks. Permasalahan
pada luka bakar menimbulkan kebingungan dan kesulitan pada perawat dalam memberikan
perawatan. Perawat juga menjadi kewalahan dalam melakukan tindakan keperawatan dalam
merawat pasien luka bakar. Kompleknya masalah luka bakar juga menimbulkan perubahan emosi
perawat dalam memberikan perawatan sehingga berdampak pada distres emosional dan perawatan
yang kurang optimal pada pasien. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi makna
pengalaman perawat melakukan perawatan luka bakar fase emergency di IGD. Desain penelitian
menggunakan kualitatif fenomenologi interpretatif. Data dikumpulkan dengan melakukan
interview mendalam (in depth interview) pada 7 partisipan dengan panduan wawancara semi
terstruktur. Kemudian dianalisis menggunakan analisishermeneutics menurut Streubert &
Carpertner.Penelitian ini menghasilkan beberapa tema dalam merawat pasien luka bakar fase
emergency. Tema-tema tersebut yaitu; 1)memiliki kesigapan dalam memberikan perawatan 2)
berkolaborasi menentukan keselamatan pasien, 3) melayani dalam situasi kacau balau, 4)
mengalami tekanan batin dalam bekerja.Merawat sebagai sebuah perjuangan merupakan maka
pengalaman perawat dalam memberikan perawatan luka bakar fase emergency. Makna ini
terbentuk karena penuh perjuangan dalam memberikan perawatan dengan situasi yang banyak
tekanan, pelayanan yang terbatas, tetapi dapat memberikan perawatan optimal dan mampu
menstabilkan kondisi pasien.

Kata Kunci: Pengalaman perawat, luka bakar, emergency

ABSTRACT

Burns is one type of traumahave a complex problem. Problems in burns cause confusion and
difficulty in nurses in providing care. Nurses also be overwhelmed in a nursing action in treating
burn patients. Complexity of the problem of burns also cause emotional changes of nurses in
providing care so the impact on emotional distress and less than optimal care for patients. The
purpose of this study is to explore the meaning of the experience of nurses perform emergency
phase of burn care in the ER. The study design using qualitative interpretive phenomenology. Data
were gathered through in-depth interviews (in-depth interviews) at 7 participants with a semi-
structured interview guide. Then analyzed using analysis of hermeneutics according Streubert &
Carpertner. The study produced several themes in treating burn patients. These themes namely; 1)
had the alacrity in providing care, 2) collaborating determine patient safety, 3) caring in
overcrowding situation, 4) feeling high stressor in work. Nursing as a struggle is the experience of
nurses in providing emergency treatment of burns phase. This meaning is formed because of strife
in providing care to the situation that a lot of pressure, limited service, but it can provide optimal
care and is able to stabilize the patient's condition.

Keywords : Nurse experiences, burn, emergency

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah
13
PENDAHULUAN terhadap kinerja perawat sendiri (Rice &
Orgill, 2015).
Luka bakar merupakan Situasi IGD yang ramai juga
penyebab umum terjadinya cedera menimbulkan kelelahan yang
traumatik dan kondisi kegawatan utama berpengaruh terhadap kesehatan
di ruang gawat darurat yang memiliki perawat. Murji et al., (2006),
berbagai jenis permasalahan, tingkat mengatakan bahwa paparan dengan stres
mortalitas dan morbiditas yang tinggi kerja kronis akan menyebabkan
(Chen, Chen, Wen, Lee, dan Ma, 2014; kelelahan emosional, depersonalisasi,
Jailani, 2006; Schneider et al., 2012). dan penurunan rasa percaya diri
Kompleksitas masalah yang timbul pada perawat. Distres emosional akan
fase emergency menyebabkan kesulitan berdampak terhadap proses perawatan
petugas kesehatan dan perawat pada pasien dengan cedera luka bakar
melakukan perawatan luka bakar pasien dan perawat itu sendiri terkait kesehatan
tersebut (Chen et al., 2014; Kabalak & fisik dan mentalnya (Rafi, 2007; Murji
Yasti, 2012). et al., 2006).
Fase Emergency merupakan
waktu awal (0 menit) yang dibutuhkan Sikap bingung dan mudah
untuk mengatasi masalah kegawatan terjadinya kelelahan akan berdampak
pasien khususnya hemodinamik pasien terhadap proses perawatan pasien luka
selama 24-48 jam pertama (Ignatavicius bakar fase emergency. Proses
& Workman, 2006). Pada fase keerawatan luka bakar selama fase
emergency perawat memegang peran emergency dan akut di IGD harus
penting dalam melakukan asuhan dilakukan segera selama beberapa menit
keperawatan pada pasien luka bakar pertama pasca kebakaran. Berdasarkan
dengan kompleksitas masalah. Perawat studi pendahuluan pada bulan Januari
juga dituntut melakukan pengkajian, 2016 terkait perawatan luka bakar di
menentukan diagnosa, intervensi, IGD RSUP Sanglah Denpasar
implementasi dan evaluasi (Nursalam, ditemukan belum berjalan dengan
2014). optimal. Sepuluh (10) perawat IGD yang
Banyaknya masalah diwawancarai menyatakan situasi IGD
keperawatan yang muncul pada pasien sangat ramai, jumlah pasien yang
luka bakar berdampak terhadap banyak dan kompleksitasnya masalah
kesulitan dan kebingungan perawat pada pasien luka bakar menjadi alasan
(Bayou dan Agbenorku, 2015). Perawat perawatan luka bakar digolongkan
merasa bingung dalam menentukan belum optimal.
prioritas masalah yang dihadapi. Perawatan belum optimal yang
Menurut Murji et al., (2006) dimaksudkan adalah masih tingginya
menyatakan bahwa kompleksitas angka mortalitas pasien. Tingkat
masalah luka bakar menimbulkan kematian pasien luka bakar di IGD
lingkungan kerja dengan strosor tinggi RSUP Sanglah tahun 2014 mencapai
dan membuat perawat kewalahan dalam 11,3 %. Angka ini masih lebih tinggi
memberikan perawatan. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Australia yang
perawatan pasien luka bakar menjadi hanya mencapai 0,9 % (BRANS, 2014).
kurang optimal dan berdampak IGD RSUP Sanglah dengan sistem triase
dan fasilitas Burn unit yang dimiliki

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 14
mengadopsi dari Australia (Darwin ubah berpengaruh terhadap emosional
Hospital) harusnya memiliki tingkat perawat dalam memberikan pelayanan
kematian pasien luka bakar yang lebih keperawatan (Froutan et al., 2014).
rendah dari angka saat ini. Fenomena adanya kebingungan,
Tindakan utama dalam fase mudah mengalami perubahan emosi,
emergency yaitu memenuhi kebutuhan banyaknya tindakan yang harus
cairan pasien agar status hemodinamaik dilakukan menyebabkan perawat tidak
kembali normal. Perawat juga berperan optimal dalam memberikan perawatan.
penting melakukan perawatan luka Fenomena ini menjadai menarik diteliti
untuk mencegah infeksi dan memenuhi karena melibatkan prilaku, sikap dan
kebutuhan nutrisi pasien pada fase emosi perawat yang berpengaruh
emergency. Penatalaksanaan nyeri juga terhadap pemberian perawatan.
menjadi perioritas dalam merawat Eksplorasi pengalaman perawat penting
pasien luka bakar pada fase emergency untuk dipahami, bagaimana pengalaman
(Lewis et al., 2014).Kepekaan dalam perawat memberikan makna sebagai
melihat masalah menjadi suatu tuntutan suatu kepercayaan dan kemampuan
keterampilan perawat. Rasa kepekaan perawat dalam menyelesaikan
ini akan meningkatkan sikap perawat permasalahan yang dihadapi. Penelitian
dalam menghadapi stres kerja (Froutan ini penting untuk dilakukan mengingat
et.al., 2014). bahwa kondisi luka bakar membutuhkan
Kepekaan perawat menjadi bentuk perawatan kegawatan dan
berkurang saat bekerja dalam situasi menimbulkan komplikasi yang berisiko
dengan stresor dan tuntutan yang tinggi. terhadap kematian, sehingga diharapkan
Hal ini didkukung dengan studi dapat meningkatkan kualitas pelayanan
fenomenologi dari Bregman (2012) di ruang gawat darurat untuk
mengungkapkan adanya suatu mengurangi angka kesakitan dan
hambatan perawat dalam memberikan kematian pasien luka bakar.
perawatan pada pasien diruang IGD,
yang dibagi menjadi 3 tema besar yaitu METODE PENELITIAN
(a) perasaan kewalahan akibat
menetapkan prioritas masalah, (b) Penelitian ini merupakan penelitian
adanya ketidak-kekompakan tim kualitatif dengan pendekatan
perawatan kesehatan, termasuk perawat, fenomenologi interpretatif. Penelitian ini
administrator, dan dokter di IGD, dan dilakukan di Triage IGD RSUP Sanglah
(c) perasaan frustrasi mengenai Denpasar mualai dari 28 April sampai
penyalahgunaan IGD pada pasien yang 28 Juli 2016. Partisipan penelitian
datang dengan masalah ringan, dipilih sebanyak 7 orang setelah data
kompleksitas masalah yang kurang dianggap tersaturasi (jenuh). Pemilihan
untuk dirawat di IGD, dan harapan partisipan disesuaikan dengan tujuan
pasien yang tidak realistis terhadap penelitian dengan kriteria memiliki
peran perawat. Penelitian tersebut belum pengalaman di IGD 3 tahun, pernah
mengeksplorasi terkait caring perawat merawat pasien luka bakar fase
dalam merawat pasien. Pengalaman emergency, sudah tersertifikasi
perawat dalam manajemen luka bakar BLS/BTLS. Peneliti memilah perawat di
pada kondisi gawat darurat, dengan stres IGD berdasarkan tujuan penelitian dan
kerja tinggi, keadaan IGD yang berubah- mendapatkan perawat sejumlah 15 orang

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 15
yang bisa dijadikan partisipan. Jumlah Sub tema pertama adalah
ini kemudian dilakukan inform consent menghampiri secara langsung. Kontak
dan akhirnya mendapatkan jumlah 7 langsung merupakan respon cepat
orang. Setelah mendapatkan persetujuan perawat dalam mengutamakan pasien
dilakukan kontrak selanjutnya berupa ketika menghadapi kondisi pasien
wawancara. Wawancara dilakukan dengan kegawatandarutan. Hal ini
dengan teknik wawancara mendalam didukung oleh pernyataan partisipan
menggunakan panduan wawancara semi sebagai berikut:
terstruktur. Wawancara dilakukan
selama 30-60 menit. Data yang “Terus kita ikut apa namanya,
terkumpul dianalisis menggunakan kita yang terlibat langsung dalam
penanganan disitu
analisis hermeneutics melalui 3 tahapan
serunya....”(P1).
yaitu membca teks secara keseluruhan
dan merumuskan makna yang “Kalau perlu resus, yang perlu
terkandung dalam setiap kalimat resusitasi begitu dating kita
partisipan, melakukan identifikasi langsung tangani dengan
terhadap makna yang berhubungan dan pemeberian cairan, pertama
melakukan interpretasi makna secara sekali pemeberian cairan dua line
biasanya kita pakai itu
keseluruhan temuan yang ada.
pertimbangan untuk mengganti ya
menggantikan cairan yang hilang
HASIL DAN PEMBAHASAN karena luka bakar....”(P2)

Hasil penelitian ini Makna Kutipan diatas merujuk


mendapatkan merawat sebagai seuah bahwa ketika ada pasien kegawatan
perjuangan dibangun dariempat tema pada luka bakar langsung direspon oleh
dalam merawat pasien luka bakar fase perawat dan dilakukan tindakan
emergency. Tema-tema ini anatara lain penyelamatan untuk mengatasi
memiliki kesigapan dalam memberikan permasalahan pasien. Sub tema kedua
perawatan, berkolaborasi menentukan yaiu mengutamakan pelayanan.
keselamatan pasien, melayani dalam Mengutamakan pasien dilakukan dengan
situasi kacau balau, mengalami tekanan memperioritaskan pasien. Perawat
batin dalam bekerja. mengutamakan pasien emergency untuk
mendapatkan respon time penyelamatan
pasien.Hal ini diungkapkan dalam
Tema 1. Memiliki kesigapan dalam pernyataan:
memberikan perawatan
“Kita survey dari airwaynya
Kata kesigapan berarti tangkas kalau sampai mengancam jalan
nafasnya sampai mengalami
atau cepat. Memiliki kesigapanyang
oedem laring itu yg menjadi
dimaksud adalah tangkas atau cepat prioritas”.(P6)
dalam memberikan pelayanan kepada
pasien luka bakar fase emergency. Tema Makna kutipan diatas adalah
memiliki kesigapan dalam memberikan perawat tetap mengutamakan pasien
perawatandibangun oleh beberapa sub luka bakar dengan kegawatan seperti
tema, yaitu; misalnya pasien dengan obstruksi pada
saluran nafas. Sub tema ketiga adalah

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 16
menyadari tanggung jawab perawat.
Partisipan menggambarkan tanggung “Saat itu ada pasien masuk luka
jawab perawat berupa menerima situasi, bakar, ada pasen luka bakar
dengan trauma inhalasi, baru
kesadaran akan tugas dan niat dari
masuk kita tetap lakukan
dalam diri untuk memberikan perawatan pengkajian ABCD, primary
pada pasien luka bakar. Hal ini surveynya” (P4)
diungkapkan dalam pernyataan:
“...memang dari awal kita apa
“....ada sih, ada ada pasti ada namanya, keluhan si pasien,
muncul perasaan terpacu,kayak kalau masih kelihatan bagus,
ada tuntutan gitu dari dalam kalau misalnya memungkinkan
diridari empat pasien itu, kita lakukan pengkajian awal,
sedangkan kita jaga ga ga jadi satu keluhan pasien apa”.
seperti sekarang.” (P2) (P5)
(Pernyataan “kayak ada tuntutan
gitu dari dalam diri” berarti Makna kutipan diatas adalah
sebagai adanya kesadaran akan setiap pasien khusunya pasien luka
tugas dan kewajiban sebagai bakar ketikamasuk IGD pasti dilakukan
seorang perawat.) penilaian terhadap ABCnya. Sub tema
kedua adalah menentukan masalah
Makna kutipan diatas adalah
pasien. Permasalah pada pasien menjadi
perawat merasa bertanggung jawab atas
dasar dalam menentukan prioritas
pasien. Perawat sadar akan tugasnya
perawatan pasien luka bakar. Pernyataan
sebagai perawat merawat pasien dengan
yang mendukung diungkapkan oleh
kegawatan
partisipan:
Tema 4. Berkolaborasi menentukan
Keselamatan Pasien “Penegakan diagnosa
keperawatan kita awal
Kata berkolaborasi berarti yangbiasanya kita tegakkan
adalah diagnosa awal nyeri, pasti
bekrja bersama dan menyelamatkan
pasien nyeri(P5)
berarti membebaskan dari bahaya atau
situasi yang mengancam. Dalam hal ini Makna kutipan diatas adalah
yang dimaksud berkolaborasi perawat juga perlu menentukan masalah
menyelamatkan adalah membebaskan keperawatan pada pasien sebagai
pasien luka bakar dari kegawatdaruratan pertimbangan dalam memberikan
seperti hambatan jalan nafas, sesak, tindakan.
kekurangan cairan yang berisiko terjadi Sub tema ketiga adalah
syok dan penurunan kesadaran.Tema Melaksanakan tindakan kolaborasi
berkolaborasi menentukan keselamatan untuk pasien.Pemenuhan kebutuhan
nyawa pasiendibangun dari emapat sub cairan merupakan bentuk kolaboratif
tema meliputi; pada pasien luka bakar fase emergency
untuk menstabilkan kondisi pasien dan
Sub tema menilai kondisi pasien status hemodinamik pasien.Pernyataan
oleh partisipan diungkapkan melalaui ini didukung ungkapan partisipan:
menilai adanya gangguan pada saluran
nafas, breathing dan sirkulasi. Hal ini “....jadi kita disni memenuhi
kebutuhan cairan pasien, bisa
sesuai dengan ungkapan partisipan:

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 17
juga masalah pada airway atau Tema 5. Melayani dalam Situasi
breathing misal pada luka bakar Kacau Balau
inhalasi”. (P3)
Melayani dalam situasi kacau
“Perannya ya perawat ya balau akibat adanya keterbatasan
bersama berkalobarasi bersama sumberdaya dan waktu memberikan
dokter dan rekan sesama
perawatan pasien luka bakar fase
perawat” (P7)
emergency. Tema melayani dalam
Makna Kutipan diatas situasi kacau balau dijabarkan kedalam
menunjukan bahwa tindakan kolaboratif dua sub tema yaitu;
dalam memenuhi kebutuhan cairan dan Sub tema pertama fokus pada
menjaga kestabilan status hemodinamik tugas bukan pasien. Kondisi bahwa
pasien. Sub tema keempat adalah partisipan lebih banyak menghabiskan
melakukan dokumentasi. Kegiatan waktu untuk menyelesaikan laporan
dokumentasi merupakan bagian dari dokumentasi daripada mengurus atau
kegiatan keperawatan sebagai tanggung merawat pasien. Hal ini didukung oleh
jawab tertulis dalam memberikan ungkapan partisipan:
asuhan keperawatan dalam merawat
pasien luka bakar fase emergency di “....perhatian kan terpecah
jadinya, ndak ndak fokus satu dua
IGD.Pernyataan ini didukung ungkapan
untuk pasiennya jadinya itu aja
partisipan: sih”. (P2)

“....sambil kita mengawasi sambil “Jadi waktu banyak digunakan


kita mendokumentasikan, tapi untuk pendokumentasian, iya
kalau pasien datang, awal pasti gimana soalanya banyak yang
kita yang pasang infus, pasien harus disi, apalagi sekarang
luka bakar apa, luas nya berapa sudah JCI”. (P1)
kita pasti pasang infus,”(P1)
Makna kutipan diatas adalah
“Jadi walaupun di situ basah, fokus perawat menjadi terpecah karena
kotor, tapi saya butuh sedikit
dalam dokumentasi terlalu banyak
ruang untuk menulis,
mendokumentasikan hal-hal menghabiskan waktu. Sehingga waktu
penting tapi setelah itu saya kadang lebih banyak tersita dalam
kembali ke pasien” (P7) mengerjakan dokumen. Sub tema kedua
adalah keterbatasan sumber daya.
Makna kutipan diatas adalah Keterbatasan sumber daya juga menjadi
perawat juga penting melakukan keterbatasan perawat dalam melakukan
pencatatan terhadap segala tindakan perawatan pasien luka bakar fase
yang dilakukan dalam merawat pasien. emergency. Pernyataan ini didukung
Dokumentasi merupakan aspek legal dengan ungkapan partisipan:
perawat dalam merawat pasien luka
bakar. “Mungkin dari segi tenaga
perawat ya, iya tenaga perawat,
sebenarnya kan secara
sistem,sistem ini kan kita adopsi
jadi kan tidak layak memegang 1
perawat memegang pasien
sekian”.(P3)

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 18
petugas dan menyebabkan situasi IGD
“Satu perawat sepuluh atau lebih lebih ramai. Ruangan tidak kondusif
pasien ya, minimal itu, iya itu menyulitkan perawat dalam memberikan
yang sayabilang tidak
perawatan ke pasien. Sub tema kedua
maksimalnya, rasio kita sudah
tidak cocok”. (P5) adalah merasa tidak berdaya. Perasaan
tidak berdaya yang dialami perawat
Makna kutipan tersebut adalah diungkapan oleh partisipan untuk
jumlah tenaga perawat tidak berimbang menggambarkan situasi kerja yang
sehingga meningkatkan beban kerja dan dihadapi dalam merawat pasien luka
tidak dapat optimal merawat pasien bakar fase emergency. Hal ini
karena semua pasien harus tertangani. diungkapkan dalam pernyataan:

Tema 6. Mengalami tekanan batin “Kalau pasien combus itu paling


dalam bekerja tidak ada dua perawat, 1 yang
ambil alat satu lagi di pasien
cepat jadinya ambil tindakan,
Tekanan memiliki arti desakan kadang disaat saat apes itu teman
yang kuat atau keadaan tidak sedang kirim pasien ke itensif
menyenangkan. Melakukan perkerjaan atau kemana gitu datang pasien
dalam tekanan yang dimaksud merawat combustio disitu yang
pasien luka bakar dengan desakan kuat membutuhkan ekstra..”(P2)
atau keadaan yang tidak menyenangkan.
Makna kutipan diatas adalah
Tema melakukan pekerjaan dalam
perawat merasa kewalahan ketika
tekanan dibangun dari limasub tema
menghadapi pasienkegawatan dengan
meliputi;
jumlah tenaga yang sedikit.
Sub tema pertama adalah
merasa susah menghadapi keluarga
Sub tema ketiga adalah
pasien. Kesulitan memberitahukan
meningkatnya beban kerja.Peningkatan
keluarga terkait tata tertib di IGD. Hal
beban kerja diungkapkan partisipan
ini didukung oleh pernyataan partisipan
menggambarkan situasi kerja dengan
sebagai berikut:
tekanan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan pasrtisipan:
“Di IGD di rumah sakit sanglah,
khususnya di GD sanglah selain
penanganan pasien, penanganan “Iya pasti stress kalau situasi
penunggu pasien yang masih krodit.iya kalau saya sendiri sih
sulit, mereka semua, keluarganya biasanya ga ambil pusing”(P5)
kan ikut masuk, tidak bisa diatasi
yaa...”(P1) “Itu capeknya minta ampun
“Keluarganya yang datang merawat bolak balik nyari obat,
semuanya kita tidak bisa larang belum juga pasiennya, kadang
satu persatu buka lis di situ, kan juga ada yang mau berontak,
coment, kadang2 ada yg nulis kadang ada yang mau mukul
anak2, terus ada buka rontegn, gitu”(P4)
terus ada salah masukin mislnya”
(P7) Makna kutipan diatas adalah
merasakan kelelahan ketika merawat
Makna kutipan tersebut adalah pasien kegawatan dan sedang krodit.
keluarga tidak dapat mengikuti instruksi Situasi krodit dapat meningkatkan

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 19
stresor dan beban kerja meningkat berani ga kita masukin cairan
karena jumlah pasien yang banyak. takutnya oedem juga”.(P4)

Makna kutipan tersebut adalah


Sub tema keempat adalah
perawat ada kekhawitran atau keragaun
bekerja tidak efektif. Bekerja tidak
ketika memberikan tindakan ke pasien
efektif yang diungkapkan partisipan
karena tidak mampu menganalisa
akibat situasi IGD yang ramai dan
kondisi pasien akibat situasi kerja yang
adanya penumpukan pasien di IGD. Hal
tidak kondusif.
ini diungkapkan partisipan dengan
pernyataan:
1. Memiliki kesigapan dalam
memberikan perawatan
“....saat ramai kita tidak Memiliki kesigapan dalam
maksimal sekali memberikan
memberikan perawatan merupakan
pelayanan ke pasien” (P2)
upaya untuk memberikan pelayanan
“Kita kan harus sesuai jam, segera untuk mengatasi permasalahan
karena pasiennya membludak, pada pasien luka bakar. Permasalahan
perbedaan jamnya satu jam satu pasien seperti gangguan pernafasan,
jam, kan tidak mungkin kita satu gangguan nafas, sirkulasi dan perubahan
jam....”.(P5)
kesadaran menjadi dasar untuk
Makna kutipan tersebut adalah melakukan prioritas. Pengalaman klinis
perawat tidak dapat efektif memberikan dan pendidikan perawat melandasi
perawatan pasien dengan jumlah yang kemampuan perawat menentukan
banyak karena keterbatasan waktu. kondisi klinis pasien (Bakalis dan
Belum lagi situasi IGD yang ramai yang Watson, 2005; Aloyce at al.,2013).
membuat situasi kerja tidak kondusif. Pengambilan keputusan dalam
Sub tema kelima adalah kurang melakukan prioritas pasien dibutuhkan
mampu menganalisa kondisi keahlian dalam pengkajian dan
pasien.Partisipan mengungkapakan mengambil keputusan. Kemampuan ini
bahwa kurang mampu menganalisa haruslah didukung dengan pemahaman
keadaan pasien akibat banyaknya kondisi pasien, keberanian dan
tekanan dan ruangan tidak kondusif. kesigapan dalam mengambil tindakan.
Berikut pernyataan yang mendukung Perawat IGD dalam mementingkan
ungkapan partisipan tersebut. pasien yang lebih gawat darurat
diharuskan memiliki kemampuan dalam
“....kayak ada pasien masuk yang melaksanakan prosedur triage dengan
sudah grade 2 sudah beberpa baik dan benar (Smith, Lollar,
prosen gitu luas luka bakarnya, Medenhall, Brown, Johnson dan
gitu ada perasaan berhasil tidak, Roberts, 2013). Smith dan Cone (2010)
dalam hati sih berhasil tidak juga menyampaikan pengkajian awal
orang ini....”(P2)
mampu memprioritaskan perawatan
“pasiennya mengalami pasien berdasarkan pengambilan
penurunan sudah masuk keputusan yang tepat. Hal ini bertujuan
resusitasi cairan 3000 memberikan pelayanan yang cepat, tepat
umpamanya, trus outputnya baru dan efektif sesuai dengan prioritas dan
1500, nanti kan disana lagi, kondisi klinis pasien (Janssen,

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 20
Achterberg, Adriaansen, Kampshoff, sekali shif ketika terjadi penumpukan
Schalk dan Groot, 2011). jumlah pasien. Penumpukan jumlah
pasien terjadi karena alur pemindahan
2. Berkolaborasi menentukan pasien tidak berjalan sesuai dengan
keselamatan pasien prosedur. Menurut Domres, Koch,
Berkolaborasi menentukan
Manager, dan Bebecker (2001)
keselamatan pasienluka bakar
menyatakan jumlah tenaga kesehatan
merupakan upaya untuk mengatasi
sebagai sumber daya manusia di IGD
masalah gangguan jalan nafas, nafas,
yang terbatas menjadi masalah umum
sirkulasi, perubahan kesadaran, luka dan
yang ditemukan sehingga tidak dapat
nyeri pasien yang mengancam nyawa
memenuhi kebutuhan pasien yang gawat
pada luka bakar fase emergency. Upaya
atau kritis dan berlebihan. Jumlah pasien
mengatasi masalah ini diawali dengan
yang banyak dan berlebihan disebut
melakukan penilaian, menentukan
overcrowding merupakan masalah
permasalah dan kolaborasi dalam
paling umum di IGD yang memeberikan
memberikan pengobaoatan. Perawat
beban kerja tinggi untuk perawat dan
dalam memberikan perawatan kepada
mempengaruhi kulitas pelayanan (Hoot
pasien luka bakar fase emergency di
dan Aronsky, 2008)
IGD tidak terlepas dari tindakan
kolaboratif. Tindakan kolaboratif
4. Mengalami Tekanan Batin dalam
merupakan tindakan yang secara
Bekerja
bersama-sama dikerjakan oleh tim
Mengalami tekanan batin dalam
kesehatan yang berada di IGD meliputi
bekerja adalah bekerja dengan kondisi
perawat, dokter, dokter spesialis, dan
yang penuh stresor dan tidak kondusif.
farmasi. Tenaga kesehatan termasuk
Tidak kondusif dikarenakan situasi IGD
perawat melakukan kolaborasi untuk
yang ramai dan banyaknya keluarga
dapat memberikan perawatan pasien
pasien di dalam ruang perawatan.
yang terbaik. Upaya kolaborasi juga
Perawat akan menjadi sensitif, mudah
memberikan kesempatan perawat untuk
kesal, pada keluarga pasien dikarenakan
mengadvokasi pasien, berkontribusi
banyak berkunjung ke IGD dan
dalam menentukan keputusan masalah
membuat IGD ramai dan sesak. Menurut
dan solusi perawatan pasien. Proses
Moskop, Skalr, Geideman, Schears dan
diskusi, kerja tim dan koordinasi antara
Bookm (2009) menyatakan bahwa
tim akan menghasilkan keputusan
pelayanan keperawatan gawat darurat
perawatan pasien khusunya pasien luka
merupakan salah satu area yang paling
bakar fase emergency yang terbaik.
sensitif diantara area pelayanan
keperawatan yang lainnya oleh karena
3. Melayani dalam situasi kacau
balau adanya faktor urgency (keadaan yang
Melayani dalam situasi kacau balau mendesak) dan crowding (keadaan yang
akibat memberikan pelayanan dengan penuh sesak dan ramai).
keterbatasan jumlah tenaga perawat dan Peningkatan jumlah pasien dan faktor
fasilitas pendukung perawatan. urgency pada psien luka bakar
Keterbatasan jumlah perawat terjadi menyebabkan ketidakberdayaan perawat
karena rasio perawat dengan jumlah menghadapi situasi itu. Perawat tidak
pasien tidak seimbang. Perawat biasanya dapat memberikan perawatan terbaik
melayani pasien mencapai 1:10 dalam ketika berada situasi tersebut. Hal ini

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 21
karena antara jumlah perawat dan pasien DAFTAR PUSTAKA
tidak imbang. Menurut Eeden (2009)
menyatakan situasi IGD yang sibuk dan Aloyce, R., Leshabari, S., Brysiwwicz,
P. (2013). Assesment of knwladge
banyak aktivitas perawatannya akan
and skill of triage amongst nurses
menyebabkan stress tinggi perawat dan working in emergency centres in
berpengaruh terhadap pelaksanaan Dar es Salaam, tanzania. African
proses keperawatannya. Perawat IGD Journal of Emergency Medicine.
sering terlibat pada kondisi pasien yang http://dx.doi.org/10/1016/j.afjem.
banyak dan melakukan tindakan segera 2013.04.009
apabila kebutuahan pasien telah
Bakalis , N.A dan Watson, R. (2005).
diketahui (Owen at al.,2009).
Nurses’ decicsion making in
clinicalpractice. Art dan Science
reasearch. 19 (23): 33-38
KESIMPULAN DAN SARAN
Bayou, J. Dan Agbenorku, P. (2015).
Tema-tema terbentuk Nurses’ perception and
kemudaian dirangkai untuk expereinces regarding Morphine
usage in burn pain management.
mendapatkan makna umum sehingga
BURNS, 41: 864-871.
mendapatkan tema besar merawat pasien
merupakan sebuah keupasan batin. Bregman, C.L. (2012). Emergency
Situasi IGD yang kurang kondusif nurses' perceived barriers to
membuatperawat tidakmenyerah demonstrating caring when
memberikan perawatan yang terungkap managing adult patients' pain. J
dalam memberikan perawatan optimal. EmergNurs. 38(3): 218-225.
Saran, menginisiasi Rumah Sakit untuk
Bruce, K., dan Suserud, B.O., (2005).
lebih mengoptimalkan ketersedian The Handover Process and Triage
sumberdaya sehingga dapat of Ambulance-Bome Patients:
meningkatkan kualitas layanan Tehe Expereience of Emergency
kesahatan khususnya keperawatan. Nurses. British Association of
Menginisiasi Rumah Sakit untuk Critical Nurses, Nursing in
mencarikan solusi terhadap penumpukan Critical Care, 10(4):201-209
pasien (bad block) di IGD guna
Chen, M. C., Chen, M. H., Wen, B. S.,
mengurangi beban kerja petugas IGD Lee, M. H., Ma, H. (2014). The
dan mengoptimalkan layanan. impact of inhalation injury in
Mengenisiasi perawat untuk dapat patients ith smaal and moderate
secara aplikatif menerapkan Caring burns. BURNS. 40 (8): 1481-1486
pada pasien mengau pada Model Caring
Domres, B., Koch, M., Manger, A.,
Swanson. Bagi peneliti selanjutnya yang
Becker, H. D. (2001). Ethics and
tertarik dengan topik perawatan luka di triage. Prehospital Disaster Med,
emergency melanjutkan penelitian 16:53-8.
sejenis secara kualitatif dengan lebih
menekankan model Caring Swanson Dunne, J. A., Rawlins, J.M. (2014).
dalam memberikan proses keperawatan Management of Burns. Surgery:
Wound Management.32(9): 477-
484

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 22
Eeden, I. E. (2009). Development of A Systematic Review. Open Journal
Nursing Record Tool fo Children of Nursing. 5: 976-986
Ill or Injured patients in An
Accident and Emergency (A7E) Kozier, J., erb., Berman., Snuder.
Units. Disertation. University of (2011). Buku ajar Fundamental
Pretoria Keperawatan Konsep, Proses dan
praktik. Edisi 7 Volume 1. EGC.
Froutan, R., Khankeh, H.R., Fallahi, M., Jakarta p.157,344
Ahmadi, F. & Norouzi, K. (2011).
Pre-hospital burn mission as a Landry, A., Geduld, H., Koyfman, A.,
unique experience: A qualitative dan Foran, M. (2013). An overiew
study. Elsevier. Science Direct. of acute burn managament in the
40(2014): 1805-1812. Emergency Centre. African
Journal of Emergency Medicine,
Gray dan Gavi. (2005). The ABC of 3: 22-29.
community emergency care
assesment and management of Lewis, S. L., Dirksen, S. R.,
neurological problems. Heitkemper, M. M, Bucher, L.,
Emergency Medicine Journal. Camera, I. (2014). Medical-
Emerged Med. J. (22): 440-445. Surgical Nursing: Assessment and
Doi. 10.1136/3mj.2005.026658 Management of Clinical
Problems, 9th Edition. Mosby:
Hoot, N.R. dan Aronsky, D. (2008). Piladelpha
Sytematic review of Emergency
Departement Crowding: Causes, Kabalak, A. & Yasti A. (2012).
Effect and Solutions. Annals of Management of inhalation injury
Emergency Medicine. 52(2): 126- and respiratory complications in
136 Burns intensive care unit.
Available at
Ignatavicius, D. dan Workman, S. www.totalburncare.com/inhalatio
(2006). Medical Surgical ninjury
Nursing: Critical Thinking for
Collaborative Care, 5th. Mosby. Moskop, J.C., Skalr, D.P., Geidemaan,
Philadelpa. J.M., Schears, R.M., dan
Bookman, K.J. (2009).
Jailani, M. (2006). PerawatanTertutup Emergency Departement
pada Luka Bakar. Jurnal Crowding, Part 1, Concepts,
Kedokteran Syiah Kuala, 3 (6). Cause, and Moral Consequences.
Ann Emergency Med. 53(5):605-
Janssen, Maaike AP., Achterberg, Theo 11
van., Adriaansen, Marian JM.,
Kampshoff, Caroline S., Schalk, Murji, A., Gomez, M., Knighton, J.,
Donna MJ., dan Groot, Joke Fish, J. (2006). Emotional
Mintjes-de. (2011). Factors Implication for orking in a burn
influencing the implementation of unit. Journal of Burn Care and
the guideline Triage in emergency Rehabilitation. 21(1): 8-13
departments: a qualitative study.
Journal of Clinical Nursing, O’connel, J.&Grdner, G. (2012).
21(1), 437-447. Developmet of clinical
competencies for emergency
Kalfosss, M., Owe, J. (2015). Emperical nurse practticioners. Australian
Verification of Swanson ‘s caring Nursing Journal. 15: 195-201.
Procces found in Nursing Action:

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 23
Owen, C., hemmings, L., Brown, T. Thygerson, A. (2006). Pertolongan
(2009). Lost in translation: pertama . Edisi kelima. Penerbit
miximizing hand over Erlangga medical saries. Jakarta.
effectivness between paramedics
and Receiving staff in te
emergency departemen. Emerency
medicine Australia. 21:102-107

Pelzang, R. (2010). Time to Learn :


Understanding Patient-Centred
Care. British Journal of Nursing,
19: 912-917

Rafi, F., Oskuin, M., Knighton, J,., Fish,


J. (2006). Caring Behavior of
burn nurses and the related
factors. BURN.83 (3): 299-305

Schneider, J. C., Qu, H. D., Lowry, J.,


Walker, J., Vitale, E., Zona, M.
(2012). Efficacy of inpatient burn
rahabilitation: A prospective pilot
study examining range of motion,
hand function and balance.
BURNS. 38(2); 164-171.

Smith, Anita., Lollar, Jacqueline.,


Mendenhall, Jan., Brown,
Henrietta., Johnson, Pam., &
Roberts, Sarah. (2013). Use of
multiple pedagogies to promote
confidence in triage decision
making: A Pilot study. Journal of
Emergency Nursing, 39(6), 660-
666.

Smith, K., dan Cone, K.J., (2010).


Triage Dicision_Making Skills: A
necessity for All Nurses. Journal
for Nurses and Staff
Development,.26(1): E14-E19

Tonges, M., Ray, J. (2011). Translating


Caring Theory Into practise : the
carolina Care Model. The Journal
of Nursing Administration. 41
(9):374-381

Toode, K., Routasalo, P., Soumine, T.


(2011). Work motivation of nurse:
A literature review. Interenational
Journal of Nursing Studies, 48;
246-257

Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien Luka Bakar Fase Emergency di Instalasi
Gawat Darurat RSUP Sanglah 24

Anda mungkin juga menyukai