Anda di halaman 1dari 16

VIHARA DAN PLURALISME

PADA MASA JAWA KUNA ABAD VIII – XI MASEHI


(Tinjauan Data Prasasti)1

VIHARA AND PLURALISM IN ANCIENT JAVA, 8TH – 11TH


AD. (Study on Inscriptions)
Agni Sesaria Mochtar
Balai Arkeologi Yogyakarta
agnimochtar@yahoo.co.id

ABSTRACT
The era of reformation in Indonesia was supposedly articulated with the pluralism of the
society. Sadly, many cases regarding religious and ethnic conflicts pronounced the opposite,
whereas pluralism and religious tolerance were two of the main characters of the nation since the
days of the ancestors. The legacy of those two characters is actually able to be observed through
cultural heritage, as a messenger from the past. This study examines one aspect of the practice of
religious tolerance, which recorded in the ancient inscriptions from 8th to 11th AD., which
selected through purposive sampling procedure. The aforementioned aspect was regarding the
important role of ancient vihāra as a symbol of religious tolerance in society. Such role was the
impact of its functions, which are different with today’s modern function. This information on the
function and role of the vihāra in ancient Java is provided to support modern Indonesian society
to understand their material cultural heritage.

Keywords: vihāra, ancient Java, inscription

ABSTRAK
Semangat pluralisme yang didengungkan sebagai nafas era reformasi pada kenyataannya
justru berbanding terbalik dengan munculnya konflik-konflik agama dan etnis di beberapa daerah
di Indonesia. Padahal, pluralisme dan toleransi antar umat beragama telah menjadi karakter bangsa
ini sejak masa nenek moyang. Pelajaran tentang toleransi tersebut sesungguhnya dapat diperoleh
melalui pemahaman tentang tinggalan budaya yang sebenarnya merupakan pembawa pesan dari
masa lalu. Penelitian ini menelusuri bentuk-bentuk toleransi beragama yang terekam di dalam
prasasti-prasasti masa Jawa Kuna dari abad VIII-XI M. Berdasarkan sumber prasasti yang dipilih
dengan teknik purposive sampling, diperoleh gambaran tentang vihāra sebagai salah satu institusi
yang memiliki peran penting sebagai simbol toleransi beragama dalam masyarakat. Hal tersebut
tidak terlepas dari fungsi vihāra di dalam masyarakat pada masa tersebut, yang berbeda dengan
pemahaman masyarakat modern tentang fungsinya saat ini. Penyajian informasi tentang fungsi dan
peran vihāra pada masa Jawa Kuna merupakan salah satu upaya agar masyarakat modern lebih
memahami pentingnya tinggalan budaya materi warisan nenek moyang kita.

Kata kunci: vihāra, Jawa Kuna, prasasti.

Tanggal masuk : 12 Maret 2015


Tanggal diterima : 02 November 2015

1
Artikel ini disusun berdasarkan bagian kecil dari skripsi sarjana Jurusan Arkeologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (2009) yang telah direvisi dengan
referensi-referensi baru.

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 117
(Agni Sesaria Mochtar)
PENDAHULUAN mendalam untuk menggali pokok-
pokok pelajaran penting yang
Berbagai kasus kekerasan diwariskan nenek moyang bangsa
terhadap suatu umat beragama Indonesia melalui tinggalan-tinggalan
tertentu oleh umat beragama lainnya budaya materi tersebut.
hingga saat ini masih sering ditemui Hal ini juga diperparah dengan
dalam masyarakat Indonesia kurangnya publikasi tentang berbagai
(Sudjangi 2002; Tim Puslitbang hasil penelitian arkeologi sehingga
Kehidupan Beragama 2006; Tim masyarakat kesulitan untuk
Peneliti 2001). Toleransi beragama memperoleh sumber-sumber
nampaknya masih terbatas pada informasi yang dapat membantu
bagian dari semboyan Bhinneka mereka dalam memahami tinggalan
Tunggal Ika, tanpa dihayati secara budayanya secara lebih mendalam.
menyeluruh dalam kehidupan sehari- Publikasi yang ada dari beragai hasil
hari. Kemajemukan bangsa ini belum penelitian pun masih didominasi oleh
sepenuhnya dipandang sebagai literatur berbahasa asing. Tentunya
sebuah kekayaan bersama, justru hal ini sedikit banyak memberikan
seringkali menjadi topik sensitif yang hambatan pada keluasan distribusi
mudah untuk diprovokasi menjadi informasi kepada masyarakat.
konflik. Kondisi tersebut salah Salah satu agama tertua di
satunya dikarenakan belum banyak Indonesia adalah agama Buddha,
masyarakat modern yang yang saat ini justru menjadi agama
menghargai sejarah panjang bangsa minoritas. Agama Buddha dalam
ini. Padahal, sejarah bangsa beberapa tahun terakhir ini telah
merupakan faktor penting pembentuk menjadi perhatian banyak pihak
jati diri bangsa Indonesia yang karena perayaan hari raya Waisak
mampu menunjukkan ciri khas yang dilaksanakan dengan megah
kekuatan dan keunikan kita di antara setiap tahunnya di Candi Borobudur.
bangsa-bangsa lain. Kurangnya Peristiwa tersebut selalu menyedot
pemahaman terhadap sejarah kedatangan pengunjung dalam
menjadikan banyak anggota jumlah besar dari berbagai lapisan
masyarakat cenderung untuk dan golongan masyarakat. Peristiwa
mengaplikasikan pola-pola pemikiran itu seolah dapat menjadi sarana
modern yang belum tentu sesuai untuk membina toleransi antar umat
dengan konteks kebudayaan beragama. Akan tetapi, tetap saja
Indonesia. terjadi tindak-tindak kekerasan
Kurangnya apresiasi terhadap terhadap para umat Buddha.
sejarah bangsa salah satunya Peristiwa pemboman vihāra Ekayana
ditunjukkan dengan masih sedikitnya di Jakarta pada tahun 2013
minat masyarakat luas terhadap (Kompas.com 2013) menjadi salah
tinggalan-tinggalan budaya materi satu contohnya. Lebih mengejutkan
dari masa lampau. Berbagai lagi ketika diketahui ada rencana
tinggalan budaya materi sejauh ini untuk meledakkan sejumlah vihāra
masih sebatas dijadikan objek wisata lainnya di Indonesia oleh kelompok
minat khusus. Meskipun ketertarikan teroris yang mengatasnamakan
masyarakat untuk berwisata budaya agama tertentu (Kompas.com 2014).
merupakan langkah awal yang baik Potensi terwujudnya toleransi
untuk menumbuhkan kecintaan beragama yang ditunjukkan dalam
terhadap sejarah bangsa, masih perayaan hari raya Waisak tersebut
diperlukan pemahaman yang lebih sebenarnya dapat dirunut hingga

118 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


jauh ke belakang melalui kajian bihāra, maupun wihāra. Penelusuran
terhadap tinggalan-tinggalan budaya mendalam tentang fungsi dan peran
materi. vihāra dalam masyarakat pada masa
Pada masa Jawa Kuna vihāra tersebut dilakukan dengan metode
memiliki peran yang penting dalam deskriptif berdasarkan perbandingan
masyarakat. Selain sebagai pusat dengan berbagai literatur. Melalui
beribadatan agama Buddha, vihāra kajian ini dapat diperoleh gambaran
juga menjadi simbol toleransi tentang definisi dan fungsi asli vihāra
beragama pada masa tersebut. pada masa Jawa Kuna dan peranan
Beberapa penelitian tentang vihāra pentingnya bagi toleransi beragama
masa Jawa Kuna telah dilakukan dalam masyarakat serta
sebelumnya seperti oleh Pinardi menginformasikan tentang
(1984), yang mengemukakan perkembangan agama Buddha di
pendapatnya tentang fungsi Situs Indonesia. Hal ini dilakukan agar
Ratu Boko sebagai vihāra Buddhis. tercipta pemahaman yang lebih baik
Pendapat yang sama juga dalam masyarakat modern tentang
diungkapkan oleh Miksic (1994, 23- masing-masing agama yang ada di
31), Sundberg (2004, 95-123) dan Indonesia sebagai dasar untuk
Degroot (2006, 55-74) yang secara menumbuhkan toleransi beragama
lebih jauh melakukan perbandingan yang seutuhnya.
antara Situs Ratu Boko dengan
Abhayagirivihāra di Sri Lanka. Akan METODE PENELITIAN
tetapi, penelitian terhadap tinggalan
bangunan vihāra tidak mudah untuk Data yang digunakan dalam
dilakukan karena jumlahnya sangat kajian ini adalah prasasti, yaitu
sedikit. Dalam hal ini kajian prasasti artefak bertulis dari masa lalu yang
menjadi penting. Beberapa kajian dipahatkan pada logam, batu, tanah
tentang vihāra melalui data prasasti liat, atau pun kayu (Soetanti 1996,
pernah dilakukan oleh Kusen (1989) 172). Pembacaan atas isi prasasti
dan Darmosoetopo (2003). Kusen dilakukan melalui hasil transkripsi
(1989) membahas dengan detil dan transliterasi dari prasasti-prasasti
bihāra i Pikatan dalam kaitannya dari masa Jawa Kuna yang telah
dengan perubahan status sawah di disusun oleh Christie (2000; 2002;
Wanua Tengah pada masa 2004), Sarkar (1972), dan Brandes
pemerintahan raja-raja Mataram (1913). Dalam perspektif arkeologi
Kuna abad VIII-X M berdasarkan data tersebut termasuk dalam
Prasasti Wanua Tengah III. Akan kategori data sekunder karena sudah
tetapi, tidak disebutkan vihāra-vihāra merupakan kajian atas artefak asli
lainnya di Jawa. Sementara prasasti. Masa Jawa Kuna dipilih
Darmosoetopo (2003) membahas karena dianggap menjadi pusat
kaitan antara sīma dengan bangunan perkembangan kebudayaan yang
keagamaan pada abad IX-X M. Di mendapat pengaruh baik agama
dalam tulisan tersebut vihāra hanya Hindu maupun Buddha, sehingga
dibahas sebagai salah satu dapat menggambarkan masyarakat
bangunan keagamaan, sehingga yang heterogen. Abad VIII dijadikan
pembahasannya tidak mendalam. batas bawah rentang waktu
Kajian yang disajikan dalam penelitian karena pada abad-abad
tulisan ini mencakup seluruh prasasti sebelumnya sangat sedikit prasasti
dari masa Jawa Kuna pada abad VIII- yang ditemukan. Sementara abad XI
XI M yang menyebut kata vihāra, dijadikan batas atas karena setelah

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 119
(Agni Sesaria Mochtar)
abad tersebut masyarakat Jawa HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuna mulai mengenal bentuk
sinkretisme budaya antara Hindu dan Sejarah Agama Buddha di
Buddha sehingga sulit untuk Indonesia
diperoleh batasan-batasan yang jelas
antara agama Hindu dan Buddha. Agama Buddha awalnya
Prasasti dari masa Jawa Kuna merupakan sebuah filosofi hidup
yang telah ditemukan hingga saat ini yang muncul pada abad ke-6 SM di
berjumlah ratusan. Penentuan daerah Nepal. Filosofi tersebut
prasasti yang digunakan sebagai dicetuskan oleh Śakyamuni
data penelitian ini dilakukan dengan Gautama, yang kemudian dikenal
teknik purposive sampling agar sebagai Sang Buddha, setelah
diperoleh prasasti yang berkaitan berhasil mencapai pencerahan.
dengan vihāra. Pemilahan dilakukan Filosofi tersebut diajarkan oleh Sang
dengan cara membaca cepat seluruh Buddha dalam bentuk dharmma
transkripsi dan transliterasi yang (ajaran Buddha). Inti ajaran dharmma
telah disebutkan di atas dan dipilih adalah pelepasan diri dari sengsara
dengan kriteria menyebut kata vihāra, karena terlahirkan kembali (samsara)
bihāra, atau wihāra. Perbedaan huruf dan mencapai tingkat terbebas dari
awal v, b, dan w dianggap sebagai siklus reinkarnasi (nirvāna). Ajaran
gejala fonologi yang tidak Sang Buddha tersebut kemudian
mempengaruhi arti kata. Berdasarkan tersebar luas ke berbagai daerah.
teknik tersebut diperoleh 21 prasasti Setelah sampai di India filosofi hidup
berbahan batu dan logam yang tersebut berkembang, dan kemudian
memenuhi kriteria. Prasasti masa pada sekitar abad I SM berubah
Jawa Kuna masih menggunakan menjadi sebuah doktrin religius dan
pertanggalan tahun Saka. Konversi menempatkan Sang Buddha pada
pertanggalan ke dalam tahun Masehi posisi dewa seperti dewa-dewa
mengikuti hasil penghitungan Christie dalam pantheon Hindu (Louis 1995,
(2000; 2002; 2004) dan Damais 17). Para pemeluk agama Buddha
(1952). Sementara prasasti-prasasti terdiri dari golongan agamawan, yaitu
yang belum masuk dalam daftar para bhiksu/bhiksuni dan golongan
keduanya dikonversi dengan cara awam yaitu para upāsaka/upāsika
menambahkan 78 tahun dari angka (Robinson dan Johnson 1977, 56).
tahun Saka yang terdapat pada Para bhiksu adalah orang-orang yang
prasasti. Seluruh prasasti yang telah meninggalkan masyarakat ramai dan
dipilih kemudian diterjemahkan ke keduniawian, hidup bersama dalam
dalam bahasa Indonesia. Kutipan- biara, serta menjalankan daçaçila.
kutipan yang memuat informasi Para upāsaka/upāsika adalah orang-
tentang fungsi dan peran vihāra orang yang hidup sebagai anggota
dianalis dan dibandingkan dengan masyarakat biasa. Perkumpulan para
hasil-hasil penelitian sebelumnya bhiksu disebut saṅgha (Soekmono
untuk memperoleh gambaran utuh 1973, 22). Para pemeluk agama
tentang eksistensi vihāra pada Buddha harus memiliki kepercayaan
masyarakat Jawa Kuna abad VIII – XI kepada Triratna yang terdiri dari
M. Buddha, Dharmma, dan Saṅgha
(Robinson dan Johnson 1977, 56).
Agama Buddha datang ke
Indonesia pada abad V M (Damais
1995, 85). Pada masa yang kurang

120 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


lebih bersamaan agama Hindu juga Selain bukti-bukti arkeologis,
masuk ke Indonesia seperti terlihat kedatangan agama Buddha ke
pada prasasti Kutai dan Ciampea Indonesia juga dapat ditelusuri dari
(Griffith 2014, 53). Kedua agama beberapa berita Cina. Seorang
tersebut membawa pengaruh besar bhiksu Tionghoa bernama Fa-Hsien
terhadap kehidupan masyarakat saat menyebutkan bahwa seorang
itu, khususnya masyarakat Jawa pangeran di Kashmir menjadi bhiksu
Kuna. Agama Buddha yang masuk dan tinggal di Sri Lanka. Sekitar abad
ke Indonesia pertama kali V M, pangeran yang telah menjadi
diperkirakan adalah aliran Buddha bhiksu tersebut pergi ke Cho-p’o.
Hīnayāna yang dibawa oleh bhiksu Dengan pertolongan ibu suri seorang
dari Sri Lanka. Bhiksu dari India raja yang memerintah di Jawa, ia
datang ke Indonesia pada masa yang berhasil menyebarkan Buddhisme
lebih kemudian dengan membawa Hῑnayāna dari aliran
aliran Buddha Mahāyāna. Mulasarwatiwada-Nikaya
Bukti tertua keberadaan (Kandahjaya 2004, 43). Berita Cina
Buddhisme di Indonesia ditemukan di lainnya, ditulis oleh I-tsing,
pantai utara Jawa Barat, yaitu di situs menyebutkan bahwa seorang guru
Batujaya yang berupa tsa tsa Tionghoa bernama Hwui-Ning datang
(Manguin & Agustijanto 2011, 113- ke Jawa pada tahun 664/665 M. Ia
18). Tsa tsa adalah votive tablet yang tinggal di Jawa selama tiga tahun dan
memiliki relief Dhyanibuddha bekerjasama dengan Joh-na-po-t’o-lo
Amitabha. Tsa tsa tersebut (Jnanabadra) menerjemahkan kitab
diperkirakan berasal dari sekitar abad agama Buddha Hinayana. Catatan I-
VI – VII M karena memiliki kesamaan tsing juga menceritakan tentang
dengan yang ditemukan Dwarawati, agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya
Thailand (Indradjaja 2005, 54). Bukti yang merupakan pusat kebudayaan,
tertua kedua adalah sebuah prasasti peradaban, dan ilmu pengetahuan
batu yang ditemukan di Dusun agama Buddha aliran Mahāyāna.
Tekarik, Kalimantan Barat. Prasasti Bhiksu-bhiksu yang datang ke
ini ditemukan di daerah aliran Sungai Sriwijaya mendapat tempat khusus
Kapuas. Prasasti ini bergambar tujuh dan sangat dihormati oleh penguasa
buah stūpa yang dipahatkan pada dan rakyat Sriwijaya. Bhiksu-bhiksu
sebuah batu besar. Pada setiap tersebut tinggal dalam waktu yang
stūpa dan di antara stūpa ketiga dan lama untuk mempelajari agama
keempat terdapat tulisan mantra Buddha, termasuk I-tsing. Ia
Buddhis. Berdasarkan analisis mempelajari tata bahasa sanskṛta
paleografi, prasasti tersebut berasal dan menterjemahkan kitab-kitab suci
dari abad VI – VII M (Utomo 2007, agama Buddha dari bahasa sanskṛta
10-11). Bukti tertua ketiga ditemukan ke bahasa Cina (Utomo 2007, 12).
di Sulawesi Barat, berupa arca Berita Cina yang lain menyebutkan
Buddha dari perunggu yang bergaya bahwa Dharmapala yang berasal dari
Amarāvati. Sebelumnya arca ini Kanci dan mengajar di Universitas
diperkirakan dari sekitar abad II-V M Nālandā, juga mengajar Buddha
(Utomo 2007, 12) dan dianggap Mahāyāna di Swarnnadwipa. Berita
sebagai artefak bercorak Buddhis Cina tersebut juga menyebutkan
tertua di Indonesia, tetapi penelitian bahwa Dharmapala tiba di
terbaru menyebutkan bahwa arca ini Swarnnadwipa lima puluh tahun lebih
tidak lebih tua dari abad VIII M (Guy dulu daripada I-Tsing (Utomo 2007,
2014, 8). 13).

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 121
(Agni Sesaria Mochtar)
Dinamika Keberadaan Vihāra Pada the monks, (is) known as vihāra...”.
Masa Jawa Kuna Abad VIII-XI M Sejalan dengan Brown, Liebert
(1976, 337) juga menyebutkan vihāra
Vihāra saat ini dipahami oleh sebagai “monastery”. Soekmono
masyarakat masa kini sebagai (1974, 118), berdasarkan prasasti
tempat peribadatan pemeluk agama Kalasan, mengartikan vihāra sebagai
Buddha yang identik dengan sebutan untuk keseluruhan gugusan
klenteng. Akan tetapi, agama Buddha bangunan yang terdiri dari kuil dan
sekarang ini telah mengalami asramanya. Zoetmoelder (2004,
percampuran dengan unsur 1431) mengartikan vihāra sebagai,
kepercayaan Konghuchu. Vihāra “biara atau candi, yang aslinya
dalam konteks ini berfungsi sebagai merupakan serambi tempat para
pusat kegiatan agama dan pendeta berkumpul atau berjalan-
kebudayaan. Kegiatan yang diadakan jalan”. Sementara Kusen (1989, 55)
di dalam vihāra adalah berdoa, mendefinisikan vihāra sebagai
bermeditasi, dan membaca paritta “tempat tinggal atau tempat
(Chodron 1995, 44). Namun, jauh persinggahan para pendeta agama
sebelum terbentuknya definisi Buddha (bhiksu) dan juga tempat
berdasarkan keadaan masa para bhiksu tersebut berkumpul dan
sekarang sebenarnya vihāra memiliki mendiskusikan hal-hal yang
definisi asli yang berbeda. Beberapa berhubungan dengan agama”.
ahli telah Akan tetapi, agama Buddha Pertama, agar para bhiksu memiliki
sekarang ini telah mengalami tempat yang aman dan damai untuk
percampuran dengan unsur bermeditasi. Kedua, agar orang-
kepercayaan Konghuchu. Vihāra orang terpelajar dapat tinggal di sana
dalam konteks ini berfungsi sebagai untuk memperdalam ilmunya
pusat kegiatan agama dan (Sankhalia 1934, 29).
kebudayaan. Kegiatan yang diadakan Keberadaan vihāra pada masa
di dalam vihāra adalah berdoa, Jawa Kuna saat ini sulit ditelusuri
bermeditasi, dan membaca paritta jejaknya melalui ting galan bangunan
(Chodron 1995, 44). Namun, jauh monumental karena jumlahnya yang
sebelum terbentuknya definisi sedikit. Hanya double platform di
berdasarkan keadaan masa Kompleks Ratu Boko dan Candi Sari
sekarang sebenarnya vihāra memiliki yang masih bisa diamati dengan
definisi asli yang berbeda. Beberapa jelas. Akan tetapi, keberadaan vihāra
ahli telah mengemukakan pendapat masih dapat ditelusuri dari prasasti.
tentang definisi vihāra. Percy Brown Pada kurun waktu dari abad VIII
dalam Soekmono (1974, 118) hingga abad XI M, terdapat 21
menyebutkan, “...the monastery prasasti yang menyebutkan tentang
proper, an arragement of vihāra, seperti terlihat pada tabel di
appartments for the accomodation of bawah ini.

122 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


Tabel 1. Daftar prasasti-prasasti tentang vihāra abad VIII-XI M
NO NAMA PRASASTI TAHUN(M) NAMA VIHĀRA DAERAH SĪMA

Kalasan 778 Vihāra i Kalasa Wanua Kalasa


1..
Abhayagirivihāra 792 Vihāra Abhayagiri Tidak disebutkan
2.
Kayumwungan 824 Vihāra Tidak disebutkan
3.
Abhayananda 826 Wihāra Abhayananda Sawaḥ 4 tampaḥ
4.
Kuṭi 840 Kuṭi Lmaḥ Waharu
5.
Sawaḥ i wanua
Wayuku 854 Wihāra Abhayananda
6. Wayuku
Wihāra 874 Wihāra Tidak disebutkan
7.
Salimar IV 880 Wihāra i Kandang Tidak disebutkan
8.
Kalirungan 883 Wihāra i Kalirungan Wanua Kalirungan
9.
Munggu Antan 887 Wihāra i Gusali Wanua Munggu Antan
10.
Wihāra waitanning
Poh 905 Wanua Wrang
11. hawan
Palepangan 906 Bihāra ing Pahai Wanua Srāngan
12.
Wihāra i Hujung
Sangsang 907 Wanua Sangsang
13. Galuh
Wanua Wukajana,
Wukajana - Bihāra i Dalinan
14. Tumpang, Wuru Tlu
Guntur 907 Wihāra i Garung Wanua Guntur
15.
Wanua Tengah III 908 Bihāra i Pikatan Sawaḥ i wanuaTngah
16.
Wutit - Sang Hyang Wihāra Wanua Wutit
17.
Piling- Piling - Wihāra? Tidak disebutkan
18.
Wurudu Kidul A 922 Wihāra i Halaran Tidak disebutkan
19.
Hara-Hara 966 Sang Hyang Kuṭi Sawaḥ
20.
Kelagěn 1037 Wihāra Tidak disebutkan
21.
(Sumber : Mochtar 2009, 88)

Berdasarkan informasi tentang penetapan sῑma vihāra.


vihāra yang disebutkan dalam teks- Prasasti yang termasuk
nya, prasasti-prasasti tersebut dibagi kelompok ini adalah prasasti
dalam tiga kelompok, yaitu: Kalasan 778 M, prasasti
1. Kelompok prasasti tentang Abhayagirivihāra 792 M,
pendirian vihāra dan prasasti Kayumwungan

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 123
(Agni Sesaria Mochtar)
(Karang Tengah) 824 M, Buddhisme tersebut, tidak ada
prasasti Wayuku 854 M, penganut Buddhisme di dalam
prasasti Kalirungan 883 M, masyarakat Jawa Kuna. Seperti
prasasti Sangsang 907 M, tertulis pada prasasti Wanua Tengah
prasasti Wukajana, prasasti III (908 M),vihāra i Pikatan didirikan
Wanua Tengah III 908 M, dan oleh rahyangta i Hara, adik rahyangta
prasasti Hara-Hara 966 M. i Mḍang (Kusen 1989, 69), yang ada
sebelum masa pemerintahan Rakai
2. Kelompok prasasti tentang Panangkaran. Hal ini memberikan
penetapan sῑma untuk vihāra. bukti bahwa sebelum Rakai
Prasasti yang termasuk Panangkaran sudah ada penganut
kelompok ini adalah prasasti Buddhisme.
Abhayananda 826 M, prasasti Pada abad VIII M (lihat tabel 1.)
Kuṭi 840 M, prasasti Wihāra terdapat dua prasasti yaitu prasasti
874 M, prasasti Munggu Kalasan 778 M, dan prasasti
Antan 887 M, dan prasasti Abhayagirivihāra 792 M yang
Wutit. menyebut keberadaan vihāra. Pada
abad IX M terdapat delapan vihāra
3. Kelompok prasasti yang tidak yang terekam dalam prasasti, yaitu
menyebutkan vihāra sebagai prasasti Kayumwungan 824 M,
isi pokok, tetapi pada bagian prasasti Abhayananda 826 M,
daftar saksi atau daftar prasasti Kuṭi 840 M, prasasti Wayuku
pejabat penerima pasěk- 854 M, prasasti Wihāra 874 M,
pasěk disebutkan kata vihāra prasasti Salimar IV 880 M, prasasti
di dalamnya. Prasasti yang Kalirungan 883 M, dan prasasti
termasuk kelompok ini adalah Munggu Antan 887 M. Pada abad X
prasasti Salimar IV 880 M, M terdapat sepuluh vihāra yang
prasasti Poh 905 M, prasasti terekam pada prasasti, yaitu prasasti
Palepangan 906 M, prasasti Poh 905 M, prasasti Palepangan 906
Guntur 907 M, prasasti Piling- M, prasasti Sangsang 907 M,
piling, prasasti Wurudu Kidul prasasti Wukajana (abad X M),
A 922 M, dan prasasti prasasti Wutit (abad X M), prasasti
Kelagěn 1037 M. Piling-Piling(abad X M), prasasti
Wurudu Kidul A 922 M dan prasasti
Hampir seluruh prasasti yang Hara-Hara 966 M. Pada abad XI M
menyebut kata vihāra dalam kurun terdapat sebuah vihāra yang terekam
VIII-XI M berangka tahun. Dari angka pada prasasti, yaitu prasasti Kelagěn
tahun tersebut dapat menunjukkan 1037 M. Dengan demikian dapat
dinamika keberadaan vihāra pada diketahui adanya pertambahan
masa Jawa Kuna abad VIII-XI M. jumlah vihāra pada kurun waktu abad
Sebelum abad VIII M, tidak VIII – IX M dari dua ke delapan buah.
ditemukan prasasti yang menyebut Pada abad X M jumlah vihāra
vihāra. Hal ini tampaknya dapat bertambah menjadi sepuluh buah.
dikaitkan dengan peristiwa sejarah Akan tetapi, pada abad XI M jumlah
tentang kepindahan Rakai vihāra yang tersebut dalam prasasti
Panangkaran dari penganut Hindu mengalami penurunan. Perlu
menjadi Buddhis yang terjadi pada dikemukakan bahwa jumlah vihāra
abad VIII M. Meskipun demikian, yang diketahui adalah vihāra yang
tidak berarti bahwa sebelum terekam dalam prasasti. Oleh karena
kepindahan Rakai Panangkaran ke itu, tidak ditolak kemungkinan masih

124 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


Gambar 1. Prasasti Kalasan 778 M
Sumber: repro Bosch

Gambar 2. Prasasti Munggu Antan 887 M, Koleksi Museum Nasional D. 93


Sumber: Dokumentasi penulis, 2008

terdapat vihāra-vihāra lainnya di diasumsikan bahwa jumlah bhiksu


Jawa yang tidak terekam dalam paling banyak adalah pada abad X
prasasti. M, sehingga dapat disimpulkan pula
Dinamika keberadaan vihāra bahwa Buddhisme di Jawa Kuna
tersebut menunjukkan bahwa puncak mengalami puncak perkembangan
keberadaan vihāra pada masa Jawa pada abad X M. Menarik untuk
Kuna terjadi pada abad X M, yang diperhatikan adalah bahwa data dari
ditunjukkan dengan jumlah vihāra prasasti tersebut menunjukkan
yang paling banyak, yaitu sepuluh kondisi yang berbeda dengan
vihāra. Dengan demikian dapat penelitian tentang Buddhisme yang

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 125
(Agni Sesaria Mochtar)
telah dilakukan sebelumnya. dapat dirunut melalui sejumlah
Casparis (1965, 187-191), prasasti tentang vihāra pada masa
berdasarkan analisis terhadap isi Jawa Kuna abadVIII-XI M. Menurut
prasasti Plaosan Lor, beberapa definisi yang telah
mengungkapkan bahwa Buddhisme dikemukakan sebelumnya, vihāra
Mahāyāna mencapai puncak dianggap hanya berfungsi untuk
perkembangannya pada pertengahan aktivitas religius saja. Hal tersebut
abad IX M. Demikian pula perkiraan diperkuat dengan isi prasasti Kalasan
umur candi-candi Buddhis periode 778 M, Abhayagirivihara 792 M, dan
Jawa Tengah. Dumarcay dalam Kayumwungan 824 M yang
Prajudi (1999, 124) menyebutkan memberikan gambaran tentang peran
bahwa candi-candi Buddhis tersebut vihāra sebagai menjadi pusat
seperti Candi Borobudur, Candi aktivitas pemujaan dan penyebaran
Mendut, Candi Pawon, dan Candi ajaran-ajaran agama Buddha oleh
Banyunibo, diperkirakan didirikan para bhiksu yang terpelajar. Akan
pada sekitar abad IX M. tetapi, dalam prasasti jayapattra

Gambar 3. Peta Persebaran Vihāra Pada Masa Jawa Kuna Abad VIII-XI M
Sumber: Mochtar 2009, 133
Vihara Sebagai Simbol Toleransi Wuruḍu Kidul A 922 M diperoleh
Beragama informasi bahwa vihāra juga terlibat
dalam proses penetapan hukum,
Masyarakat Jawa Kuna yaitu sebagai saksi yang
merupakan masyarakat plural yang meneguhkan keputusan hukum
hidup dengan corak kebudayaan terhadap seseorang.
Hindu dan Buddha. Kedua agama Peran vihāra dalam aspek non-
tersebut, sejauh penelitian yang telah religi masyarakat juga dapat
dilakukan hingga kini, dapat ditelusuri dari daftar raja-raja yang
berdampingan secara damai sejak menetapkan sῑma untuk vihāra atau
abad V M sampai abad XVI M. menganugrahkan hak menetapkan
Toleransi kedua agama tersebut sῑma untuk vihāra kepada pejabat

126 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


tertentu. Darmosoetopo (2003, 93) Siva (rudra murti). Raja-raja yang
mendefinisikan sῑma sebagai berikut: beragama Hindu tersebut ternyata
juga menetapkan sῑma untuk vihāra
“Sῑma bukan berkaitan dengan atau menganugrahkan hak
hasil tanahnya, melainkan menetapkan sῑma untuk vihāra. Rakai
menyangkut pajak dan Kayuwangi menetapkan sῑma untuk
kewajiban penduduk yang vihāra di Kalirungan yang merupakan
bertempat tinggal di tanah dharmma Rake Hamēas Pu Tatu.
sῑma. Perubahan yang terjadi Rakai Watukura Dyah Balitung
ialah bila sebidang tanah telah mengembalikan status sawah di
dijadikan sῑma, pajak dan Wanua Tengah sebagai sῑma vihāra
kewajiban penduduk yang di Pikatan. Ia juga menganugrahkan
biasanya diserahkan semuanya hak menetapkan sῑma kepada Pu
kepada raja atau pejabat tinggi Layang untuk menetapkan sῑma bagi
kemudian diubah, yaitu vihāra di Hujung Galuh dan di
sebagian diserahkan kepada Dalinan.
bangunan keagamaan yang Alasan para raja Hindu tersebut
mendapat tunjangan tanah menetapkan sῑma untuk sebuah
sῑma.” vihāra dapat bervariasi.
Kemungkinan, alasan tersebut
Raja-raja tersebut terdiri atas adalah untuk menunjukkan
Rakai Panangkaran, penghormatan kepada penganut
Dharmotunggadewa, Samara-tungga, Buddhisme agar dapat
Rakai Kayuwangi, Rakai melaksanakan pemujaan dengan
Gurunwangi, dan Rakai Watukura baik. Namun, tidak ditutup
Dyah Balitung. Rakai Panangkaran, kemungkinannya bahwa terdapat
Dharmotunggadewa, dan alasan politis yang melatarinya.
Samaratungga adalah raja-raja yang Seorang raja yang ingin menguasai
beragama Buddhis. Prasasti Kalasan wilayah yang besar, perlu mengambil
778 M, Prasasti Abhaya-girivihāra simpati dari semua golongan. Apabila
792 M, dan Prasasti Kayumwungan raja tersebut, seperti halnya Rakai
824 M merupakan bukti kuat bahwa Kayuwangi dan Rakai Watukura
raja-raja tersebut beragama Buddhis, Dyah Balitung, beragama Hindu,
jadi tidaklah mengherankan apabila maka tidak sulit untuk memperoleh
mereka mendirikan vihāra Buddhis. dukungan dari golongan pendeta
Menurut Prasasti Siwagṛha 856 Hindu. Akan tetapi, diperlukan upaya
M, Rakai Kayuwangi adalah anak untuk mendapat dukungan dari
Rakai Pikatan. Oleh karena itu, golongan rokhaniwan Buddhis yang
kemungkinan besar ia beragama tidak kalah penting perannya dengan
Hindu (Kusen 1989, 89). Rakai pendeta Hindu. Cara yang ditempuh
Gurunwangi merupakan tokoh raja adalah dengan memberikan anugrah
yang sulit identifikasi agamanya sῑma bagi vihāra Buddhis.
karena hanya memerintah kurang Alasan politis yang
dari sebulan dan hanya dikemukakan, dilakukan pada masa
mengeluarkan satu prasasti (Kusen Rakai Watukura Dyah Balitung,
1989, 92). Rakai Watukura Dyah karena ia diperkirakan naik tahta
Balitung beragama Siwa, karena perkawinan, bukan karena
sebagaimana ditegaskan dalam gelar hak pribadinya. Oleh karena itu, ia
pen-tahbisan (abhisekanama) yang membutuhkan legitimasi dari
disandangnya yaitu sebagai titisan berbagai pihak untuk mengukuhkan

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 127
(Agni Sesaria Mochtar)
posisinya. Salah satunya adalah dari menggambarkan bahwa di Wanua
golongan agamawan Buddhis. Itulah Halaran terdapat vihāra dan
alasan mengapa Balitung kabikuan. Kabikuan adalah tempat
mengeluarkan keputusan untuk tinggal para biku (Zoetmoelder 2004).
menjadikan seluruh vihāra berstatus menarik bahwa vihāra yang bersifat
swatantra. Usaha untuk memperoleh Buddhis dapat berdampingan dalam
dukungan golongan agamawan satu wilayah wanua dengan kabikuan
seperti dilakukan Balitung yang bersifat Hindu. Oleh karena itu,
mempunyai alasan yang kuat, karena dapat diasumsikan pula bahwa
golongan agamawan mempunyai penduduk di Wanua Halaran terdiri
kekuatan mempengaruhi masyarakat dari penganut Hindu dan Buddha,
termasuk untuk mendukung Dyah dan mereka dapat hidup
Balitung. Apa pun alasan di balik berdampingan di satu wanua.
pemberian anugrah sῑma tersebut,
hal yang penting untuk diperhatikan PENUTUP
adalah bahwa seorang raja Hindu
tetap mempunyai kewajiban Agama Buddha merupakan
memperhatikan rakyatnya, meskipun salah satu agama penting pada masa
rakyatnya menganut Buddhisme. Jawa Kuna. Candi-candi megah
Tindakan ini tentu merupakan contoh seperti Borobudur, Mendut, dan
yang baik kepada rakyatnya untuk Kalasan adalah bukti nyata
saling menghormati antara penganut kebesaran agama Buddha di masa
kepercayaan yang berbeda. Selain lalu. Berdasarkan penelitian terhadap
itu, pemberian anugrah sῑma tersebut data prasasti, diperoleh pengetahuan
juga menjamin rakyat dari golongan tentang bangunan keagamaan
kepercayaan yang berbeda tidak Buddha lainnya yaitu vihāra. Sejauh
saling bermusuhan karena mendapat ini belum banyak informasi tentang
perhatian yang sama dari rajanya. vihāra pada masa Jawa Kuna karena
Bukti toleransi lainnya dapat sedikitnya data monumen yang
dirunut melalui kutipan prasasti masih dapat dijumpai. Padahal,
Salimar IV 880 M dan prasasti vihāra juga memiliki fungsi dan peran
Wurudu Kiḍul A 922 M. Kutipan yang penting dalam masyarakat
prasasti Salimar IV 880 masa itu. Vihāra adalah tempat
menyebutkan, “...rāmanta i tinggal para bhiksu yang selain
kaṇḍang...marhyang si brahma. si sebagai pemuka agama juga dikenal
piba. si ranu. si wala. marhyang i sebagai golongan terpelajar. Para
patahun si [jabung] bihāra swāmi si bhiksu selain menjadi tokoh religius
tiruan si tarā.” (Darmosoetopo 1971, dalam masyarakat juga memegang
26). Kutipan tersebut memberikan peranan penting dalam kehidupan
keterangan bahwa di Wanua sosial, politik, dan ekonomi
Kaṇḍang terdapat bangunan masyarakat.
keagamaan Śivaistis dan vihāra, Data prasasti telah
dibuktikan dengan adanya jabatan menunjukkan bahwa vihāra
marhyang dan bihāra swāmi dalam mengalami proses pertumbuhan dan
daftar rāmanta iKaṇḍang. Baris b.3 penurunan dalam hal jumlah pada
prasasti Wurudu Kiḍul A 922 M kurun waktu abad VIII – XI M.
menyebutkan, “...mwaŋ rāmanta i Selama proses dinamika tersebut
halaran saŋ pasuk wanwa grāma vihāra telah menunjukkan tentang
vihāra kabikuan...” (Boechari 1985, bentuk-bentuk toleransi beragama
121). Kalimat tersebut antara umat beragama Hindu dan

128 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


Buddha. Vihāra dapat hidup tulisan ini dalam bentuk artikel yang
berdampingan dalam sebuah desa baik, serta kepada E. Edward
dengan para penganut agama Hindu McKinnon atas masukannya dalam
dan bersedia terlibat dengan penyempurnaan artikel ini.
masyarakat dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Bahkan vihāra dapat
menembus birokrasi pemerintahan
hingga mampu memperoleh anugrah
dari raja dan para bangsawan berupa
status tanah sῑma, anugrah yang
prestisius pada saat itu, bahkan dari
raja yang beragama Hindu sekalipun.
Sesungguhnya pola serupa terus
berlanjut ketika para ulama
menduduki peran penting pada masa
kejayaan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, bahkan hingga periode
pasca kemerdekaan ketika para
pemuka agama masih memegang
peranan penting di pemerintahan.
Bentuk-bentuk toleransi pada
masa Jawa Kuna yang terekam
melalui fungsi dan peran vihāra
tersebut telah menunjukkan bahwa
pluralisme pada masyarakat Jawa
Kuna bukan menjadi pencetus
konflik. Raja dan petinggi kerajaan
pada masa itu menempatkan para
agamawan pada posisi yang penting
dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat dan masing-masing
agama dapat hidup berdampingan.
Nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh
nenek moyang ini seharusnya terus
dipelihara oleh bangsa Indonesia
agar dapat memandang pluralisme
sebagai sebuah karakter bangsa dan
bukan sebagai perbedaan yang
dapat memisahkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima


kasih kepada Drs. Slamet Pinardi,
M.Hum dan Dra. D.S. Nugrahani
selaku pembimbing skripsi. Ucapan
terima kasih juga disampaikan
kepada Erwiza Erman, M.A., PhD
atas bantuan dan bimbingannya
sehingga penulis dapat menyajikan

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 129
(Agni Sesaria Mochtar)
DAFTAR PUSTAKA

Brandes, J.L.A. 1913. ‘Oud Javaansche Oorkonden, Nagelaten Transcripties”.


VBG LX. Batavia : Albrecht & Co.

Boechari. 1985. Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid 1. Jakarta : Proyek


Pengembangan Museum Nasional.

de Casparis, J.G. 1956. Selected Inscriptions From The 7th to The 9th
CenturyA.D. (Prasasti Indonesia II). Bandung : Masa Baru.

Christie, Jan Wisseman. 2000. Register of The Inscription of Java Part 1: 732
to898 A.D.

____________________ 2002. Register of The Inscriptions of Java Part 2: May


855 – May 898 A.D.

____________________ 2004. Register of The Inscriptions of Java Part 3: May


898 – May 929 A.D
.
Chodron, Thubten. 1995. Tradisi dan Harmoni: Menelusuri Jejak-jejak Agama
Budha. Bandung: Yayasan Penerbit Kanariya.

Damais, L.C. 1952. ‘Études D’épigraphie Indonésienne. III – Liste Des


Principales Inscriptions Datées de L’Indonésie’. Dalam BEFEO Tome XLVI

___________ 1995. ‘Agama Budha di Indonesia’. Epigrafi dan Sejarah


Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: EFEO.

Darmosoetopo, Riboet. 1971. Prasasti Salimar IV. Skripsi Sarjana. Yogyakarta:


Fakultas Sastra dan Kebudayaan Univeristas Gadjah Mada.

__________________ 2003. Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad


IXXTU. Yogyakarta: Prana Pena.

Degroot, Véronique. 2006. ‘The Archaeological Remains of Ratuboko : From Sri


Lankan Buddhism to Hinduism’. Dalam Indonesia and The Malay WorldVol.
34 No. 98 : 55-74.

Griffiths, Arlo. 2014. ‘Early Indic Inscriptions of Southeast Asia’. Dalam Lost
Kingdoms: Hindu-Buddhist Sculpture of Early Southeast Asia. New York:
Metropolitan Museum of Art. Hlm 53-57

Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled


From Chinese Sources. Jakarta : C.V. Bhratara

Guy, John. 2014. ‘Introducing Early Southeast Asia’. Dalam Lost Kingdoms:
Hindu-Buddhist Sculpture of Early Southeast Asia. New York: Metropolitan
Museum of Art. Hlm. 3-13

130 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132


Indradjaja, Agustijanto. 2005. ‘Awal Persentuhan Agama Buddha di Daerah
Pantai Utara Jawa Barat (Kompleks Percandian Batujaya)’. Dalam Religi
dalam Dinamika Masyarakat : 45-59.

Kandahjaya, Hudaya. 2004. ‘A Study of The Origin and Significance of


Borobudur’. Disertasi. California : Berkeley University.

Kompas.com. 2013. Terduga Pelaku Peledakan Vihara Ekayana Ditangkap.


(http://nasional.kompas.com/read/2013/12/16/1219099/Terduga.Pelaku.Pel
edakan.Vihara.Ekayana.Ditangkap, diakses tanggal 1 November 2014)

Kompas.com. 2014. Mengapa Teroris Incar Wihara?


(http://nasional.kompas.com/read/2014/01/02/1950588/Mengapa.Teroris.In
car.Wihara. diakses tanggal 6 November 2014)

Kusen. 1989. ‘Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Status Sawah di


Wanua Tengah Dalam Masa Pemerintahan Raja-Raja Mataram Kuna
Abad8-10’. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada.

Louis, Frederic. 1995. Buddhism. Paris: Flammarion.

Manguin, Pierre-Yves dan Agustijanto Indradjaja. 2011. ‘The Batujaya Site: New
Evidence of Early Indian Influence in West Java’. Dalam Pierre-Yves
Manguin, A. Mani dan Geoff Wade (ed.)

Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross


Cultural Exchange. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Miksic, John N. 1994. ‘Double Meditation Platforms at Anuradhapura and The


Pendopo of Ratu Boko’. Dalam Saraswati : Esai-esai Arkeologi
2.KALPATARU Majalah Arkeologi No.10 : 23-31. Jakarta : Puslitarkenas.

Mochtar, Agni Sesaria. 2009. ‘Vihara Pada Masa Jawa Kuna Abad VIII-XI M
(Tinjauan Data Prasasti)’. SKRIPSI SARJANA. Yogyakarta. Fakultas Ilmu
Budaya-Universitas Gadjah Mada.

Pinardi, Slamet. 1984. ‘Data Sementara Bangunan Kompleks Pendapa Kraton


Ratu Baka’. Dalam Berkala Arkeologi V (2). Yogyakarta : Balai Arkeologi
Yogyakarta.

Prajudi, Rahadhian. 1999. Kajian Tipo-Morfologi Arsitektur Candi di Jawa. Tesis


Magister Program Studi Arsitektur. Bandung: Program Pasca Sarjana
Institut Teknologi Bandung.

Robinson, Richard dan Willard Johnson. 1977. The Buddhist Religion: a


Historical Introduction Second Edition. Massachusetts: Duxbury Press.

Sankalia, Hasmukh D. 1934. The University of Nalanda. Madras : B.G. Paul &Co.

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 131
(Agni Sesaria Mochtar)
Sarkar, Himanshu Bhusan. Sarkar, Himansu Bhusan. 1972. Corpus of The
Inscriptions of Java : Corpus Inscriptionum Javanicarium up to 928 A.D.
Calcuta : Firma K.L.Mukhopadhyay.

Soekmono. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II. Jakarta: Penerbit


Kanisius.

_________ 1974. ‘Candi: Fungsi dan Pengertiannya’. Disertasi. Jakarta: Fakultas


Sastra Universitas Indonesia

Soetanti, Ninie. 1996. ‘Analisis Prasasti’. Dalam PIA VII : 171-182. Jakarta:
Puslitarkenas.

Sudjangi, H. 2002. Konflik Sosial Bernuansa Agama: Studi Kasus Kerusuhan di


Ambon. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kehidupan Beragama. Jakarta: Departemen Agama.

Sunberg, Jeffrey Roger. 2004. ‘The Wilderness Monks of The Abhayagirivihāra


and The Origins of Sino-Javanese esoteric Buddhism’. Dalam BKI CLX-I :
95-123. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Tim Puslitbang Kehidupan Beragama. 2006. Studi Model Alternatif Penyelesaian


Konflik Kasus Padang Sappa Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan.
Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan
Beragama. Jakarta: Departemen Agama.

Tim Peneliti. 2001. Hubungan Antar Agama: Sebuah Analisis Sosial Keagamaan.
Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Agama dan
Diklat Keagamaan. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Utomo, Bambang Budi. 2007. ‘Budha dan Sangha di Nusantara Pada Abad ke-9-
13 M.’ Dalam Archaeology Goes to Mall, Jejak Peradaban Nusantara Abad
9 Sampai Dengan 13. Maha Karmawibhangga: Warisan Tersembunyi di
Kaki Borobudur : 10-23. Jakarta : Puslitarkenas.

Zoetmoelder, P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.

132 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

Anda mungkin juga menyukai