Guru Pengajar
Novriansyah Lubis
disusun oleh
Fahmi Mahyarul Hadi
XII MIPA – 2
Tahun Pelajaran 2020/2021
Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil
menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah Republik
Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea/ DK) yang dipimpin oleh Pol Pot.
Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa, Kamboja terperosok dalam tragedi yang
mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program Cambodia the Year Zero,
yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai negara agraris. Namun program ini justru
berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta orang rakyat Kamboja akibat kelaparan,
wabah penyakit, dan pembantaian.
Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah
dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian orang-orang
keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan
untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut. Invasi Vietnam berhasil
menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan Januari 1979, Vietnam mendirikan
rezim baru di Kamboja dengan Heng Samrin bertindak sebagai kepala negaranya.
Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja,
termasuk Sihanouk sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang
dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) yang terdiri
dari kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam, Front Uni
National pour un Cambodge Independent, NeutrePacifique et Cooperatif
(FUNCINPEC) di bawah pimpinan Sihanouk dan Khmer People Liberation Front
(KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann.
Proses Perundingan
Pada bulan November 1985, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk
menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party. Terhitung sejak wacana
Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara,
tercatat serangkaian kendala yang berpotensi untuk menggagalkan
penyelenggaraan acara ini. Munculnya berbagai kendala ini disebabkan oleh
perbedaan pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang bertikai.
Kendati jalan panjang dan melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan
rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama
tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia.
Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini
menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara
langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina
dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen
mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup
alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil
dari pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan
kesepahaman bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan
penekanan pada pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam,
Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik
penyelesaian konflik, kesepahaman mengenai pentingnya pencegahan
berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan bagi
rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna membahas elemen-elemen
dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun usulan-usulan sebegai bahan
masukan bagi pertemuan selanjutnya.
Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989
digelar JIM II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada
pertemuan ini dapat disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai
tindak lanjut dan penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa
hasil yang menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang
harus segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian
dari kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula
mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan
militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja.
Demi lancarnya rencana maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan
internasional yang memiliki tanggung jawab untuk memantau jalannya proses
perdamaian ini. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah tepat yang harus
diambil guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan
kekejaman yang dapat mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan
yang tidak ketinggalan adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya
program internasional dalam rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di
Kamboja serta negara-negara di kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka
pelaksanaan proses perdamaian di Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada
tanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik
Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II.
Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca JIM I dan II mulai melibatkan
negara-negara di luar ASEAN yang menunjukan bahwa upaya untuk mencapai
perdamaian di Kamboja telah mencapai tingkat internasional. Bahkan memasuki
tahun 1980 terobosan untuk mencapai resolusi atas konflik Kamboja yang
diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki tahapan yang lebih
progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan Keamanan
dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai pada
Konferensi Internasional Paris/Paris International Conference (PIC), dihasilkan
suatu kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya Supreme National Council
of Cambodia (SNC). Kemudian dalam rangka mematangkan kerangka kerja
tersebut guna mencapai suatu dokumen akhir tentang penyelesaian damai yang
menyeluruh terhadap konflik Kamboja, digelarlah Informal Meeting on
Cambodia (IMC) I dan II di Jakarta. Akhirnya, setelah melalui proses
perundingan yang panjang dan melelahkan seperti yang telah dijelaskan secara
singkat di atas, maka pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah Paris
International Conference on Cambodia (PICC) di bawah pimpinan Ketua
bersama (Co-Chairmen) Indonesia dan Perancis yang memberi hasil
ditandatanganinya dokumen perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai
perjuangan akhir dari upaya perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru
dalam pemerintahan yang demokratis.
Hasil Perundingan
Jakarta Informal Meeting I (25–28 Juli 1988)
Pemerintahan Koalisi Demokratis Kamboja (Coalition Government of
Democratic Kampuchea (CGDK)) mengusulkan tiga tahap rencana penyelesaian
Perang Indochina 3.
1. Gencatan senjata antara kedua belah pihak,
2. Pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan pasukan
Vietnam dari Kamboja;
3. Penggabungan semua kelompok bersenjata Kamboja ke dalam satu
kesatuan.
Usulan tersebut disetujui dan akan kembali dibahas dalam Jakarta Informal
Meeting II.
Jakarta Informal Meeting II (16-18 Februari 1989)
Keikutsertaan Australia melalui perdana menterinya, Gareth Evans, mengusulkan
rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi:
1. Mendorong upaya gencatan senjata;
2. Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik;
3. Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga
kedaulatan Kamboja sampai
pemilihan umum diadakan.