Anda di halaman 1dari 10

Posisi Teori Bincar-Bonom dalam Konsep Dasar elemen-elemen Pembentuk Permukiman

(Cut Nuraini)

POSISI TEORI BINCAR-BONOM DALAM KONSEP DASAR ELEMEN-ELEMEN PEMBENTUK


PERMUKIMAN
Studi Kasus : Desa Singengu di kecamatan Kotanopan
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara

Cut Nuraini
Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Institut Teknologi Medan (ITM)
nurainiicut@yahoo.com

ABSTRAK. Desa Singengu sebagai hasil karya arsitektur masyarakat Mandailing memiliki sejumlah
fenomena tempat-tempat yang terkait dengan ruang luar dan tatanan massa bangunan hingga
membentuk tatanan lingkungan yang khas Mandailing. Elemen-elemen pembentuk permukimannya
tidak hanya yang berbentuk fisik dan kasat mata tetapi juga berbentuk non fisik dan tak kasat mata.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tata ruang desa Singengu dibentuk oleh filosofi
Bincar-Bonom. Studi ini bertujuan untuk melihat posisi atau kedudukan teori bincar-bonom terhadap
beberapa teori elemen-elemen pembentuk permukiman lainnnya menurut beberapa pakar.

Studi yang telah dilakukan tentang desa Singengu dengan elemen-elemen pembentuknya
menunjukkan bahwa sebuah permukiman tidak hanya terkait dengan socio-spatial saja, yang
menekankan relasi antar manusia dengan benda-benda; atau bukan hanya terkait dengan socio-
symbolic spatial saja, yang juga menekankan relasi antar manusia dengan benda-benda; atau bukan
juga hanya sekedar global-element space yang menekankan relasi manusia dengan benda tetapi
lebih dalam lagi, yaitu terkait dengan socio-symbolic-spiritual spatial. Relasi socio-symbolic-spiritual
spatial yang menjadi basis pembentuk tata ruang permukiman bukan hanya mengacu pada relasi
antara manusia dengan benda atau benda dengan benda, atau artefak dengan benda, atau artefak
dengan manusia tetapi mengacu kepada zat tertinggi, yaitu Tuhan. Elemen-elemen pembentuk
permukiman desa Singengu dengan ciri relasi socio-symbolic-spiritual spatial terdiri atas empat
elemen, yaitu alam, manusia, leluhur dan Tuhan

Kata Kunci: Socio-symbolic-spiritual Spatial, Alam, Manusia, Leluhur dan Tuhan

ABSTRACT. Singengu village as a result of architectural work of Mandailing communities has a


number of phenomena of places that was associated with landscapes and arrangements of building
mass up to built a unique environment of Mandailings. The elements which shaping the settlement not
only physical and visible but also non-physical and invisible. The results of previous studies show that
Singengu village arrangement was formed by Bincar-Bonom philosophy. This study aims to look at the
position of bonom-bincar theory against several theories about the settlement forming elements
according to some experts in certain field.

The studies that have been done in Singengu village with its elements indicate that a settlement is not
only related to the socio-spatial course, which emphasizes the relationship between humans and
objects; or not only related to the socio-symbolic spatial only, which also emphasizes the relationship
between humans and objects; or not only a global space-element space that emphasizes human
relationships with objects but deeper, which is associated with socio-symbolic-spiritual spatial. Socio-
symbolic-spiritual spatial relationships has been forming the basis of spatial settlement not only refers
to the relationship between humans and objects or objects with objects, or artifacts with objects, or
artifacts with humans but refers to the highest substance, namely God. The elements that forming
Singengu village settlement with socio-spiritual-symbolic spatial relations feature consists of four
elements, namely nature, humans, ancestors and God

Keywords : Socio-symbolic-spiritual Spatial, Nature, Humans, Ancestors and God

PENDAHULUAN gunung lalu pindah ke daerah tapian (dataran


di tepi sungai). Nenek moyang pertama
Desa Singengu merupakan desa pertama di masyarakat suku Mandailing yang bermukim di
kawasan pegunungan Mandailing Julu yang gunung memiliki cara bermukim yang spesifik,
dibangun oleh leluhur orang-orang Singengu yaitu penghormatan terhadap tor (gunung),
ber-marga Lubis. Leluhur orang-orang pakkuburan (pekuburan/ makam), mual (mata
Singengu pada awalnya bermukim di gunung- air) dan mataniari (matahari). Orang-orang
97
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 14 No 2 Juli 2015: 97-106

Singengu selalu menganggap tor sebagai dengan penuh kesadaran dan terarah
tempat asal/pertama bermukim (tempat berdasarkan kedalaman wawasan pemikiran
asal/awal mula manusia hidup di tapian, yang yang telah dimiliki sejak dulu hingga sekarang.
berarti juga awal/sumber kehidupan) sehingga Kesepakatan tentang kesadaran bincar-bonom
tor selalu menjadi acuan bagi arah ditetapkan oleh leluhur dan menjadi pedoman
pengembangan fungsi-fungsi baru. Tor sakral bagi generasi berikutnya. Bincar yang
memiliki mual yang airnya dianggap suci artinya terbit, dan bonom yang artinya
karena di masa lalu, air dari mual digunakan terbenam bukan hanya sekedar istilah untuk
oleh nenek moyang orang-orang sebagai menunjukkan arah terbit-terbenam matahari
media untuk memuja Sipelebegu (arwah saja, tetapi telah menjadi pedoman utama
leluhur) dan menyembah Datu (Sang dalam menata ruang-ruang tempat hidup di
Pencipta). Datu sebagai Sang Pencipta permukiman. Bincar-Bonom sebagai arah
dianggap memberikan kehidupan dalam terbit-terbenam matahari menjadi basis
bentuk tondi (roh, jiwa, semangat) kepada pembentuk tata ruang permukiman desa
manusia melalui mataniari (matahari) sehingga Singengu yang secara empiris diterjemahkan
matahari dianggap sebagai sumber kekuatan dalam wujud penempatan, seting atau letak
Datu. Oleh karena itu, ada faham tentang elemen-elemen fisik permukiman sedemikian
mataniari sogakgohon, artinya matahari tidak rupa sehingga selalu berada pada sumbu
boleh ditentang (arah terbit dan terbenamnya). bincar-bonom.
Menentang matahari sama dengan menentang
Datu. Pada abad ke-13, tradisi bermukim di tor Untuk itu menarik untuk ditelaah bagaimana
berubah menjadi tradisi bermukim di tapian posisi teori bincar-bonom terhadap teori
(dataran di tepi sungai). Proses perpindahan elemen-elemen pembentuk pemukiman
dari tor (di barat) ke tapian (di timur) telah menurut beberapa pakar dan relasi seperti apa
dimulai sejak generasi ke-6 leluhur, yaitu yang dibentuk oleh elemen-elemen tersebut.
Langkitang dan Baitang (Lubis, 1993). Studi ini bertujuan untuk melihat posisi atau
kedudukan teori bincar-bonom terhadap
Arsitektur memiliki arti yang luas dan selalu beberapa teori tentang elemen-elemen
terkait dengan banyak hal. Studi ini terkait pembentuk permukiman menurut beberapa
dengan suatu lingkungan yang menjadi ruang pakar dan relasi yang dibentuk oleh elemen-
kehidupan manusia tertentu, sehingga elemen tersebut.
perhatian akan terarah pada fenomena ruang
kehidupan tersebut dan dilihat sebagai sebuah TINJAUAN PUSTAKA
arsitektur lingkungan dan bukan arsitektur
bangunan (Haryadi dan Setiawan, 1995). Permukiman dan Spirit
Dalam hal ini, arsitektur lingkungan yang Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun
dimaksudkan juga termasuk arsitektur 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di
lingkungan permukiman. Desa Singengu luar kawasan lindung, baik kawasan
sebagai hasil karya arsitektur masyarakatnya perdesaan maupun perkotaan sebagai
memiliki sejumlah fenomena tempat-tempat lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
yang terkait dengan ruang luar dan tatanan mendukung perikehidupan dan penghidupan.
massa bangunan hingga membentuk tatanan Doxiadis (1968) mengungkapkan bahwa unsur
lingkungan yang khas. Elemen-elemen utama permukiman (settlement system) adalah
pembentuk permukimannya tidak hanya yang manusia, kelompok sosial, alam, fasilitas dan
berbentuk fisik, teraga dan kasat mata tetapi jaringan penghubung. Selain itu secara
juga berbentuk non fisik, tak teraga dan tak sosiologis terdapat tiga unsur utama
kasat mata. Teori-teori permukiman yang pembentuk pemukiman, yaitu keturunan,
selama ini berkembang menunjukan bahwa kemampuan dan wilayah (Daldjoeni, 1998).
setiap hasil karya manusia memiliki ciri dan Hal ini menunjukkan bahwa unsur pembentuk
karakter yang berbeda-beda di tiap tempat, permukiman bersifat fisik dan non-fisik, natural
sehingga elemen pembentuknya juga akan dan rekayasa dan bersifat nyata (kasat mata).
berbeda-beda. Beberapa unsur kebudayaan yang terekspresi
secara keruangan dalam lingkungan
Nuraini dkk (2014) mengungkap bahwa permukiman, meliputi kepercayaan (religi),
formasi tata ruang permukiman desa Singengu ekonomi (mata pencaharian), pengetahuan
dibentuk oleh kesadaran intensional dan (formal dan informal), sistem kekerabatan dan
transendental bincar-bonom (terbit-terbenam) hubungan kemasyarakatan, sistem waris/
matahari. Permukiman desa Singengu pembagian kekayaan kepada keturunan,
merupakan hasil karya arsitektur dari orang- ragam kesenian, rekayasa masyarakat
orang suku Mandailing yang direncanakan
98
Posisi Teori Bincar-Bonom dalam Konsep Dasar elemen-elemen Pembentuk Permukiman
(Cut Nuraini)

(termasuk tata ruang) dan kondisi alamiah pembentukan hierarki ruang dan stratifikasi
alam (Koencaraningrat, 2004). status sosial.

Sejalan dengan paparan di atas, Eliade (1959) Beberapa pandangan tentang permukiman
menjelaskan bahwa suatu tempat atau ruang dan spirit yang sudah dipaparkan
dimanifestasikan menjadi dua bentuk, yaitu menunjukkan bahwa permukiman sebagai
sebagai container dan content. Container sebuah wadah kegiatan manusia tidak hanya
merujuk pada wadah kegiatan sosial, berfungsi sebagai tempat hidup dan
sedangkan content merupakan aktualisasi berkehidupan, tetapi juga merupakan
spirit (mental thing atau mental spirit). Mental aktualisasi spirit yang mengandung nilai-nilai
space dalam bentuk nilai-nilai, simbol, spirit/ tertentu. Manusia sebagai pengguna memiliki
roh akan mewujudkan ruang sebagai sesuatu suatu pemikiran tersendiri tentang
yang intangible atau tak teraba. Di dalam permukimannya, sehingga setiap tempat di
pemikiran seseorang yang religius, sebuah dalam lingkungan permukiman memiliki nilai
tempat atau ruang tidaklah homogen tetapi yang berbeda dan memunculkan ruang-ruang
berbeda sehingga membentuk tempat atau yang bersifat sakral dan profan. Tempat-
ruang yang bersifat sakral dan profan. Sakral tempat yang mengandung perbedaan secara
adalah konsepsi tentang suatu realitas yang kualitas (sakral) akan berbeda dengan tempat-
tatanannya dianggap berbeda dari realitas tempat yang dianggap netral atau tidak
alam karena adanya persepsi atau pandangan mengandung perbedaan secara kualitas
tentang kehadiran sebuah kekuatan. (profan) di dalam lingkungan permukiman.
Kekuatan-kekuatan tersebut dapat berasal dari Aktualisasi spirit inilah yang menyebabkan
alam, roh maupun Sang Pencipta. Suatu suatu kelompok masyarakat membagi-bagi
tempat atau ruang bersifat profan karena lingkungan tempat hidupnya sedemikian rupa
tempat atau ruang tersebut dianggap sehingga terdapat pembagian tiga, empat dan
homogen, netral dan tidak mengandung seterusnya.
perbedaan secara kualitas. Adanya pemberian
sifat kesakralan pada suatu tempat atau ruang Hubungan Sosial Budaya dan Permukiman
memunculkan apa yang disebut dengan Permukiman sebagai fenomena fisik
universal pillar (axis mundi) yang tampaknya akan menjadi lebih jelas dipahami
menghubungkan tiga jenis dunia, yaitu upward jika karakter kultur, pandangan dan tata nilai
(dunia atas/dunia yang disucikan/ surgawi), masyarakat setempat dapat digali dan
centre of the world (dunia tengah, dunia nyata ditemukan. Perbedaan atau persamaan suatu
manusia/ kosmos/ bumi) dan downward (dunia kultur dengan kultur lainnya dapat dinilai dan
bawah/ dunia kematian/ dunia lain). ditandai berdasarkan unsur-unsur universal
dalam sistem kebudayaan yang terangkum
Konsep sakral-profan dikonsepsikan sebagai dalam tiga wujud, yaitu (1) Cultural System,
hubungan ruang dan waktu yang bersifat yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks
subyektif („dunia atas‟ dan „dunia bawah‟) dan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan
obyektif (dunia tengah) melalui dunia peraturan yang bersifat abstrak., (2) Social
pengalaman masyarakat tradisional (Tuan, System, yaitu wujud kebudayaan sebagai
2008). Waktu dapat berfungsi sebagai ukuran kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari
kualitas jarak, sehingga dikenal a spasio manusia dalam masyarakat dan (3) Physical
temporal world yang dapat bersifat dunia System, yaitu wujud kebudayaan benda-benda
berwaktu (dunia obyektif) dan dunia subyektif hasil karya manusia yang mempunyai sifat
yang tidak terukur oleh jarak dan waktu, yang paling kongkrit, dapat diraba, diobservasi dan
disebut Tuan (2008) timelessness. Pendapat didokumentasikan atau disebut juga
lain mengungkapkan bahwa anggapan sakral kebudayaan fisik (Rapoport, 1990)
atau profan akan termanifestasi dalam
konsepsi ruang sirkular (Geertz, 1983). Central Kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan
figure (titik pusat kekuatan) ada di daerah dan pikiran manusia bersifat tidak teraga.
pusat/ tengah dan semakin melemah ke arah Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan
periferi. Hal ini dapat dilihat pada tempat- hidup (world view), tata nilai (values), gaya
tempat atau daerah yang didalamnya terdapat hidup (lifestyle) dan akhirnya aktifitasnya
istana, kuil, makam keramat dan pusat (activities) yang bersifat kongkrit. Aktivitas ini
kegiatan yang dikelilingi oleh kegiatan-kegiatan secara langsung akan mempengaruhi wadah,
sekunder dan tersier. Pada tempat atau ruang yaitu lingkungan yang diantaranya adalah
yang demikian, perbedaan „kekuatan‟ secara permukiman (Rapoport, 1969). Kebudayaan
sosial, budaya, politik akan mempengaruhi merupakan hasil dari kompleks gagasan yang
tercermin dalam pola aktivitas masyarakat.
99
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 14 No 2 Juli 2015: 97-106

Rapoport (1969) juga menyatakan bahwa Masyarakat dalam membentuk lingkungan


budaya merupakan faktor utama dalam proses permukiman baru ditempat yang berbeda dari
terjadinya bentuk, sedangkan faktor lain tempat asalnya, selalu mengikuti kebudayaan
seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik dan sistem kepercayaan yang mereka pegang
serta ekonomi merupakan faktor kedua. Pola teguh di lingkungan permukiman lama. Hal ini
permukiman terbentuk dan dipengaruhi oleh dapat dilihat dari upaya masyarakat tersebut
budaya masyarakat setempat. Pada beberapa dalam memodifikasi lingkungan
kasus, terbentuknya permukiman juga sangat permukimannya yang baru. Mereka tetap
dipengaruhi oleh adanya sistem kekeluargaan, memasukkan nilai-nilai lama yang sudah
seperti yang terjadi di Nagari Sungayang, berakar dan menjadi kepercayaan sejak dulu
Tanah Datar di Minangkabau, Sumatera Barat di lingkungan permukiman baru, melalui
(Is, 1994). penempatan elemen-elemen ruangnya
(Sumintardja, 1999). Elemen-elemen tertentu
Hubungan sosial budaya dengan permukiman di dalam suatu permukiman sangat
juga diungkapkan oleh Han (1991) yang menentukan dalam mengidentifikasi dan
mengungkapkan bahwa struktur spasial mengklasifikasikan the spirit of space dari
permukiman tradisional dibentuk karena suatu tempat. Hal ini dapat diketahui melalui
adanya sistem sosial yang berkaitan dengan pergerakan-pergerakan tertentu yang bersifat
nama keluarga atau nama suku tertentu dalam ritual, sehingga dapat diketahui tempat yang
membentuk pemukiman yang disebut “desa sakral atau untuk menentukan nilai kesakralan
suku”. Budaya “desa suku” pada akhirnya suatu tempat (Kurniawan dan Pramanasari,
menjadi bagian dari tata ruang permukiman. 1999).
Inilah yang membentuk struktur spasial
permukiman tradisional di Korea yang Paparan tentang hubungan sosial budaya
selanjutnya dapat dikategorisasikan ke dalam dengan permukiman menunjukkan bahwa
dua hubungan yang mendasar, yaitu pertama permukiman sebagai fenomena fisik
antara global space dengan element space memberikan peluang untuk menjadi beragam,
dan yang kedua adalah hubungan antara sebagai akibat respon masyarakat dengan
element-element space itu sendiri. Hubungan latar lingkungan fisik, sosial, kultural dan
mendasar tersebut diwujudkan dalam empat ekonomi yang beragam pula. Pengaruh setting
konsep struktur spasial yaitu placement dan atau rona lingkungan baik yang bersifat fisik
sequence sebagai hubungan antara global maupun non-fisik (sosial-budaya) secara
space dengan element space sedangkan langsung mempengaruhi pola kegiatan dan
interaction dan hierarchy sebagai hubungan proses pewadahannya. Sistem sosial
antar element space. Menurut Han (1991) masyarakat dalam bentuk kekerabatan yang
global space didasarkan atas kognisi berbasis marga (identitas kelompok) pada
penduduk desa, sedangkan tanah, jalan, unit- suatu masyakarat dengan sistem sosial lain
unit rumah, fasilitas lingkungan adalah dengan latar belakang budaya bermukim yang
element spaces. sama (misalnya budaya bermukim di
pegunungan) akan melahirkan konsep tata
Harahap (1999) menjelaskan bahwa ruang permukiman yang berbeda. Apalagi jika
masyarakat tradisional menganggap sebuah terdapat sistem sosial dan budaya yang
desa merupakan lingkungan tempat hidup, berbeda, tentu saja akan melahirkan tata
tempat melakukan kegiatan perekonomian, ruang permukiman yang berbeda. Sistem
sosial dan juga aktivitas keagamaan. Desa sosial dan budaya suatu kelompok masyarakat
tradisional secara tegas mempertimbangkan akan membentuk tata ruang permukiman yang
daerah yang dianggap sakral sebagai pusat berbeda dan unik sesuai dengan pemahaman
kosmos, sehingga dalam pengaturan pola masing-masing kelompok masyarakat
permukimannya selalu diikuti oleh aturan tiga terhadap sebuah permukiman. Jadi, sebuah
klasifikasi ruang seperti timur-barat, atas- permukiman tidak hanya dibentuk karena
bawah dan pria-wanita. Menurut Harahap adanya proses pembentukan hunian sebagai
(1999) ketiga klasifikasi ini memiliki makna wadah fungsional yang dilandasi oleh pola
tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. aktifitas manusia secara fisik, tetapi juga dapat
Selain itu, orientasi pada bangunan hunian dilandasi oleh aspek sosial budaya.
masyarakat juga mempunyai makna dan
pengaruh terhadap seting kehidupannya dan Bincar-Bonom sebagai Basis Tata Ruang
akan diterjemahkan dalam gaya hidup Permukiman desa Singengu
(lifestyle) masyarakat setempat. Nuraini dkk (2014) mengungkap bahwa Bincar-
bonom telah menjadi filosofi hidup orang-orang
desa Singengu dan menjadi basis pembentuk
100
Posisi Teori Bincar-Bonom dalam Konsep Dasar elemen-elemen Pembentuk Permukiman
(Cut Nuraini)

tata ruang permukiman mereka. Setting fisik


pada semua elemen permukiman yang
berpedoman pada sumbu Bincar-bonom
ditemukan pada semua skala tata ruang, baik
pada tata ruang skala mikro bagas (rumah),
tata ruang skala meso lingkungan dan juga
pada tata ruang skala makro desa bahkan juga
tata ruang skala kawasan. Arah bincar-bonom
(terbit-terbenam) matahari adalah basis tata
ruang permukiman desa Singengu sebagai
bentuk kepatuhan kepada Datu (Sang
Pencipta). Arah bincar adalah simbol masa
depan, arah untuk yang muda, junior dan
sesuatu yang baru sedangkan arah bonom
adalah simbol masa lalu, arah untuk yang tua, The Local Theory of Bincar-Bonom
senior dan sesuatu yang lama. Teori bincar-
bonom diilustrasikan pada gambar 1 di bawah Gambar 1. Teori Bincar-Bonom
ini dan contoh aplikasinya pada gambar 2. (Sumber : Nuraini dkk, 2014)

Parent House
Sun
1
3

Bonom 5 2 Bincar
4

6
7

Bincar-Bonom at housing scale

BONOM BP BINCAR
elder young
Parent

Gambar 2. Contoh Wujud Kesadaran Bincar-Bonom Pada Skala Perumahan


(Sumber : Nuraini dkk, 2014)

PEMBAHASAN

Bincar-Bonom dan Teori Spatial Pattern Appearance/


and Space Superficial
Structure
Hillier (1984) menegaskan bahwa ruang selalu Space
terkait dengan realitas manusia dan
kehidupannya yang disebut dengan space-
society relation. Maka, arsitektur dapat Spatial
dipahami sebagai aspek yang tampak Pattern
(tangible; appearance, superficial structure) HIdden/
Deep Structure
sekaligus sebagai aspek yang tidak tampak
(intangible; hidden structure, deep structure).
Dua aspek dalam arsitektur permukiman, yaitu Gambar 3. Aspek permukiman menurut Hillier
aspek yang tampak (tangible) dan aspek yang (Sumber : Hillier, 1984)
tidak tampak (intangible) dinamai sebagai
aspek superficial structure dan aspek deep Menurut Hillier (1984), manusia (human
structure, seperti yang diilustrasikan pada content) dalam kajian spasial terhadap artefak-
gambar 3. artefak berkembang ke arah konsep spatial

101
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 14 No 2 Juli 2015: 97-106

culture. Manusia menata spatial milieu untuk tak terputus dengan leluhur (mangulaki
menghasilkan konstruksi yang disebut spatial pangkal) dan Sang Pencipta. Oleh karena itu
culture berbasis relasi sosial. Spatial culture permukiman desa Singengu bukan hanya
adalah cara atau tatanan ruang tertentu yang merupakan suatu socio-spasial artefact tetapi
mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak juga merupakan socio-spiritual artefak. Relasi
berdasarkan prinsip tatanan sosial. Ada relasi yang terbentuk tidak hanya sekedar space-
yang sangat erat antara bentuk-bentuk society relation tetapi juga space-society-
material (material forms, artefak) dengan spiritual relation.
cultural milieu. Dalam konsep Hillier (1984)
ada relasi timbal-balik yang sangat erat antara Bincar-Bonom dan Teori Social and
tatanan artefak-artefak sebagai spatial culture Symbolic Space
dengan tatanan masyarakat yang menghuni Waterson (1990) dalam studinya tentang
atau menggunakan artefak-artefak di dalam indigenous architecture menemukan konsep
ruang kehidupannya. Relasi timbal-balik antara ruang baru yang menggunakan terminologi
tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial kunci social and symbolic space. Suatu tempat
mengandung pengertian bahwa pada momen atau ruang selalu memiliki dua sisi yaitu
tertentu, tatanan spasial dipengaruhi oleh merefleksikan aspek sosial dan di sisi lain
tatanan sosial dan pada momen yang lain adalah aspek simbolis dari pencipta dan/atau
tatanan sosial dipengaruhi oleh tatanan fisik- penghuninya. Ruang selalu mengungkapkan
spasial (Hillier,1984). Maka suatu desain the social worlds of their creators (Waterson,
lingkungan atau arsitektur permukiman 1990). Konsep Waterson (1990) tentang ruang
merupakan suatu socio-spatial artefact. sosial dan simbolis (social and symbolic
space) menyatakan bahwa ruang menjadi
Bincar-Bonom pada permukiman desa penentu perilaku manusia yang secara khusus
Singengu juga memiliki ruang terkait dengan akan menunjukkan adanya relasi-relasi sosial
realitas manusia dan kehidupannya yang penghuninya.
disebut oleh Hillier (1984) dengan space-
society relation. Di Mandailing, ruang-ruang Teori lokal Bincar-bonom yang ditemukan di
tersebut dinamakan huta (desa asal, desa permukiman desa Singengu menunjukkan
tempat lahir) dan huta ruar (desa luar, desa bahwa ruang-ruang tempat hidup yang
tempat hidup). Huta dan huta ruar sebagai membentuk permukiman bukan hanya
ruang fisik yang tampak (tangible) merefleksikan aspek sosial (parkouman) dan
distrukturkan oleh orang-orang Mandailing simbolik (banua) saja, tetapi juga aspek
yang ada di desa Singengu sebagai suatu spiritual (sumbu Bincar-Bonom). Di desa
hubungan parkouman (persaudaraan), sebagai Singengu, aspek spiritual justru merupakan
wujud kebersamaan karena memiliki pangkal aspek yang memiliki nilai paling tinggi, karena
(asal) dan tujuan ke arah sumber kehidupan selalu menjadi acuan dan sangat besar
yang sama, yaitu arah Bincar-Bonom. Huta pengaruhnya pada proses pembentuk sistem
dan huta ruar sebagai permukiman di masa sosial (parkouman) dan sistem fisik (huta dan
sekarang selalu mengikuti prinsip penataan huta ruar) yang disimbolkan oleh banua
permukiman di masa lalu, yaitu permukiman (dunia). Jadi, arsitektur permukiman desa
leluhur di tor (gunung) tetapi selalu mengacu Singengu merupakan refleksi dari social,
pada sumbu Bincar-Bonom. Hal tersebut symbolic and spiritual space.
dilakukan oleh warga desa Singengu sebagai
wujud hormat pada leluhur sebagai titik Bincar-Bonom dan Teori Global Space and
pangkal (asal) keberadaan mereka di desa Element Space
Singengu, dan wujud rasa taat pada Sang Han (1991) menyatakan bahwa struktur
Pencipta sebagai pangkal/asal semua zat di spasial permukiman tradisional dapat
muka bumi. Wujud rasa hormat juga dilakukan dikategorisasikan ke dalam dua hubungan
dengan cara menempatkan makam-makam yang mendasar, yaitu pertama antara global
leluhur pada huta na dendang (tempat yang space dengan elemen space dan yang kedua
bersenandung, kiasan untuk menunjukkan adalah hubungan antara elemen-elemen
bahwa lokasi makam leluhur adalah tempat space itu sendiri. Hubungan mendasar
yang paling baik) dan selalu mengacu pada tersebut diwujudkan dalam empat konsep
sumbu Bincar-Bonom dalam membentuk struktur spasial, yaitu placement dan sequence
ruang-ruang kehidupan sebagai wujud taat sebagai hubungan antara global space dengan
pada Sang Pencipta. Dengan demikian, element space sedangkan interaction dan
manusia akan mendapatkan hamoraon hierarchy sebagai hubungan antar element
(kemuliaan hidup) di masa kini dan masa space. Global space didasarkan atas kognisi
depan karena tetap menjalin hubungan yang penduduk desa, sedangkan tanah, jalan, unit-
102
Posisi Teori Bincar-Bonom dalam Konsep Dasar elemen-elemen Pembentuk Permukiman
(Cut Nuraini)

unit rumah, fasilitas lingkungan adalah berawal dari tor (gunung) sebagai tempat asal
element spaces (Han,1991). leluhur di masa yang lalu, lalu turun gunung ke
daerah tapian (dataran di tepi sungai) sebagai
Teori Bincar-Bonom pada permukiman desa tempat hidup generasi di masa sekarang.
Singengu tidak hanya memiliki dua hubungan Permukiman di tapian terdiri atas huta sebagai
seperti yang dikemukakan Han (1991) tetapi tano inganan sorang (tanah tempat lahir) dan
tiga hubungan mendasar. Pertama, hubungan huta ruar sebagai tempat hidup dan
global space (banua) dengan elemen space berkehidupan. Interaction atau interaksi antara
(huta dan huta ruar); kedua hubungan elemen huta dan huta ruar diwujudkan dalam bentuk
space dengan elemen space (huta induk dan parkouman (persaudaraan), sedangkan
huta anak) dan ketiga hubungan global space hierarchy diwujudkan dalam bentuk huta induk
(banua), elemen space (huta) dan spiritual dan huta anak. Empat konsep yang
space (sumbu Bincar-Bonom). Dalam membentuk arsitektur permukiman menurut
arsitektur permukiman desa Singengu, spiritual Han (placement, sequence, interaction dan
space merupakan elemen terpenting yang hierarchy) dapat dilengkapi dengan satu
mempengaruhi terbentuknya global space dan konsep baru, yaitu spiritual space (sumbu
elemen space. Hubungan antara global space Bincar-Bonom). Posisi teori Bincar-Bonom
dan elemen space yang terwujud dalam dalam konsep dasar elemen-elemen
placement dan sequence juga dapat pembentuk permukiman dapat dilihat pada
disandingkan dengan fenomena yang ada di gambar 4.
desa Singengu. Placement di desa Singengu

Global
MANUSIA MANUSIA
Space

Permukiman
Permukiman

Elemen Elemen
BENDA ARTEFAK Space Space

Unsur Pembentuk Permukiman Unsur Pembentuk Permukiman

Waterson (1990) Han, 1991

MANUSIA MANUSIA DATU LELUHUR

Permukiman
Permukiman
Desa Singengu
Desa Singengu
Permukiman
Berbasis
Berbasis
Bincar Bonom
Bincar-Bonom

ARTEFAK ARTEFAK ALAM MANUSIA

Unsur Pembentuk Permukiman


Unsur Pembentuk Permukiman
Hillier (1984)
Nuraini, 2014

Gambar 4. Beberapa konsep dasar elemen-elemen pembentuk permukiman


(Sumber : Nuraini, 2014)

103
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 14 No 2 Juli 2015: 97-106

KESIMPULAN pengisi permukiman. Jadi, penekanan Han


(1991) juga terletak pada aspek „manusia‟.
Teori-teori yang terkait dengan konsep
permukiman telah menegaskan bahwa ruang Desa Singengu menunjukkan bahwa sebuah
selalu terkait dengan realitas manusia dan permukiman tidak hanya terkait dengan socio-
kehidupannya. Permukiman sebagai hasil spatial saja, yang menekankan relasi antar
karya arsitektur selalu menempatkan manusia manusia dengan benda-benda; atau bukan
sebagai aspek utama yang disebut human hanya terkait dengan socio-symbolic spatial
content dan menciptakan relasi-relasi dengan saja, yang juga menekankan relasi antar
artefak yang lama kelamaan mengarah pada manusia dengan benda-benda; atau bukan
socio culture (Hillier, 1984). Desain lingkungan juga hanya sekedar global-element space
atau arsitektur permukiman merupakan suatu yang menekankan relasi manusia dengan
socio-spatial artefact. Jadi, inti teori Hillier benda tetapi lebih dalam lagi, yaitu terkait
(1984) terletak pada relasi antara „manusia‟ dengan socio-symbolic-spiritual spatial. Relasi
dengan „manusia‟. socio-symbolic-spiritual spatial yang menjadi
basis pembentuk tata ruang permukiman
Konsep Waterson (1990) tentang ruang sosial bukan hanya mengacu pada relasi antara
dan simbolis juga menyatakan bahwa ruang manusia dengan benda atau benda dengan
menjadi penentu perilaku manusia yang benda, atau artefak dengan benda, atau
secara khusus akan menunjukkan adanya artefak dengan manusia tetapi mengacu
relasi-relasi sosial penghuninya. Penekanan kepada zat tertinggi, yaitu Tuhan. Relasi socio-
Waterson (1990) juga terletak pada elemen symbolic-spiritual spatial yang lahir dari
„manusia‟ sehingga terbentuk suatu fenomena permukiman desa Singengu terbukti
permukiman atas dasar social-symbolic menjadi teori lokal yang dapat digunakan untuk
space. Han (1991) juga menekankan aspek memahami fenomena permukiman
manusia melalui kognisi untuk memahami pegunungan tepi sungai di Mandailing Julu,
sebuah permukiman yang terkategori atas dua Sumatera Utara. Bincar-bonom adalah teori
hubungan mendasar, yaitu global space dan permukiman dengan ciri relasi socio-symbolic-
element space. Global space didasarkan atas spiritual spatial. Kedudukan teori Bincar-
kognisi manusia, sedangkan element space Bonom dengan teori-teori permukiman lain
adalah relasi benda-benda sebagai elemen dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini.

104
Posisi Teori Bincar-Bonom dalam Konsep Dasar elemen-elemen Pembentuk Permukiman
(Cut Nuraini)

Human
Human Human

Socio Socio-
Spatial economic
spatial

Artefac Artefac Objects Objects

Han (1991)
Hillier (1984)

Human Human God Ancestor

Socio
Socio
Symbolic
Symbolic
Spiritual
Spasial
Spasial

Objects Artefac Nature Human

Waterson (1990) Nuraini (2014)

Gambar 5. Kedudukan teori Bincar-Bonom dengan teori-teori permukiman lain


(Sumber : Nuraini dkk, 2014)

DAFTAR PUSTAKA No. 7 (July, 1993) Korea : Seoul


National University.
Daldjoeni, N. (1998). Geografi Kota dan Harahap, Y., Nurliani. (1999). The Meaning of
Desa. Bandung : PT. Alumni,. Orientation in Kampung Naga and
Doxiadis, C.A. (1968). Ekistics: An its Effects to the Setting of Life.
Introduction to the Science of Paper Seminar on Vernacular
Human Settlements. London Settlement, Jakarta : The Faculty of
Hutchinson. Enginering University of Indonesia.
Eliade, M. (1959). The Sacred and The Haryadi & Setiawan, B. (1995). Arsitektur
Profane. The Nature of Religion, The Lingkungan dan Perilaku: Suatu
Significance of Religious, Mith, Pengantar ke Teori, Metodologi dan
Symbolism and Ritual Within Life Aplikasi. Jakarta : Direktorat Jenderal
and Culture. New York : Harvest Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan.
Book, Harcourt, Brace & World, Inc. Hillier, B. & Hanson, J. (1984). The Social
Geertz, C. (1983). Centers, Symbols and Logic of Space. Cambridge:
Hierarchies : Essay on The Cambridge University Press
Classical States of Southeast Asia. Is, Sudirman. (1994). Pola Permukiman
Yale University : Southeast Asia Minangkabau, Studi Kasus Nagari
Studies. Sungayang. Laporan Tesis S2.
Han, Pilwon. (1991). The Spatial Structure of Program Pascasarjana Teknik
the Traditional Settlement, a Study Arsitektur. Yogyakarta : Universitas
of Clan Village in Korean Rural Gadjah Mada.
Area. Ph.D Dissertation. Journal of Koencaraningrat. (2004). Kebudayaan,
Architectural Institute of Korea, Vol. 9, Mentalisme dan Pembangunan.

105
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 14 No 2 Juli 2015: 97-106

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka : The Basis of Spatial Arrangements


Utama, of Singengu Village, Indonesia.
Kurniawan, Kemas Ridwan dan Pramanasari Journal of the International Society for
Putu Ayu. (1999). The Spiritual Path the Study of Vernacular Settlements
of Gravestone Moving Ritual in the (ISVS e-journal), Vol. 3, No. 2,
West Sumbanese Settlement December 1, 2014. (pp. 1-16).
Tradition : The Case of Anakalan. Rapoport, A. (1969). House Form and
Paper Seminar on Vernacular Culture. New Jersey : Printice Hall.
Settlement. Jakarta : The Faculty of Rapoport, A. (1990). Domestic Architecture
Engineering University of Indonesia. and Use of Space. Cambridge :
Lubis, M. Arbain. (1993). Sejarah Marga- Cambridge University Press,
marga Asli di Mandailing. Medan : Tuan, Yi-fu. (2008). Space and Place, The
Departemen Pendidikan dan Perspective of Experience. London-
Kebudayaan. Kantor Wilayah Propinsi Minneapolis : University of Minnesota
Sumatera Utara. Press.
Nuraini, C. (2015). Bincar-Bonom sebagai Waterson, Roxana. (1990). The Living House
Basis Tata Ruang Permukiman Desa and Anthropology of Arc in South-
Singengu. Disertasi S3. Yogyakarta : east Asia. New York : Oxford
Program Studi Teknik Arsitektur, University.
Program Doktor Universitas Gadjah
Mada.
Nuraini, C., Djunaedi A., Sudaryono and
Subroto, T.W. (2014). Bincar-Bonom

106

Anda mungkin juga menyukai