Anda di halaman 1dari 110

1

2
Awalil Rizky dkk

PRAKIRAAN UTANG PEMERINTAH 2021:

Mewaspadai Risiko
yang Meningkat

Penerbit

i
YAYASAN HARKAT NEGERI
Jl. H. Sa’aba No.7A, Cipete Utara,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150
Email: info@harkatnegeri.org

i
ii
PRAKIRAAN UTANG PEMERINTAH 2021:
Mewaspadai Risiko yang Meningkat

Tim Penyusun

Awalil Rizky (Ketua)


Binti Nikmatul Afdila
Rachmawati
Sonny Wibisono

Layout dan Desain


Busthomi Rifa’i

Februari, 2021
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin dari Penerbit

Penerbit

i
YAYASAN HARKAT NEGERI
Jl. H. Sa’aba No.7A, Cipete Utara,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150
Email: info@harkatnegeri.org
ISBN : 978-623-93115-3-7

iii
iv
SAMBUTAN
KEPALA IHN
Utang Pemerintah selalu menjadi perhatian publik, dan makin meningkat pada kondisi fiskal
yang terdampak pandemi covid-19. Diskusi tentang topik ini tidak hanya menyangkut aspek teknis,
seperti jumlah dan berbagai rasio utang, melainkan melebar pada aspek ekonomi politik yang luas.

Institut Harkat Negeri (IHN) sebagai suatu lembaga yang memiliki perhatian besar pada
kebijakan publik serta edukasi kepada masyarakat luas, merasa perlu membuat suatu laporan
tentang utang Pemerintah. Laporan dimaksud merupakan atas kondisi terkini, dan proyeksinya
pada tahun 2021. Dilengkapi dengan penjelasan tentang berbagai istilah dan indikator yang
biasa dipakai oleh Pemerintah dan para ahli yang mendiskusikannya.

Laporan IHN yang berjudul “PRAKIRAAN UTANG PEMERINTAH 2021: Mewaspadai Risiko
yang Meningkat”, secara umum mengingatkan pihak otoritas ekonomi untuk lebih waspada atas
kondisi utang Pemerintah. Laporan menilai telah terjadi peningkatan risiko yang tinggi, dan belum
pernah dialami pasca krisis 1997/1998.

Pemerintah tampak cukup menyadari risiko utangnya dan berkomitmen akan mengelolanya
secara berhati-hati. Bahkan, Nota Keuangan dan APBN 2021 memberi ruang pembahasan yang
lebih panjang lebar dari biasanya atas risiko utang dan kebijakan pengelolaan utang. Para
pejabat pemerintahan terkait juga sering memberi penjelasan kepada publik. Sebagian besar
dari kebijakan pemerintah tentang pengelolaan utang dibahas oleh laporan ini.

Laporan ini menilai kebijakan tersebut belum mencukupi untuk menurunkan risiko utang
pada tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya. Direkomendasikan agar pengelolaan utang
dimulai dengan perencanaan yang lebih baik dan jelas, yang dikomunikasikan secara lebih
terbuka kepada publik. Terutama diberi kesempatan kepada para ahli di luar Pemerintahan
untuk ikut memberi masukan secara terus menerus.

IHN berpandangan masih ada waktu dan tersedia pilihan kebijakan fiskal agar risiko utang
pemerintah dapat diturunkan. IHN berharap laporannya sebagai sumbangan kecil atas proses
perbaikan kebijakan tersebut.

IHN menyadari hasil kajiannya jauh dari sempurna. IHN akan terus melanjutkan kajian dengan
sangat memperhatikan berbagai pandangan pihak, serta perkembangan kebijakan pemerintah.

Kepala Institut Harkat Negeri

Sudirman Said

v
vi
DAFTAR ISI

SAMBUTAN KEPALA IHN v


DAFTAR ISI vii
DAFTAR GRAFIK ix
DAFTAR TABEL xi
RINGKASAN EKSEKUTIF 1

BAB I TINJAUAN UMUM 3


1.1 Pengertian Utang Pemerintah, Utang Luar Negeri, dan Utang Sektor publik 3
1.2 Kondisi Terkini 4
1.3 Prakiraan Kondisi Tahun 2021 6
1.4 Risiko Utang 7
1.5 Tentang Laporan Ini 8
BAB II UTANG PEMERINTAH 11
2.1 Perkembangan Posisi Utang Pemerintah 11
2.2 Defisit, Pembiayaan Utang, dan Tambahan Utang 12
2.3 Jenis dan Bentuk Utang Pemerintah 15
2.4 Beban Utang Pemerintah 18
2.5 Proyeksi Utang Pemerintah hingga tahun 2024 20
BAB III KONDISI SBN TAHUN 2020 DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021 23
3.1 Perkembangan SBN 23
3.2 Jenis SBN 24
3.3 Peran Bank Indonesia 29
3.4 Prakiraan Kondisi SBN tahun 2021 32
BAB IV KONDISI PINJAMAN TAHUN 2020 DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021 35
4.1 Perkembangan Pinjaman Pemerintah 35
4.2 Posisi Pinjaman Terkini 36
4.3 Kebijakan APBN Tahun 2020 dan APBN Tahun 2021 tentang Pinjaman 37
BAB V RISIKO UTANG PEMERINTAH 41
5.1 Risiko Pembayaran Beban Utang 41
5.1.1 Pelunasan pokok utang dan Pembayaran Bunga Utang 41
5.1.2 Rasio Pembayaran Beban Utang atas Pendapatan Negara 44

vii
5.1.3 Rasio Pembayaran Bunga atas Posisi Utang Rata-Rata 45
5.1.4 Rasio Pembayaran Bunga atas Pendapatan dan PDB 46
5.1.5 Keseimbangan Primer 47
5.2 Rasio Posisi Utang atas PDB 50
5.3 Perkembangan Rasio Pajak 52
5.4 Peningkatan Risiko Utang akibat Pandemi Covid-19 55
5.5 Prakiraan Risiko Utang Pemerintah Tahun 2021 57
5.6 Asesmen IHN atas risiko utang 59
BAB VI PERENCANAAN UTANG PEMERINTAH 61
6.1 Alasan Berutang 61
6.2 Rencana Utang dalam RPJMN 62
6.3 Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah 63
6.4 APBN dan Rencana Tahunan 64
6.5 Kebijakan Utang Pemerintah dalam APBN 2021 66
BAB VII UTANG LUAR NEGERI INDONESIA 69
7.1 Posisi Terkini 69
7.1.2 Utang Luar Negeri Menurut Jenis Mata Uang 70
7.2 Perkembangan Posisi ULN Indonesia 71
7.2.1 Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah 72
7.2.2 Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta 73
7.2.3 Utang Luar Negeri BUMN 75
7.3 Beban Pembayaran Utang Luar Negeri 76
7.4 Indikator Utang Luar Negeri 78
7.5 Rating Indonesia menurut Lembaga Pemeringkat 81
BAB VIII UTANG SEKTOR PUBLIK 83
8.1 Posisi Terkini 83
8.2 Perkembangan Posisi 84
8.3 Komposisi Utang Sektor Publik Menurut Mata Uang dan Kreditor 85
8.4 Utang BUMN 86
BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 89
9.1 Kesimpulan Umum 89
9.2 Rekomendasi 93

viii
DAFTAR
GRAFIK

Grafik 1. Posisi Utang Pemerintah (Rp Triliun), 1996-2021 12


Grafik 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021 13
Grafik 3. Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021 14
Grafik 4. SBN dan Pinjaman 16
Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing 17
Grafik 6. Utang Kepada Residen dan NonResiden 18
Grafik 7. Pelunasan Utang dan Pembayaran Bunga Utang, 2010-2020 19
Grafik 8. Posisi SBN Akhir Tahun (Rp Triliun), 1998-2020 24
Grafik 9. SBN yang Diperdagangkan dan Tidak Diperdagangkan 24
Grafik 10. SBN dan SBNS 25
Grafik 11. SBN Rupiah dan SBN Valuta Asing 26
Grafik 12. Kepemilikan SBN Domestik yang Diperdagangkan 27
Grafik 13. Kepemilikan Asing atas SBN Domestik yang Diperdagangkan 28
Grafik 14. Klasifikasi SBN 29
Grafik 15. Kepemilikan SBN Domestik Diperdagangkan oleh Bank Indonesia 31
Grafik 16. Penerbitan SBN (akumulatif) akhir bulan (Rp Juta), 2016-2020 32
Grafik 17. Arus Pinjaman Pemerintah, 2005-2020 36
Grafik 18. Pinjaman Pemerintah, 1997-2020 36
Grafik 19. Pelunasan Pokok Utang, 2010-2021 42
Grafik 20. Pembayaran Bunga Utang, 2000-2021 43
Grafik 21. Pembayaran Beban Utang (Rp Triliun), 2010-2020 44
Grafik 22. Pembayaran Bunga Utang dan Tingkat Bunga Riil, 1998-2020 46
Grafik 23. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas Pendapatan Negara 46
Grafik 24. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas PDB 47

ix
Grafik 25. Keseimbangan Primer (Rp Triliun), 2004-2021 49
Grafik 26. Rasio Utang Pemerintah atas PDB, 1998-2021 51
Grafik 27. Rasio Pajak, 2005-2020 54
Grafik 28. Proyeksi dan Realisasi Rasio Utang atas PDB dalam RPJMN 63
Grafik 29. Pembiayaan Utang dan Pertumbuhannya 68
Grafik 30 Proporsi Utang berdasarkan Kreditor (dalam Persen) 70
Grafik 31. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia, 1997-2020 71
Grafik 32. 10 Teratas Negara Peminjam Terbesar 72
Grafik 33. Utang Luar Negeri Pemerintah 73
Grafik 34. Utang Luar Negeri Swasta 74
Grafik 35. ULN Swasta dan ULN Pemerintah dan BI 74
Grafik 36. Utang Luar Negeri BUMN, 2010-2020 75
Grafik 37. ULN BUMN berdasar Kelompok, 2010-2020 76
Grafik 38. DSR Indonesia Tier-1 dan Tier-2, 2010-2020 77
Grafik 39. Debt Service Indonesia (%), 1990-2020 78
Grafik 40. Rasio ULN atas Ekspor dan atas PDB 79
Grafik 41. Utang Pemerintah berdasar Sisa Waktu Pelunasan (USD Juta), 2007-2020 80
Grafik 42. Utang Swasta berdasar Sisa Waktu Pelunasan 80
Grafik 43. Posisi Utang Sektor Publik, 2007-2020 84
Grafik 44. Rasio Utang Sektor Publik atas PDB, 2007-2020 85
Grafik 45. Utang Sektor Publik Berdasarkan Jenis Mata Uang 85
Grafik 46. Utang Sektor Publik berdasarkan Pemberi Pinjaman (dalam Rp Miliar) 86
Grafik 47. Utang Sektor Publik Berdasarkan Sektornya (dalam Rp Miliar) 86
Grafik 48. Utang Korporasi Nonfinansial Sektor Publik (Rp Miliar) 87

x
DAFTAR
TABEL

Tabel 1. Perkembangan Outstanding dan Indikator Risiko Utang Pemerintah Pusat,


2016-Juni 2020 58
Tabel 2. Proyeksi Risiko Utang Pemerintah Pusat dalam Jangka Menengah, Hingga akhir 2024 59
Tabel 3. Proyeksi RPJMN 2020-2024 atas Beberapa Indikator Utang Pemerintah 62
Tabel 4. Indikator Risiko Penerbitan Utang Baru Tahun 2020 66
Tabel 5. Utang terbesar Berdasarkan Jenis Mata Uang 71
Tabel 6. Daftar Peringkat Utang Berdasarkan Penilaian 81

xi
xii
RINGKASAN
EKSEKUTIF

Utang pemerintah terus bertambah dan posisinya meningakat dari tahun ke tahun, mencapai
Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020. Dampak pandemi Covid-19 pada kondisi fiskal
membuat laju kenaikan menjadi jauh lebih tinggi dari biasanya.

Masalah utama utang pemerintah bukan soalan posisinya, melainkan pada beban
pembayaran dan risiko utang. Pembayaran mencakup pelunasan pokok utang atau pembayaran
cicilan pokok, serta pembayaran bunga utang.

Kemampuan membayar cenderung melemah, dilihat dari perkembangan pendapatan


negara. Meski nominal pembayaran beban utang menurun pada tahun 2020, namun pendapatan
juga mengalami penurunan yang lebih drastis. Rasionya pun meningkat menjadi 45,17% dari
42,74% pada tahun 2019. Rasio sudah cenderung meningkat sebelum pandemi, dan akan naik
lagi pada tahun 2021 jika melihat postur APBN.

Dalam hal risiko utang, terutama berhubungan dengan kemampuan memenuhi segala
kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Meskipun mungkin
hanya pada sebagian utang, baik yang berjenis pinjaman ataupun SBN. Sejauh ini, kegagalan
membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pada saat krisis 1997/1998,
Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah payah. Pemerintah
pun tampak cukup optimis atas perkembangan utang yang makin memburuk akibat pandemi,
dengan selalu mengatakan kondisinya masih aman dan telah dikelola secara berhati-hati, serta
memperhitungan risiko ke depannya.

Bagaimanapun, perlu diingat bahwa jika pemerintah berhasil membayar kewajiban


utangnya, namun dilakukan dengan bersusah payah, maka hanya akan menggeser risiko ke
tahun-tahun mendatang. Pemerintah juga tidak memiliki dana yang memadai untuk melakukan
kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan yang baik.

Laporan ini memberi gambaran yang cukup menyeluruh atas kondisi utang pemerintah
terkini dan perkembangannya selama belasan tahun terakhir. Termasuk pembahasan tentang
risiko utang dan proyeksinya untuk tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya. Secara umum
diingatkan tentang risiko utang yang meningkat. Jika tidak dikelola secara lebih berhati-hati dan
segera diambil kebijakan yang lebih mendasar, maka keberlanjutan fiskal menjadi terancam.

1
2
BAB I
TINJAUAN UMUM

Posisi utang pemerintah pada akhir Desember 2020 dilaporkan oleh Kementerian Keuangan
sebesar Rp6.074,56 triliun. Hal itu disampaikan melalui dokumen APBN Kita edisi Januari 2020.
APBN Kita merupakan informasi dari Kementerian Keuangan tentang realisasi dan kondisi
APBN kepada publik, yang terbit tiap bulan sejak Desember 2017.

Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir November 2020 diumumkan sebesar 416,6
miliar dolar Amerika. Posisi itu diumumkan oleh Bank Indonesia melalui dokumen statisik
utang luar negeri (SULNI) edisi Januari 2021. SULNI terbit tiap bulan selama satu dekade ini.

Posisi utang sektor publik Indonesia pada akhir September 2020 diumumkan mencapai
Rp11.773,84 triliun. Disampaikan oleh Bank Indonesia melalui dokumen statistik utang sektor
publik (SUSPI) edisi Triwulan III-2020. SUSPI terbit tiap tiga bulan, namun cukup berjarak
waktu dari kondisi yang dilaporkan. Kondisi sampai dengan Triwulan II-2020 baru dipublikasi
pada tanggal 30 Desember 2020.

Ketiga penyebutan tentang utang tersebut kadang tidak bercampur aduk dalam diskusi,
serta menimbulkan banyak kesalahpahaman. Terutama perbincangan netizen dalam media
sosial. Ketiganya memang merupakan soalan penting dalam dinamika perekonomian Indonesia
saat ini dan masa mendatang.

1.1 Pengertian Utang Pemerintah, Utang Luar Negeri, dan Utang Sektor
publik
Kementerian Keuangan memberi informasi melalui APBN KITA bahwa posisi utang
pemerintah sebesar Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020 terdiri dari yang berbentuk
pinjaman dan Surat Berharga Negara (SBN). Posisi Pinjaman sebesar Rp852,91 triliun dan posisi
SBN sebesar Rp5.221,96 triliun. Porsi Pinjaman sebesar 14,04%, dan porsi SBN sebesar 85,96%
dari total utang.

Pinjamannya terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp11,97 triliun, dan Pinjaman Luar
Negeri sebesar Rp840,94 triliun. Pinjaman luar negeri sebenarnya dinyatakan dalam berbagai
mata uang atau valuta asing, sesuai kesepakatan dengan pemberi pinjaman.

Sedangkan yang berbentuk SBN terdiri dari denominasi rupiah (biasa disebut SBN
domestik) dan ada yang dalam valuta asing (valas). SBN valas hingga saat ini baru terdiri dari:
dolar Amerika, Euro, dan Yen Jepang.

3
Pemerintah berutang kepada berbagai pihak. Kepada lembaga internasional, seperti:
kepada pemerintah negara lain, perusahaan swasta dan kepada perorangan. Juga kepada bank
BUMN dan kepada Bank Indonesia.

Pengertian Pemerintah dalam berbagai dokumen dan data resmi tentang utang merupakan
utang dari pemerintah pusat (central government). Sebenarnya ada utang pemerintah daerah,
yang nilainya relatif kecil. Sebagian besar utang pemerintah daerah merupakan utang kepada
pemerintah pusat. Jika tidak disebut secara khusus, maka pemakaian istilah utang pemerintah
menunjuk pada utang pemerintah pusat.

Utang pemerintah dalam perbincangan netizen kadang tercampur aduk dengan apa yang
disebut sebagai utang luar negeri (ULN) Indonesia. Meski berkaitan erat, namun berbeda
cakupan datanya. Datanya memang saling beririsan. Utang Pemerintah terdiri dari ULN dan
utang dalam negeri. Sedangkan ULN terdiri dari ULN pemerintah dan ULN swasta.

ULN didefinisikan oleh Bank Indonesia sebagai suatu bentuk kewajiban penduduk Indonesia
kepada bukan penduduk dalam kurun waktu tertentu yang membutuhkan pembayaran kembali
bunga dan pokok pada waktu yang akan datang. Pengertian penduduk dimaksud mencakup
pemerintah, bank sentral, maupun pihak swasta.

Selain Utang Pemerintah dan ULN, dikenal pula apa yang disebut Utang Sektor Publik
(USP). USP terdiri dari utang pemerintah pusat, utang pemerintah daerah, utang bank sentral
(Bank Indonesia), dan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Didalamnya sudah termasuk
utang luar negeri dan utang dalam negeri.

1.2 Kondisi Terkini


Posisi utang pemerintah pada akhir Desember 2020 sebesar Rp6.074,56 triliun itu
bertambah sangat signifikan dibanding posisi akhir tahun 2019 yang hanya sebesar Rp4.786,59
triliun. Tambahan utang sekitar Rp1.287,97 triliun atau naik 26,91% dalam setahun tersebut
terbilang jauh lebih tinggi dibanding kenaikan pada tahun-tahun terdahulu.

Posisi utang Pemerintah memang tiap tahun selama ini cenderung meningkat. Dampak
pandemi Covid-19 membuat kenaikannya menjadi lebih pesat pada tahun 2020. Belanja dan
pengeluaran pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal,
pendapatan justru akan menurun.

Pemerintah biasa menyajikan posisi utangnya sebagai porsi atau rasio dari Produk Domestik
Bruto (PDB). Dalam khasanah kajian akademis, rasio serupa itu memang menjadi salah satu
indikator analisis, terutama dalam kaitannya dengan risiko. Undang-Undang Keuangan Negara
Indonesia telah memberi batas rasio yang diperbolehkan, yaitu sebesar 60%.

Rasio utang pemerintah telah mencapai 38,68% pada akhir Desember 2020. Meningkat
drastis dari rasio akhir tahun 2019 yang masih sebesar 30,23%. Selama periode tahun 2016-
2019, rasio utang memang relatif terjaga di kisaran 30%.

Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2020 mencapai USD416,6
miliar. ULN tersebut merupakan utang Pemerintah, Bank Indonesia, dan swasta. ULN

4
Pemerintah sebesar USD203,70 miliar, meningkat 2,55% (yoy). ULN Bank Indonesia sebesar
USD2,83 miliar, meningkat 3,91% (yoy). ULN swasta sebesar USD210,1 miliar, meningkat 5,19

Posisi ULN akhir November 2020 itu sedikit bertambah dibanding akhir 2019, yang sebesar
USD403,66 miliar. Namun tren kenaikan yang lebih pesat, telah terjadi selama beberapa tahun
sebelumnya.

Perlu diketahui bahwa penurunan atau stagnasi posisi ULN selama beberapa bulan terakhir
tak sepenuhnya dapat dianggap fenomena yang baik. Penyebab utamanya adalah berupa
menurunnya porsi kepemilikan asing atas SBN domestik atau yang berdenominasi rupiah. Jika
fenomena demikian terjadi lagi dalam besaran nilai yang lebih signifikan, maka akan ada tekanan
pada neraca transaksi finansial. Pada giliran berikutnya bisa menggerus cadangan devisa, dan
melemahkan nilai rupiah.

Sementara itu, ULN swasta perlu memperoleh perhatian khusus karena nilainya telah
melebihi ULN Pemerintah. Pada masa lalu, ULN Swasta melampaui ULN Pemerintah sejak
beberapa tahun sebelum krisis 1997/98. Setelah krisis mereda, ULN swasta berangsur turun
dan menjadi lebih kecil dibanding ULN Pemerintah hingga tahun 2012. Naik kembali dan
melampaui lagi pada periode 2013-2016. Sempat sedikit dibawahnya pada tahun 2017, lalu
posisinya melampaui kembali.

Salah satu bagian dari ULN swasta ini adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Fenomena ini relatif baru terjadi selama tujuh tahun terakhir. Peningkatan ULN BUMN jauh
lebih pesat dibanding ULN swasta yang bukan BUMN. Posisinya pada akhir September 2020
mencapai USD57,64 miliar.

Porsi ULN swasta pada akhir November 2020 itu merupakan 27,44% dari total ULN
swasta. Porsi ini jauh lebih besar dibanding 10 tahun sebelumnya (2010) yang masih 10,19%.
Peningkatan yang amat pesat terjadi selama 3 tahun terakhir.

Utang BUMN tidak hanya berupa ULN, melainkan juga utang dalam negeri. Dan secara
keseluruhan, utang BUMN merupakan soalan yang perlu mendapat perhatian dari otoritas.
Posisinya diprakirakan lebih dari Rp6.500 triliun pada akhir tahun 2020. Meski diperlakukan
sebagai utang swasta, karena harta negara yang telah dipisahkan, namun pengaruhnya cukup
besar terhadap kondisi umum keuangan negara.

Perkembangan utang pemerintah pusat dan utang BUMN mendorong peningkatan utang
sektor publik. Sementara itu utang Bank Indonesia relatif stabil, yang lebih karena kebutuhan
akan operasi moneter. Sedangkan utang pemerintah daerah relatif masih amat kecil, dan
kebanyakan merupakan utang kepada pemerintah pusat.

Total utang sektor publik pada akhir September 2020 dilaporkan sebesar Rp11.773,84
triliun. Telah bertambah sebesar 16,40% dari posisi akhir Desember 2019. Kemungkinan masih
akan sedikit bertambah pada akhir 2020, sehingga persentase kenaikannya akan meningkat.
Datanya memang lebih lambat diperbarui dan diumumkan kepada publik, dibanding ULN dan
Utang Pemerintah.

5
1.3 Prakiraan Kondisi Tahun 2021
Pemerintah telah menjelaskan dan memprakirakan rasio utangnya akan mencapai
kisaran 38% pada akhir tahun 2020. Pemerintah memberi isyarat bahwa rasionya masih akan
meningkat pada akhir tahun 2021 nanti. Ada proyeksi dari IMF dalam WEO edisi Juni 2020
yang memprakirakan rasio utang pemerintah Indonesia akan mencapai 40,3% pada akhir tahun
2021.

Pemerintah sering “menjelaskan” bahwa kondisi utang banyak negara lain lebih memburuk
dari Indonesia akibat dampak pandemi Covid. Ada grafik dalam Nota Keuangan dan APBN tahun
2021 yang menyajikan contoh peningkatan rasio utang beberapa negara, termasuk Indonesia.
Data dari grafik itu bersumber pada proyeksi International Monetary Fund (IMF) dalam suatu
laporannya, yaitu World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020.

Rasio utang pemerintah Indonesia dalam grafik tersebut tampak hanya bertambah 7,8%
atas PDB selama setahun, 2019-2020. Hampir setara dengan Nigeria dan Turki yang bertambah
7,4%. Masih lebih baik dibanding Meksiko (12,20%), Brazil (12,80%), dan Afrika Selatan
(17,70%). Disajikan pula kondisi empat negara maju yang rasio utangnya bertambah sangat
besar pada 2019-2020, yaitu: Amerika Serikat (32,7%), Spanyol (28,3%), Jepang (30,0%) dan
Inggris (16,2%).

Pemerintah memang tidak salah atau berbohong mengemukakan data demikian, yang bahkan
dilengkapi dengan kotak penjelasannya dalam Nota Keuangan. Namun, perlu dimengerti bahwa
cara berbeda dalam “membaca data” yang sama, dapat dilakukan. Yaitu berupa menghitung
seberapa persentase perubahannya. Cara ini bahkan dapat dianggap lebih mencerminkan
dampak, karena menimbang lebih tepat perubahan atas besaran indikator sebelumnya.

Terlihat bahwa tambahan rasio utang sebesar 7,8% atas PDB tersebut merupakan kenaikan
23,61% dari posisi sebelumnya. Jika yang dipakai sebagai indikator adalah persentase perubahan
rasio utang, maka Indonesia tidak tampak lebih baik dari kebanyakan negara lain.

Dua negara yang seolah lebih buruk pada cara membaca data sebelumnya, justru lebih baik
dari Indonesia. Meksiko meningkat 22,72%, sedangkan Brazil hanya 14,30%. Sementara itu,
Afrika Selatan yang seolah jauh lebih buruk dari Indonesia, menjadi hanya sedikit lebih buruk,
yakni meningkat 28,46%.

Dalam hal empat negara maju yang dikutip pemerintah, persentase kenaikan rasio utangnya
tidak jauh lebih buruk dari Indonesia. Yang memang meningkat lebih tinggi adalah Amerika
Serikat (30,08%) dan Spanyol (29,63%). Sedangkan dua negara lain justru relatif lebih baik,
yaitu Jepang (12,61%) dan Inggeris (18,97%).

Selain itu, cukup mengherankan jika ulasan data WEO Juni 2020 yang terbilang cukup
panjang dalam Nota Keuangan terkesan memilih data yang “lebih baik” saja. Yang dijelaskan
merupakan proyeksi tahun 2020, padahal laporan juga membuat proyeksi tahun 2021. Dan jika
proyeksi tahun 2021 disertakan, maka Indonesia akan tampak lebih buruk. Ada negara lain yang
rasio utangnya turun atau hanya stagnan, sedangkan kita masih naik pada tahun 2021.

6
Sebagai contoh, Brazil yang rasio utangnya diproyeksikan akan turun dari 102,3% (2020)
menjadi 100,6% (2021). Untuk negara maju, yang diproyeksikan turun adalah Jepang dan
Inggeris. Sedangkan yang hanya naik sedikit atau relatif stagnan: Rusia, Nigeria, Meksiko, dan
Spanyol. Sementara itu, Indonesia masuk kelompok yang rasio utangnya diproyeksikan masih
meningkat cukup signifikan pada tahun 2021, dari 37,7% menjadi 40,3%.

Tentang perkembangan posisi dan rasio utang pemerintah akan dijelaskan lebih lanjut pada
bab II laporan. Begitu pula dengan rinciannya, terutama SBN pada bab III dan Pinjaman pada
bab IV.

Dampak pandemi Covid-19 secara keseluruhan tidak besar dalam peningkatan posisi utang
luar negeri (ULN) Indonesia. Bahkan, laju peningkatannya tampak lebih lambat dari tahun
sebelumnya. Antara lain disumbang oleh berkurangnya porsi kepemilikan asing atas SBN
domestik, yang dicatat sebagai ULN pemerintah. Diprakirakan posisi ULN keseluruhan hanya
akan bertambah sesuai laju alaminya, atau sedikit di atasnya. Kemungkinan tidak akan terjadi
pelonjakan pada tahun 2021.

Namun, sebagaimana telah disampaikan di atas, ULN swasta yang terutama dipicu oleh
fenomena ULN BUMN tetap akan bertambah signifikan. Diprakirakan masih akan berlanjut pada
tahun 2021, antara lain karena ada “restrukturisasi utang” atau setidaknya upaya menambah
utang baru agar bisa memenuhi kewajiban pembayaran utang lama.

Dengan demikian utang sektor publik kemungkinan akan bertambah cukup signifikan pada
tahun 2021. Utang Pemerintah dipastikan masih bertambah sangat besar, sebagaimana yang
direncanakan oleh APBN tahun 2021 dalam pos pembiayaan utang. Utang BUMN juga akan
terus bertambah, baik karena kebutuhan pembiayaan bagi berbagai proyek penugasan yang
kembali dilanjutkan, maupun upaya pembiayaan ulang atas kewajiban terdahulu.

1.4 Risiko Utang


Risiko merupakan pemburukan suatu atau beberapa kondisi yang bersifat tidak terduga
atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Dalam hal utang, terutama berhubungan dengan
kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga.

Pemahaman akan tingkat risiko utang menjadi sangat penting, agar dapat dicegah terjadinya.
Terutama kondisi buruk yang melebihi kemampuan Pemerintah untuk menanggung bebannya.
Dalam konteks tertentu, bukan mencegah agar terjadi yang menjadi fokus, melainkan kesiapan
untuk menghadapinya.

Ada beberapa indikator untuk menggambarkan risiko utang, yang merupakan hasil kajian
akademis berdasar pengalaman banyak pihak di masa lalu. Untuk masing-masing jenis utang
yang disebut di atas, dikenal berbagai indikator risiko. Tentunya ada faktor tambahan penting
yang mesti disertakan, karena perbedaan kondisi sosial politik, kondisi geografis, faktor posisi
dalam dinamika ekonomi global, dan soalan lainnya pada masing-masing negara.

Pemerintah sering memakai rasio utangnya atas PDB sebagai indikator risiko yang paling
penting. Meski rasio itu lazim dipakai sebagai salah satu indikator, sebenarnya perlu dicermati

7
pula indikator lainnya berupa rasio utang atas Pendapatan Negara. Rasio atas pendapatan
justeru lebih bersifat langsung terkait kemampuan membayar beban utang.

Beberapa indikator risiko utang selain kedua rasio itu masih cukup banyak. Diantaranya
yang utama adalah terkait dengan komposisi utang berdasar waktu jatuh tempo, denominasi
atau mata uang, jenis bunganya, dan sebaran kreditur.

Dari berbagai indikator tersebut, pada dasarnya yang paling penting dicermati sekaligus
menjadi pertimbangan utama pengelolaan utang pemerintah adalah terkait kemampuan
membayar bebannya. Beban utang yang utama berupa pelunasan atas pokok utang dan
pembayaran bunga utang.

Begitu pula dengan risiko atas utang luar negeri (ULN) Indonesia. Berbagai indikator risiko
yang utama mencoba menggambarkan rasio pembayaran beban ULN. Antara lain dibandingkan
dengan nilai ekspor, penerimaan Transaksi Berjalan, serta ketersediaan cadangan devisa.

Dalam hal utang sektor publik memang belum banyak mengemuka dalam perbincangan
akademis di Indonesia. Bahkan, masyarakat luas belum banyak yang mengerti istilah ini. Salah
satu sebabnya adalah perlakuan atas utang BUMN sebagai utang swasta secara hukum. Namun
termasuk utang sektor publik dalam statistik yang rutin dipublikasi oleh Bank Indonesia.

1.5 Tentang Laporan Ini


Laporan ini merupakan reviu atas kondisi terkini utang Pemerintah, serta prakiraan
kondisinya pada tahun 2021. Akan tetapi untuk menghindari kesalahpahaman atas berbagai
informasi tentang utang, maka dianalisis pula secara umum tentang utang luar negeri dan utang
sektor publik.

Reviu merupakan asesmen terutama tentang posisi utang dan risiko utang. Asesmen
memakai metode dan indikator yang dikenal dalam berbagai kajian akademis. Pembahasan
lebih banyak dan mendalam diberikan pada beberapa indikator yang sering dipakai oleh otoritas
ekonomi. Hal ini dimaksud agar bisa diperoleh gambaran dengan bobot penilaian yang cukup
berbeda, meski dengan indikator serupa. Otoritas ekonomi dimaksud terutama Pemerintah dan
Bank Indonesia.

Laporan menganalisis tentang perkembangan utang pemerintah selama belasan tahun


terakhir. Dilengkapi dengan informasi perkembangan utang luar negeri dan utang sektor publik.
Pembahasan dilakukan atas beberapa aspek penting. Sebagian besar fokus pada kondisi terkini
atau perkembangan selama era Presiden Jokowi.

Laporan memberi pembahasan dengan porsi yang besar atas dampak pandemi Covid-19
pada utang pemerintah. Antara lain memberi penilaian tentang apakah kebutuhan utang baru
memang harus sebesar yang direalisasikan dan masih akan ditambah lagi pada tahun 2021.

Laporan membahas risiko utang tahun 2021 yang disajikan oleh Pemerintah dalam Nota
Keuangan dan APBN tahun 2021. Ditambahkan dengan faktor-faktor yang belum banyak
dikemukakan oleh Pemerintah. Kemudian disampaikan asesmen atas hal tersebut menurut
pandangan Institut Harkat Negeri (IHN).

8
Laporan mengakui bahwa sejauh ini kondisi utang luar negeri (ULN) memang belum
mengindikasikan peningkatan risiko yang berarti. Namun, pembahasan yang lebih cermat
dan mendalam melihat adanya potensi risiko pada tahun 2021 yang perlu diperhitungkan oleh
otoritas ekonomi.

Laporan menyajikan ulasan umum tentang kondisi utang BUMN dalam kaitannya sebagai
bagian dari utang sektor publik. Utang luar negeri BUMN juga memperoleh porsi bahasan
khusus dalam bagian utang luar negeri secara keseluruhan.

Laporan ini merasa perlu pula memberi sedikit porsi bahasan dari sudut pandang pihak
pemberi utang atau kreditur. Dalam hal ini yang dipakai adalah penilaian berupa rating yang
diberikan oleh beberapa lembaga rating internasional. Ditambahkan perbandingan suku bunga
atau yield dengan beberapa negara lain, yang mencerminkan pula penilaian para kreditur.

Laporan ini secara umum berpandangan bahwa kondisi utang Pemerintah kini sebagai
cukup rawan. Kondisinya cenderung akan memburuk pada tahun 2021. Risiko utang Pemerintah
cenderung pun akan meningkat.

Diingatkan pula tentang risiko utang BUMN yang juga terindikasi meningkat. Bahkan ada
kemungkinan, beberapa BUMN memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding utang Pemerintah.
Sedangkan utang luar negeri yang tampak masih terkendali dan aman dapat segera memburuk
jika kedua hal tadi memburuk.

Laporan mencoba memberi rekomendasi kepada pihak otoritas ekonomi. Rekomendasinya


terutama berupa pengendalian penambahan utang Pemerintah, serta pengawasan lebih ketat
atas utang BUMN. Pengendalian utang pemerintah tidak dapat dipisahkan dengan upaya
perbaikan atau perubahan pengelolaan APBN, sebagaimana direkomendasikan oleh laporan
IHN sebelumnya tentang reviu APBN 2021.

Laporan juga merekomendasikan perbaikan pengelolaan utang, terutama dengan upaya


lebih sungguh-sungguh menurunkan biaya utang. Selain itu, koordinasi dengan Bank Indonesia
perlu lebih intensif, tidak hanya terkait berbagai beban pembiayaan mitigasi covid-19 dan
program pemulihan ekonomi. Begitu pula koordinasi bersama Pemerintah, BI dan OJK mesti
lebih fokus, agar memiliki perhitungan yang lebih menyeluruh atas kondisi perekonomian.

9
10
BAB II
UTANG PEMERINTAH

2.1 Perkembangan Posisi Utang Pemerintah


Posisi utang (outstanding) pemerintah biasa disampaikan kepada publik untuk kondisi pada
akhir bulan dan akhir tahun. Terutama melalui publikasi bulanan APBN Kita dari Kementerian
Keuangan, serta dokumen tahunan berupa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Dalam bahasa sehari-hari posisi utang adalah sisa utang hingga tanggal yang dinyatakan.
Bersifat akumulasi dari transaksi utang pada waktu sebelumnya. Telah memperhitungkan utang
pokok yang dilunasi, termasuk yang berupa cicilan, serta utang baru yang diterima. Sebagai
data, bersifat stock atau kondisi pada waktu atau tanggal tertentu.

Posisi utang Pemerintah selama ini memang cenderung meningkat tiap tahun. Posisi utang
pemerintah pada akhir tahun 2019 telah mencapai Rp4.786 triliun. Posisi utang Pemerintah
telah mencapai Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020 merupakan nominal utang yang
tertinggi dalam sejarah Indonesia.

Realisasi sementara APBN 2020 yang diumumkan Pemerintah tanggal 6 Januari lalu
menyebut pembiayaan utang direalisasikan sebesar Rp1.226,8 triliun. Dengan demikian, posisi
utang akan bertambah sebesar itu akibat pengelolaan APBN. Ada beberapa faktor lagi yang ikut
mempengaruhi. Faktor yang paling berdampak besar adalah kurs rupiah atas beberapa mata
uang asing yang dipakai dalam denominasi utang. Tambahan akibat faktor-faktor tersebut pada
tahun 2020 sekitar Rp61,17 triliun.

Tambahan posisi utang pemerintah yang cukup drastis selama tahun 2020 disebabkan
oleh meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan, mitigasi
dampak dan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Belanja dan pengeluaran
pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal, pendapatan
justru menurun secara drastis.

Pengalaman buruk saat dampak krisis 1997/1998 yang terjadi lonjakan utang pemerintah
patut diwaspadai. Utang Pemerintah secara nominal masih terus melaju kencang hingga tahun
2000. Setelahnya pun bisa dikatakan tidak benar-benar turun, melainkan hanya melandai atau
stagnan selama beberapa tahun. Kemudian secara perlahan menaik kembali, dan naik hampir
selalu naik signfikan sejak tahun 2012.

Secara rerata, kenaikan posisi utang pada periode 2011-2020 mencapai 13,88% tiap tahun.

11
Jauh lebih tinggi dibanding periode 2001-2010 yang hanya sebesar 3,30%. Jika dilihat secara era
pemerintahan, maka rerata kenaikan era pemerintahan SBY I sebesar 4,38% per tahun. Namun,
pada era keduanya rerata laju kenaikan melesat menjadi 10,51% per tahun. Sedangkan pada era
pemerintahan Jokowi I, rerata kenaikannya menjadi lebih tinggi, yakni mencapai 13,02% per
tahun.

Laju kenaikan utang sempat sedikit menurun pada akhir pemerintahan Jokowi I, hanya
7,17% pada tahun 2019. Dampak pandemi, membuat posisi utang diprakirakan akan meningkat
drastis pada akhir tahun 2020 dibanding akhir tahun 2019, mencapai 26,91%.

Pada era pemerintahan SBY I, posisi utang tahun 2004 sebesar Rp1299,5 triliun menjadi
Rp1590,66 triliun pada akhir tahun 2009, atau naik sebesar 22,41%. Era SBY II, meningkat
sebesar 64,01%, menjadi Rp2608,78 triliun pada akhir 2014. Sedangkan era Jokowi I, kenaikan
mencapai 83,48%, menjadi Rp4.786,5 triliun pada akhir 2019.

Berdasar postur dan asumsi APBN 2021, kenaikan posisi utang direncanakan lebih landai
dari tahun 2020. Namun masih terbilang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jika
sesuai rencana APBN, maka posisi utang akan bertambah sebesar pembiayaan utang, atau
mencapai Rp7.232 triliun pada akhir tahun 2021. Artinya akan bertambah sebesar 19,44%.

Grafik 1. Posisi Utang Pemerintah (Rp Triliun), 1996-2021

2.2 Defisit, Pembiayaan Utang, dan Tambahan Utang


APBN 2020 semula merencanakan defisit sebesar Rp307,23 triliun kemudian direvisi Perpres
No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi
Rp1.039,22 triliun. Realisasi sementaranya kemudian sedikit lebih rendah dari rencana, yakni
sebesar Rp956,3 triliun. Defisit APBN akan ditutupi atau dibiayai oleh utang baru sepenuhnya.

Akan tetapi tambahan utang juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lain selain belanja.

12
Jenis pengeluaran yang belum diperhitungkan dalam angka defisit pada postur APBN. Contoh
pengeluaran dimaksud antara lain investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian
pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Pengeluaran ini tidak dicatat
dalam pos Belanja di bagian atas, karena bersifat menimbulkan hak di kemudian hari.

Tambahan utang karena kedua hal tersebut mempengaruhi besaran pos pembiayaan utang
dalam postur APBN. Pembiayaan utang merupakan istilah baru yang dicantumkan secara resmi
dalam postur APBN beberapa tahun terakhir.

Pos pembiayaan utang masuk pada kelompok pembiayaan anggaran. Kelompok pembiayaan
diletakkan dibagian bawah pada neraca atau postur APBN, sering disebut below the line.
Kelompok Pendapatan dan Belanja tampak di bagian atas atau above the line.

APBN 2020 semula merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp351,85 triliun. Direvisi
melalui Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres
No.72/2020 menjadi Rp1.220,5 triliun. Realisasi sementaranya kemudian ternyata sedikit lebih
tinggi dari rencana, yakni sebesar Rp1.226,8 triliun.

Pada APBN 2021, Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp1.177,40 triliun. Jika
realisasi sesuai dengan rencananya, maka utang pemerintah akan bertambah sebesar itu akibat
pelaksanaan APBN. Nilainya melebihi target defisit yang hanya Rp1.006,40 triliun, karena ada
pengeluaran yang termasuk dalam pos pembiayaan.

Defisit dan pembiayaan utang APBN cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi,
laju kenaikannya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit menurun pada tahun 2018. Kembali
meningkat pada tahun 2019. Dan akibat pandemi covid-19, peningkatannya menjadi amat
signifikan pada tahun 2020. Meski sedikit akan diturunkan pada APBN 2021, namun terbilang
masih jauh lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Grafik 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021

13
Perlu dicermati, dalam pos pembiayaan utang tercakup data penerimaan dari utang baru
dan data pembayaran pokok atas utang lama. Sebagian dinyatakan secara jelas, berupa pelunasan
dan penarikan utang baru. Sebagian lainnya hanya disebut secara neto.

Yang bersifat penerimaan diperoleh dari pencairan pinjaman baru dan hasil penerbitan
Surat Berharga Negara (SBN). Sedangkan yang bersifat pengeluaran berupa pembayaran cicilan
pokok pinjaman serta pelunasan SBN jatuh tempo dan SBN yang dilunasi sebelum waktunya
(buyback). Kadang ada pula beberapa penghapusan atau restrukturirasi dari pinjaman.

Pembiayaan utang memang merupakan rencana tambahan utang berdasar pengelolaan


APBN pada tahun yang bersangkutan. Akan tetapi, ada faktor lain yang dapat menambah
ataupun mengurangi posisi utang pemerintah. Faktor dimaksud adalah perubahan kurs mata
uang. Cukup banyak dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing atau diperhitungkan
mata uang selain rupiah. Porsi terbesarnya berupa dolar Amerika.

Sebagai contoh, pada tahun 2019 tambahan utang hanya sebesar Rp320,29 triliun, padahal
nilai pembiayaan utangnya sebesar Rp437,54 triliun. Lebih sedikitnya tambahan posisi utang
karena kurs rupiah pada akhir tahun 2019 menguat dibanding akhir tahun 2018. Terutama atas
dolar Amerika.

Contoh sebaliknya, terjadi pada tahun 2015, tambahan utang lebih besar dibandingkan
dengan pembiayaan utang. Pembiayaan utang hanya sebesar Rp380 triliun, namun posisi utang
bertambah sebesar Rp556,35. Penyebabnya, kurs rupiah pada akhir tahun 2015 yang lebih lemah
dari akhir tahun 2014.

Grafik 3. Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021

Perlu dicermati bahwa Faktor kurs dimaksud bukan lah rata-rata kurs sepanjang tahun,
sebagaimana yang dinyatakan dalam asumsi makro ekonomi APBN. Melainkan, penguatan atau
pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi utang dinyatakan. Pada contoh tahun 2019,
terjadi pengutan kurs rupiah atas dolar Amerika pada 31 Desember 2019 (Rp13.901) dibanding

14
dengan kurs pada 31 Desember 2018 (Rp14.981). Padahal, rata-rata kurs selama tahun 2019
adalah sebesar Rp14.146.

Cukup besarnya pengaruh kurs dikarenakan sebagian utang Pemerintah merupakan utang
dalam mata uang asing. Porsinya berfluktuasi di kisaran 38-40 persen dari total utang pada
posisi sebelum tahun 2020. Sekitar 90 persennya berdenominasi dolar Amerika. Padahal, posisi
utang dinyatakan dalam rupiah.

Pemerintah dan Bank Indonesia memang berupaya mempertahankan tingkat kurs yang
stabil, bahkan cenderung setara antara tahun 2020 dengan 2021. Perpres 72/2020 yang sekaligus
merupakan outlook mematok kurs di kisaran Rp14.400-14.800 per dolar Amerika. Sedangkan
APBN 2021 menetapkan asumsi Rp14.600.

Kurs rupiah atas dolar Amerika pada akhir tahun 2020 ternyata sebesar Rp14.105, lebih
kuat dari prakiraan dalam perhitungan Perpres 72/2020. Namun, masih sedikit melemah kurs
akhir tahun 2019 yang Rp13.901. Ditambah dengan pelemahan beberapa mata uang yang dipakai
dalam denominasi utang, maka faktor kurs bersifat memberi sedikit tambahan posisi utang.

Publikasi terkini dari Pemerintah menyebut posisi utang akhir Desember 2020 mencapai
Rp6.074,56 triliun. Dengan demikian, tambahan utang Pemerintah selama tahun 2020 sebesar
Rp1.288 triliun.

Sedangkan untuk kondisi akhir tahun 2021 masih bergantung pada perkembangan kurs
rupiah nantinya. APBN sendiri mengasumsikan kurs rupiah di kisaran Rp14.600. Namun,
asumsi itu bersifat rerata selama setahun. Sedangkan perhitungan posisi utang mengikuti kurs
tengah BI pada akhir tahun atau pada saat dinyatakan. Prakiraan tambahan utang pada tahun
2021 sementara ini berupa besaran Pembiayaan utang APBN 2021 sebesar Rp1.177,40 triliun.

2.3 Jenis dan Bentuk Utang Pemerintah


Posisi utang Pemerintah dapat digambarkan dalam beberapa aspek atau komponen. Dilihat
dari bentuknya, ada yang berupa pinjaman (loan) dan ada yang berbentuk Surat Berharga
Negara (SBN). Dari denominasi atau jenis mata uangnya, berupa rupiah dan berupa mata uang
asing (valuta asing). Sedangkan dari asal sumber atau pihak krediturnya, dapat dikelompokkan
sebagai utang luar negeri dan utang dalam negeri.

Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Pinjaman luar negeri
dikelompokkan menjadi Pinjaman Bilateral, Pinjaman Multilateral, Pinjaman Komersial, dan
kredit Suppliers. Denominasi pinjaman luar negeri berupa berbagai mata uang asing, dengan
dominasi dolar Amerika. Sedangkan pinjaman dalam negeri pada umumnya berasal dari Bank
BUMN.

SBN merupakan surat utang atau utang Pemerintah pada pihak yang memegang atau
memilikinya. Secara teknis, syarat dan ketentuan SBN ditentukan oleh Pemerintah sendiri.
Namun syarat dan ketentuan yang ditetapkan amat berpengaruh pada serapan pasar.

SBN terdiri dari berbagai seri yang memiliki jatuh tempo pada tanggal tertentu, sehingga
pelunasannya tidak bersifat cicilan. Dalam beberapa kasus, bisa dipercepat pelunasannya

15
(buyback), yang dibiayai dengan penerbitan SBN baru. Sedangkan untuk pinjaman karena bisa
dicicil sesuai dengan perjanjian utangnya.

Utang dalam bentuk SBN memiliki porsi lebih besar dibandingkan yang dalam bentuk
pinjaman. Pada akhir 2019 porsinya mencapai 84% dengan nilai sebesar Rp4.014,8 triliun.
Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman hanya 16% atau sebesar Rp771,8 triliun.

Porsi utang dalam bentuk SBN meningkat lebih cepat hingga akhir tahun 2020, mencapai
85,96% atau sebesar Rp5.221,7 triliun. Sedangkan pinjaman nilainya juga ikut meningkat
menjadi Rp852,9 triliun, namun porsinya turun menjadi 14,04%.

Grafik 4. SBN dan Pinjaman

Berdasar denominasi mata uang, porsi utang pemerintah dalam Rupiah lebih besar
dibanding dalam valuta asing (valas). Utang dalam bentuk valas terdiri dari banyak mata uang
namun hal tersebut bukan berarti berutang paling banyak pada negara dengan mata uang
tersebut. Sebagian negara atau pihak asing memilih mata dolar Amerika sebagai denominasi.
Sehingga porsinya menjadi yang terbesar. Hal ini tidak berarti pemerintah berutang banyak
pada Amerika ataupun organisasi internasional yang berpusat di negara tersebut.

Pada akhir tahun 2019, porsi denominasi rupiah mencapai 62,08% dan denominasi valas
sebesar 37,98% dari total utang. Porsi denominasi rupiah pada akhir Desember meningkat
menjadi 66,47%, seiring dengan peningkatan posisinya yang lebih cepat dari denominasi valas.
Porsi SBN valas turun menjadi 33,53%.

16
Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing

Hanya saja perlu diingat bahwa utang berdenominasi rupiah tidak selalu berarti krediturnya
adalah pihak domestik atau penduduk (residen). Bisa saja berasal dari kreditor asing namun
pemberian pinjamannya dalam bentuk rupiah, misalkan SBN yang dibeli oleh pihak asing maka
dicatat dalam utang kepada non residen. Begitu juga utang dalam bentuk valas bukan berarti
seluruhnya kepada pihak asing. Sebagian dari SBN valas, meski masih berporsi kecil, dimiliki
oleh penduduk.

Pada pengelompokan asal kreditur, utang kepada residen berarti utang kepada penduduk,
perusahaan atau Lembaga Indonesia. Sedangkan kepada nonresiden adalah kepada pihak asing,
yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang luar negeri Pemerintah. Tidak dipersoalkan
tentang jenis denominasinya.

Pada akhir tahun 2019, posisi utang kepada residen sebesar Rp2003,63 triliun (41,86%)
dan kepada nonresiden sebesar Rp2782,87 triliun (58,14%). Artinya porsi utang kepada pihak
asing tercatat lebih besar. Selama tahun 2020, keadaan menjadi berbalik, porsi kepada residen
meningkat menjadi 52,16% pada akhir Desember 2020.

Hal ini seiring dengan peningkatan kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia yang naik pesat,
bahkan berlipat. Sementara itu, pihak asing justeru sedikit menurun nilai kepemilikannya, dan
secara porsi turun sangat signifikan.

17
Grafik 6. Utang Kepada Residen dan NonResiden

2.4 Beban Utang Pemerintah


Masalah utama utang pemerintah bukan berapa atau posisi utangnya, melainkan bagaimana
membayarnya. Pembayaran yang kadang disebut beban utang mencakup pelunasan pokok utang
atau pembayaran cicilan pokok, serta pembayaran bunga utang. Pembayaran cicilan pokok
utang dilakukan pada utang yang berbentuk pinjaman. Sedangkan untuk jenis SBN, pelunasan
dilakukan sesuai waktu jatuh tempo dan nilai yang tercantum pada serinya.

Kadang Pemerintah melakukan pelunasan SBN lebih cepat dari waktunya, yang dikenal
dengan istilah pembelian kembali (buyback). Biasanya dilakukan untuk memperbaiki struktur
utang, seperti rata-rata waktu jatuh tempo. Sumber pendanaan untuk hal ini adalah dengan
menerbitkan SBN seri baru.

Pelunasan pokok utang tidak dicatat pada Belanja Negara dalam postur APBN, melainkan
pada pos pembiayaan. Dalam hal pinjaman, postur APBN mencantumkan secara jelas berapa
yang dibayar dan berapa pinjaman baru yang diterima. Selisih keduanya merupakan nilai
pinjaman neto pada tahun bersangkutan. Dalam hal SBN, yang kini dicantumkan adalah nilai
secara neto. Untuk penerbitan bruto setahun, biasanya hanya bisa dipastikan dari Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat, serta informasi khusus terkait.

Pemerintah membayar pelunasan utang sebesar Rp562,40 triliun pada tahun 2019. Sejak
tahun 2016, nilainya cenderung meningkat. Pada tahun-tahun sebelumnya berfluktuasi. Bahkan,
sempat sedikit turun pada tahun 2013 dan 2015. Pada tahun 2020 direncanakan berdasar waktu
jatuh temponya, pelunasan utang dapat diturunkan. Diprakirakan kembali meningkat mulai
tahun 2021, karena sebagian dari penarikan utang baru pada tahun 2020 merupakan utang
berjangka pendek.

18
Sementara itu, pembayaran bunga utang diperlakukan sebagai belanja dalam postur APBN.
Pengertian pembayaran bunga utang dalam belanja APBN mencakup semua biaya, tidak hanya
bunga yang rutin dibayar. Misalnya, termasuk fee dan biaya administrasi. Sedangkan dalam hal
SBN, perhitungan atas yield pada penerbitan perdana juga diperlakukan sebagai pembayaran
bunga.

Pembayaran bunga utang mencapai Rp275,54 triliun pada tahun 2019. Nilainya cenderung
meningkat tiap tahun. Rerata kenaikannya pada era tahun 2015-2019 mencapai 15,70% per
tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era sebelumnya. Akibat pandemi
covid-19, pembayaran bunga direncanakan akan sebesar Rp338,78 triliun pada tahun 2020.
Realisasi sementara APBN 2020 melaporkan sedikit di bawah itu, yaitu sebesar Rp314,1 triliun.
Mengalami kenaikan sebesar 14% dibanding tahun 2019.

Total pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga utang bisa disebut sebagai pembayaran
beban utang, yang mencapai Rp 837,92 triliun pada tahun 2019. Pembayaran beban utang
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju yang fluktuasi. Sempat sedikit turun
pada tahun 2015.

Perhitungan berdasar realisasi sementara APBN 2020 dan informasi lainnya dari
Kementerian Keuangan, pembayaran beban utang hanya sebesar Rp737,9 triliun. Nilainya
menurun dibanding tahun 2019. Meskipun pembayaran bunga meningkat, pelunasan utang
pokok mengalami penurunan signifikan.

Grafik 7. Pelunasan Utang dan Pembayaran Bunga Utang, 2010-2020

Pembayaran beban utang dapat dibandingkan dengan pendapatan negara, antara lain
sebagai gambaran umum tentang berat atau ringannya beban tersebut. Nilai pembayaran beban
utang sebesar Rp837,92 triliun tadi sebesar 42,74% dari Pendapatan Negara tahun 2019 yang
sebesar Rp1960,63 triliun. Bisa dikatakan cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN.

19
Porsi atau rasio pembayaran beban utang atas pendapatan memang cenderung meningkat
selama beberapa tahun terakhir. Meski pembayaran beban utang menurun pada tahun 2020,
namun pendapatan pun menurun sangat signifikan. Rasionya pun meningkat menjadi 45,17%.

2.5 Proyeksi Utang Pemerintah hingga tahun 2024


Posisi utang Pemerintah yang telah mencapai Rp6.075 triliun pada akhir tahun 2020.
Meningkat sangat pesat, sekitar 28,81% dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.786
triliun. Posisi akhir 2020 merupakan nominal utang yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.

APBN 2021 merencanakan tambahan utang sebagai konsekuensi dari pengelolaan APBN
sebesar pos pembiayaan utang, yaitu Rp1.177,40 triliun. Jika sesuai rencana, dan kurs pada akhir
tahun 2021 setara dengan akhir tahun 2020, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.252 triliun.

Untuk posisi tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024, belum dinyatakan proyeksi
tentang pembiayaan utang yang eksplisit. Meski demikian, posisi utang sedikit mendapat
gambaran berdasar target rasio utang atas PDB dalam Nota Keuangan APBN 2021.

Sayangnya berbeda dengan Nota Keuangan pada tahun-tahun sebelumnya, tidak disebutkan
secara definitif berapa rasionya pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga
dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio
utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%.

Bisa dimengerti bahwa hal tersebut terutama disebabkan kondisi yang masih ditandai
banyak ketidakpastian, dan program pemulihan ekonomi belum bisa dipastikan seberapa cepat
memperbaiki kondisi fiskal pemerintah.

Untuk perhitungan rasio utang atas PDB, selain bergantung seberapa besar posisi utang,
maka bergantung pula dengan perkembangan PDBnya. Di atas disebutkan posisi utang sebesar
Rp6.075 pada akhir 2020, dan diprakiran meningkat menjadi Rp7.252 triliun pada akhir 2021.
Sedangkan PDB nominal untuk tahun 2020 diprakirakan oleh Pemerintah, secara implisit dalam
laporan realisasi sementara APBN, sebesar Rp15.700 triliun.

Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 serta beberapa paparannya menyebut
rasio utang atas PDB akan sebesar 38% pada akhir tahun 2020. Sedangkan untuk tahun-tahun
selanjutnya hingga tahun 2024 hanya disebut kisaran 38-43%.

Sementara itu, proyeksi World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020 dari IMF tentang
rasio utang pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 37,7%. WEO memproyeksikan
akan meningkat menjadi 40,3% pada tahun 2021.

Kita dapat memakai rerata pertumbuhan PDB 2011-2019 yang sebesar 9,75% untuk
memprakirakan nilai nominal PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2024. Besaran PDB tahun
2020 tidak diperhitungkan dalam rerata, karena bisa dianggap sebagai pengecualian untuk
kondisi khusus. Realisasi PDB tahun 2020 atas dasar harga berlaku (nominal) itu sendiri baru
berjalan tiga triwulan. Selama tiga triwulan, nilainya hanya sebesar Rp 11.505,12 triliun.

APBN 2020 versi Perpres No.72/2020 sebenarnya memiliki asumsi tentang nilai PDB

20
nominal. Dapat dihitung dari postur APBN yang merencanakan defisit sebesar Rp1.039,22
triliun, yang disebut sebagai 6,34% atas PDB. Artinya PDB nominal atau atas dasar harga berlaku
tahun 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun.

Asumsi nilai PDB demikian nyaris mustahil akan dicapai. Dibutuhkan capaian sebesar
Rp4.886,32 triliun pada triwulan IV agar asumsi tersebut terpenuhi. Sebagai perbandingan,
nilai PDB triwulan IV tahun 2019 hanya sebesar Rp4.018,84 triliun. Padahal, nilai PDB selama 3
triwulan tahun 2019 justru lebih besar dari tahun 2020, mencapai Rp11.629,27 triliun.

Seandainya memang telah terjadi pemulihan ekonomi yang sangat signifikan pada triwulan
IV 2020, maka PDB triwulan ini memang bisa mencapai Rp4.250 triliun. Artinya, jika pemulihan
telah cukup signifikan pun, PDB nominal tahun 2020 hanya akan sebesar Rp15.755 triliun.

Ternyata, laporan realisasi sementara APBN 2020 membuat perhitungan besaran PDB yang
lebih rendah. Bisa dikatakan lebih realistis, yakni sekitar Rp15.700 triliun. Rilis dan dokumen
paparan realisasi sementara memang tidak menyebut PDB nominal, namun menyatakan bahwa
defisit sebesar Rp956, triliun adalah 6,09% dari PDB.

Berdasar prakiraan PDB tahun 2020 sebesar Rp15.700 dan rerata kenaikan PDB nominal
selama 10 tahun terakhir, maka dapat diproyeksikan kisaran nilai PDB nominal pada tahun-
tahun mendatang. Yaitu sebagai berikut: Rp17.231 triliun (2021), Rp18.911 triliun (2022),
Rp20.755 triliun (2023), Rp22.778 triliun (2024).

Dapat diambil titik tengah dari rasio utang atas PDB yang ditargetkan oleh Pemerintah
yang di kisaran 38%-43%, yakni sebesar 40,5%. Maka posisi utang berturut-turut akan sebesar:
Rp6.978 triliun (2021), Rp7.659 triliun (2022), Rp8.406 triliun (2023), Rp9.225 triliun (2024).

Akan tetapi, rasio utang pada tahun 2021 saja telah sulit untuk bisa dijaga sebesar 40,5%.
Dari prakiraan berdasar postur APBN 2021, posisi utang diprakirakan telah mencapai Rp7.252
triliun. Lebih tinggi dari proyeksi berdasar titik tengah rasio di atas, yang hanya Rp6.989,57
triliun. Rasionya atas PDB pun akan sedikit diatas 42%. Artinya, batas rentang terburuk dari
target saja telah didekati pada tahun 2021.

Pada tahun 2020 pun rasionya ternyata telah sedikit melebihi prakiraan pemerintah yang
disampaikan beberapa bulan lalu. Rasio telah mencapai 38,68%. Diperhitungkan dari posisi
utang sebesar Rp6.075 triliun dibandingkan asumsi PDB yang hanya sekitar Rp15.700 triliun.

Laporan ini berpandangan berdasar kinerja APBN tahun 2020 dan prakiraan berdasar
APBN tahun 2021, maka posisi utang kemungkinan akan melampaui Rp10.000 triliun pada
tahun 2024. Jauh lebih besar dari proyeksi yang diperhitungkan berdasar titik tengah target
dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 di atas, yang hanya sebesar Rp9.225 triliun.

Rasionya pun akan sulit dijaga dalam rentang yang ditargetkan oleh Pemerintah. Dikaitkan
dengan proyeksi PDB nominal dalam perhitungan IHN, maka rasio utang dapat mencapai 45%
pada akhir tahun 2024. Melebihi batas yang ingin dikendalikan Pemerintah sebesar 38-43%.

Beberapa faktor memberi kontribusi atas kecenderungan ini. Posisi utang yang akan
meningkat signifikan karena kebutuhan pembiayaan utang, yang didorong oleh kebijakan

21
Pemerintah yang masih ingin APBN bersifat ekspansif. Ditambah faktor kurs yang cukup
rawan di masa mendatang. Sedangkan peningkatan nilai nominal PDB akan terkendala oleh
pertumbuhan ekonomi yang jika kembali ke lintasannya, hanya di kisaran 5%.

Tentu ada pengecualian, yakni perekonomian dilanda inflasi tinggi yang akan meningkatkan
nilai PDB nominal. Bagaimanapun, otoritas ekonomi dipastikan akan sangat serius mencegah
hal ini, karena inflasi tinggi akan menimbulkan banyak soalan lain yang lebih kompleks dan
memberatkan.

22
BAB III
KONDISI SBN TAHUN 2020
DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021
3.1 Perkembangan SBN
Pada akhir tahun 2019, utang pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN)
mencapai Rp4.014,8 triliun atau 84% dari total utang. Porsinya meningkat selama tahun 2020,
terutama sebagai dampak pandemi atas pengelolaan APBN. Pada 28 Desember 2020 telah
mencapai Rp5.234,1 triliun atau 86,4% dari total utang.

Tidak hanya karena dampak pandemi, porsi SBN dalam utang Pemerintah memang terus
meningkat selama belasan tahun terakhir ini. Dinyatakan dalam berbagai dokumen resmi,
seperti Nota Keuangan, hal ini memang menjadi kebijakan dalam pembiayaan utang.

Dengan masih sangat besarnya pembiayaan utang pada 2021, yang mencapai Rp1.177,4
triliun, maka penerbitan SBN akan diperlukan. Porsinya pun akan meningkat, karena sejauh ini
arah kebijakan pinjaman luar negeri masih berupaya menurunkan atau sekurangnya membuat
posisinya tidak meningkat.

SBN pada dasarnya merupakan surat utang atau surat pengakuan Pemerintah kepada pihak
yang memiliki atau memegangnya. Penyebutannya mengalami beberapa kali perubahan, sesuai
dengan perkembangan jenis surat utang yang diterbitkan. Pernah dikenal sebagai surat utang
pemerintah, obligasi negara, dan surat utang negara.

Pada mulanya diterbitkan untuk membiayai pemulihan ekonomi akibat krisis pada
1997/1998 tertutama BLBI dan program rekapitulasi perbankan. Kemudian berkembang hingga
saat ini menjadi instrument utama dalam membiayai defisit anggaran serta pengeluaran lainnya.

Di masa lalu, jenis utang yang terbanyak berupa pinjaman (loan). Lebih tepatnya, berupa
pinjaman luar negeri, kepada berbagai pihak. Secara bilateral, multilateral, maupun kepada
swasta. Pergeseran kepada SBN antara lain didasari alasannya jenis ini penuh dengan syarat
yang secara keseluruhan dinilai membuatnya menjadi terhitung mahal.

Kebijakan pengelolaan utang yang lebih mengandalkan SBN dibandingkan dengan pinjaman
makin menguat pada era Presiden Jokowi. Pada era pemerintahan Jokowi I, penerbitan SBN
meningkat dengan laju kenaikan yang cenderung lebih pesat disbanding era SBY I dan SBY II.

Semula, laju kenaikan penerbitan SBN sempat akan diperlambat pada era Jokowi II.
Namun, pandemi Covid-19 membuat target tersebut tak bisa dipertahankan. Penerbitan SBN
justru menjadi bertambah dalam nilai yang sangat besar.

23
Grafik 8. Posisi SBN Akhir Tahun (Rp Triliun), 1998-2020

3.2 Jenis SBN


Surat Berharga Negara (SBN) saat ini dapat dikelompokkan atas berbagai kriteria atau ciri
dari masing-masing seri surat utang. Pengelompokan pertama berdasar dapat atau tidaknya
diperjual belikan atau berpindah kepemilikan. Ada SBN yang bisa diperjualbelikan (tradables)
dan ada yang tidak bisa diperjualbelikan (non tradables).

Posisi SBN pada akhir tahun 2019 adalah sebesar Rp4.014,8 triliun. Jenis SBN yang dapat
diperdagangkan sebesar Rp3.805,48 triliun atau 94,79%. Sedangkan jenis SBN yang tidak bisa
diperdagangkan sebesar Rp209,33 triliun atau 5,21% dari total SBN.

Posisi SBN pada tanggal 28 Desember 2020 adalah sebesar Rp5.234,10 triliun. Jenis SBN
yang dapat diperdagangkan sebesar Rp5.068,74 triliun atau 96,84%. Sedangkan jenis SBN yang
tidak bisa diperdagangkan sebesar Rp165,36 triliun atau 3,16% dari total SBN.

Grafik 9. SBN yang Diperdagangkan dan Tidak Diperdagangkan

24
Pengelompokan kedua terkait adanya jenis SBN yang dikelola dengan memakai prinsip
syariah sejak tahun 2008, yang disebut Surat Berharga Negara Syariah (SBNS). SBNS dikenal
pula sebagai sukuk. Meski dalam analisis umum diperlakukan serupa surat utang, sebenarnya
sukuk merupakan cerminan kepemilikan aset berwujud yang disewakan atau akan disewakan.
Dalam penerbitan sukuk, terdapat akad (perjanjian atau kesepakatan) yang tidak ada pada
obligasi konvesional umumnya.

Perkembangan SBNS terbilang pesat, dan porsinya menjadi meningkat dari total posisi
SBN. Hal itu antara lain disebabkan perkembangan dana haji, perbankan Syariah, dan Lembaga
keuangan Syariah lainnya. Ditambah dengan ketertarikan masyarakat serta berbagai pihak
untuk memilikinya. Pemerintah sendiri tampaknya lebih pada pertimbangan kondisi pasar atau
daya serap atas SBN yang akan diterbitkan, serta pertimbangan biayanya.

Hanya sekitar 11 tahun, posisinya telah mencapai Rp740,62 triliun atau 18,44% dari total
SBN pada akhir 2019. Pada akhir Desember 2020, posisinya meningkat menjadi Rp972,9 triliun
atau sekitar 18,59% dari total SBN.

Grafik 10. SBN dan SBNS

Pengelompokkan ketiga berdasar jenis mata uang dari seri SBN yang diterbitkan. Ada yang
berdenominasi rupiah dan ada yang valuta asing (valas). Posisi SBN berdenominasi rupiah
sebesar Rp2.961,29 triliun atau 74% dari total SBN pada akhir tahun 2019. Sedangkan SBN
dalam valuta asing Rp1.053,52 triliun atau sebesar 26%.

Nilai posisi SBN Valas tampak meningkat dilihat nilainya dalam rupiah, menjadi sebesar
Rp1201,48 triliun pada akhir Desember 2020. Oleh karena laju tambahan SBN Rupiah jauh
lebih pesat, maka porsi SBN valas menjadi berkurang, yakni 22,95%.

25
Grafik 11. SBN Rupiah dan SBN Valuta Asing

SBN berdenominasi valas hingga saat ini baru dalam mata uang dolar Amerika, Euro dan
Yen Jepang. Porsi dolar Amerika masih mendominasi, porsinya masih stabil di kisaran 80%.
Porsinya pada akhir tahun 2020 sebesar 78,86% dari total SBN valas.

Pengelompokkan keempat berdasar kepemilikan atau siapa yang memegang SBN, yang
secara teknis berstatus sebagai kreditur Pemerintah. Antara lain dibedakan antara yang
penduduk (residen) dan nonresiden (asing).

Dalam hal SBN yang dimiliki oleh nonresiden, Bank Indonesia mencatatnya sebagai utang
luar negeri. Terlepas dari denominasinya, valuta asing ataupun rupiah.

Ada pula pengelompokkan lebih rinci dari kepemilikan, yang dipublikasi secara rutin oleh
Kementerian Keuangan. Namun, publikasi rutin hanya dalam hal kepemilikan SBN berdominasi
rupiah, yang disebut juga sebagai SBN domestik.

Pengelompokkan kepemilikan SBN domestik ini membedakan antara yang dimiliki Bank,
Institusi Negara, NonBank, dan Asing. Dalam pengertian bank termasuk yang dipegang oleh
Bank Indonesia untuk operasi moneter. Dalam institusi negara, terutama oleh Bank Indonesia
yang bukan keperluan operasi moneter. Sedangkan bank asing masuk kategori kepemilikan
nonresiden (asing). Adapun yang nonbank dari pelaku dalam negeri, antara lain: Reksadana,
Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas, dan Individu.

Posisi SBN Domestik (berdenominasi rupiah) yang Diperdagangkan pada 28 Desember 2020
sebesar Rp 3.870,76 triliun. Porsi kepemilikannya tersebar pada berbagai pihak. Diantaranya
adalah: Bank sebesar Rp 1.375,57 triliun (35,54%), Institusi Negara sebesar Rp 454,36 triliun
(11,74%), dan NonBank sebesar Rp2.040,83 triliun (52,72%).

Dalam kategori NonBank terdiri dari beberapa kelompok pihak pemilik SBN. Porsinya

26
masing-masing atas total SBN domestik adalah sebagai berikut: Reksadana (4,17%), Asuransi
dan Dana Pensiun (14,02%), Non Residen atau asing (25,16%), Individu (3,39%), serta Lain-lain
(5,98 %)

Dalam kategori bank terdapat sebagian kepemilikan Bank Indonesia. Kepemilikannya masih
ditambah dengan yang termasuk dalam Institusi Negara. Informasi tentang keseluruhannya
disebut kepemilikan Bank Indonesia (gross).

Dari kepemilikan oleh pihak penduduk, porsi Bank Indonesia saat ini mengalami
peningkatan paling pesat dibanding akhir tahun 2019. Porsi kepemilikannya menjadi termasuk
yang sangat besar. Secara bruto mencapai Rp874,88triliun atau 22,60% dari total SBN domestik
yang diperdagangkan. Hal ini karena kebijakan berbagi beban antara Pemerintah dan BI dalam
membiayai program mitigasi dampak pandemi. Bahkan, BI diminta ikut membeli di pasar
perdana, yang sebelumnya tidak diperbolehkan.

Grafik 12. Kepemilikan SBN Domestik yang Diperdagangkan

SBN domestik yang dimiliki oleh nonresiden (asing) sempat mengalami kenaikan yang amat
signifikan pada tahun 2014, sehingga porsinya mencapai 38,13%. Jauh lebih besar dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Porsi ini bertahan cukup stabil hingga akhir tahun 2019. Sempat
mencapai porsi tertinggi pada akhir tahun 2017, yang mencapai 39,82% dari total SBN Domestik
Diperdagangkan.

Porsinya menurun drastis selama tahun 2020, hingga porsinya hanya sebesar 25,16% pada
akhir tahun. Bahkan secara nominal juga terjadi sedikit penurunan, menjadi sebesar Rp973,91
triliun. Penurunan porsi itu sendiri lebih dikarenakan peningkatan pesat kepemilikan oleh Bank
Indonesia sebagaimana yang disampaikan di atas.

27
Grafik 13. Kepemilikan Asing atas SBN Domestik yang Diperdagangkan

Sementara itu, sebagian besar dari SBN valuta asing yang diperdagangkan dimiliki oleh
asing. Porsi terkininya sekitar 91,63%. Sisanya dimiliki oleh pihak penduduk. Dengan kata lain,
jika menghitung porsi kepemilikan asing atas SBN, harus menjumlahkan yang domestik (rupiah)
dan yang valas. Saat ini porsi kepemilikan asing sedikit lebih rendah, setelah sebelumnya
cenderung lebih tinggi. Penyebabnya adalah meningkatnya kepemilikan Bank Indonesia tadi.

Pengelompokkan kelima berdasar jenis bunga (coupon), yang terdiri dari: nol (zero),
tetap (fixed), dan variabel (variable). Sebagai tambahan informasi, ada istilah yield yang
menggambarkan tingkat bunga riil SBN pada pasar perdana. Pada umumnya, pembeli SBN
tidak mendapat harga 100 persen dari nilai yang tercantum dalam SBN. Pada pasar perdana,
pemerintah mencatat selisihnya sebagai pembayaran bunga. Sedangkan nominal dalam seri
SBN tercatat dalam pembiayaan utang APBN dan mempengaruhi posisi SBN dan total utang.

Berdasar jenis kupon pada akhir Desember 2020: Zero Coupon (Rp43,92 triliun), Fixed
Coupon (Rp4.600,83 triliun) dan Variable Coupon (Rp 130,21 triliun).

Penyebutan resmi terkini tentang bebagai jenis SBN mengikuti gambar yang biasa dipakai
oleh Kementerian Keuangan dalam berbagai paparan sosialisasinya. SBN terdiri dari Surat
Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SUN terdiri dari Obligasi
Negara (ON) yang berjangka panjang dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka
pendek. Disebutkan pula denominasinya.

Sosialisasi umumnya mengedepankan jenis SBN ritel yang relatif baru. Diharapkan makin
berkembang dimasa mendatang. Sasaran utamanya adalah investor perorangan penduduk
Indonesia.

28
Grafik 14. Klasifikasi SBN

Gambar disalin dari publikasi Kementerian Keuangan

3.3 Peran Bank Indonesia


Pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia memang tidak hanya oleh Pemerintah, melainkan
juga oleh beberapa otoritas ekonomi yang lain. Ada Bank Indonesia (BI) yang merupakan bank
sentral dengan otoritas utama pada sektor moneter, seperti menentukan jumlah uang beredar
dan suku bunga acuan. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur industri keuangan,
termasuk perbankan.

Dengan demikian, pemahaman kita akan kebijakan fiskal, moneter, perbankan, dan berbagai
jenis kebijakan lainnya perlu memperhatikan konteks Indonesia. Ada perbedaan antar negara
yang kadang cukup mendasar dalam soalan tersebut.

Di sisi lain, dinamika ekonomi membuat hubungan antar sektor terjalin erat. Saling
pengaruhnya pun makin bersifat segera. Diimbuhi pengaruh dinamika global dan antar negara
yang makin erat dan seketika pula. Tentu saja respon kebijakan ekonomi yang dibutuhkan
memerlukan harmonisasi dan koordinasi antar otoritas dan jenis kebijakan.

Hal itu cukup disadari oleh otoritas ekonomi Indonesia. Terutama dalam konteks jika ada

29
kondisi yang bersifat guncangan dan bisa mengakibatkan dampak buruk yang sistemik, yang
dimulai dari atau diperparah oleh kondisi industri keuangan. Telah dibentuk Forum Stabilitas
Sistem Keuangan (FSSK) pada tanggal 30 Desember 2005, berdasarkan Keputusan Bersama
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan.

FSSK adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antara otoritas yang
berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Forum ini disebut
pihak otoritas sebagai sangat diperlukan terutama dalam menghadapi risiko atau dampak
sistemik, yang penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan keputusan bersama
secara efektif dan responsif.

Akan tetapi, sejauh yang tampak dalam pemberitaan publik, forum hanya berlangsung
sebulan sekali. Keterangan pers yang diberikan pun terkesan masih berkonten laporan masing-
masing unit otoritas. Belum kelihatan aspek harmonisasi dan koordinasi yang kuat. Kemajuan
yang tampak sebelum pandemi, baru berupa dikenalkannya istilah bauran kebijakan ekonomi,
khususnya makroekonomi.

Hikmah pandemi dalam konteks ini adalah meningkatnya koordinasi antar otoritas. Meski
sempat ada beberapa arah kebijakan yang dikomunikasikan ke publik tampak berbeda pada
awal April. Misalnya soal asumsi kurs rupiah dari Pemerintah, dan target dari Bank Indonesia.
Beberapa waktu kemudian terlihat lebih koordinatif dalam komunikasi publik dari semua pihak
otoritas.

Hingga kini mengemuka dan menjadi bahan perbincangan adalah kebijakan berbagai beban
antara Pemerintah dan Bank Indonesia.

Ada skema burden sharing atau menanggung beban bersama antara Bank Indonesia dan
pemerintah berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan yang pertama, pada 16 April
2020. Disepakati BI berperan sebagai standby buyer dari Surat Berharga Negara (SBN) hingga
25 persen dari jumlah yang dilelang pemerintah.

Pengertian hingga sebanyak itu adalah nilai maksimal. Secara teknis bergantung dari tiap
lelang yang diikuti oleh BI menjadi peserta lelang nonkompetitif. BI tetap memperoleh imbal
hasil yang cukup tinggi dalam skema ini. BI hanya mengajukan penawaran jumlah dengan harga
mengikuti hasil dari lelang kompetitif. BI diharapkan pula pada lelang tambahan (GSO) jika
dibutuhkan. Koordinasi lanjutan terkini menyepakati akan diteruskan pada tahun 2021 dan
2022.

Nilai pembelian SBN yang lebih besar oleh Bank Indonesia pada tahun 2020 akan berupa
pembelian dengan mekanisme secara langsung (private placement). Sesuai dengan Keputusan
Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 7 Juli 2020 dengan skema kedua, yang
direncanakan sebesar sebesar Rp 397,56 triliun. Dan dalam hal ini, imbal hasil yang diterima BI
akan jauh lebih kecil, merujuk pada BI reverse repo rate, tenor 3 bulan.

Hingga akhir Desember, BI telah membeli SBN dengan skema ini sebesar Rp397,56 triliun.
Dengan kata lain, telah memenuhi nilai yang disepakati. Pada akhir September sempat dijelaskan

30
oleh Pihak BI bahwa jika tidak teralisasi semua, dimungkinkan carry over ke tahun berikutnya.

Porsi kepemilikan Bank Indonesia atas SBN domestik pun meningkat pesat, secara bruto
mencapai 22,60% pada akhir Desember 2020. Dikategorikan untuk keperluan operasi moneter
sebesar 10,86% dari total SBN domestik.

Porsi kepemilikan bruto masih sebesar 9,54%, dan yang untuk operasi moneter hanya
sebesar 0,39% pada akhir tahun 2019. Dengan kata lain, peningkatan kepemilikan BI atas SBN
bisa dikategorikan sebagai kebijakan “quantitative easing”. Kebijakan melakukan pelonggaran
likuiditas bentuk kebijakan moneter yang tidak konvensional. Bisa diartikan pula sebagai
menambah jumlah uang beredar, dan dalam kasus saat ini bernilai cukup besar.

Dengan kesepakatan berbagi beban dan perkembangan kondisi pasar terkini, jumlah dan
porsinya masih mungkin meningkat pada tahun 2021. Sejauh ini, kesepakatan yang masih
berlaku adalah kesertaan Bank Indonesia pada lelang sebagai peserta nonkompetitif. Sedang
skema private placement belum dikemukakan adanya kesepakatan baru antara BI dan pihak
Pemerintah.

Grafik 15. Kepemilikan SBN Domestik Diperdagangkan oleh Bank Indonesia

Dari penjelasan dan narasi atas kebijakan yang telah diambil dan sebagiannya masih
berlanjut pada tahun 2021, BI masih akan membeli SBN. Akan tetapi, penyerapan oleh pasar
tetap diperlukan. Dan sebenarnya yang paling diharapkan meningkat memang penyerapan oleh
pasar. Skema berbagi beban dengan BI bisa dikatakan lebih bersifat “darurat”. Dan yang penting,
tidak mungkin akan terus dilakukan dalam jumlah yang sedemikian besar hingga beberapa
tahun ke depan.

Penyerapan pasar atas SBN sendiri terus meningkat sebelum pandemi. Akan tetapi
kenaikannya terjadi secara bertahap dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, penerbitan SBN
bruto mencapai Rp903 triliun telah terhitung meningkat paling pesat dibanding tahun-tahun

31
sebelumnya. Berturut-turut nilai penerbitan bruto adalah sebagai berikut: Rp652 triliun (2016),
Rp719 triliun (2017), Rp775 triliun (2018).

Dengan rencana penerbitan sekitar Rp1.550 triliun pada tahun 2020, maka sejak semula
dipastikan memang butuh “bantuan” dari BI. Dan dengan kondisi pasar obligasi di dunia dalam
kondisi terdampak pandemi, maka jika tercapai serapan pasar sebesar tahun 2019 saja sudah
terbilang cukup baik.

Realisasi penerbitan SBN bruto hingga akhir tahun 2020 ternyata sedikit di bawah rencana,
mencapai Rp1.533,63 triliun. Dari penerbitan senilai itu, Bank Indonesia membelinya pada pasar
perdana sebesar Rp650,45 triliun. Melalui lelang sebesar Rp75,81 triliun dan melalui private
placement sesuai SKB II sebesar Rp574,59 triliun.

Dengan demikian, bisa dikatakan secara stastitik semua tambahan penerbitan SBN dibeli
oleh Bank Indonesia. Tanpa BI di pasar perdana, penerbitan SBN bruto diserap pasar sebesar
Rp903,36 trilin pada tahun 2019. Pada tahun 2020, pasar menyerap dengan nilai sedikit lebih
rendah, yaitu sebesar Rp883,13 triliun.

Grafik 16. Penerbitan SBN (akumulatif) akhir bulan (Rp Juta), 2016-2020

3.4 Prakiraan Kondisi SBN tahun 2021


Pada APBN 2021, pemenuhan pembiayaan utang juga direncanakan masih didominasi oleh
penerbitan SBN. Penerbitan SBN secara neto direncanakan sebesar Rp1.207,27 triliun. Belum
bisa dipastikan penerbitan secara brutonya, karena selain SBN yang harus dilunasi karena telah
jatuh tempo, masih bergantung pada strategi buyback yang akan direalisasikan. Tentu masih
dapat diprakirakan atas dasar keduanya, yakni akan di kisaran Rp1.650 triliun. Lebih banyak
dari penerbitan bruto tahun 2020 yang hingga tanggal 14 Desember telah mencapai Rp1.526,63
triliun.

32
Adapun tentang posisi SBN secara keseluruhan pada akhir 2021 masih dipengaruhi pula
oleh faktor kurs rupiah, terutama atas dolar Amerika. Nilai SBN berdenominasi dolar tercatat
cukup signifikan. Jika kursnya akan setara dengan akhir tahun 2020, maka posisi SBN akan
sekitar Rp6.427 triliun.

Nota Keuangan dan APBN 2021 menyebut bahwa pengelolaan SBN memang menjadi salah
satu strategi utama bagi pemenuhan pembiayaan utang tahun 2021. Pengelolaannya dijelasan
pula sebagai bagian dari startegi pendalaman pasar keuangan sekaligus mengendalikan risiko
nilai tukar.

Secara teknis, yang ingin diandalkan adalah kerjasama atau partisipasi Bank Indonesia serta
penerbitan SBN ritel dari investor domestik. Partisipasi BI dan serapan atas SBN ritel sepanjang
tahun 2020 memang dirasakan sangat menguntungkan bagi kondisi fiskal Pemerintah.

Meskipun demikian, serapan pasar oleh pelaku yang “biasa” tampaknya tetap diupayakan
secara serius oleh Pemerintah. Setidaknya dapat dipertahankan meningkat dalam laju yang
pertumbuhan yang normal.

Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, semula pilihan SBN sebagai bentuk terbanyak
dari utang pemerintah antara lain dengan pertimbangan berbiaya lebih murah. Terutama jika
dibandingkan dengan pinjaman luar negeri. Namun dalam perkembangannya, SBN pun kini
cenderung meningkat biayanya, dan telah dapat dikatakan berbiaya tinggi. Indikasinya antara
lain pembayaran bunga utang yang terus meningkat, secara nominal maupun persentase dari
posisi utang rata-rata.

Cukup tingginya biaya utang dari yang berbentuk SBN ini terindikasi pula dari relative
tingginya yield dari berbagai seri SBN, terutama seri benchmark bertenor 10 tahun. Dari sisi
APBN, memang hanya langsung berpengaruh pada nilai penerbitan perdana. Perkembangan
yield pada pasar setelahnya tidak langsung membebani. Namun, berpengaruh secara tidak
langsung, karena menjadi faktor penting pada penerbitan SBN selanjutnya.

Sebagaimana umum diketahui bahwa sejak maret 2020, risiko pandemi Covid-19
menyebabkan gejolak pasar keuangan global sehingga yield SBN Indonesia meningkat signifikan.
Beberapa bulan terakhir ejak akhir Juni, yield memang tampak membaik seiring menurunnya
volatilitas dan kembalinya kepercayaan pelaku pasar keuangan. Namun masih berisiko untuk
kembali meningkat pada tahun 2021.

33
34
BAB IV
KONDISI PINJAMAN TAHUN 2020
DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021
4.1 Perkembangan Pinjaman Pemerintah
Postur APBN dalam beberapa tahun terakhir mencantumkan pos pinjaman sebagai salah
satu sub dari pembiayaan utang, selain SBN. Dinyatakan secara neto, yang merupakan selisih
dari penarikan pinjaman baru dengan pelunasan atau pembayaran cicilan pinjaman lama. Porsi
terbesar berupa pinjaman luar negeri. Namun, pinjaman dalam negeri yang meski belum cukup
besar, telah mengalami peningkatan signifikan.

Pada realisasi tahun 2019, pinjaman neto tercatat minus Rp8,75 triliun. Artinya, penarikan
atau penerimaan dari pinjaman baru lebih sedikit dibanding pelunasannya senilai itu. Terutama
disumbang oleh pinjaman luar negeri neto yang tercatat minus Rp11,78 triliun.

Sebagai informasi tambahan, pelunasan atau pembayaran cicilan pokok pinjaman luar
negeri pada tahun 2019 sebesar Rp85,99 triliun. Sedangkan penarikan pinjaman baru hanya
sebesar Rp 74,21 triliun. Dan sebesar Rp5,72 triliun diteruskan sebagai pinjaman. Penerusan
pinjaman dapat diberi kepada pemerintah daerah (termasuk BUMD) dan BUMN.

Sedangkan pinjaman dalam negeri neto tercatat Rp3,03 triliun. Artinya, penarikan lebih
besar dari pelunasan. Pelunasan atau pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri hanya
sebesar Rp1,21 triliun. Sedangkan penarikan pinjaman baru mencapai Rp4,24 triliun.

Kecenderungan arus neto dari Pinjaman adalah minus, penarikan lebih kecil dari
pembayaran, meski hanya dalam nilai yang kecil. Terutama pada arus pinjaman luar negeri.
Meski demikian, ada beberapa tahun yang netonya masih bertambah, dan dalam nilai yang
cukup signifikan.

35
Grafik 17. Arus Pinjaman Pemerintah, 2005-2020

Dengan arus pinjaman yang demikian, posisi Pinjaman Pemerintah pada akhir tahun
2020 tercatat sebesar Rp852,9 triliun. Meningkat sebesar 10,5% dari posisi akhir tahun 2019
yang sebesar Rp771,8 triliun. Namun posisi akhir tahun 2019 itu sendiri justru lebih rendah
dari posisi akhir tahun 2018. Oleh karenanya pula, posisi pinjaman cenderung stabil selama
beberapa tahun terakhir, dikisaran 750-850 triliun rupiah.

Grafik 18. Pinjaman Pemerintah, 1997-2020

4.2 Posisi Pinjaman Terkini


Posisi Pinjaman Pemerintah pada akhir tahun 2020 tercatat sebesar Rp852,9 triliun atau
sekitar 14,04% dari total utang pemerintah. Terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp11,97
triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp840,94 triliun.

36
Pinjaman dalam negeri dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan sejak tahun 2010, seiring
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan
dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerintah. Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2008, pinjaman dalam negeri digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu
pada K/L atau kegiatan tertentu pada pemerintah daerah, BUMN, dan perusahaan daerah
melalui penerusan pinjaman.

Pinjaman dalam negeri sebenarnya telah meningkat cukup signifikan pada tahun 2020.
Namun secara porsi masih amat kecil jika dibanding pinjaman luar negeri yang masih mencapai
98,6%. Peningkatan posisi pinjaman luar negeri yang meningkat juga dipengaruhi oleh
pelemahan kurs rupiah.

Pinjaman luar negeri merupakan instrumen utang yang pertama kali dimanfaatkan
Pemerintah untuk membiayai defisit APBN. Sejalan penerbitan SBN yang makin besar dan
diutamakan sebagai sumber pembiayaan, maka peran pinjaman luar negeri terus mengalami
penurunan secara relatif terhadap total utang. Namun demikian, peran penting pinjaman luar
negeri masih cukup besar dalam pendanaan proyek, terutama proyek infrastruktur.

Pinjaman luar negeri tersebut berasal dari pinjaman Bilateral, Multilateral, dan pinjaman
kepada Bank Komersial. Data hingga akhir November 2020, porsi terbesar berasal dari pinjaman
multilateral sebesar Rp460,32 triliun. Diikuti oleh pinjaman Bilateral sebesar Rp311,31 triliun.
Sedangkan pinjaman dari Bank Komersial relatif kecil, hanya sebesar Rp42,42 triliun.

Pinjaman bilateral dan multilateral pada umumnya bersifat pinjaman proyek dan pinjaman
program. Pinjaman proyek tidak banyak yang berupa uang tunai, namun berupa barang modal
atau barang dan jasa yang terkait langsung dengan proyek tertentu. Pinjaman program bisa
dikatakan bersifat arus tunai, namun penggunaannya sesuai dengan kesepakatan.

4.3 Kebijakan APBN Tahun 2020 dan APBN Tahun 2021 tentang Pinjaman
Kebijakan pinjaman dalam APBN 2020 ketika ditetapkan pada akhir tahun 2019
menyebutkan beberapa hal pokok. Baik dalam hal pinjaman dalam negeri maupun pinjaman
luar negeri.

Pinjaman Dalam Negeri secara bruto direncanakan sebesar Rp2.974,1 miliar. Pembayaran
cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar negatif Rp1.678,1 miliar. Sehingga secara neto
direncanakan sebesar Rp1.296 miliar.

Kebijakan teknisnya menimbang beberapa hal. Diantaranya adalah: a. Penyelesaian dan


percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak; b. Percepatan penyelesaian
kontrak atas kegiatan-kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;
c. Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan
menyelesaikan kegiatan; d. Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang
dan jasa; e. Kapasitas pemberi PDN; f. Biaya dan risiko pinjaman.

Dalam hal pinjaman luar negeri disebutkan beberapa kebijakan. Diantaranya: meningkatkan
kinerja dan realisasi penarikan pinjaman luar negeri untuk menghindari tambhan biaya

37
utang, meningkatkan kualitas penganggaran, mengutamakan pinjaman tunai dari pinjaman
multirateral dan bilateral, pemilihan atas mata uang pinjaman, dan mengadakan pinjaman tunai
komersial sebagai alternatif akhir.

Penarikan pinjaman luar negeri (PLN) secara bruto direncanakan sebesar Rp48.350,4
miliar. Pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp87.115,2 miliar. Dengan
demikian, penarikan pinjaman luar negeri (neto) sebesar negatif Rp38.764,8 miliar.

PLN akan dilakukan dengan beberapa kebijakan pokok. Diantaranya adalah: a.Meningkatkan
kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan
multiplier effect yang optima; b. Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui
peningkatan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai
upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output
dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional; c. Mengutamakan Pinjaman Tunai
yang bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan
kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang
menjadi basis pinjaman tunai; d. Pemilihan mata uang pinjaman tunai mempertimbangkan
kebutuhan kas dan pengelolaan portofolio utang pemerintah; e. Mengadakan pinjaman tunai
komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang.

Pandemi covid-19 membuat APBN tahun 2020 diubah menurut Perpres 72, yang merevisi
rencana pinjaman. Dalam hal pinjaman dalam negeri, rencananya tidak berubah. Sedangkan
penarikan pinjaman luar negeri secara bruto meningkat signifikan menjadi sebesar Rp147,5
triliun. Sedangkan secara neto menjadi Rp45,43 triliun.

Realisasi sementara APBN 2020 melaporkan pinjaman secara neto mencapai Rp49,7 triliun,
lebih besar dari rencana Perpres 72 yang sebesar Rp46,7 triliun. Belum diinformasikan tentang
rincian pinjaman dalam dan luar negerinya.

Kebijakan pinjaman dalam APBN 2021 tampak tidak banyak berubah. Secara umum ingin
sedikit menurunkan atau setidaknya mempertahankan posisi saja. Dengan kata lain, nilai
penarikan pinjaman baru akan setara atau lebih kecil dari pembayaran pinjaman lama. Hanya
faktor kurs yang kadang membuat selisih signifikan dari rencananya, karena statistik pinjaman
dinyatakan dalam rupiah.

APBN 2021 merencanakan Pinjaman dalam negeri (neto) sebesar Rp978,3 miliar. Terdiri
atas penarikan pinjaman dalam negeri (bruto) sebesar Rp2.729,1 miliar dan pembayaran cicilan
pokok pinjaman dalam negeri sebesar Rp1.750,8 miliar.

Nota Keuangan dan APBN 2021 menyebut beberapa kebijakan teknis Pemerintah tentang
pengelolaan pinjaman dalam negeri. Antara lain sebagai berikut: 1) Mendorong sinergi perencanaan
dan penganggaran pinjaman dalam negeri dalam APBN; 2) Mempercepat penyelesaian kegiatan
yang telah terkontrak dan penyelesaian kontrak atas kegiatan-kegiatan prioritas tahun-tahun
sebelumnya; 3) Optimalisasi monitoring dan evaluasi atas kegiatan-kegiatan yang dibiayai
dengan pinjaman dengan memfokuskan kepada kegiatan-kegiatan dengan kinerja buruk dan
yang mengalami kendala pelaksanaan; 4) Membatasi masa laku pinjaman dengan tujuan untuk

38
meningkatkan ownership pelaksana kegiatan dalam menyelesaikan kegiatan sesuai target yang
telah direncanakan; dan 5) Mendorong perbaikan kapasitas pelaksana kegiatan, dalam hal
ini K/L disisi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, dan pelaku industri dalam negeri disisi
kapasitas pelaksanaan kegiatan.

Pinjaman luar negeri (neto) dalam APBN tahun 2021 direncanakan sebesar minus
Rp30.894,6 miliar. Artinya, posisinya direncanakan akan berkurang selama setahun, dari akhir
tahun 2020. Penarikan pinjaman luar negeri (bruto) yang sebesar Rp51.377,4 miliar lebih rendah
dari pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp82.272,0 miliar.

Dari rencana penarikan pinjaman tersebut, penarikan pinjaman tunai dalam mata uang
asing tahun 2021 sebesar USD1,5 miliar atau ekuivalen Rp21.900,0 miliar. Sedangkan yang
berupa pinjaman kegiatan sebesar Rp29.477,4 miliar.

Pinjaman kegiatan terutama berasal dari mitra pembangunan bilateral dan multilateral
antara lain Jepang, Tiongkok, Jerman, Korea Selatan, World Bank, IDB, ADB, AIIB, dan
pengadaan pinjaman yang bersumber dari kreditur swasta asing.

Kebijakan teknis pengelolaan pinjaman kegiatan dalam Nota keuangan dan APBN 2021
tahun dinyatakan dalam beberapa arah. Diantaranya adalah: a) meningkatkan koordinasi
internal Pemerintah dalam perencanaan kegiatan yang dibiayai pinjaman kegiatan; b)
meningkatkan kualitas penganggaran kegiatan yang dibiayai oleh pinjaman termasuk pinjaman
yang diteruspinjamkan (on-lending) dan pinjaman yang diterushibahkan (on- granting); c)
optimalisasi monitoring dan evaluasi atas kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman
dengan memfokuskan kepada kegiatan-kegiatan dengan kinerja buruk dan yang mengalami
kendala pelaksanaan; d) memperbaiki dan meningkatkan kapasitas pelaksanaan kegiatan;
e) membatasi masa laku pinjaman dengan tujuan untuk mendorong pelaksana kegiatan
menyelesaikan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati; dan f) memberikan reward
and punishment bagi kegiatan-kegiatan yang berkinerja baik dan buruk.

Dengan rencana pembiayaan APBN 2021 melalui pinjaman neto sebesar minus 29,92
triliun, maka jika tidak ada faktor kurs rupiah, maka posisi pinjaman pada akhir tahun 2021
akan berkurang menjadi di kisaran Rp823 triliun. Posisi pinjaman luar negeri akan sekitar
Rp810 triliun.

39
40
BAB V
RISIKO UTANG PEMERINTAH

Risiko secara sederhana dapat diartikan sebagai pemburukan kondisi yang bersifat tidak terduga
atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Dalam hal risiko utang, terutama berhubungan
dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran
bunga. Meskipun mungkin hanya pada sebagian utang, baik yang berjenis pinjaman ataupun SBN.

Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan
pada saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan
susah payah.

Bagaimanapun, secara teoritis dan secara teknis masih terdapat risiko gagal membayar
utang di masa mendatang. Oleh karenanya, pemahaman akan tingkat risiko utang menjadi
sangat penting, agar dicegah terjadinya kondisi buruk, yang melebihi kemampuan menanggung
bebannya. Dalam konteks tertentu, bukan mencegah agar terjadi yang menjadi fokus, melainkan
kesiapan untuk menghadapinya.

Ada beberapa indikator untuk menggambarkan risiko utang, yang merupakan hasil kajian
akademis berdasar pengalaman banyak pihak di masa lalu. Untuk masing-masing jenis utang
yang disebut di atas, dikenal berbagai indikator risiko. Tentunya ada faktor tambahan penting
yang mesti disertakan, karena perbedaan kondisi sosial politik, kondisi geografis, faktor posisi
dalam dinamika ekonomi global, dan soalan lainnya pada masing-masing negara.

Ada risiko lain yang kadang kurang tergambar dalam berbagai rasio yang dikenal umum. Yaitu
ketika pemerintah memang berhasil membayar kewajiban utangnya, namun dilakukan dengan
bersusah payah. Akibatnya, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk melakukan
kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan yang baik.

Berkaitan dengan semua itu, risiko pengelolaan utang Pemerintah saat ini bertambah dalam
aspek pencarian utang baru. Kondisi APBN masih memaksa pembayaran beban utang harus
dilakukan dengan penarikan utang baru. Upaya tersebut berisiko tidak diperolehnya utang baru
senilai yang diharapkan. Terutama jika selisih kurangnya dalam nilai yang besar.

5.1 Risiko Pembayaran Beban Utang


5.1.1 Pelunasan pokok utang dan Pembayaran Bunga Utang
Pembayaran beban utang pemerintah dalam APBN mencakup pelunasan pokok utang
atau pembayaran cicilan pokok, serta pembayaran bunga utang. Pembayaran cicilan pokok

41
utang dilakukan pada utang yang berbentuk pinjaman. Sedangkan untuk jenis SBN, pelunasan
dilakukan sesuai waktu jatuh tempo dan nilai yang tercantum pada serinya. Kadang pemerintah
melakukan pelunasan SBN lebih cepat dari waktunya (buyback) dengan maksud memperbaiki
struktur utangnya.

Pemerintah membayar pelunasan utang sebesar Rp562,40 triliun pada tahun 2019. Sejak
tahun 2016, nilainya cenderung meningkat. Pada tahun-tahun sebelumnya berfluktuasi. Bahkan,
sempat sedikit turun pada tahun 2013 dan 2015. Pada tahun 2020, sesuai rencana berdasar
waktu jatuh temponya, pelunasan utang dapat diturunkan menjadi sebesar Rp423,8 triliun.

Diprakirakan kembali meningkat mulai tahun 2021, karena sebagian dari penarikan utang
baru pada tahun 2020 merupakan utang berjangka pendek. Tanpa memperhitungkan buyback
SBN, pelunasan pokok utang dapat mencapai Rp600 triliun.

Grafik 19. Pelunasan Pokok Utang, 2010-2021

Sementara itu, bunga utang Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian
modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang
(opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga
(interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Ada biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee,
management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah
disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos
untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan
pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan bunga untuk SBN pada pasar perdana atau pertama kali dijual, diperhitungkan
tentang imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan
keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai

42
contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak selalu sama
nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika sama dengan nominalnya berarti yield sama
dengan kupon (bunga). Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield
lebih dari kupon. Dimungkinkan pula kasus sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah yield
lebih besar dari kupon. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait
dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan
pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan
semua jenis biayanya, yang riil dikeluarkan. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup
perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN
Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga atau tidak disebut sebagai
bunga, pembayaran riil nya tetap dicatat dalam pos ini.

Rerata kenaikan pembayaran bunga utang pada era tahun 2015-2019 mencapai 15,70% per
tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era sebelumnya. Akibat pandemi
Covid-19, pembayaran bunga meningkat menjadi sebesar Rp314,1 triliun pada tahun 2020.
Mengalami kenaikan sebesar 14% dibanding tahun 2019. Padahal, pada APBN 2020 sebelum
adanya pandemi, direncanakan akan menurun.

Namun kembali direncanakan meningkat pada tahun 2021, menjadi sebesar Rp373,26
triliun. Jika terealisasi, maka akan terjadi kenaikan pembayaran bunga utang sekitar 18,83%.

Pembayaran bunga utang tersebut dicatat dalam pos Belanja Negara, sebagai bagian dari
belanja Non Kementerian/Lembaga dan secara teknis administrasi menjadi tanggung jawab
Menteri Keuangan. Namun, perlu diingat bahwa Menkeu dalam hal ini bertindak sebagai
Bendahara Umum Negara, bukan sebagai pemimpin K/L.

Grafik 20. Pembayaran Bunga Utang, 2000-2021

43
5.1.2 Rasio Pembayaran Beban Utang atas Pendapatan Negara
Pembayaran beban utang dapat dibandingkan dengan pendapatan negara, antara lain
sebagai gambaran umum tentang berat atau ringannya beban tersebut. Nilai pembayaran beban
utang sebesar Rp837,92 triliun tadi sebesar 42,74% dari Pendapatan Negara tahun 2019 yang
sebesar Rp1960,63 triliun. Bisa dikatakan cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN.

Porsi atau rasio pembayaran beban utang atas pendapatan memang cenderung meningkat
selama beberapa tahun terakhir. Pembayaran beban utang secara nominal sebenarnya menurun
pada tahun 2020. menjadi sebesar Rp737,9 triliun. Akan tetapi pendapatan juga menurun secara
lebih signifikan, menjadi hanya Rp1.633,6 triliun. Rasionya menjadi meningkat, mencapai
45,17%.

Dalam konteks keberlanjutan fiskal, idealnya beban utang bisa dibayar oleh surplus
anggaran. Setidaknya dapat diimbangi secara proporsional oleh laju kenaikan pendapatan,
sehingga rasionya tadi tidak meningkat.

Dampak pandemi telah memaksa pemerintah menambah utangnya secara besar-besaran,


dipastikan akan menambah beban pembayaran beban ditahun-tahun mendatang. Jika laju
kenaikan pendapatan tidak dapat mengimbangi, maka rasionya bisa mencapai 50% atau separuh
dari pendapatan pada tahun 2024. Kondisi yang cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN.

Grafik 21. Pembayaran Beban Utang (Rp Triliun), 2010-2020

Analisis beban utang juga dapat dilakukan dengan membandingkannya dengan penerimaan
perpajakan. Penerimaan perpajakan dapat dianggap mencerminkan kondisi perekonomian.
Tentu saja ada aspek tata kelola perpajakan dalam berbagai aspeknya.

Penerimaan perpajakan pada tahun 2019 mencapai Rp1.546,14 triliun. Sebagaimana telah
disajikan di atas, pembayaran beban utang sebesar Rp837,92 triliun. Dengan demikian, rasio
pembayaran beban utang atas penerimaan perpajakan adalah sebesar 54,19%.

44
Rasio ini meningkat menjadi 57,52% pada tahun 2020, karena penerimaan perpajakan
turun menjadi Rp1.282,8 triliun. Rasio ini pun sulit untuk dipertahankan, apalagi diperbaiki
dalam arti diturunkan. Penerimaan perpajakan kemungkinan hanya akan tumbuh perlahan,
setidaknya selama satu atau dua tahun pemulihan ekonomi.

5.1.3 Rasio Pembayaran Bunga atas Posisi Utang Rata-Rata


Pemerintah cukup menyadari bahwa salah satu aspek penting dalam pengelolaan utangnya
adalah terkait upaya menurunkan biaya utang. Sekurangnya menjaga agar tetap stabil atau tidak
mengalami kenaikan.

Semua biaya utang diperlakukan oleh APBN sebagai pembayaran bunga utang. Di atas
sudah disajikan perkembangan selama beberapa tahun terakhir. Antara lain tentang nilainya
yang cenderung meningkat. Sebab utamanya adalah posisi utang yang memang meningkat
cukup pesat.

Untuk mengukur apakah terjadi peningkatan biaya tidak cukup hanya dengan melihat
nominal pembayaran bunga utang. Perlu dicermati persentasenya atas posisi utang. Secara
sederhana, persentase atau rasio tersebut mencerminkan “tingkat bunga riil” yang telah dibayar.

Posisi utang selama setahun mengalami perkembangan, karena ada pembayaran pokok
utang lama dan penarikan utang baru. Sehingga tidak cukup mencerminkan tingkat bunga riil
tadi jika pembayaran bunga setahun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir tahun. Rasio
yang lebih mencerminkan adalah membandingkannya dengan posisi utang rata-rata selama
setahun. Bisa dengan menghitung rerata dari posisi tiap akhir bulan, atau sebanyak 12 posisi
utang. Cara yang lebih sederhana adalah menghitung rerata dari posisi awal tahun yang sama
dengan akhir tahun sebelumnya dengan posisi akhir tahun.

Sebagai contoh, posisi utang rata-rata pada tahun 2019 adalah sebesar Rp4.626,35 triliun.
Dari posisi akhir tahun 2018 sebesar Rp4.466,2 triliun dan akhir tahun 2019 sebesar Rp4.786,5
triliun. Sedangkan posisi utang rata-rata pada tahun 2020 adalah sebesar Rp5430,5 triliun,
karena posisi akhir tahunnya sebesar Rp6.074,5 triliun.

Pembayaran bunga selama setahun dibandingkan dengan posisi rata-rata utang, yang
dihitung dari cara di atas, cukup mencerminkan perkembangan tingkat bunga utang riil selama
ini. Rasionya cenderung menurun pada periode tahun 2007-2013. Meningkat pada periode
tahun 2014-2018. Sedikit menurun pada tahun 2019 dan 2020. Rasionya sebesar 5,78% pada
tahun 2020.

45
Grafik 22. Pembayaran Bunga Utang dan Tingkat Bunga Riil, 1998-2020

5.1.4 Rasio Pembayaran Bunga atas Pendapatan dan PDB


Perkembangan beban pembayaran bunga utang Pemerintah dapat pula dicermati dari
rasionya atas pendapatan negara dan atas PDB. Rasio pembayaran bunga selama setahun
2020 dibandingkan Pendapatan Negara telah mencapai 19,23%. Meningkat signifikan dari
rasio pada tahun 2019 yang hanya sebesar 14,05%. Akan tetapi perlu diperhatikan pula bahwa
kecenderungan peningkatan memang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir.

Grafik 23. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas Pendapatan Negara

Rasio pembayaran bunga selama setahun atas nilai PDB nominal pada tahun bersangkutan
juga merupakan salah satu indikator yang dijaga dalam rangka meminimalkan risiko utang.

46
Bahkan, Pemerintah telah menetapkan batas aman rasio pembayaran bunga utang terhadap
PDB sebesar 1,9%. Tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan No.17/KMK.08/2020
tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024, tertanggal 24
Januari 2020.
Batasan itu masih tampak belum terlampaui sebelum pandemi. Akan tetapi, rasionya perlahan
telah meningkat dan mencapai 17,4% pada tahun 2019. Pada tahun 2020, dampak pandemi
membuatnya meningkat menjadi sekitar 2%.
Berdasar target dalam postur APBN, maka rasionya masih sulit diturunkan pada tahun 2021.
Bahkan diprakirakan meningkat di kisaran 2,2%. Dengan kata lain, batas yang ditetapkan oleh
Keputusan Menteri Keuangan tadi akan dilewati selama dua tahun berturut-turut. Tidak ter-
tutup kemungkinan masih berlanjut pada tahun 2022 dan 2023 di kisaran 2%.Tentu saja harus
diakui penyebab utamanya adalah dampak pandemi yang sangat besar pada kondisi fiskal
secara keseluruhan.

Grafik 24. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas PDB

5.1.5 Keseimbangan Primer


Salah satu indikator risiko utang yang dianggap penting dalam analisis kesinambungan
fiskal adalah apa yang disebut dengan Kesimbangan Primer (KP). Arti penting itu membuatnya
tercantum sebagai salah satu dari lima bagian postur APBN yang disajikan kepada publik. Postur
APBN lainnya terdiri dari: Pendapatan, Belanja, Defisit/Surplus, dan Pembiayaan.

Meski penting, publik tampaknya kurang mengenali istilah Keseimbangan Primer


dibandingkan dengan postur lainnya. Istilah ini baru banyak dibicarakan di ruang publik pada
tahun 2018 dan tahun 2019, ketika topik utang pemerintah sedang mengemuka.

Secara definisi, Keseimbangan Primer merupakan selisih dari total pendapatan negara
dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

47
Jika total pendapatan negara sama dengan belanja negara di luar pembayaran bunga
utang maka Keseimbangan Primer bernilai nol. Dalam posisi ini, seluruh bunga utang masih
dibayar dari pendapatan. Tentu saja, APBN masih berpostur defisit jika pembayaran bunga ikut
diperhitungkan.

Jika total pendapatan negara lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran
bunga utang, maka Keseimbangan Primer bernilai positif. Masih tersedia dana yang berasal dari
pendapatan untuk membayar sebagian belanja diluar bunga utang. Makin besar nilainya bisa
dikatakan makin baik atau makin sehat APBN tahun bersangkutan.

Sebaliknya, jika total pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran
bunga utang, maka Keseimbangan Primerbernilai negatif atau minus. Dana dari pendapatan tidak
mencukupi untuk membayar bunga utang, setelah dihitung belanja jenis lainnya. Dalam hal ini,
sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.

Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2011, Keseimbangan Primer selalu bernilai positif.
Nilainya berfluktuatif. Makin besar nilainya berarti makin tersedia dana dari pendapatan untuk
belanja lainnya, setelah membayar bunga. Nilai Keseimbangan Primer positif terbesar terjadi
pada tahun 2008. Realisasi APBN tahun 2008 secara keseluruhan tetap defisit, namun dengan
nominal terendah selama belasan tahun terakhir.

Sejak tahun 2012 hingga 2018, Keseimbangan Primer selalu negatif. Nilai negatifnya sempat
terus meningkat pada tahun 2013-2015, kemudian stabil pada tahun 2016 dan 2017. Pada tahun
2018 sempat turun drastis, karena pendapatan tumbuh cukup tinggi.

Realisasi nilai Keseimbangan Primer hanya minus Rp11,4 triliun pada tahun 2018, jauh
lebih baik dari tahun 2017 yang sebesar Rp124,41 triliun. Perbaikan lebih signifikan lagi jika
dilihat dari rasionya atas PDB, karena nilai PDB nominal yang mengalami peningkatan.

Optimisme Pemerintah pun meningkat ketika Menyusun APBN 2019. APBN 2019 ditetapkan
agar Keseimbangan Primer mendekati nol rupiah, yaitu hanya minus Rp20,1 triliun. Bahkan,
dikedepankan menjadi argumen klaim sebagai APBN yang sehat pada saat itu. Realisasinya
ternyata kembali meningkat menjadi minus Rp77,5 triliun.

Pemerintah masih bersikeras KP dapat ditekan kembali dalam APBN 2020. Targetnya
hanya minus Rp12 triliun. Artinya, dari pembayaran bunga utang yang direncanakan sebesar
Rp295,21 triliun, hanya senilai KP itu yang dibayar pakai utang baru.

Pandemi Covid-19 memaksa postur APBN berubah drastis. Pendapatan diprakirakan


merosot, dan butuh berutang lebih banyak. Sebagian utang baru telah berbiaya bunga pada
tahun 2020. Baik dalam konteks yield ketika SBN diterbitkan, maupun pembayaran bunga
selanjutnya. Ada seri yang bunganya dibayar tiap 3 atau 6 bulan. Bahkan, pembayaran bunga
SBN ritel dilakukan tiap bulan.

Pembayaran bunga utang sempat direncanakan mencapai Rp335 triliun pada 2020 dalam
Perpres 72. Oleh karena Pendapatan juga ditargetkan merosot tajam, maka nilai minus dari
Keseimbangan Primer diprakirakan mencapai Rp700,4 triliun.

48
Realisasi sementara APBN 2020 memang tidak seburuk perhitungan menurut Perpres 72.
Pembayaran bunga utang hanya sebesar Rp314,1 triliun, dan Keseimbangan Primer bernilai
minus Rp642,2 triliun. Bagaimanapun, nilai ini merupakan yang terburuk dalam sejarah APBN.
Bahkan jika dilihat secara rasio atas PDB yang mencapai 4,09%.

Kajian ilmiah tentang utang menjelaskan bahwa kondisi keseimbangan primer anggaran
pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, amat menentukan kesinambungan
fiskalnya. Dikatakan kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran
bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru.

Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus,
melainkan nilai surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan
surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat
tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga musti bertambah.

Hal ini tentu disadari oleh Pemerintah. Terbukti dari target APBN beserta narasi argumennya
dalam Nota Keuangan sebelum pandemi covid-19 yang menargetkan KP menjadi surplus, setidak
hanya sedikit defisit atau nilai negatif yang kecil.

Dalam narasi RPJMN 2020-2024 dikatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk


menjaga kesinambungan fiskal dengan APBN yang sehat, seraya tetap memberikan stimulus
terhadap perekonomian. Salah satunya ialah mengarahkan keseimbangan primer menuju positif
dengan rata-rata 0,1%-0,3% dari PDB selama periode lima tahun ke depan.

Pandemi covid-19 yang berdampak sangat besar pada kemampuan fiskal pemerintah tidak
hanya terjadi pada APBN 2020. Dampaknya masih menjadi tantangan dalam pengelolaan
APBN beberapa tahun ke depan. Dalam hal Keseimbangan Primer, APBN 2021 hanya berani
menargetkan sedikit perbaikan pada Keseimbangan Primer, yang ditargetkan minus sebesar
Rp633,1 triliun.

Grafik 25. Keseimbangan Primer (Rp Triliun), 2004-2021

49
5.2 Rasio Posisi Utang atas PDB
Risiko utang pemerintah dapat dicermati melalui banyak indikator, yang sebagiannya telah
dijelaskan di atas. Akan tetapi, Pemerintah cenderung menonjolkan salah satunya saja dalam
wacana publik. Yaitu rasio utang terhadap PDB. Salah satu sebabnya, rasio tersebut yang diatur
dalam undang-undang No.17/2003 tentang keuangan negara. Batas yang tidak boleh dilewati
disebut dalam penjelasan pasal 12 ayat 3, sebesar 60% dari PDB.

Pemerintah terkesan beropini bahwa besaran batas itu merupakan batas aman. Padahal,
undang-undang tidak menyebut soal keamanan, hanya tidak boleh dilewati. Ada banyak
pandangan tentang asal usul dan tafsiran mengapa besaran 60% yang dijadikan patokan.

Beberapa pandangan melihat alasan utama pemakaian rasio posisi utang atas PDB dalam
undang-undang adalah karena keterkaitannya dengan pendapatan Pemerintah, terutama
pajak. Peningkatan posisi utang mesti diimbangi oleh kenaikan PDB nominal, yang berarti
pula pendapatan pemerintah turut meningkat. Jika rasionya cukup terjaga, maka peningkatan
cenderung setara. Dapat pula menjadi alasan kenaikan posisi utang pemerintah yang dinilai
berdampak positif pada kenaikan pendapatan masyarakat secara umum.

Jika hal tersebut terus berlanjut apakah rasio utang yang dikatakan masih aman tersebut
tetap berlaku? Jika dicermati UU tidak mengatakan bahwa 60% adalah batas aman, hanya
menyatakan bahwa rasio utang tidak boleh melebihi batas tersebut. Maka hal tersebut
mengindikasi bahwa sebenarnya untuk kondisi saat ini pemerintah perlu waspada.

Sebelum pandemi, pemerintah sering menyampaikan kebijakan pengelolaan utang


dilakukan dengan kehati-hatian, yang antara lain menjaga rasionya atas PDB di kisaran 30%.
Hal itu cukup bisa dilakukan sampai dengan tahun 2019. Namun, kesulitan fiskal akibat pandemi
telah meningkatkan rasionya hingga mencapai 38,68% pada akhir tahun 2020.

Perkembangan rasio utang pada era awal reformasi (1998-2000) meningkat drastis. Penyebab
utamanya adalah upaya pemulihan ekonomi, khususnya sektor industri perbankan, yang dibiayai
oleh utang pemerintah. Rasio tertinggi terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 88,81%.

Rasio berhasil diturunkan secara sangat signifikan pada periode 2001 sampai dengan 2007.
Posisi utang secara nominal bisa dipertahankan tidak meningkat, atau hanya sedikit meningkat.
Pada saat bersamaan, PDB nominal mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Penurunan
paling pesat terjadi pada tahun 2002 yang turun lebih dari 10% dari tahun sebelumnya. Disusul
tahun 2005 yang turun lebih dari 9%.

Rasio terendah dicapai pada tahun 2012 yang sebesar 22,95%. Rasio kembali meningkat
pada tahun 2013 (24,88%) dan sedikit turun pada tahun 2014 (24,68%). Meningkat cukup
signifikan pada tahun 2015 yang mencapai 27,45%. Relatif stabil di kisaran itu pada tahun 2016
dan 2017. Peningkatan signifikan kembali terjadi pada tahun 2018 yang mencapai 30,31%.
Sedikit turun pada tahun 2019, yang sebesar 30,28%.

Faktor dampak pandemi pada tahun 2020 membuat penambahan utang secara nominal
yang sangat besar. Pada saat bersamaan, PDB nominal justru menurun. Rasio utang pun melesat
menjadi 38,68% pada akhir tahun 2020.

50
Grafik 26. Rasio Utang Pemerintah atas PDB, 1998-2021

Pemerintah menyadari bahwa rasio utang belum dapat diturunkan pada tahun 2021. Bahkan
diproyeksikan bertahan atau sedikit meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Nota Keuangan
dan RAPBN 2021 yang disampaikan kepada DPR pada pertengahan agustus lalu telah menyebut
target rasio utang pada tahun 2024. Dikatakan bahwa risiko utang yang berkaitan dengan
kesinambungan fiskal yaitu rasio utang terhadap PDB berada pada range 36-41 persen hingga
akhir tahun 2024. Hal itu dianggap telah memerhatikan kondisi krisis hingga perlambatan
ekonomi akibat pandemi yang diperkirakan memengaruhi pertumbuhan PDB dalam jangka
menengah.

Tidak disajikan proyeksi tahunan, sebagaimana biasanya pada dokumen Nota Keuangan
pada tahun-tahun sebelumnya. Dan yang lebih perlu dicermati adalah perubahan proyeksi yang
amat signifikan dalam kurun waktu hanya tiga bulan. Dari dokumen Kerangka Ekonomi Makro
(KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun 2021 yang disampaikan Pemerintah
ke DPR pada pertengahan Mei.

KEM PPKF tahun 2021 menyebut prakiraan rasio utang pemerintah atas PDB pada tahun
2020 hanya sebesar 36,38%. Dikatakan pula bahwa sebagai komitmen untuk mewujudkan
pengelolaan fiskal yang fleksibel dan sustainable, maka rasio utang senantiasa dijaga dalam batas
aman dan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 36,08–37,18 persen terhadap PDB. Proyeksi
yang sekaligus target pengelolaan secara tahunan adalah sebagai berikut: 36,67-37,97% (2021),
36,65-37,39% (2022), 36,45-37,36% (2023), dan 36,08-37,18% (2024).

Sebagaimana disebut di atas, dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2021 telah memprakirakan
rasio yang lebih tinggi. Pada tahun 2020 dapat mencapai 38%. Sedangkan untuk tahun 2024,
rentangnya yang diubah. Batas bawah tetap 36%, namun batas atas meningkat hingga 41%.

Perubahan yang signifikan hanya dalam waktu 3 bulan, padahal sama-sama telah
memperhitungkan dampak pandemi dan program pemulihan ekonomi. Perubahan terutama
dikarenakan prakiraan defisit yang jauh lebih lebar pada APBN 2021.

51
KEM PPKF tahun 2021 memproyeksikan defisit hanya di kisaran 3,21-4,17% dari PDB.
Sedangkan APBN 2021 menetapkan sebesar 5,70%. Perlu diperhatikan pula, RAPBN 2021
sebenarnya hanya mengajukan defisit 5,50%. Ada kenaikan sebesar 0,20% selama pembahasan
di DPR.

Kenaikan rencana defisit APBN dibanding RAPBN yang cukup signifikan itu berdampak
pada target rasio utang. Rasio utang atas PDB ditargetkan bertahan di kisaran 38-43% hingga
tahun 2024. Akan tetapi, berdasar postur APBN 2021 dan realisasi sementara APBN 2020, maka
kemungkinan batas atas target itu pun telah dialami pada tahun 2021.

Perubahan proyeksi pemerintah yang terus berubah dalam waktu singkat memang
diakibatkan oleh ketidakpastian pandemi itu sendiri, yang hingga kini masih berlangsung.
Belum semua dampak ekonominya dapat diperhitungkan secara cukup presisi. APBN sebagai
instrumen kebijakan yang paling diandalkan pun menjadi mudah berubah.

Laporan ini memprakirakan defisit masih akan cukup besar hingga beberapa tahun ke depan.
Bukan hal mudah untuk memenuhi amanat UU No.2/2020 yang hanya memberi keleluasaan
atau pengecualian atas UU No.17/2003 atas batas defisit yang sebesar 3% selama 3 tahun. Agar
defisit APBN 2022 kembali pada batasan itu.

Ada kemungkinan defisit masih akan di atas 3% hingga tahun 2024. Sekalipun dapat diturunkan
dari tahun 2020 yang sebesar 6,09% dan tahun 2021 yang sebesar 5,70%. Hal itu terutama karena
arah kebijakan APBN yang masih diingankan ekspansif. Dan kengganan menyusun ulang berbagai
proyek prioritas nasional yang telah dimulai atau telah direncanakan sebelum pandemi.

Jika tidak ada perubahan arah kebijakan fiskal secara mendasar, laporan IHN memprakirakan
rasio utang dapat membengkak hingga 45% pada tahun 2024. Utang secara nominal akan lebih
dari Rp10.000 triliun. Sedangkan PDB nominal, jika perekonomian pulih, maka hanya kembali
pada laju rata-ratanya.

Rasio dapat saja menurun jika PDB secara nominal meningkat drastis selama beberapa
tahun ke depan. Akan tetapi jika pertumbuhan ekonomi hanya kembali dikisaran 5% berarti
laju inflasi yang naik pesat. Sesuatu yang selama ini diupayakan keras untuk tidak terjadi oleh
otoritas ekonomi.

5.3 Perkembangan Rasio Pajak


Perkembangan rasio utang terhadap PDB sebagaimana dijelaskan di atas, sejauh ini masih
membuat pemerintah mengklaim bahwa utangnya masih aman. Karena batas aman dimaksud
adalah rasio sebesar 60% seperti yang ditetapkan oleh undang-undang.

Pemerintahan berulangkali pula menjelaskan bahwa peningkatan utangnya secara nominal


dan secara rasio tersebut adalah dalam rangka kegiatan produktif. Misalkan dikemukakan
mengenai berbagai proyek strategis nasional, yang disertai dengan informasi tentang berbagai
outputnya. Antara lain dalam hal perbaikan jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik dan
semacamnya. Belakangan ditambahkan soal peningkatan alokasi untuk perbaikan kualitas
sumber daya manusia.

52
Beberapa pihak menyampaikan kritik bedasar analisis yang berbeda. Diantaranya berupa
analisis tentang belanja modal yang tidak meningkat signifikan bahkan cenderung stagnan.
Sementara itu, pembayaran bunga utang justru meningkat pesat. Dengan kata lain, narasi
penambahan utang yang lebih untuk produktif tidak didukung oleh alokasi belanja pemerintah
pusat berdasar jenis belanja.

Kritik lain yang cukup mendasar mempertanyakan konsep produktif yang mestinya berupa
dampak atas PDB (pertumbuhan ekonomi), yang ternyata tidak mengalami perbaikan secara
signifikan. Bukankah jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik tadi harusnya meningkatkan
produksi nasional secara lebih cepat.

Pandangan umum tentang alasan utang pemerintah dikaitkan dengan PDB karena dianggap
merupakan cerminan pendapatan negara, setidaknya faktor yang paling berpengaruh. Pelunasan
utang dan bunga akan dibayar dengan pendapatan negara, yang porsi terbesarnya adalah pajak.
Berdasar pengalaman banyak negara, akan cukup aman jika rasio utang di bawah dua kali rasio
pajak. Ketika ditetapkan undang-undang keuangan negara yang memberi batas 60% dalam
penjelasannya, terkait dengan hal ini.

Rasio utang pada tahun 2003 masih sebesar 61,18% ketika undang-undang tentang
keuangan negara ditetapkan. Pada tahun berikutnya berhasil diturunkan menjadi 56,60%.
Rasio pajak sebesar 12% pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 12,2% pada tahun 2004. Akan
tetapi pengertian rasio pajak saat itu jika dilihat definisi yang dipakai oleh pemerintah sekarang
ini merupakan dalam artian sempit. Tidak memasukkan penerimaan cukai dan bea perdagangan
internasional, serta penerimaan sumber daya alam. Jika memakai definisi arti luas, rasionya
pada 2003 dan 2004 telah dikisaran 16%.

Terlepas dari perdebatan tentang alasan terkait rasio pajak dibalik pemakaian rasio utang
atas PDB, memang penting mencermati perkembangan dan kondisi terkini dari rasio pajak. Hal
ini pula yang sering dipakai pengkritik kebijakan pengelolaan utang pemerintah, ketika rasio
utang Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara maju dan negara lainnya. Rasio pajak
mereka pada umumnya lebih tinggi dari Indonesia.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Hal itu bersesuaian dengan perintah UUD 1945 Pasal 23A yang menyebutkan bahwa
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-
Undang.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.

53
Dalam wacana tentang postur dan besaran pendapatan dari APBN, dikenal istilah
penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan merupakan penerimaan pajak ditambah
dengan penerimaan dari bea dan cukai. Pengertian Bea yaitu pungutan negara yang dipakai
pada beberapa barang yang dimpor serta diekspor. Sedangkan Cukai adalah pungutan negara
yang dipakai pada beberapa barang spesifik yang memiliki karakter mau pun ciri-khas yang
diputuskan dalam udang-udang.

Sebelum pandemi Covid-19, penerimaan perpajakan cenderung meningkat. Hanya pernah


turun pada tahun 2009 dibanding tahun sebelumnya. Laju kenaikannya berfluktuasi. Kenaikan
pada 2019 hanya sebesar 1,80%, terendah sejak tahun 2010. Setahun sebelumnya, pada 2018
terjadi kenaikan sebesar 13,04%. Kenaikan tahun 2018 merupakan dampak program tax
amnesty yang dijalankan.

Capaian penerimaan perpajakan atas target pada era 2015-2019 secara rata-rata hanya
sebesar 87,68%. Adanya program tax amnesty sempat membuat capaian meningkat menjadi
93,86% pada 2018. Namun kembali turun menjadi 86,55% pada tahun 2019.

Ketika pandemi covid-19 melanda, target penerimaan perpajakan telah diturunkan secara
drastis pada Perpres 54, dan kemudian Perpres 72. Meski demikian, penerimaan perpajakan
tetap tidak memenuhi target. Hanya tercapai 91,33% dari target. Bahkan, dalam hal pajak saja,
diluar bea dan cukai, capaiannya hanya 89,3%.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, analisis tentang soal pajak dan perpajakan ini yang
erat hubungannya dengan utang pemerintah adalah mengenai besaran rasio pajak (tax ratio).
Rasio pajak merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan besaran PDB pada
tahun bersangkutan.

Grafik 27. Rasio Pajak, 2005-2020

Kini dikenal dua besaran rasio pajak yang dikemukakan dalam dokumen ataupun
penjelasan Pemerintah. Pertama, rasio pajak yang hanya memperhitungkan penerimaan pajak

54
yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Perhitungannya tidak mencakup penerimaan bea
masuk dan keluar serta penerimaan cukai, yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Besaran rasionya dikenal sebagai rasio pajak dalam arti sempit.

Kedua, rasio yang memperhitungkan seluruh penerimaan perpajakan, termasuk bea dan
cukai, kemudian ditambah dengan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan SDA itu
sendiri dalam postur APBN tercatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Besaran rasionya
dikenal sebagai rasio pajak dalam arti luas.

Rasio pajak dalam kedua pengertian itu cenderung turun selama beberapa tahun terakhir.
Rasio pajak dalam arti sempit hanya sebesar 8,42% dari PDB pada tahun 2019. Sedangkan dalam
arti luas mencapai 10,74%.

Pandemi Covid-19 membuat rasionya kembali turun pada tahun 2020. Realisasi sementara
APBN 2020 melaporkan penerimaan pajak sebesar Rp1.070 triliun. Sedangkan PDB nominal
tahun 2020 diprakirakan hanya mencapai Rp15.705. Dengan demikian, rasio pajak dalam arti
sempit turun menjadi 6,81%.

Sedangkan perhitungan rasio pajak dalam arti luas, menambahkan penerimaan bea dan
cukai sebesar Rp212 triliun, serta penerimaan sumber daya alam sebesar Rp97,84 triliun. Total
penerimaan dalam konteks perhitungan ini menjadi sebesar Rp1.380,64 triliun. Rasio pajak
dalam arti luas pada tahun 2020 turun menjadi 8,79%.

APBN 2021 masih menargetkan kenaikan yang konservatif, dan itu pun masih berisiko
tidak tercapai. Pemulihan ekonomi yang diyakini oleh Pemerintah sudah mulai berlangsung dan
mendekati pulih sepenuhnya pada tahun 2021 akan meningkatkan PDB nominal. Jika target
demikian terpenuhi atau setidaknya didekati, maka rasio pajak belum akan naik signifikan.

5.4 Peningkatan Risiko Utang akibat Pandemi Covid-19


Rasio utang pemerintah atas PDB telah mencapai 38,68% pada akhir tahun 2020. Rasio ini
sedikit diatas prakiraan Pemerintah beberapa bulan sebelumnya, yang masih meyakini hanya
38%.

Jika dilihat dari rasio pada akhir tahun 2019 (30,23%), terjadi kenaikan yang sangat
signifikan, yaitu sebesar 8,45% dari rasio akhir tahun 2019 yang masih sebesar 30,23%.

Pemerintah beberapa kali “menjelaskan” bahwa kondisi utang banyak negara lain lebih
memburuk dari Indonesia akibat dari dampak pandemi Covid-19. Ada grafik dalam Nota Keuangan
dan APBN tahun 2021 yang menyajikan contoh peningkatan rasio utang beberapa negara,
termasuk Indonesia. Data dari grafik itu bersumber pada proyeksi International Monetary Fund
(IMF) dalam suatu laporannya, yaitu World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020.

Rasio utang pemerintah Indonesia dalam grafik tampak hanya bertambah 7,8% atas PDB
selama setahun, 2019-2020. Hampir setara dengan Nigeria dan Turki yang bertambah 7,4%. Masih
lebih baik dibanding Meksiko (12,20%), Brazil (12,80%), dan Afrika Selatan (17,70%). Disajikan
pula kondisi empat negara maju yang rasio utangnya bertambah sangat besar pada 2019-2020,
yaitu: Amerika Serikat (32,7%), Spanyol (28,3%), Jepang (30,0%) dan Inggris (16,2%).

55
Pemerintah memang tidak salah ketika mengemukakan data tersebut, yang bahkan disertai
kotak penjelasannya dalam Nota Keuangan. Namun, perlu dimengerti bahwa cara berbeda dalam
“membaca data” yang sama, dapat dilakukan. Yaitu berupa menghitung seberapa persentase
perubahannya. Cara ini dapat dianggap lebih mencerminkan dampak, karena menimbang lebih
tepat perubahan atas besaran indikator sebelumnya.

Terlihat bahwa tambahan rasio utang sebesar 7,8% atas PDB tersebut merupakan kenaikan
23,61% dari posisi sebelumnya. Jika yang dipakai sebagai indikator adalah persentase perubahan
rasio utang, maka Indonesia tidak tampak lebih baik dari kebanyakan negara lain.

Dua negara yang seolah lebih buruk pada cara membaca data sebelumnya, justru lebih baik
dari Indonesia. Meksiko meningkat 22,72%, sedangkan Brazil hanya 14,30%. Sementara itu,
Afrika Selatan yang seolah jauh lebih buruk dari Indonesia, menjadi hanya sedikit lebih buruk,
yakni meningkat 28,46%.

Dalam hal empat negara maju yang dikutip Pemerintah, persentase kenaikan rasio utangnya
tidak jauh lebih buruk dari Indonesia. Yang memang meningkat lebih tinggi adalah Amerika
Serikat (30,08%) dan Spanyol (29,63%). Sedangkan dua negara lain justru relatif lebih baik,
yaitu Jepang (12,61%) dan Inggris (18,97%).

Selain itu, penulis cukup heran atas kutipan dan ulasan data WEO Juni 2020 yang terbilang
cukup panjang dalam Nota Keuangan yang terkesan memilih data yang “lebih baik” saja. Yang
dijelaskan merupakan proyeksi tahun 2020, padahal, laporan juga membuat proyeksi tahun
2021. Dan jika proyeksi tahun 2021 disertakan, maka Indonesia akan tampak lebih buruk. Ada
negara lain yang rasio utangnya turun atau hanya stagnan, sedangkan kita masih naik pada
tahun 2021.

Sebagai contoh, Brazil yang rasio utangnya diproyeksikan akan turun dari 102,3% (2020)
menjadi 100,6% (2021). Untuk negara maju, yang diproyeksikan turun adalah Jepang dan
Inggris. Sedangkan yang hanya naik sedikit atau relatif stagnan: Rusia, Nigeria, Meksiko, dan
Spanyol. Sementara itu, Indonesia masuk kelompok yang rasio utangnya diproyeksikan masih
meningkat cukup signifikan pada tahun 2021, dari 37,7% menjadi 40,3%.

Ada informasi lain pada WEO Juni 2020 yang memang sebagiannya dikutip oleh Pemerintah,
namun tidak dianalisis bersamaan dengan peningkatan rasio utang. Yakni data tentang alokasi
anggaran Pemerintah untuk Covid-19. Berupa tambahan belanja, pengeluaran investasi, dana
penjaminan, dan lain sebagainya. WEO menyatakan nilainya berupa porsi (persentase) atas PDB.
Dengan kata lain, bisa langsung diperbandingkan dengan soalan tambahan rasio utang di atas.

Berdasar laporan itu, Indonesia mengalokasikan anggaran fiskalnya sebesar 3,5% dari PDB.
Hanya lebih besar dari Meksiko (1,2%) dan Rusia (2,9%). Jauh lebih kecil dari Turki (9,4%), Brazil
(11,9%), Afrika Selatan (9,5%), dan 4 negara maju yang disajikan dalam grafik Nota Keuangan.

Dengan demikian, secara sederhana kita dapat saja mengatakan bahwa kebanyakan
tambahan rasio utang mereka karena memang untuk menangani pandemi. Sedangkan untuk
Indonesia, masih perlu penjelasan yang lain. Tambahan rasio utang Indonesia (7,8% atas PDB)
pun jauh melebihi alokasi untuk pandemi (3,5% atas PDB).

56
Laporan ini tidak bermaksud membantah penjelasan bahwa Pemerintah terpaksa berutang
lebih banyak akibat dampak pandemi Covid-19 atas APBN. Terutama pada sisi pendapatan. IHN
memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan Pemerintah dalam hal belanja. sebagaimana
dianalisis secara panjang lebar dalam laporan IHN tentang reviu APBN. Laporan IHN
tersebut menilai kurangnya upaya mengubah alokasi belanja secara mendasar, sehingga bisa
mengompensasi kebutuhan mitigasi pandemi.

5.5 Prakiraan Risiko Utang Pemerintah Tahun 2021


Nota Keuangan dan APBN 2021 menyebut risiko utang pemerintah terutama terdiri dari tiga
jenis risiko. Masing-masing dijelaskan dan disajikan data terdahulu dan proyeksinya. Meliputi:
risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, dan risiko pembiayaan kembali.

Dikatakan bahwa perkembangan risiko tingkat bunga dalam kurun waktu tahun 2016
sampai dengan bulan Juni 2020 menunjukkan tren yang menurun. Yang dimaksud adalah rasio
utang berbunga mengambang (variable rate) terhadap total posisi (outstanding), dari 12,1%
menjadi 9,1%. Dalam periode tersebut, pemerintah menerapkan strategi pengadaan utang
baru dengan mengutamakan yang memakai tingkat bunga tetap (fixed rate). Terutama melalui
penerbitan SBN di pasar domestik.

Pemerintah tampaknya berencana mengubah strategi berutang terkait jenis suku bunga.
Atau sekurangnya melonggarkan kecenderungan untuk mengutamakan yang berbunga tetap.
Antara lain disampaikan bahwa berdasarkan kondisi saat ini, dimana pemulihan ekonomi
global dalam jangka menengah membutuhkan tingkat bunga yang cenderung rendah dengan
potensi kenaikan secara bertahap, maka strategi pengelolaan utang memberikan keleluasaan
atau fleksibilitas pengadaan utang baru sepanjang periode 2020-2024 dalam tingkat bunga
mengambang paling banyak 20,0 persen dari total kebutuhan utang bruto. Padahal seperti telah
disebut di atas, posisinya hingga pertengahan 2020 hanya 9,1%.

Pada jenis risiko nilai tukar diakui terdapat persoalan struktural perekonomian berupa
defisit neraca transaksi berjalan, yang berpotensi memberikan tekanan terhadap nilai tukar
sewaktu-waktu. Oleh karenanya, pemerintah mengatakan bahwa pengadaan utang dalam mata
uang asing akan tetap dilakukan secara selektif dan berhati-hati dengan mengutamakan mata
uang asing kuat (hard currencies) seperti USD, JPY,vdan EUR dengan tetap membuka peluang
penerbitan pada mata uang non-hard currency. Penerbitan SBN valas juga akan dilakukan
dengan memerhatikan keserasian komposisi aset dan utang valas dan parameter risiko keuangan
negara lainnya serta untuk membantu memenuhi kebutuhan cadangan devisa negara.

Dalam hal risiko pembiayaan kembali, pemerintah mengatakan selama kurun waktu tahun
2016 sampai dengan bulan Juni 2020 relatif stabil dengan average time to maturity (ATM)
di kisaran 9 tahun. ATM yang lebih panjang dapat menurunkan risiko gagal bayar dengan
mempertimbangkan kemampuan membayar kembali dan biaya. Dalam hal ini, pemerintah
memiliki waktu lebih panjang untuk mempersiapkan kewajiban pembayaran dan memiliki
kesempatan untuk melakukan reprofiling instrumen-instrumen utangnya melalui operasi
liability management. Pemerintah mengatakan terus berkomitmen mengupayakan pengadaan
utang dalam tenor jangka menengah-panjang.

57
Tabel 1.
Perkembangan Outstanding dan Indikator Risiko Utang Pemerintah Pusat,
2016-Juni 2020

Sumber: Disalin dari Nota Keuangan dan APBN 2021

Dalam jangka menengah, pengadaan utang baru dikatakan oleh Pemerintah akan mem­
pertimbangkan ketiga risiko di atas. Akan tetapi dari tabel yang disajikan Nota Keuangan dan
APBN 2021, pemerintah sebenarnya dimungkinkan melakukan perubahan, atau memberi
keleluasaan yang lebih luas.

Sebagai contoh, risiko nilai tukar memang diupayakan menurun, namun batas maksimalnya
dipatok 41,0% pada akhir tahun 2024. Begitu pula dengan rasio utang yang bersuku bunga
mengambang, dilonggarkan hingga bisa mencapai 20% pada akhir tahun 2024.

Secara keseluruhan, upaya mengendalikan risiko utang yang berkaitan dengan kesinam­
bungan fiskal dinyatakan dalam target rasio utang terhadap PDB. Targetnya adalah pada range
38-43 persen hingga akhir tahun 2024. Target yang diakui telah memerhatikan kondisi krisis
hingga perlambatan ekonomi akibat pandemi yang diperkirakan memengaruhi pertumbuhan
PDB dalam jangka menengah.

58
Tabel 2.
Proyeksi Risiko Utang Pemerintah Pusat dalam Jangka Menengah, Hingga akhir 2024

Sumber: Disalin dari Nota Keuangan dan APBN 2021

5.6 Asesmen IHN atas risiko utang


Khasanah teori dan dokumen terdahulu dari Pemerintah tentang utang sebenarnya telah
banyak membicarakan soalan risiko utang ataupun tingkat keamanan utang. Pada prinsipnya,
keamanan utang merujuk pada kemampuan membayar tanpa mempengaruhi tugas utama
Pemerintah hingga bertahun-tahun ke depan. Biasa dikenal sebagai keberlanjutan atau
kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).

Kajian Badan Kebijakan Fiskal bahkan sempat mendefinisikan kesinambungan fiskal


sebagai suatu kondisi yang menunjukkan terwujudnya fiskal yang sehat secara terus-menerus
yang diindikasikan dengan relatif terjaganya defisit anggaran dan menurunnya rasio utang
pemerintah terhadap PDB.

Dikatakan bahwa salah satu upaya untuk menjaganya dengan mengendalikan tingkat kerentanan
(vulnerability) dalam batas toleransi. Kerentanan fiskal adalah suatu kondisi tertekannya ketahanan
fiskal sehingga berpotensi menurunkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya
(solvabilitas), serta menghambat proses pencapaian target-target pembangunan.

Pemerintah tampak cukup menyadari risiko utangnya dan berkomitmen akan mengelolanya
secara berhati-hati. Bahkan, Nota Keuangan dan APBN 2021 memberi ruang pembahasan yang
lebih panjang lebar dari biasanya atas risiko utang dan kebijakan pengelolaan utang. Sebagiannya
telah dikuti pada uraian di atas.

Nota Keuangan dan APBN 2021 secara umum mengakui jika risiko utang termasuk risiko
fiskal yang sangat penting. Jika tidak berhasil dikendalikan akan memiliki dampak besar pada
APBN keseluruhan. Risiko itu diidentifikasi dalam penggambaran sederhana berupa peta risiko
utang. Dampaknya (impact) sebesar 4 dari skala 1 sampai dengan 5, atau berdampak tinggi. Diakui
berdasar kondisi terkini, kemungkinan terjadinya (likelihood) sebesar 3, atau mungkin terjadi.

59
Pemerintah mengaku melakukan berbagai kebijakan pengelolaan utang selama tahun 2021
yang akan menurunkan dampak risiko utang hingga sebesar 2 saja dalam skala itu. Atau hanya
berdampak kecil. Tidak dijelaskan upaya menurunkan skala kemungkinannya.

Laporan ini menilai dengan peta yang sama, menempatkan kemungkinan terjadi berskala 4 atau
sangat mungkin terjadi. Dengan kata lain, kemungkinan ada masalah dalam soalan utang ini lebih
tinggi dari proyeksi pemerintah. Laporan juga menilai banyak hal terkait itu memang diluar kendali
pemerintah. Misalnya soal penyerapan pasar atas penerbitan SBN, serta arus keuangan global.

Laporan ini sangat menekankan kemungkinan risiko dalam pembiayaan kembali. Ada
indikasi sumber pembiayaan tidak mencukupi. Pada tahun 2020 bisa dikatakan bahwa
pemerintah telah sangat mengandalkan “bantuan” Bank Indonesia. Penyerapan SBN selain
dari BI justru mengalami penurunan. Padahal hal itu sudah terbantu oleh penyerapan yang
meningkat dari perbankan. Peningkatan serapan dari perbankan sendiri dimungkinkan oleh
kelonggaran likuditas melalui berbagai aturan dari BI. Ditambah dengan masih tertahannya
pertumbuhan kredit kepada masyarakat.

Jika kondisi serupa dialami pada tahun 2021, maka pengelolaan keuangan BI perlu mengalami
perubahan. Dan selain risiko utang pemerintah yang meningkat, faktor penyaluran kredit yang
dibutuhkan perekonomian akan menjadi terkendala. Bisa dikatakan akan menimbulkan gejala
yang dikenal sebagai “crowding out”. Pemerintah akan memperebutkan sumber dana dengan
pihak swasta atau masyarakat.

Dalam hal risiko bunga, bagaimanapun telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan.
Pembayaran bunga utang telah mencapai Rp314,1 triliun pada tahun 2020 dan direncanakan
naik menjadi Rp373,3 triliun pada APBN 2021. Pada tahun 2020 sebenarnya pembayaran
bunga utang telah terbantu dengan besarnya kepemilikan SBN oleh BI yang berbunga rendah.
Dan masih akan terbantu hingga beberapa tahun ke depan. Namun, secara keseluruhan tetap
memberi tekanan pada besarnya belanja negara.

Sejauh ini, risiko nilai tukar berhasil dikendalikan. Akan tetapi risiko ini tetap dapat
mengancam sewaktu-waktu pada tahun 2021. Penyebab utamanya kondisi perekonomian global
yang masih penuh ketidakpastian disertai struktur Neraca Pembayaran Internasional Indonesia
yang belum kuat.

Laporan ini menilai risiko nilai tukar perlu mendapat perhatian khusus pada tahun 2021.
Salah satu faktor tambahan risikonya adalah kebijakan berbagi beban dengan Bank Indonesia
yang telah dijalankan. Bagaimanapun hal itu mempengaruhi kondisi keuangan BI, dan terutama
“kredibilitasnya” dalam perspektif pasar. Secara lebih khusus lagi, ada kemungkinan pelaku
asing memiliki pandangan yang negatif jika terus dilakukan dan dalam nilai yang amat besar.

Laporan ini juga mengingatkan agar Pemerintah tidak sering membandingkan risiko
utangnya dengan negara-negara lain, yang berbeda kondisi. Seperti tentang rasio utang atas PDB
Indonesia yang jauh lebih rendah dari beberapa negara maju. Perlu diingat bahwa persepsi pasar
atas risiko utang pemerintah negara maju untuk gagal bayar (default) umumnya sangat rendah.
Bisa dikatakan sebagai too big to fail. Alasan lainnya adalah stabilitas politik dan pemerintah
serta porsi utang negara maju sejauh ini bersumber dari pendapatan dalam negeri.

60
BAB VI
PERENCANAAN UTANG
PEMERINTAH
6.1 Alasan Berutang
Transaksi meninjam dana atau berutang saat ini dilakukan oleh Pemerintah semua
negara. Hanya nilai besar atau kecilnya yang berbeda. Penyebab utamanya adalah pengeluaran
pemerintah yang cenderung terus meningkat. Sementara itu, penerimaan tidak selalu bisa
mengimbanginya, sehingga defisit anggaran menjadi sesuatu yang lazim terjadi.

Dalam kasus Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian-bagian terdahulu,
defisit Anggaran selalu terjadi. Nilainya secara nominal, cenderung meningkat. Akibatnya,
kebutuhan berutang pun ikut meningkat. Sebab teknis ini bisa disederhanakan utang naik lebih
karena pengeluaran yang makin besar.

Pemerintah Indonesia era Presiden Jokowi mengemukakan alasan tentang mengapa


berutang terus dilakukan, bahkan dalam besaran nilai yang cenderung bertambah. Antara kain
disebut soal ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya
biaya ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Menjadi
dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah memutuskan untuk menjakankan kebijakan fiskal ekspansif. Yakni, Belanja


Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh.

Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspansif dikatakan perlu


dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Anatara lain melalui alokasi
anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Lebih lanjut dijelasakan adanya kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat
ditunda. Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut
sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan atau utang. Pemerintah
yakin bahwa utang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.

Penjelasan tentang utang yang bersifat produktif sebenarnya juga telah dilakukan oleh
pemerintahan era-era sebelumnya. Bahkan, sejak era pemerintahan Soeharto. Masing-masing
era hanya berbeda dalam mengemukakan program prioritasnya, serta besaran nilai utang yang
dibutuhkan.

61
Secara teoritis dan teknis, tersedia beberapa kebijakan untuk membiayai defisit selain
berutang. Diantaranya adalah dengan mencetak uang dan atau menjual aset negara. Dan
pada praktik kebijakan fiskal di Indonesia, semua jenis tersebut pernah dijalankan. Pada era
Pemerintahan sekarang ini, pilihan utamanya adalah dengan berutang.

Meski tema utang terbilang sangat popular dalam diskusi publik, namun beberapa aspeknya
kurang mendapat porsi pembahasan. Salah satu diantaranya adalah tentang perencanaan utang
pemerintah.

Utang pemerintah sebenarnya telah direncanakan dalam berbagai dokumen resmi negara dan
pemerintah. Baik tentang proyeksi kisaran nilai maupun garis besar kebijakan pengelolaannya.
Termasuk di dalamnya upaya menekan risiko utang dalam berbagai aspeknya. Hal ini sering
dikemukakan sebagai kebijakan pengelolaan utang yang berhati-hati dan menimbang faktor
keberlanjutan fiskal.

6.2 Rencana Utang dalam RPJMN


Rencana utang disebut dalam narasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2020-2024 dengan terlebih dahulu menjelaskan kebijakan fiskalnya secara umum.
Dijelaskan bahwa stimulus terhadap perekonomian dilakukan dengan penajaman belanja
negara. Total belanja negara diperkirakan meningkat menjadi 14,4- 6,3 persen PDB, dengan
belanja pemerintah pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) masing-masing
meningkat menjadi 9,5-11,2 dan 4,9-5,1 persen PDB pada tahun 2024.

Dengan prakiraan tersebut, defisit akan dijaga pada 1,5-1,7 persen PDB pada tahun 2024, berada
di bawah batas defisit yang diamanatkan oleh undang-undang. Keseimbangan primer diarahkan
menuju positif. Dengan komposisi tersebut, rasio utang akan dijaga di bawah 30 persen PDB.

RPJMN 2020-2024 merinci proyeksi defisit anggaran tiap tahun berupa rentang besaran
rasio atas PDB. Demikian pula dengan proyeksi pembiayaan utang, yang lebih besar dari defisit
karena adanya pengeluaran investasi dan pengeluaran selain belanja negara. Sejalan dengan
proyeksi tersebut diprakirakan pula rasio utang atas PDB tiap tahunnya.

Pandemi covid-19 membuat realisasi pada tahun 2020 meleset jauh semua proyeksi
tersebut. Defisit melebar hingga 6,09%, yang telah melampaui batas menurut undang-undang
tentang keuangan negara. Namun, kondisi khusus karena pendemi telah ditetapkan payung
hukum baru yang memperbolehkan defisit melampaui 3% hingga tahun 2022.

Dalam hal rasio utang atas PDB yang ditargetkan berkisar 28,5-29,2 pada tahun 2020,
realisasinya mencapai 38,68%. Rasio ini memang masih jauh dari batas 60% yang dibolehkan
oleh undang-undang. Namun terkait target pada tahun-tahun berikutnya hingga tahun 2024
pun hampir dapat dipastikan tidak tercapai.

Tabel 3. Proyeksi RPJMN 2020-2024 atas Beberapa Indikator Utang Pemerintah


2020 2021 2022 2023 2024
Defisit Anggaran (1,8)-(2,0) (1,6)-(1,7) (1,6)-(1,7) (1,6)-(1,7) (1,5)-(1,7)
Pembiayaan Utang 2,0-2,3 1,8-2,1 1,8-2,1 1,8-2,1 1,7-2,1
Rasio Utang 29,6-30,4 29,4-30,0 29,1-29,8 28,9-29,6 28,5-29,2

62
Melesetnya realisasi berbagai proyeksi indikator utang pemerintah dalam RPJMN
sebenarnya telah terjadi sebelum pandemi. Proyeksi atau target RPJMN 2015-2019 terkait rasio
utang selalu tidak tercapai tiap tahunnya. Bahkan makin memburuk atau meleset jauh pada
tahun-tahun terakhirnya. Realisasi pada tahun 2019 sebesar 30,23%, padahal target RPJMN
pada tahun tersebut adalah sebesar 19,30%.

Realisasi rasio utang dapat terpenuhi pada empat tahun awal dari RPJMN 2010-2014. Sedikit
meleset atau rasionya lebih tinggi dari target pada tahun 2014 atau tahun terakhirnya. Sedangkan
pada RPJMN 2005-2009, target selalu terpenuhi, dan bahkan dilampaui secara signifikan.

Grafik 28. Proyeksi dan Realisasi Rasio Utang atas PDB dalam RPJMN

6.3 Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah


Perencanaan pengelolaan utang berjangka menengah yang lebih rinci dibanding RPJMN
dan memang secara khusus dimaksudkan demikian ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Keuangan (KMK). Semula kurun waktunya bersesuaian dengan RPJMN, karena memang harus
menjadi penjabarannya dalam hal perencanaan utang. Sehingga sempat ada KMK tentang
strategi pengelolaan utang negara jangka menengah (SPUNJM) tahun 2005-2009 dan tahun
2010-2019.

Perkembangan berikutnya dari SPUNJM tidak lagi seiring dengan RPJMN, baik dalam hal
rentang waktu, maupun besaran target indikatornya. Antara lain disebabkan oleh revisi yang
dilakukan sebelum berakhirnya waktu SPUNJM. Sedangkan RPJMN belum pernah mengalami
revisi di pertengahan waktu pelaksanaan.

Pada saat ini yang masih berlaku adalah SPUNJM dalam KMK No.17/KMK.08/2020
yang ditetapkan oleh Sri Mulyani pada tanggal 24 Januari 2020. Ini merupakan revisi dari
KMK No.884/KMK.08/2017 yang ditandatangani oleh Sri Mulyani pada tanggal 27 November
2017. Artinya, ada perubahan sebelum selesai realisasinya. Padahal, pemerintahan Jokowi I
tidak merevisi SPUNJM tahun Tahun 2014-2017 yang ditetapkan melalui KMK Nomer 113/
KMK.08/2014 oleh Chotib Basri pada tanggal 23 Mei 2014.

63
Kedua KMK yang ditetapkan oleh Sri Mulyani tadi menyebutkan dua konsideran
menimbang. Yaitu: a. bahwa untuk mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang negara
yang dilakukan dengan memenuhi kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dengan biaya minimal dan tingkat risiko yang terkendali, diperlukan adanya
strategi pengelolaan utang negara jangka menengah yang mengedepankan prinsipprinsip
transparansi dan akuntabilitas publik; b. bahwa strategi pengelolaan utang negara jangka
menengah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan oleh unit-unit pengelola utang negara di lingkungan Kementerian Keuangan.

KMK yang masih berlaku menetapkan SPUNJM Tahun 2018-2021 yang mencakup dua
hal. Pertama, pengelolaan pembiayaan APBN melalui utang yang terdiri dari pengelolaan Surat
Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Kedua, pengelolaan kewajiban penjaminan Pemerintah.

KMK menyatakan bahwa SPNUJM digunakan sebagai panduan untuk mencapai tujuan
jangka menengah pengelolaan utang. Memuat tentang 8 hal pokok, seperti: 1. Tujuan pengelolaan
utang;2. Prinsip pengelolaan utang; 3. Asumsi-asumsi penyusunan SPUNJM; 4. Kebijakan
pengelolaan utang; 5. Komposisi pengadaan utang baru; 6. Target indikator risiko utang; 7.
Indikator yang dimonitor; dan 8. Batas maksimal penjaminan.

Realisasi dari berbagai KMK terdahulu cukup banyak yang meleset, bahkan setelah direvisi.
Sedangkan KMK terkini dipastikan meleset jauh, dan besar kemungkinan akan segera diubah
lagi. Pandemi covid-19 membuat kondisi fiskal dalam kesulitan yang besar, dan salah satunya
berupa memburuknya berbagai rasio terkait pengelolaan utang.

KMK juga menyebut indikator yang paling sering dipakai dalam narasi kepada publik
hanya sebagai indikator yang dimonitor, bukan sebagai target. Istilah yang sumir dan kurang
kuat dalam konteks suatu perencanaan kebijakan. Dikatakan bahwa Rasio utang terhadap PDB
kisaran sebesar 30,0% dan rasio pembayaran bunga terhadap PDB maksimal sebesar 1,9%
hingga tahun 2024.

Jika dicermati, kedua indikator itu pun tidak disebut lagi rincian per tahunnya. Pada KMK-
KMK sebelumnya terdapat rincian per tahun. Beberapa indikator risiko utang lainnya juga
dicantumkan dalam batas tahun 2024, serta tidak dirinci per tahunnya. Diantaranya tentang:
Risiko nilai tukar (exchange rate risk), Risiko tingkat bunga (interest rate risk), dan Risiko
pembiayaan kembali (refinancing risk).

6.4 APBN dan Rencana Tahunan


Perencanaan utang pemerintah secara tahunan telah disampaikan secara umum dalam
Nota Keuangan sebagai pengantar sekaligus penjelasan dari RAPBN dan APBN. Bahkan, selama
beberapa tahun terakhir ini dibahas tentang risiko utang secara cukup panjang lebar.

Rencana utang pemerintah terdampak secara langsung dari APBN 2020 yang mengalami
dua kali perubahan, sehingga memiliki 3 versi. Perubahan sangat signifikan tampak pada APBN
versi Perpres 72 yang resmi berlaku dibandingkan dengan APBN yang ditetapkan sebagai
undang-undang pada akhir tahun 2019 lalu.

64
Perlu diketahui bahwa APBN 2020 yang ditetapkan melalui Perpres 72 tidak lah memiliki
narasi seperti Nota Keuangan. Penjelasan hanya dari uraian singkat pada pasal-pasalnya dan
publikasi sosialisasi dari Kementerian Keuangan.

Pokok-pokok rencana utang secara tahunan dalam APBN diterjemahkan secara lebih teknis
oleh Kementerian Keuangan terutama dalam dokumen Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui
Utang. Dokumen strategi ini lah yang biasanya mengalami perubahan 2 hingga kali selama
realisasi tahun anggaran. Bahkan revisi tetap dilakukan ketika pada tahun bersangkutan tidak
ada APBN Perubahan, seperti tahun 2019.

Pandemi covid-19 merupakan kejadian luar biasa yang dampaknya memang belum tercakup
dalam mitigasi risiko APBN 2020 ketika ditetapkan melalui undang-undang pada akhir tahun
2019.

Pada saat ditetapkan, APBN 2020 menetapkan arah kebijakan pembiayaan yang merupakan
pokok kebijakan pengelolaan utang. Antara lain disebutkan: (1) mengendalikan rasio utang
dalam batas aman pada kisaran 29,4-30,1 persen terhadap PDB; (2) memanfaatkan utang untuk
kegiatan produktif yang bisa mendorong pendalaman pasar keuangan domestik; (3) pembiayaan
investasi dilakukan secara inovatif dan kreatif dengan memperhatikan value for money untuk
mendukung pembangunan infrastruktur; (4) mendukung pemenuhan kewajiban negara sebagai
anggota organisasi/lembaga keuangan internasional; (5) mendorong penguatan peran LPDP
sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) di bidang pendidikan dengan mendorong penguatan
manajemen investasi dan perluasan layanan.

APBN 2020 versi undang-undang ini memiliki postur yang merencanakan defisit sebesar
Rp307,23 triliun atau sebesar 1,76 persen dari PDB. Kebutuhan pembiayaan dalam artian
penarikan utang baru secara bruto direncanakan sebesar Rp Rp741,8 triliun. Selain untuk
membiayai defisit tadi, juga untuk mendanai pembiayaan non utang yang secara neto bersifat
pengeluaran sebesar Rp44,6 triliun, serta utang jatuh tempo atau yang harus dilunasi sebesar
Rp390 triliun.

Sumber pembiayaannya direncanakan berasal dari pinjaman sebesar 51,3 triliun yang
berasal dari pinjaman dalam negeri Rp2,9 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp48,4
triliun. Sumber pembiayaan lainnya adalah dari SBN yang direncanakan sebesar Rp690,5 triliun.

Pada perubahan terakhir APBN 2020 berdasar Perpres 72, defisit melebar hingga mencapai
Rp1.039,21 triliun. Defisit yang amat lebar karena pemerintah merencanakan belanja yang
makin besar untuk mitigasi covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi. Padahal, pendapatan
dipastikan akan turun drastis.

Pembiayaan nonutang yang bersifat pengeluaran juga ditambah, sehingga kebutuhan utang
atau pembiayaan utang menjadi sebesar Rp1.220,46 triliun. Sedangkan utang jatuh tempo
sedikit bertambah menjadi Rp424,8 triliun. Dikarenakan adanya utang baru yang berjangka
pendek dan pelemahan kurs pada saat utang valas dibayar. Total kebutuhan pembiayaan menjadi
sebesar Rp1.645,3 triliun.

Sumber pembiayaannya direncanakan berasal dari pinjaman sebesar Rp148,0 triliun.

65
Berasal dari pinjaman dalam negeri Rp3 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp145 triliun.
Sumber pembiayaan lainnya adalah dari SBN yang direncanakan sebesar Rp1.497,3 triliun.

Dengan demikian, kebijakan pembiayaan utang makin fokus pada penerbitan SBN. Pemerintah
menjelaskan adanya peningkatan efisiensi biaya utang, optimalisasi potensi pendanaan utang
dalam negeri atau luar negeri, pengendalian utang jatuh tempo dengan mengutamakan penerbitan
SBN tenor menengah Panjang dan lainnya.

Dalam hal pinjaman luar negeri disebutkan beberapa kebijakan. Diantaranya: meningkatkan
kinerja dan realisasi penarikan pinjaman luar negeri untuk menghindari tambhan biaya
utang, meningkatkan kualitas penganggaran, mengutamakan pinjaman tunai dari pinjaman
multirateral dan bilateral, pemilihan atas mata uang pinjaman, dan mengadakan pinjaman tunai
komersial sebagai alternatif akhir.

Pemerintah dalam rencana strategi pembiayaan tahunan melalui utang tahun 2020 edisi
revisi yang disesuaikan dengan postur APBN 2020 berdasar Perpres 72 mencantumkan tentang
arah pengelolaan risiko utang. Yaitu: 1. Mengutamakan pengadaan utang dengan tingkat bunga
tetap (fixed rate); 2. Penarikan utang baru dengan tingkat bunga mengambang (variable rate)
berasal dari penarikan pinjaman dengan tetap memperhatikan kebutuhan portofolio dan/atau
hasil negosiasi antara Pemerintah dengan pemberi pinjaman.

Pengelolaan risiko dimaksud diterjemahkan dalam beberapa target indikator risiko, seperti
yang tercantum pada tabel.

APBN 2021 telah selesai dibahas Pemerintah dan DPR pada akhir September 2020.
Pembahasan yang relatif cepat tersebut dilakukan agar berbagai persiapan pembuatan petunjuk
teknis dan lainnya bisa segera dilakukan oleh pemerintah. Pertimbangan utamanya adalah
kondisi dampak pandemi yang ternyata lebih berat dari prakiraan semula.

Tabel 4. Indikator Risiko Penerbitan Utang Baru Tahun 2020


Indikator Risiko Utang SBN Pinjaman
Porsi Tingkat Bungan Maks. 33% dari kebutu- 0%-28% dari pem- Maks. 80%dari pem-
mengambang han pembiayaan utang biayaan melalui pener- biayaan melalui penari-
bitan SBN kan pinjaman
Rata-Rata Jatuh Tempo 8,0-10,0 8,0-10,0 7,0-9,0
(tahun)
Porsi Jatuh Tempo Dalam Maks. 10%dari kebutuhan Maks. 11% dari pem- -
1 Tahun pembiayaan utang biayaan melalui pener-
bitan SBN
Porsi Valuta Asing Maks. 25%dari kebutuhan Maks. 17% dari pem- Maks. 98%dari pem-
pembiayaan utang biayaan melalui pener- biayaan melalui penari-
bitan SBN kan pinjaman
Sumber: Strategi Pembiayaan Utang Tahunan DJPR 2020 revisi II hal: 16

6.5 Kebijakan Utang Pemerintah dalam APBN 2021


APBN 2021 telah selesai dibahas Pemerintah dan DPR pada akhir September 2020.
Pembahasan yang relatif cepat tersebut dilakukan agar berbagai persiapan pembuatan petunjuk

66
teknis dan lainnya bisa segera dilakukan oleh pemerintah. Pertimbangan utamanya adalah
kondisi dampak pandemi yang ternyata lebih berat dari prakiraan semula.

Sebagai konsekwensinya, pembahasan dan penetapan APBN 2021 telah berlangsung


sebelum realisasi APBN 2020 dapat diprakirakan secara cukup presisi. Dan kemudian ternyata
memang beberapa bagian dari postur APBN 2020 versi Perpres 72 tidak sepenuhnya terealisasi
sesuai rencana.

Bagaimanapun, arah kebijakan pembiayaan utang tahun 2021 secara normatif telah
dapat ditetapkan. Antara lain sebagai berikut: 1) mengendalikan utang dengan menjaga rasio
utang terhadap PDB dalam batas aman; 2) mendorong fleksibilitas pembiayaan utang untuk
mendukung kebijakan countercyclical dalam rangka akselerasi pemulihan sosial-ekonomi
dan reformasi dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal; 3) mendorong efisiensi biaya utang
antara lain melalui pendalaman pasar (perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur
pasar SBN, diversifikasi pembiayaan utang antara lain penerbitan SDGs bonds dan mendorong
penerbitan obligasi/ sukuk daerah); dan 4) menjaga keseimbangan makro dan keseimbangan
biaya dan risiko melalui komposisi portofolio utang yang optimal.

Nota Keuangan APBN 2021 menjelaskan arah tersebut terkait penanganan wabah Covid-19
dan dampaknya di berbagai sektor terutama sector ekonomi, yang memaksa Pemerintah
melakukan berbagai penyesuaian kebijakan. Di sisi fiskal, Pemerintah mengambil kebijakan
countercyclical melalui pelebaran defisit APBN hingga mencapai 6,34 persen dari PDB (Perpres
Nomor 72 Tahun 2020). Stimulus ekonomi melalui APBN untuk menangani wabah Covid-19
tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Negara-negara terdampak seperti India, Tiongkok,
Turki, dan Afrika Selatan menggelontorkan stimulus lebih dari 5 persen PDB. Stimulus negara
maju seperti Jepang, Jerman, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat bahkan mencapai lebih dari
10 persen PDB. Besaran stimulus yang dilakukan Indonesia relatif moderat sebesar 4,2 persen
PDB. Namun demikian, hal itu tetap berdampak cukup besar bagi defisit APBN dan perubahan
pada outstanding utang.

Pembiayaan utang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan besar penanganan wabah


Covid-19 dengan cepat. Oleh karena itu, Pemerintah mengedepankan strategi pemenuhan
pembiayaan utang dengan memanfaatkan momentum di pasar keuangan (oportunistik), dengan
tetap terukur dan mengedepankan kehati-hatian yang tinggi (prudent).

Sebagai bagian dari strategi pengelolaan utang dan pengelolaan risiko utang, Pemerintah juga
dapat melakukan pelunasan utang sebelum jatuh tempo melalui debt switch/buyback atau dikenal
dengan istilah liability management. Hal ini dilakukan untuk mengatur ulang profil jatuh tempo
utang (reprofiling). Dengan melakukan liability management, utang jatuh tempo di setiap tahunnya
dibuat lebih berimbang sehingga tidak memberikan beban yang terlalu berat untuk pembayaran
kembali pokok utang di tahun tertentu (mitigasi risiko refinancing). Liability management juga dapat
ditempuh melalui konversi pinjaman dengan konversi mata uang dan suku bunga pinjaman untuk
memperbaiki risiko tingkat bunga sekaligus risiko nilai tukar. Pada tahun 2020, konversi pinjaman
dilakukan pada pinjaman program dengan mata uang USD berbasis LIBOR (tingkat bunga variabel)
menjadi mata uang Euro dan JPY dengan tingkat bunga tetap yang relatif sangat rendah.

67
Pada APBN 2021, Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp1.177,40 triliun. Jika
realisasi sesuai dengan rencananya, maka utang pemerintah akan bertambah sebesar itu akibat
pelaksanaan APBN. Nilainya jauh melebihi target defisit yang hanya Rp1.006,40 triliun, karena
pemerintah masih memutuskan pengeluaran yang termasuk dalam pos pembiayaan dalam nilai
yang terbilang cukup besar.

Pembiayaan utang dalam APBN 2021 ini sedikit lebih kecil dari realisasi sementara APBN
2020 yang sebesar Rp1.226,8 triliun. Akan tetapi masih jauh lebih besar dibanding tahun-tahun
sebelum pandemi.

Pembiayaan utang setiap tahun memang telah cenderung mengalami peningkatan, meski
dengan laju yang fluktuatif. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2020.

Grafik 29. Pembiayaan Utang dan Pertumbuhannya

68
BAB VII
UTANG LUAR NEGERI INDONESIA

7.1 Posisi Terkini


Data resmi utang luar negeri (ULN) Indonesia dihitung dan dipublikasi oleh Bank Indonesia.
ULN didefinisikan sebagai suatu bentuk kewajiban penduduk Indonesia kepada bukan penduduk
dalam kurun waktu tertentu yang membutuhkan pembayaran kembali bunga dan pokok pada
waktu yang akan datang. Konsepnya mengacu pada IMF’s External Debt Statistics: Guide for
compilers and Users (2003), beberapa ketentuan pemerintah Republik Indonesia dan Peraturan
Bank Indonesia.

Dengan demikian, ULN merupakan utang seluruh penduduk Indonesia. Bukan hanya utang
pemerintah, namun termasuk swasta. didalamnya juga termasuk utang swasta dan BUMN.

Data ULN Indonesia disajikan secara bulanan melalui laporan yang disebut Statistik Utang
Luar Negeri Indonesia (SULNI). SULNI terutama menyajikan posisi (outstanding) utang,
beserta rincian komposisinya. Posisi utang sudah memperhitungkan proses pembayaran mulai
cicilan dan pokok utang terdahulu dan pokok utang terbaru.

Posisi ULN Indonesia pada akhir November 2020 sebesar USD416.587 juta. ULN tersebut
merupakan utang Pemerintah, Bank Indonesia dan swasta. ULN Pemerintah sebesar USD203,70
miliar). ULN Bank Indonesia sebesar USD2,83 miliar dan ULN swasta sebesar USD210,1 miliar.

Sebagai tambahan informasi, ULN dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dicatat sebagai
ULN swasta. ULN BUMN sebesar USD57,64 miliar atau sekitar 27,43% dari ULN swasta.

Pemberi utang atau kreditur ULN Indonesia terdiri dari banyak pihak. SULNI
mengelompokkan dalam tiga kategori. Yaitu: 1) negera asal pemberi pinjaman, 2) organisasi
internasional, dan 3) keditor lainnya termasuk pihak swasta.

Kategori berdasar negara kreditor memiliki posisi utang sebesar USD206,1 miliar, atau 51%
dari total ULN pada akhir tahun 2019. Meningkat menjadi sebesar USD217,6 miliar atau 52%
dari total ULN pada November 2020.

Kategori lainnya memiliki porsi 41% atau sebesar USD164,2 miliar akhir tahun 2019.
Menurun menjadi 39% atau sebesar USD163,5 miliar pada November 2020. Sedangkan kategori
organisasi atau Lembaga internasional memiliki porsi 8% atau sebesar USD33,2 miliar pada
akhir tahun 2019. Meningkat menjadi 9% atau mencapai USD35,4 miliar pada November 2020.

69
Grafik 30 Proporsi Utang berdasarkan Kreditor (dalam Persen)

Sumber: Bank Indonesia, SULNI

7.1.2 Utang Luar Negeri Menurut Jenis Mata Uang


Utang luar negeri Indonesia dalam data statistik biasa dinyatakan dalam nilai dolar Amerika
(USD). Nilai itu konversi dari berbagai jenis mata uang sesuai denominasi masing-masing utang,
bergantung perjanjian atau surat utangnya. Dapat dianalisis posisi ULN berdasar komposisi
mata uang dimana utang dinyatakan (denominasi).

Dari posisi ULN sebesar USD416,59 miliar, mata uang dolar Amerika yang paling banyak
dipergunakan. Nilainya mencapai USD275 miliar atau sebesar 66% dari total utang. Sedang
porsi terbesar kedua justeru berdenominasi Rupiah, yang mencapai 19,5% dari total utang.

Besaran nilai mata uang tersebut bukan berarti bahwa Indonesia berutang paling banyak
pada Amerika Serikat. Demikian juga untuk nilai utang luar negeri dalam bentuk Rupiah
bukan berarti Indonesia berutang kepada pihak dalam negeri. Mata uang dimaksud merupakan
denominasi atau nilai utangn, sedangkan pihak pemberi pinjaman bisa berasal dari negara atau
organisasi apapun.

Besarnya ULN dalam denominasi Rupiah terutama disebabkan oleh kepemilkan SBN
domestik yang dimiliki oleh pihak asing. Secara statistik, karena pemberi utangnya adalah pihak
asing maka Bank Indonesia mencatatnya sebagai utang luar negeri.

Contoh lain yang berlawanan kondisi adalah utang dalam denominasi China Yuan (CNY)
yang hanya sebesar 0,84% dari total utang. Padahal sebelumnya kita telah membahas, porsi
China dalam komposisi ULN berdasar asal negara telah mencapai 9,48%. Dengan kata lain,
Sebagian Banyak opini yang menyebutkan bahwa Indonesia sekarang dijajah oleh China, utang
dari China memakai denominasi mata uang yang lain. Dalam hal ini memakai dolar Amerika.

70
Tabel 5. Utang terbesar Berdasarkan Jenis Mata Uang

Mata Uang 2019 proporsi 2019 Nov-20 proporsi 2020


USD 264.991 65,66% 275.003 66,01%
IDR 88050 21,82% 81.092 19,47%
JPY 23.774 5,89% 26.557 6,37%
EUR 17.255 4,28% 23.465 5,63%
SDR 4.195 1,04% 4.072 0,98%
CNY 2.424 0,60% 3.515 0,84%
Lainnya 2.875 0,71% 2.883 0,69%
TOTAL (juta USD) 403.564 100% 416.587 100,00%
Sumber data: Bank Indonesia, SULNI

7.2 Perkembangan Posisi ULN Indonesia


SULNI terkini yang terbit pada Januari 2020 melaporkan bahwa posisi utang luar negeri
Indonesia pada akhir November 2020 mencapai USD416,59 miliar. Bertambah sekitar 3,20%
dibanding posisi pada akhir 2019, yang tercatat USD403,4 miliar.

Dilihat dari tahun ke tahun, posisi ULN Indonesia memang menunjukkan tren yang
mengalami peningkatan. Secara tahunan, posisi akhir tahun tidak pernah mengalami penurunan
sama sekali sejak tahun 2007. Secara bulanan dan triwulanan, kadang ada sedikit penurunan.
Sebagai contoh, pada saat pandemi terjadi di awal 2020, posisi ULN Indonesia sempat turun di
kuartal pertama hingga mencapai USD388,8 miliar. Namun penurunan ini tidak berlangsung
lama karena kembali meningkat pada kuartal kedua menjadi USD408 miliar.

Kendati utang dari tahun ketahun meningkat, pihak Bank Indonesia tidak menyatakan
kekhawatirannya. Bahkan saat ini memandang masih derasnya aliran modal asing yang masuk
ke pasar surat utang memberikan bukti kepercayaan investor global terhadap perekonomian
Indonesia di tengah pandemi corona.

Grafik 31. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia, 1997-2020

71
Rata-rata pertumbuhan ULN selama era SBY I (2005-2009) sebesar 4,32% per tahun.
Meningkat pesat pada Era SBY II (2010-2014), mencapai 11,22% per tahun. Menurun pada era
Jokowi I (2015-2019) menjadi 6,62% per tahun. Akan tetapi, pertumbuhan ULN yang demikian
tetap membuat posisi ULN menjadi makin besar. Posisi ULN bersifat akumulasi dari posisi
tahun-tahun sebelumnya.

Laporan Bank Dunia pada tahun 2020 yang berjudul Interational Debt Statistics (IDS)
menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori 10 besar negara negara dengan utang
terbesar pada akhir tahun 2018. Nilai utang Indonesia menempati urutan ke tujuh dalam daftar
itu.

Menanggapi laporan tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu
Rahayu Puspasari menilai bahwa kurang pas karena perbandingannya tidak memasukkan
negara maju sehingga membuat ranking Indonesia ada di 10 besar. Jika dimasukkan negara
G20, Indonesia masih berada pada urutan ke-16.

Grafik 32. 10 Teratas Negara Peminjam Terbesar

Sumber data: disalin dari IDS

7.2.1 Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah


Posisi ULN Pemerintah sebesar USD203,70 miliar atau 48,90% dari total ULN pada
November 2020. Ada pula ULN Bank Indonesia yang relatif kecil, untuk kebutuhan kebijakan
moneter, sebesar USD2,83 miliar. Data sebelum tahun 2004 masih menggabungkan antara
ULN Pemerintah dengan BI.

ULN Pemerintah cenderung bertambah selama beberapa tahun terakhir. Laju kenaikannya
berfluktuasi, namun relatif cukup tinggi selama periode 2015-2019. Pertumbuhan agak rendah
hanya dialami pada tahun 2018, yang sebesar 3,32%

Rata-rata pertumbuhan ULN Pemerintah selama era SBY I (2005-2009) sebesar 5,24%
per tahun. Sedikit meningkat pada Era SBY II (2010-2014) mennjadi sebesar 6,57% per tahun.
Meningkat pesat pada era Jokowi I (2015-2019) menjadi 10,12% per tahun.

72
Pada tahun 2020 ketika dampak pandemi melanda hampir seluruh aspek ekonomi, ULN
pemerintah justeru tumbuh melandai. Salah satu penyebabnya adalah fenomena pengurangan
kepemilikan asing atas SBN domestik. Sempat terjadi arus penjualan bersih SBN domestik pada
awal pandemi, namun kemudian perlahan terjadi pembelian kembali. Posisi akhir SBN domestik
yang dimiliki asing pada akhir tahun relative stagnan disbanding akhir tahun 2019.

Secara keseluruhan, utang pemerintah tumbuh diprakirakan meningkat sekitar 2% hingga


akhir tahun. Ketika laporan ini ditulis, posisi akhir November 2020 naik 1,91% dibanding akhir
tahun 2019. Relatif stagnannya kepemilikan asing atas SBN diimbangi oleh penarikan sebagian
komitmen pinjaman dari lembaga multilateral yang memberikan dukungan kepada Indonesia
untuk menangani pandemi COVID-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Grafik 33. Utang Luar Negeri Pemerintah

7.2.2 Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta


Posisi ULN Swasta sebesar USD203,70 miliar atau 50,42% dari total ULN pada November
2020. Termasuk dalam kategori ULN swasta adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
yang mencapai USD57,64 miliar atau 13,84% dari total utang luar negeri.

Rata-rata pertumbuhan ULN swasta pada periode tahun 2004-2009 sebesar 5,09% per
tahun. Meningkat drastis pada periode tahun 2010-2014 menjadi sebesar 17,44% per tahun.
Turun secara signifikan pada periode tahun 2015-2019 menjadi hanya sebesar 4,29%.

Meskipun secara rerata terjadi penurunan pada era Jokowi I, namun laju pertumbuhan
ULN swasta terbilang cukup tinggi pada tahun 2018 (10,07%) dan tahun 2019 (6,16%). Pada
tahun 2020, ketika terjadi pandemi ULN swasta masih bertambah sekitar 5%, berdasar data
hingga akhir November. Oleh karena posisi ULN bersifat akumulasi, maka posisinya pada akhir
2019 telah cukup tinngi.

73
Grafik 34. Utang Luar Negeri Swasta

Pada era reformasi, dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2011, Posisi ULN swasta selalu
dibawah ULN pemerintah yang digabungkan dengan ULN Bank Indonesia. Keadaan berbalik
pada tahun 2012 hingga tahun 2016, posisi utang luar negeri swasta yang lebih besar. Kondisi
Kembali berubah pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2019.

Pada akhir tahun 2020 ini, ULN swasta kembali melampaui ULN Pemerintah yang
digabungkan dengan ULN Bank Indonesia. Hal ini harus diwaspadai oleh otoritas ekonomi.
Indonesia memiliki pengalaman buruk beberapa tahun sebelum krisis 1997/98, dimana posisi
ULN melampaui ULN Pemerintah dan BI.

Grafik 35. ULN Swasta dan ULN Pemerintah dan BI

74
7.2.3 Utang Luar Negeri BUMN
Utang luar negeri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikategorikan sebagai ULN swasta
pada pencatatan Bank Indonesia dalam SULNI. Posisi ULN BUMN mencapai USD57,64 miliar
pada akhir November 2020. Bertambah cukup signifikan disbanding akhir tahun 2019 yang
sebesar USD51,86 miliar.

Pertumbuhan ULN BUMN cenderung lebih tinggi dibandingkan swasta yang bukan BUMN.
Pada periode 2007-2019, rata-rata pertumbuhan per tahunnya mencapai 26,54%. Posisinya
pada akhir tahun 2007 masih sebesar USD3,94 miliar. Posisinya telah bertambah hampir 15 kali
lipat pada November 2020. Padahal, ULN swasta yang bukan BUMN hanya bertambah sekitar
2,5 kali lipat pada kurun waktu yang sama.

Porsi dalam keseluruhan ULN swasta pun menjadi meningkat. Dari hanya 6,51% pada akhir
tahun 2007 menjadi 18,77% pada akhir 2014. Peningkatan porsi masih cenderung berlangsung
pada tahun-tahun berikutnya, hingga mencapai 27,44% pada November 2020.

Peningkatan ULN BUMN tak dapat dilepaskan dari penugasannya untuk mendukung
pembangunan sektor prioritas, seperti infrastruktur. Pemerintah dan pihak BUMN terkait sering
menjelaskan bahwa kenaikan utangnya diikuti kenaikan aset, kinerja, dan nilai perusahaan.
Namun, data-data secara umum kurang memperlihatkan peningkatan yang sebanding. Padahal,
risikonya cenderung meningkat pada kondisi perekonomian yang memburuk seperti saat ini.

Grafik 36. Utang Luar Negeri BUMN, 2010-2020

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) menyajikan data ULN BUMN menjadi tiga
kelompok. Yaitu: BUMN Bank, BUMN Lembaga keuangan Bukan Bank, dan BUMN yang bukan
Lembaga keuangan

Pada November 2020, posisi ULN Kelompok BUMN Bank sebesar USD8,79 miliar. BUMN
Lembaga Keuangan yang bukan bank sebesar USD3,68 miliar. BUMN yang bukan Lembaga
keuangan sebesar USD 45,17 miliar.

75
Kelompok BUMN yang bukan Lembaga keuangan memiliki ULN yang paling banyak diband-
ing kelompok lainnya. Porsinya telah mencapai 78,37% dari total ULN BUMN pada Novem-
ber 2020. Termasuk dalam kelompok ini adalah yang bisnis utamanya di bidang infrastruktur
dan bidang energi.
Sebenarnya dilihat dari laju pertumbuhan, semua kelompok mengalami pertumbuhan yang
hampir setara dalam kurun 10 tahun terakhir. Masing-masing bergantian tumbuh lebih cepat.
Porsi kelompok yang bukan lembaga keuangan ini sempat hanya 72,38% pada tahun 2016,
ketika laju kenaikannya lebih lambat selama beberapa tahun sebelumnya. Lajunya melebihi
kelompok yang lain selama periode tahun 2017-2020.

Grafik 37. ULN BUMN berdasar Kelompok, 2010-2020

7.3 Beban Pembayaran Utang Luar Negeri


Beban pembayaran utang luar negeri berupa pelunasan atau pembayaran cicilan utang
pokok dan pembayaran bunga. Analisis ULN, terutama terkait risiko utang biasanya mencermati
rasio kemampuan membayar, yang dikenal sebagai rasio beban pembayaran utang atau Debt
Service Rasio (DSR). Karena ULN merupakan utang suatu negara, maka kemampuannya juga
dilihat sebagai suatu negara, bukan pemerintah saja.

Ada beberapa cara menghitung DSR. Besaran pembilang pada prinsipnya serupa yakni total
nilai beban pembayaran. Besaran penyebut bisa berupa ekspor, ekspor ditambah penerimaan
lain dalam transaksi berjalan, dan lainnya yang serumpun. DSR membandingkan aliran (arus)
dana dengan aliran dalam suatu kurun waktu, seperti: tahunan, triwulanan, dan triwulanan yang
disetahunkan. Dan karena bersifat kewajiban kepada pihak asing, yang dipakai adalah terkait
dengan devisa.

SULNI dari Bank Indonesia menyajikan dua macam besaran DSR, yang masing-masing
terdiri dari dua lagi berdasar waktu triwulanan atau tahunannya. Didefinisikan sebagai rasio
pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan.

76
Rasio DSR Tier-1 memperhitungkan pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka
panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek. Sedangkan Rasio DSR Tier-2
meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari
anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi.

Sayangnya, SULNI menyajikan berupa angka rasio atau persentase secara langsung, tanpa
memberi informasi besaran pembilang dan penyebutnya. Menjadi agak sulit pengecekan ulang
oleh pihak lain. Besaran penerimaan transaksi berjalan dapat diperiksa ulang dalam dokumen
Neraca Pembayaran Indonesia. Namun, tidak tersedia rincian pembayaran beban utangnya.
Baik untuk kurun waktu triwulanan ataupun tahunan.

Rasio DSR Indonesia Tier-1 secara tahunan pada triwulan III-2020 dalam SULNI edisi
Januari 2021 tersaji sebesar 52,37%. Sedangkan rasio DSR Indonesia Tier-1 sebesar 25,82%.
Kedua besaran DSR ini masih menunjukkan perkembangan yang relatif stabil selama beberapa
tahun terakhir. Akan tetapi jauh lebih tinggi dibanding tahun 2010-2014.

Grafik 38. DSR Indonesia Tier-1 dan Tier-2, 2010-2020

DSR berbagai negara dihitung juga oleh Bank Dunia dan disajikan dalam lamannya. Bank
Dunia memakai “data mentah” dari bank sentral masing-masing negara, namun melakukan
penyesuaian tertentu agar bisa dibandingkan antar negara. Definisinya pada dasarnya serupa
dengan SULNI. Angka penyebutnya adalah beban pembayaran utang pokok dan bunga,
sedangkan angka penyebutnya adalah penerimaan ekspor barang, ekspor jasa dan penerimaan
pendapatan primer. Besaran penyebut ini merupakan penerimaan dalam transaksi Berjalan.
Datanya bersifat tahunan.

Publikasi data Bank Dunia terkini baru sampai dengan tahun 2019. DSR Indonesia dalam
versi Bank Dunia telah mencapai 39,42% pada tahun 2019. Besaran rasionya berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Sempat menurun signifikan pada tahun 2017 dan 2018, namun meningkat pesat
lagi pada tahun 2019.

77
Grafik 39. Debt Service Indonesia (%), 1990-2020

Laporan ini memprakirakan DSR nya akan lebih dari 40% pada tahun 2020. Terutama
karena angka penyebutnya yang turun, yaitu penerimaan ekpor dan penerimaan pendapatan
primer.

Berdasar definisi yang manapun, DSR cenderung meningkat selama beberapa tahun
terakhir. Pihak Bank Indonesia masih menilainya dalam batas aman dan terkendali. Dan
memang sejauh batas yang biasa diwacanakan dalam khasanah perdagangan internasional
dan ketahanan eksternal suatu negara, belum tampak indikasi yang terbilang rawan. Meskipun
demikian, tren peningkatan mengindikasikan risiko ULN yang makin meningkat. Merupakan
kondisi yang amat perlu diwaspadai oleh otoritas ekonomi, dalam kondisi penuh ketidakpastian
ditingkat global dan perekonomian domestik yang belum pulih.

7.4 Indikator Utang Luar Negeri


Selain DSR, SULNI juga menyajikan beberapa data perkembangan indicator ULN.
Diantaranya adalah: Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Asal terhadap
Total Utang, Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Sisa terhadap Total Utang,
Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Asal terhadap Cadangan Devisa, Rasio
Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Sisa terhadap Cadangan Devisa, Rasio Utang
terhadap Ekspor, dan Rasio Utang terhadap PDB.

Rasio utang luar negeri terhadap nilai ekspor mengindikasikan kondisi yang tidak membaik
selama beberapa tahun terakhir. Rasionya sempat sebesar 100,97% pada akhir tahun 2011.
Artinya posisi utang luar negeri hampir setara dengan nilai ekspor pada tahun itu. Cenderung
meningkat setelahnya sampai dengan tahun 2016. Sempat sedikit menurun pada tahun 2017
dan 2018. Kembali meningkat pada tahun 2019 dan berlanjut hingga September 2020.

Rasio utang luar negeri atas PDB sempat hanya sebesar 25,03% pada akhir tahun 2011.
Setelahnya cenderung meningkat sampai dengan tahun 2015. Sempat turun pada periode tahun
2016 dan 2017. Meningkat kembali pada tahun 2018 hingga menjadi 38,13% pada September
2020.

78
Grafik 40. Rasio ULN atas Ekspor dan atas PDB

Salah satu argumen Bank Indonesia tentang masih amannya ULN Indonesia adalah berupa
strukturnya yang didominasi oleh utang berjangka panjang. Hal ini cukup beralasan untuk ULN
secara keseluruhan, namun lebih tepat untuk ULN Pemerintah. Sedangkan ULN jangka pendek
telah memiliki porsi jangka pendek yang cukup memberi tekanan.

SULNI memberi informasi mengenai komposisi ULN berdasar waktu jatuh temponya,
dilihat dari waktu asal ataupun sisa waktu pelunasan. Disebut utang jangka pendek bagi ULN
yang waktu pelunasannya kurang dari atau sampai dengan satu tahun. Disebut utang jangka
panjang jika lebih dari satu tahun.

ULN Indonesia yang berjangka pendek menurut waktu sisa per akhir November 2020
sebesar USD66,81 miliar atau 16,04% dari total utang. Sedangkan yang berjangka panjang
sebesar USD349,78 miliar atau 83,96% dari total utang.

ULN pemerintah pada umumnya memang berjangka panjang. Dilihat dari waktu asal,
waktu jatuh tempo ketika utang ditarik, yang berjangka panjang pada November 2020
mencapai 99,84% dari total utangnya. Sebagian ULN yang ketika ditarik berjangka panjang,
waktu pelunasannya telah masuk kategori kurang dari atau sama dengan setahun ketika statistik
utang dinyatakan, yang disebut jangaka pendek menerut waktu sisa pelunasan. Dalam hal ULN
Pemerintah menurut jangka waktu sisa pada November 2020 adalah sebesar 92,74%.

Porsi utang jangka pendek menurut waktu sisa dari ULN Pemerintah terkendali di bawah
10% selama beberapa tahun terakhir. Akan tetapi jika dilihat selama kurun waktu setahun ini,
ada kenaikan yang signifikan. Pada akhir tahun 2019, porsinya masih sebesar 5,5%. Pada akhir
November 2020 telah mencapai 7,17%.

Dengan demikian, terhitung dari akhir November 2020 sampai dengan akhir November
2021 nanti, ULN Pemerintah yang mesti dilunasi sebanyak USD14,8 miliar.

79
Grafik 41. Utang Pemerintah berdasar Sisa Waktu Pelunasan (USD Juta), 2007-2020

ULN swasta yang berjangka panjang memang masih lebih banyak dibanding yang jangka
pendek. Namun porsi yang berjangka pendek cukup besar. Dilihat dari waktu asal, waktu jatuh
tempo ketika utang ditarik, yang berjangka pendek pada November 2020 mencapai 21,10% dari
total utangnya. Sedangkan jika dilihat dari waktu sisa, porsinya lebih besar lagi, telah mencapai
24,76%.

Porsi utang jangka pendek menurut waktu sisa dari ULN Swasta cenderung stabil di kisaran
25% selama beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut sejauh ini relatif masih aman bagi arus kas
pihak swasta dan posisi cadangan devisa Indonesia. Akan tetapi jika terjadi sedikit guncangan
eksternal, maka kondisinya bisa menjadi beban yang cukup berat.

Secara teknis, terhitung dari akhir November 2020 sampai dengan akhir November 2021
nanti, ULN Swasta yang mesti dilunasi sebanyak USD52,01 miliar. Jauh lebih besar dari nilai
ULN Pemerintah yang harus dilunasi.

Grafik 42. Utang Swasta berdasar Sisa Waktu Pelunasan

80
7.5 Rating Indonesia menurut Lembaga Pemeringkat
Kondisi utang masing-masing negara, baik utang luar negeri maupun utang pemerintahnya,
biasa dianalisis secara rutin dan diberi penilaian oleh berbagai lembaga pemberi peringkat
atau rating. Beberapa lembaga lebih dikenal dan dianggap kredibel oleh banyak pihak secara
internasional.

Lembaga rating yang biasa diakui dalam arti dikutip dan dianalisis oleh Bank Indonesia
dan OJK terdiri dari enam lembaga pemeringkat. Yaitu: Fitch Ratings, Moody’s, Standard and
Poor’s (S&P), PT Fitch Ratings Indonesia, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), dan PT
ICRA Indonesia (Investment Information and Credit Rating Agency of India).

Dari keenam lembaga pemeringkat tersebut tentu saja penilaiannya bisa berbeda satu
dengan yang lain, namun biasanya menggunakan standar penilaian sama, yakni antara AAA
hingga D. dimana apabila suatau negera diberi rating AAA maka negara tersebut dianggap layak
investasi atau bisa dianggap rating sempurna. Sementara apabila rating yang diberikan adalah
D maka dianggap sangat tidak layak untuk investasi.

Tabel 6. Daftar Peringkat Utang Berdasarkan Penilaian

Lembaga Pemeringkat Peringkat Utang jangka Panjang dan Menengah

AAA; AA+; AA; AA-; A+; A; A-; BBB+; BBB; BBB-; BB+; BB; BB-; B+; B; B-;
Fitch Ratings
CCC; CC; C; RD; D

Aaa; Aa1; Aa2; Aa3; A1; A2; A3; Baa1; Baa2; Baa3; Ba1; Ba2; Ba3; B1; B2;
Moody’s Investor Service
B3; Caa1; Caa2; Caa3; Ca; C

AAA; AA+; AA; AA-; A+; A; A-; BBB+; BBB; BBB-; BB+; BB; BB-; B+; B; B-;
S&P
CCC+; CCC; CCC-; CC; C; D
Sumber: OJK

Rating utang biasanya dianggap memiliki pengaruh yang sangat besar bagi suatu negara.
Rating yang tinggi dan bagus cenderung mendorong meningkatkan arus investasi yang masuk
dan kepercayaan memberi utang.

Dalam banyak kasus, rating juga berpengaruh terhadap bunga utang apabila negara tersebut
meminjam dana dari lembaga keuangan dunia atau negara lain. Pada umumnya, apabila
mendapatkan rating tinggi maka bunga yang didapatkan cenderung lebih rendah dibanding jika
memiliki rating buruk.

Pada publikasi terkini, Indonesia antara lain mendapatkan rating BBB dari Lembaga
pemeringkat Fitch dan S&P, sedangkan Moody’s memberikan peringkat Baa2.

Fitch mempertahankan rating utang Indonesia di posisi BBB dengan outlook stable pada
tanggal 10 Agustus 2020. Fitch menyampaikan dalam laporannya bahwa stabilnya rating
Indonesia ini disebabkan oleh prospek pertumbuhan jangka menengah yang baik dan rasio
utang terhadap PDB yang rendah dibandingkan negara peers dengan kategori yang sama.

81
Selain itu Fitch juga memberikan pendapat bahwa dalam hal utang Pemerintah Indonesia perlu
mengurangi ketergantungan terhadap pihak eksternal, meningkatkan pendapatan negara,
mempercepat reformasi struktural, dan meningkatkan PDB per kapita.

Pendapat yang sama juga diberikan oleh Lembaga pemeringkat S&P. Namun, yang
membuat nilai minus bagi Indonesia adalah karena utang luar negeri yang tinggi dan PDB Per
kapita Indonesia yang rendah. Dalam hal ini S&P memprediksi bahwa dalam satu tahun kedepan
Indonesia akan menghadapi risiko fiskal dan eksternal tambahan karena meningkatnya stok
utang luar negeri dan utang pemerintah untuk mendanai pandemi COVID-19.

Moody's meberikan peringkat utang Indonesia menjadi Baa2, peningktan ini disebabkan
oleh beberapa faktor yakni tingkat pertumbuhan yang kuat dan stabil serta beban utang
pemerintah yang rendah, dan kondisi stabilitas makro eknomi. Selain itu, Moody juga memiliki
pendapat terkait dengan tantangan yang dihadapi Indondesia yakni basis pendapatan yang
lemah, ketergantungan pemerintah pada pendanaan pasar eksternal, dan struktur ekonomi
yang rentan.

Bisa dikatakan secara umum, rating utang dan investasi Indonesia masih cukup baik pada
saat ini. Akan tetapi rating tersebut dapat dengan mudah berubah jika kondisi perekonomian,
kondisi fiskal dan neraca pembayaran Indonesia memburuk.

82
BAB VIII
UTANG SEKTOR PUBLIK

8.1 Posisi Terkini


Wacana publik di Indonesia tentang utang yang terkait Pemerintah sering kurang bisa
membedakan tiga istilah. Yaitu: utang pemerintah, utang luar negeri, dan utang sektor publik.
Kedua istilah yang disebut pertama telah dibahas pada bagian sebelumnya dari laporan ini.

Utang sektor publik dilaporkan setiap tiga bulan oleh Bank Indonesia dalam laporan yang
disebut Statistik Sektor Publik Indonesia (SUSPI). Dalam penyusunan SUSPI, BI memakai data
yang sebagiannya berasal dari Kementerian Keuangan, dan memang diinformasikan adanya
kerja sama.

Bank Indonesia mendefisikan utang sektor publik sebagai kewajiban finansial dalam bentuk
instrumen utang dalam satu periode waktu tertentu, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk (utang domestik dan utang luar negeri).

Sektor Publik terdiri dari semua unit residen (penduduk) yang dikendalilan langsung
atau tidak langsung oleh unit Pemerintah, yaitu semua unit dalam sektor Pemerintah umum
(general government) dan korporasi publik. Pengendalian diartikan sebagai kemampuan untuk
menentukan kebijakan keuangan dan operasional. Posisinya pada akhir September 2020
dilaporkan sebesar Rp11.773 triliun.

Dalam SUSPI terkini, dikelompokkan menjadi tiga institusi. Yaitu pemerintah umum,
korporasi finansial sektor publik, dan nonfinansial sektor publik. Utang pemerintah umum
terdiri dari utang pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Korporasi finansial sektor publik
mencangkup bank sentral. BUMN, BPD, dan Lembaga keuangan bukan bank sektor publik.

Utang pemerintah pusat terdiri dari instrumen utang bersumber dari pinjaman kreditur
bilateral/multilateral, utang komersial, dan pinjaman dalam negeri serta instrumen SBN.
Posisinya pada akhir September 2020 dilaporkan sebesar Rp5.758 triliun. Sedangkan utang
Pemerintah Daerah mencangkup pinjaman dari Perbankan dan Pemerintah Pusat serta utang
lainnya. Posisinya pada akhir September 2020 dilaporkan sebesar Rp49 triliun.

Utang nonfinansial sektor publik adalah utang yang dimiliki oleh korporasi publik bukan
lembaga keuangan yang merupakan pelapor data SULNI dan korporasi BUMN. Yang terdiri
dari perjanjian pinjaman, Special Purpose Vehicle (SPV), dan non SPV, Surat utang (obligasi,
comercial paper, Floating Rate Notes, Medium Term Notes, Promissory Notes, Subordinated

83
Notes, Surat Berharga Lain, Utang Dagang, dan Utang Lainnya. Posisinya pada akhir September
2020 dilaporkan sebesar Rp49 triliun.

Utang korporasi finansial sektor publik mencangkup utang Bank Sentral, dan Bank BUMN,
BPD, dan Lembaga keuangan bukan bank sektor publik (LKNB BUMN). Utang korporasi finansial
sektor publik terdiri dari SDRs, perjanjian pinjaman, surat utang, utang lainnya, kas perbankan dan
simpanan Pihak Ketiga. Posisinya pada akhir September 2020 dilaporkan sebesar Rp49 triliun.

8.2 Perkembangan Posisi


Posisi utang sektor publik pada akhir September (triwulan ketiga) 2020 sebesar Rp11.773
triliun. Mengalami kenaikan 16,40% dibanding posisi akhir tahun 2019. Diprakirakan masih
bertambah hingga akhir tahun 2020, di kisaran Rp12.000 triliun. Dengan demikian, kenaikan
utang pada tahun 2020 bisa mencapai 18,64%.

Posisi utang tersebut merupakan nominal utang tertinggi selama ini. Pertumbuhan tahunan
pun terbilang tertinggi. Pertumbuhan pada tahun 2014 yang tercatat lebih tinggi lebih disebabkan
oleh perubahan definisi data. Sejak tahun 2014, SUSPI memasukkan dana pihak ketiga di bank
umum BUMN sebagai utang. Data sebelumnya tidak mencakup hal itu.

Grafik 43. Posisi Utang Sektor Publik, 2007-2020

Sebagaimana utang pemerintah saja, utang sektor publik juga bisa dicermati rasionya
atas PDB. Bahkan bisa dikatakan rasio ini lebih tepat bagi sektor publik dibandingkan bagi
utang pemerintah. PDB merupakan indikator pendapatan nasional, atau pendapatan seluruh
komponen dalam negara.

Rasio posisi utang sektor publik terhadap PDB pada akhir September 2020 telah mencapai
74,97%. PDB nominal yang dipakai sebagai perhitungan adalah besaran yang dipakai dalam
perhitungan pada publikasi realisasi sementara APBN 2020, yakni sebesar Rp15.705 triliun.

Rasio itu diprakirakan masih meningkat pada akhir tahun 2020, di kisaran 76%. Merupakan
rekor rasio selama ini.

84
Grafik 44. Rasio Utang Sektor Publik atas PDB, 2007-2020

8.3 Komposisi Utang Sektor Publik Menurut Mata Uang dan Kreditor
Utang sektor publik pada akhir September 2020 yang berdenominasi rupiah sebesar Rp8.106
triliun, atau 68,85% dari total utang. Porsi ini hanya sedikit meningkat dibanding akhir tahun
2019 yang sebesar 68,46%. Porsinya memang relatif stagnan selama beberapa tahun terakhir.

Grafik 45. Utang Sektor Publik Berdasarkan Jenis Mata Uang

Sumber data: Bank Indonesia, SUSPI

Utang sektor publik yang berdenominasi rupiah memang jauh lebih banyak, akan tetapi
bukan berarti bahwa utang tersebut didapatkan dari kreditor dalam negeri. Sebagian dari utang
itu adalah kepada kreditor luar negeri. Begitu pula sebaliknya, tidak semua utang dalam valas
adalah kepada kreditor asing.

85
Jika dilihat berdasarkan kreditor, utang sektor publik pada kreditor dalam negeri jumlahnya
masih lebih besar dibandingkan kepada penduduk luar negeri. Pada akhir September 2020,
posisinya sebesar Rp7.920 triliun atau 67,27% dari total utang. Porsi ini meningkat dari 64,98%
pada akhir tahun 2019.

Grafik 46. Utang Sektor Publik berdasarkan Pemberi Pinjaman (dalam Rp Miliar)

Sumber data: Bank Indonesia, SUSPI

8.4 Utang BUMN


SUSPI tidak secara khusus merinci utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penyajiannya
menyebut utang korporasi finansial sektor publik dan utang korporasi nonfinansial sektor publik.
Dalam data korporasi finansial, terdapat Bank Indonesia, bank BUMN, BPD, serta BUMN yang
bisnis utamanya di bidang keuangan.

Grafik 47. Utang Sektor Publik Berdasarkan Sektornya (dalam Rp Miliar)

Sumber data: Bank Indonesia, SUSPI

86
Posisi utang korporasi nonfinansial sektor publik hampir seluruhnya merupakan utang
BUMN. Posisinya sebesar Rp1.140,66 triliun. Posisinya meningkat cukup pesat pada tahun 2018
dan tahun 2020. Hal ini berkaitan erat dengan penugasan program prioritas pemerintah pada
bidang infrastruktur, energi dan logistik.

Komposisi utang berdasar mata dari sektor ini lebih banyak dalam valuta asing, yang
mencapai Rp758,70 triliun pada akhir September 2020. Porsinya atas total utang sebesar
66,46%. Seiring pula dengan krediturnya yang terbanyak adalah pihak asing, yang porsinya
mencapai 60,25%.

Grafik 48. Utang Korporasi Nonfinansial Sektor Publik (Rp Miliar)

87
88
BAB IX
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

9.1 Kesimpulan Umum


Posisi utang pemerintah mencapai Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020. Bertambah
26,91% dari setahun sebelumnya. Posisi utang Pemerintah tiap tahun selama ini cenderung
meningkat, dan dampak pandemi Covid-19 membuat kenaikannya menjadi lebih tinggi.

Belanja dan pengeluaran pemerintah bertambah dari yang semula direncanakan dalam
APBN. Padahal, pendapatan justru menurun drastis. Defisit yang makin lebar ini dibiayai oleh
utang yang bertambah sangat signifikan.

APBN 2020 semula merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp351,85 triliun. Direvisi
melalui Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres
No.72/2020 menjadi Rp1.220,5 triliun. Realisasi sementaranya kemudian ternyata sedikit lebih
tinggi dari rencana, yakni sebesar Rp1.226,8 triliun.

Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,68% pada
akhir Desember 2020. Meningkat drastis dari rasio akhir tahun 2019 yang masih sebesar 30,23%.
Selama periode tahun 2016-2019, rasio utang relatif terjaga di kisaran 30%.

Masalah utama utang pemerintah bukan berapa atau posisi utangnya, melainkan bagaimana
membayarnya. Pembayaran mencakup pelunasan pokok utang atau pembayaran cicilan pokok,
serta pembayaran bunga utang. Perhitungan berdasar realisasi sementara APBN 2020 dan
informasi lainnya dari Kementerian Keuangan, pembayaran beban utang hanya sebesar Rp737,9
triliun. Nilainya sedikit menurun dibanding tahun 2019. Pelunasan pokok utang turun signifikan
sesuai jadwalnya, sedangkan pembayaran bunga utang meningkat.

Realisasi sementara APBN 2020 melaporkan pembayaran bunga utang sebesar Rp314,1
triliun. Mengalami kenaikan sebesar 14% dibanding tahun 2019. Pembayaran bunga utang
memang cenderung meningkat tiap tahun. Rerata kenaikannya pada era tahun 2015-2019
mencapai 15,70% per tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era
sebelumnya.

Meski nominal pembayaran beban utang menurun pada tahun 2020, namun pendapatan
juga mengalami penurunan yang lebih drastis. Rasionya pun meningkat menjadi 45,17% dari
42,74% pada tahun 2019. Rasio ini merupakan gambaran umum tentang berat atau ringannya
beban tersebut. Perlu diketahui bahwa rasio sudah cenderung meningkat sebelum pandemi.

89
Risiko secara sederhana dapat diartikan sebagai pemburukan kondisi yang bersifat tidak
terduga atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Dalam hal risiko utang, terutama
berhubungan dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok
dan pembayaran bunga. Meskipun mungkin hanya pada sebagian utang, baik yang berjenis
pinjaman ataupun SBN.

Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pada
saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah
payah. Pemerintah pun tampak cukup optimis atas perkembangan utang yang makin memburuk
akibat pandemi, dengan selalu mengatakan kondisinya masih aman dan telah dikelola secara
berhati-hati, serta memperhitungan risiko ke depannya.

Bagaimanapun, perlu diingat bahwa jika pemerintah berhasil membayar kewajiban


utangnya, namun dilakukan dengan bersusah payah, maka hanya akan menggeser risiko ke
tahun-tahun mendatang. Pemerintah juga tidak memiliki dana yang memadai untuk melakukan
kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan yang baik.

Berkaitan dengan semua itu, risiko pengelolaan utang Pemerintah saat ini bertambah dalam
aspek pencarian utang baru. Kondisi APBN masih memaksa pembayaran beban utang harus
dilakukan dengan penarikan utang baru. Upaya tersebut berisiko tidak diperolehnya utang baru
senilai yang diharapkan. Terutama jika selisih kurangnya dalam nilai yang besar.

Risiko utang pemerintah dapat dicermati melalui banyak indikator, yang sebagiannya telah
dijelaskan dalam laporan ini. Akan tetapi, Pemerintah cenderung menonjolkan salah satunya
saja dalam wacana publik. Yaitu rasio utang terhadap PDB. Salah satu sebabnya, rasio tersebut
yang diatur dalam undang-undang No.17/2003 tentang keuangan negara. Batas yang tidak
boleh dilewati disebut dalam penjelasan pasal 12 ayat 3, sebesar 60% dari PDB. Jika dicermati
UU tidak mengatakan bahwa 60% adalah batas aman, hanya menyatakan bahwa rasio utang
tidak boleh melebihi batas tersebut.

Pemerintah tampak cukup menyadari risiko utangnya dan berkomitmen akan mengelolanya
secara berhati-hati. Bahkan, Nota Keuangan dan APBN 2021 memberi ruang pembahasan yang
lebih panjang lebar dari biasanya atas risiko utang dan kebijakan pengelolaan utang. Sebagiannya
telah dikuti pada uraian di atas.

Nota Keuangan dan APBN 2021 secara umum mengakui jika risiko utang termasuk risiko
fiskal yang sangat penting. Jika tidak berhasil dikendalikan akan memiliki dampak besar pada
APBN keseluruhan. Risiko itu diidentifikasi dalam penggambaran sederhana berupa peta risiko
utang. Dampaknya (impact) sebesar 4 dari skala 1 sampai dengan 5, atau berdampak tinggi.
Diakui berdasar kondisi terkini, kemungkinan terjadinya (likelihood) sebesar 3, atau mungkin
terjadi.

Sebagai penjelasan dari cara mengelola risiko agar kemungkinan terjadinya dapat diturunkan
menjadi skala 2 atau bahkan 1, Nota Keuangan dan APBN 2021 menjelaskan perkembangan
tiga indikator teknis yang dijadikan acuan. Meliputi: risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, dan
risiko pembiayaan kembali.

90
Laporan ini menilai dengan peta penyajian yang sama, namun menambahkan beberapa
indikator utang selain yang dibahas Nota Keuangan. Laporan menempatkan kemungkinan
terjadi berskala 4 atau sangat mungkin terjadi. Dengan kata lain, kemungkinan ada masalah
dalam soalan utang ini lebih tinggi dari proyeksi pemerintah. Laporan juga menilai banyak hal
terkait itu memang diluar kendali pemerintah. Misalnya soal penyerapan pasar atas penerbitan
SBN, serta arus keuangan global.

Laporan ini sangat menekankan kemungkinan risiko dalam pembiayaan kembali. Ada
indikasi sumber pembiayaan tidak mencukupi. Pada tahun 2020 bisa dikatakan bahwa
pemerintah telah sangat mengandalkan “bantuan” Bank Indonesia. Penyerapan SBN selain
dari BI justru mengalami penurunan. Padahal hal itu sudah terbantu oleh penyerapan yang
meningkat dari perbankan. Peningkatan serapan dari perbankan sendiri dimungkinkan oleh
kelonggaran likuditas melalui berbagai aturan dari BI. Ditambah dengan masih tertahannya
pertumbuhan kredit kepada masyarakat.

Jika kondisi serupa dialami pada tahun 2021, maka pengelolaan keuangan BI perlu mengalami
perubahan. Dan selain risiko utang pemerintah yang meningkat, faktor penyaluran kredit yang
dibutuhkan perekonomian akan menjadi terkendala. Bisa dikatakan akan menimbulkan gejala
yang dikenal sebagai “crowding out”. Pemerintah akan memperebutkan sumber dana dengan
pihak swasta atau masyarakat.

Dalam hal risiko nilai tukar, sejauh ini memang berhasil dikendalikan. Akan tetapi risiko
ini tetap dapat mengancam sewaktu-waktu pada tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya.
Penyebab utamanya kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian disertai
struktur Neraca Pembayaran Internasional Indonesia yang belum kuat.

Utang pemerintah sebenarnya telah direncanakan dalam berbagai dokumen resmi negara dan
pemerintah. Baik tentang proyeksi kisaran nilai maupun garis besar kebijakan pengelolaannya.
Termasuk di dalamnya upaya menekan risiko utang dalam berbagai aspeknya. Hal ini sering
dikemukakan sebagai kebijakan pengelolaan utang yang berhati-hati dan menimbang faktor
keberlanjutan fiskal.

Rencana utang selalu disebut dalam narasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), termasuk RPJMN tahun 2020-2024. RPJMN memang hanya memberi
gambaran umum secara garis besar, namun cukup jelas dan disertai beberapa besaran indikator.

Perencanaan pengelolaan utang berjangka menengah yang lebih rinci dibanding RPJMN
dan memang secara khusus dimaksudkan demikian ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Keuangan (KMK). Semula kurun waktunya bersesuaian dengan RPJMN, karena memang harus
menjadi penjabarannya dalam hal perencanaan utang. Sehingga sempat ada KMK tentang
strategi pengelolaan utang negara jangka menengah (SPUNJM) tahun 2005-2009 dan tahun
2010-2019.

Perkembangan berikutnya dari SPUNJM tidak lagi seiring dengan RPJMN, baik dalam hal
rentang waktu, maupun besaran target indikatornya. Antara lain disebabkan oleh revisi yang
dilakukan sebelum berakhirnya waktu SPUNJM.

91
Laporan ini menunjukkan bahwa sebagian cukup besar dari rencana utang RPJMN dan
SPUNJM 7 tahun terakhir tidak terpenuhi target ataupun indikator yang dimonintor.

Perencanaan utang pemerintah secara tahunan telah disampaikan secara umum dalam
Nota Keuangan sebagai pengantar sekaligus penjelasan dari RAPBN dan APBN. Bahkan, selama
beberapa tahun terakhir ini dibahas tentang risiko utang secara cukup panjang lebar.

Pokok-pokok rencana utang secara tahunan dalam APBN diterjemahkan secara lebih teknis
oleh Kementerian Keuangan terutama dalam dokumen Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui
Utang. Dokumen strategi ini lah yang biasanya mengalami perubahan 2 hingga kali selama
realisasi tahun anggaran. Bahkan revisi tetap dilakukan ketika pada tahun bersangkutan tidak
ada APBN Perubahan, seperti tahun 2019.

Pandemi covid-19 merupakan kejadian luar biasa yang dampaknya memang belum tercakup
dalam mitigasi risiko APBN 2020 ketika ditetapkan melalui undang-undang pada akhir tahun
2019. APBN perubahan dilakukan hingga dua kali melalui Perpres. Begitu pula dengan dokumen
stratetegi dari Kemenkeu. Realisasi semantara dari kondisi utang akhir tahun 2020, terbilang
cukup sesuai dengan rencana keduanya.

Untuk tahun 2021, APBN merencanakan tambahan utang sebesar pos pembiayaan utang,
yaitu Rp1.177,40 triliun. Jika sesuai rencana, dan kurs pada akhir tahun 2021 setara dengan
akhir tahun 2020, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.252 triliun.

Untuk posisi tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024, belum dinyatakan proyeksi
tentang pembiayaan utang yang eksplisit. Meski demikian, posisi utang sedikit mendapat
gambaran berdasar target rasio utang atas PDB dalam Nota Keuangan APBN 2021.

Sayangnya berbeda dengan Nota Keuangan pada tahun-tahun sebelumnya, tidak disebutkan
secara definitif berapa rasionya pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga
dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio
utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%.

Laporan ini berpandangan berdasar kinerja APBN tahun 2020 dan prakiraan berdasar
APBN tahun 2021, maka posisi utang kemungkinan akan melampaui Rp10.000 triliun pada
tahun 2024. Jauh lebih besar dari proyeksi yang diperhitungkan berdasar titik tengah target
dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 di atas, yang hanya sebesar Rp9.225 triliun.

Rasionya pun akan sulit dijaga dalam rentang yang ditargetkan oleh Pemerintah. Dikaitkan
dengan proyeksi PDB nominal dalam perhitungan IHN, maka rasio utang dapat mencapai 45%
pada akhir tahun 2024. Melebihi batas yang ingin dikendalikan Pemerintah sebesar 38-43%.

Beberapa faktor memberi kontribusi atas kecenderungan ini. Posisi utang yang akan
meningkat signifikan karena kebutuhan pembiayaan utang, yang didorong oleh kebijakan
Pemerintah yang masih ingin APBN bersifat ekspansif. Ditambah faktor kurs yang cukup
rawan di masa mendatang. Sedangkan peningkatan nilai nominal PDB akan terkendala oleh
pertumbuhan ekonomi yang jika kembali ke lintasannya, hanya di kisaran 5%.

Tentu ada pengecualian, yakni perekonomian dilanda inflasi tinggi yang akan meningkatkan

92
nilai PDB nominal. Dengan demikian rasionya bisa turun signifikan. Bagaimanapun, otoritas
ekonomi dipastikan akan sangat serius mencegah hal ini, karena inflasi tinggi akan menimbulkan
banyak soalan lain yang lebih kompleks dan memberatkan.

Pengalaman buruk saat dampak krisis 1997/1998 yang terjadi lonjakan utang pemerintah
patut diwaspadai. Utang Pemerintah secara nominal masih terus melaju kencang hingga tahun
2000. Setelahnya pun bisa dikatakan tidak benar-benar turun, melainkan hanya melandai atau
stagnan selama beberapa tahun. Kemudian secara perlahan menaik kembali, dan naik hampir
selalu naik signfikan sejak tahun 2012.

9.2 Rekomendasi
Laporan ini telah menjelaskan bahwa penyebab utama utang yang tumbuh pesat adalah
defisit dan pembiayaan APBN yang bersifat pengeluaran. Pendapatan sebenarnya telah dapat
diprakirakan dan relatif “terukur”. Pendapatan hanya dapat ditingkatkan secara berhati-hati,
karena bisa mengkontraksi perekonomian di saat resesi seperti saat ini. Faktor yang lebih bisa
dikontrol oleh pemerintah adalah belanja dan pengeluaran.

Narasi kebijakan yang selalu mengedepankan belanja yang lebih besar dari pendapatan
sebagai bersifat ekspansif dan akan mendorong perekekonomian, perlu diperiksa secara lebih
cermat. Belanja atau pengeluaran yang seperti apa, berupa apa, dan bagaimana prosesnya amat
mempengaruhi apa yang dianggap ekspansif tersebut.

Laporan ini melanjutkan laporan IHN terdahulu tentang reviu APBN 2021 berpandangan
sifat ekspansif APBN 2021 tidak sepadan dengan biaya yang mesti dikeluarkan. Dalam hal ini
terutama terkait perkembangan kondisi utang pemerintah, dan bebannya hingga bertahun-
tahun ke depan. Diperlukan pemeriksaan ulang semua belanja (dan pengeluaran pembiayaan)
agar dipilih yang dapat dikurangi, tanpa menimbulkan efek besar bagi perekonomian. Jika
diperlukan dapat dialokasikan pada belanja dan pengeluaran yang secara langsung bersifat
menambah daya beli masyarakat. Terutama masyarakat berpendapatan rendah.

Laporan ini pada prinsipnya merekomendasikan agar tambahan utang tidak sebesar yang
direncanakan oleh APBN 2021. Pengalaman buruk saat dampak krisis 1997/1998 yang terjadi
lonjakan utang pemerintah patut diwaspadai. Utang Pemerintah secara nominal masih terus
melaju kencang hingga tahun 2000. Setelahnya pun bisa dikatakan tidak benar-benar turun,
melainkan hanya melandai atau stagnan selama beberapa tahun. Kemudian secara perlahan
menaik kembali, dan naik hampir selalu naik signfikan sejak tahun 2012.

Selain soal tambahan utang dan posisi utang, laporan ini mengingatkan Pemerintah agar
secara terus menerus memeriksa ulang atas semua risiko. Penyajian indikator utang dalam Nota
Keuangan dan rencana strategi tahunan tampak kurang mencukupi pada kondisi resesi seperti
saat ini. Resesi ekonomi Indonesia dan kondisi global yang masih belum menentu, meski diklaim
terjadi perbaikan, memberi isyarat agar Pemerintah lebih berhati-hati mengelola utangnya.
Melebihi kondisi yang normal.

Berbagai beban dengan BI mesti dimanfaatkan terkait semua risiko utang. Tidak hanya
serapan atas SBN, melainkan juga upaya menekan biaya utang. Salah satu soalan laten sebelum

93
pandemi, biaya utang yang cukup tinggi. Harus diakui memang menjadi tidak mudah, jika
kebutuhan utang yang meningkat disertai kaidah penurunan biaya.

Oleh karenanya, IHN amat merekomendasikan agar utang tidak bertambah sebesar yang
direncanakan APBN 2021. Bersesuaian dengan rekomendasi laporan IHN tentang APBN agar
defisit APBN kembali ke lintasan di bawah 3%, maka tambahan utang juga sekitar separuh dari
rencana yang Rp1.177 triliun. Besaran indikatifnya adalah sekitar Rp650 triliun.

94

Anda mungkin juga menyukai