Anda di halaman 1dari 148

INDEF

Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012:

Badai Krisis Ekonomi


Dan Jebakan Liberalisasi

INDEF

i
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012:


Badai Krisis Ekonomi
dan Jebakan Liberalisasi

Penulis: Ahmad Erani Yustika, Enny Sri Hartati,


Eko Listiyanto, Ahmad Heri Firdaus , Abdul Manap Pulungan,
Abra Puspa Ghani Talattov, Imaduddin Abdullah,
Eisha Maghfiruha Rachbini, Romora Edward Sitorus,
Agus Herta Sumarto

Desain Cover dan Tata Letak: Sarwo Edy

ISBN: 979-97810-11

November 2011

ii
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Daftar Isi

Daftar Isi iii


Bab 1. Pendahuluan 1

Bab 2. Perkembangan Makro dan Mikro Ekonomi Indonesia 9


2.1. Pertumbuhan Ekonomi 10
2.2. Inflasi 12
2.3. Suku Bunga dan Pasar Keuangan 15
2.4. Nilai Tukar 16
2.5. Investasi 19
2.6. Ekspor-Impor : Gerbang Krisis Ekonomi 23
2.7. Perbankan 27
2.8. Kebijakan Fiskal 29

Bab 3. Bank Asing vs Bank Lokal 33


3.1. Rivalitas Bank Asing dan Bank Lokal 33
3.2. Kinerja Bank Lokal vs Bank Asing 38
3.3. Kendala Perbankan Lokal 49
3.4. Tantangan dan Peluang Perbankan Ke Depan 57

Bab 4. Jebakan Liberalisasi Perdagangan: Kasus ACFTA 61

iii
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

4.1. Bagaimana Indonesia? 64


4.2. Indonesia Terlibas ACFTA 66
4.3. Gagal Memanfaatkan Peluang 70
4.4. Penyiapan Pasar Domestik 71
4.5. Merumuskan Strategi 72

Bab 5. Indonesia Menghadapi Krisis Utang EURO Area 77


5.1. Titik Kritis Krisis Euro Area 77
5.2. Asia Timur Mengantisipasi Krisis 54
5.3. Dampak Krisis Utang Eropa terhadap Indonesia 92
5.4. Langkah Antisipasi Krisis Euro Area ke Indonesia 102

Bab 6. MP3EI dan Penguatan Ekonomi Domestik 107


6.1. MP3EI: Rencana di Atas Rencana 108
6.2. Sebuah Gebrakan Pencitraan Minim Persiapan 111
6.3. Dukungan MP3EI Bagi Penguatan Ekonomi Domestik 112
6.4. Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Agroindustri 114

Bab 7. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 127


7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain 128
7.2. Pertumbuhan Ekonomi 2012 129
7.3. Inflasi 131
7.4. Suku Bunga 131
7.5. Nilai tukar 132
7.6. Pengangguran dan Kemiskinan 133

Daftar Pustaka 135

iv
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan 11


Tabel 2.2. Ekonomi Menurut Lapangan Usaha
dan Kontribusinya 12
Tabel 2.3. Pertumbuhan dan Nilai Ekspor berdasarkan Negara
Tujuan (Agustus-September 2011) 24
Tabel 2.4. Perkembangan Total Ekspor dan 12 Besar Ekspor Hasil
Industri (2006 – 2011) 26
Table 2.5. Indikator Kesehatan Perbankan Nasional 28
Tabel 2.6. Realisasi APBN Tahun 2005 – 2011 31
Tabel 3.1. Jumlah Bank di Indonesia 35
Tabel 3.2. Jumlah Kantor Bank Lokal dan Bank Asing di Indonesia 36
Tabel 3.3. Kepemilikan Asing dalam Bank Nasional 36
Tabel 3.4. Batasan Kepemilikan Asing di Bank Umum
beberapa Negara ASEAN 37
Tabel 3.5. Perkembangan DPK Bank Lokal dan Bank Asing 40
Tabel 3.6. Komposisi DPK Bank Lokal dan Bank Asing 41
Tabel 3.7. Perkembangan Aset Bank Lokal dan Bank Asing 42
Tabel 3.8 Perkembangan Kredit Bank Lokal dan Bank Asing 43
Tabel 3.9 Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan 44
Tabel 3.10. Perkembangan Kredit Berdasarkan Sektor Ekonomi 45
Tabel 3.11. Perkembangan LDR 46
Tabel 3.12. Perkembangan NPL 47
Tabel 3.13. Perkembangan NIM 48

v
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tabel 3.14. Penempatan Dana di SBI 49

Tabel 3.15. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan dan Suku Bunga


Perbankan Beberapa Negara 52
Tabel 3.16. Distribusi Ekspor Menurut Negara 58
Tabel 4.1. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$) 64
Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan China (Juta US) 68
Tabel 5.1. Neraca Anggaran Pemerintah dan Rasio Utang di Euro Area
(Persentase terhadap PDB) 79
Tabel 5.2. Indikator Sustainabilitas Eksternal Indonesia
(2010-Semester I 2011) 99
Tabel 6.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha 116
Tabel 6.2. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakang
Agrobased Industries Indonesia pada Periode
1995-2008 120
Tabel 7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 INDEF 133

vi
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Inflasi Menurut Komponen Umum, Inti, Barang


bergejolak dan Harga yang Diatur Pemerintah
(2009-2011) 13
Gambar 2.2. Inflasi Bulanan Menurut Komponen Umum,
Inti, Gejolak, dan Pemerintah
(Januari – Oktober 2011) 14
Gambar 2.3. Perkembangan Harga Komoditas Dunia (2010-2011) 15
Gambar 2.4. Perkembangan Suku Bunga Domestik 16
Gambar 2.5. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS 17
Gambar 2.6. Perkembangan Suku Bunga Internasional 2011 18
Gambar 2.7. Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) yang telah
Direalisasikan 19
Gambar 2.8. Ketimpangan Investasi PMA dan PMDN 20
Gambar 2.9. Realisasi Investasi PMA Menurut Negara pada
Triwulan II 2011 22
Gambar 2.10. Perkembangan Ekspor-Impor Indonesia 2011 25
Gambar 2.11. Tingkat CAR Perbankan Indonesia (persen) 28
Gambar 2.12. Postur Belanja APBN, Tahun 2007 – 2011 30
Gambar 4.1. Neraca Perdagangan Beberapa Negara 63
Gambar 4. 2. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara 63
Gambar 5.1. Yield Spread Surat Utang Negara terhadap
German Bunds 81
Gambar 5.2. Dampak Krisis Utang 83
Gambar 5.3. Pertumbuhan GDP Dunia (persen) 85
Gambar 5.4. Pertumbuhan GDP Singapura 87

vii
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 5.5. Pertumbuhan GDP Indonesia 88


Gambar 5.6. Rata Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan
Berkembang 89
Gambar 5.7. Perekonomian ASEAN Terpilih: Ekspor ke China
(Januari 2008=100; 3-bulan moving average) 96
Gambar 5.8. Nilai dan Volume Perdagangan IHSG (Januari 2010-
September 2011) 98
Gambar 5.9. Nilai Tukar Rupiah terhadap US$
(January-September 2011) 101
Gambar 6.1. Penguatan Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya 117

viii
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 1
Pendahuluan

Belum surut dari ingatan tentang pecahnya gelembung kredit


perumahan yang melanda perekonomian Amerika Serikat (AS) pada
2007 lalu, muncul krisis lanjutan yang menimpa perekonomian Uni
Eropa (UE) akibat jebolnya APBN dalam menutup utang. Berbeda
dengan krisis di AS yang lebih dipicu oleh sektor swasta, krisis di UE
dipicu oleh kekhawatiran terjadinya gagal bayar oleh pemerintah atas
surat-surat utang yang sudah jatuh tempo. Rentetan krisis di AS dan UE
ini berlangsung dalam tempo yang relatif cepat dan saling berkaitan. Di
saat perekonomian AS belum pulih dari krisis, kini zona euro juga
mengalami penurunan perekonomian yang tidak kalah parah.
Mengingat magnitude krisis yang demikian luas –menimpa dua
kawasan utama ekonomi dunia- diperkirakan pada 2012 baik AS mapun
UE belum mampu pulih dari krisis.
Menghadapi situasi berlanjutnya krisis AS dan munculnya krisis
UE ini, tentu saja Indonesia harus segera berbenah agar perekonomian
nasional tidak terkontaminasi atas memburuknya perekonomian di
kedua kawasan tersebut. Tak dapat dipungkuri bahwa krisis demi krisis
yang pernah terjadi di Indonesia, pemicunya tak terlepas dari faktor
eksternal, diperparah dengan kondisi internal yang tidak mendukung.

1
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Krisis moneter 1997, misalnya, dipicu oleh pelemahan mata uang bath-
Thailand, yang berlanjut pada penarikan modal secara besar-besaran
pada hampir seluruh negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan pada krisis global 2009, dampak yang relatif kecil dibanding
negara-negara lain dikarenakan porsi konsumsi dalam negeri yang
besar dalam perekonomian, sehingga ada pameo ‘pemerintah tidur pun
ekonomi tetap tumbuh’. Sebuah ungkapan yang tidak berlebihan jika
melihat fakta tidak efektifnya stimulus fiskal kala itu, di mana sebagian
besar program terkendala waktu dan buruknya ketepatan sasaran
program.
Belajar dari pengalaman masa lalu tersebut, pemerintah
Indonesia ke depan diharapkan dapat lebih kontributif dan antisipatif
atas kemungkinan penjalaran krisis utang UE dan berlanjutnya krisis AS.
Kontributif dalam arti pemerintah harus melakukan upaya nyata
melalui berbagai kebijakan yang membuat perekonomian 2012 dapat
terhindar dari penjalaran krisis. Jika keberadaan pemerintah dalam
pengelolaan ekonomi 2012 sama saja, ini menunjukkan pemerintahan
yang abai dan lalai. Sedangkan antisipatif berarti pemerintah harus
mempersiapkan berbagai strategi meredam krisis UE dan AS tersebut
sedini mungkin, tidak reaktif. Dengan langkah-langkah yang terencana,
kebijakan menghindar dari krisis akan lebih efektif.
Badai krisis ekonomi yang datang kali ini diperkirakan akan lebih
sulit ditaklukkan. Selain karena krisis terbaru di UE dipicu oleh utang
pemerintah yang terlalu besar, harapan untuk segera pulihnya krisis
ekonomi di AS pun harus menunggu lebih lama. Padahal UE dan AS
merupakan dua kawasan utama perekonomian dunia hingga saat ini.
Lebih dari itu, selama ini kedua kawasan tersebut merupakan kiblat

2
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

pembuatan kebijakan ekonomi dan contoh negara-negara maju yang


mampu mengelola perekonomian secara baik dan menyejahterakan,
setidaknya hingga sebelum badai krisis menerpa.
Di luar semua sisi gelap tentang dampak krisis AS dan UE, krisis
ekonomi ini membuat pergeseran kutub ekonomi dunia dari Amerika-
Eropa ke Asia. Sebuah peluang bagi negara-negara di Asia untuk
menjadi negara yang diperhitungkan dikancah perekonomian dunia ke
depan. Sejauh ini China menjadi negara yang secara terang-terangan
diharapkan UE untuk berkontibusi membantu proses penyelamatan
zona euro dari memburuknya krisis, seperti peran yang pernah
dimainkannya sewaktu gelembung kredit perumahan di AS pecah.
Tentu saja Asia tidak hanya China dan India, dua negara yang semakin
diperhitungkan dalam perekonomian dunia, terutama di saat krisis.
Indonesia dapat menjadi negara yang diperhitungkan berikutnya jika
mampu menghindar dari ‘ujian ekonomi’ penjalaran krisis UE dan
berlanjutnya krisis AS. Seperti pada 2009 lalu di mana tiga negara besar
di Asia ini mampu melewati krisis global dengan pertumbuhan positif.
Apalagi, Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah
sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang paling aman.
Bagian lain perekonomian Indonesia yang perlu dicermati ke
depan adalah fenomena liberalisasi yang semakin menjalar di semua
lini ekonomi. Liberalisasi ekonomi yang tidak terkendali berpotensi
menjebak perekonomian pada situasi ‘fatamorgana pertumbuhan’, di
mana ekonomi tumbuh tinggi tetapi sangat sedikit yang dapat
merasakan manfaatnya. Seolah-olah pertumbuhan ekonomi
mencerminkan peningkatan kesejahteraan sebagian besar masyarakat,
padahal situasi riil tidak demikian.

3
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Liberalisasi yang kebablasan dapat menyeret pada pertumbuhan


ekonomi yang tidak berkualitas, ekonomi tumbuh tetapi yang
menikmati negara lain. Tidak berlakunya asas resiprokal pada bisnis
perbankan antarnegara yang terjadi saat ini merupakan contoh nyata
dampak dari liberalisasi yang berlebihan dalam perekonomian.
Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya bagi investasi di sektor
perbankan dalam negeri, sementara bank umum dari Indonesia tidak
mendapat perlakuan yang sama ketika hendak ekspansi di luar negeri.
Persoalan-persoalan liberalisasi serupa juga sering ditemui di sektor-
sektor lain, seperti liberalisasi pertanian, perdagangan, sumber daya
alam, dan lain-lain.
Mengingat besarnya pengaruh krisis UE dan berlanjutnya krisis
AS terhadap perekonomian Indonesia 2012 maka perlu dianalisis
dampaknya, serta sejauh mana kesiapan pemerintah dalam
menyiapkan amunisi kebijakan moneter dan fiskal mengantisipasi krisis
tersebut. Pada sisi lain, jebakan liberalisasi juga harus dihindari agar
tumbuhnya perekonomian dalam negeri dapat dinikmati sebesar-
besarnya oleh bangsa sendiri. Pada kerangka inilah INDEF membuat
Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 guna menyampaikan informasi
perkembangan ekonomi selama setahun ini dan perkiraan pencapaian
tahun depan. Tulisan ini akan diawali dengan paparan tentang
perkembangan makro dan mikro ekonomi Indonesia selama 2011.
Bagian berikutnya mengulas tentang liberalisasi, terutama potensi
liberalisasi finansial dan perdagangan. Diantaranya membahas
kontradiksi bank asing vs. bank lokal dalam perekonomian nasional
yang diikuti dengan uraian tentang MP3EI dan penguatan ekonomi
domestik. Analisis penjalaran krisis utang euro area ditampilkan pada
bagian berikutnya. Tulisan diakhiri dengan uraian proyeksi ekonomi

4
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Indonesia 2012 disertai berbagai catatan isu ekonomi yang perlu


diperhatikan di tahun mendatang.
Perkembangan Makro dan Mikro Ekonomi Indonesia
menguraikan berbagai perkembangan indikator makro dan mikro
ekonomi dalam satu tahun ini. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada 2011 sebesar 6,5 persen kemungkinan besar dapat tercapai.
Angka tersebut memberikan sebuah nilai rapor yang menggembirakan
jika dapat tercapai, sementara perekonomian dunia sendiri
diperkirakan mengalami perlambatan. Namun, pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih disokong oleh konsumsi masyarakat yang tinggi.
Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan
memiliki kontribusi komponen investasi yang tinggi dibandingkan
komponen konsumsi. Di sisi mikro, tampak bahwa inefisiensi birokrasi,
akses kredit bagi UMKM, serta penguatan sektor riil belum banyak
perubahan yang signifikan.
Liberalisasi finansial dan perdagangan memaparkan bagaimana
kecenderungan terjadinya liberalisasi finansial, terutama pada
perbankan dan liberalisasi perdagangan. Kecenderungan liberalisasi di
sektor perbankan, terlihat jelas bagaimana sepak terjang bank asing
dalam menjalankan aktivitas bisnisnya di Indonesia selama ini -
mengacu pada PP No 29 Tahun 1999- di mana bank lokal boleh dimiliki
oleh pihak asing hingga 99 persen. Pasca diberlakukannya paket
kebijakan Oktober 1988, secara fundamental terjadi perkembangan
yang cukup signifikan terhadap industri perbankan nasional. Tidak
hanya bank-bank lokal saja yang dapat tumbuh dengan subur, tetapi
juga bank-bank asing yang menancapkan kakinya di Indonesia juga
turut merasakan kebebasannya dalam melakukan aktivitas bisnis.

5
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Ditambah lagi dengan hadirnya UU No 10 Tahun 1998 dan PP No. 29


Tahun 1999 menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu
terbuka dan bebas memberikan kesempatan bagi pemilik modal asing
untuk menjalankan bisnis di sektor perbankan nasional. Jika asas
resiprokal investasi perbankan antarnegara tidak diberlakukan,
dikhawatirkan ‘liberalisasi’ ini akan menggeser peran bank lokal dalam
perekonomian Indonesia ke depan. Sementara liberalisasi per-
dagangan, terlihat jelas dari membanjirnya produk-produk impor ke
pasar domestik.
MP3EI dan Penguatan Ekonomi Domestik berisi koreksi
kebijakan dalam mempertajam apa yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah untuk mewujudkan target MP3EI -cita-cita menjadi 10
negara terbesar pada 2025- dapat terealisasi. Sejatinya, melalui UU No.
25/2004 dan UU No. 17/2003 tentang Sistem Perencanaan dan
Penganggaran, yang selanjutnya diterjemahkan menjadi RPJPN 2005-
2025, RPJMN 2010-2014, serta RKP/APBN, pemerintah telah dibekali
dokumen perencanaan yang cukup untuk membangun perekonomian.
Memosisikan MP3EI sebagai bagian integral dari dokumen-dokumen
yang sudah terlebih dahulu ada dan disepakati justru berpotensi
mengaburkan fokus pembangunan yang sudah direncanakan. Pada
subbab lain juga diuraikan tentang perlunya penguatan ekonomi
domestik melalui agroindustri yang bernilai tambah. Struktur ekonomi
yang kokoh dapat berdasarkan pada basis ketersediaan sumber daya
alam dan produk unggulan yang dapat diolah dan dimanfaatkan
secara optimal.
Indonesia Menghadapi Krisis Utang Euro Area memaparkan
potensi penjalaran krisis utang euro area ke kawasan Asia dan

6
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Indonesia. Meskipun terbentuknya euro area memberikan keuntungan


kepada anggota-anggotanya dengan memperluas tingkat integrasi
keuangan, namun hubungan yang ekstensif antara bank-bank dan
pengumpulan dana untuk surat utang luar negeri di euro area dapat
memfasilitasi transmisi kejutan (shocks) yang cepat sepanjang pasar-
pasar keuangan. Bagian ini juga mengupas langkah-langkah antisipasi
krisis UE yang perlu dilakukan Indonesia. Selamat membaca, semoga
bermanfaat bagi perumusan kebijakan ekonomi yang lebih bermutu di
masa depan. 

7
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 2
Perkembangan Makro dan Mikro Ekonomi
Indonesia

Tahun 2007/2008 perekonomian dunia dilanda badai krisis


global yang bersumber dari krisis yang berawal dari Amerika Serikat.
Tekanan krisis belum mereda, menginjak tahun 2011 perekonomian
global kembali didera krisis dari Uni Eropa. Krisis yang dipicu oleh
kemungkinan gagal bayar Pemerintah Yunani tersebut telah
menimbulkan efek sistemik bagi perekonomian dunia. Bahkan
beberapa negara Uni Eropa, seperti Spanyol, Portugal, dan Italia sudah
menjadi negara yang berada dalam daftar tunggu krisis dan gagal bayar
berikutnya seperti yang telah dialami oleh Yunani.
Kondisi eksternal tersebut tentu saja berpengaruh pada
perekonomian domestik. Namun secara umum, indikator makro
ekonomi Indonesia selama 2011 masih menunjukkan kondisi yang
stabil. Hanya saja, data makro ekonomi sering kali tidak sesuai dengan
tataran realitas yang ada, apalagi dengan kondisi yang dirasakan
langsung oleh masyarakat. Pertumbuhan PDB, inflasi, nilai tukar, dan

9
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

indeks harga saham gabungan sering kali tidak sejalan dengan


peningkatan taraf hidup dan sumber mata pencaharian masyarakat.
Angka-angka makro kerap kali hanya sebagai fatamorgana.
Pertumbuhan ekonomi yang dianggap tinggi hanya sebatas pada angka-
angka, belum mampu menghasilkan kesejahteraan yang dirasakan
masyarakat. Penyebabnya, sumber pertumbuhan masih didominasi
oleh sektor non riil, seperti saham dan valas yang volatilitas dan
mobilitasnya sangat tinggi.
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,
tentunya tidak hanya dilihat dari prestasi indikator makro ekonomi
namun juga harus memotret kinerja sektor riil. Oleh karenanya
evaluasi ekonomi selama 2011 berikut juga akan mengulas
perkembangan dan kinerja sektor riil. Dengan demikian, potret
ekonomi Indonesia dapat dilihat dengan lebih proporsional dan
memberikan gambarkan yang lebih utuh.

2.1. Pertumbuhan Ekonomi


Kinerja perekonomian Indonesia hingga triwulan III masih
menunjukkan performa yang cukup baik dan sejalan dengan target
pertumbuhan 2011. Sampai dengan triwulan III 2011, ekonomi rata-
rata tumbuh sebesar 6,5 persen. Dari sisi Penggunaannya, penyumbang
tersebesar pertumbuhan adalah pengeluaran konsumsi, yaitu mencapai
63,3 persen. Kemudian disusul oleh pembentukan modal tetap bruto
sekitar 31,8 persen, ekspor neto sebesar 1,6 persen. Terlihat jelas
bahwa sumber pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh konsumsi
masyarakat yang tinggi. Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas dan berkelanjutan mestinya disokong oleh seluruh

10
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

komponen pertumbuhan secara proporsional, baik investasi maupun


net ekspor.
Tabel 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan
Pertumbuhan Ekonomi (yoy)
Jenis Penggunaan Persen (%)
Q1 Q2 Q3 Q1-Q3
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 4,5 4,6 4,8 4,6
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 2,8 4,5 2,5 3,3
Pembentukan Modal Tetap bruto (PMTB) 7,3 9,2 7,1 7,9
Ekspor Barang dan Jasa 12 17,4 18,5 16,2
Dikurangi Impor Barang dan Jasa 16 16 14,2 14,6
PDB 6,5 6,5 6,5 6,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Sementara dari sisi sektoral atau lapangan usaha, sektor


perdagangan, hotel dan restoran meningkat sebesar 10,1 persen (yoy)
di triwulan III 2011. Sektor tersebut memberikan sumbangan terbesar
terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan lapangan usaha lainnya,
yaitu berkontribusi tumbuh 1,7 persen terhadap total pertumbuhan
ekonomi triwulan III 2011. Di sisi lain, terdapat beberapa sektor yang
menjadi komponen penyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi,
yaitu sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi,
dan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan, yang masing-
masing memberikan kontribusi pertumbuhan 1,7 persen, 0,9 persen,
dan 0,7 persen terhadap pertumbuuhan ekonomi triwulan III 2011.
Sedangkan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, sektor
pertanian hanya tumbuh sebesar 5 persen (qtq), sementara di triwulan
I sektor tersebut tumbuh tajam sebesar 18,3 persen (qtq). Sektor
pertambangan dan penggalian bahkan mengalami penurunan kinerja,

11
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

yaitu perlambatan sebesar minus 1 persen (qtq) akibat penurun


produksi subsektor pertambangan bukan migas sebesar 4,1 persen
(qtq) pada triwulan II. Sedangkan pada triwulan III, sektor
pertambangan kembali tumbuh 2,9 persen (qtq).
Tabel 2.2. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha
dan Kontribusinya
Pertumbuhan Ekonomi (yoy)
Persen (%)
Lapangan Usaha Sumber
Q1 Q2 Sem-1 Q3 Q1-Q3 pertumbuhan
Q3 (yoy)
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan
3,6 3,9 3,7 2,7 3,4 0,4
Perikanan
Pertambangan dan Penggalian 4,3 0,8 2,5 0,3 1,7 0

Industri pengolahan 5 6,1 5,6 6,6 5,9 1,7

Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,3 3,9 4,1 5,2 4,5 0

Konstruksi 5,3 7,4 6,4 6,4 6,4 0,4

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7,9 9,6 8,7 10,1 9,3 1,7

Pengangkutan dan Komunikasi 14 10,7 12,1 9,5 11,2 0,9

Keuangan, Real Estat dan Jasa perusahaan 7,3 6,9 7,1 7 7 0,7

Jasa-Jasa 7 5,7 6,3 7,8 6,8 0,7

PDB 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

2.2. Inflasi
Tekanan inflasi selama 2011 berasal dari sisi internal maupun
sisi eksternal. Hingga triwulan III 2010, tingkat inflasi masih terjaga
pada kisaran sasaran inflasi 5% 1%. Inflasi IHK pada triwulan III 2011
sebesar 1,89 persen (qtq) atau 4,61 persen (yoy). Pada Oktober 2011,
terjadi deflasi sebesar 0,12 persen (mtm). Deflasi tersebut terjadi pada

12
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

beberapa kelompok barang, seperti bahan makanan, sandang,


transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Berdasarkan komponen,
inflasi inti pada Oktober 2011, juga mengalami deflasi sebesar 0,12
persen (mtm) atau sebesar 4,42 persen (yoy).
Gambar 2.1. Inflasi Menurut Komponen Umum, Inti, Barang
bergejolak dan Harga yang Diatur Pemerintah (2009-2011)

Inflasi 2009-2011 (%)


Indeks Umum Inti
Harga Yang Diatur Pemerintah Barang Bergejolak
17.74

6.96
4.28 3.95 4.28 5.40
2.78 2.85 3.72 2.49
0.7

2009 2010 2011*


-3.26

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. *) Data inflasi Jan-Okt 2011

Tekanan inflasi yang terus menurun pada triwulan III 2011


disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu harga pada volatile food yang
tidak terlalu bergejolak. Pada Oktober 2011, komponen volatile food
menyumbangkan deflasi sebesar 0,6 persen (mtm). Sedangkan
komponen inflasi yang dikendalikan oleh pemerintah, yaitu
administered price cenderung stabil, akibat tidak adanya kebijakan
pemerintah yang terkait penetapan harga energi. Sementara itu, inflasi
inti juga menyumbangkan deflasi, yakni sebesar 0,09 persen (mtm).

13
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 2.2. Inflasi Bulanan Menurut Komponen Umum, Inti,


Gejolak, dan Pemerintah (Januari – Oktober 2011)

Inflasi Bulanan (Jan-Okt 2011)


3.00
Indeks Umum
2.00

1.00 Inti
Inflasi (%)

0.00
Oktober Harga Yang Diatur
Agustus
Januari
Februari

April
Mei
Maret

Juni
Juli

September

-1.00 Pemerintah

-2.00 Barang Bergejolak

-3.00

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2011

Terkait dengan sisi eksternal tingginya harga komoditas pada


pasar international, seperti komoditas pangan dan emas, memiliki
kontribusi yang cukup besar terhadap inflasi selama 2011. Namun,
pada akhir triwulan III harga komoditas sudah mulai menurun, seiring
dengan bertambahnya pasokan komoditas dan kondisi perlambatan
ekonomi dunia. Hal tersebut terjadi pada harga minyak dan harga emas
di pasar internasional yang terlihat tren menurun jika dibandingkan
pada triwulan sebelumnya. Faktor eksternal lainnya adalah masih
derasnya arus modal masuk. Pasalnya, ketika arus modal masuk
meningkat, maka likuiditas uang beredar juga meningkat sehingga
menyebabkan ekses likuiditas domestik yang berpotensi mengganggu
tingkat harga. Namun, dampak eksternal tersebut terhadap inflasi
masih terbatas karena respons kebijakan moneter BI melalui instrumen
liquidity management pada pasar uang.

14
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 2.3. Perkembangan Harga Komoditas Dunia (2010-2011)

Perkembangan Harga Komoditas Dunia


2000 (2010-2011)
1500
1000 Crude
oil, avg, spot,
500
$/bbl, curren
0
t$

Sumber: Worldbank, 2011

2.3. Suku Bunga dan Pasar Keuangan


Bank Indonesia mempertahankan Suku Bunga acuan (BI Rate)
pada 6,75 persen selama semester I 2011. Kebijakan moneter yang
cenderung ketat selama semester I tersebut dikarenakan
mempertimbangkan risiko tekanan inflasi yang berasal dari faktor
eksternal, yaitu tingginya harga komoditas pangan dan emas, yang
memberikan sumbangan besar pada komponen inflasi inti.
Pada Oktober 2011, Bank indonesia memutuskan menurunkan
suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin, yaitu ke level 6,5
persen. Selanjutnya, BI Rate tersebut diturunkan kembali ke level 6,0
persen pada November 2011, yang merupakan BI Rate paling rendah
sepanjang sejarah. Keputusan penurunan BI rate ini terutama di dorong
oleh inflasi yang terkendali serta antisipasi terhadap kontraksi
perekonomian akibat dampak perlambatan permulihan perekonomian
global.

15
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 2.4. Perkembangan Suku Bunga Domestik

Perkembangan Suku Bunga


Domestik
20.00
BI Rate
Persen (%)

10.00
- SBI 9 bln
Apr
Mei

Jul
Agust

okt
Feb

Sep
Mar
Jan

Jun

Pasar Uang Antar Bank


2011 ON

Sumber: Bank Indonesia, 2011

Seiring dengan penurunan suku bunga BI rate, suku bunga pasar


uang antar bank overnight (PUAB/ON) juga mengalami penurunan rata-
rata sebesar 5,4 persen pada triwulan III 2011. Kemudian penurunan
suku bunga juga ditransmisikan pada suku bunga deposito dan suku
bunga kredit. Pada triwulan III 2011, suku bunga deposito cenderung
stabil, sementara suku bunga kredit mengalami penurunan. Suku bunga
deposito pada triwulan III, yaitu secara rata-rata berada pada level 6,8
persen, sedangkan suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit
investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) secara rata-rata berada pada
level 12,5, 12,1 dan 14,3 persen atau turun sebesar 10 bps, 3bps dan 7
bps dibandingkan triwulan sebelumnya.

2.4. Nilai Tukar


Selama triwulan II 2011, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi,
rupiah menguat sebesar 3,47 persen (qtq), yaitu dari level Rp 8.708 per

16
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

dolar AS di akhir triwulan I menguat menjadi Rp 8577 per dolar AS pada


akhir periode triwulan II. Namun, volatilitas pergerakan nilai tukar
rupiah mengalami peningkatan menjadi 0,35 persen pada triwulan II
dan 0,3 persen pada triwulan III. Faktor yang menyebabkan apresiasi
nilai tukar tersebut adalah optimisme terhadap kondisi fundamental
perekonomian Indonesia membuat aliran arus modal masih terus
berlanjut. Selain itu, kinerja neraca pembayaran juga semakin
membaik, yaitu berada pada posisi surplus sehingga memberikan
ekspektasi positif terhadap investor global di tengah ketidakpastian
pemulihan kawasan Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Gambar 2.5. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS

9200
9000
8800
Rp/US$

8600
8400
8200
8000
03/01/2…
24/01/2…
14/02/2…
07/03/2…
28/03/2…
18/04/2…
09/05/2…
30/05/2…
20/06/2…
11/07/2…
01/08/2…
22/08/2…
12/09/2…
03/10/2…
24/10/2…

Kurs Tengah Harian Kurs Rata-rata Bulanan


Kurs Rata-rata Triwulan

Sumber: Bank Indonesia, 2011

Sedangkan pada triwulan III 2011 nilai tukar mengalami


depresiasi sebesar 2,42 persen atau bergeser ke level Rp 8790 per dolar
AS. Seiring dengan melemahnya rupiah, volatilitas pergerakan nilai
tukar juga mengalami peningkatan, yaitu sebesar 0,49 persen. Hal
tersebut disebabkan oleh faktor risiko ketidakpastian perekonomian

17
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

global yang berdampak menjadi sentimen negatif terhadap negara-


negara emerging market. Di sisi lain, melemahnya nilai tukar rupiah
juga diakibatkan meningkatnya permintaan valuta asing yang
digunakan untuk kebutuhan membayar barang impor. Namun, Bank
Indonesia memperkirakan bahwa ekspektasi terhadap nilai tukar rupiah
akan menguat pada akhir tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari masih
kompetitifnya imbal hasil rupiah dibandingkan mata uang negara lain di
kawasan Asia, sehingga aset dalam denominasi rupiah masih lebih
menarik bagi investor dan berujung pada penguatan rupiah. Indikator
imbal hasil tersebut dapat dilihat pada Uncovered Interest Parity (UIP)
atau selisih suku bunga dalam negeri dan suku bunga luar negeri. Jika
dibandingkan dengan negara di kawasan Asia, besarnya UIP untuk
Indonesia masih lebih tinggi. Bahkan jika memperhitungkan faktor
risiko, Covered Interest Parity (CIP) Indonesia juga masih tetap tinggi.
Dapat dilihat dari Gambar 2.7 yang menunjukkan perbandingan suku
bunga dalam negeri dan luar negeri, suku bunga BI rate dan SBI 9 bulan
masih jauh diatas suku bunga internasional, seperti LIBOR, SIBOR, US
prime rates dan Japan prime rate.
Gambar 2.6. Perkembangan Suku Bunga Internasional 2011

8.00
BI Rate
6.00
Persen (%)

SBI 9 bln
4.00
LIBOR 1 thn
2.00 SIBOR 1 thn
- US Prime rates
Mar

okt
Jan

Jun
Apr
Mei

Jul
Agust
Feb

Sep

Japan Prime rates

Sumber: Diolah dari Bank Indonesia, 2011

18
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

2.5. Investasi
Investasi memiliki fungsi dan peran penting untuk memacu dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi diharapkan dapat
menjadi stimulan peningkatan kesempatan kerja. Sayangnya, Indonesia
masih memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan modal dan
teknologi. Oleh karena itu, sejak 1967 pemerintah Indonesia membuka
kran investasi asing seluas-luasnya guna mendorong perekonomian
tumbuh lebih tinggi. Hasilnya selama rezim Orde Baru berhasil
mengurangi angka kemiskinan absolut secara signifikan, yaitu dari
sekitar 56 persen (1970) menjadi 13 persen (1997).
Pasca reformasi 1998, nilai dan jumlah investasi asing di
Indonesia cenderung terus meningkat. Walaupun pada beberapa tahun
tertentu nilai dan realisasi investasi sempat mengalami penurunan,
tetapi secara keseluruhan nilai dan jumlah investasi asing memiliki tren
yang meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia adalah
negara yang perekonomiannya sangat menarik dan prospektif dalam
jangka panjang.
Gambar 2.7. Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) yang telah
Direalisasikan

Sumber: BKPM, 2010

19
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa peran dan fungsi investasi


sangat besar untuk dinafikan. Salah satu ekonom dunia, Ragnar Nurske,
mengatakan bahwa negara berkembang akan selalu ada dalam
lingkaran setan kemiskinan selama negara tersebut tidak membuka
kran investasi untuk asing. Tetapi hal yang perlu menjadi catatan
bahwa investasi asing tidak boleh menjadi bahan bakar dan pelaku
utama dalam perekonomian Indonesia. Jika hal ini terjadi maka
Indonesia akan menjadi negara periferi yang sangat tergantung ke pada
negara maju.
Gambar 2.8. Ketimpangan Investasi PMA dan PMDN

Sumber: Diolah dari BKPM, 2011

Andre Gunder Frank dan Paul Baran (ekonomi USA) serta Samir
Amin (ekonomi kelahiran Mesir) mengingatkan bahayanya hubungan
dengan negara maju yang alih-alih membangun kerja sama, tetapi
malah membuat negara berkembang tidak mampu mandiri dan

20
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

membangun ekonomi yang kuat. Negara-negara maju cenderung akan


membuat hegemoni untuk mempertahankan kekuasaannya dan
mengambil keuntungan dari negara berkembang.
Sejak 1990 sampai 2010 gejala ketergantungan sudah mulai
terlihat, di mana jumlah investasi dalam negeri dengan investasi asing
cenderung terus mengalami ketimpangan. Hal ini merupakan indikasi
kuat bahwa investasi asing telah membuat negara Indonesia tidak bisa
mandiri dengan memberdayakan para pelaku ekonomi lokal.Di samping
itu, investasi asing ini telah merambah berbagai sektor perekonomian
Indonesia termasuk sektor-sektor strategis seperti sektor
telekomunikasi, transportasi, energi, dan sektor-sektor lain yang
berkaitan dengan hajat hidup orang Indonesia. Data 2011
menunjukkan, untuk sektor pertambangan kepemilikan asing sudah
mencapai 75 persen. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor
kontrak kerjasama non-Pertamina, 120 dioperasikan asing, 28
dioperasikan perusahaan nasional, dan 77 blok dioperasikan gabungan
asing dan nasional; Pada sektor perbankan kepemilikan asing sudah
mencapai 47,02 persen dari total aset Rp 3.065 triliun.
Pada sektor industri telekomunikasi penguasaan asing lebih
merajalela. Investor asing memiliki saham pada semua perusahaan jasa
operator di Indonesia. Saham yang dimiliki asing pada perusahaan
papan atas jasa telekomunikasi sudah berkisar antara 24 – 95 persen.
Sementara untuk sektor perkebunan, khususnya industri kelapa sawit,
penguasaan beberapa perusahaan asal Malaysia, Singapura, Amerika
Serikat, dan Belgia juga sudah begitu dominan. Sebuah perusahaan asal
Singapura menguasai 85 ribu hektar perkebunan sawit yang ada di
Indonesia. Padahal luas Singapura sendiri kurang dari 70 ribu

21
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

hektar. Sementara tiga buah perusahaan asal Malaysia telah menguasai


lebih dari 226 ribu hektar (2.260 kilometer persegi) perkebunan sawit
di Indonesia, atau melebihi luas Negara Bagian Melaka (1.650 kilometer
persegi) dan Perlis (810 kilometer persegi). Untuk wilayah Provinsi
Kalimantan Barat ternyata sekitar 70 persen dari luas perkebunan
sawitnya telah berada dalam genggaman Malaysia.
Lebih tragisnya sampai saat ini pemerintah memberikan
peluang bagi pihak asing untuk memiliki hingga 99 persen saham
perbankan dan 80 persen saham asuransi. Bahkan dari keseluruhan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diprivatisasi, sekitar 60
persen sahamnya sudah dikuasai pihak asing. Sementara di pasar
modal, sekitar 60 – 70 persen total saham perusahaan yang sudah
diperdagangkan, juga sudah dimiliki investor asing.
Gambar 2.9. Realisasi Investasi PMA Menurut Negara pada
Triwulan II 2011

Sumber: BKPM, 2011

22
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Dari potret beberapa kasus tadi terlihat jelas bahwa


cengkraman asing semakin hari semakin kuat. Kekuatan asing
bermetamorfosis ke dalam bentuk investasi dengan berbagai bentuk
dan rupanya yang menawan. Semakin besar investasi asing dalam
sektor-sektor strategis, maka semakin besar ketergantungan bangsa
Indonesia terhadap pihak asing. Ketergantungan yang sangat besar
tersebut menyebabkan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh
asing.

2.6. Ekspor-Impor : Gerbang Krisis Ekonomi


Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam
memiliki keunggulan absolut dan komparatif dalam beberapa
komoditas. Oleh karena itu, cukup masuk akal selama tahun 2010 tren
eskpor Indonesia terus mengalami kenaikan dan net ekspor Indonesia
tumbuh positif. Tren positif ini pun terjadi pada 2011 walaupun secara
net ekspor masih berfluktuatif. Data BPS menunjukkan bahwa nilai
ekspor Indonesia pada September 2011 mengalami penurunan sebesar
4,45 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan tersebut
berasal dari penurunan ekspor nonmigas sebesar 6,24 persen, yaitu
pada komponen lemak dan minyak hewan/nabati, produk kimia,
pakaian jadi bukan rajutan, mesin/peralatan listrik, dan karet serta
barang dari karet.
Sedangkan jika dilihat menurut negara tujuan ekspor,
penurunan ekspor nonmigas terjadi ke sebagian negara mitra seperti
Amerika serikat, Singapura, India, Thailand, Jerman, Inggris, dan
Perancis. Data September 2011 menunjukkan terdapat penurunan
ekspor kepada negara-negara Uni Eropa sebesar 28 persen,

23
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

dibandingkan bulan sebelumnya. Sehingga, dapat dilihat bahwa


pertumbuhan ekspor mengalami tekanan akibat risiko perlambatan di
negara kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Dampak penjalaran dari
perlambatan ekonomi global terhadap ekspor Indonesia masih akan
berlangsung hingga 2012, seiring dengan pemulihan perekonomian
global yang masih belum menemukan solusi tepat untuk kawasan
Eropa dan Amerika Serikat.
Tabel 2.3. Pertumbuhan dan Nilai Ekspor berdasarkan Negara Tujuan
(Agustus-September 2011)

Pertumbuhan (qtq)
Nilai Ekspor (Juta US$)
Negara Tujuan Persen (%)

Agustus September September

ASEAN 2.730,00 2691,1 -1,42

Uni Eropa 1.936,70 1.393,40 -28,05

Negara Mitra lainnya* 7.518,90 7.522,40 0,05

*) Cina, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, Taiwan, dan India
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2011

Namun, komoditas ekspor yang selama ini di jual ke pasar global


adalah bahan mentah yang tidak memiliki nilai tambah yang optimal.
Sebagai contoh adalah ekspor Crude Palm Oil (CPO). Indonesia adalah
produsen CPO terbesar di dunia. Dengan posisi sebagai produsen
terbesar di dunia seharusnya Indonesia bisa memonopoli pasar dan
mendapatkan seluruh margin pasar. Tetapi pada kenyataannya harga
CPO ditentukan oleh CIF Rotterdam.

24
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 2.10. Perkembangan Ekspor-Impor Indonesia 2011

20 18.2 18.3 17.4 18.8 17.8


18 16.3 16.5 16.2
15.1 15.1 15.1
16 14.6 14.4 14.4 14.8 14.8
14 12.5 11.7
12
10
8 Ekspor (US$ miliar)
6 3.4 3.2 3.7 Impor (US$ miliar)
4 2.1 2.7 1.9 1.7 2.7
1.2
2 Net Ekspor (US$ miliar)
0

Sumber: BPS, dalam Kontan 2 November 2011

Di sisi lain, yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya


efek krisis global yang masuk melalui pintu perdagangan internasional.
Hubungan yang terlalu kuat dengan negara-negara yang sedang
mengalami atau potensial akan mengalami krisis berpeluang menyeret
Indonesia masuk ke dalam kubangan krisis yang sama. Indonesia bisa
sedikit lega karena hubungan dagang antara Indonesia dengan negara-
negara yang sedang mengalami krisis saat ini tidak begitu besar.
Meskipun demikian, Indonesia sebenarnya memiliki hubungan yang
cukup kuat dengan negara yang berada di ring dua yang kemungkinan
krisis atau kemungkinan besar terkena dampak krisis, seperti Jepang,
China, dan Kore Selatan. Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh
menganggap remeh krisis yang sedang terjadi di negara-negara Uni
Eropa saat ini.
Hembusan badai krisis utang Eropa dan AS sebenarnya mulai
terasa di Indonesia. Nilai Ekspor Indonesia selama kurun waktu satu

25
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

bulan (September) turun 4,45 persen menjadi US$17,82 miliar dari


yang awalnya US$18,81 miliar pada Agustus. Hanya dalam tempo satu
bulan ekspor Indonesia turun lebih dari US$1 miliar. Bila ekspor ini
terus menurun sampai akhir tahun, maka besar kemungkinan target
ekspor 2011 sebesar US$200 miliar tidak akan tercapai. Bilai target
ekspor ini tidak tercapai, maka tentunya akan mempengaruhi transaksi
berjalan dan neraca pembayaran yang pada akhirnya akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tabel 2.4. Perkembangan Total Ekspor dan 12 Besar Ekspor
Hasil Industri (2006 – 2011)

26
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Imbas krisis global mulai terasa di beberapa produk ekspor,


terutama produk non migas. Permintaan beberapa produk ekspor non
migas pada Agustus 2011 mengalami penurunan dibandingkan Juli
2011 seperti bahan bakar mineral, karet dan produk karet, bijih perak
dan abu logam, pakaian jadi dan rajutan, serta kertas/karton. Efek krisis
global juga mulai terasa dalam dunia perbankan. Target penyaluran
kredit mengalami penurunan khususnya untuk sektor yang berkaitan
dengan impor dan ekspor. Simpanan giro pun mengalami penurunan
sebagai indikasi melemahnya perekonomian nasional.

2.7. Perbankan
Peran perbankan sebagai lembaga intermediasi di Indonesia
pada 2011 semakin diandalkan. Untuk itu, perkembangan berbagai
indikator kesehatan perbankan perlu mendapat perhatian lebih agar
fungsi intermediasi ini dapat berjalan secara baik. Sejauh ini, GWM
(Giro wajib Minimum) primer perbankan Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 21,6 persen (Januari-September 2011), sedangkan
GWM sekunder dan tertier menurun sebesar 3,15 persen dan 2,21
persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Hal ini salah
satunya disebabkan besarnya SBI yang jatuh tempo dan tenor SBI yang
diperpanjang (menjadi 9 bulan) sehingga terjadi pergerakan
penempatan likuiditas perbankan dari SBI ke penempatan BI lainnya,
yaitu term deposits dan FASBI.

27
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Table 2.5. Indikator Kesehatan Perbankan Nasional

Indikator Dec-07 Dec-08 Dec-09 Dec-10 Aug-11


Total Aset (T Rp) 1986.5 2310.6 2534.1 3008.9 3252.6
Simpanan (T Rp) 1510.8 1753.3 1973 2338.8 2459.9
Rasio CAR 19.3 16.8 17.4 17 17.3
Gross Non performing Loans 4.6 3.8 3.8 2.9 3.1
Net Non Performing Loans 1.9 1.5 0.9 0.7 1
Return on Assets (%) 2.8 2.3 2.6 2.7 3
Net Interest Margin (%) 5.7 5.7 5.6 5.7 5.9
Biaya /Pendapatan Operasional (%) 84.1 88.6 86.6 80 80.8
Loan to Deposit Ratio (%) 66.3 74.6 72.9 75.5 82.6
Jumlah Bank 130 124 121 122 120
Sumber: Departemen Keuangan & Bank Indonesia, Oktober 2011

Stabilitas dalam sistem perbankan tetap terjaga bersamaan


dengan peningkatan pada pertumbuhan kredit. Industri perbankan
memiliki CAR 17,3 persen dan kredit macet di bawah 5 persen
(tepatnya 3,1 persen pada Agustus 2011). Peningkatan Intermediasi
perbankan ditunjukkan pertumbuhan kredit pada tahun 2011 sebesar
23,8 persen (yoy).
Gambar 2.11. Tingkat CAR Perbankan Indonesia (persen)

Sumber: Bank Indonesia, 2011

28
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

2.8. Kebijakan Fiskal


Realisasi penyerapan anggaran hingga Agustus 2011 mencapai
51,3 persen dari total anggaran belanja 2011. Namun, penyerapan
anggaran tersebut sebesar 69,1 persen merupakan belanja pegawai. Di
sinilah masalah utama anggaran belanja pemerintah yang lebih besar
proporsinya untuk alokasi belanja pegawai, sedangkan belanja barang
dan modal yang rendah. Seharusnya, pengeluaran pemerintah akan
berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jika penyerapan
anggaran belanja barang dan modal memiliki proporsi yang besar
dibandingkan alokasi belanja gaji pegawai. Hal ini dikarenakan
anggaran belanja barang dan modal memiliki efek multiplier terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, akibat dari penerimaan yang tumbuh pesat,
pengeluaran negara pun ikut meningkat sampai Rp 1.400 triliun. Jumlah
ini hampir 14 kalinya jumlah APBN pada masa presiden Soeharto, di
mana APBN-nya di bawah Rp100 triliun. Namun pertumbuhan yang
pesat dari APBN ini tidak serta merta menciptakan pertumbuhan
ekonomi nasional yang optimal (full employment). Hal ini terjadi karena
seiring dengan pertumbuhan APBN, ada beberapa masalah yang ikut
muncul dan menjadi masalah yang akut hingga sekarang.
Masalah pertama yang terjadi pada struktur pengeluaran
pemerinah adalah skema tidak produktifnya belanja pemerintah baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengeluaran
pemerintah lebih banyak untuk porsi gaji pegawai dari pada porsi untuk
belanja modal yang dapat memicu pembangunan sektor riil dan
berimplikasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, sedikit
sekali pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

29
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 2.12. Postur Belanja APBN, Tahun 2007 – 2011

80
58
60 45 46
39 40 41
40 30 27 25 25
18 18 15 19 15 182215 22 19
13 20 14 14
20
0
2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Belanja Pegawai Belanja Barang Jasa


Belanja Modal Belanja Lainnya

Sumber: Kementerian Keuangan, 2011

Masalah kedua dalam kebijakan fiskal pemerintah adalah


adanya pemborosan dan korupsi. Transparancy International pada
2011 telah melakukan survei terhadap 28 negara. Dari ke-28 negara
yang disurvei tersebut, tidak satu pun negara yang dianggap
sepenuhnya bersih dari suap. Namun dari survei ini diketahui bahwa
posisi Indonesia berada pada posisi keempat dari bawah setelah
Meksiko, China, dan Rusia. Dengan kata lain, Indonesia termasuk ke
dalam jajaran negara paling banyak melakukan suap.
Masalah ketiga dalam kebijakan fiskal di Indonesia adalah
implementasi yang tidak maksimal, setidaknya ada Rp 60 trilun
anggaran yang tidak terserap di daerah dan jumlah yang sama pun
terjadi di pemerintah pusat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
anggaran APBN akan dihabiskan pada akhir tahun dengan program-
program yang kurang produktif, bahkan program yang tidak masuk akal
seperti pengecetan pohon dan family Gathering di daerah wisata.

30
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Masalah berikutnya yang ada dalam kebijakan fiskal pemerintah


adalah salah kaprahnya penggunaan utang luar negeri. Pemerintah
membuat kebijakan fiskal yang ekspansioner dengan menciptakan
defisit anggaran sekitar 2 persen. Defisit ini pada akhirnya dibiayai
dengan utang baik luar negeri maupun dalam negeri. Strategi utang
bukanlah strategi ekspansi untuk meningkatkan kapasitas ekonomi,
tetapi lebih sebagai pemborosan karena ada sejumlah uang yang sama
sekali tidak dipakai. Hal cukup aneh ketika uang yang tidak terserap
masih banyak, tetapi APBN dibuat defisit sehingga menjadi dasar bagi
pemerintah untuk melakukan pinjaman.
Tabel 2.6. Realisasi APBN Tahun 2005 – 2011
KETERANGAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

A. Pendapatan Negara dan Hibah 495.2 638 707.8 981.6 848.8 992.4 1,104.90
I. Penerimaan Dalam Negeri 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 990.5 1,101.20

1 . Perpajakan 347 409.2 491 658.7 619.9 743.3 850.3


Tax Ratio (% thd PDB) 12.7 12.3 12.4 13.3 11.9 11.9 12.1

2. PNBP 146.9 227 215.1 320.6 227.2 247.2 250.9

II. Hibah 1.3 1.8 1.7 2.3 1.7 1.9 3.7

B. Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1126.1 1,229.60


I. Belanja Pemerintah Pusat 361.2 440 504.6 693.4 628.8 781.5 836.6
II. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.6 393
C.Surplus/(Defisit) Anggaran -14.4 -29.1 -49.8 -4.1 -88.6 -133.7 -124.7

% thd PDB -0.5 -0.9 -1.3 -0.1 -1.6 -2.1 -1.8

D. Pembiayaan 8.9 29.4 42.5 84.1 112.6 133.7 124.7


I. Pembiayaan Dalam Negeri 19.1 56.3 69 102.5 128.1 133.9 125.3
II. Pembiayaan Luar Negeri -10.3 -26.6 -26.6 -18.4 -15.5 -0.2 -0.6

Sumber: Kementerian Keuangan

Keterangan: *APBN-P 2010, **APBN 2011

31
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Secara umum perekonomian Indonesia masih tumbuh positif


bahkan sampai akhir periode 2011 ini. Kekuatan ekonomi Indonesia
akan diuji pada periode 2012 mendatang, di mana hampir semua
negara yang mempunyai hubungan ekonomi secara langsung dengan
perekonomian Eropa akan terkena dampak secara langsung. Di samping
itu, ada kekuatan lain yang bisa menopang kekuatan ekonomi
Indonesia pada tahun 2012 yaitu pengaruh pemilukada beberapa
daerah yang akan dilaksanakan pada 2012. Beberapa daerah yang akan
menggelar pemilukada pada tahun 2012 akan menggenjot
pertumbuhan ekonominya guna memperoleh citra politik yang positif
sehingga kemungkinan terpilih kembali semakin besar dan kondisi ini
sedikit besar akan berpengaruh pada perekonomian nasional. 

32
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 3
Bank Asing vs Bank Lokal

3.1. Rivalitas Bank Asing dan Bank Lokal


“Agar dalam proses membuka ekonomi kita bagi lalu lintas
dagang dan investasi dunia luar, jangan sampai orang luar itu
menunjukkan tanda dominasi yang menyolok”.
Pernyataan Mohammad Hatta pada 1970-an itu agaknya masih
relevan sebagai sebuah peringatan terhadap bangsa Indonesia dewasa
ini. Serbuan globalisasi yang semakin ganas dari segala penjuru disertai
liberalisasi perdagangan dan investasi menjadikan perekonomian
Indonesia semakin terbuka sehingga perlu disikapi dengan
saksama,termasuk liberalisasi yang mengancam kedaulatan industri
perbankan nasional.
Salah satu momentum yang menandakan titik balik terjadinya
liberalisasi sektor perbankan nasional adalah bergulirnya kebijakan
paket 27 Oktober 1988 atau yang juga dikenal dengan Pakto ’88. Pasca-
lahirnya paket kebijakan tersebut, secara legal Indonesia membuka
keran liberalisasi di sektor perbankan, di mana dalam paket kebijakan
itu antara lain berisi mempermudah mendirikan bank baru, membuka

33
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

kantor cabang baru serta mengijinkan pembukaan kantor bank asing di


beberapa ibu kota provinsi di Indonesia.
Kemudian dalam perjalanan selanjutnya, Indonesia diguncang
dengan krisis keuangan 1997/1998. Krisis tersebut turut mengguncang
stabilitas sektor perbankan nasional sehingga pemerintah kala itu
memberikan napas buatan (bailout) terhadap sektor perbankan
nasional dan juga membuat beberapa kebijakan yang dianggap dapat
memulihkan kondisi perbankan nasional. Salah satunya UU No 10
Tahun 1998 tentang perbankan, di mana pada pasal 26 menjelaskan
bahwa warga negara asing ataupun badan hukum asing dapat membeli
saham bank umum baik secara langsung dan atau melalui bursa efek.
Tidak hanya cukup dengan itu, pemerintah pun akhirnya menggulirkan
PP No 29 Tahun 1999 tentang pembelian saham bank umum, di mana
dalam pasal 3 disebutkan bahwa jumlah kepemilikan saham bank oleh
warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh
melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek
sebanyak-banyaknya 99 persen.
Rangkaian peristiwa di atas pada akhirnya mengantarkan sektor
perbankan nasional menuju liberalisasi global dan kian rentan terhadap
dominasi kekuatan modal asing. Sektor perbankan pun tumbuh pesat di
tanah air bak jamur dimusim penghujan. Tidak hanya semakin
banyaknya jumlah bank lokal (baik milik negara maupun swasta) tetapi
juga membanjirnya bank asing di tanah air Indonesia.
Pasca diberlakukannya paket kebijakan Oktober 1988, secara
fundamental terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap
industri perbankan nasional. Tidak hanya bank-bank lokal saja yang
dapat tumbuh dengan subur, tetapi juga bank-bank asing turut

34
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

merasakan kebebasannya dalam melakukan aktivitas bisnis. Ditambah


lagi dengan hadirnya UU No 10 Tahun 1998 dan PP No 29 Tahun 1999
menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu terbuka dan
bebas memberikan kesempatan bagi pemilik modal asing untuk
menjalankan bisnis di sektor perbankan nasional.
Hingga saat ini saja jumlah bank asing yang telah beroperasi di
Indonesia mencapai 10 bank. Belum lagi bank campuran sebanyak 14
bank yang notabene didominasi oleh pihak asing. Sementara itu, jika
dilihat dari komposisi jumlah bank yang ada di Indonesia, jumlah bank
asing termasuk bank campuran mengambil porsi hingga 20 persen dari
total bank yang ada di Indonesia. Angka 20 persen ini menandakan
bahwa 1 dari 5 bank yang ada di Indonesia merupakan bank asing.
Tabel 3.1 Jumlah Bank di Indonesia

Jumlah bank 2005 2007 2009 2011*


BUMN 5 5 4 4
Swasta Nasional Devisa 34 35 34 36
Swasta Nasional Non Devisa 37 36 31 30
BPD 26 26 26 26
Campuran 18 17 16 14
Asing 11 11 10 10
Total 131 130 121 120

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Data lainnya yang tak kalah mengejutkan ialah pertumbuhan


jumlah kantor bank asing di Indonesia sangat fantastis yaitu rata-rata
tumbuh sebesar 23,67 persen per tahun sepanjang 2005 hingga
Agustus 2011. Sedangkan jumlah kantor bank lokal hanya tumbuh rata-
rata sebesar 9,56 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama.
Kenyataan ini kembali menyadarkan semua pihak bahwa penetrasi

35
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

yang dilakukan oleh bank asing di Indonesia tidak boleh dianggap


sepele. Konsekuensinya bank lokal harus berusaha lebih keras jika ingin
memenangkan pertarungan di kandangnya sendiri.
Tabel 3.2 Jumlah Kantor Bank Lokal dan Bank Asing di Indonesia
Rata-Rata
Jumlah Kantor 2005 2007 2009 2011* Pertumbuhan
2005-2011*
Bank Lokal 8.100 9.442 12.369 13.947 9,56
Bank Asing 136 238 468 447 23,67
Total 8.236 9.680 12.837 14.394 9,85

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011


Ket: * per Agustus

Sebagai bukti bahwa perbankan nasional benar-benar telah


didominasi oleh asing dapat ditunjukkan pada Tabel 3.3. Sebagian besar
bank nasional diambil alih kepemilikannya oleh bank ataupun lembaga
asing, baik berupa merger maupun akuisisi. Saham yang diambil alih
oleh pihak asing pun nyatanya banyak yang mencapai 100 persen.
Tabel 3.3 Kepemilikan Asing dalam Bank Nasional

Sumber: Kompas, 2008

36
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Situasi yang begitu berbeda jika ditengok industri perbankan di


beberapa negara tetangga. Regulasi dalam sektor perbankan mereka
ternyata tidak lah seliberal dari Indonesia. Indonesia begitu mudahnya
mengizinkan pendirian bank asing dan kepemilikan asing hingga 99% di
perbankan nasional, sedangkan di Malaysia kepemilikan asing pada
bank umumnya hanya diperbolehkan maksimal 30%, Singapura hanya
40%, sementara di Thailand maksimal hanya sampai 49 persen (Tabel
3.4).
Tabel 3.4 Batasan Kepemilikan Asing di Bank Umum
beberapa Negara ASEAN

Wilayah Batasan
ASEAN rata-rata sampai 33%
Indonesia Bank Umum 99%
Bank Komersial 30%
Malaysia
Bank Investasi 70%
Islamic Bank 70%
Singapura Bank lokal 40%
Thailand Sampai dengan 25% tidak perlu persetujuan bank sentral
Sampai dengan 49% harus dengan persetujuan bank sentral
lebih dari 49 % harus dengan persetujuan menteri keuangan.
Sumber: BI dan Wawancara Kompas, 2011

Perbedaan lain, misalnya, batas minimum modal yang disetor


untuk mendirikan bank di Indonesia hanya sebesar Rp100 miliar,
berlaku juga terhadap bank asing yang ingin membuka cabang di
Indonesia. Sedangkan di Malaysia saja, minimum modal yang harus
disetor untuk mendirikan bank komersial ialah sebesar 300 juta ringgit
atau setara dengan Rp1 triliun. Selain itu, jika di Indonesia tidak ada

37
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

batasan untuk membuka kantor cabang bagi bank asing, di Malaysia


justru pembukaan kantor cabang dibatasi maksimal hanya 18 kantor
cabang dan telah ditentukan lokasinya (2 kantor di pusat kota, 4 kantor
di kota kecil, 2 kantor di daerah terpencil, serta 10 outlet mikro) dan
tidak ada regulasi ataupun mekanisme formal untuk mengusulkan
tambahan kantor cabang. Di samping itu, pemasangan mesin ATM milik
bank asing di Malaysia hanya diperbolehkan didalam kator cabang yang
telah ditentukan tersebut. Sedangkan di Indonesia, pemasangan mesin
ATM bagi bank asing tidak seketat peraturan yang ada di Malaysia.
Bahkan regulasi yang lebih mengejutkan dibuat oleh otoritas bank
Singapura, di mana bank asing yang beroperasi disana hanyak boleh
menjalankan aktivitas penyaluran kredit dan tidak boleh sama sekali
menghimpun dana, serta melarang pemasangan mesin ATM.
Menjadi wajar jika hingga saat ini belum ada satu pun bank lokal
Indonesia (terlebih lagi Bank BUMN) yang berhasil menancapkan
kakinya di negara-negara lain. Sebabnya selain ketatnya peraturan
mengenai pembukaan kantor cabang bank asing di beberapa negara
tetangga, perbankan nasional kita pun tampaknya perlu berbenah lagi
dalam menyiapkan kekuatan dan keunggulan menghadapi industri
perbankan global.

3.2. Kinerja Bank Lokal vs Bank Asing


Krisis ekonomi dunia yang berepisentrum di Amerika dan Eropa
tidak boleh dipandang sebelah mata oleh bangsa Indonesia, khususnya
sektor perbankan nasional. Sektor perbankan nasional harus lebih
waspada dan berhati-hati terhadap derasnya arus penetrasi modal
yang dilakukan oleh bank-bank asing di Indonesia. Bank-bank asing

38
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

yang beroperasi di Indonesia tentu saja memiliki kepentingan yang kuat


dan makin bergeliat dalam menjalankan aktivitas bisnisnya disini,
terlebih lagi krisis yang sedang melanda dua kawasan tersebut
menjadikan Indonesia sebagai salah satu kawasan alternatif investasi
yang tidak hanya dapat menyelamatkan dana-dana milik perusahaan
asing tersebut, tetapi juga berpotensi besar melipatgandakan dana.
Mengacu pada PP No 29 Tahun 1999, di mana bank lokal boleh
dimiliki oleh pihak asing hingga 99 persen. Maka, dalam analisis
selanjutnya struktur industri perbankan akan dikelompokan menjadi
dua, yaitu bank lokal (terdiri dari Bank BUMN, Bank Swasta Nasional
Devisa dan Non Devisa, dan BPD) serta bank asing (Bank Campuran dan
Bank Asing).

3.2.1. Perkembangan DPK


Sepanjang kurun waktu 2005 hingga 2011, kinerja bank asing
terus menunjukkan pertumbuhan yang berarti. Penghimpunan dana
pihak ketiga (DPK), mencapai Rp229 triliun per Agustus 2011 atau
mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen per tahun sejak
2005, di mana pada 2005 DPK bank asing masih sebesar Rp126 triliun.
Sedangkan pada indikator yang sama, bank lokal tumbuh lebih kencang
sekitar 14,37 persen per tahun sepanjang enam tahun terakhir ini, dari
Rp1.001 triliun menjadi Rp2.230 triliun per Agustus 2011. Sementara
itu, pangsa bank asing terhadap DPK nasional telah mencapai 9,33
persen per Agustus 2011, sisanya masih didominasi bank lokal sebesar
90,67 persen (Tabel 3.5).

39
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tabel 3.5. Perkembangan DPK Bank Lokal dan Bank Asing


Rata-Rata
Jumlah DPK Pangsa
2005 2007 2009 2011* Pertumbuhan
(miliar) 2011*
2005-2011*
Bank Lokal 1.001.397 1.342.718 1.760.687 2.230.374 14,37 90,67
Bank Asing 126.541 168.116 212.355 229.524 11,00 9,33
Total 1.127.938 1.510.834 1.973.042 2.459.898 13,97 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011


Ket: * per Agustus

Terkait dengan risiko usaha perbankan, satu hal yang patut menjadi
perhatian pelaku perbankan dan otoritas moneter adalah sumber
pendanaan usaha perbankan. Jika mencermati komposisi Dana Pihak Ketiga
(DPK), baik bank asing maupun bank lokal masih didominasi oleh deposito,
masing-masing sebesar 49,77 persen dan 46,44 persen terhadap total DPK
per Agustus 2011. Dari sumber deposito ini, pertumbuhan deposito bank
asing selama enam tahun terakhir ini mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 6,88 persen per tahun, dari Rp79 triliun pada 2005 menjadi Rp114
triliun pada Agustus 2011. Sedangkan deposito bank lokal yang pada 2005
sebesar Rp485 triliun meningkat menjadi Rp1.035 triliun atau tumbuh rata-
rata sebesar 13,69 persen per tahun (Tabel 3.2).
Hal lain yang perlu dicermati bersama adalah meningkat pesatnya
sumber DPK yang berasal dari tabungan pada bank asing, yaitu rata-rata
tumbuh sebesar 52 persen per tahun sepanjang Desember 2005 hingga
Agustus 2011, jauh meninggalkan pertumbuhan tabungan bank lokal yang
hanya sebesar 18,21 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Di
samping itu, share tabungan terhadap DPK bank asing relatif kecil, hanya
sebesar 15,15 persen. Sedangkan share tabungan terhadap DPK bank lokal
cukup besar, 33,67 persen (Tabel 3.6).

40
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tabel 3.6 Komposisi DPK Bank Lokal dan Bank Asing


2005 2007 2009 2011* Rata-Rata Share
Pertumbuhan terhadap DPK
Giro (miliar) 2005-2011* 2011*
Bank Lokal 237.957 346.275 392.563 443.690 11,28 19,89
Bank Asing 43.455 59.276 73.326 80.513 11,28 35,08
Total 281.412 405.551 465.889 524.203 11,22 21,31
Deposito (miliar)
Bank Lokal 485.165 567.070 787.301 1.035.779 13,69 46,44
Bank Asing 79.868 99.639 114.408 114.228 6,88 49,77
Total 565.033 666.709 901.709 1.150.007 12,74 46,75
Tabungan (miliar)
Bank Lokal 278.275 429.373 580.820 750.905 18,21 33,67
Bank Asing 3.217 9.201 24.621 34.782 52,00 15,15
Total 281.492 438.574 605.441 785.687 21,24 31,94

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Dengan komposisi ini dapat dikatakan bahwa likuiditas utama


bank-bank lokal masih sangat bergantung pada dana-dana jangka
pendek, khususnya bergantung terhadap tabungan dan deposito.
Konsekuensi dari banyaknya tabungan dan deposito dalam struktur
DPK bank lokal adalah bank lokal akan kesulitan dalam menekan suku
bunga kredit. Selain itu, apabila perolehan deposito oleh bank lokal
semakin tinggi, maka hal tersebut dapat memicu kenaikan biaya dana
(cost of fund). Semakin besar biaya dana, biaya dana keseluruhan
(blended cost of fund) bank lokal juga makin tinggi. Tingginya blended
cost of fund akan menaikkan lending rate setelah ditambah margin
pendapatan dan overhead cost. Konsekuensi lainnya adalah bank-bank
lokal akan memiliki keterbatasan untuk melakukan ekspansi kredit-
kredit jangka panjang seperti kredit modal kerja atau bahkan kredit

41
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

investasi. Selain itu, dengan derasnya arus capital inflow ke Indonesia,


menjadikan bank-bank lokal lebih berisiko terhadap risiko likuiditas jika
terjadi sudden reversal dari dana-dana jangka pendek tersebut.

3.2.2. Perkembangan Asset


Indikator lainnya adalah jumlah aset bank asing yang mengalami
rata-rata pertumbuhan 13,31 persen per tahun dari Rp200 triliun pada
2005 menjadi Rp412 triliun per Agustus 2011. Peningkatan aset bank
lokal sedikit lebih besar dari bank asing, yaitu rata-rata tumbuh14,43
persen per tahun atau Rp1.269 triliun pada 2005 meningkat menjadi
Rp2.840 per Agustus 2011. Sementara itu, dari sisi pangsanya terhadap
aset perbankan nasional, bank asing dan bank lokal masing-masing
memegang pangsa sebesar 12,68 persen dan 87,32 persen per Agustus
2011 (Tabel 3.7)
Tabel 3.7. Perkembangan Aset Bank Lokal dan Bank Asing
Rata-Rata
Aset Pangsa
2005 2007 2009 2011* Pertumbuhan
(miliar) 2011*
2005-2011*
Bank Lokal 1.269.510 1.719.742 2.193.931 2.840.307 14,43 87,32
Bank Asing 200.318 266.758 340.177 412.378 13,31 12,68
Total 1.469.828 1.986.500 2.534.108 3.252.685 14,22 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

3.2.3. Perkembangan Kredit


Sepanjang enam tahun terakhir ini kinerja perbankan dalam
penyaluran kredit juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti,
baik pada bank asing maupun bank lokal. Rata-rata pertumbuhan kredit

42
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

pada bank asing mencapai 16,28 persen per tahun selama kurun waktu
tersebut, dari Rp99 triliun pada 2005 menjadi Rp239 triliun per Agustus
2011. Sedangkan bank lokal mencetak pertumbuhan kredit rata-rata
sebesar 20,34 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama, dari
Rp595 triliun menjadi Rp1.792 triliun. Dari sisi pangsa kredit per
Agustus 2011, bank asing berkontribusi sebanyak 11,79 persen disusul
bank lokal sebesar 88,21 persen (Tabel 3.8).
Tabel 3.8 Perkembangan Kredit Bank Lokal dan Bank Asing
Rata-Rata
Jumlah Kredit Pangsa
2005 2007 2009 2011* Pertumbuhan
(miliar) 2011*
2005-2011*
Bank Lokal 595.777 859.637 1.256.941 1.792.151 20,34 88,21
Bank Asing 99.872 142.376 180.988 239.463 16,28 11,79
Total 695.649 1.002.013 1.437.929 2.031.614 19,78 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Penyaluran kredit menurut penggunaan sebagian besar terpusat


pada kredit modal kerja. Menurut data BI per Juli 2011, penggunaan
kredit untuk modal kerja pada bank asing mencapai 64,16 persen dari
total kredit atau meningkat 17,92 persen (yoy), secara nominal
meningkat dari Rp124 triliun pada 2010 menjadi Rp147 triliun pada
2011 (per Agustus). Sedangkan, kredit modal kerja pada bank lokal
hanya mencapai 46,03 persen dari total kredit, namun dari sisi nilai
mengalami pertumbuhan yang lebih besar dari bank asing, yaitu
sebesar 26,78 persen (yoy) atau tumbuh dari Rp633 triliun pada
2010menjadi Rp802 triliun pada 2011 (per Agustus).
Posisi penggunaan terbesar kedua agak sedikit berbeda antara
bank asing dengan bank lokal. Posisi penggunaan kedua pada bank
asing diperuntukkan pada kredit investasi sekitar 21,38 persen dari

43
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

total kredit. Jenis penggunaan ini tumbuh lebih cepat dari pada
penggunaan lain di mana per Juli 2011 mampu tumbuh hampir 24,17
persen (yoy). Sedangkan kredit konsumsi pada bank asing hanya
tumbuh 3,83 persen dan mengambil porsi sebesar 14,46 persen dari
total kredit yang dikucurkan oleh bank asing. Sementara itu, posisi
penggunaan kedua pada bank lokal lebih diperuntukkan pada sektor
konsumsi,yakni sekitar 33,08 persen dari total kredit atau meningkat
23,08 persen (yoy). Sedangkan penggunaan kredit untuk investasi
selama periode berjalan tergolong kecil hanya 20,89 persen (Tabel 3.9).
Tabel 3.9 Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
2010:Juli 2011:Juli Pangsa terhadap Kredit
Pertumbuhan
Kredit Modal Kerja (miliar) 2010:Juli 2011:Juli

Bank Lokal 633.163 802.743 26,78 45,18 46,03


Bank Asing 124.918 147.298 17,92 63,60 64,16
Total 758.081 950.041 25,32 47,44 48,14
Kredit Investasi (miliar)
Bank Lokal 299.682 364.374 21,59 21,38 20,89
Bank Asing 39.521 49.075 24,17 20,12 21,38
Total 339.203 413.449 21,89 21,23 20,95
Kredit Konsumsi (miliar)
Bank Lokal 468.722 576.909 23,08 33,44 33,08
Bank Asing 31.972 33.198 3,83 16,28 14,46
Total 500.694 610.107 21,85 31,33 30,91

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011

Menurut distribusi kredit, sebagian besar kredit pada bank asing


terserap pada sektor perindustrian sebesar 32,94 persen naik 20,55
persen (yoy). Penyerap kredit tertinggi kedua pada bank asing
bersumber dari sektor jasa dunia usaha sekitar 22,03 persen atau naik
23,76 persen (yoy). Sementara itu, pada sektor tradable pertumbuhan

44
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

kredit tertinggi berasal dari kredit pertambangan. Periode Agustus 2010


sampai Agustus 2011 kredit sektor ini tumbuh hingga 31,69 persen
(yoy). Selain itu, sektor pertanian tumbuh sangat rendah dalam kurun
waktu yang sama, yaitu hanya sebesar 2,23 persen (yoy).
Berbeda dengan distribusi kredit pada bank asing, pada bank
lokal kredit cenderung terpusat pada sektor lain-lain yang memakan
porsi hingga 35,53 persen dari total kredit dan naik 26,64 persen (yoy).
Penyerapan kredit tertinggi kedua bersumber dari sektor perdagangan,
restoran dan hotel sekitar 18,52 persen atau tumbuh 15,77 persen
(yoy). Pada sektor tradable pertumbuhan kredit tertinggi juga berasal
dari kredit pertambanganyang tumbuh cukup tinggi sebesar 42,68
persen (yoy). Disusul sektor perindustrian yang menempati
pertumbuhan kredit tertinggi kedua sebesar 19,38 persen (yoy).
Tabel 3.10. Perkembangan Kredit Berdasarkan Sektor Ekonomi
Bank Lokal Bank Asing
Sektor Ekonomi
2010* 2011* Growth Pangsa 2010* 2011* Growth Pangsa
1. Pertanian, perburuan dan
sarana pertanian 167.688 190.226 13,44 4,97 7.879 8.055 2,23 3,36
2. Pertambangan 95.159 135.771 42,68 3,55 11.313 14.898 31,69 6,22
3. Perindustrian 462.612 552.256 19,38 14,44 65.440 78.885 20,55 32,94
4. Listrik, gas dan air 47.031 103.304 119,65 2,70 2.404 4.841 101,37 2,02
5. Konstruksi 123.128 138.976 12,87 3,63 3.449 3.449 0 1,44
6. Perdagangan, restoran dan
hotel 611.694 708.167 15,77 18,52 21.239 26.156 23,15 10,92
7. Pengangkutan, pergudangan
dan komunikasi 138.271 162.631 17,62 4,25 11.306 12.518 10,72 5,23
8. Jasa Dunia Usaha 256.460 370.751 44,56 9,70 42.627 52.754 23,76 22,03
9. Jasa sosial/masyarakat 104.335 103.004 -1,28 2,69 3.352 3.842 14,62 1,60
10. Lain-lain 1.072.618 1.358.409 26,64 35,53 32.854 34.065 3,69 14,23
Jumlah 3.078.996 3.823.766 24,19 100 201.863 239.463 18,63 100
Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

45
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

3.2.4. Perkembangan LDR


Indikator kinerja perbankan lainnya dapat ditunjukkan dengan
rasio Loan to Deposit Ratio (LDR). Dari Tabel 3.11 tampak bahwa
pertumbuhan LDR bank asing dan campuran ternyata mengalami
peningkatan yang paling tinggi, yaitu masing-masing sebesar 13,20
persen (yoy) dan 10,48 persen (yoy). Sedangkan LDR pada bank lokal
yang terdiri dari bank persero, swasta nasional devisa dan non devisa,
dan BPD ternyata tumbuh lebih lambat, masing-masing sebesar 6,33
persen (yoy), 3,44 persen (yoy), 1,10 persen (yoy) dan 5,93 persen
(yoy).
Tingginya rasio LDR bank asing di Indonesia menandakan bahwa
mereka lebih atraktif dalam memainkan peran intermediasinya
dibandingkan dengan bank lokal. Hal tersebut juga mengindikasikan
bahwa bank asing tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia. Berbeda dengan bank lokal
yang kelihatannya cenderung bersikap hati-hati dan kurang maksimal
dalam mendorong fungsi intermediasinya.
Tabel 3.11. Perkembangan LDR

LDR (%) 2010* 2011* Pertumbuhan


BUMN 79,18 84,19 6,33
Swasta Nasional Devisa 74,38 76,94 3,44
Swasta Nasional Non Devisa 82,38 83,29 1,10
BPD 71,01 75,22 5,93
Campuran 99,35 109,76 10,48
Asing 88,35 100,01 13,20
Bank Umum 78,01 82,21 5,38

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

46
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

3.2.5. Perkembangan NPL dan NIM


Sementara itu, risiko usaha perbankan lainnya dapat diketahui
melalui indikator rasio Non Performing Loan (NPL). Penurunan rasio
NPL tertinggi berasal dari bank asing, yaitu sebesar -33,01 persen (yoy)
atau dari 5,12 persen pada 2010 turun menjadi 3,43 persen pada 2011
(per Agustus). Sedangkan rasio NPL pada bank persero yang merupakan
representasi dari bank lokal justru mengalami peningkatan yang paling
tinggi, yaitu sebesar 9,71 persen (yoy) atau dari 3,09 persen naik
menjadi 3,89 persen pada rentang waktu yang sama. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa risiko kredit macet pada bank lokal lebih tinggi
dari pada risiko kredit macet pada bank asing termasuk bank campuran
(Tabel 3.12).
Tabel 3.12 Perkembangan NPL

NPL (%) 2010* 2011* Growth


BUMN 3,09 3,39 9,71
Swasta Nasional Devisa 2,82 2,32 -17,73
Swasta Nasional Non Devisa 2,59 2,09 -19,31
BPD 2,29 2,4 4,80
Campuran 2,57 2,22 -13,62
Asing 5,12 3,43 -33,01
Total 3,01 2,77 -7,97

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

Dari sisi persaingan usaha antara bank lokal dengan bank asing,
salah satu indikator yang dapat digunakan untuk membandingkan
kekuatan daya saing antar-kedua kelompok bank tersebut adengan Net
Interest Margin (NIM). Lagi-lagi bank asing memiliki keunggulan
bersaing dibandingkan dengan bank lokal, di mana NIM bank asing dan

47
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

bank campuran relatif lebih rendah dibandingkan bank lokal, sebesar


3,64 persen dan 4,03 persen. Sementara bank lokal yang terdiri dari
bank plat merah, swasta nasional devisa dan non devisa serta BPD
masing-masing memiliki NIM sebesar 6,49 persen, 5,43 persen, 5,30
persen, dan 8,12 persen (Tabel 3.13).
Tabel 3.13 Perkembangan NIM

NIM (%) 2010* 2011* Pertumbuhan


BUMN 6,26 6,49 3,67
Swasta Nasional Devisa 5,30 5,43 2,45
Swasta Nasional Non Devisa 9,47 5,30 -44,03
BPD 8,86 8,12 -8,35
Campuran 3,79 4,03 6,33
Asing 3,53 3,64 3,12
Bank Umum 5,75 5,89 2,43

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

3.2.6. Perkembangan Dana di SBI


Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa gonjang-ganjing
krisis keuangan global yang diprediksi akan turut berdampak pada
negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, tampaknya
perlu disikapi dan diantisipasi secara hati-hati sedini mungkin. Derasnya
aliran dana yang masuk ke Indonesia ibarat pisau bermata dua: disatu
sisi dapat menjadi peluang untuk mendorong pertumbuhan sektor riil
domestik, namun disisi lainnya dapat menjadi sumber malapetaka
bilamana dana-dana panas tersebut (hot money) tidak dapat dikontrol
keberadaannya sehingga ancaman penarikan tiba-tiba (sudden reversal)
ternyata menjadi kenyataan.

48
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Dalam konteks tersebut, agaknya cukup relevan jika data


berikut ini disajikan. Pada Tabel 3.14, terlihat bahwa selama enam
tahun terakhir ini bank asing sangat bergeliat sekali
mengembangbiakkan dananya di SBI, sekitar 34,58 persen per tahun
dana bank asing di SBI rata-rata tumbuh dari tahun 2005 hingga 2011
(per Agustus). Pertumbuhan tersebut lebih besar daripada
pertumbuhan yang sama pada bank lokal. Gejala ini kiranya tidak boleh
diabaikan begitu saja oleh otoritas moneter, karena jika kondisi
tersebut dibiarkan terus berlangsung maka dapat dikatakan bahwa
otoritas moneter turut terlibat aktif dalam menyiapkan kuburan bagi
sektor perbankan nasional, yang sejatinya berfungsi sebagai lembaga
intermediasi yang mampu memompa sumber-sumber dana menuju
organ-organ yang memerlukan dana.
Tabel 3.14 Penempatan Dana di SBI
Penempatan Rata-Rata
Pangsa
di SBI 2005 2007 2009 2011* Pertumbuhan
2011*
(miliar) 2005-2011*
Bank Lokal 45.845 170.870 177.875 83.144 32,61 77,44
Bank Asing 8.410 32.993 34.241 24.216 34,58 22,56
Total 54.255 203.863 212.116 107.360 32,61 100

Sumber: diolah dari Bank Indonesia, 2011. Ket: * per Agustus

3.3. Kendala Perbankan Lokal


3.3.1. Masalah Tingginya Suku Bunga
Bank berbisnis seperti layaknya perusahaan. Bank juga dituntut
untuk memaksimalkan keuntungan. Teori profit maximized
menjelaskan bahwa keuntungan maksimal dari penyaluran kredit baru

49
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

tercapai ketika biaya marginal (marginal cost) dari pemberian kredit


sama dengan manfaat marginal yang diperoleh bank. Alat utama untuk
mencapai kondisi tersebut melalui tingkat suku bunga. Dalam
menetapkan besaran suku bunga, bank kembali berhadapan dengan
trade off. Pada satu sisi, bank berkepentingan untuk menentukan suku
bunga yang dapat menutup beberapa aspek, seperti biaya dana (cost of
fund); biaya oppourtunitas meminjam uang; risiko; hingga margin
keuntungan. Insukrindo (1993) memaknai harga opportunitas
meminjam uang merupakan pendapatan atau biaya yang tidak
diperoleh/ditanggung bank karena memilih investasi tertentu.
Stiglitz dan Weiss (1981) menekankan aktivitas pengelolaan
kredit akan selalu bersinggungan dengan faktor risiko. Stiglitz dan Bruce
Greenwald (2003) menegaskan bahwa teori suku bunga dalam teori
kredit tidak serupa dengan teori tingkat bunga konvensional. Tingkat
bunga tertentu pada teori kredit lebih merujuk kepada sebuah
perjanjian untuk membayar sejumlah tertentu di masa mendatang
sesuai akad kredit. Karena itu, peningkatan suku bunga tidak selalu
meningkatkan expected return dari pinjaman.
Mungkin saja, peningkatan suku bunga kredit menunjukkan
rendahnya kualitas peminjam sehingga memunculkan risiko kegagalan
yang lebih besar. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi bank
yang menyebabkan expected net return dapat turun sebagai akibat
kenaikan biaya suku bunga. Alasannya, didasarkan pada kenyataan
terbentuknya korelasi positif antara peningkatan suku bunga dengan
peningkatan probabilitas gagal bayar.
Stiglitz menjelaskan bahwa kompetisi di dalam pasar tidak
sempurna karena adanya masalah asymmetric information. Asymmetric

50
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

information menggambarkan perbedaaan informasi yang diperoleh


salah satu pihak dalam suatu kesepakatan keuangan. Contoh yang
paling umum pada transaksi kredit. Biasanya, debitur memiliki
informasi lebih lengkap daripada kreditur yang terkait dengan potensi
bisnis. Debitur juga lebih memahami potensi keuntungan dan potensi
kerugian dari bisnis yang akan dibiayai. Lag informasi ini menyebabkan
sulitnya mengelompokkan antara debitur potensial dengan debitur
nonpotensial.
Blundell-Wignall dan Gizyeki (2001) menjelaskan bahwa
asymetric information muncul ketika informasi yang diterima oleh bank
tidak sempurna tentang peminjam sehingga mereka dapat bertindak di
luar ketentuan bank. Masalah ini dapat memunculkan agency cost
dalam bentuk adverse selection cost dan moral hazard cost. Agency
cost berimplikasi terhadap perilaku bank dalam memberikan kredit
kepada nasabah.
Dengan sumber inflasi dari dua sisi -permintaan dan
penawaran- berkorelasi dengan BI rate di Indonesia dan suku bunga
perbankan. Selama tiga tahun terakhir, suku bunga kebijakan di
Indonesia mencatat level tertinggi dibanding negara lainnya. Pada
2008, suku bunga kebijakan Indonesia mencapai 9,25 persen sedangkan
negara lain seperti India, Filipina, dan Thailand di bawah 7 persen.
Perbaikan kinerja inflasi pada 2009 hanya mampu menekan suku bunga
kebijakan di Indonesia ke level 6,5 persen dan kemudian naik pada
2011 menjadi 6,5 persen, meski kemudian terkoreksi menyamai level
2009.
Memang koreksi yang dilakukan selama 2008-2009 sudah
tergolong lebar, sekitar 275 basis poin/bps. Hanya saja, level tersebut

51
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

masih relatif tinggi untuk Kawasan Asia Pasifik sehingga mendorong


capital inflow yang semakin deras. Pada saat yang sama, suku bunga
kebijakan pada bank sentral lain berkisar pada 2 persen hingga 5,31
persen. Inflasi yang relatif terkendali pada 2009 mulai liar pada 2010.
Pada saat itu, sebagian besar bank sentral di Asia Pasifik mengoreksi ke
atas suku bunga kebijakan (Tabel 3.15).
Tabel 3.15. Perkembangan Suku Bunga Kebijakan dan Suku Bunga
Perbankan Beberapa Negara
Deposito
Kebijakan Tabungan Kredit
Negara 1 tahun
2008 2009 2010 2008 2009 2008 2009 2008 2009
China 5,31 5,31 5,81 0,66 0,36 3,80 2,25 5,31 5,31
Korea
Selatan 3,00 2,00 2,5 5,67 3,23 5,87 3,48 7,17 5,00
India 6,50 4,75 6,25 3,50 ... 8,25 6,75 13,31 12,19
Indonesia 9,25 6,5 6,5 3,33 3,00 10,43 9,55 13,60 14,5
Malaysia 3,25 2,00 2,75 1,40 0,87 3,50 2,50 6,08 5,08
Filipina 5,50 4,00 4,00 2,22 2,1 3,96 2,50 8,75 8,57
Thailand 5,50 4,00 2,00 0,75 0,5 1,88 0,83 7,04 5,96

Sumber: Diolah dari Asian Development Bank, 2011 dan Bank Indonesia, 2011

Relatif tingginya suku bunga acuan di Indonesia berlanjut suku


bunga perbankan, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga
tabungan.Suku bunga tabungan pada 2008 dan 2009 mencapai 3,33
persen dan 3 persen per tahun; lebih tinggi dari China, Malaysia dan
Filipina dan sedikit lebih rendah dari suku bunga tabungan di Korsel.
Kondisi yang sama terjadi pada suku bunga deposito 1 tahun,di mana di
Indonesia per 2008 mencapai 10,43 persen, tertinggi di atas suku bunga
deposito 1 tahun di India mencapai 8,25 persen. Koreksi suku bunga

52
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

deposito 1 tahun pada 2009 di Indonesia hanya menggiringnya pada


level 9,55 persen sedangkan di India mampu menyeretnya ke level 6,75
persen.
Dengan cost of fund yang relatif besar mendorong tingginya
suku bunga kredit nasional. Pada 2008 harga dana di Indonesia
mencapai 13,60 persen per tahun, sedangkan pada 2009 melonjak
menjadi 14,5 persen per tahun. Sementara harga dana di India pada
2008 sedikit lebih rendah dari Indonesia sekitar 13,31 persen per tahun
dan membaik pada 2009 menjadi 12,19 persen per tahun. Pada periode
yang sama China, Korea, Malaysia, dan Thailand menetapkan harga
dana di bawah 6 persen per tahunnya, sedangkan Filipina menetapkan
sekitar 8 persen per tahun.
Studi Hadad (2003) tentang biaya intermediasi beberapa bank di
Indonesia menganalisis tentang apakah Bunga Kredit Bank Umum
Overpriced dalam periode Januari 2002 hingga Juni 2003. Penelitian
tersebut menjelaskan bahwa penurunan suku bunga acuan biasanya
telah direspon oleh perbankan melalui koreksi cost of fund. Tetapi,
koreksi suku bunga pinjaman cenderung lama karena terkait dengan
berbagai pertimbangan, seperti kondisi keuangan bank yang masih
belum efisien. Dari sisi internal tingginya biaya intermediasi disebabkan
oleh kecenderungan bank untuk menahan diri untuk kompetisi.
Keadaan yang demikian juga disebabkan karena masih
membanjirnya likuiditas perbankan serta tingginya pendapatan dari
bunga SBI dan obligasi. Implikasinya, perbankan akan cenderung
bersikap menunggu (wait and see) perkembangan pasar uang dan
sektor riil selanjutnya. Penelitian ini juga mencatat kemungkinan
terjadinya ketidakakuratan bank dalam menghitung risk management,

53
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

terutama yang terkait dengan pricing produk. Variabel lainnya


berhubungan dengan perilaku bank yang cenderung membebani
debitur dengan premi risiko yang di atas kewajaran yang mendorong
lonjakan harga dana.
Kondisi yang demikian menyebabkan margin suku bunga di
Indonesia relatif lebih tinggi dari negara lain. Pada 2009 misalnya,
margin suku bunga di Malaysia hanya 3,03 persen, sedangkan di Filipina
3,92 persen turun dari 6,01 pada 2006. Margin suku bunga negara lain
seperti Vietnam dan Singapura pada 2009 masing-masing 3,43 persen
dan 1,79 persen (Bank Indonesia, 2010).
Studi Hadad kembali menyebutkan salah satu masalah utama
rigiditas suku bunga adalah struktur aktiva produktif bank. Faktor risiko
sektor rill yang menyebabkan sebagian besar penyaluran dana ke SBI.
Hal ini menyebabkan struktur return aktiva produktif perbankan sangat
tergantung pada penurunan suku bunga SBI. Oleh karena itu, koreksi
suku bunga SBI secara nyata tidak akan direspon secara signifikan oleh
bank melalui koreksi suku bunga pinjaman untuk mempertahankan
profit margin-nya.
Suku bunga perbankan di Indonesia relatif lebih sensitif
terhadap kenaikan suku bunga acuan/BI rate tetapi tidak peka terhadap
koreksi yang terjadi juga dilakukan oleh Listiyanto. Studi Listiyanto
(2010) selama Juli 2005 hingga Maret 2010 menyimpulkan bahwa
perbankan setidaknya memerlukan jangka waktu (time lag) sekitar 4,82
bulan untuk merespon perubahan suku bunga kebijakan pada suku
bunga simpanan. Sementara respon pada suku bunga pinjaman relatif
lebih lama, sekitar 6,02 bulan. Menurut jenis bank, rata-rata kecepatan
penyesuaian suku bunga simpanan tercepat dilakukan oleh bank asing

54
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

dan bank campuran selama 4,25 bulan. Respon penyesuaian suku


bunga pinjaman tercepat selama periode penelitian dilakukan oleh
bank persero, selama 3,58 bulan.
Satu paling mudah untuk melihat tingginya suku bunga kredit di
Indonesia adalah melalui Net Interet Margin/NIM dan spread tingkat
suku bunga menjadi dua acuan yang lazim digunakan untuk
meneropong penghasilan bunga perbankan. NIM diperhitungkan dari
perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva
produktif. Sedangkan spread suku bunga merupakan margin antara
suku bunga pinjaman dengan suku bunga simpanan. Komponen ini
turut memengaruhi seretnya pengaluran kredit ke sektor rill. NIM juga
dapat menjadi ukuran efisiensi perbankan. Indikator lainnya dapat
dilihat dari rasio overhead cost perbankan terhadap total asset.1
Dalam cakupan ASEAN, NIM perbankan tergolong tertinggi. NIM
bank umum pada 2010 mencapai 5,59 persen; bank persero 6,11
persen; bank umum swasta nasional devisa 5,35 persen; bank umum
swasta nasional nondevisa 9,10 persen; bank pembangunan daerah
8,74 persen; bank campuran 3,83 persen; dan bank asing 3,54 persen.
NIM di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina berkisar antara 2,3
persen hingga 4,5 persen. Level NIM yang demikian menggambarkan
dua hal penting, yaitu (i) operasional perbankan yang boros, dan (ii)
risiko sektor rill yang tinggi.

1
Ibid Inggrid (2006)

55
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

3.3.2. Kendala Struktur Dana Perbankan: Bertumpu Pada Dana Mahal


Perbankan biasanya berkonsentrasi dalam pengelolaan dana
dengan jangka pendek, terutama simpanan deposito. Sampai saat ini,
simpanan deposito masih menjadi sumber utama dana bagi bank.
Namun, keberadaanya dalam porsi yang besar -terutama berdurasi 1
bulan- menyebabkan ruang gerak investasi perbankan cenderung
sempit. Perbankan hanya mampu berbisnis di area investasi di bawah
satu tahun agar tidak menciptakan maturity mismatch. Implikasinya,
perbankan tidak dapat terlibat dalam pembiayaan jangka panjang atau
multiyears seperti proyek-proyek infrastruktur.
Dalam periode 2006-2010, simpanan deposito (rupiah dan
valuta asing) menyumbang rata-rata 46,17 persen terhadap DPK bank
umum. Pada bank persero, simpanan deposito menyumbang rata-rata
41,52 persen per tahun; bank umum swasta nasional devisa rata-rata
49,70 persen; bank umum swasta nasional devisa nondevisa rata-rata
84,02 persen (hanya deposito Rupiah); bank pembangunan daerah;
bank campuran dan bank asing masing-masing 27,43 pesen; 69,03
persen; dan 48,01 persen.
Dalam struktur simpanan deposito, sebagian besar terdiri dari
simpanan berdurasi 1 bulan, baik yang berdominasi rupiah maupun
valuta asing. Selama 2005-2009, simpanan deposito rupiah 1 bulan
mencapai 54,20 persen dari total simpanan deposito rupiah, sementara
deposito berumur 3 bulan mencapai 20,11 persen. Porsi tertinggi lain
bersumber dari simpanan deposito berumur 24 bulan, rata-rata 5,96
persen per tahun. Struktur simpanan deposito untuk dominasi valas
mengikuti struktur yang sama.
Simpanan deposito valas 1 bulan menyumbang hampir 60
persen terhadap total simpanan valas. Porsi terbesar kedua bersumber

56
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

dari simpanan deposito selain 0, 1,3,6,12 dan 24 bulan rata-rata 27,72


persen per tahun selama 2005-2009. Pada jenis lain seperti simpanan
deposito berdurasi 3 bulan mencapai 7,84 persen terhadap total
simpanan deposito valas.

3.4. Tantangan dan Peluang Perbankan Ke Depan


Pertama,pemulihan ekonomi dunia sepertinya masih jauh dari
harapan. Kinerja ekonomi Amerika Serikat masih terkendala, bukan
hanya dari pengelolaan krisis kredit tetapi juga defisit fiskal. Sementara
Uni Eropa bergerak mundur setelah beberapa negara yang tergabung
dalam komunitas tersebut tidak dapat mengelola defisit fiskal dan krisis
utang yang semakin parah. Pelemahan kinerja ekonomi dunia juga
terpengaruh oleh spill-over tsunami Jepang. Meski perekonomian Asia
(terutama China dan India) masih cenderung membaik, namun kedua
negara tersebut mulai mengalami beberapa masalah terutama over
heating.
Belum pulihnya kinerja ekonomi global secara tidak langsung
memengaruhi kinerja perbankan melalui jalur permintaan kredit dari
perusahaan berorientasi ekspor. Sebagai informasi, pangsa ekspor
Indonesia terhadap beberapa negara yang sedang ‘sakit’ cukup
signifikan. Selama 2005-2010, pangsa ekspor Indonesia mencapai 14,34
persen per tahun ke Uni Eropa, sementara ke Jepang dan AS masing-
masing 13,64 persen dan 11,92 persen per tahun. Memang, sebagian
besar ekspor nasional masih mengalir ke ASEAN, mencapai 21,56
persen per tahun (Tabel 3.16.).

57
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tabel 3.16. Distribusi Ekspor Menurut Negara

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rerata


ASEAN 21.88 20.70 21.51 22.39 21.69 21.21 21.56
Uni Eropa 15.29 15.17 14.63 14.26 13.77 12.94 14.34
Jepang 14.76 15.21 14.35 12.45 12.45 12.61 13.64
Amerika Serikat 14.00 13.19 12.00 11.55 10.56 10.21 11.92
RRC 8.19 9.11 9.19 8.93 11.09 12.75 9.88
Singapura 10.60 9.82 9.57 9.80 8.99 7.80 9.43
India 4.34 4.37 5.26 6.34 7.59 7.49 5.90
Malaysia 4.92 4.84 5.05 5.76 5.71 5.95 5.37
Korea Selatan 4.03 4.23 4.10 4.19 5.19 5.40 4.52
Belgia 3.22 3.27 3.04 3.58 3.00 2.88 3.16
Thailand 2.97 2.64 2.97 3.04 2.63 3.09 2.89
Taiwan 2.72 2.86 2.57 2.65 2.91 2.46 2.69

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2011

Kedua, daya saing investasi Indonesia masih belum banyak


membaik. Hal ini pada gilirannya memengaruhi realisasi investasi
sehingga berdampak pada penyaluran kredit perbankan. Masalah daya
saing investasi Indonesia dari sisi makro tergambar dari masalah
ketersediaan infrastruktur, sementara dari sisi mikro berkutat pada
masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah (terutama setelah
implemtasi otonomi daerah).
Ketiga, tantangan perbankan ke depan semakin berat sejalan
dengan integrasi perekonomian Indonesia yang semakin tinggi ke
perekonomian global. Untuk itu, perbankan nasional dituntut untuk
meningkatkan daya saing agar dapat menjadi tuan rumah di negara
sendiri. Kesiapan perbankan semakin dinantikan baik oleh pengusaha
nasional maupun investor asing sebagai mitra dalam berinvestasi. Satu

58
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

perkembangan integrasi ekonomi tersebut terbentuknya Masyarakat


Ekonomi ASEAN/MEA.
Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kinerja perbankan
nasional masih jauh dari sejumlah negara ASEAN. Ambil saja contoh
sederhana, dari sisi efisiensi perbankan (baca perbandingan antara
Biaya Operasional dengan Pendapatan Operasional/BOPO); kinerja
perbankan Indonesia masih jauh dari negara lain. Dalam publikasi BI
tahun 2011 disebutkan bahwa BOPO perbankan nasional masih di atas
80 persen. Indikator yang sama di Singapura, Malaysia, Thailand dan
Filipina berkisar 32,7 persen hingga 73,1 persen.

59
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 4
Jebakan Liberalisasi Perdagangan:
Kasus ACFTA

Sejak terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade


(GATT) pada 1947, yang kemudian digantikan oleh World Trade
Organisation (WTO), liberalisasi perdagangan tampaknya sudah
menjadi keniscayaan. Hampir tidak ada negara yang berada di luar
pusaran liberalisasi perdagangan. Namun, banyak negara yang justru
menjadikannya sebagai instrumen untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Baier dan Bergstand,
perdagangan dunia berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
pendapatan (income). Melalui penurunan hambatan perdagangan akan
menyebabkan semakin murahnya biaya transportasi (Coughlin, 2003).
Pernyataan ini diperkuat dengan data terjadinya peningkatan volume
perdagangan dunia. Nilai perdagangan dunia menunjukkan
peningkatan dari US$ 290 miliar pada 1950 menjadi sebesar US$ 12,08
triliun pada 2009. Trade Watch Bank Dunia edisi 2nd Quarter 2010
menyebutkan bahwa pada kuartal kedua 2010, perdagangan global
semakin meningkat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya dengan
peningkatan ekspor sebesar 4,2 persen, sementara impor meningkat
sebesar 2,3 persen.

61
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Liberalisasi perdagangan ditandai dengan penurunan atau


penghapusan hambatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non
tarif. Sebelum Putaran Uruguay, rata-rata tarif produk manufaktur di
negara maju adalah 6,2 persen dan negara berkembang adalah 20,5
persen. Sesudah Putaran Uruguay, rata-rata tarif di negara maju hanya
3,7 persen dan di negara berkembang 14,4 persen. Hambatan non tarif
seperti kuota, perizinan dan spesifikasi teknis juga secara bertahap
dihapuskan tetapi tidak secepat penurunan tarif (www.wto.org).
Kesepakatan tersebut telah mendorong arus pergerakan barang dan
jasa (flow of goods and services). Meskipun hingga saat ini faktanya
beberapa negara maju masih menerapkan hambatan non-tarif yang
“menyulitkan” bagi negara-negara berkembang (pengekspor) dengan
alasan tidak memenuhi standar kesehatan dan keamanan lingkungan.
Negara-negara tersebut menggunakan beberapa hambatan non-tarif yang
tidak bertentangan dengan aturan dari WTO.

Terlepas dari masalah hambatan non tariff yang diterapkan


pada beberapa negara, secara umum tak dapat dipungkiri dengan
adanya liberalisasi perdagangan banyak negara telah mendapatkan
gains from trade secara statis maupun dinamis. Manfaat tersebut
terlihat jelas pada beberapa negara yang mengalami peningkatan
surplus neraca perdagangan dan mempunyai pertumbuhan ekonomi
tinggi. Seperti terlihat pada Gambar 4.1 dan 4.2, China yang mengalami
surplus perdagangan terbesar, mampu membuat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi bahkan di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi
dunia. China mampu membuat pertumbuhan ekonomi yang fantastis,
khususnya pada 2007 sebesar 14,2 persen dan berlanjut pada tahun-
tahun berikutnya walaupun tidak sebesar 2007.

62
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 4.1. Neraca Perdagangan Beberapa Negara

US$ Miliar
350.00
300.00
250.00
200.00
150.00 2007
100.00
2008
50.00
0.00 2009
-50.00

Sumber: World Trade Organization, 2011

Gambar 4. 2. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara

20.00

15.00

10.00
2007
5.00 2008
2009
0.00

-5.00

-10.00

Sumber: World Bank, 2011

63
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

4.1. Bagaimana Indonesia?


Secara umum, selama 2006-2010 total volume perdagangan Indonesia
masih menunjukkan peningkatan 14,04 persen. Peningkatan volume
perdagangan tersebut terutama berasal dari perdagangan non migas.
Sayangnya, manfaat dari keterbukaan perdagangan lebih banyak dinikmati
oleh negara lain. Indonesia tidak mampu mengambil peluang dari liberalisasi
perdagangan ini. Terbukti dalam kurun waktu yang sama, surplus neraca
perdagangan Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 17,07 persen.
Hal ini terjadi karena nilai ekspor Indonesia hanya meningkat sebesar 9,6
persen sementara impor Indonesia melonjak sebesar 20,43 persen. Namun
2011, terjadi kondisi yang sedikit menggembirakan, di mana surplus neraca
perdagangan Indonesia relatif membaik, meskipun hal ini lebih dikarenakan
booming harga beberapa komoditas primer di pasaran internasional selama
2011.

Tabel 4.1. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)


TREND Jan- Sep Jan- Sep PERUB.
No URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010
(%) 2010 2011*) (%)
I EKSPOR 100.798,6 114.100,9 137.020,4 116.510,0 157.779,1 9,60 110.916,3 152.501,2 37,49
- MIGAS 21.209,5 22.088,6 29.126,3 19.018,3 28.039,6 4,17 19.122,0 31.647,2 65,50
- NON MIGAS 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5 10,91 91.794,3 120.854,0 31,66

II I M P O R **) 61.065,5 74.473,4 129.197,3 96.829,2 135.663,3 20,43 97.389,0 129.966,4 33,45
- MIGAS 18.962,9 21.932,8 30.552,9 18.980,7 27.412,7 6,10 19.438,4 30.264,2 55,69
- NON MIGAS 42.102,6 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6 25,63 77.950,6 99.702,2 27,90
III TOTAL 161.864,1 188.574,3 266.217,7 213.339,3 293.442,4 14,03 208.305,3 282.467,6 35,60

- MIGAS 40.172,4 44.021,4 59.679,2 37.999,0 55.452,3 5,10 38.560,3 61.911,4 60,56
- NON MIGAS 121.691,7 144.552,9 206.538,6 175.340,2 237.990,1 16,59 169.745,0 220.556,3 29,93
IV NERACA 39.733,2 39.627,5 7.823,1 19.680,8 22.115,8 -17,07 13.527,3 22.534,9 66,59
- MIGAS 2.246,6 155,7 -1.426,6 37,6 626,9 0,00 -316,4 1.383,0 -537,15
- NON MIGAS 37.486,6 39.471,7 9.249,7 19.643,2 21.488,9 -16,56 13.843,7 21.151,8 52,79

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan

Keterangan: *) Angka sementara **) Impor Termasuk Kawasan Berikat

64
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Paradoks utama yang dialami Indonesia dalam soal


perdagangan ini lebih disebabkan karena Indonesia membuka diri
dengan negara lain, namun persaingan di dalam negeri masih tetap
tertutup. Pada 1994 Indonesia meratifikasi perdagangan bebas dengan
WTO (World Trade Organization) dan setelah itu serangkaian kebijakan
blok perdagangan ditandatangani tanpa hambatan, khususnya pasca-
1998. Pendeknya, sejak dekade 1990-an, Indonesia menganut
keyakinan perdagangan bebas di pasar global. Namun, di pasar
domestik, struktur ekonomi dan perdagangan nasional justru jauh dari
situasi pasar bersaing sempurna. Sebagian besar konsentrasi pasar
aktivitas ekonomi masih cukup tinggi, misalnya di sektor
telekomunikasi, konstruksi, perdagangan, perbankan, dan aneka
komoditas pertanian (gandum, gula, jagung, minyak goreng, dan lain-
lain). Praktik ini yang menyebabkan efisiensi ekonomi tidak segera
tercapai di pasar domestik.
Implikasi dari konstruksi pengelolaan ekonomi yang cenderung
monopsoni dan oligopsoni tersebut menyebabkan Indonesia
“kedodoran” dan tidak mampu bersaing ketika dihadapkan kepada
pasar bebas. Sektor pertanian dan industri yang hancur pasca-
reformasi ekonomi 1998 kian tidak mampu bersaing dalam pasar
internasional. Indonesia menjadi importir beberapa komoditas pangan
penting dalam jumlah yang makin meningkat tiap tahun, seperti beras,
jagung, kedelai, daging, susu, dan lain-lain. Sampai Semester I 2011 nilai
impor komoditas pertanian mencapai sekitar Rp 60 triliun. Indonesia
masih diselamatkan oleh komoditas perkebunan yang harganya bagus,
seperti kelapa sawit, kakao, dan karet. Sementara itu, komoditas
ekspor sektor industri kian jeblok karena daya saing domestik yang
terus melorot, seperti tekstil, alas kaki, makanan dan minuman, dan

65
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

baja. Ketiadaan infrastruktur, pasokan listrik, soal pembebasan lahan,


dan perizinan yang rumit turut memperparah daya saing tersebut.
Tampak dengan jelas, liberalisasi perdagangan seperti
membuka jalur pelaku ekonomi asing menggerogoti ekonomi nasional
dan daya saing yang macet di pasar barang/jasa. Dengan dasar inilah
sebetulnya perdagangan bebas tidak layak diratifikasi secepat ini,
bukan semata secara teoritis tidak masuk akal, tetapi secara empiris
kebijakan ekonomi masih jauh dari semangat untuk memperkuat
ekonomi domestik. Bayangkan, AS saja baru melakukan deregulasi dan
liberalisasi secara penuh pada dekade 1980-an dan 1990-an (Fukuyama,
2000). Tentu tidak mudah membalik situasi ini, tapi solusi memagari
kebebasan lalu lintas ekonomi dan meniupkan ruh ekonomi domestik
merupakan pilihan yang aman.

4.2. Indonesia Terlibas ACFTA


Seperti diuraikan sebelumnya, liberalisasi perdagangan yang
diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja perekonomian Indonesia
ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran, dengan
mengikuti kesepakatan perdagangan bebas, misalnya melalui
kesepakatan ACFTA (Asean – China Free Trade Agreement) justru
keuntungan Indonesia yang dapat diambil lebih sedikit dari pada
keuntungan yang diperoleh oleh negara pesaing. Bahkan pada
beberapa industri Indonesia mengalami kerugian. Sektor industri dinilai
mendapat pukulan keras akibat pelaksanaan ACFTA tersebut.
ACFTA memberikan keuntungan besar bagi China, namun tidak
bagi Indonesia. China dapat mengambil keuntungan yang lebih besar
karena mereka memiliki daya saing produk yang lebih tinggi baik daya

66
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

saing kualitas maupun harga. Dengan adanya kenyataan ini, berbagai


kalangan, khususnya, pengusaha merasa khawatir terhadap gempuran
produk asal China. Kekhawatiran akhirnya menjadi kenyataan setelah
ACFTA diberlakukan. Produk China dengan harganya yang dikenal
murah semakin membanjiri pasar domestik, terlihat dari nilai Impor
Indonesia dari China pada 2010 sebesar US$20,4 miliar atau meningkat
45,9 persen dari 2009.
Setelah data-data perdagangan, terutama antara Indonesia-Cina
resmi dikeluarkan oleh BPS, khalayak ramai mulai menyoal kelaikan
perjanjian pasar bebas di wilayah ASEAN plus China. Namun, dalam
beberapa aspek, data-data tersebut tidak semuanya valid karena
terdapat perbedaan antara satu versi dengan versi lainnya. Misalnya,
pemerintah mengumumkan defisit perdagangan Indonesia dengan
China mencapai US$ 5,6 miliar, namun pemerintah China mengklaim
defisit Indonesia hanya US$ 2,8 miliar. Tapi, angka manapun yang
benar, tetap saja defisit perdagangan Indonesia dengan China makin
besar sejak perjanjian itu diberlakukan 1 Januari 2010.
Sejak 1 Januari 2010 Indonesia telah memulai masuk dalam
skema liberalisasi perdagangan regional di bawah payung ACFTA, defisit
neraca perdagangan Indonesia terhadap China pada 2010 membengkak
menjadi sekitar US$ 6 miliar.
Jika dilihat figur perdagangan Indonesia dengan Asean (minus
China), sebetulnya tidak terdapat dampak yang terlalu besar sejak
diberlakukannya ACFTA. Pada 2010 ekspor Indonesia ke negara-negara
Asean mencapai US$ 25,6 miliar, meningkat dari semula US$ 21,3 miliar
pada 2009 (terjadi peningkatan sekitar US$ 4,3 miliar). Sementara itu,
impor Indonesia dari negara-negara Asean pada 2010 senilai US$ 22

67
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

miliar, meningkat dari semula US$ 18,4 miliar (naik US$ 3,6 miliar).
Artinya, sejak diberlakukannya ACFTA tersebut surplus perdagangan
Indonesia dengan negara-negara anggota Asean justru meningkat dari
US$ 2,9 (2009) menjadi US$ 3,5 miliar (2010 ). Jadi, sampai pada titik
ini, perjanjian perdagangan bebas pada level Asean tidak memberi
pengaruh yang berarti bagi Indonesia, bahkan Indonesia menjadi pihak
yang lebih diuntungkan, meskipun kenaikan surplus perdagangan tidak
terlalu besar.

Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan China (Juta US)


Perub
Jan-Apr Jan-Apr
URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010 (%).
2010 2011
‘10/’11
Total 14.980,4 18.233,3 26.883.6 25.501.4 36.116.8 10.218.5 13.258.5 29,75
- Migas 4.011,8 3.612,0 4.148.6 3.090.0 2.347.8 603.1 598.6 -0,75
- Non
10.968,5 14.621,3 22.735.0 22.411.4 33.768.9 9.615.3 12.659.9 31,66
migas
Ekspor 8.343,5 9.675,5 11.636.5 11.499.3 15.692.6 4.423.3 5.677.1 28,35
- Migas 2.876,9 3.011,4 3.849.3 2.579.2 1.611.6 405.6 478.8 18,05
- Non
5.466,6 6.664,1 7.787.1 8.920.0 14.080.9 4.017.7 5.198.3 29,38
migas
Impor 6.636,8 8.557,8 15.247.1 14.002.1 20.424.2 5.795.1 7.581.3 30,82
- Migas 1.134,9 600,6 299.2 510.8 736.2 197.5 119.7 -39,36
- Non
5.501,9 7.957,2 14.947.9 13.491.3 19.688.0 5.597.6 7.461.5 33,30
migas

Neraca 1.706,6 1.117,6 -3.610.6 -2.502.8 -4.731.6 -1.371.7 -1.904.1 38,81

- Migas 1.742,1 2.410,7 3.550.1 2.068.4 875.4 208.1 359.0 72,54


- Non
-35,3 -1.293,1 -7.160.7 -4.571.2 -5.607.0 -1.579.8 -2.263.2 43,25
migas

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011

68
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Namun, jika dimasukkan China, maka barulah data-data yang


ada memang menunjukkan problem yang cukup serius bagi
perdagangan ekonomi Indonesia. Sebelum ACFTA berjalan, misalnya
pada 2009, ekspor Indonesia ke China nilainya US$ 10,9 miliar. Namun,
pada 2010 nilai ekspor Indonesia melonjak menjadi US$ 15,4 miliar.
Artinya, selama kurun tersebut Indonesia juga berhasil meningkatkan
ekspor ke China sekitar US$ 4,6 miliar. Sungguh pun begitu, kita tidak
bisa segera bertepuk tangan dengan data tersebut. Sebab, di sisi
impornya menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat ketimbang
ekspor. Pada 2009, Indonesia melakukan impor dari China sebesar US$
14,8 miliar. Sementara itu, pada 2010 impor Indonesia dari China
membengkak menjadi US$ 20,2 miliar. Dengan kata lain, selama
setahun itu terjadi peningkatan impor sebesar US$ 5,4 miliar. Fakta ini
menunjukkan bahwa Indonesia memang berada dalam posisi yang
kurang beruntung dibandingkan dengan China.
Pertanyaan berikutnya, apakah cuma dengan China Indonesia
mengalami pemburukan perdagangan di dalam koridor ACFTA?
Ternyata tidak. Sekurangnya, jika dilihat data peralihan 2009 dan 2010
terdapat 2 negara yang menjadi ancaman bagi Indonesia, yakni
Thailand dan Vietnam. Pada 2010, perdagangan Indonesia dengan
Thailand mengalami defisit yang cukup besar (US$ 3,2 miliar),
meningkat daripada 2009 yang defisit sebesar US$ 1,9 miliar.
Berikutnya, perdagangan dengan Vietnam pada 2010 memang masih
surplus sebesar US$ 773 juta (bagi Indonesia), namun surplus itu lebih
rendah ketimbang 2009 yang sebesar US$ 965 juta. Di luar dua negara
ini, surplus perdagangan Indonesia juga berkurang pada 2010
(dibanding 2009) dengan Brunei dan Kamboja (namun dengan nilai
yang rendah, masing-masing US$ 49 juta dan US$ 195 juta). Di luar

69
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

empat negara itu, perdagangan Indonesia membukukan surplus yang


meningkat ke negara anggota Asean lainnya, seperti Malaysia, Filipina,
Singapura, Myanmar, dan Laos.

4.3. Gagal Memanfaatkan Peluang


Kontribusi perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih lebih rendah, jauh tertinggal dibandingkan dengan
beberapa negara pesaing. Indonesia gagal dalam memanfaatkan
peluang liberalisasi. Penyebab dari kegagalan Indonesia tersebut salah
satunya adalah faktor daya saing bangsa. Lemahnya daya saing
Indonesia, sebagaimana disimpulkan oleh beberapa studi (e.g. World
Bank, 2004; Sambodo et al; Tambunan, 2008), bisa jadi menjadi
penyebab utama perdagangan luar negeri belum optimal dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, Indonesia ternyata tidak
termasuk ke dalam sepuluh besar pengekspor negara-negara
berkembang.
Ketidakmampuan Indonesia beradaptasi dengan dinamika
globalisasi tidak lepas dari faktor daya saing yang lemah. Selain itu,
Indonesia seringkali terlambat dalam merespon terjadinya perubahan
aturan dan tata perdagangan internasional serta investasi. Misalnya,
berbeda dengan beberapa negara seperti Pakistan, India, China dan
Vietnam, Indonesia sama sekali tidak memiliki perjanjian bilateral
dalam skema PTA (Preferential Trade Agreement) dengan Amerika
Serikat dan Uni Eropa. Padahal dua kawasan tersebut merupakan
tujuan utama ekspor Indonesia selain Jepang. Akibatnya, ekspor
Indonesia ke AS dan UE masih dikenakan tariff yang lebih tinggi
dibanding negara-negara yang sudah punya perjanjian. Tentu saja hal

70
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

ini dapat membuat produk Indonesia di pasar AS dan UE kurang


mampu bersaing.
Dalam kaitannya dengan basic requirement, lima variabel yaitu
stabilitas makro, kepastian hukum, birokrasi, infrastruktur dan kualitas
SDM perlu mendapat perhatian pemerintah. Di bidang stabilitas
ekonomi makro, kemampuan pemerintah untuk melakukan langkah-
langkah penyelamatan dari kemungkinan adanya krisis global di tahun
mendatang akan menentukan daya saing produk Indonesia. Ini berarti
pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dan para pengambil
keputusan (DPR) perlu menemukan formulasi kebijakan untuk
meredam gejolak beberapa variabel makro dari kemungkinan krisis
global di tahun mendatang. Namun formulasi kebijakan tersebut jangan
sampai membawa efek detrimental yang bisa merusak kinerja sektor rill
(investasi, perdagangan dan industri).

4.3. Penyiapan Pasar Domestik


Dibukanya ACFTA menimbulkan polemik di kalangan produsen
domestik, di mana berbagai pihak terus menunjukkan penentangan
perjanjian tersebut karena dinilai dapat mematikan produsen lokal
yang selama ini sudah pontang-panting membendung produk asing
sebelum keran ACFTA diputar. Ditambah lagi, kalangan produsen
menilai barang-barang yang diproduksi oleh China merupakan barang-
barang kualitas sisa dan dijual dengan harga sangat murah. Hal inilah
yang memicu pertentangan dan penolakan terhadap perjanjian yang
sudah disepakati tersebut. Produsen lokal merasa terancam usahanya
karena pasar sangat familiar dan menyukai produk murah dengan
menisbikan kualitas. Pada kasus ini, fasilitasi terhadap produk domestik

71
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

hendaknya diperkuat untuk menjaga stabilitas iklim usaha yang selama


ini sudah mulai membaik pascakrisis ekonomi. Meskipun belum dapat
dievaluasi dampak ACFTA terhadap kinerja ekspor, namun segala
kemungkinan memang tetap perlu diantisipasi.
Pada era ACFTA ini, komoditas ekspor nonmigas perlu dipoles
agar dapat meningkatkan nilai tambah dan mampu mengejar ekspor
migas. Dilain pihak, donasi ekspor dewasa ini lebih diuntungkan karena
faktor harga dan permintaan dunia. Oleh karena itu, pasar domestik
perlu disiapkan secara masak, terutama di sektor tradeable, untuk
menopang ekspansi pasar tersebut. Penguatan komoditas dan pasar
domestik merupakan prasyarat yang mesti dipenuhi untuk merebut
pasar internasional. Jika tidak, maka globalisasi akan terus menghimpit
produk lokal untuk bisa bersaing di level internasional, paling tidak
dalam kancah ASEAN plus China. Penguatan sektor domestik
merupakan harga mutlak yang wajib dilakukan karena dari situlah
pangkal penguatan perekonomian negara dapat diperbaiki. Terlebih,
lagi dalam menghadapi era perdagangan bebas yang semakin intesif ini
mengharuskan produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang prima,
terutama harga dan kualitas yang sesuai segmentasi pasar. Pola ini
yang mesti dipahami dan ditangani sejak sekarang.

4.4. Merumuskan Strategi


Persaingan dalam bingkai ACFTA memang telah dimulai dan
semua itu perlu dihadapi dengan segenap kekuataan yang dimiliki.
Dalam beberapa aspek, pelaku ekonomi di tanah air sudah memegang
segepok kartu peluang yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya. Sebagai contoh, produsen domestik yang mendapat pesanan

72
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

perusahaan-perusahaan asing untuk membuat produk, yang kemudian


diekspor negara (perusahaan) pemesan dengan menggunakan label
mereka. Hal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan celahnya oleh
perusahaan domestik, yakni dengan memompa keberanian mengambil
risiko. Perusahaan domestik perlu didorong memakai merek sendiri
atas produk-produk mereka sehingga menyumbang nilai tambah yang
lebih besar. Di sinilah keberanian perusahaan domestik memerkuat
posisi tawar dalam kaitannya menghasilkan produk yang berkualitas. Di
samping itu, promosi yang gencar sangat dibutuhkan untuk
mengangkat nama produk lokal itu, misalnya melalui pameran produk.
Berkaitan dengan strategi menghadapi persaingan dengan
China, Departemen Perdagangan telah merumuskan tiga strategi besar
untuk menghadapi ACFTA, yaitu pertama, strategi penguatan daya
saing. Diferensiasi strategi penguatan daya saing mencakup
pembenahan infrastruktur dan energi; pemberian insentif;
pembangunan kawasan ekonomi khusus; serta pembenahan logistik.
Kedua, pengamanan pasar domestik. Strategi pengamanan domestik
menyangkut peningkatan pengawasan wilayah perbatasan;
pengawasan peredaran barang di pasar lokal; serta promosi
penggunaan produk dalam negeri. Ketiga, strategi penguatan ekspor.
Strategi penguatan ekspor dilakukan dengan penguatan peran
perwakilan luar negeri, promosi pariwisata, perdagangan, dan investasi.
Dari ketiga strategi tersebut, yang cukup banyak mendapatkan sorotan
adalah pengawasan peredaran barang di pasar lokal, terutama
mengenai mekanisme sistem standarisasi barang yang masuk ke pasar
domestik.

73
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Ketiga strategi tersebut merupakan cara ideal yang sejatinya


diharapkan mampu mengatasi persaingan dengan produk asing,
terutama China, yang semakin merebak luas di tanah air. Kampanye
cinta produksi dalam negeri tidak memiliki makna yang berarti bila
tidak diimbangi dengan kebijakan lain yang lebih “aktif”. Di lain pihak,
perlindungan konsumen dengan memasarkan produk yang aman
digunakan dan dikonsumsi perlu terus didorong, misalnya dengan
menuntut produk asing memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Jika mengutamakan pertimbangan tersebut, maka produk lokal tidak
akan kalah dengan produk luar negeri. Selanjutnya, pemanfaatan
teknologi harus terus ditingkatkan karena berperan penting dalam
perbaikan mutu produk dan jaringan pemasaran/distribusi. Jika seluruh
proses ini telah dilalui, maka ACFTA merupakan jembatan yang bagus
untuk mempercepat bangsa ini memenangi pertarungan ekonomi di
pasar internasional.
Seiring berakhirnya Pertemuan Komisi Bersama (Joint
Commission Meeting) Indonesia dan China di Yogyakarta April 2010,
maka usai pula kemungkinan renegosiasi dalam menyikapi ACFTA.
Banyak pihak yang menilai bahwa kegagalan tersebut akan membawa
kehancuran denyut ekonomi Indonesia, sementara di lain pihak
terdapat pihak yang kurang menganggap penting hal ini. Intinya,
pandangan yang belakangan ini menyatakan tak perlu terlalu lama
menekuri ‘kegagalan’ ini, bahkan melakukan tindakan brutal sebagai
upaya balas dendam. Bagaimana sebetulnya sikap yang harus diambil
Indonesia dalam kasus ini? Poin yang hendak disampaikan di sini, China
sangat dibutuhkan sebagai negara yang mampu mengimbangi dominasi
negara maju (Eropa, Jepang, dan AS). Dalam beberapa aspek, Indonesia
masih dapat memetik manfaat dari kerja sama ini, apalagi dengan

74
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

melihat rekam geoekonomi-politik Indonesia yang telah lama dibina


dengan (khususnya) China.
Tekanan terhadap China yang terlalu berlebihan akan membuat
kontraproduktif bagi kepentingan Indonesia secara lebih luas.
Sebaliknya, Indonesia harus memanfaatkan peran ekonomi dan politik
China yang kian besar tersebut untuk menyuarakan kepentingan
negara berkembang. Pemerintah harus sadar bahwa keterpurukan
ekonomi nasional bukan semata akibat perdagangan dengan China,
tetapi disumbang dari hubungan dengan negara-negara maju dan
lembaga multilateral yang eksploitatif. Skenario inilah yang harus
dibangun sehingga kepentingan ekonomi nasional ke depan menjadi
lebih diakomodasi dalam panggung dunia. Pendeknya, China harus
dijadikan sekutu, bukan dianggap sebagai benalu.

75
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 5
Indonesia Menghadapi Krisis Utang
EURO Area

5.1. Titik Kritis Krisis Euro Area


Ekonomi Euro Area1 merupakan salah satu bagian utama dalam
perekonomian dunia. Secara keseluruhan Euro Area memiliki 331,4 juta
penduduk dengan proporsi Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 14,6
persen dari total PDB dunia. Tanpa memperhitungkan perdagangan
kawasan intra euro, proporsi ekspor kawasan Eropa adalah 15,7 persen
dari total ekspor dunia. Namun, dengan memperhitungkan ekspor
intra-kawasan Eropa, maka total ekspor kawasan Eropa 26,1 persen
total ekspor dunia (ECB, 2010). Dengan demikian, kawasan ini
mempunyai peran cukup strategis dalam peta perekonomian global,
sekaligus mengindikasikan kawasan ini juga sangat tergantung dengan
kondisi perekonomian global.

1
Euro Area terdiri dari negara-negara anggota Uni Eropa (European Union) yang
mengadopsi euro sebagai mata uang mereka. Sejak mata uang euro pertama kali
diperkenalkan pada 1999 hingga saat ini euro area terdiri dari 17 negara anggota
(terakhir Estonia bergabung tahun 2011).

77
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Terbukti, krisis subprime mortage di Amerika Serikat pada 2008


menciptakan biaya fiskal yang besar dan mengganggu keberlanjutan
fiskal (fiscal sustainability) di euro area. Turunnya aktivitas ekonomi
secara tiba-tiba menyebabkan kenaikan defisit pemerintah dan utang di
negara-negara euro area. Sustainabilitas fiskal di negara anggota euro
area terganggu karena perkembangan yang buruk dalam neraca
anggaran primer, kenaikan beban pembayaran bunga bersih dan
pertumbuhan output jangka panjang yang rendah, serta kebutuhan
untuk membiayai suntikan modal untuk mendukung sektor keuangan.
Akibatnya, rasio utang terhadap PDB euro area terus meningkat
dari 73 persen pada 1998 menjadi 69,3 persen pada 2008 dan
selanjutnya mencapai 78,2 persen pada 2009. Bahkan pada 2011
diperkirakan mencaptai 88,2 persen. Oleh karenanya tingkat defisit
anggaran euro area pada 2011 diperkirakan meningkat 20 persen
dibandingkan sebelum krisis. Bahkan rasio utang terhadap PDB di 5
negara euro area telah melebih 100 persen pada 2011.
Ketidakseimbangan fiskal (fiscal imbalances) di euro area secara
keseluruhan dan situasi yang buruk dari beberapa negara individu
dapat merusak stabilitas, pertumbuhan dan lapangan kerja, dan
keberlangsungan Uni Eropa. Rasio ini telah melanggar Maastrcith
Treaty yang dibentuk pada 1992 yang menyatakan bahwa defisit
pemerintah adalah 3 persen dari PDB2.

2
Defisit yang melebihi nilai ini dikatakan tidak biasa apabila: (i) dihasilkan dari
kejadian yang tidak biasa di luar kendali dari negara bersangkutan yang memiliki
dampak utama pada posisi keuangan pemerintah; (ii) dihasilkan dari penurunan
perekonomian yang berat (jika excess melebihi 3 persen dari PDB merupakan hasil
dari pertumbuhan PDB tahunan yang negatif karena turunnya produksi akibat
periode yang berkepanjangan dari pertumbuhan tahunannya yang rendah).

78
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tabel 5.1. Neraca Anggaran Pemerintah dan Rasio Utang di Euro Area
(Persentase terhadap PDB)
Neraca Anggaran Utang
Negara
2007 2008 2009 2010 2011 2007 2008 2009 2010 2011
101. 104.
Belgia -0.2 -1.2 -5.9 -5.8 -5.8 84.2 89.8 97.2 2 0
Jerman 0.2 0.0 -3.4 -5.0 -4.6 65.0 65.9 73.1 76.7 79.7
- -
- 14. 14.
Irlandia 0.3 -7.2 12.5 7 7 25.1 44.1 65.8 82.9 96.2
- -
- 12. 12. 112. 124. 135.
Yunani -3.7 -7.7 12.7 2 8 95.6 99.2 6 9 4
-
- 10.
Spanyol 1.9 -4.1 11.2 1 -9.3 36.1 39.7 54.3 66.3 74.0
Perancis -2.7 -3.4 -8.3 -8.2 -7.7 63.8 67.4 76.1 82.5 87.6
103. 105. 114. 116. 117.
Italia -1.5 -2.7 -5.3 -5.3 -5.1 5 8 6 7 8
Cyprus 3.4 0.9 -3.5 -5.7 -5.9 58.3 48.4 53.2 58.6 63.4
Luxembur
g 3.7 2.5 -2.2 -4.2 -4.2 6.6 13.5 15.0 16.4 17.7
Malta -2.2 -4.7 -4.5 -4.4 -4.3 62.0 63.8 68.5 70.9 72.5
Belanda 0.2 0.7 -4.7 -6.1 -5.6 45.5 58.2 59.8 65.6 69.7
Austria -0.6 -0.4 -4.3 -5.5 -5.3 59.5 62.6 69.1 73.9 77.0
Portugal -2.6 -2.7 -8.0 -8.0 -8.7 63.6 66.3 77.4 84.6 91.1
Slovenia 0.0 -1.8 -6.3 -7.0 -6.9 23.3 22.5 35.1 42.8 48.2
Slovakia -1.9 -2.3 -6.3 -6.0 -5.5 29.3 27.7 34.6 39.2 42.7
Finlandi 5.2 4.5 -2.8 -4.5 -4.3 35.2 34.1 41.3 47.4 52.7
Euro Area -0.6 -2.0 -6.4 -6.9 -6.5 66.0 69.3 78.2 84.0 88.2
Sumber: European Central Bank, Ad Van Riet (2010)

Salah satu negara euro area yang memiliki defisit publik yang
berada dalam tingkat yang membahayakan adalah Yunani. Yunani
membiayai anggaran pemerintah dan defisit anggarannya dengan

79
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

meminjam di pasar modal internasional. Sejak lima tahun terakhir,


defisit anggaran Yunani terus membengkak dari 3,7 persen terhadap
PDB pada 2007 hingga 12,8 persen pada 2011. Selain itu, Yunani juga
memiliki total utang terhadap PDB paling tinggi di euro area yang
mencapai 135,4 persen pada 2011.
Namun, Yunani bukan satu-satunya negara yang diragukan
kemampuan fiskalnya, Italia, Portugal dan Irlandia juga mengalami hal
serupa. Keberlangsungan fiskal di Yunani dan negara-negara tersebut
hanya bisa dikembalikan melalui konsolidasi fiskal (kenaikan pajak
dan/atau pengurangan pengeluaran) dan pertumbuhan ekonomi yang
membaik dengan membuat ekonomi lebih kompetitif. Tekanan utang
publik yang parah menyebabkan Yunani, Irlandia dan Portugal
menerima pertolongan internasional karena mereka tidak dapat
memperoleh pinjaman tanpa menawarkan bunga utang yang tinggi.
Kondisi ini dapat dilihat dari yield spread surat utang negara-negara
tersebut yang terus meningkat dengan cepat terhadap surat utang
negara euro area dengan perekonomian yang sehat, seperti Jerman.
Yield spread surat utang 10 tahun Yunani melebar dari 3 persen pada
Januari 2010 hingga lebih kurang lebih 15 persen pada Juli 2011
(Gambar 5.1).

80
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 5.1. Yield Spread Surat Utang Negara terhadap


German Bunds

Sumber: Bloomberg L.P.; Datastream, IMF


Keterangan: Yield surat utang negara 10 tahun
(Basis poin = 0.01 persen)
Keengganan investor meminjamkan dana pada pemerintah
Yunani, Irlandia, dan Portugal juga didasarkan atas risiko investasi
negara mereka yang turun drastis semenjak 2007. Kredit Rating Yunani,
Portugal, dan Irlandia jatuh pada 2007 dari A, AA- dan AAA menjadi
CCC-, BB+, dan BBB pada 2011. Adapun kredit rating surat utang negara
yang berada di bawah BBB tidak lagi dianggap sebagai surat utang yang
memenuhi tingkat investasi (investment grade), karena dianggap cukup
berisiko dan memiliki risiko kredit yang tinggi. Hal ini semakin
menyulitkan negara-negara tersebut untuk memperoleh pinjaman di
pasar internasional untuk membiayai defisit anggarannya.

81
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tanpa rencana yang meyakinkan untuk mengembalikan


keberlangsungan fiskal, utang negara-negara euro area akan dianggap
tetap berisiko tinggi. Apalagi, tingkat utang pemerintah euro area
diperkirakan akan terus meningkat untuk membiayai dana pensiun dan
biaya sosial kesehatan. Ditambah lagi, tingkat pertumbuhan ekonomi
euro area diperkirakan tidak akan kembali seperti tren sebelum krisis
dengan cepat. Oleh sebab itu, premium risiko surat utang negara
tersebut meningkat dengan cepat dan drastis.
Dengan neraca anggaran yang rentan dan terancamnya
keberlangsungan utang, pasar utang euro area menjadi subyek
terhadap multiple equilibria (Gambar 5.2). Negara-negara dengan
kerentanan fiskal akan mudah ditinggalkan investor. Hal ini akan
mengakibatkan volatilitas lebih lanjut dan akan mengurangi permintaan
terhadap surat utang serta memperlemah basis investasi. Negara-
negara yang tidak mampu membuat terobosan kebijakan yang tepat,
besar kemungkinan akan terjerat dalam kubangan utang yang semakin
memburuk.
Selain itu, risiko utang negara-negara euro yang bermasalah
(Yunani, Itali, Irlandia dan Portugal) dapat memengaruhi kondisi
pembiayaan bank-bank dalam negerinya yang kemudian
mempengaruhi kondisi bank-bank Eropa lainnya, meskipun dalam
tingkat yang lebih kecil. Bank-bank di euro area dapat terganggu oleh
risiko negara dari sisi utang karena garansi pemerintah semakin
mengecil, mengingat nilai dari surat utang pemerintah yang digunakan
sebagai penjaminan (collateral) turun. Ini berakibat terjadinya margin

82
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

call3 dan penurunan rating bank tersebut. Karena bank meminjamkan


pada bank, maka sistem yang ada saling berhubungan satu sama lain
dan antar-batas. Sebagai akibatnya sistem perbankan dapat
memperkuat besarnya shock melalui pasar pembiayaan.
Gambar 5.2. Dampak Krisis Utang

Shock terhadap
dinamika utang
Bad Equilibrium Good Equilibrium
Respons kebijakan Respons
yang tidak cukup
kebijakan yang
Volatilitas Volatilitas
yang yang
meningkat
Jumlah
Jumlah
investor
investor
yang
yang
Tingkat bunga
Tingkat yang lebih
bunga yang rendah
lebih tinggi
Pertumbuha
Pertumbuha n yang
n yang menguat
melemah
Dinamika
utang yang
Dinamika membaik
utang yang

Sumber: IMF Global Financial Stability Report (September 2011)

3
Dalam transaksi repo, sekuritas ditukarkan dengan kas dengan perjanjian untuk
membeli kembali sekuritas tersebut di masa mendatang. Sekuritas tersebut menjadi
collateral untuk pinjaman kas, dan sebaliknya kas dapat digunakan untuk menjadi
penjaminan untuk pinjaman sekuritas.

83
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Mengingat dampak krisis utang negara mulai merambat ke


sektor perbankan dan keuangan, pemerintah Eropa sejauh ini sudah
berinitiatif membangun beberapa lembaga untuk mencegah
menyebarnya krisis dari negara-negara bermasalah, seperti Yunani,
Portugal dan Irlandia ke negara-negara euro area lainnya. Untuk itu,
Europe Monetary Union (EMU) mendirikan European Financial Stability
Facility (EFSF) pada 9 Mei 2010 untuk menjaga stabilitas keuangan
dengan memberikan bantuan keuangan pada anggota euro area bila
dibutuhkan. EFSF didukung oleh komitmen dana dari negara euro area
sebesar €780 milliar dan memiliki kemampuan meminjamkan sebesar
€440 millar. Selain itu, pada tingkat pengawasan makro, didirikan ESRB
untuk mengawasi sistem keuangan Uni Eropa secara keseluruhan. Pada
11 Juli 2011, menteri-menteri keuangan dari 17 negara euro area
menandatangain Treaty untuk mendirikan European Stability
Mechanism (ESM). Pada Juli 2013, ESM akan mengambil tugas yang
saat ini dikerjakan oleh European Financial Stability Facility (ESFSF) dan
European Financial Stabilisation Mechanism (EFSM).
Selain itu, Bank Sentral Eropa juga melakukan beberapa
tindakan langsung untuk mencegah terjadinya krisis utang Eropa. Hal
ini dilakukan dengan menurunkan suku bunga dan memberikan
bantuan keuangan pada beberapa negara, seperti Latvia, Romania,
Yunani, Irlandia dan Portugal. Diharapkan, hal ini mampu menghambat
perluasan krisis utang negara tersebut ke sektor keuangan dan
perbankan di negara eropa dan kawasan lainnya.

5.2. Asia Timur Mengantisipasi Krisis


Pada dasarnya, krisis ekonomi dunia yang terjadi pada 2011
bukanlah kali pertama dalam satu dekade terakhir ini. Pada 2008 krisis

84
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

finansial yang pada awalnya bermula di Amerika Serikat lalu menyebar


ke hampir seluruh penjuru dunia, telah memberikan sebuah dampak
yang besar terhadap ekonomi dunia. Dari Gambar 5.3. dapat dilihat
bahwa pertumbuhan GDP dunia mengalami perlambatan yang sangat
besar, dari 5 persen pada 2007 menjadi 3 persen pada 2008 dan turun
mencapai titik terendah (-1 persen) pada 2009.
Gambar 5.3. Pertumbuhan GDP Dunia (persen)

Sumber: CIA The World Factbook, 2011

Dalam skala yang lebih kecil, tahun 2008 hingga 2009 menjadi
masa suram bagi ekonomi dunia baik negara-negara maju maupun
negara-negara emerging economies. Tetapi, berbeda dengan beberapa
negara maju yang mencapai negatif dalam pertumbuhan ekonominya,
beberapa negara di Asia Timur mencatat pertumbuhan ekonomi yang
tetap positif walaupun juga mengalami penurunan dalam pertumbuhan
ekonominya. Urgensi inilah yang melatarbelakangi perlunya
mengangkat strategi antisipasi beberapa negara di Asia Timur dalam
menghadapi krisis utang Uni Eropa.

85
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

5.2.1. China
China merupakan representasi negara dengan pertumbuhan
ekonomi tinggi yang didukung oleh jumlah penduduk yang besar dan
sumber daya alam yang mencukupi. China sebagai negara yang
memiliki ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat mengalami
penurunan pertumbuhan ekonomi dari 11 persen pada 2007 menjadi 9
persen pada 2008 hingga 2010. Namun, menurunnya pertumbuhan
ekonomi China tidak berdampak negatif pada jumlah penggangguran,
angka kemiskinan, maupun pendapatan per kapita dari negara
tersebut. Selama kurun waktu krisis ekonomi global, jumlah
penggangguran di China menunjukkan jumlah yang stabil (4 persen).
Begitu juga dengan halnya jumlah penduduk miskin, di mana jumlahnya
bahkan menunjukkan nilai yang positif, yakni jumlah penduduk miskin
selalu berkurang dalam periode tersebut (8 persen pada 2008 menjadi
2,8 persen pada 2010). Angka pendapatan per kapita dari China juga
menunjukkan trend yang berbeda dari GDP dunia, di mana jumlah
pendapatan per kapita dari masyarakat China terus mengalami
kenaikan.

5.2.2. Singapura
Singapura menjadi sebuah negara yang juga menarik dibahas
karena karakteristik dari negara ini yang sangat bergantung pada pasar
internasional, mengingat sumber daya alamnya sangat sedikit serta
jumlah penduduknya juga relatif kecil. Sangat bergantungnya Singapura
terhadap pasar internasional dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi
yang sempat terpukul pada 2009 ketika pasar internasional juga sedang
anjlok. Mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,7 persen pada 2007,

86
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Singapura mengalami penurunan dalam pertumbuhan ekonomi pada


2008, di mana mencapai 1,1 persen, lalu puncaknya pada 2009 ketika
pertumbuhan ekonominya mencapai titik negatif (-1.3 persen). Namun,
pada 2010, pertumbuhan ekonomi Singapura mencatat sebuah
“comeback” yang luar biasa ketika pertumbuhan ekonominya mencapai
14,5 persen.
Gambar 5.4. Pertumbuhan GDP Singapura

Sumber: CIA The World Factbook

5.2.3. Indonesia
Indonesia merupakan representasi sisi tengah diantara dua titik
ektrem pertumbuhan ekonomi China dan Singapura, meskipun sedikit
cenderung mirip ekonomi China. Indonesia sebagai negara yang
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup positif dalam
beberapa tahun terakhir, namun dalam kisaran ‘sedang-sedang saja’,
tidak setinggi China dan tidak serendah Singapura saat krisis menerpa.

87
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada kisaran 4-6 persen


juga mengalami dampak negatif dari krisis finansial yang terjadi di
negara-negara maju. Pada 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami penurunan (4,5 persen), walaupun pada akhirnya kembali
meningkat menjadi 6,1 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
tidak begitu fenomenal ini, tingkat kemiskinan pun menurun secara
pelan, tidak secepat di China. Dalam periode 2004-2010, jumlah
penduduk miskin di Indonesia berkurang dari 16,7 persen menjadi 13,3
persen.
Gambar 5.5. Pertumbuhan GDP Indonesia

Sumber: CIA The World Factbook

5.2.4. Momentum Krisis Bagi Asia Timur


Kondisi ekonomi di tiga negara di atas menunjukkan tren yang
berbeda jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi dunia dan negara-
negara maju lainnya. China dan Indonesia tetap bisa menjaga

88
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

pertumbuhan ekonomi, pada masa krisis, dengan pertumbuhan positif.


Hal tersebutlah yang pada akhirnya menyebutkan bahwa negara-
negara emerging countries sebagai mesin ekonomi dunia.
Gambar 5.6. Rata Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan
Berkembang

Sumber: IMF World Economic Database 2010, TCG Analysis

Dari Gambar 5.6 dapat dilihat bahwa negara-negara emerging


economies menjadi mesin bagi pertumbuhan ekonomi dunia disaat
negara-negara maju lainnya mengalami keterpurukan. Dalam
kesempatan lain, Otaviano Canuto, Wakil Presiden Bank Dunia untuk
Pengentasan Kemiskinan dan Manajemen Ekonomi menyebutkan
bahwa negara-negara emerging economies menjadi penyelamat bagi
global ekonomi. Lebih dari itu, negara-negara emerging economies juga
menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan, di mana akan mendorong

89
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

pertumbuhan ekonomi dunia di saat negara-negara berpendapatan


tinggi mengalami stagnansi ekonomi. Asia Timur dianggap sebagai aktor
yang membuat dunia keluar dari krisis ekonomi global.
Kondisi ini memberikan implikasi yang luas terutama dalam
konteks peranan negara-negara emerging economies dalam konstelasi
ekonomi politik internasional. Kondisi tersebut menjadi momentum
bagi dilibatkannya negara-negara emerging economies dalam forum
negara-negara dunia yang bertujuan untuk mengkoordinasikan
kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk membendung krisis ekonomi
sekaligus mencari solusi fundamental dalam membenahi global
financial architecture.
Salah satu keterlibatan peran yang lebih besar dalam
perekonomian dunia dari negara-negara emerging economies tersebut
adalah semakin diberdayakannya forum G-20 yang merepresentasikan
lebih banyak negara dibandingkan forum-forum ekslusif lainnya seperti
G-7 maupun G-8. G-20 sendiri sudah terbentuk sejak 1999 sebagai
respon atas krisis finansial yang pernah melanda negara-negara Asia
Timur tahun 1997. Tetapi, eksistensi G-20 tidak terlalu besar hingga
2008 ketika munculnya krisis keuangan global. Krisis keuangan global
yang bermula dari negara-negara maju dan pada akhirnya menyebar ke
seluruh dunia telah menyadarkan para pemimpin negara-negara maju
untuk membentuk sebuah forum koordinasi yang lebih besar.
G-20 menjadi sebuah cerminan atas terbentuknya sebuah
landscape global governance baru dalam isu perekonomian dunia.
Dilibatkannya negara-negara berkembang dalam sebuah forum
internasional yang mengkoordinasikan kebijakan keuangan
internasional menjadi sebuah momentum bagi terbentuk sebuah global

90
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

financial architecture baru. Seperti yang dijelaskan oleh Leonardo


Martinez-Diaz dan Ngaire Woods ( 2009) bahwa G-20 memiliki arti
penting bagi suara negara berkembang dalam konstelasi ekonomi
politik global. Sebagai contoh, dalam pertemuan ketiga G-20 di
Pittsburgh menghasilkan sebuah komunike yang meminta pergeseran
kekuatan voting, baik di IMF di mana suara negara berkembang
bertambah 5 persen maupun di Bank Dunia yang bertambah 3 persen.

5.2.5. Respons Kebijakan Negara-Negara Asia Timur


Tetap positifnya pertumbuhan ekonomi dari beberapa negara
Asia Timur tidak terlepas dari kebijakan cepat yang dikeluarkan oleh
negara-negara tersebut untuk mengantisipasi krisis yang terjadi.
Negara-negara Asia Tenggara melakukan serangkain kebijakan yang
ditujukan untuk menghadang dampak krisis finansial. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah dengan meningkatkan deposit insurance untuk
menghindari erosi dari Bank Deposits. Lebih dari itu, negara-negara
seperti China, Korea Selatan, Thailand, dan India melakukan injeksi
modal terhadap institusi keuangan. Otoritas moneter di hampir seluruh
negara menerapkan kebijakan untuk memotong rates sejak kuartal
terakhir 2008 dalam upaya untuk menstimulasi domestic demand.
Reserve requirements juga dikurangi di sejumlah negara untuk
meningkatkan likuiditas pada sistem perbankan. Selain itu, negara-
negara Asia Timur juga melakukan kebijakan ekspansi untuk
menghindari dampak dari menurunnya nilai ekspor dengan
meningkatkan konsumsi dan investasi domestik (Akyuz, 2010).
Vikram Nehru (2010) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor
yang membuat negara-negara Asia Timur, khususnya Asia Tengara

91
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

dapat melakukan recovery atas global financial crisis secara cepat.


Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
1. Sebagian besar negara-negara Asia Timur memiliki ekonomi
yang kuat sesaat sebelum terjadi krisis 2008. Hal tersebut dapat
dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rendahnya utang
luar negeri, surplus dari external account, besarnya external
reserves, inflasi yang rendah, dan hanya sedikit atau bahkan
tidak adanya toxic assets dalam sistem perbankan di negara-
negara Asia Tenggara
2. Para pembuat kebijakan membuat kebijakan yang cepat untuk
mengantisapsi dampak dari krisis finansial dunia
3. Besarnya peranan China dalam menstabilkan volume
perdagangan di kawasan Asia Timur
4. Remittances untuk sebagian besar negara-negara di kawasan
Asia Timur tetap sangat kuat

5.3. Dampak Krisis Utang Eropa terhadap Indonesia


Kondisi krisis utang euro area berpotensi menyebar ke kawasan
Asia dan Indonesia. Penularannya menurut Racickas dan Vasiliauskaite
(2011) dapat melalui dua jalur, yaitu melalui variabel fundamental dan
perilaku investor. Penularan risiko keuangan melalui variabel
fundamental, tergambar dari kinerja pasar saham, perdagangan dan
sektor keuangan. Transmisi penularan pada pasar saham diantaranya
melalui perubahan suku bunga dan nilai mata uang. Sementara
pengaruhnya pada perdagangan terlihat pada perubahan harga
komoditas di pasar dunia. Selanjutnya dampak terhadap pasar finansial

92
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

terdeteksi dari perubahan harga asset dan arus modal keluar yang
besar dari pasar-pasar negara berkembang.
Dari jalur perdagangan, krisis dapat menyebabkan penurunan
pendapatan dan penurunan permintaan impor yang kemudian
memengaruhi ekspor, dan neraca perdagangan. Krisis di satu negara
menyebabkan mata uangnya di devaluasi (rezim nilai tukar tetap)
ataupun terdepresiasi (untuk rezim nilai tukar mengambang), maka ini
dapat mengurangi daya saing ekspor relatif dari negara-negara mitra
dagang. Efek devaluasi kompetitif ini menyebabkan tekanan terhadap
mata uang negara-negara lain untuk terdepresiasi atau turun nilainya.
Beberapa rangkaian penurunan kompetitif dapat menyebabkan
depresiasi mata uang yang lebih besar dari yang diperlukan untuk
penurunan fundamental awal.
Hubungan keuangan kawasan yang terintegrasi, krisis di satu
negara memiliki dampak pembiayaan yang langsung pada negara-
negara lain, misalkan penurunan kredit perdagangan, penanaman
modal langsung, dan arus modal. Secara lebih spesifik, krisis dalam satu
negara dapat mengurangi penawaran modal dari negara-negara
tersebut, sehingga mengurangi kemampuan negara dalam
menyediakan pinjaman perbankan dan bentuk lain dari investasi di
negara selanjutnya. Krisis secara tidak langsung juga dapat
memengaruhi penawaran modal melalui pihak ketiga. Untuk negara-
negara yang sangat bergantung pada pendanaan eksternal, kurangnya
arus masuk modal karena efek ini dapat menyebabkan peningkatan
biaya pinjaman dan tekanan pada mata uang untuk depresiasi.
Perembetan didasarkan pada perilaku investor muncul jika
terjadi tumpang tindih, antara teori klasifikasi sebagai penyebab

93
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

fundamental dan perilaku konsumen. Jika perilaku investor rasional,


baik secara individual maupun kolektif, hal ini sering diklasifikasikan
sebagai penyebab fundamental perembetan krisis (seperti hubungan
keuangan). Sementara, jika penyebabnya adalah masalah likuiditas,
insentif, asimetri informasi, koordinasi pasar, dan penilaian kembali
investor, maka hal ini sering diklasifikasikan sebagai penyebab yang
berasal dari perilaku konsumen/investor.
Perekonomian negara berkembang sangat rentan terhadap
krisis keuangan akibat keputusan tiba-tiba investor untuk menarik
dananya dan mengikuti gerakan pasar. Karena hal ini negara
berkembang mengalami pengalaman pahit terhadap serangan mata
uang, yang sangat memengaruhi neraca lembaga keuangan, perbankan,
dan rumah tangga. Sejak Januari 2011, terjadi arus modal keluar masuk
dana yang berpotensi mengakibatkan volatilitas pasar surat berhaga di
kawasan Asia Pasifik. Sejak 2009 investor dari dari negara-negara maju
telah menanamkan modal yang cukup besar di pasar Asia, termasuk
Indonesia dan pasar utang asing lainnya. Likuidasi posisi mereka secara
tiba-tiba dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dan penularan
dapat berpindah dari pasar utang dan saham ke pasar mata uang dan
pasar lainnya (IMF, 2011).
Perbankan Asia telah mengurangi pinjaman dari perbankan dan
negara Eropa sejak Mei 2010, namun penularan tetap dapat terjadi
melalui bank-bank asing, yang menjual asetnya, dan tidak melanjutkan
(roll over) pinjaman yang jatuh tempo, dan mengurangi kredit di Asia
jika mereka mengalami kerugian besar di negara sendiri. Penarikan
tersebut dapat menyebabkan dampak yang besar bagi perekonomian di
Asia yang memiliki hubungan dengan bank-bank Eropa dan Amerika

94
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Serikat. Adapun beberapa skenario penularan krisis yang dapat terjadi


adalah: Pertama, penularan yang didorong dari negara asal bank asing.
Apabila terdapat sektor swasta, misalkan A (Yunani) dan B (Indonesia)
yang terletak di dua negara, meminjam dari sistem perbankan di negara
ketiga, bank C (Jerman). Shock pada A (Yunani) dapat menyebabkan
kesulitan likuiditas dan solvabilitas di bank C (Jerman) apabila bank asal
sangat tergantung pada A (Yunani). Masalah di A (Yunani) juga dapat
menyebabkan penularan pada B (Indonesia) melalui kesulitan yang
dialami bank C (Jerman). Keberadaan bank induk dalam kawasan dapat
menyebabkan transfer shock dari satu negara ke negara lain dalam
kawasan di mana bank induk memiliki operasi subsidiary.
Penularan keuangan tidak hanya berdampak pada pasar ekuitas
dan perbankan di Asia saja, tetapi oleh tekanan keuangan di Eropa yang
menyebabkan kontraksi ekonomi yang besar di euro area dan
perlambatan ekonomi di AS juga dapat berdampak pada perekonomian
riil di Asia, misalkan permintaan domestik dan investasi. Menurut
estimasi dari IMF, apabila pertumbuhan di Uni Eropa turun sebesar 3,5
persen di bawah skenario yang ada sekarang, diikuti perlambatan
ekonomi Amerika serikat selama satu tahun, maka pertumbuhan PDB
emerging Asia dapat turun sebesar 2 persen dari skenario yang ada.
Namun, apabila penurunan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat ini
terjadi selama dua tahun, maka pertumbuhan PDB emerging Asia dapat
menyesuaikan diri dan menurun sebesar 1,5 dari dari skenario awal.
Mengikuti skenario simulasi yang sama, dampak perlambatan
ekonomi euro area dan Amerika Serikat juga dapat menyebabkan
Investasi di emerging Asia turun 6 persen dari skenario baseline yang
ada dalam satu tahun, dan 4 persen dalam dua tahun. Selain itu

95
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

kenaikan nilai tukar (terms of trade) emerging Asia terhadap euro area
dan dolar amerika serikat dapat menjadi salah satu faktor yang
mengurangi ekspor non -komoditas emerging Asia hingga 2-3 persen%
selamat 1-2 tahun ke depan.
Gambar 5.7. Perekonomian ASEAN Terpilih: Ekspor ke China
(Januari 2008=100; 3-bulan moving average)

Sumber: CEIC Data Company Ltd. ; dan IMF, 2011.

Lebih dari itu, efek tidak langsung dari penurunan ekspor China
dapat memperburuk investasi emerging Asia dalam sektor
perdagangan. Pertumbuhan yang lebih rendah dan neraca ekspor yang
semakin memburuk dapat meningkatkan kredit macet bank-bank di
China dan menyebabkan mereka memperketat ketentuan pemberian
kredit (IMF, 2011). Pengetatan kredit yang tiba-tiba juga dapat
menyebabkan koreksi pasar properti, sehingga memengaruhi produsen
sektor hulu (baja dan semen) dan hilir (peralatan rumah tangga).
Investasi yang rendah di China juga dapat memberikan dampak
penularan yang signifikan terhadap eksportir barang-barang modal,

96
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

seperti Korea dan eksportir komoditas ASEAN, seperti Indonesia dan


Malaysia. Harus diingat bahwa perekonomian ASEAN memiliki
hubungan perdagangan yang erat dengan China. Perekonomian ASEAN
telah menjadi pemasok hulu bagi China, yang menciptakan surplus
perdagangan. Namun demikian, perekonomian ASEAN juga menjadi net
importer dari barang-barang konsumsi dari China.

5.3.1. Transmisi Krisis Euro Area ke Indonesia


Menurut Siaran Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia
(2011), outlook perekonomian dunia dan regional 2012 diperkirakan
akan memengaruhi perekonomian Indonesia melalui tiga kejadian
utama, yaitu perlambatan perekonomian dunia, kelanjutan
permasalahan utang negara PIIGS (Portugal, Italia, Irlandia, Yunani dan
Spanyol), serta potensi perlambatan perekonomian Asia. Perekonomian
dunia diperkirakan akan dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan
perekonomian negara-negara maju, tetapi negara-negara ASEAN-5
diperkirakan tetap tumbuh di atas 5 persen. Perlambatan tersebut
diperkirakan akan memengaruhi penurunan pertumbuhan volume
perdagangan dunia dari 7,5 persen (yoy) menjadi 5,8 persen (yoy) pada
2012. Selain itu, permasalahan utang Eropa diperkirakan berlanjut
hingga 2014. Krisis euro area mulai merambat ke sektor perbankan dan
menurunkan tingkat kepercayaan investor. Membaiknya perekonomian
euro area sangat dipengaruhi kesepakatan untuk memangkas utang
Yunani dan meningkatkan dana penyelamatan.
Di Indonesia dampak awal penularan krisis euro area terhadap
sentimen investor dapat terlihat dari pergerakan saham di Bursa Efek
Indonesia. Meskipun memiliki tren yang meningkat sejak Januari 2011,
namun pasar saham Indonesia sempat mengalami koreksi drastis akibat

97
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

berita buruk mengenai perlambatan ekonomi dunia pada 22 September


2011.
Gambar 5.8. Nilai dan Volume Perdagangan IHSG (Januari 2010-
September 2011)

rd
Sumber: IDX Quarterly Statistics, 3 Quarter 2011

Penurunan IHSG dalam satu hari di atas terjadi karena aktivitas


deleveraging, yaitu investor (investor asing) mengalami kesulitan
likuiditas dan menarik dana yang diinvestasikan di Indonesia. Selain itu,
faktor adanya flight to quality, yaitu penyesuaian portfolio dari aset
yang dipandang berisiko ke aset yang lebih aman juga menjadi pemicu
penurunan IHSG. Keadaan ini juga didukung karena sentimen investor
yang mengikuti sentimen investor lain untuk menjadi lebih risk averse,
menyusul adanya berita buruk yang terjadi di pasar keuangan.
Menghadapi ancaman krisis utang Eropa, kondisi neraca
pembayaran Indonesia ditinjau dari sisi eksternal masih cukup baik.

98
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Transaksi berjalan Indonesia menunjukkan nilai positif yang ditunjukkan


dengan nilai ekspor yang lebih tinggi dari nilai Impor. Namun demikian
kondisi ini dapat saja cepat berubah jika kondisi Eropa terus
memburuk. Sementara itu dari sisi keuangan, posisi cadangan devisa
juga berada dalam tingkat yang menggembirakan, di mana debt service
ratio (rasio beban pembayaran utang /debt servie payments dibagi
ekspor) sebesar 21,6 persen.
Tabel 5.2. Indikator Sustainabilitas Eksternal Indonesia
(2010-Semester I 2011)

2010 2011
Indikator
Tw.I Tw.II Tw.III Tw.IV Tw.I Tw.II
Transaksi Berjalan/PDB (%) 1,2 0,8 0,6 0,6 1,1 0,1
Ekspor - Impor Barang dan Jasa/ PDB (%) 3 2,6 3,4 3,4 3,2 2,9
Ekspor + Impor Barang dan Jasa/PDB (%) 44,7 44,7 50,1 50,1 47,8 49,8

Debt Service Ratio (DSR) (%) 21,2 23,2 20,3 23,7 18 21,6
Posisi ULN Total /PDB (%) 30,4 28,7 28,6 28,4 28 28,4
Posisi ULN Jangka Pendek/PDB (%) 6 5,3 5,8 6 6 6,3
Posisi ULN Total /Cadangan Devisa (%) 251,8 240,2 224,5 210,4 198 186,4
Posisi ULN Jangka Pendek /Cadangan
46,1 44,1 45,5 44,6 42,6 41,1
Devisa (%)
Sumber: Laporan Neraca Pembayaran Indonesia. Realisasi Triwulan III-2011

Meskipun cadangan devisa Indonesia terus meningkat, namun


masih banyak terkonsentransi pada satu mata uang tertentu. Cadangan
devisa masih terkonsentrasi dalam valuta asing US$112,9 miliar (94,3
persen dari total cadangan devisa), emas moneter sebesar US$3,5
miliar (3 persen) dan special drawing rights (SDR) sebesar US$ 2,8
miliar (2,4 persen). Mengingat nilai tukar US$ yang juga rentan

99
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

terhadap volatilitas pasar mata uang, ada baiknya pemerintah


mempertimbangkan untuk mendiversifikasi devisa dengan mata uang
lain seperti China Yen atau Swiss Francs.
Selanjutnya di sektor Perbankan, dilihat dari permodalan
perbankan Indonesia masih cukup baik untuk menahan risiko pasar
yang mencakup penurunan nilai Surat Utang Negara, pelemahan nilai
tukar, dan kenaikan suku bunga. Berdasarkan hasil stress test Bank
Indonesia pada September 2011, permodalan bank relatif tahan
terhadap risiko kenaikan suku bunga sebesar 5 persen, sementara CAR
berpotensi turun 70 bps. Keadaan ini menunjukkan CAR perbankan
cukup tahan menghadapi default dari AS dan Eropa.
Dari sisi suku bunga kebijakan, penurunan BI Rate sebesar 50
bps pada 10 November 2011 menjadi 6 persen merupakan respon BI
terhadap rendahnya inflasi dan upaya mendorong intermediasi guna
penguatan ekonomi dalam negeri. Tindakan ini merupakan bagian dari
upaya mengantisipasi dampak penurunan ekonomi global terhadap
kinerja perekonomian Indonesia. Berdasarkan informasi BI, Bank
Indonesia juga akan melakukan penyesuaian terhadap kebijakan tingkat
suku bunga dan campuran kebijakan makro prudensial untuk
mengurangi kemungkinan perlambatan ekonomi tanpa menjauhkan
prioritas untuk menjaga inflasi sesuai target 5 ± 1 persen pada 2011
dan 4,5 ± 1 persen pada 2012. Jika upaya ini berjalan efektif maka
transmisi krisis euro area kemungkinan masih dapat dikendalikan.
Sayangnya, depresiasi nilai tukar rupiah pada triwulan III 2011 (Gambar
5.9) yang menyebabkan rupiah turun 2,42 persen menjadi Rp8.790 per
US$ disertai volatilitas yang meningkat merupakan sinyal bagi BI untuk
meningkatkan kewaspadaan dan kerja lebih keras.

100
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Gambar 5.9. Nilai Tukar Rupiah terhadap US$


(January-September 2011)

Sumber: Recent Economic Developments, Kemenkeu & BI, October 2011

Melihat perkembangan data terbaru dan berbagai catat pada


masing-masing indikator ekonomi yang diamati diatas, maka transmisi
krisis Uni Eropa kalau pun terjadi kemungkinan besar akan berawal dari
pasar saham dan pasar uang. Mengingat kedua indikator ini sangat
fluktuatif dan rentan dengan berbagai isu-isu negatif perekonomian.
Meskipun demikian, sifat kedua indikator ini hanya sementara atau
dalam jangka pendek, jika mampu diredam maka tidak akan menjalar
ke sektor riil. Di luar itu, potensi penjalaran krisis dari sektor
perdagangan juga masih mungkin, terutama jika negara-negara mitra
dagang Indonesia yang terkait langsung dengan Eropa seperti China dan
Jepang ikut terkena imbas krisis.

101
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

5.4. Langkah Antisipasi Krisis Euro Area ke Indonesia


Walaupun kondisi fundamental makro ekonomi Indonesia
cukup kuat untuk menghadapi krisis utang Uni Eropa, namun sistem
ekonomi Indonesia sudah terlanjur liberal dengan tingkat keterkaitan
dengan faktor global yang sangat kuat. Sistem ekonomi yang
diserahkan kepada mekanisme pasar akan rentan terhadap perubahan
kondisi pasar itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada jaminan kondisi
fundamental ekonomi Indonesia yang kuat ini akan berhasil
menghadapi mekanisme dan perubahan kondisi pasar.
Tepat tidaknya strategi kebijakan yang sudah dipersiapkan
pemerintah dalam menghadapi badai krisis kali ini baru bisa dinilai dari
implementasinya nanti. INDEF memiliki kaca mata sendiri dalam
memahami dan menyusun langkah strategis dalam rangka menangkal
dampak krisis utang Uni Eropa ini.
Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan ekonomi Indonesia
terletak dari sisi konsumsi domestik yang sangat kuat, maka strategi
pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menjaga atau
bahkan meningkatkan kekuatan ini. Sisi konsumsi ekonomi Indonesia
ditopang oleh kelas menengah yang sejak zaman Orde Baru telah
meningkat pesat. Kelas menengah tersebut pada saat ini menjadi
lokomotif ekonomi, yang mendorong sisi konsumsi. Sekitar 20 persen
dari kelas menengah ini mempunyai daya beli (buying power) yang
besar dan mendorong ekonomi. Kelas menengah ini muncul sebagai
para entrepreneur yang menggerakkan sektor riil. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan dan menumbuhkembangkan kelas menengah ini
perlu dibuat program pemberdayaan ekonomi yang mampu
menciptakan para entrepreneur baru dan menaikkan status

102
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

entrepreneur lama menjadi kelas bisnis global. Dengan bertambahnya


kelas menengah yang memiliki daya beli yang tinggi maka ekonomi
Indonesia akan semakin kuat.
Setali dengan penambahan kelas menengah, maka pengurangan
daya beli yang disebabkan oleh laju inflasi harus ditekan sekecil
mungkin. Pada 2012 nanti pemerintah harus bekerja lebih keras
mengingat volatilitas harga minyak mentah dunia dan harga pangan
acap kali mengganggu kestabilan inflasi. Di samping itu, konsumsi BBM
yang terus meningkat akan menjadi beban tambahan bagi anggaran
pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah harus sangat hati-hati dalam
membuat kebijakan untuk merespon berbagai perubahan yang terjadi.
Hal ini disebabkan pemerintah menghadapi paradoks perubahan harga
minyak dalam dua sisi. Menaikkan harga eceran Bahan Bakar Minyak
(BBM) akan mengurangi disposible income kelas menengah untuk
belanja barang dan jasa lain, dan menimbulkan efek pengurangan
kekayaan sehingga mereka akan mengurangi konsumsinya. Tetapi di sisi
lain, ‘mendiamkan’ harga eceran BBM akan menambah beban
anggaran pemerintah sehingga ruang gerak pemerintah akan
terhambat.
Langkah berikutnya adalah melakukan diversifikasi negara
tujuan ekspor terutama untuk negara-negara yang potensial terkena
krisis dan negara-negara yang memiliki hubungan erat dengan negara
yang terkena dampak krisis, “tidak menyimpan telur dalam satu
keranjang”. Negara dengan status adidaya dengan fundamental
ekonomi yang dikenal kuat oleh dunia tidak menjamin negara tersebut
terbebas dari ancaman krisis ekonomi. Oleh karena itu, negara tujuan
ekspor tidak boleh terpusat pada negara-negara maju tertentu. Di

103
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

samping itu, negara-negara yang mempunyai kaitan kuat dengan


negara-negara yang berpotensi krisis juga akan menularkan virus krisis
yang sama.
Langkah penting lainnya adalah meningkatkan investasi di
sektor riil. Langkah ini sudah tidak asing lagi dan bahkan sudah menjadi
resep umum para ekonom dalam menghadapi potensi krisis, namun
resep umum ini sepertinya sangat sulit untuk diciptakan oleh
pemerintah. Walaupun secara nilai tren realisasi investasi PMA setiap
tahunnya naik namun ada beberapa catatan penting yang patut
menjadi perhatian pemerintah. Pada 2011 ini Indeks Iklim Usaha untuk
2012 menurun dari ranking 126 ke 129 dari 183 negara yang disurvei
(IFC/International Finance Corporation, 2011). Level ini merupakan
kelompok yang terburuk karena menunjukkan bahwa peranan negara
dan birokrasi gagal menjadi mitra para investor bahkan negara menjadi
pengganggu bagi dunia usaha.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan meningkatkan government expenditure untuk sektor-
sektor strategis. Alokasi anggaran harus benar-benar diarahkan pada
sektor yang akan menghasilkan dampak ekonomi terbesar sehingga
pengeluaran pemerintah benar-benar efektif dan efisien. Selama ini
pengeluaran pemerintah hanya sekadar rutinitas menjalankan fungsi
dari negara tanpa melihat substansi dan fungsi dan anggaran tersebut.
Sehingga, tidak ada transformasi yang memadai dalam perekonomian
Indonesia selama satu dekade terakhir ini, di mana separuh penduduk
masih berada di sektor pertanian. Pertumbuhan sektor industri rendah
dan mengalami deindustrialisasi karena tidak ada industrial policy
selama lima tahun terakhir. Separuh dari sektor industri bertumbuh

104
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

rendah, stagnan dan negatif. Akibatnya terjadi displacement tenaga


kerja formal di sektor ini ke sektor informal, yang pendapatannya
rendah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa selama ini politik
anggaran pemerintah tidak menghasilkan dampak signifikan.
Pertumbuhan kelas menengah terjadi karena usaha mereka sendiri
tanpa peran serta dari pemerintah.
Langkah-langkah yang sepertinya sudah tidak asing tetapi
sangat sulit dilaksanakan oleh pemerintah karena di dalam sistem
ekonomi politik Indonesia selalu terjadi tarik ulur kepentingan yang
berakhir dengan transaksi politik. Syarat cukup untuk mencegah badai
krisis ekonomi ini masuk ke Indonesia adalah menciptakan negara, yang
menurut Gunnar Myrdal, bukan negara soft states (negara lembek).
Soft states di sini bukan berarti pemerintahan negara yang
bersangkutan lemah dan tidak berdaya, namun istilah tersebut lebih
mengacu pada sikap pemerintah dan elit politik yang tidak memiliki niat
dan keinginan untuk mewujudkan tujuan negara dan kesejahteraan
masyarakatnya. Untuk itu diperlukan kerjasama yang efektif antara
eksekutif, legislatif dan dunia usaha dalam bingkai kelembagaan yang
bersih agar dapat terhindar dari krisis kali ini.

105
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 6
MP3EI dan Penguatan Ekonomi Domestik

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak kunjung memberikan


kesejahteraan yang nyata dan merata bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia. Meskipun rata-rata angka pertumbuhan ekonomi selama
beberapa tahun terakhir sudah melebihi 5 persen, namun dampak bagi
kesejahteraan masih minim dirasakan. Di sisi lain, untuk negara
kepulauan seluas Indonesia, perekonomian yang hanya didominasi oleh
kontribusi wilayah Pulau Jawa turut menghambat terdistribusikannya
kesejahteraan. Persoalan ini menjadi salah satu hal yang
melatarbelakangi pemerintah membuat kebijakan Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2011-2025.
Berlandaskan semangat “Not Business As Usual” dokumen yang
dirilis Kementerian Koordinator Perekonomian pada Mei 2011 ini
berusaha mendobrak mati surinya transformasi ekonomi yang berjalan
lambat selama ini. MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong
Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 negara terbesar di
dunia pada 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif,
berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapainya diharapkan
pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara
berkelanjutan.

107
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Cita-cita MP3EI cukup menjadi harapan, namun terlihat


mengawang-awang jika dikomparasi dengan realitas ekonomi yang
terjadi saat ini. Harapan pemerintah untuk menuju pada kondisi
perekonomian yang lebih baik patut diapresiasi, tetapi rasionalisasi
terhadap terwujudnya harapan tersebut harus tetap dikedepankan. Ini
dilakukan agar harapan tidak jauh dari kenyataan. Sebab, jika suatu
perencanaan sudah terlalu jauh dari realitas, maka di samping sangat
sulit untuk mewujudkan, juga akan terlalu banyak energi pembangunan
yang tercurah secara tidak efisien. Bagi rakyat tentunya lebih baik
target perekonomian yang rasional namun terealisasi dengan baik,
daripada meletakkan perekonomian pada tumpuan angan-angan yang
sulit direalisasikan. Singkatnya, kemauan besar harus diikuti tindakan
yang besar pula.

6.1. MP3EI: Rencana di Atas Rencana


Apakah target menjadi negara maju dan termasuk 10 negara
terbesar di dunia pada 2025 merupakan suatu hal yang mustahil? Tentu
saja jika pertanyaan ini diajukan maka jawabnya adalah tidak mustahil.
Jika cita-cita pencapaian pada 2025 dapat tercapai, baik
disengaja/direncanakan maupun karena kebetulan, tentu semua pihak
akan senang mendengarnya. Apalagi jika pencapaian tersebut
diperoleh melalui sebuah perencanaan yang baik, tentu akan lebih
membanggakan lagi.
Namun, sama seperti ketidakmustahilan target MP3EI untuk
menjadi 10 negara terbesar di dunia pada 2025, dokumen perencanaan
tersebut juga tidak mustahil untuk dikritisi. Tujuan utamanya tentu saja
untuk mengoreksi dan mempertajam apa yang seharusnya dilakukan
oleh pemerintah untuk menjadi 10 negara terbesar pada 2025

108
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

tersebut. Hal ini mengingat rencana ekonomi tahunan dan berjangka


pendek pun juga sering tidak luput dari berbagai revisi target
pencapaian karena mempertimbangkan dinamika terbaru yang
melingkupinya. Contohnya adalah penyesuaian APBN yang sering
terjadi pada semester kedua yang melahirkan munculnya APBN
Perubahan (APBN-P).
Sejatinya, melalui UU No. 25/2004 dan UU No. 17/2003 tentang
Sistem Perencanaan dan Penganggaran, yang selanjutnya
diterjemahkan menjadi RPJPN 2005-2025, RPJMN 2010-2014, serta
RKP/APBN Pemerintah telah dibekali dokumen perencanaan yang
cukup untuk membangun perekonomian. Memposisikan MP3EI sebagai
bagian integral dari dokumen-dokumen yang sudah terlebih dahulu ada
dan disepakati justru berpotensi mengaburkan fokus pembangunan
yang sudah direncanakan.
Pemerintah berargumentasi bahwa lahirnya MP3EI bukan
dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan
yang telah ada, namun menjadi dokumen yang terintegrasi dan
komplementer serta secara khusus untuk melakukan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi (Kemenko Perekonomian, 2011).
Pasalnya, di luar MP3EI Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga
yang dibentuk juga berkewajiban menjalankan dokumen RKP (Rencana
Kerja Pemerintah), RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional), serta RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional). Dari hal ini terlihat akan keraguan Pemerintah dengan
berbagai dokumen perencanaan yang sudah dibuat untuk mencapai
target pembangunan, sehingga masih memerlukan MP3EI.
Dokumen RKP, RPJMN, dan RPJPN merupakan representasi
perencanaan bottom up yang seyogyanya menjadi pedoman utama

109
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

bagi pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan. Terlepas dari


koordinasi yang kurang berjalan secara optimal, ketiga dokumen
tersebut dianggap dijalankan dengan semangat “business as usual”
sehingga belum cukup mampu mengakomodasi upaya serius
Pemerintah. Dampaknya tentu saja pemerintah beranggapan bahwa
dokumen perencanaan RKP/RPJMN/RPJPN dianggap kurang mampu
menjangkau target ekonomi yang ditetapkan.
Sungguh suatu hal yang sangat aneh ketika pemerintah
berusaha menjadikan dokumen perencanaan MP3EI -di mana target di
dalamnya sangat spekulatif- justru menjadi komplemen bagi
perencanaan yang sudah tersusun secara lebih komprehensif. Jika
analisisnya di balik, yaitu bahwa dalam merencanakan RKP saja masih
belum optimal dan sering kali tidak secara tepat dalam menerapkan
pendekatan bottom up, apalagi merencanakan MP3EI yang
tantangannya lebih kompleks. Dengan kata lain, membuat perencanaan
yang bersifat “business as usual” saja masih banyak dijumpai berbagai
kelemahan, bagaimana masyarakat akan percaya pada perencanaan
yang bersifat “Not Business As Usual”. Tanpa mengerdilkan
penghargaan atas upaya pemikiran yang telah menghasilkan konsep
MP3EI, dokumen perencanaan ini masih perlu banyak penyempurnaan.
Lebih dari itu, pengalaman empiris sejak Indonesia merdeka
membuktikan bahwa banyak dokumen perencanaan yang sudah
dibuat, namun masih minim yang diimplementasikan dengan cukup
baik. Sebuah kondisi yang pada akhirnya menyebabkan seringkali
rencana meleset dari target yang sudah ditetapkan. Untuk itu agar
dokumen MP3EI tidak menjadi “rencana di atas rencana”, maka yang
lebih diperlukan untuk memacu perekonomian saat ini adalah

110
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

penajaman RKP/RPJMN/RPJPN agar lebih implementatif dan terukur


targetnya. Jangan sampai lahirnya MP3EI justru memperluas resistensi
birokrasi, mengingat persoalan birokrasi masih merupakan salah satu
permasalahan yang menghambat kinerja perekonomian saat ini.

6.2. Sebuah Gebrakan Pencitraan Minim Persiapan


Melihat konsistensi antara realitas ekonomi dan target
spekulatif yang ingin dicapai MP3EI, dapat dikatakan bahwa
kemunculan dokumen ini lebih bersifat politis daripada pertimbangan
ekonomi semata. Tentu bukanlah hal yang haram bagi Lembaga
Eksekutif/Pemerintah untuk mengeluarkan dokumen perencanaan di
luar RKP/RPJMN. Hanya saja persoalan perencanaan pembangunan
yang membuat transformasi ekonomi tidak berjalan sebagaimana
mestinya adalah persoalan implementasi kebijakan. Jadi pada saat
implementasi menjadi kata kunci bagi pemecahan persoalan
pembangunan ekonomi, tidak elegan rasanya jika masyarakat justru
disuguhi target-target rencana imajinatif-spekulatif yang belum terukur
tingkat keberhasilannya secara akurat.
Di saat masyarakat mengharapkan percepatan transformasi
ekonomi, terutama bersumber dari implementasi kinerja RKP/RPJMN
yang semakin implementatif, justru yang terjadi sebaliknya, fokus
pembangunan semakin kabur karena tumpang-tindih rencana yang
ada. Jelas, dokumen RKP lebih representatif atas aspirasi rakyat
mengingat dokumen ini disusun atas pertimbangan banyak unsur.
Sayangnya, pemerintah lebih asik pada berbagai pembuatan rencana-
rencana baru ketimbang segera memulai aksi kerja keras
mengimplementasikan rencana yang sudah ada.

111
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Harus dipertimbangkan pula bahwa berbagai target ekonomi


yang sudah terlanjur dikemukakan ke publik suatu saat akan ditagih.
Pada saat itu Pemerintah harus dapat menjelaskan, khususnya jika
rencana belum dapat tercapai. Membuat perencanaan yang terlalu
ambisius dengan sisa waktu pemerintahan yang ada saat ini justru
kontraproduktif dengan rencana-rencana pembangunan ekonomi
sebelumnya yang sudah disusun secara lebih matang.
Ketiadaan fokus prioritas pembangunan dalam MP3EI juga
berpretensi bahwa rencana-rencana yang ada di dalam dapat tidak
tercapai. Berbagai proyek-proyek yang ditawarkan dalam MP3EI
terkesan lebih sebagai kompilasi proyek-proyek yang memang sudah
akan berjalan di berbagai kementerian daripada merupakan disain baru
dari pemerintah. Sehingga dapat dikatakan dokumen ini merupakan
kompilasi proyek yang sudah ada dengan bungkus publikasi politis
pencitraan. Dengan harapan, masyarakat akan nyaman dengan rencana
dan janji yang ada, meskipun janji atau target tersebut disertai poin
demi poin prasyarat pencapaian MP3EI yang terlalu ideal dan masih
sangat jauh dari realitas. Masyarakat tentu sudah cukup cerdas
menilainya, mana yang rasional dan mana yang imajinatif.

6.3. Dukungan MP3EI Bagi Penguatan Ekonomi Domestik


Sejak terlahir sebagai negara yang berdaulat, Indonesia telah
mengalami berbagai perubahan di bidang pembangunan ekonomi.
Dari sebuah negara yang perekonomiannya berbasis kegiatan
pertanian tradisional, saat ini Indonesia sudah menjadi negara yang
memiliki proporsi industri manufaktur dan jasa yang lebih besar.
Kemajuan ekonomi juga membawa peningkatan kesejahteraan

112
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

masyarakat, yang tercermin tidak saja dalam peningkatan


pendapatan per kapita, namun juga dalam perbaikan berbagai
indikator sosial dan ekonomi lainnya termasuk Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Dalam periode 1980 dan 2010, IPM Indonesia
meningkat dari 0,39 ke 0,60.
Indonesia juga memainkan peran yang makin besar dalam
perekonomian global. Tingkat keterbukaan ekonomi Indonesia juga
memperlihatkan kecenderungan yang meningkat (data perdagangan
dan investasi). Keterlibatan Indonesia pun sangat diharapkan dalam
berbagai forum global dan regional, seperti ASEAN, APEC, G-20, dan
berbagai kerjasama bilateral lainnya. Keberhasilan Indonesia
melewati krisis ekonomi global 2008 mendapatkan apresiasi positif
dari berbagai lembaga internasional. Hal ini tercermin dengan
perbaikan peringkat utang Indonesia di saat peringkat negara-negara
lain justru mengalami penurunan.
Di sisi lain, tantangan ke depan pembangunan ekonomi
Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi
domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap
terhadap perubahan. Keberadaan Indonesia di pusat baru
gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia
Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri lebih baik
lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan
hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah menganggap
diperlukan suatu dokumen komplementer untuk RPJM, yaitu
berupa masterplan untuk mempercepat pembangunan

113
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

ekonomi Indonesia. Pada akhirnya terbentuklah dokumen


Penyusunan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI disusun antara lain untuk
memberikan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga 2025.
Melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini,
perwujudan kualitas pembangunan manusia Indonesia sebagai
bangsa yang maju tidak saja melalui peningkatan pendapatan dan
daya beli semata, namun dibarengi dengan membaiknya pemerataan
dan kualitas hidup seluruh bangsa.

6.4. Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Agroindustri


Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam.
Sumber daya alam (baik renewable dan non renewable) merupakan
sumber daya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia.
Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumber daya tersebut akan
berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia di
muka bumi (Fauzi, 2004). Kekayaan sumber daya alam Indonesia ini
pula yang menyebabkan Indonesia dijajah selama berabad-abad oleh
negara Belanda dan juga selama tiga setengah tahun oleh negara
Jepang.
Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah
sektor pertanian. Pertanian dalam arti luas mencakup semua kegiatan
yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup untuk kepentingan
manusia, Lazimnya sektor pertanian dalam arti luas diklasifikasikan
menjadi sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan,
peternakan dan hasilnya, kehutanan dan perikanan. Pemanfaatan
kelima sub sektor tersebut tidak hanya dalam bentuk mentah (hulu)

114
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

melainkan dapat lebih dioptimalisasi hingga dalam bentuk


olahan/manufaktur (hilir).
Melimpahnya kekayaan sumber daya alam yang dimiliki
Indonesia seharusnya mampu menopang perekonomian nasional yang
kokoh. Struktur ekonomi yang kokoh dapat berdasarkan pada basis
ketersediaan sumber daya alam dan produk unggulan yang dapat
diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Pendekatan yang dilakukan
mengacu pada konsep pengembangan ekonomi lokal, yang pada
prinsipnya mengandung makna bahwa penguatan ekonomi diarahkan
pada upaya untuk secara optimal mengelola dan mendayagunakan
potensi sumber daya.
Pada dasarnya penguatan ekonomi domestik ditujukan untuk
mewujudkan kemandirian masyarakat. Untuk itu aspek
penanganannya sebaiknya meliputi: 1) Optimalisasi pemanfataan
sumber daya alam, yang diiringi dengan upaya peningkatan kualitas
produksi dan pengembangan pemasaran hasil produksi dan produk
unggulan daerah; 2) Pelibatan dan peningkatan daya saing (keahlian)
dan jiwa kewirausahaan masyarakat dalam mengelola sumber daya
alam; 3) Peningkatan dan pengembangan daya dukung sumber daya
buatan (prasarana dan sarana) dalam menunjang pengelolaan sumber
daya alam dan pengembangan kualitas masyarakat.
Sebagaimana diketahui, bahwa struktur perekonomian
Indonesia saat ini bertumpu pada sektor industri. Sektor Industri
memberikan kontribusi tertinggi pada perekonomian nasional (Tabel
6.1). Kontribusi sektor Industri mencapai 24,2 persen pada 2010.
Namun peranan yang besar ini belum sejalan dengan
kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja tertinggi

115
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

masih terserap pada sektor pertanian. Disatu sisi, kemampuan


masyarakat secara keseluruhan belum mendukung untuk dikerahkan
dalam kegiatan usaha industri yang menuntut keahlian dan
profesionalisme kerja. Selain itu, tingkat pemanfaatan sumber daya
lokal sektor industri yang berkembang saat ini masih rendah,
sehingga dapat dikatakan multiplier effects yang diberikan sektor
industri masih kurang signifikan bagi sektor-sektor ekonomi lainnya.
Tabel 6.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Dalam rangka pencapaian target untuk mempercepat


pertumbuhan ekonomi nasional selama periode 2011-2025,
sebagaimana tertuang dalam dokumen MP3EI, penguatan ekonomi
domestik seharusnya diorientasikan melalui upaya pengembangan
p o t e n s i ekonomi lokal. Melalui pengembangan ekonomi domestik
demi mencapai penguatan ekonomi, kegiatan-kegiatan usaha yang
akan diberdayakan dan dikembangkan setidaknya memenuhi

116
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

ketentuan, yaitu: 1)) dukungan ketersediaan sumber daya alam lokal


lo dan
produk unggulan daerah yang dapat dimanfaatkan atau diolah; d 2)
penyerapan tenagaga kerja lokal (khususnya masyarakat perdessaan dan
masyarakat kurang
ng mampu); serta 3) dukungan prasarana dan sarana
s
dalam rangka pengelolaan dan pengembangan usaha.
Gambar 6.1.
1. Penguatan Struktur Ekonomi Berbasis Sumber daya

Sumber: Rencana Pembanguna Jangka Menengah Propinsi Banten, 2011

Untuk dapat
dap menjalankan strategi pokok ”peenguatan
ekonomi domestik berbasis agroindustri”, maka prioritas
pembangunan difo
fokuskan kepada:

117
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

1. Pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian (tanaman


pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan,
kelautan, kebudayaan dan pariwisata;
2. Penataan ulang struktur industri yang berdaya saing dengan
prioritas penggunaan bahan baku lokal unggulan;
3. Pengembangan kapasitas kelembagaan sosial-ekonomi berbasis
masyarakat.
Berdasarkan argumen tersebut penguatan ekonomi domestik
melalui agroindustri dinilai sangat perlu, karena basis ekonomi
Indonesia adalah sumber daya sehingga sangat penting untuk
mengembangkan ekonomi sumber daya (terbarukan) dari hulu hingga
hilir. Pengembangan ekonomi sumber daya diyakini sebagai cara paling
rasional, realistis, dan tepat untuk mempercepat pertumbuhan dan
perluasan perekonomian.

6.4.1. Identifikasi Agroindustri Nasional (Peranan sektor pertanian


terhadap Agroindustri)
Daya saing Indonesia hingga saat ini masih terletak pada
komoditas primer. Artinya Indonesia secara umum hanya unggul pada
ekspor barang mentah (produk hulu) yang bernilai tambah rendah. Hal
ini diperkuat oleh hasil penelitian Oktaviani, et al. Dari hasil penelitian
yang menggunakan model dan data Input Output dengan beberapa
indikator seperti keterkaitan ke belakang atau keterkaitan ke depan,
dapat digunakan untuk mengetahui inter industry connectivity selama
periode 1995-2008. Initial condition pola industri pada 1995
menunjukkan bahwa indeks keterkaitan ke belakang industri dengan
fokus industri pengolahan Indonesia berkisar antara 1,00 sampai

118
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

dengan 1,17. Jika dilihat berdasarkan perubahan nilai indeks


keterkaitan ke belakangnya pada kurun waktu 1995 sampai dengan
2008, sebagian besar agro based industries mengalami penurunan
indeks keterkaitan ke belakang (IKKB). Penurunan keterkaitan ke
belakang menunjukkan ketidakmampuan agro based industries untuk
menarik pertumbuhan sektor pertanian on farm, sehingga menguatkan
justifikasi bahwa skema FTA akan hadir sebagai tantangan yang berat
karena kondisi eksisting daya saing internal dari agro based industries
Indonesia yang lemah dari sisi nilai tambah. FTA hanya mengandalkan
komoditas primer pertanian yang mempunyai nilai tambah yang rendah
dan komoditas bersifat homogen sehingga sangat rentan terhadap
fluktuasi harga internasional. Sementara itu, non agro based industries
berbasis komoditas pertambangan dan minyak serta gas bumi juga
memiliki tendensi untuk menurun semenjak periode 2000-2005
meskipun dengan magnitude yang relatif “moderat” apabila
dibandingkan dengan agro based industries. Baik agrio based maupun
non agri-based industry Indonesia ternyata masih bertumpu pada
sumber daya alam. Keunggulan komparatif yang hanya berdasarkan
sumber daya alam sangat rentan karena daya dukung sumber daya
alam akan sulit dipertahankan. Kenggulan komparatif seharusnya
berdasarkan kemampuan teknologi untuk menciptakan produk yang
berbeda (product differentiated) sehingga bisa menentukan harga di
tengah pasar persaingan sempurna (monopolistic competition).

119
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tabel 6.2. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakang Agrobased


Industries Indonesia pada Periode 1995-2008

Perubahan
1995- 2000- 2003- 2005-
Sektor 1995 2000 2003 2005 2008
Industri pengolahan dan pengawetan
1.17 0.06 -0.03 -0.03 -0.48
makanan
Industri minyak dan lemak 1.16 0.01 -0.05 0.11 -0.58
Industri penggilingan padi 1.34 -0.19 -0.02 0.05 -0.41
Industri tepung, segala jenis 1.19 0.01 0.05 0.00 -0.55
Industri gula 1.03 0.12 0.02 0.01 -0.45
Industri makanan lainnya 1.17 0.00 -0.02 0.05 -0.53
Industri minuman 1.18 -0.09 -0.04 0.15 -0.58
Industri rokok 1.00 -0.06 0.00 0.00 -0.56
Industri pemintalan 1.27 0.02 0.03 -0.02 -0.61
Industri tekstil, pakaian dan kulit 1.41 -0.12 0.05 -0.06 -0.67
Industri bambu, kayu dan rotan 1.20 -0.03 -0.08 0.03 -0.54
Industri kertas, barang dari kertas
1.26 0.04 -0.07 0.05 -0.64
karton
Industri pupuk dan pestisida 1.38 -0.30 0.25 -0.28 -0.38
Industri kimia 1.35 -0.21 0.27 -0.21 -0.49
Pengilangan minyak 0.96 -0.10 -0.01 -0.04 -0.39
Industri barang karet dan plastik 1.39 -0.12 0.11 -0.06 -0.59
Industri barang-barang dari mineral
1.11 -0.03 -0.05 0.02 -0.54
bukan logam
Industri semen 1.12 -0.02 -0.20 0.17 -0.48
Industri dasar besi dan baja 1.16 0.16 -0.07 0.07 -0.58
Industri logam dasar bukan besi 1.24 -0.05 -0.12 0.17 -0.49
Industri barang dari logam 1.28 0.02 0.23 -0.28 -0.73
Industri mesin, alat-alat dan
1.47 -0.11 0.00 0.01 -0.66
perlengkapan listrik
Industri alat pengangkutan dan
1.30 -0.11 0.02 0.04 -0.66
perbaikannya
Industri barang lain yang belum
1.27 -0.01 0.00 0.05 -0.63
digolongkan dimanapun

Sumber: Tabel Input Output 1995, 2000, 2003, 2005 dan 2008 (Diolah)

120
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Struktur industri di Indonesia tidak memiliki linkage


improvement yang berarti selama lebih dari sepuluh tahun (1995-
2008). Hal tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu lambatnya
perbaikan atau pengembangan teknologi pada industri di Indonesia
atau sumber data yang kurang baik. Apapun yang benar-benar terjadi
di antara kedua kemungkinan tersebut maka implikasinya sangatlah
tidak baik bagi perkembangan daya saing industri pengolahan
Indonesia. Jika ternyata penyebab tidak adanya perubahan pada
industri pengolahan di Indonesia selama periode 1995-2008 adalah
lambatnya perbaikan atau pengembangan teknologi, maka hal ini
menjadi peringatan bagi pemerintah dan pelaku industri akan resistansi
dan daya saing industri.
Saat ini, semua negara memperbaiki struktur industri di negara
mereka masing-masing mengingat semakin terintegrasinya
perekonomian dunia. Bagaimana Indonesia mampu bersaing atau
paling tidak mampu bertahan dari ”shock” yang berasal dari negara-
negara lain jika dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun tidak ada
perbaikan teknologi yang cukup berarti. Berdasarkan teori
pertumbuhan ekonomi Solow, perbaikan teknologi merupakan hal yang
harus dilakukan jika suatu negara ingin terus tumbuh dalam jangka
panjang dan memberikan peluang untuk meraih keuntungan yang
positif dan berkesinambungan dari skema FTA.

6.4.2. Identifikasi Permasalahan Agroindustri


Permasalahan yang ada pada sektor agroindustri tidak lepas dari
lemahnya peranan sektor pertanian yang kurang memberi dukungan
terhadap input faktor produksi yang berkualitas dan berdaya saing. Sektor

121
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

pertanian yang merupakan basis dari agroindustri, masih memiliki potensi


untuk ditingkatkan. Permasalahannya, sektor pertanian masih
menghadapi berbagai masalah klasik seperti rendahnya produktivitas,
efisiensi usaha, konversi lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana
pertanian, serta terbatasnya kredit dan infrastruktur pertanian. Selain
permasalahan yang bersumber dari sektor pertanian, pengembangan
sektor agroindustri juga menghadapi permasalahan utama yaitu
lemahnya daya saing sektor agroindustri. Secara umum peringkat daya
saing Indonesia menurut World Economic Forum turun dari 44 menjadi
46. Rendahnya daya saing industri disebabkan oleh :
(i) Hambatan Infrastruktur dan Logistik.
Infrastruktur merupakan sarana pendukung yang sangat vital bagi
kemajuan sektor agroindustri, terutama guna menjamin
kelancaran arus barang dan mengurangi biaya transaksi atau
ekonomi biaya tinggi. Sayangnya, sarana infrastruktur yang
dibutuhkan untuk pengembangan agroindustri seperti transportasi
(jalan, perkeretaapian, pelabuhan, bandara) serta infrastruktur
energi (listrik dan pasokan gas) sangat terbatas. World Economic
Forum (WEF) mencatat dukungan infrastruktur Indonesia
menempati posisi ke-76 dari 142 negara. Demikian juga untuk
dukungan bidang logistik (pergudangan), survey Logistics
Performance Index (LPI) tahun 2010 Bank Dunia, menempatkan
Indonesia pada posisi ke 75 dari 150 negara. LPI Indonesia
mengalami penurunan dari tahun 2009 yang berada pada posisi
43. Apalagi biaya logistik di Indonesia sangat tinggi, hal tersebut
dapat dilihat dari peringkat dunia dimana Indonesia berada di
peringkat 92 dari total 150 negara.

122
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

(ii) Hambatan Perkembangan Teknologi


Teknologi merupakan faktor yang memiliki peranan sangat
penting dalam menghasilkan output produksi, karena teknologi
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat output
sepanjang waktu. Sayangnya perkembangan teknologi di
Indonesia lamban dan masih tertinggal. Dalam laporan Global
Competitiveness Index 2011-2012 Indonesia menduduki peringkat
94 dari 140 negara dalam hal kesiapan teknologi, dibawah
Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam.
Lambannya perkembangan teknologi terlihat dari penggunaan
mesin-mesin industri yang sudah berumur tua. Hal tersebut
berakibat pada turunnya produkstivitas output yang berimbas
pada semakin buruknya kinerja industri dan lemahnya struktur
industri.
(iii) Ekonomi Biaya Tinggi
Salah satu hambatan industrialisasi bagi kebanyakan negara
berkembang adalah inefisiensi produksi. Inefisiensi produksi
terjadi akibat dari timbulnya biaya-biaya yang tidak seharusnya
terjadi pada proses produksi sehingga berakibat ekonomi biaya
tinggi. Ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu masalah yang
menyebabkan terjadinya penurunan daya saing industri nasional.
Penyebab turunnya daya saing Indonesia diindikasikan dari
masih maraknya praktek pungutan liar yang menyebabkan
terjadinya ekonomi biaya tinggi pada kegiatan-kegiatan di sektor
industri.
(iv) Hambatan Pembiayaan
Kesulitan pembiayaan sering dihadapi oleh industri skala kecil
dan menengah (IKM). Kesulitan IKM terhadap akses pembiayaan,

123
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

antara lain disebabkan adanya kesenjangan informasi, risiko


intrinsik yang lebih besar, dan biaya transaksi yang besar.
Penyedia dana eksternal lebih enggan menyediakan dana bagi
industri kecil dan menengah karena dianggap sebagai
perusahaan yang lebih berisiko, karena (i) IKM menghadapi
lingkungan persaingan yang lebih tidak pasti dibandingkan
dengan perusahaan besar, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat
laba yang lebih beragam dan tingkat kegagalan yang lebih tinggi,
(ii) IKM memiliki SDM dan modal kurang memadai untuk men-
gatasi gejolak ekonomi, (iii) risiko yang ada dalam anggapan para
penyedia pembiayaan diperbesar oleh sistem akuntasi yang tidak
memadai, yang mengurangi aksesibilitas dan reliabilitas
informasi tentang profitabilitas dan kemampuan membayar
utang.
(v) Tingginya Impor Bahan Baku dan Penolong
Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate) dan
komponen untuk seluruh agroindustri masih tinggi. Tingginya
kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi
terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang
mengalir pada perekonomian domestik.
(vi) Regulasi yang Menghambat
Sejauh ini perkembangan industri di Indonesia masih banyak
dihambat oleh regulasi atau aturan birokrasi yang dinilai
menyulitkan investor. Berdasarkan survei Bank Dunia, pada 2011
peringkat Doing Business Indonesia berada diperingkat 155. Di
ASEAN, peringkat doing business Indonesia masih lebih rendah dari
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam. Indonesia
hanya sedikit lebih baik dari Filipina, Kamboja dan Laos. Contoh

124
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

regulasi yang menghambat perkembangan industri misalnya


regulasi yang terkait proses perizinan dan kepastian usaha.

6.4.3. Kebijakan Umum Sektor Agroindustri


Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan, maka
diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat untuk pengembangan sektor
agroindustri. Beberapa kebijakan dan strategi yang harus segera dilakukan
antara lain :
1. Mempercepat hilirasasi industri agro. Beberapa kebijakan
untuk mempercepat hilirisasi antara lain: (a) Kebijakan
perdagangan untuk menghambat ekspor bahan mentah sebagai
bahan baku industri agro, agar terjadi stabilisasi harga bahan
baku dan jaminan ketersediaan bahan baku untuk industri
dalam negeri; (b) Kemudahan perijinan usaha/investasi dan
kepastian usaha, (c) Pengembangan agroindustri di daerah
sumber bahan baku agar petani dapat menikmati nilai tambah,
(d) pembangunan infrastruktur yang vital bagi pengembangan
industri agro.
2. Insentif non fiskal dan fiskal. Kebijakan non fiskal ditujukan
untuk endukung kelangsungan bahan baku bagi produk
turunannya, agar terjadi penguatan peremajaan kapasitas
pabrik agar dapat mendiversifikasi produk turunan lebih luas.
Insentif fiskal dibutuhkan utamanya bagi pengembangan produk
baru ( produk turunan), di antaranya meliputi: (1) Pengurangan
pajak penghasilan badan selama periode awal operasional
sampai maksimum 10 tahun; serta (2) pembebasan PPN dalam
transaksi pembelian bahan mentah untuk bahan baku
agroindustri.

125
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

3. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Agroindustri.


Untuk meningkatkan produktivitas dan mutu agroindustri
diperlukan (a) Optimalisasi kegiatan penelitian, khususnya
untuk meningkatkan kualitas bahan baku, (b) Penerapan
secara ketat terhadap persyaratan mutu agroindustri
untuk ekspor dan revisi SNI, (c) adopsi teknologi baik
melalui lisensi maupun teknologi sendiri. Peningkatan
penggunaan teknologi agar dapat menyerap hasil-hasil
pertanian (on farm) serta mengurangi kandungan bahan
baku impor. (d) Pengembangan klaster agroindustri agar
meningkatkan kapasitas, diversifikasi produk turunan
agroindustri, serta guna perluasan pangsa ekspor.
Pembentukan jaringan bisnis juga dapat dilakukan guna
meningkatkan daya saing di pasar internasional.
4. Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Agroindustri.
Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor agroindustri
Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah, tapi dalam
bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di
dalam negeri.
5. Dukungan Penyedian Pembiayaan. Tersedianya
berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai
untuk pengembangan agroindustri, baik yang berasal
dari lembaga perbankan maupun non bank. Kebijakan
ini dapat dipelopori oleh bank-bank BUMN dengan
melakukan kredit sindikasi untuk pengembangan
agroindustri. 

126
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bab 7
Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012

Memasuki 2012 perekonomian Indonesia disambut awan


mendung krisis utang AS dan Uni Eropa yang semakin parah. Sungguh
pun banyak yang memproyeksikan dampak langsung dari penjalaran
krisis dan euro area ke Indonesia tidak begitu besar, tetapi harus
diingat bahwa sebagian besar krisis yang pernah terjadi di Indonesia
turut dikontribusikan oleh faktor eksternal. Ekonomi Indonesia dalam
kancah global masih sebagai price taker, belum penentu pergerakan
ekonomi suatu kawasan. Besarnya potensi Indonesia menjadi pemain
yang diperhitungkan di kawasan Asia sering didengungkan, namun
tanpa tekad untuk segera berbenah, potensi ini tidak akan banyak
memberi arti.
Penurunan kinerja perekonomian Indonesia diperkirakan tetap
akan terjadi pada 2012, meskipun ‘mendung tidak berarti hujan’. Krisis
utang AS dan Uni Eropa kemungkinan akan tetap berdampak pada
ekonomi Indonesia, namun masih dapat diredam agar pertumbuhan
ekonomi tidak menurun tanpa kendali. Syaratnya, langkah antisipasi
krisis harus tepat dan tindakan dilakukan secara cepat.

127
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Sayangnya, bercermin dari penanganan krisis global 2009, kata


tepat dan cepat dalam langkah-langkah penyelamatan ekonomi
Indonesia tidak begitu terlihat saat itu. Desain dan implementasi
stimulus kurang berjalan mulus karena tidak cepat dan tepat sasaran.
Pencairan stimulus tidak tepat waktu sehingga kurang maksimal
menginjeksi perekonomian. Di samping itu, minimnya strategi dari
kementerian-kementerian penerima stimulus untuk merealisasikan
dana dan pekerjaan membuat upaya pemerintah terasa hambar.
Perekonomian saat itu lebih diselamatkan oleh konsumsi domestik
yang cukup besar. Evaluasi atas kurang optimalnya berbagai kebijakan
antikrisis pada 2009 perlu dilakukan agar antisipasi dampak krisis AS
dan Uni Eropa kali ini dapat lebih maksimal.
Evaluasi terhadap beberapa indikator kinerja perekonomian,
seperti pertumbuhan, inflasi, suku bunga, dan nilai tukar, serta
indikator kesejahteraan, yaitu tingkat pengangguran dan kemiskinan
hingga akhir 2011 memperlihatkan hal-hal menarik untuk dikupas lebih
dalam. Proyeksi Ekonomi Indonesia ini diharapkan dapat menjadi
informasi awal dan gambaran obyektif bagi masyarakat, terutama
dunia usaha dan pemerintah dalam menjalani perekonomian sepanjang
2012.

7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain


Penyusunan PEI 2012 oleh INDEF dilakukan untuk memberikan
alternatif pandangan tentang proyeksi ekonomi, di luar yang sudah
dipublikasikan oleh beberapa lembaga, seperti International Monetary
Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), Bank Indonesia, dan
Pemerintah. Indikator yang menjadi fokus beberapa lembaga ini

128
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

terutama pertumbuhan ekonomi. IMF memproyeksikan pertumbuhan


ekonomi Indonesia pada 2012 sebesar 6,3 persen, sementara ADB
sekitar 6,8 persen, Bank Indonesia antara 6,3 – 6,7 persen, dan
Pemerintah sebesar 6,7 persen.

7.2. Pertumbuhan Ekonomi 2012


Jika dirangkum dalam satu kalimat singkat, pertumbuhan
ekonomi pada 2012 merupakan “representasi kontribusi konsumsi
domestik dan sektor non-tradeable”. Tanpa menihilkan kontribusi
sektor-sektor lain dalam perekonomian, wajah pertumbuhan ekonomi
Indonesia dalam beberapa tahun ini sangat dicirikan oleh kedua sektor
tersebut. Jika sisi penggunaan yang dilihat, maka yang tampak adalah
dominasi kontribusi sektor konsumsi dalam perekonomian. Sementara
jika sisi lapangan usaha yang diamati, yang terlihat adalah per-
tumbuhan sektor non-tradeable yang begitu menonjol atas sektor
tradeable.
Pada 2012 INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia berada pada kisaran 6,1 – 6,3 persen. Angka ini menurun jika
dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan hingga akhir tahun ini
yang kemungkinan mencapai 6,5 persen. Dilihat dari distribusi PDB
penggunaan pada tahun depan relatif akan sama seperti beberapa
tahun sebelumnya dimana perekonomian akan ditopang oleh besarnya
porsi sektor konsumsi rumah tangga. Setidaknya dalam empat tahun
terakhir sektor konsumsi rumah tangga telah menyumbang PDB lebih
dari 55 persen, yaitu sebesar 63,5 persen (2007), 60,6 persen (2008),
58,7 persen (2009), 56,7 persen (2010), dan 54,9 persen pada semester
I 2011.

129
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Meletakkan pertumbuhan ekonomi pada sektor konsumsi jelas


bukan pilihan yang bijak dalam jangka panjang, terutama jika tujuannya
adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan
berkelanjutan. Hakikatnya, untuk bisa mengkonsumsi maka suatu
perekonomian harus berproduksi terlebih dahulu. Jika sektor konsumsi
yang terus meningkat tanpa diiringi oleh produksi yang meningkat
secara proporsional, maka yang terjadi adalah gelembung. Ekonomi
tumbuh namun keropos di dalamnya. Idealnya pada 2012 per-
tumbuhan konsumsi domestik harus diiringi dengan peningkatan
produksi barang dan jasa, terutama dari sektor manufaktur.
Sementara itu, jika dilihat dari struktur lapangan usahanya, pada
2012 pertumbuhan tetap akan ditopang oleh sektor non-tradeable,
dengan pertumbuhan tertinggi kemungkinan besar tetap pada sektor
pengangkutan dan komunikasi. Sektor pengangkutan dan komunikasi
selama 2007–2010 selalu mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu
sebesar 14,0 persen (2007), 16,6 persen (2008), 15,5 persen (2009),
dan 13,5 persen (2010). Seiring dengan pertumbuhannya yang
dominan, sektor ini juga semakin meningkat dalam kontribusinya
terhadap perekonomian. Sayangnya, pertumbuhan sektor non-
tradeable tidak akan banyak berimplikasi pada penyerapan tenaga
kerja. Padahal tingkat pengangguran saat ini masih cukup tinggi dan
memerlukan pertumbuhan ekonomi yang adaptif terhadap penyerapan
tenaga kerja.
Dengan bertumpunya perekonomian pada sektor konsumsi -
dari sisi penggunaan- dan sektor non-tradeable -dari sisi lapangan
usaha- membuat harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
lebih berkualitas pada tahun depan akan susah direalisasikan.
Pertumbuhan ekonomi yang dicapai tahun depan tetap akan
menyisakan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang tidak ringan.

130
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Terlebih jika badai krisis tidak cukup mampu dibendung oleh strategi
pemerintah dalam menanggulangi krisis, baik melalui penyusunan Crisis
Management protocol (CMP), penyediaan Bond Stabilization
Framework (BSF), pengalokasian dana mitigasi krisis di APBN 2012,
maupun berbagai kebijakan lain. Oleh karena itu, tantangan terberat
pertumbuhan ekonomi ke depan adalah menggeser proporsi kontribusi
sektor konsumsi dengan investasi, serta mengimbangi pertumbuhan
sektor non-tradeable dengan tradeable.

7.3. Inflasi
Seiring harga volatile food yang tidak terlalu bergejolak dalam
beberapa bulan ini, tekanan inflasi sepanjang 2011 relatif menurun.
Inflasi sempat meningkat seiring tingginya harga komoditas pada pasar
internasional, seperti komoditas pangan dan emas. Namun pada akhir
triwulan III 2011 harga komoditas sudah mulai menurun, dikarenakan
bertambahnya pasokan komoditas dan kondisi perlambatan ekonomi
dunia. Tidak hanya harga emas, tren harga minyak di pasar
internasional juga terlihat menurun jika dibandingkan pada triwulan
sebelumnya. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut pada 2012,
sehingga INDEF memproyeksikan inflasi pada 2012 pada kisaran 4,5 –
5,5 persen.

7.4. Suku Bunga


Gebrakan kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia pada
November 2011 ini dengan memangkas BI Rate sebesar 50 bps (basis
poin) dari 6,5 persen menjadi 6 persen merupakan sinyal positif bagi
perekonomian, khususnya dalam upaya meningkatkan intermediasi.

131
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Tingkat harga yang terkendali, yaitu dalam kisaran sasaran inflasi 5


persen 1 persen, bahkan sempat mengalami deflasi pada inflasi
bulanan, serta antisipasi terhadap kontraksi perekonomian akibat
dampak perlambatan permulihan perekonomian global menjadi faktor
pertimbangan Dewan Gubernur menurunkan suku bunga BI Rate.
Seiring perkiraan inflasi yang cukup terkendali pada tahun depan –
dengan catatan krisis dapat diantisipasi- INDEF memperkirakan tingkat
suku bunga SBI 3 bulan (sebagai suku bunga operasional sasaran
moneter) pada 2012 sebesar 6 persen.

7.5. Nilai tukar


Selama triwulan I dan II 2011, nilai tukar rupiah mengalami
apresiasi. Namun, volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah mengalami
peningkatan pada triwulan III. Pada 2012 INDEF memperkirakan rupiah
akan berada pada kisaran Rp 8.900 – 9.100 per US$. Meskipun lebih
tinggi dari asumsi pemerintah dalam RAPBN 2012, rupiah akan cukup
stabil pada tahun depan. Beberapa faktor pendukung, seperti masih
cukup stabilnya kondisi fundamental perekonomian Indonesia
membuat aliran arus modal masih terus berlanjut. Nilai cadangan
devisa Bank Indonesia yang lebih dari US$100 miliar berkontribusi
mendorong stabilnya rupiah tahun depan. Selain itu, kinerja neraca
pembayaran juga masih cukup baik, yaitu berada pada posisi surplus
sehingga memberikan ekspektasi positif terhadap investor global di
tengah ketidakpastian pemulihan kawasan Uni Eropa dan Amerika
Serikat.

132
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

7.6. Pengangguran dan Kemiskinan


Tingkat pengangguran biasanya merupakan lagging indicator dari
pertumbuhan ekonomi karena keengganan perusahaan untuk merekrut
pegawai baru ketika prospek ekonomi masih belum jelas. Namun, pada
2012 tingkat pengangguran diperkirakan akan sedikit menurun, yakni
berada di kisaran 6,3 persen. Data rata-rata tingkat pengangguran dalam
tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren penurunan, dari 8 persen
(2009), 7,3 persen (2010), dan 6,7 persen (2011). Namun, penurunan ini
belum cukup sepadan dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang
berada di atas 6 persen pada 2010 dan 2011.
Sementara itu, pada 2012 tingkat kemiskinan diperkirakan
masih sebesar 11,7 persen. Kedua masalah klasik pembangunan
(pengangguran dan kemiskinan) ini meskipun diprediksi menurun
namun belum signifikan, mengingat kurang berkualitasnya
pertumbuhan ekonomi hingga saat ini. Data tingkat kemiskinan tiga
tahun terakhir menunjukkan tren penurunan, dari 14,2 persen (2009),
13,3 persen (2010), dan 12,5 persen (2011). Berikut Tabel 7.1 yang
merangkum Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012.

Tabel 7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012 INDEF

Indikator Ekonomi Proyeksi 2012


Pertumbuhan (%) 6,1 – 6,3%
Inflasi (%) 4,5 – 5,5
Harga Minyak Dunia (USD/Barrel) US$90/barrel
SBI Tiga Bulan (%) 6%
Kemiskinan (%) 11,7%
Kurs (Rp/US$) 8.900 – 9.100
Pengangguran (%) 6,3%

133
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Daftar Pustaka

Ad Van Riet. Euro Area Fiscal Policies and The Crisis. ECB occasional
paper series no 109/ April 2010.
http://www.ecb.int/pub/pdf/scpops/ecbocp109.pdf
Agung, Bambang, dkk., 2001, Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis:
Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan, Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Bank
Indonesia, Jakarta
Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011, Publikasi & Statistik,
www.bkpm.go.id, diakses 14 November
Badan Pusat Statistik, 2011, Berita Resmi Statistika No. 72/11/Th. XIV, 7
Nov
_______________, 2011, Berita Resmi Statistika No. 73/11/Th. XIV, 7
November
_______________, 2011, Berita Resmi Statistika No. 66/11/Th.XIV, 1
November
_______________, 2011, Berita Resmi Statistika No. 53/08/Th. XIV, 5
Agustus

135
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bank Indonesia, 2011, Laporan Kebijakan Moneter Indonesia Triwulan I


____________, 2011, Laporan Kebijakan Moneter Indonesia Triwulan II
____________, 2011, Laporan Kebijakan Moneter Indonesia Triwulan III
____________, 2011, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
____________, 2011, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2010.
____________, 2011, Perkembangan Ekonomi Keuangan dan
Kerjasama Internasional Triwulan IV-2010: Dilema Kebijakan
Moneter di Kawasan Emerging Dalam Proses Pemulihan
Ekonomi Global. Direktorat Internasional
____________, 2011, Statistik Perbankan Bank Indonesia Januari 2011,
Volume 9 Nomor 2 Januari 2011. Direktorat Perizinan dan
Informasi Perbankan
____________, 2010, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2009,
Bank Indonesia, Jakarta
____________, 2011, Kajian Stabilitas Keuangan No. 17, September
2011. Bank
Indonesia.http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6A909201-319A-
48FA-A54C-28730BDD2B70/24331/KSK_170911.pdf
___________, 2011, Laporan Neraca Pembayaran Indonesia Realisasi
Triwulan II
___________, 2011, Laporan Neraca Pembayaran Indonesia Realisasi
Triwulan III
___________, 2011, Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi
January 2009

136
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Bordo, M. D. (2008). Growing up to Financial Stability. Bank of Greece,


Working Papers No. 85, 1-17 p
Cerutti, et al. 2011. Systemic Risks in Global Banking: What Available
Data can tell us and What More Data are Needed?. IMF Working
Paper. WP/11/222.
Claessens, S., & Forbes K. (2004). International Financial Contagion: The
Theory, Evidence and Policy Implications / Conference ‘The
IMF´s Role in Emerging Market Economies: Reassessing the
Adequacy of its Resources’ organized by RBWC, DNB and WEF in
Amsterdam on November 18-19. 1-34 p.
Coughlin, C. C. 2003. "World trade: past, present, and
future," International Economic Trends, Federal Reserve Bank of
St. Louis
Coxlead. I dan Li, M. 2008. Prospects for skilled-based Export Growth in
Labor-Abundant, Resource-Rich. Developing Countries. Vol 44.
No.2, pp 209-238
Diamond, W, Rajan, R.2010. Fear of fires sales and the credit freeze. BIS
Working Papers No. 305.
Dias Satria, 2009, Lumpuhnya Fungsi Vital Perbankan: Bumerang
Kemajuan Teknologi Dan Globalisasi Keuangan, dalam
http://www.diassatria.web.id/wp-
content/uploads/2008/12/lumpuhnya-fungsi-vital-bank-bi.pdf,
diakses 18 Maret 2011
Federick, Mishkin, 1995, The Economics of Money, Banking, and
Financial Markets, 4th Edition, New York : Harper Collins

137
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Filardo,k A et al. The International Financial Crisis: Timeline, Impact and


Policy Repsonses in Asia and the Pacific. BIS Papers No. 52.
Forbes, K. & Rigobon, R. (2002). No Contagion, Only Interdependence:
Measuring Stock Market Comovements / Journal of Finance 57:
2223-61.
Forbes, K. (2000), ‘The Asian Flu and Russian Virus: Firm-level Evidence
on How Crises are Transmitted Internationally’, NBER Working
Paper 7807.
Freixas, Xavier dan Rochet, Charles-Jean, 1997, Microeconomics of
Banking, The MIT Press Cambridge, Massachusetts London,
England.
Frequently Asked Questions (FAQs0 Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah
(3 September 2010).
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/77E1C46E-B06D-4FAF-960F-
BE9EE059FF89/20957/FAQ_GWM1.pdf
Global Financial Stability Report. Grappling with Crisis Legacies.
September 2011. International Monetary Fund.
Hadad Muliaman, et., al, 2003, Studi Biaya Intermediasi Beberapa Bank
Besar di Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum
Overpriced?, Bank Indonesia, Jakarta
Bursa Efek Indonesia. 2011. IDX Quarterly Statistics, 3rd Quarter 2011
IMF. 2011. Country Report No. 11/309 October 2011. Indonesia: 2011
Article IV Consultation – Staff Report; Staff Statement; Public
Information Notice on the Executive Board Discussion; and
Statement by the Executive Director for Indonesia.

138
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

___. 2011. Working Paper. Financial Contagion Through Bank


Deleveraging: Stylized Facts and Simulations Applied to the
Financial Crisis. Thierry Tressel. WP/10/236. International
Monetary Fund.
Inggrid, 2006, Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector
Error Correction Model (VECM), Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan Volume 8 Nomor 1, Maret 2006:40-50, Fakultas
Ekonomi, Universitas Kristen Petra Surabaya
Insukindro, 1993, Ekonomi Uang dan Bank (Teori dan Pengalaman di
Indonesia), Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta
Isabella Massa, Jodie Keane and Jane Kennan, “ The euro zone crisis:
risks for developing countries”, Background Note, Overseas
Development Institute, p 2
Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, 2011, Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025. Jakarta
Kiyotaki Nobuhiro dan Moore John, 2005, Financial Deepening, Journal
of the European Economic Association, April-May 2005, page
701-713
Leonardo Martinez-Diaz and Ngaire Woods, “The G20- the perils and
opportunities of network governance for developing countries”,
Oxford: The Global Economic Governance Programme Briefing
Paper, 2009, p 2
Mari Pangestu, 2003, The Indonesian Bank Crisis and Restructuring:
Lessons and Implications for other Developing Countries, G-24

139
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Discussion Paper Series : G-24 Discussion Paper Series, Research


papers for the Intergovernmental Group of Twenty-Four on
International Monetary Affairs, United Nation, New York and
Genewa
McLeod, R.,H. 2008. “Survey of Recent Developments” Bulletin of
Indonesia Economic Studies, Vol. 44 No.2, pp. 183-208.
Marsili, M., & Raffaelli, G. (2006). Risk bubbles and market instability /
Physica A, 2006 (370). 18-22 p.
Moser, T. (2003). What Is International Financial Contagion? /
International Finance, 2003. 6 (2), 157-178 p.
Naceur Ben Zina dan Borhen Trigui, ----- , Financial Deepening in
economic development: theory and lessons from Tunisia, dalam
http://www.univ-
orleans.fr/deg/GDRecomofi/Activ/benzina_birmingham.pdf
Nanto K, D. The Global Financial Crisis; Analysis and Policy Implications.
October 2,2009.
Nongsima, F.S. dan P.M. Hutabarat. 2007. Pengaruh Kebijakan
Liberalisasi Perdagangan terhadap Laju Pertumbuhan Ekspor-
Impor Indonesia.
Nowotny, E. The Global Economy – challenges and prospects. 29 August
2011. http://www.bis.org/review/r110908c.pdf
Oktaviani, R. 2011. FTA dan Daya Saing Industri Pertanian Indonesia
dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Makalah Orasi Ilmiah.

140
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Otaviano Canuto, Marcelo M. Giugale, The Day After Tomorrow: A


Handbook on the Future of Economic Policy in the Developing
World, (Washington: World Bank, 2010)
Prastowo, Prasmuka, dan Tevy Chawwa, 2010, Sumber Pembiayaan
Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Survei, Working
Paper/WP/04/2010, Bank Indonesia, Jakarta
Pokok Pokok Penjelasan Kebijakan Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/77E1C46E-B06D-4FAF-960F-
BE9EE059FF89/20956/PokokpokokpenjelasanGWM1.pdf
Racickas, E. and Vasiliauskaite, A. 2011. Channels of Financial Risk
Contagion in the Global Financial Markets. Economics and
Management: 2011,6.
Recent Economic Developments. Republic of Indonesia. October 2011.
Investors Relations Unit- Republic of Indonesia.
Regional Economic Outlook. Asia and Pacific. Navigating and Uncertain
Global Environment While Building Inclusive Growth. October
2011. International Monetary Fund.
Scardovo, C. et al. (2010). Market crises, the financial system and the
real economy: Analysis and implications for the global financial
services industry / Journal of Risk Management in Financial
Institutions, 2010. Vol. 3, No. 3. 211–230 p.
Siaran Pers Outlook Ekonomi dan APBN tahun 2012. Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
Sambodo. M.T., A.H. Fuady., L. Adam, dan Purwanto. 2007. Mengurai
Benang Kusut Daya Saing Indonesia, Jakarta: LIPI Press.

141
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Schioppa-Padoa Tommaso, 1974, Demand and Supply of Bank Credit in


Italy, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 6, No.4.
Stiglitz, Joseph E., dan Blinder Alan S., 1983, Money, Credit Constrain,
and Economic Activity, The American Economic Review, Vol. 73,
No. 2.
Stiglitz, Joseph E., dan Greenwald, 2003, Towards a New Paradigm in
Monetary Economics, Cambridge University Press, United
Kingdom.
Tambunan, T. 2008. Arah Kebijakan Ekonomi Indonesia dalam
Perdagangan dan Investasi Rill”. www.kadin-
indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-3090-
2282008.pdf
“The Group of Twenty: A History”, Excerpt from the closing address of
President Mbeki of South Africa to G-20 Finance Ministers and
Central Bank Governors, 18 November 2007, Kleinmond,
Western Cape
Van Rijckeghem, C. & Weder, B. (2001). Sources of Contagion: Is it
Finance or Trade? / Journal of International Economics 54: 293-
308 p.
Vikram Nehru, “East Asia and the Pacific Confronts the “New Normal”,
dalam The Day after Tomorrow: A Handbook on the Future of
Economic Policy in the Developing Countries, Washington DC:
World Bank, 2009, p332-334
Yilmaz Akyuz, “The Global Economic Crisis and Asian Developing
Countries: Impact, Policy Response and Medium-Term

142
Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi

Prospects”, TWN Global Economy Series, Penang: Third World


Network, 2010. p26
Wallace, W. 2008. From Indonesia 2008 to Indonesia 2012 and beyond
Where Things Stand and the Challenges Ahead. Washington DC.
World Trade Organization. 2011. International Trade Statistics.
(www.wto.org). diakses 14 Juli 2011
World Bank. 2011. Data and Statistic. www.worldbank.org. diakses 20
Juli 2011

143
INDEF
Jl. Batu Merah No. 45, Pejaten Timur No. 45, Jakarta 12510
Telp. (021) 7901001 Fax. (021) 79194018
Email: indef@indo.net.id - www.indef.or.id

Anda mungkin juga menyukai