Anda di halaman 1dari 26

UANG BEREDAR DAN INFLASI

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro

Di Susun Oleh:

Zara Syita Kamila 0117101287


Elisabeth Rouly 0117101288
Meysa Alfhat 0117101289
Radzmi Damayanti 0117101291

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDY AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
Jl. Cikutra No.204A, Sukapada, Cibeunying Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat 40125
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan
menyelesaikan tugas penelitian ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang uang beredar dan inflasi
di Indonesia yang meliputi: mata uang dalam peredaran dan uang beredar, gambaran
inflasi dalam perekonomian, perkembangan inflasi di Indonesia dan hubungan antara
uang beredar dengan Inflasi.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Makro dengan
semaksimal mungkin sesuai kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa
sumber. Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Sugiartiningsih DR., S.E., M.Si. selaku
dosen mata kuliah Ekonomi Makro yang sudah memberikan tugas ini, sehingga kami
dapat berlatih untuk membuat makalah. Di samping dapat menuangkan gagasan dalam
bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat berlatih menjadi insan peneliti di masa depan.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan
diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran. Karena kritik dan saran
yang membangun, akan menjadikan kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 12 April 2018


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar
B. Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang
C. Gambaran Inflasi dalam Perekonomian
1. Pengertian Inflasi
2. Gambaran Umum Proses Inflasi
3. Dampak atau Akibat Inflasi terhadap Perekonomian
4. Jenis-jenis Inflasi
5. Teori-teori Inflasi
6. Cara-cara Mengatasi Inflasi
D. Perkembangan Inflasi di Indonesia
E. Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal satu sama lain saling berpengaruh dalam
kegiatan perekonomian. Dalam upaya penetapan sasaran dalam proses pembangunan
ekonomi maka koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dilakukan dalam
rangka menghadapi berbagai tantangan dan persoalan. Koordinasi antara Pemerintah
dan Bank Indonesia adalah membahas dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan
yang diperlukan baik dari sisi Pemerintah maupun Bank Indonesia.
Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam Kebijakan moneter. Kewenangan
Bank Indonesia tersebut antara lain dalam menetapkan sasaran sasaran moneter
dengan memperhatikan laju inflasi dan melakukan pengendalian moneter dengan
menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada operasi pasar terbuka
dipasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. (UU RI No.3 Tahun
2004 tentang perubahan atas undang-undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia).
Dinamisnya perkembangan perkonomian Indonesia sepertinya mendorong
perubahan perilaku yang dinamis pada variabel-variabel ekonomi yang terlibat di
dalamnya. Jumlah uang beredar dan Inflasi adalah dua dari sekian banyak variabel
ekonomi makro yang paling banyak memiliki peran dalam aktivitas perekonomian suatu
Negara, tidak terkecuali dalam perekonomian Indonesia.
Berkaitan dengan hal ini, kebijakan pemerintah untuk mengevaluasi dan
mengendalikan kedua variabel tersebut terlihat dalam kegiatan moneter yang dijalankan
oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter di
Indonesia.

Selama ini pengendalian kebijakan pengendalian uang beredar dan pengendalian


tingkat inflasi menjadi kebijakan prioritas Bank Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa kedua variabel tersebut memang memiliki dampak yang sangat penting bagi
perjalanan perekonomian Indonesia.
Jumlah uang beredar menjadi teramat penting karena peranannya sebagai alat
transaksi penggerak perekonomian. Besar kecilnya uang beredar akan mempengaruhi
daya beli riil masyarakat dan juga tersedianya komoditi yang dibutuhkan masyarakat.
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah
menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter
menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara
tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan
tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia.
Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat
dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan
perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara mencermati kembali teori-teori
yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab timbulnya
inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat
keluar dari perangkap inflasi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka kami membatasi makalah ini
pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa definisi Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar?
2. Bagaimana Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang?
3. Bagaimana Gambaran Inflasi dalam Perekonomian?
4. Bagaimanakah Perkembangan Inflasi di Indonesia?
5. Bagaimanakah Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui dan memahami Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar.
2. Mengetahui dan memahami Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang.
3. Mengetahui dan memahami Gambaran Inflasi dalam Perekonomian.
4. Mengetahui dan memahami Perkembangan Inflasi di Indonesia.
5. Mengetahui dan memahami Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar

Di dalam membahas mengenai uang yang terdapat dalam perekonomian, adalah


penting untuk membedakan di antara mata uang dalam peredaran dan uang beredar.
Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah mata uang yang telah dikeluarkan
dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu uang
logam dan uang kertas. Dengan demikian mata uang dalam peredaran adalah sama
dengan uang kartal. Sedangkan uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di
dalam perekonomian yaitu ia adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah
dengan uang giral dalam bank-bank umum.
Pengertian uang beredar atau money supply perlu dibedakan pula menjadi dua
pengertian, yaitu pengertian terbatas dan pengertian yang luas. Dalam pengertian yang
terbatas uang beredar adalah mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral
yang dimiliki oleh perseorangan-perseorangan, perusahaan-perusahaan, dan badan-
badan pemerintah. Dalam pengertian yang luas uang beredar meliputi: mata uang dalam
peredaran, uang giral, dan uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka,
tabungan dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. Uang beredar
menurut pengertian yang luas ini dinamakan juga sebagai likuiditas perekonomian atau
M2. Pengertian yang sempit dari uang beredar selalu disingkat menjadi dengan M1.[1]
Uang beredar M1 dan M2, 1970-2002 (dalam milyar rupiah)
Tahun Uang Beredar (M1) Uang Likuiditas
Kuasi Perekonomian
Kartal Giral Jumlah (M2)
1971 155 95 250 80 330
1975 625 625 1. 250 728 1.978
1980 2.153 2.842 1.995 2.696 7.691
1985 4.440 5.664 10.104 13.049 23.153
1990 9.094 14.725 23.819 60.811 84.630
1995 20.807 31.870 52.677 - -
2000 72.371 89..815 162.156 584.842 747.028
2001 76.342 101.369 177.731 666.322 844.053
2002 80.686 111.253 191.939 691.969 883.908
Dari tabel diatas ditunjukkan jumlah uang beredar menurut pengertian yang
terbatas (M1), dan menurut pengertian yang luas yaitu likuiditas perekonomian atau (M2).
Data yang ditunjukkan adalah untuk tahun-tahun terpilih dalam periode 1970-2002 yaitu
dalam periode lebih dari tiga puluh tahun. Angka-angka dalam tersebut menujukkan
gambaran seperti yang diterangkan di bawah ini:
1. Pada tahun 1970, uang kartal merupakan bagian yang lebih penting dari uang giral.
Tetapi pada tahun 1975 uang kartal dan uang giral telah sama pentingnya dan semenjak
itu uang giral telah merupakan bagian yang lebih penting dari uang beredar dalam
pengertian yang sempit (M1). Dalam tahun 2002 uang giral (sebanyak 111,3 trilliun
rupiah) telah meliputi 58 persen dari M1.
2. Jumlah uang yang beredar dalam arti sempit (M1) meningkat dari 250 milyar rupiah pada
tahun 1970 menjadi 192 trilliun rupiah dalam tahun 2002. Berarti M1, meningkat
sebanyak 768 kali lipat dalam tempat 33 tahun (dari tahun 1970 hingga 2002).
3. Uang kuasi mengalami pertambahan yang lebih cepat dari uang kartal dan uang giral.
Dalam tahun 1970 jumlahnya baru mencapai 80 milyar rupiah dan jumlah ini adalah lebih
tiga kali lipat dari uang kuasi. Keadaan sebaliknya berlaku pada tahun 2002. Uang kuasi
telah mencapai hampir Rp 692 triliun, yaitu kurang lebih tiga setengah kali lipat dari
jumlah M1 (sebanyak Rp 192 triliun). Uang kuasi telah menjadi lebih penting dari M1
sejak tahun 1984.
4. Sebagai akibat pertumbuhan uang kuasi yang pesat, M2 yaitu likuiditas perkonomian
atau uang beredar dalam pengertian yang luas juga mengalam pertambahan yang sangat
pesat. Jumlahnya meningkat dari Rp 330 milyar dalam tahun 1970 menjadi hampir Rp
883,9 triliun dalam tahun 2002 dan ini menggambarkan kenaikan sebesar 2552 kali lipat.

B. Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang

Perkembangan Jumlah Uang Beredar (JUB) di Negara-negara yang sedang

berkembang tidak luput dari perkembangan dan pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan di

Negara sedang berkembang yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan

pembangunan ekonomi di Negara sedang berkembang. Lembaga-lembaga keuangan ini

termasuk di dalamnya adalah Bank Sentral, bank-bank umum komersial, bank-bank koperasi,

bank pembanguan dan lembaga-lembaga keuangan ini terorganisasi dan sering disebut sebagai

“dealers of debt”.[2]
Bank Sentral di Negara sedang berkembang mempunyai 2 fungsi yang tradisional dan

nontradisional. Fungsi yang tradisional Bank Sentral antara lain:


1. Sebagai “Bank”nya Pemerintah dan pemegang keuangan pemerintah.
2. Sebagai “monopolis” dalam mencetak uang kartal untuk mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap nilai uang.
3. Sebagai “lender of the last resort” artinya Bank Sentral menyediakan likuiditas bagi bank-
bank umum dan lembaga keuangan lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas.
4. Sebagai “pengawas kredit” artinya mengatur jumlah dan tersedianya kredit dalam
perekonomian.
5. Sebagai “bankers bank” artinya Bank Sentral bertindak sebagai bank komersial bagi
bank-bank umum. Ini berarti bahwa hubungan antara Bank Sentral dengan bank-bank
umum sebagaimana masyarakat terhadap bank-bank umum.
6. Sebagai “penjaga nilai tukar” dalam artian Bank Sentral bertindak untuk menjaga agar
niali tukar tidak berfluktuasi secara tajam.
Bank-bank komersial di Negara berkembang bertindak sebagaimana bank-bank
komersial di Negara maju. Dalam hal ini bank-bank menerima deposito dan
meminjamkan kredit bagi peminjam dengan jaminan tertentu dan menawarkan suku
bunga bagi deposito berjangka khususnya, disamping itu mengenakan suku bunga bagi
peminjam kredit. Perbedaan antara suku bunga kredit dengan suku bunga deposito
(SPREAD) merupakan penghasilan bagi bank-bank umum.
Permintaan kredit oleh anggota masyarakat sangat tergantung pada tingkat
ekonomi, biaya kredit (termasuk suku bunga kredit) dan hasil yang diharapkan dari
penggunaan kredit tersebut. Demikian juga penawaran kredit tergantung pada tingkat
pendapatan, kepercayaan bank serta suku bunga yang harus dibayarkan. Hal yang perlu
dicatat adalah bahwa kemampuan bank dalam “mencetak uang” mempunyai peranan
dalam memenuhi permintaan kredit bank. Akan tetapi kemampuan menciptakan kredit
dibatasi oleh tingkat keuntungan yang diharapkan oleh bank atas pemegangan
kekayaannya.
Faktor lain yang membatasi kemampuan bank dalam menciptakan kredit adalah
ketidaksediaan masyarakat untuk memegang tambahan depositonya. Penelitian di
Negara sedang berkembang menunjukkan bahwa permintaan uang masyarakat lebih
banyak dipegang dalam bentuk uang kartal daripada giro dan deposito berjangka. Dan
faktor yang lainnya adalah ketentuan cadangan minimum yang harus dipegang oleh
bank-bank umum. Biasanya Bank Sentral mempunyai hak (kekuasaan) untuk mengatur
ketentuan cadangan ini sehingga kalau Bank Sentral menginginkan kebijaksanaan
kontraksi (tight money policy) maka ketentuan cadangan dinaikkan dan sebaliknya
ketentuan cadangan minimum diturunkan kalau menginginkan ekspansi (easy money
policy).
Perbedaan fungsi Bank Sentral dan Bank Umum, sebagaimana dikemukakan
FURNESS (1973), membawa dampak pada mekanisme JUB dan faktor-faktor yang
mempengaruhi. Misalnya, masalah penciptakan uang giral oleh Bank Umum di Negara
sedang berkembang tidak sebagaimana di Negara yang sudah maju, masalah ketentuan
suku bunga di Negara sedang berkembang yang relatif stabil , masalah kredit yang
banyak dipengaruhi oleh berhasil tidaknya panenan di Negara sedang berkembang dan
masalah “banking-habit” di Negara sedang berkembang yang kurang stabil dan masih
rendah sehingga banyak sekali pengaruhnya terhadap penciptaan uang giral pada
khususnya dan JUB pada umumnya.
Dan juga banyak pengaruhnya terhadap perubahan JUB adalah utang pemerintah
terhadap Bank yang oleh FURNESS dikatakan sebagai “crusial factors” yang
mempengaruhi JUB di Negara sedang berkembang.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap JUB di Negara berkembang adalah
adanya pasar uang yang tidak terorganisasi (unorganized money market) yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Rahasia dalam pembicaraan (utang piutang)
2. Peminjaman uang yang tidak langsung (missal seperti perdagangan)
3. Operasi fleksibel
4. Hubungan antara konsumen dengan penyediaan dana sangat akrab
5. Pencatatan utang piutang sangat sederhana
Dampak terhadap JUB di Negara sedang berkembang melalui beberapa jalur
antara lain:
1. Berkurangnya transaksi, baik jumlah maupun ukuran, keuangan karena sering barter.
2. Menghambat pertumbuhan Bank Desa
3. Banyak masyarakat melakukan “hoarding”
4. Kebijaksanaan moneter dampaknya berkurang
DATA GRAFIK JUMLAH UANG BEREDAR DI INDIA

DATA GRAFIK JUMLAH UANG BEREDAR DI INDONESIA


C. Gambaran Inflasi dalam Perekonomian
1. Pengertian Inflasi
Masalah lainnya dalam perekonomian selain masalah pendapatan nasional atau
masalah pertumbuhan ekonomi adalah masalah perubahan harga barang-barang dan
jasa-jasa dalam perekonomian dalam waktu relatif lama yang biasa dikatakan tingkat
inflasi. Inflasi adalah salah satu indikator penting perekonomian selain pendapatan
nasional, tingkat pengangguran, ketidakseimbangan neraca pembayaran dan lainnya.
Banyak Negara di dunia ini yang semula perkembangan ekonominya semula
sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tiba-tiba mengalami kemunduran
yang disebabkan oleh tingginya inflasi yang menyebabkan daya beli masyarakat turun
sehingga sektor produksi juga turun. Inflasi yang tinggi bisa disebabkan oleh faktor
internal Negara itu seperti tingginya permintaan baran dan atau jasa atau semakin
langkanya persediaan barang terutama kebutuhan pokok, juga disebabkan oleh faktor
eksternal dari luar negeri seperti krisis di Negara lain atau Karena terjadinya nilai tukar
mata uang domestic terhadap dolar yang semakin tinggi. Tingkat inflasi sebagai salah
satu sumber kebangkrutan ekonomi suatu Negara maka inflasi dikatakan sebagai
penyakit ekonomi yang harus dijaga kestabilannya.[3]
Berikut merupakan pengertian inflasi dari beberapa tokoh ekonomi:
a) Kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan secara terus menerus
(Boediono, 1985: 161)
b) Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus menerus selama periode
tertentu (Nopirin, 1990: 25)
c) Suatu keadaan dimana terjadi senantiasa turunnya nilai uang. (Mannulang, 1993: 83)
d) Inflasi terjadi apabila tingkat harga-harga dan biaya-biaya umum naik, harga beras,
bahan bakar, harga mobil naik, tingkat upah, harga tanah, dan semua barang-barang
modal naik. (Samuelson dan Nordhaus, 1993: 293)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan pengertian inflasi
adalah proses kenaikan harga barang-barang secara umum daan terus-menerus
disebabkan oleh turunnya nilai uang pada suatu periode tertentu. Ini tidak bearti bahwa
harga-harga berbagai macam barang itu naik secara persentase yang sama. Mungkin
dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan. Namun yang penting terdapat
kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu.
Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup
besar) bukanlah merupakan inflasi.
Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks
harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain:
a) Indeks biaya (consumer price index)
b) Indeks harga perdagangan besar (wholesale price index)
c) GNP (gross national product) deflator
2. Gambaran Umum Proses Inflasi
Inflasi adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang
memicu konsumsi atau bahkan spikulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak
lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya
nilai mata uang secara terus menerus.[4]

Perkembangan Inflasi di Indonesia

Bulan 2011 2012 2013 2014


IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi IHK inflasi
Januari 126,29 0,89 130,9 0,76 136,88 1,03 110,992 1,07
Februari 126,46 0,13 130,96 0,05 137,91 0,75 111,28 0,26
Maret 126,05 -0,32 131,05 0,07 138,78 0,63 111,37 0,08
April 125,66 -0,31 131,32 0,21 138,64 -0,1 111,35 -0,02
Mei 125,81 0,12 131,41 0,07 138,6 -0,03 111,53 0,16
Juni 126,5 0,55 132,23 0,62 140,03 1,03 112,01 0,43
Juli 127,35 0,67 133,16 0,7 144,63 3,29 113,05 0,93
Agustus 128,54 0,93 134,43 0,95 146,25 1,12 113,58 0,47
September 128,89 0,27 134,45 0,01 145,74 -0,35 113,89 0,27
Oktober 128,74 -0,12 134,67 0,16 145,87 0,09 114,42 0,47
November 129,18 0,34 134,76 0,07 146,04 0,12 116,14 1,5
Desember 129,91 0,57 135,49 0,54 146,84 0,55 119 2,46
Tingkat 3,79 4,3 8,38 3,36
inflasi
Sumber : BPS
Dari table di atas terlihat bahwa rata-rata inflasi tumbuh dibawah laju pertumbuhan
ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa pendapatan riil perkapita Negara kita mengalami
perbaikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang perlu di
waspadai pemerintah adalah peningkatan harga yang diakibatkan oleh perubahan kurs
rupiah yang berimbas kepada barang-barang non-makanan (perlu diketahui bahwa bobot
untuk menghitung inflasi untuk non-makanan relatif kecil, sehingga kenaikannya tidak
signifikan terhadap inflasi), pemerintah perlu menjaga keseimbangan neraca berjalan
sehingga ekonomi kita bisa stabil.
3. Dampak atau Akibat Inflasi terhadap Perekonomian
Dampak atau akibat dari inflasi, yang akan terjadi terhadap perekonomian adalah
:
a) Inflasi mempengaruhi dalam arti mengurangi minat masyarakat untuk menabung
(propensity to save/PTS) karena mereka khawatir kalau-kalau nilai uang tabungannya
semakin lama semakin menurun, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk
menabung bahkan cepat-cepat membelanjakan uang/pendapatnnya.
b) Sebagai akibat dari hal tersebut, maka inflasi berarti mempercepat laju edar uang
(velocity of circulation), yang dengan perkataan lain berarti mengurangi hasrat/keinginan
untuk menyimpan uang tunai (liquidity preference menurun).
c) Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap uang baik sebagai medium of change,
sebagai store of value maupun sebagai standart of value.
d) Berkurangnya kesediaan orang/badan untuk memberikan kredit.
e) Seandainya bank berusaha mendorong produkis dengan jalan memberikan kredit
investasi dan atau modal kerja, biasanya hanya akan menambah jumlah uang yang
beredar yang berarti hanya akan mengkatrol inflasi ke arah tingkat yang lebih tinggi. Hal
tersebut disebabkan karena dana kredit yang diberikan bank bukan berasal dari
tabungan/simpanan masyarakat, melainkan berasal dari penciptaan uang baru yang
berasal dari bank sentral.
f) Karena inflasi menyebabkan kecepatan laju edar uang meningkat, maka pajak
cenderung naik. Kenaikan pajak menyebabkan gairah usaha/bisnis menjadi berkurang.
g) Inflasi cenderung menguntungkan orang-orang/badan-badan yang meminjam uang
(debitur). Sebaliknya inflasi cenderung merugikan orang-orang/badan-badan yang
meminjam uang (kreditur).
Secara kualitatif akibat dari inflasi yang parah akan menyebabkan kepercayaan
masyarakat terhadap uang semakin berkurang, sehingga mereka berusaha untuk
menghindari penggunaan uang dalam transaksi jual-beli dan lebih tertarik pada
perdagangan spekulasi daripada investasi.
Dari aspek sosial, inflasi yang parah cenderung menimbulkan kemiskinan yang
meluas dan menambah jurang yang semakin dalam antara segelintir orang-orang yang
semakin kaya dengan sebagian orang yang semakin miskin.
Inflasi tidak hanya merugikan masyarakat biasa tetapi juga pemerintah, defisit
anggaran belanja akan semakin besar karena penerimaan anggaran pendapatan
didasarkan atas harga-harga sebelumnya, sedangkan penerimaan pajak tidak dapat
menutupi pengeluaran yang terus-menerus meningkat akibat naiknya harga. Defisit
disebut terpaksa ditutup dengan mencetak uang baru atau melalui kredit bank sehingga
lagi-lagi menambha volume uang yang beredar yang kembali menyebabkan naiknya
harga-harga. Interaksi ini lagi-lagi dikenal sebagai spiral inflation.[5]

4. Jenis-jenis Inflasi
a) Jenis Inflasi menurut sifatnya
Laju inflasi dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain atau dalam satu
negara dalam waktu yang berbeda. Atas dasar besarnya laju inflasi, dapatlah inflasi di
bagi ke dalam tiga kategori, yaitu: inflasi yang ringan (creeping inflation) yaitu kurang
dari 10% per tahun, inflasi sedang (galloping inflation) antara 10 – 30 % per tahun, inflasi
berat antara 30 - 100% per tahun dan Hiper Inflasi (hyper inflation) yaitu di atas 100% per
tahun.[6]
Biasanya inflasi ringan di tandai dengan laju inflasi yang rendah. Kenaikan harga
berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang
relatif lama.
Inflasi sedang di tandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang kala
berjalan dalam kurungn waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi.
Artinya harga-harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari harga-harga minggu atau
bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi
ringan.
Inflasi berat merupakan inflai yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai
5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang
merosot dengan tajam sehingga ingin di tukarkan dengan barang. Perputaran uang
makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbulapabila
pemerintah mengalami defisit anggaran belanja( misalnya di timbulkan oleh adanya
perang) yang di tutup dengan mencetak uang.[7]
b) Jenis Inflasi berdasarkan sebabnya
Berdasarkan sebabnya, inflasi dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1) Demand Pull Inflation
Inflasi ini terjadi sebagai akibat pengaruh permintaan yang tidak diimbangi oleh
peningkatan jumlah penawaran produksi. Akibatnya, sesuai dengan hukum permintaan,
jika permintaan banyak sementara penawaran tetap, harga akan naik. Jika hal ini
berlangsung secara terus-menerus, akan mengakibatkan inflasi yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan adanya
pembukaan kapasitas produksi baru dengan penambahan tenaga kerja baru.
2) Cost Push Inflation
Inflasi ini disebabkan karena kenaikan biaya produksi yang disebabkan
oleh kenaikan biaya input atau biaya faktor produksi. Akibat naiknya biaya faktor
produksi, dua hal yang dapat dilakukan oleh produsen, yaitu langsung menaikkan harga
produknya dengan jumlah penawaran yang sama atau harga produknya naik karena
penurunan jumlah produksi.[8]

Keterangan gambar :
P = harga
D = permintaan
S = penawaran
Q = jumlah barang (output)
Gambar demand pull inflation menunjukkan permintaan masyarakat akan barang-
barang secara keseluruhan (aggregate demand) bertambah. Hal tersebut disebabkan
karena uang baru atau karena kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang
ekspor atau karena bertambahnya pengeluaran untuk investasi pihak swasta karena
kredit murah, maka kurva aggregate demandbergeser dari D1 ke D2 akibatnya harga naik
dari P1 ke P2.
Gambar Cost Push Inflation menunjukkan bahwa apabila ongkos produksi naik
yang disebabkan oleh karena kenaikan harga faktor-faktor produksi baik yang berasal
dari dalam negeri maupun yang diimpor dari luar negeri, maka kurva penawaran
masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2, sehingga harga naik dari P1 ke P2.
Dampak atau akibat dari kedua macam inflasi tersebut dari segi kenaikan
harga out put, tidaklah berbeda tetapi dari segi volume output (gross domestic product/
GDP) riil terdapat perbedaan. Dalam hal demand pull inflation biasanya ada
kecenderungan output rill meningkat bersama-sama dengan kenaikan harga umumnya.
Sebaliknya dalam cost oush inflation biasanya kenaikan harga barang-barang
bersamaan dengan penurunan volume/omzet penjualan barang-barang. Dengan
perkataan lain terjadi kelesuan dunia usaha.
Perbedaan lainnya dari kedua proses inflasi tersebut adalah demand pull
inflation kenaikan harga barang-barang akhir (final product/ output) mendahului kenaikan
harga barang-barang inputyaitu faktor-faktor produksi. Sebaliknya pada cost push
inflation kenaikan harga barang-barang inputmendahului harga barang-barang akhir.
Namun demikian, dalam kenyataannya jarang sekali dijumpai terjadinya kedua
jenis inflasi tersebut masing-masing secara murni, yang sering terjadi pada umumnya
adalah campuran atau kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, sehingga seringkali
keduanya saling memperkuat satu sama lain.[9]
5. Teori-teori Inflasi
Pada dasarnya ada 3 (tiga) macam teori tentang inflasi, yaitu:[10]
a. Teori Kuantitas (Teori Irving Fisher)
Teori kuantitas adalah teori yang paling tua. Teori ini menyoroti peranan dalam proses
inflasi dari jumlah uang beredar, psikologi (harapan) masyarakat mengenai harga-
harga (expectations).
1) Inflasi hanya terjadi apabila ada penambahan volume uang beredar baik kartal maupun giral.
Tanpa kenaikan jumlah uang beredar jika adanya kejadian gagal panen, misalnya, hanya
akan menaikkan harga untuk sementara waktu saja. Jika jumlah uang beredar tidak ditambah
maka inflasi akan terhenti dengan sendirinya apapun sebab kenaikan awal inflasi tersebut.
2) Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi
(harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga- harga di masa mendatang. Ada 3
kemungkinan keadaan, yaitu:
a) Masyarakat tidak/ belum mengharapkan harga naik pada bulan mendatang. Sebagian besar
penambahan jumalah uang beredar digunakan untuk memperbesar pos kas. Sebagian besar
uang tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Belum terjadi kenaikan permintaan barang
yang berarti. Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang beredar sebesar 10 % diikuti dengan
kenaikan harga sebesar 1%. Masyarakat belum menyadari adanya inflasi.
b) Masyarakat mulai sadar bahwa ada inflasi. Penambahan jumlah uang beredar digunakan
untuk membeli barang-barang untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka
memegang uang kas. Akibatnya permintaan barang-barang akan naik sehingga memicu
kenaikan harga. Kenaikan jumlah beredar sebesar 10% diikuti dengan kenaikan harga
sebesar 10%.
c) Tahapan yang ketiga yaitu hiperinflasi. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap
nilai mata uang. Masyarakat mulai enggan memegang uang dan enggan untuk
membelanjakannya. Keadaan ini ditandai dengan semakin cepatnya peredaran uang
(velocity of circulation yang menaik). Kenaikan jumlah uang beredar sebesar 20%
mengakibatkan kenaikan harga sebesar 20%. Inflasi ini pernah terjadi di Indonesia pada
Tahun 1961- 1966. Hiperinflasi menghancurkan sendi-sendi ekonomi moneter dan sosial
politik.
b. Teori Keynes
Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya. Menurut teori ini inflasi
terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses
inflasi menurut pandangan ini adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-
kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan
oleh masyarakat tersebut. Maksudnya adalah keadaan ketika permintaan masyarakat atas
barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary gap).
Teori ini mengasumsikan bahwa perekonomian sudah berada pada tingkat full
employment. Menurut Keynes kuantitas uang tidak berpengaruh terhadap tingkat permintaan
total, karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun tingkat kuantitas uang
tetap konstan. Jika uang beredar bertambah maka harga akan naik. Kenaikan harga ini akan
menyebabkan bertambahnya permintaan uang untuk transaksi, dengan demikian akan
menaikkan suku bunga. Hal ini akan mencegah pertambahan permintaan untuk investasi dan
akan melunakkan tekanan inflasi.
c. Teori Strukturalis
Teori ini juga teori inflasi jangka panjang, karena menyoroti sebab-sebab munculnya
inflasi yang berasal dari kekakuan struktur ekonomi terutama yang terjadi di negara
berkembang. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur
perekonomian negara-negara sedang berkembang.
Teori strukturalis adalah teori inflasi jangka panjang. Disebut teori inflasi jangka
panjang karena teori ini mencari faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa
mengakibatkan inflasi. Menurut teori ini, ada 2 ketegaran utama dalam perekonomian
negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi.
1) Ketegaran yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai
ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.
Kelambanan ini disebabkan karena:
a) Harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak
menguntungkan dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar.
b) Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsive terhadap kenaikan harga
(supply barang-barang ekspor yang tidak elastis).
2) Ketegaran yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan
makanan di dalam negeri. Proses Inflasi yang timbul karena dua ketegaran tersebut dalam
praktek jelas tidak berdiri sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan
sering kali memperkuat satu sama lain.
6. Cara-cara Mengatasi Inflasi
Cara-cara mengatasi inflasi pada dasarnya harus diarahkan pada faktor-
faktor yang menyebabkan perubahan harga dalam hal ini harga menjadi naik atau
dengan perkataan lain nilai uang menjadi turun.
Sebagaimana diketahui bahwa factor-faktor yang menjadi akar penyebab
perubahan nilai uang adalah M, V, dan T. Oleh karena itu, tiada lain daripada usaha
mengurangi M dan/ atau V, yang keduanya tergolong pada faktor moneter dan atau
meningkatkan T.
Dalam hal ini ada 4 (empat) kebijakan (policy) yang dapat ditempuh untuk
mengatasi inflasi tersebut, yaitu:[11]
a) Kebijakan Moneter
b) Kebijakan Fiskal
c) Kebijakan Non Moneter
d) Kombinasi dari ketiga cara di atas

a) Kebijakan Moneter (Monetary Policy)


Kebijakan moneter pada dasarnya dilaksanakan oleh Bank Sentral untuk mengurangi
jumlah uang yang beredar yang menjadi wewenangnya, melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1) Menaikkan cash reserve ratio/CRR atau cash ratio atau presentase likuiditas atau giro
wajib minimum/GWM.
Dengan kenikan CRR, kemampuan bank-bank umum untuk memberikan credit menjadi
berkurang, jadi terdapat kontraksi moneter sehingga jumlah uang yang beredar (factor
M) menjadi berkurang, tidak lebih, sehingga harga menjadi turun.
2) Menjual surat-surat berharga, dalam rangka operasi pasar terbuka (open market
operation/OMO), misalnya melalui sertifikat Bank Indonesia/ SBI Surat Berharga Pasar
Uang/SPBU dan lain sebagainya dengan tingkat bunga atau imbalan yang menarik, maka
uang beredar yang ber lebih di masyarakat sebagian akan tersedot ke kas bank sentral
sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat (M) menjadi berkurang.
3) Menaikan tingkat bunga kredit. Apabila bank sentral meningkatkan tingkat bunga kredit
dasar (base lending rate), maka dengan meningkatkan bunganya tersebut, dalam rangka
politik disconto (discount policy), berarti bak-bank umum dalam menentukan tingkat
bunga kreditnya tidak bisa tidak harus mengikuti/ mengacu pada ketentuan bank sentral
tersebut. Dengan meningkatnya bunga kredit maka akan mengurangi minat sebagian
anggota masyarakat untuk mengambil kredit, sehingga jumlah uang yang beredar (M)
menjadi berkurang (tidak terlalu banyak)
b) Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Terdapat 3 cara mengatasi inflasi melalui kebijakan fiskal, yaitu:
1) Pengurangan pengeluaran pemerintah
Walaupun pengurangan pengeluaran pemerintah (government expenditure)
bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, terlebih-lebih apabila diklaitkan dengan
tuntutan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin lama semakin besar dan
berkelanjutan, namun apabila hal itu dapat dilaksanakan maka sangat efektif untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini sering disebut tight
money policy/TMP atau kebijakan uang ketat.
2) Menaikkan pajak.
Dengan menaikkan pajak maka berarti penghasilan seseorang (disposable
income). Akan menjadi berkurang. Sehingga barang-barang harganya tidak akan naik.
Dipihak lain uang ya ng berasal dari pajak akan masuk kas pemerintah, hal ini berarti
mengurangi jumlah uang yang berlebih di masyarakat.
Menaikkan pajak dapat dilakukan dengan cara meningkatkan tarif pajak atau menambah
jenis dan objek pajak atau kombinasi kedua-duanya.
3) Pemerintah melakukan pinjaman kepada masyarakat.
Pemerintah melakukan pinjaman kepada masyarakat dengan berbagai cara,
misalnya melalui penjualan obligasi Negara, surat utang Negara, surat perbendaharaan
Negara dan lain sebagainya dengan bunga atau imbalan/ bagi hasil yang menarik. Atau
melalu pemotongan gaji / upah atau misalnya melalui pengguntingan uang kertas yang
beredar sehingga hanya bernilai setengahnya atau tiga perempatnya dari nilai semula.
c) Kebajikan Non Moneter
Kebijakan non moneter moneter adalah kebijakan untuk mengatasi inflasi diluar kedua
cara yang telah disebutkan diatas.
Caranya ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Meningkatkan hasil produksi (production approach)
Cara mengatasi inflasi melalui peningkatan hasil produksi adalah cara yang paling
efektif, namun dalam pelaksanaanya sering kali mengalami kesulitan, karena kelangkaan
sumber-sumber atau faktor-faktor produksi yang diperlukan. Sebagaimana dimaklumi
mneingktkan produksi berarti meninkatkan unsur T dalam rumus Fisher, hal tersebut
hanya dapat di laksanakan melalui peningkatan kapasitas produksi atau menambah jam
kerja bagi para buruh/pegawai. Sedangkan apabila di harapkan peningkatan produksi
yang lebih pesat dan dengan kualitas yang lebih baik, maka harus melalui penerapan
teknologi yang lebih baik dan modern. Cara ini lazim disebut pendekatan produksi atau
production approach.
2) Kebijakan upah/gaji
Yang dimaksut dengan kebijakan mengenai upah dan gaji dalam rangka
mengatasi inflasi ialah tidak menaikan upah dan gaji sama sekali selama produktivitas
buruh dan pegawai tersebut tidak meningkat . Dengan demikian disposable income/
penghasilan yang siap untuk di belanjakan yang di miliki oleh mereka tidak bertambah,
dan hal tersebut akan menghambat kenaikan harga barang-barang.
3) Pengawasan Harga Barang dan Distribusinya
Kecenderungan naiknya harga barang-barang bisa di atasi di samping oleh cara-
cara yang telah dikemukakandi atas, dapat juga di atasi dengan cara penetapan harga
dan penawasan harga di atas dengan cara penetapan harga dan pengawasan harga
serta cara-cara distribusinya oleh pemerintah, disertai tindakan pengenaan sansi kepada
para pelanggar-pelangaranya.
Namun diakui bahwa dalam pelaksananya cara ini sulit berjalan sebagaimana yang
diharapkan,bahkan sering menimbulkan dampak negatif yaitu sering kali terjadi dualisme
harga yaitu adanya harga resmi, berupa harga yang di tetapkan oleh pemerintah dan
harga yang tidak resmi (sering dikenal sebagai harga “gelap”) yang biasanya lebih tinggi
dari harga resmi. Oleh karena itu barang-barang sering menghilangkan di pasaran resmi
dan muncul dipasaran gelap (black market).
d) Kombinasi dari berbagai cara
Maksut mengatasi inflasi dengan kombinasi berbagai cara adalah cara
menjelaskan kebijakan anti inflasi bersama-sama secara simultan melalui kebijakan
moneter, kebijakan fiscal bahkan mungkin dengan kebijakan pengawasan harga
sekaligus.
D. Perkembangan Inflasi di Indonesia
Perkembangan inflasi di Negara kita beberapa tagun terakhir khususnya dari
tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, sebagai berikut:[12]

Tabel Perkembangan Inflasi Indonesia


Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tingkat 5,16% 6,40% 17,11% 6,60% 6,59% 11,06% 2,79%
Inflasi

Tabel Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2005 – 2013

Tahun Inflasi (Persen)

2005 17.11

2006 6.6

2007 6.59

2008 11.06

2009 2.78

2010 6.96

2011 3.79

2012 4.3

2013 8.38

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013


Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat perkembangan inflasi selama periode 2005
sampai 2013 yang mengalami fluktuasi yang beragam inflasi tertinggi terjadi pada
periode 2005 sebesar 17.11% kemudian bergerak turun pada periode 2006 sebesar 6.6%
setelah itu naik kembali pada tahun 2008 yaitu sebesar 11.06% dikarenakan pada saat
itu terjada krisis global yang melanda dunia sehingga berdampak buruk bagi
perekonomian di Indonesia.
Dalam perkembangnya setiap tahun Inflasi terendah diperoleh pada periode 2009
yaitu sebesar 2.78% namun kemudian mengalami kenaikan pada periode 2010 yaitu
sebesar 6.69% dan kemudian mengalami penurunan pada periode 2011 sebesar 3.79%
hingga kemudian mengalami kenaikan pada periode 2013 sebesar 8.38% yang
menyebabkan persentase pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti kemudian
berdampak pada naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan inflasi di Indonesia yaitu suku
bunga acuan bank indonesia atau dengan kata lain BI Rate yang menjadi signal bagi
perbankan untuk menetapkan tingkat suku bunganya seperti tabungan, deposito dan
kredit. Menurut Yodiatmaja (2012:3) perubahan BI Rate akan mempengaruhi beberapa
variabel makroekonomi yang kemudian diteruskan kepada inflasi. Perubahan berupa
peningkatan level BI Rate bertujuan untuk mengurangi laju aktifitas ekonomi yang mampu
memicu inflasi. Pada saat level BI Rate naik maka suku bunga kredit dan deposito pun
akan mengalami kenaikan. Ketika suku bunga deposito naik, masyarakat akan
cenderung menyimpan uangnya di bank dan jumlah uang yang beredar berkurang. Pada
suku bunga kredit, kenaikan suku bunga akan merangsang para pelaku usaha untuk
mengurangi investasinya karena biaya modal semakin tinggi. Hal demikianlah yang
meredam aktivitas ekonomi dan pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.[13]

E. Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi


Friedman dan Schwartz menulis dua makalah yang mendokumentasi sumber dan
pengaruh perubahan dalam kuantitas uang selama periode 1867 – 1960 dan 1867 – 1975
di Amerika Serikat. Secara empiris, Friedman dan Schwartz berhasil memverifikasi
hubungan antara inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar. Hasil penelitian
Friedman dan Schwartz menunjukkan bahwa di Amerika Serikat dekade-dekade dengan
pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, dan dekade-dekade
dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi yang rendah.
Hasil yang sama diperoleh dari perbandingan tingkat rata-rata inflasi dan tingkat
rata-rata pertumbuhan uang di lebih dari 100 negara selama tahun 1990-an. Dalam kajian
tersebut, terdapat hubungan yang jelas antara pertumbuhan uang dan inflasi. Negara-
negara dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi,
sementara negara-negara dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi
yang rendah. Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi
dengan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini
bekerja paling baik dalam jangka panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan
demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dalam data bulanan tidak akan
seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10 tahun.
Keynes dalam Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi disebabkan oleh
permintaan agregat yang terjadi bukan hanya karena ekspansi Bank Sentral melainkan
juga oleh pengeluaran investasi (baik oleh pemerintah maupun swasta) dan pengeluaran
konsumsi pemerintah yang melebihi penerimaan (defisit anggaran belanja Negara)
dalam kondisi ekonomi full employment.
Nilai uang ditentukan oleh supply demand terhadap uang. Jumlah uang beredar
ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand)
ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian.
Jumlah uang yang diminta masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada
tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar
jumlah uang yang diminta. Tingkat harga ditentukan dan berubah seiring dengan
perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity theory of money).
Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian merupakan
nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama
terjadinya inflasi.[14]
Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia dan temuan ini tidak
sesuai dengan teori dimana apabila jumlah uang beredar bertambah maka tingkat inflasi
akan meningkat. Dalam penelitian yang telah dilakukan jumlah uang beredar mempunyai
hubungan negatif dengan tingkat Inflasi.[15]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian yaitu
jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank
umum.
2. Tingkat inflasi adalah perubahan harga barang-barang dan jasa-jasa dalam
perekonomian dalam waktu relatif lama. Inflasi adalah salah satu indikator penting
perekonomian selain pendapatan nasional, tingkat pengangguran, ketidakseimbangan
neraca pembayaran dan lainnya.
3. Perkembangan inflasi di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir berfluktuasi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan inflasi di Indonesia yaitu suku bunga
acuan bank indonesia atau dengan kata lain BI Rate yang menjadi signal bagi perbankan
untuk menetapkan tingkat suku bunganya seperti tabungan, deposito dan kredit.
4. Dalam jangka pendek jumlah uang beredar tidak berpengaruh atau tidak signifikan
terhadap laju inflasi di Indonesia. Tetapi, semakin besar jumlah uang yang beredar dalam
masyarakat maka inflasi juga akan meningkat.

B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah harus memperhitungkan atau memperkirakan akan timbulnya
inflasi yang akan terjadi bila ingin mengadakan penambahan pencetakan uang baru,
karena pencetakan uang baru yang terlalu besar akan mengakibatkan goncangnya
perekonomian.
2. Bila telah terjadi inflasi, pemerintah harus selalu siap dan tegas dengan menentukan
kebijakan apa yang dibutuhkan untuk mengatasi inflasi di Indonesia, seperti kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, kebijakan non meneter maupun kombinasi dari ketiga
kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Agus Tri dan Nano Prawoto. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro, Sleman: Danisa Media,
2015.

Boediono. Ekonomi Moneter Edisi 3, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1998

Firdaus, Rachmat dan Maya Ariyanti. Pengantar Teori Moneter, Bandung: Alfabeta, 2011.

Hario Aji Hartomo, “PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR DAN KURS TERHADAP TINGKAT
INFLASI DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH KRISIS GLOBAL 2008”, Jurnal
Media Ekonomi, Vol. 18 No. 3, Desember, 2010
http://www.online.fe.trisakti.ac.id/publikasi_ilmiah/Jurnal%20Media%20Ekonomi/Vol.%2
018%20No.%203%20DES%202010/HARIO%20AJI.pdf

Heru Perlambang, ANALISIS PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR,SUKU BUNGA SBI,


NILAI TUKAR TERHADAP TINGKAT INFLASI, Jurnal Media Ekonomi Vol. 18 No. 2
Agustus 2010
http://www.online.fe.trisakti.ac.id/publikasi_ilmiah/Jurnal%20Media%20Ekonomi/Vol.%2
018%20No.%202%20AGST%202010/HERU%20PERLAMBANG.pdf
Iswardono. Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999.

Nopirin Ph.D. Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, buku II, 1987.

Sukirno, Sadono. Makroekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Ketiga, 2011.

Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999), edisi


keempat, hlm. 213

Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU
BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT
INFLASI DI INDONESIA”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 14 no. 2, Mei, 2014
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jbie/article/viewFile/4184/3713
Detail

[1] Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
Edisi Ketiga, hlm. 281-283
[2] Iswardono. Uang dan Bank, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999), hlm. 120-122
[3] Agus Tri Basuki, Nano Prawoto, Pengantar Ekonomi Mikro & Makro, (Sleman:
Danisa Media, 2015) hlm. 259-260
[4] Ibid,. hlm. 265
[5] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung : Alfabeta,
2011), hlm. 117-119
[6] Drs M. Suparmoko, M.A.,Ph.D, Pengantar Ekonomika Makro, (Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta, 1999), edisi keempat, hlm. 213
[7] Nopirin Ph.D, Ekonomi Moneter, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1987), buku
II, hlm. 27
[8] Ibid,. hlm. 29-30
[9] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung : Alfabeta,
2011), hlm. 121
[10] Ibid,. hlm. 122-125
[11] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung : Alfabeta,
2011), hlm. 125-128
[12] Ibid,. hlm. 128-129
[13] Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU
BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI
INDONESIA”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 14 no. 2, Mei, 2014
[14] Hario Aji Hartomo, “PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR DAN KURS TERHADAP
TINGKAT INFLASI DI INDONESIASEBELUM DAN SETELAH KRISIS GLOBAL 2008”, Jurnal Media
Ekonomi, Vol. 18 No. 3, Desember, 2010
[15] Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS
PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS
TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi,Volume 14
no. 2, Mei, 2014

Anda mungkin juga menyukai