Anda di halaman 1dari 73

Senja hari ini, tidak seperti senja pada

biasanya. Gelap, pertanda langit akan


menumpahkan air matanya. Gadis bersurai
hitam mengkilap itu hanya memandangi langit
tanpa henti, sekilas menyelingi satu atau dua
isapan pada latte yang dia pesan tadi. Tak
banyak pikirnya kali ini, dia hanya sebatas
bertanya ‘mengapa tidak kunjung hujan?’
dalam benaknya.

“Hei maaf, udah lama banget


nunggunya, Kei?” Seseorang menepuk
pundak gadis yang disebut ‘Kei’ itu.

Sontak ia berbalik, “Jake! Aku udah


nungguin daritadi, lho, kok baru dateng?”

“Maaf, maaf. Tadi ada urusan


sebentar, mau ngabarin tapi udah nggak
keburu lagi,”

1
“Hahaha, ngga papa, keleus. Tau kok,
anak sibuk,” gadis itu tertawa renyah,
menunjukkan lesung pipitnya yang manis.

Jake, laki-laki itu, menarik kursi


kosong lantas mendudukinya santai. Ia terus
mengaduk-aduk kopi yang tadi dipesan
seakan-akan gulanya tak mau larut. Padahal
nyatanya, kopinya itu tak bergula. Keheningan
terbentuk di antara mereka berdua. Gadis itu
sibuk memandangi langit yang perlahan
menitikkan air mata. Ya, sudah gerimis.

“When the raindrops fell down from


the sky. The day you left me, an angel cried.
Oh, she cried, an angel cried. She cried.”

Gadis itu bernyanyi sembari


mengetuk-ngetuk cangkirnya. Ia tersenyum
secerah surya di tengah gelapnya langit yang
menangis.

2
“Hujan gini, ngingetin gue- eh
maksudnya aku, sama satu lagu. Coba tebak,
lagu apa?” Tanya Jake tiba-tiba.

“Apa, tuh? Nggak tau. Bagi clue dulu,


lah.”

“Anywhere with you feels right-”

“Oh, tau! Anywhere with you feels


like, paris in the rain, paris in the rain. We
don’t need a fancy town, or bottles that we
can’t pronounce-”

“’Cause anywhere babe, is like Paris


in the rain. Hahaha, hafal juga, ya?”

“Hafal, Paris in the rain, lagunya Lauv,


penyanyi kesukaan Jake.”

“Exactly. Denger-denger, band


kesukaan kamu dua bulan lagi tur ke sini, ya?
Nonton?”

3
“5 Second Of Summer, ya. Hmm,
enggak. I don’t have anybody to accompany
me,” ujarnya sambil memangku kepalanya
pada siku.

“Aku kemarin ditawarin sama


temenku. Dia punya empat tiket, awalnya dia
mau nonton berempat, tapi nggak jadi. Dia
cuma ambil dua tiket, yang dua ditawarin aku.
Kalau kamu nggak keberatan, nonton yuk?”

“HAH. ARE YOU SURE? PLEASE


TAKE THE TICKETS, PLEASE.”

Netra gadis itu membulat, seakan tak


begitu percaya dengan apa yang dikatakan
Jake barusan. Ia menggengam tangan Jake
tanpa aba-aba.

“I’ll contact him. Nonton sama aku,


ya. Tiketnya jangan dikasihin gebetanmu,
hahaha,” tawanya lepas.

4
“Gebetan-gebetan apa. Gak usah sok-
sokan gitu, deh. Bilang aja mau ngejek kalau
aku jomblo,” si gadis mendengus kesal.

Hujan di luar masih sibuk membasahi


seisi kota Eden itu. Lampu kota yang sudah
mulai hidup masih tak bisa mengalahkan
gelapnya langit. Langit masih sangat sedih,
entah siapa yang menjahati langit. Perhati
gadis itu masih kepada air-air yang jatuh. Tak
ayal, sejak kecil memang sesuka itu dia pada
hujan. Ia menyayangi bundanya, bundanya
adalah perantara kenalnya si gadis dengan
hujan. Itu alasan klasik ia menyayangi hujan.

Pluviophile, satu kata yang tepat untuk


menggambarkan gadis itu. Di mana pun dia
berada, jika langit sudah menunjukkan tanda-
tanda bersedih, pasti dia memberhentikan
aktivitasnya hanya untuk menatap langit.

5
Hujan itu tenang, hujan itu damai, hujan itu
luapan emosi terdalam pada dirinya.

“Keiko Nanami, jalan-jalan, yuk!”

“Hah?”

“Enggak, aku cuma baca pop-up


notification di ponselmu itu…”

“Ah, oh- kaget. Kirain siapa, ternyata


aplikasi ticketing online.” Gadis itu mendadak
diserang salah tingkah.

“Kirain gebetan, yaaa? Hayo?”

“Udah dibilang, nggak punya, Jake.”

Kepala Keiko, gadis itu, mendadak


pusing. Ia bergelut dalam memorinya,
semuanya seakan berputar. Memori lama
menerobos masuk lagi dan berhasil. Gadis itu,
kembali ke masa lalu melalui memorinya.

6
Bunda, Keiko kecil, payung bermotif
kucing, tali sepatu, dan hujan. Memori kecil
yang sangat dihindari Keiko datang lagi. Kilas
balik mulai menajam dalam pikirnya. Sakit,
benaknya sakit. Rasa ingin menangis, tapi tak
bisa diluapkan. Rasa ingin berteriak dalam
hati memuncak, tapi suara mengikat dalam
benak. Semuanya sesak. Keiko merasakan ia
hancur di dalam dirinya sendiri.

“Jake… mau… pulang.” Gadis itu


susah payah berucap.

“Kei, what’s wrong? Ah, i think i


know what’s happening on you. Let me take
you home.”

Jake merengkuh tangan lemas Keiko.


Ia menitah tubuh kecil itu dengan hati-hati.
Jake benar-benar yakin, Keiko sedang tidak
baik-baik saja. Yang harus dilakukan saat ini

7
hanya satu, menjauhkan pandangan si gadis
itu dari tangisan sang langit.

Peluhnya luruh, tangisnya pecah


sekejap dalam rengkuhan Jake. Pikirannya
masih berat, tapi entah apa yang ia pikir, ia tak
tahu. Tak ada pikiran yang diam sejenak,
semuanya hanya sebatas lewat, tetapi terlalu
banyak. Banyak pikiran, tapi tak tahu apa
yang dipikirkan. Radisha kembali ke titik ini,
titik lemahnya.

“It’s gonna be alright, Kei. Trust me,


you’ll be fine. Waktu bakal secepatnya
nyembuhin kamu. Keiko pasti bisa, semangat.
Bertahan sedikit lagi, kamu bisa, aku percaya
kamu.”

Jake mengelus puncak kepala Keiko


lembut. Tangisnya masih tak reda, tapi lain
dengan hatinya. Hatinya tersenyum senang.
Netranya sudah tak menaruh perhati pada

8
hujan, telinganya sudah tak mendengar
rintikan-rintikan hujan lagi. Seharusnya ia tak
tenang sekarang, tapi dalam dekapan Jake,
hangat dan tenang menyelimutinya.

Sekarang sudah tak lagi mereka


menatap rintik-rintik tangisan langit melalui
jendela besar kedai kopi, Keiko tertidur lelap
di atas sofa apartemennya. Semua tirai ditutup
Jake rapat, lampu-lampu dalam apartemen
dinyalakan sebagai sumber cahaya. Selimut
dibalutkan guna menghangati tubuh kecilnya
yang dingin, pikirnya perlahan tenang.

Keiko amat bersyukur, Jake ada di


sisinya saat ia sedang seperti ini. Bipolar, itu
kata si psikiater muda tentangnya. Ia lupa,
kemarin harusnya ia pergi menemui si
psikiater itu lagi. Padahal, mereka sudah
memiliki janji. Biasanya psikiater itu akan
mengirimi pesan satu hari sebelum jadwal

9
kontrolnya tiba, tapi dua hari yang lalu tidak.
Ah, si psikiater itu lupa, sepertinya.

Baru saja dibahas, ponsel Keiko


berdering. Masih berat untuknya bangun,
maka ia biarkan ponsel itu berdering sampai
sematinya. Tapi, tangan Jake yang cekatan
meraih ponsel tersebut dan langsung
diangkatnya.

“Halo, Keiko?” Seberang menyapa.

“Halo, Keikonya sedang tidur. Ada


apa, ya?”

“Oh, mohon maaf. Dengan siapa saya


berbicara, ya, kalau boleh tahu?”

“Saya Jake, temannya.”

“Ooohh, sepertinya ini Jake yang


kerap disebut namanya itu ya. Tidak ada hal
yang terlalu penting. Besok, saya harap Keiko
bisa menemui saya. Kemarin jadwal

10
kontrolnya, tapi hari sebelumnya saya lupa
mengabari. Tolong ya sampaikan padanya,
Jake. Terima kasih banyak,”

Keiko membuka matanya perlahan,


menatap Jake yang tengah menjawab telepon
itu. Bertanya siapa yang menelepon. Layar
ponsel dijauhkan sedikit dari telinga Jake,
matanya melirik layar, lalu bibirnya
menjawab tanpa suara, ‘si psikiater’. Keiko
hanya ber-ooh ria. Ia menduga, pasti psikiater
muda itu mengingatkan jadwal kontrolnya.

“Halo? Masih tersambung, kan,


teleponnya?”

“Ah iya, nanti saya ingatkan. Sama-


sama, dok.”

“Baik, saya tutup ya teleponnya,


selamat malam.”

11
Telepon diputus oleh pihak seberang.
Jake menghampiri Keiko yang kini tengah
duduk menggenggam remote televisinya. Ia
duduk di samping Keiko yang matanya hanya
fokus tertuju pada layar televisi yang mati.
Kedua kakinya diangkat di sofa dan
dipeluknya.

Jake merangkul bahu Keiko, “Nggak


mau nonton televisi yang nyala?”

“Hehehehe, mau. Mau Netflix-an.


Nonton apa, ya, enaknya?”

“Nonton The End Of The F******


World yang season kedua? Or, Paradise
Beach?”

“Nggak mau.”

“Hmm, Heartstrings? The Knight


before Christmas? A Holiday Engagement?”

12
“Nggak. Hahahaha nggak jadi mau
Netflix-an,” Tawanya renyah.

“Apadooong terus?”

“At night when the stars light up my


room, i sit by myself. Talking to moon~ Tryna
get to you~ In hopes you’re on the other side,
talking to me too. Or am i a fool, who sits
alone. Talking to the moon. Ah, kangen
banget… sama bunda. Bunda kangen Iko
nggak, ya, di sana? Huft.”

Keiko mengeratkan pelukannya pada


kedua tungkainya itu. Lagi-lagi, suasana
hatinya berubah begitu cepat. Baru tadi ia
tertawa, sekarang rasanya benaknya ingin
meledak. Ingin menangis lagi, sejadi-jadinya.
Keiko kesal, sungguh kesal. Suasana hatinya
tak semudah itu ditebak. Menit pertama bisa
saja ia tertawa, tapi menit kedua tawanya juga
bisa saja sirna.

13
“Jake, i’m weird. Keiko aneh. Kenapa
Jake mau temenan sama Keiko…? Keiko kan
aneh banget, tadi ketawa-tawa, tapi sekarang
mau nangis terus. Jake kenapa mau teme-“

Ucapannya terpotong. Telunjuk Jake


membungkam bibirnya. Keiko menitikkan air
mata lagi saat Jake perlahan menariknya ke
dalam pelukan. Jake tetap terdiam, ia
menenangkan Keiko dalam diam sampai
tangisnya mereda.

Tangis Keiko sepertinya sudah


terhenti, “Kei, kamu nggak pernah sekalipun
aneh di mataku. Kamu Keiko yang hebat,
Keiko yang selalu aku banggakan
eksistensinya. Berhenti bilang kamu aneh,
kamu istimewa buat aku. Jake di sini mau jadi
teman Keiko karena emang Jake mau.”

“Kenapa… kenapa harus mau…”

14
“Kei, kamu sadar nggak kalau kamu
mancarin sinar semangat buat aku? Inget, kan,
aku dulu nggak bisa buat mulai berteman atau
bersosialisasi dengan sekitar? Tapi kamu
gapai tanganku, kamu bantu aku buat jadi
pribadi yang lebih baik. Aku mau jadi kaya
kamu, aku mau kamu bisa lewatin semuanya,
enggak ataupun dengan aku. Jadi, ayo
semangat?” Jake menyunggingkan senyum.

Keiko tak menggubris perkataan Jake,


ia hanya tetap terus terisak. Jake benar, ia
harus semangat.

Jake melirik kearah jam dinding digital


yang lumayan besar, sudah masuk pukul
sepuluh waktu Eden.

“Kei, udah malem. Aku balik dulu, ya?


Besok ada kelas dan aku belum nyelesaiin
tugas, deadline-nya besok, hehe. Take a rest

15
for healing yourself this night, hope tomorrow
will be better than today. Dadaah!”

Jake bangkit dari duduknya, menatap


Keiko sejenak memastikan bahwa sahabatnya
itu sudah mereda. Jemarinya menggenggam
gagang pintu apartemen Keiko, Tapi sebelum
ia membuka pintunya, Jake berbalik.

“Kei, aku hampir lupa. Aku tadi buatin


crème soup. Ada di Pantry, sama susu tadi
aku tuang di gelas. Dimakan dulu sebelum
tidur, katamu crème soup buatan Jake setara
sama punya restoran bintang dua puluh?
Hahaha, yang ini beneran pamit, dadaah!”

Jake membuka pintu dan punggungnya


tak terlihat lagi setelah itu. Keiko menatap
punggung Jake yang mulai menjauhinya.
Bibirnya menyunggingkan senyum indah
bagai rembulan. Ia pun bangkit dan menuju ke
Pantry. Benar saja, semangkuk crème soup

16
dan segelas susu stroberi menyapanya. Ia
duduk dan memposisikan siap menyantap
makanan tersebut.

“Hahaha, bintang dua puluh, konon.


Kenapa anak itu mengingat semuanya dengan
baik? Aku benar-benar heran.”

Keiko bermonolog sembari menyantap


makanan tersebut. Sesekali tangan kirinya
sibuk menggulir layar. Entah hanya sekedar
melihat-lihat postingan, membalas chat, atau
mengomentai sesuatu diselingi dengan sedikit
umpatan.

Setelahnya selesai, ia membereskan


Pantry dan masuk ke dalam kamarnya.
Pendingin ruangan dihidupkan, pemutar
musik dibuka. Untuk kali ini, telinganya
memilih mendengarkan suara hujan.
Tangannya bergerak cepat saat dirasa ada
notifikasi muncul. Oh, itu notifikasi pesan dari

17
Jake rupanya. Pasti Jake mengiriminya pesan
untuk mengabari bahwa ia sudah sampai di
rumah dengan selamat, atau sekadar
menanyakan masakannya tadi. Keiko sudah
sangat hafal kebiasaan Jake ini tentunya. Dan
benar saja dugaannya, Jake menanyakan
perihal crème soupnya tadi.

Jake, A.
Bagaimana, crème soup chef Jake, nona
Keiko?

Kei.
Sepertinya kau akan naik pangkat bintang,
Jake.

Jake, A.
HAHAHA. Apa aku akan naik menjadi chef
hotel bintang lima puluh empat?

Kei.

18
Kau ini seperti preman saja. Bintangnya
terlalu banyak.

Jake, A.
Nggak apa-apa, lah. Emang kenapa, kalau
kebanyakan?

Kei.
Nggak dibolehin banyak-banyak, nanti
bintangnya habis.

Jake, A.
Hahaha, oke. Nggak bakal aku habiskan. Btw,
tidur Kei.

Keiko tersenyum sembari menatap


layar ponselnya. Baterai ponselnya sedikit lagi
habis, ia segera meraih kabel charger dan tak
lama kemudian, ia pun terlelap.

19
 
Suara alarm berbisik pada telinga
Keiko, membangkitkannya dari tidur pulasnya
semalam. Keiko bangun, melirik jam dinding
yang terpampang nyata di depan matanya.
Pukul delapan pagi, kata jam itu. Gadis cantik
itu langsung terperanjat. Pasalnya, pukul
sembilan lebih lima belas, kelasnya dimulai.

Tanpa aba-aba atau selingan, ia


langsung lari terbirit-birit ke kamar mandi.
Membilas dirinya dan melakukan perawatan
wajah sebentar. Seusainya, ia mengambil baju
terburu-buru. Membuka lemari dan
mengambil baju seadanya. Crop-tee warna
salem dan celana model boyfriend jeans
tergapai tangannya. Langsung ia kenakan dan
mulai memoles wajahnya dengan make-up.
Setelahnya, ia langsung bergegas menuju
kampusnya.

20
Sampai di kampus, Keiko tak
menemukan teman-temannya. Ia merogoh
ponsel dalam sakunya dan tanpa basa-basi lagi
ia langsung membuka pesan. Kelasnya
diundur nanti sore.

“SIALAN,” umpatnya.

Keiko jelas kesal. Ia merutuki dirinya


sendiri karena tadi tak membuka ponsel
terlebih dahulu. Padahal, pesan tersebut
masuk ke ponselnya tepat saat ia akan
berangkat. Keiko hendak menghubungi Jake
lewat telepon, tapi seingatnya Jake ada kelas
pagi ini. Maka Keiko langsung menyalakan
mesin motornya lagi dan menuju ke
Perpustakaan Utama. Bukan tanpa alasan ia
langsung menuju ke sini, kopi gratis yang
boleh diisi ulang -khusus dosen dan
mahasiswa saja- dan akses gratis internet yang
menariknya.

21
Keiko masuk ke Perpustakaan dan
langsung menuju ke shelter kopi. Tentu kartu
mahasiswa dicek terlebih dahulu, guna
memastikan bahwa memang benar dia adalah
mahasiswa Universitas Edenford. Penjaga
shelter itu melirik sekilas dan mengangguk,
Keiko langsung mengambil segelas latte,
seperti biasa.

Keiko duduk di daerah dekat jendela


besar di lantai tiga. Lantai satu dan dua penuh
mahasiswa tahun awal yang sibuk
mengerjakan tugas makalah, penelitian, atau
laporan. Ramai, Keiko tak begitu suka. Lantai
empat, ramai mahasiswa semester akhir yang
sibuk dengan tugas akhir, skripsi tentunya.
Lantai tiga merupakan tempat yang cocok
untuk ini, tak begitu ramai dan kualitas
internet baik.

22
Keiko menyesap kopinya sedikit-
sedikit. Ia menghabiskan waktu dengan
melamun menghadap ke jendela besar itu.
Pemandangan yang tampak hanya gedung-
gedung fakultas dan beberapa pohon yang
rindang. Cerah, sang surya agaknya sedang
bahagia.

Ponselnya diraih, menekan panggilan


cepat nomor nol. Panggilan cepat itu tentunya
si psikiater muda.

Telepon tersambung, pihak seberang


sudah mengangkat.

“Halo, apa kau sedang sibuk?” Keiko


mengawali.

“Oh Keiko! Kau selalu


menghubungiku tepat setelah aku menyantap
camilan pagiku, haha, aku tidak sibuk
sekarang ini.”

23
“Ah benarkah? Haha, kebetulan yang
terjadi berulang-ulang.”

“Ada apa? Eh, kau nanti kemari, ya?


Jadwalmu untuk kembali seharusnya tempo
hari yang lalu, kan? Aku lupa waktu itu
mengabari…”

“Iya, nanti aku akan mengunjungimu.


Setelah aku selesai kelas, ya. Haha tidak apa-
apa, aku juga lupa. Terlalu banyak tugas
membuatku jadi sebegitu sibuk. Ah, aku
menelepon hanya ingin bilang kalau nanti aku
akan ke sana. Sudah dulu ya. Selamat
menjalani aktivitas, semoga harimu
menyenangkan. Kututup, daah.”

Belum sempat dijawab, telepon sudah


dimatikan Keiko. Ia menyesap lagi kopinya
dan mulai mengambil Ipad dan pensilnya.
Menggambar secara digital, hobinya. Salah
satu sarananya menuangkan emosi dan

24
beberapa pikirannya selain hujan adalah
menggambar. Bakat gambarnya juga turunan
dari sang bunda. Keiko ini benar-benar anak
bunda. Hampir semua bakat, hobi, dan
kebiasaannya turunan dari bundanya.

Bundanya suka hujan, Keiko juga.


Bundanya suka alunan nada-nada yang indah,
Keiko menyukai musik dan beberapa
instrumental. Bundanya sosok yang artistik,
sama halnya dengan Keiko. Keiko pandai
menggambar, selihai dengan bundanya.
Makanya saat ini, Keiko berstatus sebagai
mahasiswi Fakultas Seni dan Desain Jurusan
Desain Grafis di Universitas Edenford.
Bundanya cantik dan baik, sama seperti
Keiko.

Memang banyak kebaikan yang


menurun pada Keiko, tapi tak memutus
kemungkinan ada hal buruk yang ikut turun.

25
Bundanya pandai menyembunyikan masalah,
seolah-olah taka da apa-apa. Ya, Keiko juga.
Yang parah, Bundanya punya penyakit.
Hanahaki Byou atau Hanahaki Disease.
Hanahaki Byou atau Hanahaki Disease adalah
penyakit yang menyerang saluran pernafasan.
Penyakit ini disebabkan oleh one sided love
atau cinta bertepuk sebelah tangan. Dapat
menyebabkan tumbuhnya kebun bunga di
paru-paru manusia. Bunga-bunga itu akan
terus mekar dan tumbuh hingga menyumbat
sistem pernapasan. Bila sudah parah,
penderitanya dapat meninggal karena
kekurangan oksigen. Penyakit ini menurun ke
Keiko.

Ting!

Ada notifikasi dari ponsel Keiko.


Segeralah notifikasi itu dibuka olehnya.
Ternyata dari teman kelasnya, Henriette,

26
mengabari kalau kelas hari ini batal karena
dosennya masih di kota seberang. Seperti
mencari jarum dalam tumpukan jerami, sia-sia
Keiko bergegas cepat ke kampus. Keiko yang
kesal langsung keluar dari Perpustakaan
Utama.


Keiko memarkir motornya sempurna
pada parkiran Rumah Sakit Noreden.
Tentunya kedatangannya ke sini untuk
menyapa si psikiater muda itu. Tak lama
butuh waktu lebih lama untuk berjalan,
ruangan psikiater itu ada di Klinik Jiwa, lantai
satu. Kosong bangku antriannya, berarti
sedang tak ada pasien, syukurlah. Ia langsung
masuk ke dalam ruangan psikiater muda itu.
Tak perlu heran mengapa Keiko tak perlu
melakukan pendaftaran terlebih dahulu seperti
pasien-pasien lain, suster-suster dan beberapa

27
dokter hafal dengan Keiko. Psikiater itu
mengenalkan Keiko sebagai anaknya. Keiko
sudah dianggap anak kandungnya sendiri,
padahal nyatanya Keiko hanya anak asuhnya
saja.

“Halo, Keiko! Bagaimana hari-harimu


minggu ini? Kau tak mengunjungiku, aku
sedikit sedih karena aku juga belum sempat
menengokmu.”

Psikiater muda itu menyapa Keiko


sebegitu ramah dan hangatnya. Keiko
menyukainya. Psikiater itu sehangat
bundanya.

“Aku kaaangeeen! Maaf aku telat,


semingguan ini aku sibuk sama tugas. Banyak
paper,” dengusnya.

“Banyak pikiran juga, am i wrong?”

28
“Nggak, memang betul. Seingatku
kemarin kumat lagi, deh. Tapi nggak papa,
hari ini nggak ada kumat-kumat. I’m glad, aku
hari ini sempat ke sini.” Keiko duduk di kursi
depan meja kerja psikiater muda itu.

Psikiater itu bangkit dari duduknya


dan memeluk Keiko, “Mikirin apa sih,
sayang?”

“Bunda, aku, payung, tali sepatu,


hujan. Itu-itu aja, tapi masih sakit banget
kalau keinget.”

“Emosimu masih belum stabil


tandanya, nggak apa-apa, it will pass. Waktu
bakal nyembuhin kamu. Nanti ada kelas,
nggak, Kei?” Tanya si psikiater.

“Kelasku dibatalin, AKU SEBEL


BANGET. Masa ya, aku udah sampai di
kampus rapi-rapi jam sembilan karena
jadwalnya masuk jam sembilan lima belas.

29
TAPI KELASNYA KATANYA DIUNDUR.
Ya udah, aku ke perpustakaan utama, tapi tau-
tau Henriette imessage aku kalau dosennya
masih di kota seberang dan kelasnya batal.
How am i supposed to not be mad with it???”
Keiko mengomel sejadi-jadinya.

“Wah, Kei. Aku kalau jadi kamu pasti


bakal ngerasa fucked up banget, sih. Omong-
omong karena hari ini kamu nggak ada kelas,
jalan-jalan, yuk? Aku mau nyari makan siang,
lapeer.” Psikiater itu menunjukkan ekspresi
sedihnya saat ia berkata ‘lapar’.

“Loh kok mau jalan-jalan, sih? Kalau


ada pasien?” Tanya Keiko.

“Ini hari kamis, Kei, bukan jadwalnya


aku praktik. Aku sengaja ke sini, kan kamu
bilang tadi kamu mau mengunjungi aku.”

Psikiater itu menyimpan kedua


tangannya di saku celana dan menatap Keiko

30
sembari berjalan mendekati pintu. Ia
mengangkat kedua alisnya, “Nggak mau
nemenin, nih? Hahaha.”


Kalau bertanya mengapa bisa Keiko
diasuh oleh psikiater muda ini, Keiko sudah
tidak punya siapa-siapa lagi yang
merawatnya. Bundanya meninggal dunia, saat
Keiko masih duduk di bangku sekolah dasar,
tepatnya saat ia berusia sembilan tahun.
Sempat tinggal dengan sang ayah, sekitar
hampir enam tahun, namun akhirnya Keiko
ditelantarkan. Ayahnya menikah lagi. Keiko
sering ditinggal sendirian di rumah, ayahnya
mengaku lembur, padahal ayahnya sibuk
dengan pacarnya. Awalnya Keiko percaya-
percaya saja, tapi lama-lama terbongkar
sudah. Menginjak dunia Sekolah Menengah
Atas, Keiko tinggal bersama bibinya.

31
Bibinya tak sebaik saat sang bunda
masih hidup. Bibinya itu, keras dan tega.
Hampir setiap hari Keiko diperbudak, dipukul
jika tak sesuai kerjanya dengan yang
diharapkan sang bibi. Keiko akhirnya lulus
Sekolah Menengah Atas dan masuk ke
perguruan tinggi. Universitas Edenford,
Universitas impian masyarakat Eden. Keiko
masuk dengan bekal beasiswa. Saat tes
masuk, Keiko mendapat peringkat kedua,
peringkat nyaris sempurna. Rewardnya yaitu
beasiswa penuh, sampai lulus. Jake,
sahabatnya sejak bangku Sekolah Menengah
Atas juga berhasil masuk ke Universitas
Edenford dengan jalur mandiri. Sayangnya
mereka terpisah, Jake mengambil Fakultas
Teknik Jurusan Teknik Arsitektur.

Seiring berjalannya waktu, saat Keiko


tepat menginjak tahun ketiga di perguruan
tinggi, Keiko mulai sering merasa stres dan

32
murung. Tahun terberatnya saat itu. Jake yang
sadar pun mengajak Keiko ke si psikiater
muda itu. Jeaneth Rose Marianne, Dokter
Marie singkatnya. Mengetahui kondisi Keiko,
Marie mengangkat Keiko menjadi anaknya.
Tak semata-mata karena penuh iba dan pilu
akibat tahu latar belakang Keiko, tapi Marie
memang menyayangi Keiko. Marie benar-
benar memperlakukan Keiko seperti anak
kandungnya. Ia memfasilitasi lengkap Keiko.
Sebenarnya ia bisa memberikan apapun pada
Keiko, tapi Keiko tak mau. Tak ingin punya
mental lemah dan mengemis, katanya. Keiko
tinggal di apartemen milik keluarga Marie.
Tak perlu membayar sewa atau biaya beli,
tinggal menempati saja. Ponsel, alat
elektronik, peralatan kuliah, motor, dan uang
saku bulanan semua dari psikiater itu.
Sebenarnya psikiater itu sudah menawari
Keiko beberapa barang mewah seperti mobil

33
dan beberapa barang branded, tapi Keiko
kekeuh tidak tertarik. Takut ketergantungan
hidup dalam harta, nanti tenggelam.


Keiko pamit pulang karena dirasa
sebentar lagi langit akan menangis. Bukannya
tak mau menikmati langit seperti hari-hari
biasanya, tapi Marie bilang, hindari dulu.
Keiko juga tak boleh makan nasi selama
mengonsumsi obat yang diberi Marie tadi.
Entah obat apa namanya, yang jelas semacam
penenang syarafnya. Jarak Rumah Sakit
Noreden dengan apartemen tak begitu jauh,
dengan motor sekitar lima belas menit pun
sampai. Tak seperti jarak apartemen dan
kampus yang memakan hampir setengah jam.

34
Sampai di apartemen, ponsel Keiko
bordering. Sepertinya ada telepon masuk, dan
benar, itu Jake.

“Hei, Kei! Aku dapat tiketnya, tiket 5


Seconds Of Summer.”

“WAH SERIUS?! Katakan padaku,


aku harus membayar berapa? Oh Tuhan, gila,
aku senang sekali.”

“Aku tak menyuruhmu mengganti.


Lagipula ini tidak beli, kok, tapi diberi cuma-
cuma sama temanku.”

“Ck Jake, yang benar saja. Jangan


membohongi aku, memangnya temanmu itu
malaikat dari surga?”

“HAHAHA. Tapi aku serius, Kei. Dia


bilang tak perlu dibayar, anggap saja hadiah.
Begitu katanya. Aku bahkan tak tahu berapa

35
harganya jika kau tetap yakin ingin
mengganti.”

“Ya ya ya baiklah terserah apa katamu


saja. Jake, rasanya badanku ingin remuk.
Sepertinya aku harus bergegas ritual malam
dan tidur, deh.”

“RITUAL MALAM APA


MAKSUDMU,”

“Maksudku skincare routine.


MEMANGNYA APA. Kau berpikir yang
tidak-tidak, ya?!”

“NGGAK YA. Kau ini sembarangan,


aku masih suci asal kau tau.”

“Bohong besar, cih. Sudah-sudah, aku


yakin kau sedang berpacaran dengan tugas-
tugasmu sekarang ini. Aku tak mau
mengganggu lebih lama, jadi selamat
mengerjakan, Jei Jei!”

36
Sambungan telepon terputus. Keiko
pun langsung berberes diri dan bersiap untuk
tidur. Sepertinya memang benar, gadis ini
sudah sangat lelah tubuhnya. Ia langsung
terlelap setelah kurang lebih dua menit
berbaring di kasur.


Langit kala itu menangis, tapi tak
begitu sedih nampaknya. Hanya bulir-bulir air
yang tak terlalu besar dan lebat turun
membasahi bumi. Keiko Nanami dan
bundanya sedang menikmati hujan. Mereka
tak sekedar menikmati di bawah teduhan,
tetapi berjalan-jalan menggunakan payung
bermotif kucing dan jas hujan karet.

Pertanyaan muncul dalam pikiran


Keiko kecil, “Bunda, bunda! Kenapa sih,
hujan tapi kita malah jalan-jalan?”

37
Bundanya tersenyum lebar sembari
menjawab, “Kita menyatu sama air-air
Tuhan

dulu, ya? Bunda mau Iko senang-senang di


bawah hujan. Iko suka hujan, tidak?”

“Sukaaa! Iko suka hujan! Hihihi,”


tawa Keiko kecil.

Tali sepatu Keiko terlepas, sang bunda


menyadari itu. Tak mau anaknya nanti
tersandung atau apa, maka cepat-cepat sang
bunda menghentikan langkah dan
membetulkan tali itu. Keiko awalnya kaget
karena bundanya tiba-tiba berlutut di
hadapannya, tetapi akhirnya sadar kalau
talinya terlepas.

“Talinya terlepas, sayang. Bisa tolong


genggam payungnya dulu? Bunda talikan.”

38
Tangan sang bunda menyodorkan
payung kepada Keiko untuk digenggamnya.
Keiko mengangguk sembari menunggu
bundanya selesai menali.

“Bunda, Iko sayaaaang bunda. Iko


mau sama-sama bunda teruuus!”

Bundanya tersenyum lagi, benar-benar


cerah, “Iya, bunda juga sayaaang Iko. Bunda
mau nemenin Iko sampai Iko tua.”

Sayangnya, hanya dusta, sebuah dusta


besar. Dua hari setelah menikmati air Tuhan
yang jatuh, bunda pergi. Tak dekat dan tak
sebentar, bunda pergi untuk selama-lamanya.
Alasan dibalik meninggalnya bunda adalah,
hanahakinya.

Hanahakinya sudah sering kali


kambuh. Hampir setiap hari bunda
memuntahkan bunga marigold. Bunga itu
akan dimuntahkan apabila sang empunya

39
disakiti oleh seseorang. Penyebab muntahan
bunga marigold bunda tidak lain dan tidak
bukan, ayah. Bunda sudah kerap kali menahan
sesaknya kebun bunga yang mekar dalam
jantungnya. Bunda tak mau melakukan
operasi pengangkatan kebun bunga. Konon
katanya, jika operasi dilakukan, maka si
penderita tersebut tidak dapat lagi merasakan
yang namanya cinta. Artinya, rasa cinta dan
sayangnya kepada Keiko juga akan hilang.
Ayah memang tak sebegitu cinta dengan
bunda, ia kerap mengasari bunda baik di
depan maupun belakang mata Keiko. Sampai
pada puncaknya, ayah selingkuh. Sudah
benar-benar habis cintanya untuk jalang gila
pilihan ayah itu sampai-sampai tak ada lagi
sedikitpun sisa cinta untuk bunda. Berakhirlah
tragis, hanahakinya makin menjadi.

Keiko tahu semuanya dari torehan-


torehan kata pada laptop bunda yang sengaja

40
tak diberi sandi. Bunda pergi saat Keiko
berusia sembilan, tapi kebeneran baru
terungkap saat Keiko menginjak usia tiga
belas, hampir remaja. Salah satu curhatan
bunda yang seakan terpatri dalam ingatan
Keiko adalah,

“Jika betul kau cinta, maka sayangi


aku, sepenuh dan setulus hatimu. Jika kau
tak cinta, tak perlu banyak lagak seakan-
akan kau mencintaiku. Semuanya mesakkan
hati. Kau tak pernah tau, seberapa sakitnya
para marigold memberontak keluar dari
tubuhku. Pergi, jika ingin pergi. Tinggal,
jika kau memang masih ingin bersamaku.
Aku rela kau tinggalkan, tapi tak pernah
rela kau sakiti.”

41
Keiko bangun dalam posisi langsung
terduduk karena kaget. Mimpi- ah bukan,
memori itu datang lagi mengganggunya.
Sebuah fraksi yang sebegitu menyakitkan dan
menyayat hati lagi-lagi tega merusak tidur
lelap si gadis. Birai ranumnya mendadak
terasa getir, Keiko menangis. Isak tangis
bergerak terjun bebas membahasahi pipi
Keiko. Bunda, bunda, bunda. Hanya itu yang
ia pikirkan sekarang. Tangannya gusar
mencari obat yang diberi Marie tadi di nakas
kecil samping ranjangnya. Lekas diminumnya
obat itu agar dirinya dapat tenang lagi seperti
semula.

Obatnya menyakitkan. Saraf-sarafnya


seperti ditarik paksa untuk melemas sampai
sang empunya meringis. Namun pada
akhirnya dapat terlelap lagi dengan tenang
sampai esok hari.

42
Sekitar pukul sebelas siang, Keiko
baru bangun. Untung hari ini tak ada kelas,
jadi Keiko bisa bersantai-santai saja di
apartemen. Ia sarapan, menunya simpel saja,
hanya dengan semangkuk sereal yang diberi
kuah susu putih. Disantapnya sarapan itu di
depan layar televisi.

Tok tok tok

Ada yang mengetuk pintu


apartemennya. Yang tidak lain dan tidak
bukan, pasti Jake. Keiko hafal betul kebiasaan
Jake saat ingin masuk ke apartemennya itu.
Jake hafal sandi, sehingga tak perlu susah-
susah Keiko membukakan pintu.

“Waah, wah. Enaknya makan sereal


sambil Netflix-an. Ceritanya Netflix and chill,
nih? Hahaha,” ucap Jake tanpa basa basi.

“Jake, aku tahu kau sedang ‘mengode’


mau sereal juga, jadi kupersilahkan kau

43
mengambil sendiri di dapur selagi kau masih
punya tangan dan kaki sendiri, yaaa.”

Jake tertawa ringan dan langsung


mengikuti arahan kalimat Keiko yang
mengatakan bahwa sereal ada di dapur.
Setelah sudah selesai mengambil seporsi, Jake
kembali ke depan televisi dan duduk di
sebelah kanan Keiko.

“Judul filmnya apa? Kayak nggak


asing, deh, tapi lupa.” Jake bertanya pada
Keiko.

“Beauty And The Beast. Ini live action


dari animasi gitu, deh. Padahal aku sudah
hampir lima kali menonton, tapi masih nggak
bosan,” jawab Keiko.

“Memang film genre ini sepertinya


seleramu banget. Based on this film, nggak
ada niatan buat nyari pacar, Kei?” Jake
terkekeh.

44
“Nggak. Kamu aja, carilah. Kamu kan
banyak yang naksir, tinggal pilih saja.”

“Yah, kenapa kamu nggak mau cari


pacar?”

“Jatuh cinta itu sakit, aku nggak bisa.


Lagian, sakitku ini benar-benar
menggangguku. Aku lelah, deh, dengan
penyakit-penyakitku.”

“Penyakit-penyakit? Kalau boleh


tau… memangnya apa saja?”

“Bipolar pasti kau sudah tak asing.


Aku ini… juga menderita hanahaki, Jake.”

Jake mengeryitkan dahinya, wajahnya


penuh rasa ingin tahu, dalam hatinya berbisik,
‘Hanahaki…?’

Bak dapat membaca pikiran, Keiko


menyambung, “Caritahu sendiri saja kalau

45
penasaran, Jake, aku malas menjelaskan.
Sedang tak ingin banyak bicara.”

Jake mengangguk. Keiko


memfokuskan diri menonton film yang sedari
tadi tak dijeda itu. Lelaki itu mengambil
ponselnya dan lekas mengetik pada kolom
pencarian, “Hanahaki” Agaknya Jake sudah
menemukan jawaban dalam pencariannya,
netranya membulat saat membaca penjelasan
tentang hanahaki ini. Seakan ingin percaya
tapi tak ingin percaya.

Keiko dengan acaknya bertanya,


“Jake, rasanya jatuh cinta itu bagaimana, sih?”

Jake tersenyum getir mendengar


pertanyaan Keiko barusan. Jake benar-benar
ingin menangis kala memandang netra gadis
itu. Mengingat masalah hidupnya yang berat
dan sungguh tak sepele.

46
“Jatuh cinta, ya… indah, kalau kata
orang-orang. Tapi buat aku, jatuh cinta itu tak
menyenangkan tapi tak sebegitu menyakitkan.
Ah, lebih baik tak usah jatuh cinta, Kei, nanti
kalau jatuh sakit.”

“Hahaha, enggak. Aku mana tertarik


jatuh cinta, sih. Sepertinya aku akan memilih
mengangkat kebun bunga ini dari jantungku
saja.”

“Kenapa tak pilih opsi A, menjinakkan


kebun bunga itu dengan cara menarik orang
yang kau cinta mencintaimu balik?”

“Tak mau. Membuat orang yang kita


suka menyukai kita balik itu, susah. Suka saja
susah, apalagi cinta. Bukannya aku tak mau
usaha, tapi, memang tak ingin rasanya
mencintai orang. Aku takut, nanti aku seperti
bunda, aku tak mau.”

47
Jake benar-benar getir sekarang. Jake
mencintai Keiko sejak mereka masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas. Sengaja tak
diungkapkan, Jake itu lelaki payah. Ia
menghindari kemungkinan-kemungkinan
buruk yang akan menimpanya. Benar saja,
perkataan Keiko ini seakan menghujam
hatinya. Timingnya jelas tidak tepat .Tertolak,
bahkan sebelum menyatakan. Jake harus
sadar, Keiko tak bisa membalas rasanya, dan
Jake tak boleh egois memaksa Keiko harus
mencintainya juga atau Keiko akan berada
dalam bahaya.

Jika ditanya, mana yang akan dipilih


lebih utama, Keiko memilih persahabatan di
atas nama cinta. Keiko sebenarnya sadar
dengan gerak-gerik Jake yang menunjukkan
afeksi lebih dari sekedar sahabat sejak awal
mereka masuk perguruan tinggi. Keiko hanya
tak mau terlalu percaya diri, sehingga ia tak

48
pernah membahas ini. Keiko bisa saja
membalas rasa Jake, tapi Keiko tak bisa.
Kalau bertanya alasannya mengapa tak bisa,
kembali lagi ke poin yang pertama, Keiko
memilih persahabatan daripada cinta.
Sejujurnya, yang tak mau dengan seorang
Jake Mattiere Anderson itu siapa, sih?
Keluarga Anderson, punya bisnis besar yang
sukses di Kota Eden. Kaya raya? Ya, sudah
jelas. Jake bukan orang sombong, ia benar-
benar rendah hati dan santun. Benar-benar
anak yang baik dan berbakti pada kedua
orangtuanya. Jelas hal ini membuat banyak
yang tertarik pada Jake, tapi tak ada yang
dipilih Jake, semuanya tak sesuai kriteria,
katanya.

Ya jelas tak tertarik, hatinya kan hanya


untuk Keiko saja.

49
Gadis di sampingnya itu sudah terlelap
dalam balutan selimut. Ia memeluk boneka
pinguin kesayangannya. Jake tersenyum, itu
hadiah darinya untuk ulang tahun Keiko yang
ke tujuh belas. Dibelainya surai gadis itu
lembut sembari tangan kirinya meraih remote
televisi untuk mematikan televisi. Filmnya
sudah usai, tapi kata-kata Keiko masih
tertancap pada hati lelaki itu.


Keiko bangun, disambut sang surya
yang perlahan terbit. Semburat cahayanya
menerobos ke dalam kamarnya melalui
jendela. Alam benar-benar indah, Tuhan
menciptakan segalanya sempurna. Keiko
bangkit dan berjalan ke arah jendelanya yang
berukuran besar itu. Ia melakukan sedikit
banyak peregangan agar otot-ototnya tak
kaku, kemudia ia mulai membersihkan diri.

50
Keiko ingat kemarin Marie bilang
bahwa hari ini Keiko diundang makan siang
ke rumah Marie. Adik Marie, Anneliese, baru
saja menyelesaikan studinya di Seattle. Maka
dari itu, Keiko lekas bergegas untuk pergi ke
rumah Marie.

Kawasan rumah Marie merupakan


kawasan elite. Keiko jadi minder sendiri
melihatnya, merasa tak pantas masuk ke sana.
Tapi syukurlah, keluarga Marie benar-benar
baik dan hangat. Kata Marie, keluarga ini juga
keluarga Keiko karena Keiko sudah berstatus
anak angkat Marie.

Keiko sering berfikir, berapa kerajaan


yang telah ia selamatkan pada kehidupannya
di masa lalu, karena semenjak ia beranjak
memasuki usia remaja, hidupnya menjadi
semenakjubkan ini. Bohong jika Keiko tak

51
bahagia, bohong jika Keiko tak senang, dan
bohong jika Keiko tak bangga.

“Keiko! Ayo masuuuuk!”

Itu suara Anneliese. Suara


cemprengnya yang khas dan sapaan ramah
alanya, tentu saja Keiko mengenali itu dengan
mudah.

“An! Ah, aku rindu Anne! Kita lama


sekali tak jumpa, apa kabar? How was
Seattle?” Keiko memeluk Anneliese, tentu
saja pelukan itu disambut hangat oleh
penerimanya.

“Seattle baiiiik! Betah banget aku di


sana, tak ingin pulang saja rasanya. Tapi harus
pulaang! Jika tak pulang, aku tak bertemu
Keiko kecilku ini lagi.” Anneliese tertawa
garing.

52
Mereka sampai di meja makan.
Beberapa jamuan dihidangkan apik nan rapi.
Keluarga besar Marie sudah duduk di kursi
masing-masing. Ada kakek nenek, orangtua
Marie, dua kakak Marie beserta pasangannya,
empat adik Marie, beserta cucu-cucu orangtua
Marie. Para pelayan sibuk di belakang
mengurus makanan dan minuman.

Selama makan siang atau pesta kecil


berlangsung, canda tawa dan senda gurau
memenuhi seisi ruang makan. Keiko akrab
dan ikut tertawa riang, namun tiba-tiba ia
bangkit. Ingin ke kamar mandi, katanya.
Marie tahu, ada yang aneh pada Keiko.
Diikutinya Keiko sampai ke balkon atas.
Keiko menangis, perubahan emosinya benar-
benar menyulitkan. Marie merangkul Keiko
dari belakang dan membelai lembut surai
remaja itu.

53
“Kau bawa obatmu?” Tanya Marie.

Keiko menjawab dengan anggukan.

“Jika sudah selesai menangis, istirahat


saja di kamarmu atau di kamar Anneliese,
kuambilkan obatnya.” Marie tak berhenti
membelai rambut Keiko.

Fraksi nomor dua, tentang keluarga,


meracau dirinya. Keiko rindu, rindu
keluarganya. Ah bukan, lebih tepatnya rindu
hangatnya keluarga. Ayahnya, bundanya, jelas
ia rindu. Ia memang bahagia di lingkup
keluarga Marie, tapi bukan berarti ia lupa
akan masa lalunya.

Keiko tidur pulas setelah kejadian tadi.


Marie menutup pintu kamar Anneliese
perlahan.

“Bagaimana Keiko?” Tanya


Anneliese.

54
“Dia sedang tidur, biarkan saja dulu.”

Marie hendak berjalan menjauhi pintu,


tapi tangannya ditahan oleh Anneliese.

“Marie tunggu, aku ingin berbicara


denganmu sebentar. Ayo ke taman belakang.”

Mereka berdua berjalan beriringan


menuju ke taman belakang seperti yang
dikatakan Anneliese barusan. Mereka duduk
di bangku taman.

“Mau bilang apa, An?” Marie


membuka percakapan.

“Aku rasa, hanahakinya juga


berpengaruh pada kondisinya ini. Akhir-akhir
ini, BPD-nya sering kambuh, kan? Aku yakin,
akhir-akhir ini dia juga sering muntah bunga.”
Terang Anneliese.

55
“Hah, hahaha. Bicara apa kau ini,
melantur ya? Zaman sekarang, hanahaki
masih ada? Hahaha.”

“Yah, percaya atau tidak sih terserah


kau. Tapi itu penyakit turunan ibunya, Mar.
Dia menderita itu sejak kecil. Kita harus
menyembuhkan hanahakinya.”

“Mau disembuhkan bagaimana


caranya? Aku psikiater, bukan dokter spesialis
penyakit kuno.” Marie melipat tangannya.

“Aish kau ini. Kau selaku ibu


angkatnya, setuju tidak?”

“Seharusnya kau beritahu aku dulu,


bagaimana caranya, baru aku bisa
memutuskan.”

“Operasi. Operasi pengangkatan kebun


bunga. Aku punya kenalan orang yang tahu

56
perihal hanahaki ini. Dosenku, Dr. Omada
namanya.”

Netra Marie terbelalak. Operasi,


katanya. Marie jelas tak bisa memutuskan hal
ini sepihak, butuh konfirmasi dari sang
empunya. Marie terdiam untuk beberapa
waktu.

“Tanyakan pada dia. Kalau dia tidak


keberatan, aku memberi lampu hijau.” Jawab
Marie sembari bangkit dan meninggalkan
taman.


“Ya, kau benar. Aku muntah bunga
tiap bipolarku kambuh. Sesak sekali, An. Aku
berencana melakukan operasi pengangkatan
kebun bunga, sayangnya aku tak tahu di mana
dan bagaimana…”

57
Anneliese menatap lamat-lamat gadis
yang sedang sibuk memoles cat kuku warna
ungu di depannya itu. ‘Baru saja aku mau
bertanya, padahal. Gadis ini, cenayang, ya?’
gumam Anneliese dalam hati.

“An? Menurutmu bagaimana…?”

“Ah, iyaa-iya, maaf. Menurutku,


angkat saja, sepertinya sudah cukup
mengganggu bukan?”

“Yah… mengganggu… tapi aku tak


tahu di mana, dengan siapa, dan bagaimana.”

“Tenaaang. Dosenku ada yang


spesialis hanahaki. Jika kau betul-betul mau,
nanti aku hubungi dia dan aku beritahu
Marie.”


Satu bulan kemudian…

58
Pesawat dari Eden ke Seattle sudah
landing. Keiko akan menetap sebentar di
Seattle ditemani Anneliese dan Marie.
Tentunya perihal hanahaki.

Keiko sudah begitu mantap dengan


pilihannya, mengangkat kebun bunga dalam
jantungnya yang telah lama mencekat. Hari
ini, hari pertamanya berkunjung ke Dokter
Omada, spesialis hanahaki. Keiko sudah
bertemu Jake sebelum berangkat ke Seattle.
Jake mengantarnya ke bandara dan berpesan
jaga diri dan jangan lupa kembali ke Eden
karena bulan depan mereka sudah berjanji
akan menonton konser bersama. Jake tak bisa
menemani Keiko ke Seattle, tak ada waktu
katanya, ia mahasiswa yang benar-benar
sibuk.

“Kata Dokter Omada, kau harus ke


sana pukul sembilan, Kei- HAH. LIMA

59
BELAS MENIT LAGI. DOKTER GILA,”
Marie melirik jam dinding.

“Biar sama aku. Kei, ayo berangkat


sekarang. Tak jauh, kok,” ujar Anneliese.

Betul kata Anneliese, tak jauh. Hanya


butuh tujuh menit dengan bus, mereka sampai
di Klinik milik Dokter Omada. Kliniknya
sepi, Dokter Omada belum mulai praktik. Dia
masih sibuk mengecek data pasien bersama
perawat. Oh, perkenalkan, Dokter Omada
Maizuki. Dokter spesialis bedah dan menjabat
sebagai dosen senior di Universitas Seattle.

Dokter Omada sepertinya menyadari


kedatangan Anneliese, segera ia melambai-
lambaikan tangannya ke arah Anneliese,
menyuruh masuk tandanya. Anneliese dan
Keiko pun masuk.

“Jadi… Ini yang kau ceritakan padaku


itu, Alise?” Tanya Dokter Omada riang.

60
“Halo, dokter. Saya Keiko Nanami, si
penderita hanahaki itu,” Keiko
memperkenalkan diri.

“Well, siapa tadi? Keiko Nanami?


Hmm… agaknya tak asing, Aku jadi teringat
anak pasien hanahakiku dulu, Takeuchi
Mikura.”

Hening sekejap. Anneliese dan Keiko


saling bertatap muka.

“Dokter, itu… nama bunda,” ujar


Keiko.

“OH? Jadi kau anak Takeuchi


Mikura?! Wah… sudah besar sekali,” jawab
Dokter Omada.

“Iya… bundaku.”

“Hanahakimu harus diangkat, itu


wasiat Mikura yang kuingat. Hanahaki milik
Mikura dan segala turunannya tergolong

61
rawan. Aku melakukan riset untuk itu
beberapa tahun silam,” Kata sang dokter.

“Jika itu memang wasiat dari bunda,


secepatnya. Pisahkan aku dari hanahaki yang
menyiksa ini.”

“Tapi ingat satu hal, kau akan benar-


benar hilang rasa terhadap orang yang
mencetak memori di bagian terdalam dirimu.
Kau yakin dan siap, Keiko?”

“Yes. I’m ready with it. Aku siap


menerima konsekuensi asalkan aku sembuh,
dok.”

“Pekan depan, di Rumah Sakit


Universitas Seattle. Hari Selasa, kutunggu.”


Hari selasa. Hari yang agaknya akan
menjadi hari bersejarah di hidup Keiko.

62
Menyiapkan mental, sudah. Menelepon Jake,
sudah semalam. Menyiapkan keperluan
operasi, sudah. Sebentar lagi ia akan masuk ke
ruang operasi. Peluh mengucur deras, Marie
dengan sabar mengelap peluhnya dengan tisu.
Anneliese duduk di kursi tunggu sembari
mendo’akan yang terbaik untuk Keiko.
Ranjang Keiko didorong masuk ruang operasi
tepat saat lampu hijau di samping pintu
instalasi bedah menyala.

Operasi berjalan lancar. Butuh waktu


kurang lebih tiga jam hanya untuk
pengangkatan hanahaki ini. Melelahkan,
tentu. Sekarang Keiko sudah di kamar
inapnya, dalam keadaan masih belum sadar.
Kebun bunga dalam jantung Keiko sudah
bertumbuh hampir sampai di tenggorokan.
Jelas berbahaya, namun syukur, tindakan lebih
cepat diambil. Dokter Omada tak mau
usahanya gagal lagi seperti masa Mikura.

63
Biusnya habis, Keiko pun sadar
perlahan. Ia pun membuka matanya sayup-
sayup kemudian menatap lamat-lamat sekitar
seakan bingung ia di mana sekarang. Oh, dia
ingat. Operasi pengangkatan hanahaki dan
Seattle. Anneliese yang pertama kali
menyadari Keiko sudah sadar, ia langsung
menghampiri Keiko.

“IKOOOO!!”

Teriakan Anneliese membuat Marie


terbangun dari tidurnya.

“Keiko syukurlah kau sudah bangun,


minum air putih?”

Keiko menggeleng. Dadanya terasa


lebih lega dari hari-hari sebelumnya. Keiko
senang, tak ada lagi bunga-bunga yang
memberontak keluar saat ada yang
menyakitinya. Marigold itu akhirnya pergi.
Operasinya dinyatakan sukses.

64

Bau apartemennya yang khas
menyambut pulangnya Keiko ke Eden.
Apartemennya gelap, padahal seingatnya ia
tak pernah mematikan lampu. Rintik-rintik
hujan sepertinya membasahi kota Eden. Tanpa
menyalakan lampu, Keiko langsung berlari ke
jendela besar di area ruang keluarga. Di
tengah jalan, ia tersandung.

“APA, NIH.”

“KEJUTAN! Untuk Keiko yang


kembali ke Eden, selamat datang!”

Itu Jake! Pria penuh kejutan


kesayangan Keiko. Keiko awalnya ingin
mengumpat pada Jake karena Jake, ia jadi
tersandung. Tapi tak jadi, umpatan di dalam
pikir, keluar jadi tawa renyah khas milik

65
Keiko. Keiko langsung menghampiri Jake dan
memeluk Jake erat.

“Argh, kangen Jake.”

“Kau pikir aku tidak rindu kamu?


Kamu mana pernah menghubungiku duluan
selama di Seattle. Aku sedih, nih.” Jake
membalas pelukan Keiko.

“Maaaaaf, maaaf. Masa pemulihan,


jadi sibuk, hahaha. Omong-omong, makasih
kejutannya, Jake! Aku beneran terkejut.”

Selepas itu, Mereka berdua


menghabiskan waktu dengan melihat rintik-
rintik air Tuhan sambil makan beberapa roti
yang dibawa Jake. Suara alunan musik dari
ponsel Jake mengisi ruangan yang hening.

River Flows In You milik Yiruma Miru


terputar.

66
“Besok kita nonton konser, lho, jangan
lupa.” Jake mengawali.

“OH IYA. BESOK, YA. Aku hampir


lupa. Untung kamu ngingetin aku.” Keiko
menepuk jidatnya.

“Kei, sorry…”

“Maaf kenapa, Jake? Kenapa tiba-tiba


minta maaf…?” Keiko kebingungan.

“Besok hangout terakhir kita berdua,


buat tahun ini.”

“M-Maksudnya apa?”

“Aku harus ke Australia, Perth


tepatnya. Aku pegang perusahaan papa. Cuma
sebentar, empat tahun. Setiap natal aku balik
ke sini.”

“Ah… aku nggak bisa egois buat


memaksa kamu tinggal di Eden, tapi… setiba-
tiba ini, bahkan aku baru pulang.”

67
“Aku juga… dijodohin. Sama anaknya
rekan aliansi bisnis papa. Aku nggak mau,
sebenernya, tapi hidupku kedepannya gimana
aku nggak tahu. Nggak mungkin aku bertahan
sama cinta sepihak sampai aku mati, kan?”
Jake mengukir senyum miris.

Bagai petir di siang bolong, hatinya


terasa remuk seketika. Aneh, harusnya Keiko
senang. Jake akhirnya punya pendamping.
Tapi anehnya, terasa sakit. Keiko menatap
wajah Jake lamat-lamat, ia pun tersenyum.

“Selamat, ya. Akhirnya Jake punya


pendamping. Ah aku ikut bahagia dengarnya,
selamat Jake selamat!” Senyum getir terpatri
pada bibir ranum Keiko.

Yah, sudah saatnya, mengikhlaskan


semua yang pergi.


68
Hari ini, hari keberangkatan Jake ke
Perth. Keiko jelas menangis. Isaknya deras,
semua meluruh keluar. Keiko sadar, ia sayang
pada Jake. Rasa tak ingin melepas Jake begitu
kuat, menggebu ingin menahan. Tapi daya tak
selaras, Keiko tidak boleh egois.

“Jake, jaga diri baik-baik, ya? Kamu


harus menghubungiku begitu sampai, oke?
Aku menunggu kabar baik CEO muda ini di
Eden! Salam untuk Perth!” Ucap Keiko riang,
dengan air mata yang masih bercucuran.

“Keiko jangan nangis, natal nanti aku


ke Eden bawa oleh-oleh pinguin dari
Australia, deh. Jaga diri baik-baik! Nanti
kalau luang, main lah ke Perth.” Jake
mengacak-acak rambut gadis yang lebih
pendek lima belas senti darinya itu.

Petugas bandara sudah memanggil


nama Jake. Pesawatnya akan take-off, Jake

69
hampir saja tertinggal. Jake masuk ke dalam,
meninggalkan Keiko yang masih menangis.


Dua tahun kemudian…

Keiko bangun dari tidurnya. Hari ini


puncak natal. Keiko senang sekali dengan
datangnya natal, namun sedih juga. Pasalnya,
ia merayakan natal lagi bersama keluarga
Marie tanpa Marie. Marie kecelakaan, tepat
saat malam natal setahun yang lalu. Natal
tahun lalu jadi natal yang menyakitkan untuk
Keiko dan segenap keluarga besarnya.

Natal kali ini, natal penyembuhan.


Semua mulai bangkit dari keterpurukan dan
memulai tahun yang baru.

“Keiko! Ini hadiah milik Keiko. Ayo


dibuka-dibukaaa.” Anneliese menyodorkan
kotak hadiah yang dibungkus rapi dengan pita

70
merah sebagai hiasan. Ada nama ‘Keiko’ pada
pitanya.

Keiko membuka hadiahnya. Ada buku


bercover kayu dan dihias dengan beberapa
lukisan awan dan rintik hujan.

Nostos, Algos

Tulisan itu terpampang sebagai judul.


Keiko mulai membuka-buka buku tersebut.
Isinya hanya seperti buku harian. Namun
dipisahkan dalam beberapa bab yang disebut
‘Fraksi’.

Fraksi satu ; Bunda dan hujan.

Fraksi dua ; Hanahaki Byou.

Fraksi tiga ; Jake Mattiere A.

Fraksi akhir ; Marie Christmas.

Bukan Anneliese yang membuat,


hadiah ini dari Jake. Keiko ingat, Jake janji

71
akan memberinya hadiah natal spesial yang
dia buat atas usahanya sendiri. Ini, ini hadiah
dari Jake. Jake yang kini lupa ingatan akibat
benturan keras karena ditabrak.

Itu dari Jake, Jake Mattiere Anderson


yang membuat Keiko menutup rapat hatinya
dan memilih tidak mencintai siapapun. Keiko
menyayangi Jake. Jake yang membantu Keiko
melepas semua beban hidup. Keiko rindu
Jake.

‘Work like you don't need the money.

Love like you've never been hurt.

Dance like nobody's watching.’

Begitulah torehan di halaman akhir


dalam buku yang dibuat Jake sekaligus akhir
dari keterpurukan hidup seorang Keiko
Nanami.

72
Selesai.

73

Anda mungkin juga menyukai