Berahi adalah periode yang ditandai oleh betina yang siap menerima
pejantan, dimana tanda-tanda berahi yang dapat dilihat pada babi betina adalah
perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila
dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva
(membengkak, warna merah muda, dan kadang-kadang adanya sekresi dari
vagina) (Hafez 1993). Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada
babi yang menunjukkan gejala berahi adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila
punggungnya ditekan oleh pejantan atau tangan pekerja. Gejala berahi pada
babi betina sangat spesifik, babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan
10
singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara
babi jantan, baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut
Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang
divasektomi ataupun yang tidak divasektomi dan menempatkannya pada
kandang yang berdekatan dengan babi betina sangat membantu dalam
menentukan berahi. Babi betina yang berahi akan cenderung mencari pejantan
atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk
mendeteksi berahi ialah uji penekanan pada punggung babi betina dan
menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi berahi dengan
menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan adalah 100%.
Persentase babi betina yang dideteksi berahi selama lebih dari satu hari dengan
menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan
menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990).
Lama berahi biasanya terjadi 2-3 hari dan pada periode tersebut betina
memiliki penerimaan terhadap pejantan (Sihombing 2006), satu sampai empat
hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar 24-72 jam (Alexander et al. 1980), 47 jam
pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1990). Menurut
Toelihere (1993), berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari
dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas, dan gangguan
hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak
memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya
menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah
12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara, dan Belstra (2003) menyatakan
bahwa periode berahi pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk.
Menurut Goodwin (1974), periode berahi pada babi dara selama 12-36 jam.
Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar 18-20 sel
telur fertil diproduksi dalam ovarium.
Berdasarkan histologi, vagina siklus berahi dibagi menjadi empat stadium,
yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan
proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi, fase luteal terdiri atas metestrus
yang diikuti oleh diestrus dan fase diestrus diakhiri dengan luteolisis (MacMillan
dan Burke 1996). Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua
11
fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase
luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi,
rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus masing-
masing adalah 3, 3, 4, dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus berahi pada babi
selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2.
Proestrus adalah fase sebelum estrus, yaitu periode ketika folikel de graaf
bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang
makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapan-
persiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh cepat
selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke
dalam urine meninggi dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di
dalam darah. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan
penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de graaf membesar dan menjadi
matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan ke arah pematangan.
Selama periode ini, umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan
untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh
pengaruh estradiol pada sistem saraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan
pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak, ovulasi terjadi menjelang akhir
periode estrus.
12
Fisiologi Reproduksi
kira-kira 10.000 GPU per gram bobot basah ovarium yang dipertahankan sampai
partus. Hormon relaksin bekerja sama sangat erat dengan hormon estrogen pada
saat induk babi partus (Hafez 1980).
Prostaglandin merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang
banyak ditemui hampir di seluruh bagian tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin
(PGF2α) diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus
balik ke ovarium. PGF2α dan PGE2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum
ovulasi. Prostaglandin berbeda dari hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai
hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya.
Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan
hati (Hafez 1980).
Gonadotropin releasing hormone (GnRH) mempunyai daya kerja untuk
merangsang sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan penstimulasi luteal
Luteinizing hormone (LH) serta faktor pengatur lainnya. Sekresi FSH selanjutnya
menstimulus pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi
estrogen yang kemudian akan merangsang sekresi LH yang selanjutnya akan
merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum dan melakukan fungsi
utamanya mensekresi progesteron. Mekanisme tersebut didukung oleh sekresi LH
yang menstimulasi ovulasi atau pematangan oosit, pertumbuhan folikel,
pembentukan dan fungsionalisasi korpus luteum untuk mensintesis dan
membebaskan progesteron. Setelah ovum tersebut terfertilisasi, perkembangan
zigot, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sangat bergantung pada
dukungan korpus luteum mensekresi progesteron yang selanjutnya berperan
mengawali dan menyiapkan lingkungan mikrouterus, merangsang perkembangan
kelenjar uterus dan plasenta, serta mempertahankan kebuntingan (Niswender et al.
2000; Cardenas dan Pope 2002). Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak
domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3.
Korpus luteum merupakan suatu kelenjar endokrin yang secara khusus
memproduksi progesteron dan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan
kebuntingan untuk mendukung perkembangan embrio (Rueda et al. 2000).
Rentang hidup korpus luteum bervariasi antara satu spesies dan spesies yang lain,
16
dan dapat berubah secara dramatis melalui peristiwa seperti pengawinan dan
kebuntingan.
Pada dasarnya korpus luteum mengalami dinamika proses regresi dan kehilangan
kapasitas untuk memproduksi progesteron dan mengalami involusi struktural,
yaitu granulosa dan sel-sel teka folikel ditransformasi dan berkembang menjadi
korpus luteum (Bao dan Garverick 1998). Hormone luteinisasi (LH) dari pituitari
anterior sangat berperan penting dalam perkembangan dan fungsi normal korpus
luteum pada hampir semua mamalia, meskipun hormon pertumbuhan, prolaktin,
dan estradiol juga berperan penting pada sejumlah spesies. Proses ini dimulai kira-
kira 1-2 hari sesudah terjadi pengawinan, selanjutnya korpus luteum memproduksi
dan membebaskan progesteron yang responsif untuk mempertahankan
kebuntingan.
Jika terjadi konsepsi saat pengawinan, korpus luteum tetap berfungsi dan
secara terus menerus akan memproduksi dan mensekresi progesteron (Wuttke et
al. 1997). Dalam mekanisme tersebut, estrogen berperan penting dalam
mempertahankan korpus luteum melalui aksi secara tidak langsung untuk
17
Laktasi
Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies
mamalia selama masa laktasi (Shandolm dan Saarela 2003), yaitu ketika kelenjar
susu mensekresikan air susu. Kelenjar susu adalah suatu organ kompleks yang
tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel
sekretoris. Sel-sel ini tergabung dalam lobula alveoli, yang merespons dan bekerja
harmonis selama laktasi (Delaval 2008). Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar
susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu beranak pertama. Pada
spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan, dan kortisol diperlukan
untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa
seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur
ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4 .
Pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang
melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh pada kelenjar susu atau pada
semua hewan, maupun pengaruh eksternal, seperti lingkungan, iklim, dan
makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat, yakni pada saat laktasi
penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersama-
sama dengan jaringan ikat dan lemak, dan sekresi susu yang dihasilkan per hari
bisa melebihi bobot kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat bunting.
18
stress saat induk menyusui dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusui
(Delaval 2008).
Proses sintesis dan sekresi susu sangat bergantung pada suplai prekursor
ke sel epitel kelenjar susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari
kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah,
yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material.
Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam
kelenjar susu sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah
dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (Larson 1985). Pembentukan susu
dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan sel sekretoris, didapat dari
makanan yang dikonsumsi dan diekstrak ke dalam darah (Walstra 1999). Substrat
utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa,
asam amino, asam lemak, dan mineral.
Ovulasi Ganda
dalam litter size (Manalu et al. 2000). Ovulasi ganda pada domba juga dapat
meningkatkan jumlah korpus luteum yang selanjutnya meningkatkan sekresi
progesteron, dan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus serta
pertumbuhan dan perkembangan fetus (Sakai dan Takashi 1993; Manalu et al.
1999; Manalu 1999). Ovulasi ganda pada sapi diduga dapat mengontrol terjadinya
kenaikan LH pada preovulasi (Vos et al. 1994), sangat efektif untuk sinkronisasi
yang memperbaiki target pengawinan dan dapat meningkatkan produksi per induk
kambing (Goel dan Agrawal 1998). Ovulasi ganda pada induk babi sebelum
pengawinan dapat memperbaiki produktivitas dalam hal ini merangsang
pertumbuhan dan perkembangan uterus, plasenta, embrio dan fetus serta kelenjar
susu (Mege et al. 2007).
masa ini terhadap jumlah ovulasi tidak dapat diprediksi dan tingginya variabel
yang mempengaruhi pada hewan donor (Cahill et al. 1982).
Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) memiliki aktivitas biologi
ganda, yaitu serupa dengan follicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing
hormon (LH) sehingga disebut sebagai gonadotropin sempurna. Pengaruh yang
ditimbulkan oleh PMSG antara lain: (1) menunjang produksi estrogen; (2)
ovulasi; (3) luteinisasi; dan (4) merangsang sintesis progesteron pada ternak
yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang sehingga
dengan dosis tunggal melalui suntikan secara intramuskuler cukup untuk
menimbulkan ovulasi berganda (Bates et al. 1991). Penggunaan PMSG dan
human corionic gonadotropin (hCG) untuk merangsang ovulasi ganda, lebih
sering digunakan daripada FSH dan LH.
Human Corionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon yang ditemukan
pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal
dari hipofisa melainkan disintesis dari villi-villi khorion (cytotrophoblast) yang
kemudian disebut "anterior pituitary-like hormone " karena aktivitas biologisnya
menyerupai LH dan sedikit FSH (Hafez 1993). Human Corionic Gonadotropin
merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 40.000 dalton, terdiri atas
sub unit a dengan 92 asam amino dan dua rantai karbohidrat dan menyerupai sub
unit a pada LH. Sub unit o terdiri atas 145 asam amino dan lima rantai
karbohidrat (Hafez 1993). Aktivitas biologis hCG menyerupai LH, meskipun
struktur kimianya berbeda. Human Corionic Gonadotropin (hCG) merangsang
sel-sel interstisial pada ovarium dan menyebabkan ovulasi (Kaltenbach dan
Dunn 1980). Reseptor untuk hCG sama dengan untuk LH. Human Corionic
Gonadotropin mempunyai ikatan yang lebih kuat terhadap sel-sel interstisial dan
terbatas pada sel-sel teka. Selain itu, hCG diketahui berikatan dengan sel-sel
granulosa sehingga peranan hCG juga membantu merangsang pembentukan
folikel pada ovarium (Sherwood dan McShan 1977). Human Corionic
Gonadotropin juga mempunyai daya kerja sedikit seperti FSH, maka pemberian
hCG dengan dosis tinggi menyebabkan pertumbuhan folikel dalam ovarium.
Selain itu, hCG bertanggungjawab atas luteinisasi sel-sel granulosa, memelihara
fungsi korpus luteum dan meningkatkan sekresi progesteron (Sherwood dan
23
ke-62 setelah menstruasi terakhir, dan kadar terendah (10 i.u./mL serum darah)
didapatkan pada hari ke-154, namun pada hari ke-200 meningkat lagi (20
i.u./mL serum darah) dan kadar ini tetap tidak berubah sampai kehamilan berakhir
(Partodihardjo 1980). Adanya kandungan asam sialat yang lebih tinggi pada
PMSG dan hCG menyebabkan waktu paruhnya lebih panjang sehingga
penggunaannya lebih efektif daripada FSH dan LH (Sherwood dan McShan
1977).
perkembangan embrio dimulai sejak blastosis menempel pada dinding uterus. Sel-
sel blastosis tersebut akan membelah dengan cepat sehingga terjadi pertambahan
jumlah dan masa sel disertai dengan diferensiasi sel. Mekanisme tersebut sangat
dipengaruhi oleh hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Aksi hormon
tersebut terjadi secara langsung dalam mekanisme pertambahan dan diferensiasi
jaringan embrio dan fetus selama kebuntingan (Owens 1991; Anthony et al.
1995).
Kapasitas uterus ternak babi mempengaruhi jumlah anak sekelahiran
sesudah umur 25 hari kebuntingan (Fenton et al. 1972; Pope et al. 1990).
Tingginya laju ovulasi yang dapat menghasilkan sejumlah embrio dan fetus yang
tidak didukung oleh kapasitas uterus yang memadai menjadi penyebab kematian
embrio dan fetus selama kebuntingan (Christenson et al. 1987; Wu et al. 1988;
Sterle et al. 2003). Kapasitas uterus yang kurang memadai pada gilirannya
berpengaruh pada dukungan fisiologis lingkungan internal uterus dalam
mempertahankan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio
dan fetus sampai lahir (Young et al. 1990; Wilson et al. 1999; Sterle et al. 2003).
Lingkungan internal uterus yang memadai bergantung pada dukungan dan
perkembangan kelenjar-kelenjarnya yang mensekresi kebutuhan zat-zat makanan
untuk konseptus selama kebuntingan (Bennet dan Leymaster 1989; Vallet et al.
1998; Willis et al. 2003). Ketidaksiapan lingkungan uterus terutama dalam
menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya berdampak pada tingginya
kematian, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Wu et al.
1988), pada gilirannya berakibat pula pada rendahnya jumlah dan bobot anak
yang lahir serta pertumbuhannya (Sterle et al. 2003).
Sekresi kelenjar uterus sangat penting dalam memediasi pertumbuhan dan
perkembangan konseptus (Yamashita et al. 1990; Gray et al. 2001). Kelenjar
uterus yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan normal
konseptus pada saat implantasi akan memicu terjadinya kegagalan reproduksi,
yang digambarkan dengan kematian embrio yang tinggi pada kebuntingan dini
(Pope dan First 1985; Geisert et al. 1990). Kematian ini dapat juga bermula dari
ketidakcukupan kebutuhan nutrisi sejumlah konseptus untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik (Pope dan First 1985; Pope et al. 1990), sedangkan pada
awal kebuntingan konseptus membutuhkan nutrisi yang cukup dan apabila
26
cadangan makanan dalam ovum tidak mencukupi akan berakibat pada daya tahan
dan kesehatan embrio karena semuanya sangat bergantung pada sekresi kelenjar
uterus (Vallet et al. 1998; Gray et al. 2001).
Sekresi uterus sangat penting untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,
dan perkembangan konseptus pada ternak yang mempunyai periode kebuntingan
yang panjang, seperti domba, kambing, sapi, dan babi (Roberts dan Bazer 1988).
Mortalitas, pertumbuhan, dan perkembangan fetus selama periode kebuntingan
sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kapasitas serta kemampuan plasenta
menyediakan nutrisi melalui mobilisasi sirkulasi dari induk. Plasenta adalah organ
yang mempunyai peran sebagai mediator pertukaran gas, nutrien, dan limbah
antara induk dan sistem fetus. Fungsi utama plasenta adalah menyalurkan substrat
metabolik yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan fetus. Oleh karena
itu, pertumbuhan dan perkembangan plasenta merupakan salah satu faktor
penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan normal fetus (Reynolds dan
Redmer 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat menentukan penampilan
anak lahir dan merupakan faktor utama penentu kelangsungan hidup, dan
pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan dan perkembangan fetus secara optimal
sangat ditentukan oleh mekanisme sirkulasi nutrien baik yang dimediasi oleh
protein transpor maupun melalui difusi, dan sangat bergantung pada hubungan
fungsional antara permukaan dinding uterus di plasenta (Reynolds dan Redmer
1995) dalam uterus melalui perubahan mekanisme dan ekspresi gen jaringan fetus
(Anthony et al. 1995; Fowden 1995).
Peningkatan progesteron yang mempengaruhi pertumbuhan embrio dan
fetus, juga merangsang sekresi protein oleh uterus (Vallet et al. 1998). Banyak
protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal fetus pada babi yang
disekresi oleh uterus, seperti uteroferin dan retinol-binding-protein (RBP).
Uteroferin berperan untuk transpor besi, sedangkan RBP berperan untuk transpor
retinol. Sekresi protein tersebut mengalami perubahan selama kebuntingan dan
perubahan disini terutama berhubungan dengan perkembangan fetus.
Sekresi protein melalui endometrium selama kebuntingan dikontrol oleh
progesteron dan estradiol (Adams et al. 1981; Torut et al. 1992).
27
adalah 9.57 ekor (Park dan Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al.
(2000), rataan litter size lahir hidup Landrace lebih banyak daripada Yorkshire,
masing-masing 10.94 dan 10.68 ekor. Secara umum, litter size lahir dan sapih
terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada
paritas selanjutnya. Induk babi pada paritas ketiga dan keempat memiliki
penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk.
Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat
sebanyak 0.7 ekor sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et
al. 2003).
Bobot lahir adalah bobot badan yang ditimbang sesaat setelah hewan
dilahirkan. Bobot lahir anak babi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa,
pejantan, ransum yang diberikan selama induk bunting, dan litter size pada waktu
lahir (De Borsotti 1982). Bangsa babi mempengaruhi bobot lahir per ekor, yaitu
pada babi Duroc 1.47 kg (Milagres 1983), 1.46 kg (Lopez et al. 1983), Landrace
1.74 kg, dan Yorkshire 1.39 kg (Quintana dan Lopez 1983) . Rataan bobot lahir
bangsa murni dan persilangan Duroc, Landrace, Yorkshire adalah 1.38±0.10 kg
(De Borsotti 1982).
Mati lahir adalah suatu kondisi yang anak babi dilahirkan sudah dalam
keadaan mati. Huges dan Varley (2004) menyatakan bahwa kejadian mati lahir
anak babi dapat mencapai 3-5%, sedangkan hasil penelitian Cole dan Foxcroft
(1982) menyatakan angka kematian babi saat dilahirkan 4-8% dari semua anak
yang dilahirkan. Menurut Bolet (1982) bahwa kematian anak babi akan meningkat
dengan meningkatnya jumlah anak babi yang lahir per kelahiran, selanjutnya
Benkov (1983) mengemukakan bahwa jika litter size lahir anak babi kurang dari 6
ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari adalah 1.78% dan jika
litter size lahir anak babi 6-8.8, 8.8–10, dan 10-12 ekor, maka tingkat kematian
anak babi pada umur 21 hari masing-masing 6, 18 dan 12.79%, bila litter size
lahir 12 ekor, maka kematian pada 21 hari adalah 10.86%. Anak babi yang
mempunyai bobot badan di bawah 1 kg pada waktu lahir lebih banyak mati karena
kalah bersaing dengan anak babi yang lebih besar dalam menyatakan air susu
(Bolet 1982). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sebelum
29
disapih dapat mencapai 72% dengan empat penyebab utama, yaitu 35.4% akibat
terinjak oleh induk, 14% kaki tidak lurus, 11% akibat agalactic, dan 11% akibat
kelemahan pada waktu lahir, ini lebih sering berlaku pada induk yang beranak
pertama. Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan kematian anak babi pada waktu
sebelum disapih sangat bervariasi, yaitu 12-30%, sedangkan periode menyusu
rataan tingkat kematian adalah 20.8%.
Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk
dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot
sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk, dan cara
pemberian makan (Sihombing 2006). Lebih lanjut dikatakan pada umur
penyapihan tertentu, anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi di saat
sapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot potong daripada anak babi yang
bobot badannya lebih ringan. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot
badan, umur induk, dan keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui
anak, kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, serta suhu lingkungan.
Umumnya, kisaran bobot sapih adalah 13.6–18.1 kg (Hafez 1993).
dimakan oleh ternak bila diberikan ad libitum (Cuncha 1980). Faktor penting yang
menentukan tingkat konsumsi adalah palatabilitas dan palatabilitas yang
bergantung pada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain, seperti suhu
lingkungan, kesehatan ternak, stress, dan bentuk ransum (Church 1984). Pada
umumnya, konsumsi ransum per hari akan meningkat dengan meningkatnya
frekuensi pemberian makan. Babi dengan bobot badan 10-90 kg yang diberikan
ransum dua kali sehari mengkonsumsi rataan 1.54 kg per ekor per hari, sedangkan
pada pemberian tiga kali sehari, konsumsi ransum sebesar 1.92 kg dan pada
pemberian ad libitum konsumsi ransumnya 2.61 kg per ekor per hari (Tillman et
al. 1989).
Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel (hiperplasia) serta
peningkatan sel (hipertropi). Definisi pertumbuhan adalah pertambahan besar otot,
tulang, organ-organ dalam, dan bagian tubuh lain (Cuncha 1980). Lebih lanjut
dinyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fungsi dari konsumsi langsung yang
dipengaruhi oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hipotalamus (Goodwin
1974). Pertumbuhan umumnya diukur dengan kenaikan bobot badan yang dengan
penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai pertambahan bobot
badan harian, minggu, atau tiap waktu lainnya (Tillman et al. 1989).
Parakkasi (1983) mengemukakan bahwa untuk kebutuhan zat makanan,
urutan yang paling penting adalah protein, karena dibutukkan untuk kebutuhan
hidup pokok dan produksi, di samping itu untuk sejumlah energi yang cukup
untuk membantu proses pertumbuhan. Kebutuhan protein untuk periode starter
14-16% dengan bobot badan ternak babi 15-45 kg. Menurut Sihombing (2006)
periode pertumbuhan pengakhiran, yaitu babi yang memiliki bobot rata-rata
35–90 kg. Periode ini merupakan periode yang harus diperhatikan akan kebutuhan
zat makanannya dan ransum yang bermutu. Pertambahan bobot badan dan
konversi ransum yang tinggi adalah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
performans babi grower. Pertambahan bobot badan mencapai 820 g/hr dan
efisiensi ransum 0.31.
Efisiensi penggunaan makanan merupakan pertambahan bobot badan yang
dihasilkan setiap satuan ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum
bergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk pertumbuhan
31
hidup pokok dan fungsi lain, kemampuan ternak untuk mencerna makanan,
jumlah makanan yang hilang melalui proses metabolisme, dan tipe makanan yang
dikonsumsi (Campbell 1985). Faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan
ransum adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak, dan
keseimbangan ransum yang diberikan (Devendra dan Fuller 1979). Efisiensi
penggunaan makanan dapat digunakan sebagai parameter untuk seleksi terhadap
ternak yang mempunyai pertambahan bobot badan yang baik (Bogart 1997).
Bobot potong yang paling disukai konsumen berkisar 90-115 kg, karena
kisaran ini memberikan perbandingan antara daging dan lemak yang optimal
dengan penilaian karkas sesuai dengan standar USDA (United State Development
of Agriculture). Bobot potong yang paling optimum menurut Whittemore (1980)
adalah 50-120 kg. Untuk menghasilkan bobot karkas yang berkisar 78-86 kg maka
babi sebaiknya dipotong pada bobot hidup dengan kisaran 90-100 kg (Sihombing
2006).
Tabel 1 Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang
Dihasilkan dengan Golongan Ternak Menurut Mutunya
Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Dengan
perkataan lain, anak babi yang mempunyai bobot lahir rendah akan memberikan
kualitas karkas yang rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) menyatakan bahwa anak
babi yang lahir dengan bobot tubuh ringan akan menurunkan penampilan
pertumbuhan sesudah lahir. Secara rinci dikatakan bahwa anak babi yang
dilahirkan dengan bobot ringan akan menurunkan kualitas karkas, dalam hal ini
mempunyai deposisi lemak tinggi dan LEA yang rendah (Bee 2004). Rendahnya
bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari terganggunya pertumbuhan
selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008).
Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan
pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan isi rongga
dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih
yang dapat dikonsumsi oleh manusia, termasuk isi rongga perut dan dada.
Karkas babi yang dihasilkan berkisar antara 60-90% dari bobot hidup bergantung
pada kondisi, genetik, kualitas pakan, dan cara pemotongan (Forrest et al. 1975).
33
interaksi antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak,
jenis kelamin, dan kematangan seksual (Davendra dan Fuller 1979). Persentase
karkas babi dibagi menjadi beberapa kelas, kelas satu menurut USDA adalah 68-
72% (Forrest et al. 1975). Besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe
dan ukuran ternak serta penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya
kotoran yang dikeluarkan (Soeparno, 1992). Persentase karkas akan meningkat
dengan meningkatnya bobot potong (Forrest et al. 1975), yang dinyatakan pula
dengan meningkatnya presentase lemak karkas menyebabkan persentase otot dan
tulang menurun. Persentase karkas normal berkisar antara 60-75% dari bobot
hidup. Persentase ini lebih tinggi pada babi dibandingkan dengan ternak lain,
seperti domba dan sapi karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu
besar serta babi mempunyai lambung tunggal (Blakely dan Bade 1998).
Panjang karkas erat hubungannya dengan panjang badan pada waktu
hidup. Whittemore (1980) juga menyatakan bahwa semakin pendek bentuk tubuh
ternak maka akan cenderung mempunyai lemak punggung yang semakin tebal.
Selain itu, Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa panjang karkas erat
kaitannya dengan tebal lemak punggung dan bobot karkas dalam
mengklasifikasikan kualitas karkas.
Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun 1952 oleh
Hazel dan Kline dengan alat yang disebut ”back fat probe”. Setelah itu alat ini
sangat luas penggunaannya dan perkembangan teknologi peralatannya juga
berjalan terus. Ukuran tebal lemak punggung secara langsung menggambarkan
produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi yang tipis memberi
persentase hasil daging yang tinggi dan, sebaliknya, tebal lemak punggung yang
tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah. Sejak tahun 1968,
lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara dalam penentuan
kelas karkas babi yang siap potong. Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa
pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam
menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas
merupakan lemak subkutan. Tebal lemak punggung berkaitan erat dengan
pengklasifikasian kualitas karkas. Ternak babi merupakan ternak yang paling
cepat menimbun lemak dan paling cepat di antara ternak lainnya (Miller et al.
35
.
30 Ekor Disuntik PMSG dan PENYERENTAKAN 30 Ekor Disuntik
Hcg 600 IU BERAHI NaCl Fisiologis 0.95%
PGF2ά
(R,S,T) (R,S,T)
L L L
L L L SR SS ST
SR SS ST L L L
L L L SRU1 SSU1 STU1
SRU1 SSU1 STU1 (N=2) (N=2) (N=2)
(N=2) (N=2) (N=2) L L L
L L L SRU2 SSU2 STU2
SRU2 SSU2 STU2 (N=2) (N=2) (N=2)
(N=2) (N=2) (N=2) L PBBH,LEPR L
L PBBH,
L EPR L TAHAP II KRH,
KRH, SRU3 SSU3 STU3
SRU3 SSU3 STU3 BP 87-90 KG (N=2) (N=2) (N=)
(N=2) (N=2) (N=2)
L L L
L L L
SR SS ST
SR SS ST
L L L
L L L
SRU1 SSU1 STU1
SRU1 SSU1 STU1
(N=2) (N=2) (N=2)
(N=2) (N=2) (N=2)
L L L
L L L
SRU2 SSU2 STU2
SRU2 SSU2 STU2 TAHAP III (N=2) (N=2) (N=2)
(N=2) (N=2) (N=2)
L L L Kualitas Karkas L
KUALITAS L
KARKAS: L
KUALITAS KARKAS: SRU3 SSU3 STU3
SRU3 SSU3 STU3 BP,BK,PK,TLP,LEA
(N=2)BP,BK,PK,TLP,LEA
(N=2) (N=2) (N=2)
(N=2) (N=2)
Gambar 5 Bagan Penelitian