Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

DETEKSI PENGENDALIAN ESTRUS

Oleh :

Kelompok 1

Leti Aisyah 01032000022

Dika Sukendri 01032000005

Ogi Ali Bram 01032000013

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUSI RAWAS

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya umur pada setiap ternak semakin

berkembang sistem reproduksi hewan betina, terutama pada ternak mamalia.

Sistem Reproduksi yang telah mengalami dewasa kelamin mengalami perubahan -

perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Pada fase estrus yang dalam

bahasa latin disebut oestrus yang berarti “kegilaan” atau “gairah”, hipotalamus

terstimulasi untuk melepaskan gonadotropin-releasing hormone (GRH). Siklus

estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, mesestrus dan diestrus atau secara global

umunya dikenal dengan phase folikel (fase pertumbuhan, yang ditandai dengan

level estrogen tinggi, sedangkan fase luteal memiliki waktu yang cukup panjang

ditandai dengan perkembangan corpus luteum dan kadar progreteron tinggi) sekresi

FSH terjadi secara ritmis selama 4-5 hari sebelum birahi, menjelang fase luteal

berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan akan merangsang

pertumbuhan folikel.

Sistem reproduksi hewan betina pada umumnya menampakkan perubahan-

perubahan yang teratur setelah hewan betina mengalami pubertas. Pada kondisi ini,

siklus reproduksi telah siap dimulai. Dalam siklus estrus selalu melibatkan organ-

organ reproduksi dan diatur oleh hormon-hormon reproduksi. berahi atau estrus

atau heat, didefinisikan sebagai periode waktu dimana betina menerima kehadiran

pejantan, kawin , atau dengan kata lain dara atau betina sudah aktif aktivitas

sexualitasnya. Lamanya waktu siklus berahi dari seekor hewan dihitung dari mulai

munculnya berahi, sampai munculnya berahi lagi pada periode berikutnya. Dengan
demikian, dalam makalah ini akan dibahas mengenai siklus estrus, fase-fase estrus,

faktor-faktor yang mempegaruhi siklus estrus, pengertian estrus postpartus dan

usaha untuk mempercepat timbulnya estrus postpartus lebih detail lagi pada ternak

mamalia.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari siklus estrus.

2. Bagaimanakah fase-fase estrus.

3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi siklus estrus.

4. Apakah definisi estrus postpartus.

5. Bagaimana usaha mempercepat estrus postpartus.

1.3. Tujuan Dan Manfaat

1. Mengetahui definisisiklus estrus secara umum.

2. Mengetahui fase-fase siklus estrus.

3. Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi siklus estrus.

4. Mengetahui definisi estrus postpartus.

5. Mengetahui usaha mempercepat estrus postpartus.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian siklus estrus

Pada hewan betina sekali pubertas telah tercapai dan musim reproduksi

telah dimulai, estrus akan terjadi pada hewan betina yang tidak bunting menurut

suatu siklus yang teratur dan khas. Estrus atau birahi adalah periode atau waktu

hewan betina siap menerima pejantan untuk melakukan perkawinan. Interval waktu

antara timbulnya satu periode estrus kepermulaan periode estrus berikutnya disebut

siklus estrus. Saluran reproduksi hewan betina akan mengalami perubahan-

perubahan pada interval-interval tersebut. Siklus estrus dikontrol secara langsung

oleh hormon-hormon ovarium dan secara tidak langsung oleh hormon-hormon

adenohipofise.

Berdasarkan frekuensi terjadinya siklus estrus, hewan dibedakan menjadi

tiga golongan. Golongan pertama,hewan monoestrus yaitu hewan yang hanya satu

kali mengalami periode estrus per tahun, contohnya beruang, srigala, dan

kebanyakan hewan liar. Golongan kedua, hewan poliestrus yaitu hewan-hewan

yang memperlihatkan estrus secara periodik sepanjang tahun, contohnya sapi,

kambing, babi, kerbau dan lain-lain. Golongan ketiga, hewan poliestrus bermusim

yaitu hewan-hewan yang menampakkan siklus estrus periodik hanya selama musim

tertentu dalam satu tahun, contohnya domba yang hidup di negara dengan empat

musim.
2.2. Fase-fase siklus estrus

Menurut perubahan-perubahan yang terlihat maupun yang tidak terlihat

selama siklus estrus maka siklus estrus dibedakan menjadi empat fase yaitu

proestrus, estrus, metestrus/postestrus, dan diestrus. Pembagian yang lain

berdasarkan perkembangan folikel dan pengaruh hormon maka siklus estrus

dibedakan menjadi fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan

estrus, serta fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus/postestrus

dan diestrus.

Proestrus

Proestrus merupakan periode sebelum hewan mengalami estrus yaitu

periode pada saat folikel de Graff sedang tubuh akibat pengaruh FSH dan

menghasilkan estradiol dengan jumlah yang semakin bertambah. Sistem reproduksi

melakukan persiapan-persiapan untuk melepaskan ovum dari ovarium. Folikel atau

folikel-folikel (tergantung spesiesnya) mengalami pertumbuhan yang cepat selama

2 atau 3 hari, kemudian membesar akibat meningkatnya cairan folikuler yang berisi

hormon estrogenik. Estrogen yang diserap oleh pembuluh darah dari folikel akan

merangsang saluran reproduksi untuk mengalami perubahan-perubahan. Sel-sel

dan lapisan bersilia pada tuba falopii pertumbuhannya meningkat, mukosa uteri

mengalami vaskularisasi, epitel vagina mengalami penebalan dan terjadi

vaskularisasi, serta serviks mengalami elaksasi secara gradual. Banyak terjadi

sekresi mukus yang tebal dan berlendir dari sel-sel goblet seriks, vagina bagian

anterior, dan kelenjar-kelenjar uterus. Pada sapi dan kuda terjadi perubahan dari

mukus yang lengket dan kering menjadi mukus kental seperti susu, dan pada akhir

proestrus berubah lagi menjadi mukus yang terang, transparan, dan menggantung
pada vulva. Corpus luteum dari periode sebelumnya mengalami vakuolisasi,

degenerasi, dan pengecilan secara cepat.

Estrus

Estrus merupakan periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan

penerimaan pejantan oleh hewan betina. Selama periode estrus, umumnya betina

akan mencari dan menerima pejantan untuk kopulasi. Folikel de Graff menjadi

matang dan membesar, estradiol yang dihasilkan folikel de Graff akan

menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi yang maksimal.

Selama atau segera setelah periode ini terjadi ovulasi akibat penurunan FSH dan

meningkatka LH dalam darah. Pada periode ini, tuba falopii mengalami perubahan

yaitu menegang, berkontraksi, epitelnya matang, cilianya aktif, dan sektesi cairan

bertambah. Ujung oviduk yang berfimbria merapat ke folikel de Graff untuk

menangkap ovum matang. Uterus akan berereksi, tegang, dan pada beberapa

spesies akan mengalami oedematus. Suplai darah meningkat, mukosa tumbuh

dengan cepat dan lendir disekresikan. Serviks mengendor, agak oedematus, dan

sekresi cairanya meningkat. Mokosa vagina sangat menebal, sekerinya bertambah,

epitel yang berkornifikasi tanggal. Vulva mengendor dan oedematus pada semua

spesies, pada babi sangat jelas. Pada sapi terdapat leleran yang bening dan

transparan seperti seutas tali menggantung pada vulva. Pada akhir estrus terjadi

peningkatan leukosit yang bermigrasi ke lumen uterus.

Metestrus/Postestrus

Metestrus merupakan periode segera setelah estrus, ditandai dengan

pertumbuhan cepat korpus luteum yang berasal dari sel-sel granulosa yang telah
pecah di bawah pengaruh LH. Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh

hormon progesteron yang dihasilkan korpus luteum. Kehadiran progesteron akan

menghambat sekresi FSH sehingga tidak terjadi pematangan folikel dan estrus

tidak terjadi. Pada periode ini, uterus mengadakan persiapan untuk menerima dan

memberi makan embrio. Pada awal postestrus, epitelium pada karunkula uterus

sangat hiperemis dan terjadi hemoragis kapiler yang menyebabkan terjadinya

pendarahan. Sekresi mukus menurun dan diikuti pertumbuhan yang cepat dari

kelenjar-kelenjar endometrium. Pada pertengahan sampai akhir metestrus, uterus

agak melunak karena otot-ototnya mengendor. Apabila tidak terjadi kebuntingan

maka uterus dan saluran reproduksi yang lain akan beregresi kekeadaan kurang

aktif.

Diestrus

Diestrus merupakan fase terakhir dan terlama dalam siklus estrus ternak-ternak

mamalia. Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron menjadi

dominan. Endometrium menebal, kelenjar uterina membesar, dan otot uterus

menunjukkan peningkatan perkembangan. Perubahan ini ditunjukkan untuk

mensuplai zat-zat makanan bagi embrio bila terjadi kebuntingan. Kondisi ini akan

terus berlangsung selama masa kebuntingan dan korpus luteum akan dipertahankan

sampai akhir masa kebuntingan. Serviks menutup rapat untuk mencegah benda-

benda asing memasuki lumen uterus, mukosa vagina menjadi pucat, serta lendirnya

mulai kabur dan lengket. Apbila tidak terjadi kebuntingan, maka endometrium dan

kelenjar-kelenjarnya beratrofi atau berregresi keukuan semula. Folikel-folikel

mulai berkembang dan akhirnya kembali ke fase proestrus. Pada beberapa spesies

yang tidak termasuk golongan poliestrus atau poliestrus bermusim, setelah periode
diestrus akan diikuti anestrus. Anestrus yang normal akan diikuti oleh proestrus.

Secara fisiologis, aneastrus ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang

dan tidak berfungsi. Anestrus fisiologis dapat diobservasi pada negara-negara yang

mempunyai 4 musim, yaitu musim semi dan panas pada domba serta selama

musim dingin pada kuda. Selama anestrus, uterus kecil dan kendor, mukosa vagina

pucat, lendirnya jarang dan lengket, serta serviks tertutup rapat dengan mukosa

yang pucat. Aktivitas folikuler dapat terjadi dan ovum dapat berkembang tetapi

tidak terjadi pematangan folikel dan ovulasi.

Fase Anestrus

Ditandai dengan ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi.

Anestrus normal akan diikuti oleh proestrus yang terjadi selama seminggu. Selama

anestrus, uterus mengendur adan lendir vagina jarang dan lengket. Mucosa vagina

dan cervix memucat dan tertutup rapat.

2.3. Faktor yang mempengaruhi estrus

Siklus estrus yang terjadi pada ternak adalah karena pengaturan hormonal

yang dihasilkan secara internal. Pengaturan proses hormonal tersebut berbeda-beda

untuk tiap jenis dan bangsa ternak itu sendiri.Hal ini menyebabkan lama siklus

estrus berbeda-beda. Disamping pengaturan yang berbeda-beda, faktor lain yang

dapat berpengaruh terhadap sisklus estrus adalah makanan, musim dan lingkungan

sosial ternak.

Hormonal

Pada akhir diestrus corpus luteum yang mempunyai fungsi menenangkan

alat kelamin dengan sekresi hormon progesteronnya, mengalani regresi atau


kemunduran fungsi akibat pengaruh hormon prostaglandin yang dihasilkan estrus.

Dengan menurunnya progesteron merangsang hypothalamus mengeluarkan FSH-

RH dan LH-RH yang mengakibatkan Hypophysa anterior mengeluarkan FSH.

FSH merangsang tumbuhnya folikel tertier menjadi folikel de Graaf.

Lapisan sel theca interna dan sel granulosa folikel de Graaf menghasilkan hormon

estrogen. Hormon estrogen yang dihasilkan mengakibatkan kegiatan estrus timbul

dan sikap betina mau menerima pejantan untuk kopulasi.

Kadar hormon LH yang meningkat secara mendadak didalam darah

mengakibatkan folikel de Graaf pecah dan terjadi ovulasi. Setelah ovulasi hormon

yang telah turun lagi kadarnya merangsang sel theca interna membentuk corpus

luteum kembali.

Makanan

Ternak betina yang tidak mendapatkan makanan yang cukup

mengakibatkan tumbuhnya menjadi lambat, akibatnya kematangan sexsualnya

terlambat sehingga etstrus periode pertama pada sapi betina tertunda sampai umur

2 tahun.

Proses terjadinya estrus pertama didukung kondisi badan yang memadai

pada sapi perah dara, akan berpengaruh terhadap efisiensi reproduksi yang secara

tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas selama hidupnya.


Musim

Didaerah tropis pengaruh musim terhadap pubertas tidak nyata, hanya

pengaruhnya tidak langsung yaitu berhubungan dengan kuantitas dan kualitas

pakan yang baik pada musim penghujan dan kurang baik pada musim kemarau.

Pengaruh musim terhadap perubahan tingkahlaku estrus lebih nyata pada

ternak domba, kambing dan unggas. Hal ini selain berhubungan dengan lamanaya

penyinaran atau panjang siang hari juga berhubungan dengan pakan pada musim

gugur. Penyinaran yang panjang dibutuhkan selama 5-10 minggu sebelum

mencapai umr 20 minggu dapat merangsang aktivitas seksual domba betina muda.

Cahaya dan suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi proses

produksi pada ternak. Menurut salisbury dan Van de Mark, 1985, cahaya

merupakan faktor primer dalam pengaruh musim terhadap fertilitas. Didaeeah yang

memiliki musim dengan periode siang dan malam yang tidak sama, fertilitas

tertinggi terdapat pada musim semi dan fertilitas terendah sering terjadi selama

musim panas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi musim kawin adalah suhu, lamanya siang

hari dan jumlah makanan hijauan yang berbeda-beda dari satu musim ke musim

yang lain. Domba merupakan ternak yang mempunyai respon terhadap siang hari

yang berkurang dan disebut pekawin hari pendek. Sebaliknya, Unggas merespon

terhadap siang hari yang bertambah dan disebut pekawin hari panjang.

Lingkungan Sosial Ternak

Ternak yang estrus akan menunjukan tanda-tanda estrusnya kepada lawan

jenisnya misalnya dengan menaiki ternak yang lain atau tingkah laku sering
kencing. Rangsangan seksual tersebut merangsang jantan untuk kawin bukan untuk

memperlakukan sebagai musuh.

Feromon dalam air kencing merupakan tanda oleh ternak jantan akan adanya

betina dalam keadaan estrus. Tanda flehmen merupakan respon yang sering

diperlihatkan selama periode perangsangan seksual pada ungulata, yaitu denga

mengangkat kepala dan dijulurkan, bibir dilipat keatas dengan mulut sedikit

terbuka.

Sehubungan dengan pemeliharaan yang dikandangkan, pengawasan estrus

dua hari sekali dengan dikeluarkan dari kandang dapat meningkatkan angka

konsepsi 6 % dibandingkan sapi yang tidak dikeluarkan sama sekali dengan

keberhasilan konsepsi 64 %.

2.4. Estrus postpartus

Estrus post partus atau estrus pertama setelah melahirkan merupakan mata

rantai yang penting dalam proses reproduksi sehingga harus mendapatkan perhatian

dalam pengelolaan reproduksi agar ternak tetap mempunyai kemampuan

reproduksi yang optimum. Estrus pertama postpartus berhubungan dengan aktivitas

siklus ovarium yang kembali normal secara cepat setelah melahirkan.

Pada masa awal setelah melahirkan, hewan betina harus menghasilkan susu

untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium, dan oran-organ kelamin yang lain,

serta sistem endoktrin yang memulai siklus yang normal agar dapat bereproduksi

lagi. Pada masa ini, umumnya siklus estrus tidak akan segera terjadi karena

pengaruh umpan balik negatif dari progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum

dan plasenta selama kebuntingan. Hal ini mengakibatkn pituitari terhadap


pemberian GnRH. Selama masa peralihan dan tidak adanya siklus estrus sampai

timbulnya siklus, GnRH disekresikan untuk meningkatkan frekuensi episodik LH

plasma terutama untuk aktivitas folikuler dan sekresi estradiol. Pengeluaran GnRH

secara episodik merupakan prasarat untuk memulai aktivitas siklus ovarium pada

induk.

2.5. Usaha mempercepat timbulnya estrus postpartus

Usaha-usaha yang dapat dilalukan untuk meningkatkan penampilan

reproduksi dengan cara mempercepat timbulnya estrus postpartus adalah:

a. Perbaikan kondisi tubuh

Kenyataan menunjukkan bahwa kondisi tubuh yang baik pada saat

melahirkan dapat memperpendek waktu kosong dibandingkan dengan sapi yang

kurus. Pemberian pakan yang berkualitas dengan jumlah yang mencukupi pada

masa akhir kebuntingan dan awal laktasi merupakan keharusan agar sapi tetap

dapat mempertahannkan kondisi tubuhnya sehingga tidak mengalami

keseimbangan energi negatif. Pada sapi dengan reproduksi susu yang tinggi harus

mendapat makanan dengan jumlah dan kualitas yang lebih banyak dibandingkan

dengan sapi yang bereproduksi rendah.

Ransum yang diberikan pada induk sapi perah digunakan oleh tubuh untuk

hidup pokok, produksi susu, kegiatan reproduksi, dan pertumbuhan. Kebutuhan

zat-zat tergantung pada bobot tubuh induk, tingkat pertumbuhan, tinggi rendahnya

produksi susu, dan status bunting tidaknya sapi.

Masa kering yang cukup akan mampu mengembalikan kondisi tubuh induk

sehingga pada saat melahirkan sapi dalam kondisi siap. Perpanjangan masa kering
akan mampu mempercepat perbaikan kondisi tubuh induk meskipun tidak akan

meningkatkan produksi susu pada laktasi berikutnya. Penimbunan cadangan lemak

saat hasil air susu menurun atau sapi sedang kering dapat digunakan untuk

cadangan energi pada laktasi berikutnya.

b. Peningkatan deteksi birahi

Birahi setelah beranak biasanya tidak teramati secara sempurna oleh peternak

sehingga akan menyebabkan tertundanya perkawinan, akibatnya efesiensi produksi

menjadi rendah. Deteksi birahi merupakan kunci keberhasilan perkawinan, untuk

mendapatkan hasil yang baik maka pengamatan birahi sebaiknya dilakukan dua

kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Gejala-gejala birahi akan lebih mudah

teramati bila induk-induk berada diluar kandang bersama-sama yaitu berdiri diam

bila dinaiki atau menaiki betina lain. Cara lain adalah menempatkan betina

bersama-sama dengan pejantan.


BAB III

KESIMPULAN

1. Estrus atau birahi adalah periode atau waktu hewan betina siap menerima

pejantan untuk melakukan perkawinan. Interval waktu antara timbulnya

satu periode estrus kepermulaan periode estrus berikutnya disebut siklus

estrus.

2. Fase-fase dari estrus diantranya adalah: proestrus, estrus, metestrus,

diestrus, anestrus.

3. Faktor-faktor yag mempengaruhi siklus estrus diantranya adalah:

hormonal, makanan, musim, lingkungan ternak sosial.

4. Estrus post partus atau estrus pertama setelah melahirkan merupakan mata

rantai yang penting dalam proses reproduksi sehingga harus mendapatkan

perhatian dalam pengelolaan reproduksi agar ternak tetap mempunyai

kemampuan reproduksi yang optimum. Estrus pertama postpartus

berhubungan dengan aktivitas siklus ovarium yang kembali normal secara

cepat setelah melahirkan.

5. Usaha untuk mempercepat estrus postpartus adalah: perbaikan kondisi

tubuh dan peningkatan deteksi birahi.


DAFTAR PUSTAKA

Butler, W.R., R.W. Everett and C.E. Coopock. 1981. The Relationship Between
Energy Balance, milk production, and involution in postpartum Holstein
cows, J. Animal Sci. 53: 742—748

Carrol, D.J., B.A. Barton, G.W. andersanand R. D. Smith.1988.Influence of protein


intake and feeding strategy of reptoductive performance. J. Dairy Sci. 71:
3470—3481

Frandsond. R.D.1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Penerjamah


B. Srigandono dan K. Praseno. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Sixth Ed. Lea and Fibiger.
Philadelphia

Howard, H.S., E.P. Alseth, G.D. Adams, and L.J. Bush. 1987. Infuence of dietary
crude protein on dairy cows rproductive performance. J. Dairy Sci. 70:
1563—1571

Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Penerjemah DK Harya Putra. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Noakes, D.E. 1996. Normal Oestrous Cycles. Dalam Arthur, G.H., D.E Noakes, H.
Pearson, dan T.J. Parkinson. Veterinary Reproduction andObstetrics. Seventh
Ed. WB Saunders Company Limited. London, Philadelphia, Toronto Sydney,
Tokyo

Oxenreider, S.L., and W.C. Wagner. 1971. Effect of lactation and energy intake on
postpartum activity in the cows. J. Dairy Sci. 33: 1026—1031

Anda mungkin juga menyukai