Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM

GEOGRAFI PERMUKIMAN
(GEL 0312)
ACARA 3

CENTRAL PLACE THEORY

Disusun oleh:
Nama : Moechammad Massardi Jatya Anuraga
NIM : 19/441695/GE/09034
Hari/Tanggal : Jumat/12 Maret 2021
Jam : 09.15 - 10.55
Asisten Pembimbing : - Akbar Abdul Rokhim
- Oki Silvie Wildiyanti

LABORATORIUM KEPENDUDUKAN DAN SUMBERDAYA EKONOMI


DEPARTEMEN GEOGRAFI LINGKUNGAN
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
ACARA III
CENTRAL PLACE THEORY

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dari praktikum acara ke-3 ini, meliputi:
1. Memahami pola permukiman melalui konsep daerah tempat pusat.

II. DASAR TEORI


2.1 Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral dipelopori oleh Walter Christaller yang menyatakan bahwa
daerah-daerah nodal mempunyai tingkat hierarki. Tidak semua daerah bersifat
homogenitas tetapi terdapat perbedaan baik dalam persebaran penduduk maupun luas
wilayahnya (Richardson, 2001). Dengan mengetahui tingkat hirarki suatu daerah,
dapat dilihat apa yang dibutuhkan oleh daerah dan kegiatan ekonomi seperti apa yang
cocok untuk daerah tersebut.
Christaller memiliki pandangan yang sama dengan Lloyd mengenai suatu barang
dan jasa, bahwa barang-barang dan jasa-jasa memiliki daerah jangkauannya sendiri
(range) dan produsen memiliki batas minimal luasnya pasar (threshold) agar dapat
berproduksi (Robinson, 2010). Barang-barang dan jasa-jasa dapat dikelompokkan
berdasarkan ordenya, dimana orde I adalah barang kelompok 4, yaitu jenis barang
yang mewah dan sangat jarang dibeli seperti mobil. Orde II adalah barang kelompok 3,
yaitu barang yang jarang dibeli yaitu tempat tidur. Orde III adalah barang kelompok 2,
yaitu barang yang tidak setiap hari dibeli seperti pakaian, sepatu dan peralatan rumah
tangga. Orde IV adalah barang kelompok 1, yaitu barang yang sering dibeli seperti
beras, gula, garam dan lain-lain. Setiap orde memiliki wilayah heksagonalnya
sendiri-sendiri dan lebar barang Orde I sama dengan 3 kali lebar barang Orde II
demikian seterusnya. Hal ini berarti barang Orde I memiliki luas jangkauan tiga kali
barang Orde II. Selain itu, dalam teori ini berbagai jenis barang pada orde yang sama
cenderung bergabung pada pusat dari wilayahnya sehingga terjadi pusat konsentrasi.
Berdasarkan k = 3, pusat dari hirarki yang lebih rendah berada pada pengaruh pusat
hirarki yang lebih tinggi (Robinson, 2010).
Teori tempat sentral sangat relevan untuk digunakan didalam perencanaan
wilayah, hal ini dikarenakan teori tempat sentral menjelaskan tiga konsep dasar yang
sangat penting peranannya dalam membangun wilayah yakni ambang (threshold),
lingkup (range) dan hierarki (hierarchy). Ketiga konsep tersebut, dapat digunakan
untuk menjelaskan hubunganhubungan ketergantungan antara pusat-pusat konsentrasi
dan wilayah-wilayah disekitarnya (Adissasmita, 2005: 57).

2.2 Tingkatan atau Orde dari Tempat Pusat (Hierarki)


Tempat sentral dan daerah yang dipengaruhinya (komplementer), pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hierarki 3 (K = 3), hierarki 4 (K = 4), dan
hieraki 7 (K = 7). Hierarki tersebut kemudian menjadi salah satu elemen pendukung
dalam pembangunan yang cocok, terutama yang dapat mengatasi beragam masalah,
seperti kepadatan penduduk, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain (Aulia, dkk., 2009;
Asoka, 2013).

Hierarki K = 3, merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang selalu


menyediakan bagi daerah sekitarnya, sering disebut Kasus Pasar Optimal. Wilayah
ini selain mempengaruhi wilayahnya sendiri, juga mempengaruhi sepertiga bagian
dari masing-masing wilayah tetangganya.

Hierarki K = 4, yaitu wilayah ini dan daerah sekitarnya yang terpengaruh


memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien. Tempat sentral ini
disebut pula situasi lalu lintas yang optimum. Situasi lalulintas yang optimum ini
memiliki pengaruh setengah bagian di masing-masing wilayah tetangganya.

Hierarki K = 7, yaitu wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya sendiri, juga


mempengaruhi seluruh bagian (satu bagian) masing-masing wilayah tetangganya.
Wilayah ini disebut juga situasi administratif yang optimal. Sistuasi administratif
yang dimaksud dapat berupa kota pusat pemerintahan. Pengaruh tempat yang sentral
dapat diukur berdasarkan hirarki tertentu, dan bergantung pada luasan heksagonal
yang dilingkupinya.
Sumber: https://www.gurugeografi.id. Diakses pada tanggal 18 Maret 2021.

2.3 Pusat Pertumbuhan

Menurut Robinson, pusat pertumbuhan dapat diartikan melalui dua cara, yakni
pendekatan fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan
merupakan sekelompok usaha atau kegiatan ekonomi lainnya yang terkonsentrasi
pada suatu daerah dan memiliki hubungan yang dinamis, dan saling mendorong
sehingga dapat mempengaruhi perekonomian daerah itu maupun daerah belakangnya.
Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki
fasilitas sehingga menjadi pusat daya tarik bagi berbagai macam dunia usaha.
Menurutnya, pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri yaitu adanya hubungan
intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya
multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat
mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Robinson, 2010:128-129). Yang
menyebabkan terjadinya pusat pertumbuhan dikarenakan adanya keuntungan
agglomerasi yang didapat dari keputusan untuk berlokasi pada tempat yang
terkonsentrasi. Keuntungan agglomerasi ini didapat karena adanya keuntungan skala
yang berasal dari antara lain; fasilitas–fasilitas perbankan, sosial, pemerintahan, pasar
tenaga kerja, perusahaan jasa-jasa khusus tertentu (Richardson dalam Paul Sihotang,
2001:96). Para pemilik modal akan lebih tertarik untuk berinvestasi didaerah
agglomerasi, sehingga menyebabkan industri – industri menjadi terpusat di daerah ini
terutama industri inti (dalam skala besar). Industri inti mempunyai peran yang sangat
penting dalam menggerakkan perekonomian suatu daerah (Perroux dalam
Adissasmita, 2005:61).
III. METODE PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
Alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Data jumlah fungsi dan pelayanan menurut kecamatan di sekitaran Provinsi D.I.
Yogyakarta tahun 2011
2. Data jumlah penduduk setiap kecamatan sekitaran Provinsi D.I. Yogyakarta tahun
2011
3. Komputer/Laptop
4. Microsoft Excel

B. DIAGRAM ALIR
IV. HASIL PRAKTIKUM (DILAMPIRKAN)
Hasil praktikum acara ke-3 yang diperoleh, yaitu:
1. Tabel 3.1 Indeks sentralitas dan rank-order (terlampir)
2. Grafik 3.1 Rank-orde dan jumlah penduduk (terlampir)
3. Tabel 3.2 Perhitungan orde K=3 dan K=4 (terlampir)
4. Tabel 3.3 Perbandingan rank-orde perhitungan dan grafik (terlampir)
5. Grafik 3.2 Scattergraph antara jumlah penduduk dan jumlah fungsi pelayanan
(terlampir)

V. PEMBAHASAN
Tabel 3.1 menunjukkan indeks sentralitas dari kecamatan-kecamatan di Provinsi
D.I Yogyakarta. Setelah hasil nilai indeks sentralitas tiap kecamatan dihitung
kemudian diurutkan dari yang paling besar ke kecil. Semakin besar nilainya maka
semakin sentral suatu daerah. Berdasarkan Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa Kecamatan
Gondomanan memiliki nilai indeks sentralitas terbesar dengan nilai 1772,2. Lokasi
Kecamatan Gondomanan memang berada di dekat pusat Kota Yogyakarta yang
merupakan ibukota Provinsi DIY. Hal tersebut menunjukkan bahwa fasilitas yang
terdapat di Kecamatan Gondomanan cenderung lengkap dengan jumlah penduduk
yang banyak, bahkan terbanyak di antara kecamatan lain. Adapun 14 dari 15
kecamatan dengan nilai indeks terbesar berada di Kota Yogyakarta, hal ini
menunjukkan seberapa besarnya sentralitas sebuah ibukota di Provinsi DIY. Setelah
Kota Yogyakarta, adapun sebagian besar kecamatan di Kabupaten Sleman yang
berada di antara rank-orde 15 sampai 31. Hal ini dikarenakan oleh letak Kabupaten
Sleman yang terbilang berdekatan dengan Kota Yogyakarta. Sementara itu, urutan
terakhir didominasi oleh sebagian besar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Hal
ini menunjukkan fungsi pelayanan di daerah tersebut masih terbilang rendah. Jika
diurutkan berdasarkan rata-rata nilai indeks sentralitas masing-masing kota/kabupaten
adalah sebagai berikut: 1) Kota Yogyakarta; 2) Kabupaten Sleman; 3) Kabupaten
Bantul; 4) Kabupaten Kulon Progo; dan 5) Kabupaten Gunungkidul.
Grafik 3.1 menunjukkan hubungan antara jumlah penduduk dengan nilai indeks
sentralitas. Dapat dilihat bahwa semakin rendah nilai indeks sentralitas suatu
kecamatan maka jumlah penduduknya semakin sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa
jumlah penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan
suatu wilayah.
Tabel 3.2 merupakan tabel perhitungan orde K = 3 dan K = 4. Untuk menghitung
nilai asumsi K = 3 dan K = 4 pada Tabel 3.2 dapat menggunakan rumus berikut:
untuk K = 3 pada Orde x dilakukan perhitungan dengan rumus Orde x = n - (n/3x)
dengan n adalah jumlah kecamatan. Digunakannya kelipatan 3 pada rumus di atas
dikarenakan Orde I memiliki luas jangkauan barang tiga kali barang Orde II dan
seterusnya. Sementara itu, untuk K = 4 pada Orde x dilakukan perhitungan dengan
rumus Orde x = n - (n/4x) dengan n adalah jumlah kecamatan. Digunakannya
kelipatan 4 pada rumus dikarenakan Orde 1 memiliki luas jangkauan barang empat
kali barang Orde II dan seterusnya. Perhitungan dilakukan secara menerus hingga
kelipatan ke-8 atau Orde VIII. Hasil akhir yang diperoleh dari perhitungan asumsi K
= 3 untuk Orde VIII sebesar 0,016766, sedangkan untuk K = 4 sebesar 0,002518.
Berdasarkan nilai sentralitasnya maka kecamatan di Provinsi DIY terdiri dari 8
orde. Pembagian orde ini didasarkan atas dasar perhitungan asumsi K = 3 dan K = 4.
Pembagian orde setiap kecamatan digambarkan dalam Grafik 3.2. Orde setiap
kecamatan adalah sebagai berikut:
- Orde I adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas paling/memiliki nilai
sentralitas yang sangat tinggi (ketersediaan fasilitas >100 serta nilai indeks
sentralitas >1000) yakni Kecamatan Gondomanan, Kraton, dan Gondokusuman.
- Orde II adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas tinggi (nilai sentralitas >500 - 1000) yakni Kecamatan Ngampilan,
Danurejan, Pakualaman, dan Umbulharjo.
- Orde III adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas tinggi (nilai sentralitas >100 - 500) yakni Kecamatan Mergangsan,
Gedongtengen, Wirobrajan, Jetis, Mantrijeron, dan Berbah.
- Orde IV adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas sedang-tinggi (nilai sentralitas >50 - 100) yakni Kecamatan Depok,
Tegalrejo, Mlati, Ngaglik dan Gamping.
- Orde V adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas sedang (nilai sentralitas >25 - 50) yakni Kecamatan Tempel, Kotagede,
Pakem, dan Ngemplak.
- Orde VI adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas sedang-rendah (nilai sentralitas >10 - 25) yakni Kecamatan Godean,
Sleman, Piyungan, Prambanan, Kalasan, Banguntapan, Minggir, Srandakan,
Cangkringan, dan Turi.
- Orde VII adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas rendah (ketersediaan fasilitas serta nilai indeks sentralitas bernilai >0 - 10)
yakni Kecamatan Moyudan, Pleret, Seyegan, Bantul, Bambanglipuro, Pandak,
Imogiri, Kasihan, Sewon, Pajangan, Pundong, Sedayu, Kretek, Wates, Sanden,
Dlingo, dan Lendah.
- Orde VIII adalah kecamatan dengan ketersediaan fasilitas/memiliki indeks
sentralitas sangat rendah (ketersediaan fasilitas serta nilai indeks sentralitas keduanya
bernilai 0) yakni Kecamatan Galur, Patuk, Wonosari, Playen, dan Karangmojo.
Berdasarkan peringkat orde di atas, maka ada 6 kecamatan yang dapat ditetapkan
sebagai kecamatan pusat pertumbuhan, yaitu Kecamatan Gondomanan, Kraton,
Ngampilan, Danurejan, dan Pakualaman. Hal ini didasarkan pada ketersediaan
fasilitas pada kecamatan tersebut, baik dari keberagaman dan frekuensinya (>100)
lebih baik dibandingkan dari kecamatan yang lainnya. Kecamatan yang memiliki
kelengkapan fasilitas tertinggi dapat ditentukan sebagai pusat pertumbuhan (Rodinelli
dalam Ermawati, 2010:47).
Tabel 3.3 merupakan tabel perbandingan rank-orde perhitungan dengan grafik.
Tabel ini didasarkan pada tabel perhitungan orde K = 3 dan orde K = 4 (Tabel 3.2)
dan grafik pembagian orde (Grafik 3.2). Orde I memiliki rentang grafik terpendek
yakni hanya 3 titik, hal ini dikarenakan asumsi dari Orde I sendiri yakni kecamatan
dengan nilai sentralitas > 1000 yang dapat dipenuhi oleh 3 kecamatan saja. Sementara
itu, Orde VII memiliki rentang grafik terpanjang yakni sebanyak 17 titik. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar kecamatan di Provinsi D.I Yogyakarta memiliki
nilai sentralitas < 10.
Grafik 3.3 merupakan grafik Scattergraph antara jumlah penduduk dengan
jumlah fungsi pelayanan. Pada grafik terdapat koefisien determinasi yang berarti
besaran kemampuan variabel prediktor (X) dalam mempengaruhi variabel respons (Y).
Variabel prediktor (X) pada Grafik 3.3 adalah variabel jumlah fungsi pelayanan,
sedangkan untuk variabel respons (Y) adalah variabel jumlah penduduk. Jika multiple
R memiliki besaran nilai yaitu 0,9029, maka nilai besaran R atau R-Square bernilai
0,9502 yang artinya bahwa variabel jumlah fungsi pelayanan mempengaruhi variabel
jumlah penduduk sebesar 95,02% dan sisanya berasal dari variabel lain yang tidak
dibahas.
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan data-data yang telah dihimpun dan hasil analisis, maka dapat
dihasilkan kesimpulan sebagai berikut ini :
1. Berdasarkan indeks sentralitas yang dilakukan dengan menggunakan 43 jenis
fasilitas yang dijadikan sebagai indikator terdapat 5 kecamatan yang ditetapkan
sebagai kecamatan pusat pertumbuhan yaitu : Kecamatan Gondomanan, Kraton,
Gondokusuman, Ngampilan, Danurejan, dan Pakualaman.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. (2005). Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu : Jakarta
Asoka, G.W.N. (2013). Effects of Population Growth on Urban Infrastructure and
Services: A Case of Eastleigh Neighborhood Nairobi, Kenya. Journal of
Anthopology & Archaeology. Juni 2015: 41-56
Aulia, A.S., Elmanisa, A.M., dan Gunawan M.P. (2009). Pola Distribusi Spasial
Minimarket Di Kota-Kota Kecil. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.
20, No. 2:78-94
Ernawati, (2010). “Analisis Pusat Pertumbuhan Ekonomi Pada Tingkat Kecamatan
Di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi, Fakultas
Ekonomi. Universitas Sebelas Maret : Surakarta.
Sihotang, Paul. (2001). Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional (terjemahan), Edisi
Revisi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia : Depok
Tarigan. Robinson. (2010). Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi V.
Penerbit Bumi Aksara : Jakarta
VIII. LAMPIRAN
Grafik Rank-Orde dan Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk 20000

15000

10000

5000

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54
Rank-Orde

Grafik 3.1 Rank-orde dan jumlah penduduk

Tabel 3.2 Perhitungan Orde K = 3 dan Orde K = 4

Contoh perhitungan:
Untuk K = 3 Untuk K = 4
1
Orde I = n - (n / 3 ) Orde I = n - (n / 41)
= 55 - (55 / 3) = 55 - (55 / 4)
= 55 - 18,33 = 55 - 13,75
= 36,666667 = 41,2500
Grafik 3.2 Rank-orde dan jumlah penduduk beserta pembagian orde

Tabel 3.3 Perbandingan rank-orde perhitungan dan grafik

Scattergraph antara jumlah penduduk dan jumlah fungsi pelayanan


100000

y = 61.867x + 84.856
Jumlah Penduduk (jiwa)

10000 R² = 0.9029
Jumlah
1000 penduduk

100
Linear
(Jumlah
10 penduduk)

1
1 10 100 1000

Jumlah Fungsi Pelayanan

Grafik 3.3 Scattergraph antara jumlah penduduk dan jumlah fungsi pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai