PP Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan
PP Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan
9. Cedera stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi fraktur stabil, kerusakan
neurologis disebabkan oleh:
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma
langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.
b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya
seperti spondiliosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spinal.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologia yang
tampak pada saat pertama kali diperiksa:
1) Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif.
2) Cedera didaerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit
(kapiler) dan diberi metil prednisolon.
3) Pemeriksaan penunjang MRI.
4) Cedera neurologis tak lengkap konservatif.
5) Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal,
traksi tengkorak, dan metil pednisolon.
6) Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
7) Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk
maka lakukan mielografi.
8) Cedera tulang tak stabil.
9) Bila lesi total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi.
Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan
paraplegia.
10) Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti
imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.
11) Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat
yang sama.
12) Cedera yang menyertai dan komplikasi:
a) Cedera mayor berupa cedera kepala aatau otak, toraks,
berhubungan dengan ominal, dan vaakular.
b) Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi, dan
syok.
Pengelolaan cedera
1. Pengelolaan hemodinamika
a) Bila terjadi hipotensi, cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik
akibat hilangnya aliran adrenergik dari sistem saraf simpatis pada jantung
dan vaskuler perifer setelah cedera di atas tingkat T6. Terjadi hipotensi,
bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik lebih mengganggu distribusi
volume intravaskular daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga
perlu pertimbangan pemberian terapi atropin, dopamin, atau fenilefrin jika
penggantian volume intravaskular tidak bereaksi.
b) Pada fase akut setelah cedera, dipasang beberapa jalur intravena perifer
(No.16) dan pengamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan
resusitasi cairan dimulai
c) Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian transfusi, lakukan
kateterisasi pada arteri pulmonal untuk mengarahkan ke perbedaan
mekanisme hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik.
2. Pengelolaan sistem pernapasan
a) Ganti posisi tubuh berulang
b) Perangsangan batuk
c) Pernapasan dalam
d) Spirometri intensif
e) Pernapasan bertekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker adalah
cara mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas residual fungsional
f) Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi
3. Pengelolaan nutrisional dan sistem percernaan
a) Lakukan pemeriksaan CT-scan berhubungan dengan omen atau lavasi
peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera berhubungan dengan
ominal
b) Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian
elektrolit dan pengamatan status cairan
c) Terapi nutisional awal harus dimetabolisme (50-100% diatas normal)
d) Bila ada hiperalimentasi internal elemental. Pasang Duoclenol yang
fleksibel melalui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus)
e) Pencegahan ulkus dengan antagonis hz (simetidin, ranitidin) atau antasid
f) Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT)
g) Bila difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT
untuk mencegah diare
h) Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax.
4. Pengelolaan gangguan koagulasi
a) Untuk mencegah terjadinya trombosis vena dan emboli paru beri heparin
dosis minimal (500 untuk subkutan, 2-3 x sehari)
b) Ranjang yang berosilasi
c) Ekspansi volume
d) Stoking elastis setinggi paha
e) Stoking prenmatis anti emboli
f) Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan
5. Pengelolaan genitourinaria
a) Pasang kateter Dower (dower catheter- DC)
b) Amati urine output (UO)
6. Pengelolaan ulkus dekubitus
a) Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan,dan
berkurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit kambing penyangga
tonjolan tulang
b) Putar atau ganti posisi tubuh berulang
c) Perawatan kulit yang baik
d) Gunakan ranjang berosilasi
7. Pengelolaan klien paraplegia
a) Respirasi dengan pemasangan endotrakea, kemudian trakeostomi serta
perbaikan keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi
b) Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam
c) Kandung kemih
1) Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih
secara teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overflow dam
dribbling.
2) Kateterisasi intermitten
3) Katerisasi indwelling
4) Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal.
d) Buang air besar (BAB)
Untuk mendapatkan pengosongan rektum mendadak dilakukan dengan
cara:
1) Tambahkan diet serat
2) Gunakan laksatif
3) Pemberian supositoria
4) Enema untuk BAB atau pengosongan rektum teratur tanpa
inkontinensia mendadak.
e) Anggota gerak
1) Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot
berlawanan dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah
pemisahan tendo tertentu
2) Nutrisi umum tinggi kalori.
Rehabilitasi Klien yang Mengalami Paraplegia
1. Rehabilitasi fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas
dan tubuh bagian bawah
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga
c. Perlengkapan splint dan kapiler
d. Transplantasi tendon
2. Perbaikan mobilisasi
a. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk klien cedera tulang belakang (cedera
medula spinalis) bawah
b. Latihan kursi roda untuk klien dengan otot tulang belakang dan tungkai
yang tak berfungsi
c. Kendaraan khusus untuk di jalan raya
d. Rehabilitasi psikologis
e. Penerimaan di rumah.