Anda di halaman 1dari 4

A.

Kitab Kuning: Sebuah Pengamatan dan Kritikan

Kitab kuning dalam kurun waktu yang panjang telah menjadi rujukan utama dan menjadi
pedoman berpikir dan bertingkah laku. Menurut masyarakat pesantren merupakan formulasi final
dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia ditulis oleh para ulama dengan kualifikasi
ganda, keilmuan yang tinggi dan moralitas yang luhur. Ia ditulis dengan mata pena atau jari-jari
yang bercahaya. Oleh karena itu, ia dipandang hampir-hampir tidak memiliki cacat dan sulit
untuk mengkritiknya.23
terhadap kitab Ta’lim Muta’alim karya al-Zarnuji yang digunakan pada hampir seluruh pesantren
di Nusantara. Konsep tersebut sejalan dengan paham Asy’ari dan terjalin erat dengan konsep
pemikiran al-Ghazali. Jika ilmu adalah dari Tuhan, maka yang mesti dilakukan oleh seseorang
untuk memperoleh ilmu adalah dengan menyediakan kondisi spiritual yang kodusif bagi
anugerah itu melalui riyadhah (latihan ruhaniyah) secara intensif dan benar. Latihan secara
intensif biasanya dilakukan dengan mejalankan amalan-amalan, seperti: puasa Senin-Kamis,
puasa mutih, puasa Daud, puasa 40 hari berturut-turut, puasa ngebleng, puasa dengan tidak
makan makanan dari daging/vegetarian, dan seterusnya. Sementara, agar jalan yang ditempuhnya
benar, tepat arah dan tidak tersesat, maka diupayakan dengan memperbanyak dzikir. Karena ilmu
diianggap sebagai sesuatu ‘yang sudah jadi’ dari Tuhan, maka konsep belajar di pesantren lebih
mementingkan peranan mendengar (sam’) dan menghafal (hifdh), dibanding dengan mengamati
(ru’ya) dan menalar (ra’yu).24

Oleh karena itu, maka terdapat etika dalam membaca kitab kuning, antara lain: sebelum
membahas kitab terlebih dahulu dibacakan do’a (biasanya membaca surat al-Fatihah) untuk
mushannif (pengarang kitab), dengan satu harapan akan mendapatkan manfaat ilmu yang akan
dipelajari dari kitab tersebut. Demikian juga ketika kajian tentang kitab tersebut telah tamat
(berakhir). Dibacakan doa dengan harapan yang sama, yang biasanya dipimpin oleh kyai/ustad
yang mengajarkan kitab tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas—kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan kitab kuning di
pesantren—adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Tholhah Hasan yang menyebutkan tiga
permasalahan pokok, yaitu:
1. Dalam segala orientasi keilmuan, pesantren masih menitikberatkan kajiannya terhadap ilmu-
ilmu terapan, seperti fiqh, tasawuf, dan ilmu alat. Sedangkan pengajaran ilmu-ilmu yang
menyangkut pengembangan wawasan dan ketajaman penalaran, seperti: logika, fiilsafat,
sejarah, tafsir al-Qur’an, Tarikh Tasyri’, Qawaidul Ahkam, Muqaranah al-Madzahib, dan
sebagaimana masih terbatas. Selayaknya, jika pesantren tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu
terapan, khususnya bagi para santri senior, yang telah menguasai kitab-kitab dasar.
2. Metode pengajaran di pesantren yang diikenal dengan istilah sorogan dan
wetonan/bandongan atau khataman. Santri bebas mengikuti pengajian atau tidak, pengajaran
tidak diatur dalam silabus yang terprogram. Pada umumnya proses belajar mengajar
berlangsung satu jalur dengan menterjemahkan secara harfiyah, dengan bahasa yang seakan
baku dan menimbulkan kesan sakralisasi bahasa. Metode demikian diterapkan untuk
berbagai tingkatan. Belajar dengan satu arah ini semakin menguatkan paham bahwa ilmu
adalah ‘given’, datang dari Tuhan yang bersifat esoteris.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan konsep belajar untuk mencari berkah (ngalap
barokah) yang sangat dominan di pesantren. Terlepas dari sisi positifnya, sisi negatif dari
pandangan demikian adalah tidak adanya penolakan terhadap isi suatu kitab. Dengan kata
lain kemungkinan munculnya kritikan akan tertutup, padahal kitab-kitab tersebut merupakan
hasil ijtihad para ulama, yang—boleh jadi—terdapat kekeliruan. Dengan demikian, tidak
semua pernyataan yang ada dalam kitab kuning adalah harga mati, yang tidak bisa diganggu
gugat.
Masih dalam kaitan dengan sistem pendidikan pesantren yang menggunakan kitab kuning
sebagai kurikulum, maka persoalan yang perlu diikaji lebih lanjut adalah tidak adanya ujian.
Memang cara demikian mempunyai nilai positif, sebab para santri belajar bukan untuk
mengejar ijasah, akan tetapi lebih pada mencari ilmu untuk bekal di kemudian hari dengan
penuh keikhlasan.
3. Kurikulum dan materi pengajaran yang belum dibakukan, membuat masing-masing
pesantren mempunyai pilihannya sendiri-sendiri. Kurikulum yang ada biasanya disominasi
oleh fiqh, ilmu alat dan tasawuf. Untuk materi sejarah, misalnya, hanya terbatas pada Sirah
Nabawiyyah, dan paling banter sejarah ketokohan Khulafa’ al-Rasyidin, sementara sejarah
puncak kejayaan Abbasiyah, tidak tercover dalam kurikulum pesantren. Padahal pada masa
dinasti Abbasiyah boleh disebut sebagai masa kejayaan Islam, dengan perkembangan ilmu
dalam berbagai bidang. Demikian halnya dengan pembahasan fiqh, hanya mengacu pada
satu madzhb Syafi’I. Perlu diperkenalkan dalam ppesantren, khususnya untuk tingkat
aliyah, madzhab-madzhab lain sebagai perbandingan.
Demikianlah beberapa pemasahan seputar kurikulum pesantren, lengkap dengan kritikan
dan sanjungan.
Kata Akhir
Terbukti bahwa pendidikan pesantren—sebagai suatu sistem pendidikan asli Indonesia—
mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi umat Islam di Indonesia. Pesantren—
dengan kurikulum kitab kuning—telah mampu mengantarkan para santrinya untuk menjadi
anggota masyarakat yang mulia, tdak hanya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, akan tetapi
juga terhormat di hadapan sesama umat. Kekhasan pesantren dengan kitab kuning sebagai
kurikulum perlu dipertahankan dengan beberapa catatan. Catatan tersebut antara lain: orientasi
keilmuan, yang tidak hanya mengacu pada ilmu terapan, akan tetapi juga dalam pengajaran ilmu-
ilmu yang menyangkut pengembangan wawasan dan ketajaman penalaran; metode, lebih
dikembangkan, tidak hanya one way coommunication—komunikasi satu arah—akan tetapi perlu
juga diterapkan metode yang lebih melibatkan santri dalam proses pengajaran; pengembangan
materi, tidak hanya mengkaji satu madzhab, akan tetapi perlu juga dikenalkan dan bahkan dikaji
beberapa madzhab lainnya sebagai perbandingan. Perlu juga dilakukan sebuah kontekstualisasi
pemahaman kitab kuning, sehingga ia akan relevan dengan perkembangan jaman.

Anda mungkin juga menyukai